Professional Documents
Culture Documents
principle,fiduciary relation ) Prinsip kerahasiaan (confidential principle, confidential relation) Prinsip kehati-hatian (prudential principle, prudential relation) Prinsip mengenal nasabah ( know your customer/KYC )
2
Hubungan antara bank dan nasabah bukan sekedar hubungan debitur dan kreditur semata. Mengingat status bank yang unik : sebagai a place of special safety and probity, ( keamanan dan kejujuran ), maka sifat hubungan hukum antara bank dengan nasabah adalah hubungan fiduciary ( kepercayaan ). Oki kepercayaan mrpkn prinsip yg hrs dipegang teguh dalam pengelolaan perbankan.
Hubungan Kepercayaan
Oleh karena itu jika hubungan antara bank
dan nasabah penyimpan dana (misalnya deposan) sekedar hubungan pinjammeminjam uang biasa seperti yang diatur di dalam Ps 1755 KUHPerdata dimana bank berkewajiban mengembalikan dana yang diterima dari deposan pada saat tertentu sesuai dengan kesepakatan, hal tersebut di dalam praktek perbankan dipandang terlalu sempit dan tidak mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
4
Hubungan Kepercayaan
Mengapa
demikian?. Karena dalam praktek, bank dapat menggunakan dana simpanan nasabah ( portofolio ) tersebut sedemikian rupa atas dasar kepercayaan (fiduciary principle) untuk tujuan dan dengan cara yang dapat menjamin kepastian bahwa jika sewaktu-waktu diminta nasabah bank mampu mengembalikan dana tersebut.
5
Hubungan Kepercayaan
Secara
normatif fiduciary relation dapat di pahami melalui penjelasan Pasal 29 UU No.7 Thn 1992 jo UU No.10 Thn 98 ( UU Perbankan ) : bank terutama bekerja dengan dana masyarakat yang disimpan pada bank atas dasar kepercayaan, setiap bank perlu terus menjaga kesehatannya dan memelihara kepercayaan masyarakat padanya.
6
Hubungan Kepercayaan
Fiduciary Relation juga dapat dipahami
dari Psl 8 UU Perbankan : dalam pemberian kredit bank kepada nasabah, bank harus sampai pada tingkat kepercayaan kepada calon nasabah, berdasarkan analisis atas itikad baik bahwa yang bersangkutan akan mampu melunasi utangnya atau mengembalikan kredit sesuai dengan perjanjian.
7
Hubungan Kepercayaan
Fiduciary Relation secara yuridis teoritis
sama pengertiannya dg trust. Trust tidak dikenal di dlm sistem hukum Indonesia. Tanda-tandanya ada pada hukum pemberian kuasa. Namun pertanyaannya kuasa jenis apa ?. Volmacht, Zaakwaarneming, curatele, last geving atau bevindvoering, secara teoritis masih perlu dikaji.
8
Hubungan Kepercayaan
Pelaksanaan prinsip fiduciary relation a.l. : bank harus memberi advis kepada nasabah ttg risiko yg mungkin terjadi dalam penyimpanan dana di bank dan bank dalam melaksanakan transaksi untuk kepentingan nasabah harus dilakukan dengan hati-hati. Oleh karena itu Pasal 29 ayat (4) UUPerbankan menetapkan bahwa untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan dana dari nasabah atau pembelian / penjualan surat berharga untuk kepentingan dan atau perintah nasabah.
9
dalam industri perbankan karena prinsip tersebut merupakan jiwa dari industri perbankan. Stabilitas sistem keuangan akan dapat goyah, jika bank tidak menganut prinsip kerahasiaan. Apabila nasabah dan simpanannya di bank dg mudah dibocorkan keluar, akan dapat mengancam perekonomian dan sistem perbankan nasional. Kepercayaan masyarakat akan goyah, rush, dapat menular ke industri bank yang lain.
10
UU No.14 Thn 67, UU No.7 Thn 92 jo UU No.10 Thn 98. Ketidakjelasan bersumber dari ruang lingkup rahasia bank yang terlalu luas : meliputi keadaan keuangan nasabah dan hal-hal lain dari nasabah yg harus dirahasiakan menurut kelaziman dlm dunia perbankan (blanket norm). Dg keluarnya UU No. 10 Thn 98 ruang lingkup rahasia bank diubah hanya meliputi nasabah penyimpan dana dan simpanannya.
11
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Segala sesuatu yg berhubungan dan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya masih menyisakan perdebatan karena tidak ada kriteria standart mengenai hal ini di dalam praktek. Difinisi tsb mengandung : unsur subyektif diri nasabah penyimpan dan unsur obyektif simpanan nasabah. Menjadi pertanyaan : Apakah dg demikian berarti : nama nasabah, alamat, nomor rekening, nomor mobil, hobi, keluarga nasabah, dsb harus dirahasiakan ?.
12
dana yg harus dirahasiakan ?. Apakah seluruh nasabah penyimpan dana baik perorangan maupun badan hukum ?. Apakah hanya meliputi nasabah bank yg masih aktif atau juga meliputi mantan nasabah bank ? Krn indikasinya ada di Ps 44 A ayat (1) UU No.10 Thn 98 : dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia ( tentu masih punya rekening di bank ), ahli waris yg sah berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tsb ?. Dlm kasus nasabah yg telah meninggal tsb, hrs dirahasiakan sampai kapan ?. Boleh atau tdk mengacu pada UU No.8 Thn 97 ( 10 tahun ) ?.
13
Indonesia selalu diterjemahkan meliputi keadaan keuangan nasabah bank secara individual, baik nasabah penyimpan dana, peminjam dana maupun nasabah yg hanya menggunakan jasa bank secara temporer tanpa memiliki rekening di bank ( walk-in customer ). Pada waktu itu kuat kesan bhw segala sesuatu mengenai nasabah dan keadaan keuangan nasabah wajib dirahasiakan oleh bank. Kemudian terjadi antagonis antara kepentingan individu ( privasi ) dengan kepentingan umum ( public interest ).
14
kepentingan umum dpt dijadikan alasan atau dasar hukum untuk menerobos prinsip rahasia bank. Hal ini menunjukkan bahwa UU No.10 Th. 1998 menganut prinsip rahasia bank yg bersifat relatif. Masalahnya apakah semua kepentingan umum telah diakomodir oleh UU No.10 Th. 1998 ?. Apakah escape clausula yg ada pada UU No.10 Th. 1998 itu bersifat limitatif ?.
15
terakomidir dlm UUP mis : kepentingan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, kerjasama internasional, dll.
DPR, Peradilan Militer, Peradilan Agama, Peradilan TUN,
Peradilan Perburuhan belum ada aturannya utk menerobos ketentuan rahasia bank.
Ada kepentingan bank sendiri yg belum diakomodir
berkaitan dg rahasia bank. Mis: Bank menjadi korban tindak pidana karena uang nasabah yg ada pada rekening di bank diambil atau dipindahkan tanpa hak ke rekening orang lain dibank yg sama. Apakah bank dg mengungkap rekening nasabah korban maupun pelaku ?.
17
beberapa kalangan mis : BPKP, BPK dipandang sebagai penghambat pemberantasan tindak pidana korupsi, tameng untuk bersembunyi bagi pelaku tindak pidana. Krn bank dpt dipakai sebagai tempat menyimpan, menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang hasil kejahatan. Kadang aparat penyidik kesulitan dlm memblokir rekening pelaku kejahatan di bank.
18
kadang kurang dapat efektif disamping karena waktu perijinan sering lama, juga dg kemajuan tehnologi IT, rekening tersangka di bank dalam waktu sekejap dpt saja dipindahkan ke rekening pihak lain yg menyulitkan utk pelacakannya.
Pemblokiran tdk diatur didalam KUHAP, tp ada dlm UU
No.31 Thn 99 Tg Pemberantasan Tipikor, Perpu No.1 Thn 01 Tg Tindak Pidana Terorisme, UU No.15 Thn 02 Tg Tindak Pidana Pencucian Uang, SK Bers Jagung, Kapolri, Gub BI Tgl 6 11 97.
19
pada rekening di bank tdk dipindahkan atau ada mutasi, sedang uangnya tetap berada di bank.
Pemblokiran adalah penguasaan sementara.
Pemblokiran boleh dilakukan untuk tindak pidana tertentu, a.l : pencucian uang, terorisme, korupsi.
Pemblokiran menyangkut informasi tg rekening
nasabah yg hrs dirahasiakan. Oki perlu diatur dlm UU, tdk hanya dalam SKB.
20
(1) Bank Eksim Cabang Jember dilaporkan nasabahnya, disidik, sampai di Kejaksaan dihentikan ( 1989); (2) Panin Bank Surabaya dilaporkan ke Kepolisian ( 1994 ); (3) Bank Niaga Surabaya dilaporkan ke Kepolisian (1994 ); (4) Bank Umum Satrivia Medan dilaporkan ke Kepolisian (1994); Bank Angkasa dilaporkan ke Mabes Polri dan digugat secara perdata di PN Jaksel. Laporan ditolak, perdata damai ( 1995 ).
21
macet. Nasabah tsb melaporkan bank secara pidana dg tuduhan melanggar rahasia bank, krn bank dalam menagih atau menegor nasabah dg memberikan tembusan surat tagihan/teguran tsb kpd pihak yg memberi referensi atau rekomendasi.
Sementara itu secara perdata ada nasabah yg menggugat
banknya atas dasar perbuatan melawan hukum ( 1365 KUHPdt ), karena dianggap telah membocorkan rahasia bank yg menimbulkan kerugian bagi nasabahnya ( Taufik Hidayat vs Bank Angkasa No.307/Pdt.G/1994/PN.Jak.Sel.
22
rekening A, tetapi dikirim ke rekening B. Oleh B uang ini dipakai, setelah diminta untuk mengembalikan B mengalami kesulitan dan akhirnya dilaporkan secara pidana oleh bank dg tuduhan penggelapan.
Sampai ditingkat MA terdakwa dibebaskan. Kemudian nasabah tsb melaporkan bank dg tuduhan
telah melanggar rahasia bank, dg alasan pihak bank ketika melaporkan dirinya telah menyebutkan rekening dan keadaan keuangan dirinya.
23
seorang saksi yg dihadapkan ke PN urung memberikan kesaksian karena diancam oleh Pengacara terdakwa akan diperkarakan secara pidana apabila memberikan kesaksian tanpa izin Pimpinan BI. Pd sidang 15 Februari 99, hakim memang tidak pernah meminta izin dari Pimpinan BI agar saksi dpt memberikan keterangan tg keadaan simpanan/keuangan tersangka.
24
anehnya jaksa dan hakim tidak berupaya semaksimal mungkin agar saksi dapat memberikan keterangan di PN melalui prosedur yg benar.
Kemudian jaksa menuntut bebas terdakwa dan
dikabulkan hakim.
Tahun 1999 sebenarnya ijin tdk lagi ke Menkeu, tapi
ke BI.
25
Contoh-contoh Kasus
Dlm kasus Golden Key thn 1994 yg telah merugikan
negara 1,3 T, seorang anggota DPR dlm sidang resmi meminta penjelasan mengenai rekening yg berkaitan dg kasus tsb kepada Direksi Bapindo.
Permintaan ditolak oleh Bank dg alasan rahasia
bank.
Tdk ada upaya keterangan diberikan secara tertutup
Di Inggris misalnya, kewajiban untuk merahasiakan (duty of secrecy) merupakan kewajiban yang tersirat (implied duties) dlm setiap perjanjian antara bank dg nasabah. Artinya kewajiban tersebut bukan kewajiban yang secara tegas dicantumkan di dalam kontrak antara bank dengan nasabahnya, tetapi tersirat atau secara implisit dianggap ada dalam setiap kontrak perbankan.
27
Kewajiban untuk merahasiakan itu tidak terbatas hanya kepada informasi mengenai keadaan rekening nasabah tetapi mengenai semua informasi yang berasal dari rekening nasabah dan Mengenai semua informasi yang diperoleh bank sebelum maupun sesudah terjadinya hubungan hukum antara bank dengan nasabah. Namun kedua hal tersebut menjadi perdebatan dalam sidang pengadilan di Inggris, sehingga bank sering mengambil pendekatan yang berhati-hati.
28
Dalam TournierCase di Inggris( Tournier v National Provincial and Union Bank of England ) 1924, telah diputuskan bahwa bank berhak untuk mengungkapkan informasi mengenai urusan-urusan nasabahnya hanya dalam empat keadaan saja; pertama, apabila pengungkapan tersebut diharuskan oleh hukum ( diatur dalam undang-undang ), kedua apabila bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada masyarakat (alasan kepentingan umum), ketiga, apabila pengungkapan dikehendaki demi kepentingan bank, keempat, apabila nasabah memberikan persetujuannya (Yunus Husein, 2003 : 138).
29
dari Tergugat (T) ( Kantor Cabang Bank Moorgate Street Branch ). Rekening P di Bank T mengalami saldo negatif sebesar 9 Pounds. Bank T mendesak Nasabahnya (P) untuk membayar dan P sepakat akan membayar secara mengangsur sebesar 1 Pounds per minggu.
Setelah 3 x angsuran, P menghentikan pembayarannya.
Pimpinan Cabang Bank tsb mengetahui P menerima pembayaran dari nasabah lain berupa cek sebesar 45 Pounds, tetapi tdk dimasukkan ke dalam rekeningnya.
30
utk rekening sebuah rumah judi ( Bookmaker or gambler ). Kemudian Mr.Fennel, Pimpinan Bank T, menelpon majikan dari nasabahnya untuk meminta alamat rumahnya. Dalam pembicaraan telepon itu diceritakan bahwa P mempunyai utang di bank T dan ketika menerima cek tdk disetorkan ke rekeningnya, tp dialihkan ke rek lain. Akibat informasi tsb kontrak P dg majikannya tdk diperpanjang dan ia diberhentikan dari pekjaannya.
31
pencemaran nama baik. Bank dianggap tdk memenuhi kewajibannya dalam menjaga kerahasiaan ( slander and breach of duty of confidentiality ). Dlm putusan akhir perkara dinayatakan bahwa hak dari nasabah untuk dijaga kerahasiaan informasinya oleh bank adalah hak yang sah. Seluruh Hakim yg memeriksa kasus tsb berpendapat bhw kewajiban utk merahasiakan tdk saja pada moral, tp juga dlm hukum yg didasarkan pd hub kontraktual.
32
Hubungan kerahasiaan
Ruang lingkup rahasia bank yang luas tersebut di atas (dari sisi nasabah kreditur dan nasabah debitur) pernah diatur dalam UU No. 14 Thn 1967 Ttg Pokok-pokok Perbankan maupun UU No. 7 Thn 1992 tentang Perbankan.
Dengan meningkatnya kredit macet perbankan yang dirasakan terlalu dilindungi oleh ketentuan rahasia bank , mengakibatkan penegak hukum, lembaga legislatif (DPR) maupun masyarakat luas menuntut dilakukan perubahan atas ruang lingkup ketentuan rahasia bank tsb.
33
Hubungan kerahasiaan
UU No. 10 Tahun 1998 merubah ruang lingkup rahasia bank seperti yang diatur dalam Pasal 40 menjadi sebagai berikut : 1. Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dana dan simpanannya kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A. 2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafliasi.
34
Hubungan kerahasiaan
Di samping itu, pengecualian atas ketentuan rahasia bank juga diperluaskan, sehingga meliputi :
Kepentingan perpajakan, atas perintah tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia memenuhi permintaan Menteri Keuangan, Kepentingan penagihan piutang oleh BUPLN/PUPN, atas izin Pimpinan Bank Indonesia memenuhi permintaan Ketua BUPLN/PUPN
35
Hubungan kerahasiaan
Kepentingan perkara peradilan pidana, atas izin Pimpinan Bank Indonesia memenuhi permintaan Kapolri, Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung, Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank (tanpa izin BI) Permintaan atau persetujuan tertulis nasabah (tanpa izin BI) Kepentingan ahli waris yang sah dari nasabah (tanpa izin BI)
36
Hubungan kerahasiaan
Ancaman pidana berkaitan dengan ketentuan rahasia bank ini dikenakan terhadap : Pihak yang dengan sengaja memaksa bank untuk memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan, Direksi, komisaris atau pegawai bank yang dengan sengaja membuka keterangan yang wajib dirahasiakan, Direksi, komisaris atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi.
37
Hubungan kerahasiaan
Selanjutnya ketentuan rahasia bank
sebagaimana diatur dalam UU No.7 Thn 92 jo UU No 10 Thn 98 , lebih lanjut diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 2/PBI/2000 tanggal 7 September tahun 2000 tentang Persyaratan dan Tatacara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
38
Hubungan kerahasiaan
Beberapa ketentuan dalam peraturan tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1. Bank wajib melaksanakan perintah atau izin tertulis dari Bank Indonesia sebagaimana diatur Pasar 41, Pasal 41 A dan Pasal 42 UU No. 10 Tahun 1998 dengan memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis, memperlihatkan bukti-bukti tertulis, suratsurat, dan hasil cetak data elektronis, tentang keadaan keuangan Nasabah Penyimpan yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis tersebut. 2. Bank dilarang memberikan keterangan tentang keadaan keuangan Nasabah Penyimpan selain yang disebutkan dalam perintah atau izin tertulis Bank Indonesia.
39
Hubungan kerahasiaan
Permintaan tersebut diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia melalui Direktorat Hukum Bank Indonesia. 4. Jangka waktu pemberian perintah atau izin Gubernur Bank Indonesia dalam waktu selambatlambatnya 14 (empat belas) hari setelah surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia, sedangkan pemberian izin tertulis yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dilaksanakan oleh Gubernur Bank Indonesia dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja setelah surat permintaan diterima secara lengkap oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia.
3.
40
Hubungan kerahasiaan
Gubernur Hukum Bank Indonesia dapat menolak untuk memberikan perintah atau izin tertulis membuka rahasia bank apabila surat permintaan tidak memenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang berlaku, yang akan diberitahukan selambatlambatnya 14 hari sejak permintaan diterima dan 3 hari kerja terhitung sejak surat permintaan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi diterima. 6. Pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh polisi, jaksa atau hakim dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan izin tertulis dari Pimpinan Bank Indonesia.
5.
41
Hubungan kerahasiaan
Apabila polisi bermaksud untuk memperoleh keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah yang diblokir dan atau disita pada bank, harus dimintakan izin membuka rahasia bank kepada Bank Indonesia sesuai ketentuan yang berlaku. 8. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 47 A UU No. 10 Tahun 1998, bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Peraturan ini maupun sesuai UU Perbankan dapat dikenakan sanksi administratif oleh Bank Indonesia.
7.
42
Dalam kaitan dengan dugaan atau adanya indikasi perkara pidana pada suatu Bank tertentu, sering sekali Bank atau Pegawai Bank mendapat panggilan dari Penyidik (Kepolisian maupun Kejaksaan ) untuk dimintai keterangan sebagai saksi atas dugaan adanya perbuatan pidana yang terjadi di suatu Bank yang melibatkan seseorang nasabah Bank tersebut. Apabila pemberian keterangan oleh Bank tersebut adalah mengenai nasabah bukan penyimpan dana, hal tersebut tentunya sudah jelas tidak ada masalah karena bukan merupakan Rahasia Bank.
43
Namun permasalahan akan segera muncul bilamana keterangan yang harus diberikan adalah mengenai nasabah penyimpan dana karena seringkali berbenturan dengan ketentuan mengenai Rahasia Bank sebagaimana diatur di dalam UU No.7 Tahun 1992 jo UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Sementara itu dilain pihak aparat penyidik sesuai dengan ketentuan KUHAP dan UU terkait (UU Kepolisian dan Kejaksaan) mempunyai kewenangan untuk meminta keterangan kepada siapapun juga.
44
Bahwa di dalam pemberian keterangan mengenai nasabah penyimpan dana seringkali timbul permasalahan karena adanya perbedaan penafsiran mengenai batasan Prinsip Rahasia Bank. Menurut Bank keterangan yang diminta aparat penyidik tersebut termasuk kategori Rahasia Bank sehingga apabila Bank diminta untuk memberikan keterangan harus mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu. Di pihak lain, menurut aparat penyidik apa yang diminta tersebut tidak termasuk kategori Rahasia Bank sehingga Bank dapat langsung memberikan keterangan yang diminta Aparat Penyidik.
45
Bahwa menurut Pasal 40 UU Perbankan : Bank wajib untuk merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Menurut Pasal 42 Ayat (1) UU Perbankan : Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa.
46
Bahwa adanya perbedaan rumusan dan pemahaman terhadap ketentuan Pasal 40 dan Pasal 42 UU Perbankan , menimbulan permasalahan : Apakah keterangan yang diminta oleh penyidik mengenai nasabah penyimpan, misalnya keterangan mengenai jatidiri nasabah penyimpan termasuk keterangan yang wajib dirahasiakan , sehingga perlu mendapat izin Bank Indonesia terlebih dahulu atau sebaliknya Bank dapat memberikan keterangan mengenai data nasabah penyimpan tersebut kepada penyidik tanpa perlu ada izin dari Bank Indonesia karena sesuai Pasal 42 yang harus mendapat izin Bank Indonesia adalah keterangan mengenai simpanan nasabah tersangka atau terdakwa , sedangkan keterangan mengenai nasabah penyimpan, oleh karena tidak termasuk yang diatur dalam Pasal 42 tersebut, tidak perlu mendapat ijin Bank Indonesia terlebih dahulu.
47
Bahwa sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 5 UU Perbankan, yang dimaksud dengan simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito atau yang dipersamakan dengan itu. Apakah kriteria pengertian simpanan menurut Pasal 42 UU Perbankan tersebut hanya mengenai dananya saja dalam arti jumlah dana atau saldo simpanan dan mutasi-mutasinya sebagaimana dapat dilihat dari rekening Koran atau buku tabungan atau meliputi pula lain-lainnya yaitu misalnya nomor rekening, cek atau bilyet giro yang sudah dicairkan, slip penarikan dan penyetoran.
48
pertanyaannya : Bahwa berdasarkan Pasal 42 Ayat (1) UU Perbankan, hanya disebutkan keterangan mengenai simpanan tersangka atau terdakwa.
49
Bagaimanakah menurut Sdr, apabila keterangan yang diminta tersebut adalah mengenai simpanan nasabah yang statusnya sebagai saksi, apakah juga harus mendapat izin dari Bank Indonesia atau sebaliknya oleh karena yang harus mendapat izin Bank Indonesia adalah hanya ansabah yang berstatus sebagai tersangka atau terdakwa, maka untuk nasabah yang berstatus sebagai saksi tidak perlu mendapat izin Bank Indonesia ?. Atau yang benar justru Bank Indonesia tidak dapat memberikan izin sehingga Penyidik tidak dapat memperoleh keterangan tentang simpanan nasabah yang berstatus sebagai saksi ?.
50
Bahwa ada kalanya, Bank atau pegawai Bank dilaporkan oleh nasabah penyimpan dana kepada Aparat Penyidik karena dianggap telah melakukan tindak pidana tertentu, misalnya penggelapan atau penipuan, di mana Bank ditengarai seolah-olah telah melakukan pendebetan rekening nasabah tanpa sepengetahuan atau seijin nasabah. Atas laporan nasabah tersebut, pihak kepolisian kemudian memanggil Bank atau Pegawai Bank tersebut untuk dimintai keterangannya sebagai tersangka dan dalam pemberian keterangan oleh Bank atau Pegawai Bank tersebut tentunya mau tidak mau akan menyangkut keterangan mengenai simpanan nasabah pelapor.
51
Dalam hal demikian, apakah Bank dapat langsung memberikan keterangan dimaksud kepada Kepolisian tanpa harus minta ijin kepada bank Indonesia terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa yang melaporkan adalah nasabah sendiri atau tetap Bank harus meminta Kepolisian untuk meminta ijin terlebih dahulu kepada bank Indonesia atau ijin atau dengan persetujuan nasabahnya ?. Bahwa sebaliknya, adakalanya Bank terpaksa melaporkan nasabahnya kepada Aparat Kepolisian karena dianggap si nasabah telah melakukan tindak pidana penggelapan, misalnya dalam kasus pembayaran ganda suatu transfer (misalnya masuk ke rekening nasabah dua kali) atau transfer salah masuk ke rekening nasabah lain yang tidak beritikad baik mau mengembalikan jumlah kekeliruan uang transfer tersebut.
52
Atas kelebihan transfer tersebut tentunya Bank akan mendebet kembali rekening nasabah, namun atas kelebihan transfer tersebut telah ditarik pula oleh nasabah sehingga saldonya tidak cukup untuk didebet kembali sejumlah kelebihan transfer tersebut kepada nasabah, namun nasabah tidak bersedia untuk mengembalikan dana tersebut sehingga bank terpaksa melaporkannya kepada Aparat Penyidik. Dalam laporan tentunya akan menyangkut keterangan mengenai simpanan nasabah. Apakah dalam hal demikian kepada Kepolisian diharuskan untuk mendapat ijin Bank Indonesia terlebih dahulu baru bank boleh memberikan keterangan atau data mengenai simpanan nasabah tersebut atau bank dapat langsung memberikan keterangan atau data nasabah tanpa perlu ada ijin terlebih dahulu dari Bank Indonesia ?.
53
Dalam bahasa Inggris Prudence is carefullness, precaution attentiveness and good judgement, as applied to action or conduct, that degree of care required by the exigencies or circumstances under which it is to be exercised (Blacks Law Dictionary).
54
Prinsip kehati-hatian
tentang Perbankan yang disempurnakan dengan UU. 10 Th. 1998 mengandung pengertian mengenai prinsip kehati-hatian yang harus diterapkan oleh perbankan yaitu:
55
Prinsip kehati-hatian
Pasal 2 :
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahnya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Saat ini bagi calon pemohon fasilitas kredit apabila usahanya dapat menimbulkan dampak negatif maka bank mensyaratkan agar dalam penjelasan umum undangundang tersebut menyatakan bahwa prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh, khusus kegiatan menyalurkan dana masyarakat berupa kredit disempurnakan dengan peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
56
Prinsip kehati-hatian
Bank berusaha bahwa pemberian kredit tersebut tidak menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan karena apabila ternyata di kemudian hari atas proyek yang dibiayai dengan kredit tersebut menimbulkan pencemaran maka bank dapat dituntut oleh pihak tercemar berdasarkan UU No. 23 Th. 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, oleh sebab itu bank harus hati-hati dalam pemberian kredit.
Pasal 8 :
Bank umum wajib memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
57
Prinsip kehati-hatian
Dalam penjelasan umum disebutkan keyakinan bank atas kemampuan dan kesanggupan debitur dengan cara melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal dan prospek usaha. Penjelasan ini mewajibkan bank untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap setiap permohonan kredit atau yang dipersamakan dengan itu termasuk fasilitas NCL. Khusus mnengenai agunan disebutkan bahwa apabila berdasar analisis tersebut bank telah yakin bahwa debitur cukup barang-barang yang berkaitan langsung dengan kredit. Penjelasan ini meyakinkan kita bahwa pada hakekatnya setiap kredit yang diberikan bank harus ada agunan sebagai pengamanan karena setiap kredit mengandung risiko.
58
Prinsip kehati-hatian
Pasal 11:
Pasal ini mengatur mengenai bank dalam memberikan kredit, pemberian jaminan,penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa untuk debitur kelompok atau perusahaan dalam kelompok bank tersebut ataupun yang tidak pada kelompok tersebut harus membatasi jumlahnya. Pembatasan ini disebut Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Filosofi pengaturan ini agar bank tidak gegabah dalam memberikan fasilitas kredit atau hal ini yang serupa kepada kelompoknya sendiri atau padadebitur tertentu dengan jumlah yang sangat besar, yang pada akhirnya bila kreditnya bermasalah akan sangat merugikan bank dan pada akhirnya merugikan nasabah penyimpan dana yang selama ini mempercayakan dananya pada bank tersebut,
59
Prinsip kehati-hatian
Gejala memberikan kredit dengan jumlah besar pada satu atau sekelompok debitur sudah sejak lama terjadi, bahkan ada kecurigaan bahwa hal tesebut merupakan suatu skenario yang memang telah dibuat sebelumnya. Sebagai contoh ditutup atau dilikuidasinya Bank BHS tahun 1996 setelah diteliti ternyata BHS memberikan kredit yang sangat besar kepada kelompok (grupnya) untuk pembelian property, kemudian kredit tersebut menjadi macet.
BMPK ini kemudian diatur dalam Surat Keuputan Direksi Bank Indonesia (SKBI) No. 26/21/KEP/DIR dan Suurat Edaran Bank Indonesia (SEBI) No/3/BPPP tanggal 29 Mei 1996 yang menyatakan bahwa:
60
Prinsip kehati-hatian
1.
2. 3.
BMPK bagi satu peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah 20% dari modal bank. BMPK bagi satu kelompok peminjam yang tidak terkait dengan bank adalah 20% dari modal bank. BMPK bagi pihak terkait dengan pihak bank adalah 10% dari modal bank.
Bagi bank yang melanggar BMPK ini akan dikenakan sanksi pidana yaitu hukuman 6 tahun dan denda paling banyak Rp 6.000.000.000,00(enam milyar rupiah).
61
Prinsip kehati-hatian
Pasal 16 sampai 28:
Beberapa pasal ini mengatur perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan bank bahwa dalam mendirikan bank harus diatur secara tegas mengenai kepemilikan bank mengingat bisnis perbankan mengandung prinsip kepercayaan yang diberikan nasabah kepada bank tersebut, oleh sebab itu bagi mereka yang pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan dilarang mendirikan atau turut mendirikan bank. Hal ini diatur dalam SKBI No: 27/118/KEP/DIR dan SEBI No: 27/4/UPPB tanggal 25 Januari 1995 yang mengatur orangorang yang digolongkan dalam Daftar Orang Tercela (DOT) yaitu:
62
Prinsip kehati-hatian
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penggelapan atau manipulasi yang merugikan bank Kolusi dengan nasabah atau pihak lain yang merugikan bank. Transaksi fiktif baik yang dilakukan pada sisi aktiva maupun pasiva. Perselisihan intern yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan. Manipulasi dalam pembukuan atau laporan bank Kerja sama yang naik wajar sehingga salah satu atau beberapa kantornya berdiri sendiri
63
Prinsip kehati-hatian
Pasal 29 ayat (3):
Pasal ini mengatur kewajiban bank untuk menjaga tingkat kesehatannya dan wajib melakukan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Penjabaran dari ketentuan ini adalah bahwa bank dalam menjalankan usaha memiki kewajibankewajiban untuk mempertahankan atau mencapai ratioratio yang dapat mencerminkan kondisi bank tersebut antara lain Capita Adequancy Ratio (CAR) yaitu ratio kecukupan modal minimal 8% apabila suatu bank tidak mencapai CAR 80% maka dapat dipastikan kondisi bank tidak sehat. Terhadap bank-bank yang tidak sehat Bank Indonesia akan melakukan pengawasan secara khusus sekaligus mencarikan solusinya sehingga kondisi tidak sehat menjadi sehat seandainya tidak dapat sehat, maka bank tersebut akan dilikuidasi.
64
Prinsip kehati-hatian
Berbagai pasal yang mengatur masalah kewajiban bank untuk menjalankan ketentuan dalam pasal tersebut memberikan keyakinan bahwa menjalankan usaha di bidang perkreditan termasuk dalam hal ini menyalurkan kredit atau fasilitas yang dipersamakan dengan ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak merugikan bank dan pada akhirnya merugikan nasabah yang seharusnya mendapatkan perlindungan.
65
Prinsip kehati-hatian
Bank Indonesia selaku otoritas perbankan sangat peduli terhadap pengaturan perbankan, baik tentang persyaratan yang harus dipenuhi dalam mengajukan izin usaha (antara lain syarat kecukupan modal, fit and proper test terhadap pemegang saham pengendali, pengurus dan pejabat eksekutif, Daftar Orang Tercela terhadap orang-orang yang tidak dapat menjadi pemegang saham dan atau pengurus bank) maupun penetapan ketentuan yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usaha bank misalnya Batas Maksimum Pemberian Kredit, Penyisihan Aktiva Produktif, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif, Posisi Devisa Neto, dsb).
66
Prinsip kehati-hatian
Alasan klasik perlunya pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan didasarkan pada empat pertimbangan utama : a. Pentingnya posisi bank dalam sistem keuangan, terutama dalam sistem pembayaran dan kliring, b. Sistem perbankan merupakan suatu sistem yang berpotensi menimbulkan bahaya, berkenaan dengan operasional perbankan, c. Sifat dari perjanjian bank, d. Moral hazard yang timbul dari peranan perbankan sebagai the lender of the last resort perlu diantisipasi secara terus menerus oleh pemerintah (contoh dalam transaksi pasar uang bank dapat menjadi kreditur bagi bank lainnya yang mengalami kekurangan likuiditas).
67
Prinsip kehati-hatian
Bank mempunyai posisi yang penting dalam ekonomi karena dua alasan utama, pertama bank merupakan satu-satunya sumber dana bagi sejumlah besar peminjam, lebih penting lagi perbankan mengelola sistem pembayaran. Jika sistem perbankan yang ada membahayakan atau berisiko, maka kekacauan sistem keuangan yang timbul akan lebih serius daripada yang ditimbulkan oleh sektor lain dalam sistem keuangan (misalnya sektor asuransi). Karakter yang spesifik dari kegiatan usaha bank adalah kewajiban bank untuk membayar simpanan masyarakat dalam jumlah pasti namun hal tersebut tergantung pada kinerja dan kualitas asetnya misalnya kredit, surat berharga dan lain-lain yang nilainya tidak pasti.
68
Prinsip kehati-hatian
Apabila bank mengalami kesulitan likuiditas, kemungkinan besar terjadi efek yang menular khususnya apabila suatu bank di-rush (dananya diambil secara besar-besaran) oleh nasabahnya (contoh Bank BCA setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998). Keterkaitan posisi antar bank dalam sistem kliring lebih besar daripada industri lainnya, oleh karena itu kejatuhan suatu bank karena ketidakmampuan bank tersebut untuk membayar kewajibannya dalam pasar uang antar bank, dapat langsung menyebabkan kerugian kepada bank lainnya.
69
Prinsip kehati-hatian
Bahaya yang mungkin timbul, karena bank yang baik sekalipun akan kesulitan untuk menjual kreditnya di pasar sekunder (sekalipun pada beberapa pasar sekunder dapat dilihat kolektibilitas kredit-kredit yang dijual) mengingat pembeli yang potensial akan sulit untuk mengetahui informasi yang spesifik tentang debitur bank. Mengingat pada umumnya nasabah bank tidak dapat melakukan pengawasan yang berkelanjutan terhadap operasional bank mereka, namun skala usaha mereka dalam kegiatan ekonomi cukup penting, maka peranan yang penting dari otoritas pengatur dan pengawas perbankan adalah mengawasi tindak tanduk dari bank secara efektif dan efisien.
70
Prinsip kehati-hatian
Dalam kenyataannya nasabah bank mendelegasikan tugas untuk mengawasi lembaga keuangan tersebut kepada otoritas perbankan, oleh karena itu dalam beberapa kasus, otoritas perbankan dapat dianggap sebagai pemberi jasa pengawasan perbankan kepada nasabah. Pada umumnya perlindungan nasabah merupakan hal yang terpenting yang dipertimbangkan oleh otoritas perbankan. Hal ini merupakan isu yang spesifik yagn terkandung dalam hubungan antara perbankan dan nasabah bank.
71
Prinsip kehati-hatian
Tujuan utama dari pengaturan perbankan adalah untuk melindungi sistem keuangan dari ketidakstabilan sistem yang mungkin terjadi. Karakteristik dari neraca bank yang terdiri dari kewajiban yang pasti dalam jangka pendek dan aset dalam jangka panjang dengan nilai yang tidak pasti (contoh kredit dan surat berharga) . Di samping itu bermacam-macam dan besarnya keterkaitan antar bank membuat perbankan sangat rentan terhadap efek menular yang terjadi dari kegagalan operasional suatu bank.
72
Prinsip kehati-hatian
Berkenaan dengan hal tersebut di atas tiga alasan utama perlunya pemerintah mengatur sektor publik seperti industri perbankan adalah : 1. Untuk melindungi nasabah bank dari kekuatan monopolistik, 2. Untuk melindungi nasabah yang lebih kecil atau yang bergerak di sektor retail yang pada umumnya kurang mendapat informasi yang cukup, 3. Untuk memastikan terciptanya kestabilan sistem keuangan.
73
Prinsip kehati-hatian
Perlindungan kepada nasabah timbul dari dua alasan (1) karena lembaga keuangan dimana masyarakat menyimpan dananya bangkrut atau pailit atau gagal melaksanakan usahanya, (2) karena adanya tingkah laku perusahaan yang merugikan nasabah. Bangkrutnya lembaga keuangan akan menimbulkan efek yang merugikan kestabilan sistem keuangan dan menyebabkan hilangnya kepercayaan nasabah penyimpanan dana.
74
Prinsip kehati-hatian
Mengingat dampak dari bangkrutnya lembaga perbankan terhadap nasabahnya dan bagi kestabilan sistem keuangan menyebabkan otoritas pengatur perbankan harus peduli terhadap peraturan kehati-hatian antara lain tentang ketentuan-ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit, Kualitas Aktiva Produktif, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif, Pemantauan Likuiditas Bank, Posisi Devisa Neto.
75
Prinsip kehati-hatian
Prinsip kehati-hatian dan pengaturan sistemik hampir serupa, namun pengaturan sistemik lebih ditujukan kepada keamanan dan kesehatan lembaga keuangan itu sendiri, sedangkan prinsip kehati-hatian lebih ditujukan kepada keamanan dan kesehatan lembaga keuangan tersebut dalam kaitannya dengan perlindungan nasabah khususnya kerugian nasabah yang timbul ketika institusi tersebut bangkrut, walaupun tidak menimbulkan dampak terhadap sistem keuangan.
76
Prinsip kehati-hatian
Pengaturan ketentuan kehati-hatian dan pelaksanaan pengawasan serta pemeriksaan perbankan dilaksanakan karena nasabah tidak berada dalam posisi untuk menilai dan mengetahui keamanan serta kesehatan dari banknya serta tidak memiliki informasi yang lengkap tentang kegiatan usaha lembaga keuangannya.
Hal tersebut perlu dilaksanakan sekalipun nasabah dapat menuntut kompensasi pembayaran dana yang disimpan di banknya deposit insurance fund atau penjaminan pemerintah dalam hal banknya dilikuidasi.
77
Prinsip kehati-hatian
Berikut ini diuraikan beberapa ketentuan kehati-hatian yang ditetapkan oleh Bank Indonesia : Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank UMUM. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/147/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/148/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Pembentukan Penyisihan Pancadangan Aktiva Produktif
78
dalam industri perbankan, semenjak lahirnya UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undangundang No. 25 Tahun 2003 (selanjutnya disebut UU TPPU). Saat ini ada semacam paradigma baru dari masyarakat perbankan internasional untuk tidak melakukan transaksi dengan menggunakan fasilitas perbankan yang tidak atau belum memiliki ketentuan KYC atau belum menerapkan ketentuan KYC.
79
Prinsip KYC ini di dalam menjalankan kegiatan usahanya, tidak mustahil transaksi ekport impor hanya akan dilakukan melalui Bank-bank Asing yang ada di Indonesia. Mengapa demikian, karena Bank-bank di Indonesia diragukan kredibilitasnya karena belum menerapkan prinsip KYC ini di dalam kegiatan bisnisnya. Menyadari akan kecenderungan tersebut, Pemerintah melahirkan UU No.15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun baru berumur satu tahun sudah harus diubah karena harus menyesuaikan dengan perkembangan dunia perbankan internasional khususnya dalam kaitannya dengan persoalan money laundering.
80
Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor : 3/10/PBI/2001 Tentang Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah yang kemudian diubah dengan PBI Nomor : 3/23/PBI/2001. Setelah keluarnya UU TPPU , PBI tersebut di atas diubah lagi dengan PBI Nomor : 5/21/PBI/2003 Tentang Perubahan Kedua Atas PBI Nomor : 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Kemudian Bank Indonesia juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor : 5/32/DPNP, Tanggal : 4 Desember 2003 Kepada Semua Bank Umum di Indonesia perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 3/29/DPNP perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, selanjutnya disebut SEBI No :5/2003.
81
untuk mencermati, dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan jika terdapat transaksi yang di duga mencurigakan. Tujuan penerapan KYC adalah untuk mengenal profil dan karakter transaksi nasabah sehingga secara dini bank dapat mengidentifikasikan tarnsaksi yang diduga mencurigakan tersebut, untuk meminimalisasi operasional risk, legal risk, concentration risk dan reputasional risk. Prinsip mengenal nasabah atau KYC Priciple , tidak sekedar berarti mengenal nasabah secara harafiah.
82
mengenal nasabah secara harafiah. Prinsip KYC menginginkan informasi lebih menyeluruh di samping jati diri atau identitas nasabah, juga hal-hal yang berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah yang dilakukan melalui jasa perbankan. Oleh sebab itu, dari segi operasional perbankan, barangkali bukan pekerjaan yang mudah untuk melaksanakan prinsip KYC ini.
83
kepada nasabah baru maupun lama tentang asal dana atau sumber dana yang dimilikinya yang disimpan atau akan disimpan di bank tertentu, tanpa membuat dia tersinggung atau terganggu privacynya, bukan pekerjaan mudah. Salah-salah bisa membuat nasabah tersinggung dan memindahkan dananya ke sarana investasi yang lain. Dengan demikian, penerapan KYC memerlukan seni dan sekaligus etika, karena pekerjaan ini telah memasuki wilayah yang sangat sensitif yaitu dekat dengan privacy seseorang nasabah atau calon nasabah bank.
84
Consultative Document: Customer Due Deligence for Banks, disebutkan bahwa saat ini pengawas bank di hampir seluruh dunia menyadari pentingnya due deligence terhadap nasabah baru dan nasabah yang telah ada pada banknya, agar menghindari banknya digunakan sebagai sarana tindak kejahatan. Oleh karena itu, Basel Committee telah mengembangkan rekomendasi yang memberikan basic framework untuk bank. Rekomendasi inilah yang selanjutnya dikembangkan sebagai Know Your Costumer ( KYC ) Principles ( R. Maulana Ibrahim, Deputi Gubernur Bank Indonesia, dalam : Pengembangan Perbankan, Edisi MeiJuni No.95. 2002 ).
85
prinsip KYC yang kurang sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan risiko perbankan yang terkait dengan penilaian masyarakat, nasabah atau mitra transaksi bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum dan risiko konsentrasi.
86
Prosedur Penerimaan Calon Nasabah Bank Dalam Rangka Penerapan Prinsip KYC
Berdasarkan Lampiran Surat Edaran Bank
Indonesia Nomor : 5/32/DPNP Tanggal 4 Desember 2003 kepada Semua Bank Umum di Indonesia perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 3/29/DPNP perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, selanjutnya disebut SEBI No.5/2003, pada Bab III huruf A Angka 1 dan 2, huruf B angka 2 dan huruf C, diatur tentang prosedur penerimaan nasabah sebagai berikut.
87
Prosedur Penerimaan Calon Nasabah Bank Dalam Rangka Penerapan Prinsip KYC
1. Prosedur Penerimaan Nasabah
2.
3.
4.
5.
Perorangan Prosedur Penerimaan Nasabah Perusahaan Prosedur Identifikasi dan Verifikasi Prosedur Persetujuan Penerimaan Calon Nasabah Beneficial Owner
88
89
90
91
94
95
96
yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah perorangan; hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan bertindak sebagai perantara; pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perorangan
97
yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah perusahaan, kecuali lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan negara asing; hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan bertindak sebagai perantara; dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan; dokumen identitas pemegang saham pengendali perusahaan.
pernyataan dari calon nasabah bahwa telah dilakukan penelitian terhadap kebenaran identitas maupun sumber dana dari beneficial owner perusahaan.
98
102
B. Badan Lainnya
1) Yang dimaksud dengan badan lainnya antara lain partai politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), yayasan atau organisasi lainnya. 2) Pengisian formulir standar yang ditetapkan oleh Bank sekurang-kurangnya mencakup informasi tentang:
a) izin usaha atau izin lainnya atau akte/dokumen pendirian atau pengesahan dari instansi yang berwenang; b) pihak yang ditunjuk bertindak untuk dan atas nama badan dimaksud. Khusus nama dan spesimen tandatangan harus dibuktikan dengan identitas berupa KTP, paspor atau SIM. Sedangkan kuasa untuk bertindak atas nama badan dibuktikan dengan surat kuasa dari pimpinan atau pengurus yang sah;
105
B. Badan Lainnya
c) alamat badan dimaksud; d) keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana; e) NPWP (apabila ada).
3) Apabila diperlukan Bank dapat meminta informasi lain berupa keterangan mengenai bidang kegiatan, laporan keuangan, struktur manajemen dan identitas pengurus yang berwenang mewakili badan dimaksud.
106
107
A. Nasabah Perorangan
a. Meneliti kebenaran dokumen dan mengidentifikasi adanya kemungkinan hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan. b. Menatausahakan fotokopi dokumen setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli yang sah. c. Melakukan pertemuan dengan calon nasabah sebelum pembukaan rekening tersebut disetujui bagi calon nasabah yang menggunakan media elektronis, telepon dan surat menyurat. Pertemuan Bank dengan calon nasabah dapat dilakukan melalui petugas khusus atau pihak lain yang mewakili Bank untuk meyakini identitas calon nasabah dan menilai kewajaran informasi yang diberikan oleh calon nasabah.
108
A. Nasabah Perorangan
d. Melakukan pengecekan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon nasabah. e. Melakukan verifikasi yang lebih ketat (extensive due dilligence) terhadap calon nasabah yang berasal dari negara yang diklasifikasikan sebagai High Risk Countries atau negara yang belum/tidak menerapkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah. f. Melakukan verifikasi yang lebih ketat (extensive due dilligence) terhadap calon nasabah High Risk Business yaitu bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana pencucian uang. g. Melakukan verifikasi yang lebih ketat (extensive due dilligence) terhadap calon nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi termasuk penyelenggara negara (High Risk Customer). 109
B. Nasabah Perusahaan
a. Meneliti kebenaran dokumen dan mengidentifikasi adanya kemungkinan hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan. b. Menatausahakan fotokopi dokumen setelah dilakukan pencocokan dengan dokumen asli yang sah. c. Melakukan pertemuan dengan calon nasabah sebelum pembukaan rekening tersebut disetujui bagi calon nasabah yang menggunakan media elektronis, telepon dan surat menyurat. Pertemuan Bank dengan calon nasabah dapat dilakukan melalui petugas khusus atau pihak lain yang mewakili Bank untuk meyakini identitas nasabah, dan mempertimbangkan kewajaran informasi yang diberikan oleh nasabah. d. Melakukan pengecekan silang untuk memastikan adanya konsistensi dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon nasabah.
110
B. Nasabah Perusahaan
e. Melakukan verifikasi yang lebih ketat (extensive due dilligence) terhadap calon nasabah yang berasal dari negara yang diklasifikasikan sebagai High Risk Countries atau negara yang belum/tidak menerapkan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah. f. Melakukan verifikasi yang lebih ketat (extensive due dilligence) terhadap calon nasabah High Risk Business yaitu bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana pencucian uang. g. Melakukan verifikasi yang lebih ketat (extensive due dilligence) terhadap calon nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi (High Risk Customer), termasuk perusahaan milik pejabat penyelenggara negara, shell companies dan trust company. h. Mempertimbangkan kewajaran informasi berkaitan dengan bidang usaha perusahaan, laporan keuangan, deskripsi kegiatan usaha, profil transaksi, omset usaha, lokasi perusahaan dan lain sebagainya.
111
5. Beneficial Owner
benficial owner adalah pemberi kuasa pembukaan
rekening pada suatu bank. Adapun penelitian atas Beneficial Owner - Peorangan, meliputi : Informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan nasabah perorangan. Hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan bertindak sebagai perantara. Pernyataan dari calon nasabah bahwa dilakukan penelitian terhadap kebenaran identias maupun sumber dana dari beneficial owner perorangan.
113
Transaksi Mencurigakan
Ada beberapa Pasal di dalam UUTPPU dan peraturan perundangan yang terkait yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan transaksi mencurigakan itu, yang dalam rangka penerapan prinsip KYC harus diteliti, dicermati dan dilaporkan oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau PPATK. Pasal-pasal di dalam UU TPPU tersebut adalah Pasal 1 angka 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13 beserta penjelasannya, Pasal 14 dan Pasal 17 dengan Penjelasannya pada ayat (1) dan (4). Kesemuanya akan dikutip dibawah ini :
114
Transaksi Mencurigakan
Pasal-pasal di dalam UU TPPU tersebut adalah : Pasal 1 angka 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 13 beserta penjelasannya, Pasal 14 dan Pasal 17 dengan Penjelasannya pada ayat (1) dan (4).
115
Transaksi Mencurigakan
Pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan :Transaksi keuangan mencurigakan adalah: a. transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau c. transaksi keuangan yang dilakukn atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
116
Transaksi Mencurigakan
Pasal 8 menyebutkan : Penyedia Jasa Keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud Pasal 13 Ayat (1), dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp. 250.000,000,-- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-- (satu miliar rupiah) .
117
Transaksi Mencurigakan
Pasal 9 menyebutkan :Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
118
Transaksi Mencurigakan
Pasal 11 menyebutkan : (1) Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III, pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
119
Transaksi Mencurigakan
Pasal 13 menyebutkan : (1) Penyedia jasa keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut:
a. Transaksi keuangan mencurigakan; b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif besar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. (1a) Perubahan besarnya transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.
120
Transaksi Mencurigakan
(2) Penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. (3) Penyampaian laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
121
Transaksi Mencurigakan
(4) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan. (5) Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi transaksi antar bank, transaksi dengan pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan penyedia jasa keuangan yang disetujui oleh PPATK.
122
Transaksi Mencurigakan
Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf a menyebutkan: Pada dasarnya transaksi keuangan mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari transaksi keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut: 1) tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas; 2) menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran; 3) aktivitas transaksi keuangan nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran.
123
Transaksi Mencurigakan
Penjelasan Pasal 13 ayat (2) menyebutkan : Ketentuan ini dimaksudkan agar penyedia jasa keuangan dapat sesegera mungkin melaporkan transaksi keuangan mencurigakan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku pencucian uang dapat segera dilacak. Unsur transaksi keuangan mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf b, dan huruf c.
124
Transaksi Mencurigakan
Penjelasan Pasal 13 ayat (5) menyebutkan : Yang dimaksud dengan transaksi lainnya adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket. Selain berdasarkan jenis transaksi, PPATK menetapkan transaksi lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah transaksi, bentuk penyedia jasa keuangan tertentu, atau wilayah kerja penyedia jasa keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu tertentu (temporer).
125
Transaksi Mencurigakan
Pasal 14 menyebutkan: Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh penyedia jasa keuangan yang berbentuk bank, dikecualikan dari ketentuan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai erahasia bank. Pasal 17 menyebutkan : (1) Setiap orang yang melakukan hubungan usaha dengan penyedia jasa keuangan wajib memberikan identitasnya secara lengkap dan akurat dengan mengisi formulir yang disediakan oleh penyedia jasa keuangan dan melampirkan dokumen yang diperlukan. (2) Penyedia jasa keuangan wajib memastikan pengguna jasa keuangan bertindak untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
126
Transaksi Mencurigakan
(3) Dalam hal pengguna jasa keuangan bertindak untuk orang lain, penyedia jasa keuangan wajib meminta informasi mengenai identitas dan dokumen pendukung dari pihak lain tersebut. (4) Bagi penyedia jasa keuangan berbentuk bank, identitas dan dokumen pendukung yang diminta dari pengguna jasa keuangan harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Pengguna jasa keuangam wajib menyimpan catatan dan dokumen mengenai identitas pengguna jasa keuangan sampai dengan 5 (lima) tahun sejak berakhirnya hubungan usaha dengan pengguna jasa keuangan tersebut.
127
Transaksi Mencurigakan
Penjelasan Pasal 17 ayat (1) menyebutkan : Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi penegak hukum melakukan pelacakan terhadap nasabah apabila dikemudian hari terdapat dugaan bahwa yang bersangkutan melakukan tindak pidana pencucian uang. Selain itu, ketentuan tersebut juga sejalan dengan kesepakatan internasional yang menginginkan agar setiap negara memiliki ketentuan yang melarang pembukaan rekening tanpa identitas yang jelas dari nasabah. Yang dimaksud dengan identitas yang lengkap dan akurat antara lain menyebutkan nama, alamat, jenis kelamin, umur, agama dan pekerjaan. Hubungan usaha dengan penyedia jasa keuangan dalam ketentuan ini termasuk pembukaan rekening, pengiriman dana melalui transfer, penguangan cek, pembelian traveller cheques, pembelian dan penjualan valuta asing, penitipan, dan penggunaan jasa keuangan lainnya.
128
Transaksi Mencurigakan
Penjelasan Pasal 17 ayat (4) menyebutkan: Yang dimaksud dengan peraturan perundangundangan pada saat ini adalah Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 tentang Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/23/PBI/2001 dan peraturan pelaksanaannya.
129
Transaksi Mencurigakan
Perlu dijelaskan di sini bahwa PBI No.3/23/PBI/2001 tersebut telah diubah dengan PBI Nomor : 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 Tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) (selanjutnya disebut dengan PBI 5/2003) .
130
Transaksi Mencurigakan
Adapun Pasal-pasal yang berkaitan dengan Penerapan Prinsip KYC di dalam PBI No.5/2003 tersebut adalah Pasal 14, Pasal 17 dan Pasal 18 ayat (1) dan (1a), sebagai berikut :
131
Transaksi Mencurigakan
Pasal 14 menyebutkan :
(1) Bank wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Bank mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5. (2) Penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
132
Transaksi Mencurigakan
Pasal 17 menyebutkan : Bank wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah terhadap Nasabah yang tidak memiliki rekening di Bank dalam hal nilai transaksi yang dilakukan melebihi Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara dengan itu.
133
Transaksi Mencurigakan
Pasal 18 ayat (1) dan (1a) menyebutkan : (1) Bank yang terlambat menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dan huruf c serta laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 berupa kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)per hari keterlambatan dan setinggi-tingginya Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
134
Transaksi Mencurigakan
(1a) Bank yang tidak menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b dan c serta laporan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi adminstratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dan huruf b Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
135
Transaksi Mencurigakan
Berdasarkan Keputusan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: 3/9/KEP. PPATK/2004 tentang Transaksi Keuangan Tunai Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Pelaporan (selanjutnya disebut dengan Keputusan Kepala PPATK 3/2004) pada Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 7 diatur transaksi-transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagai berikut :
136
Transaksi Mencurigakan
Pasal 3 menyebutkan : Transaksi Keuangan Tunai yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan adalah:
a. b. c. d. e. f. transaksi antar bank; transaksi dengan Pemerintah; transaksi dengan Bank Sentral; pembayaran gaji, pembayaran pensiun; dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang disetujui oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
137
Transaksi Mencurigakan
Pasal 6 menyebutkan: PJK dapat mengajukan permintaan pengecualian kewajiban pelaporan Transaksi Keuangan Tunai kepada Kepala PPATK.
138
Transaksi Mencurigakan
Pasal 7 menyebutkan : Kriteria Transaksi Keuangan Tunai yang dapat diajukan oleh PJK kepada KepalaPPATK untuk dikecualikan dari kewajiban pelaporan adalah sebagai berikut: a. Transaksi Keuangan Tunai dilakukan oleh nasabah yang telah menjadi nasabah PJK sekurangkurangnya 6 (enam) bulan secara terus menerus; b. Transaksi Keuangan Tunai yang merupakan transaksi rutin yaitu transaksi yang dilakukan secara harian, mingguan atau bulanan; dan c. Transaksi Keuangan Tunai yang terkait secara langsung dengan kegiatan usaha nasabah dan sesuai dengan karakteristik usaha yang umumnya dilakukan secara tunai.
139
140
Indikator tersebut di dalam praktik sering disebut sebagai red flag atau bendera merah yang merupakan simbol atau tanda bahwa dengan munculnya indikator tersebut berarti ada sesuatu yang mencurigakan yang wajib dicermati secara lebih mendalam oleh karyawan atau petugas bank dalam rangka penerapan prinsip-prinsip perbankan yang sehat. Dari indikator sebagaimana disebutkan di atas, memang harus diakui bahwa indikator transaksi mencurigakan itu masuk dalam kategori norma kabur atau blanket norm. Apa ukuran bahwa transaksi itu normal atau tidak, transaksi itu wajar atau tidak, lazim atau tidak sangat tergantung dari keyakinan bank untuk meneliti sedemikian seksama dikaitkan dengan profil nasabah yang bersangkutan.
141
Misalnya, jika keseharian transaksi yang dilakukan seorang nasabah bank tertentu lazimnya atau biasanya hanya berkisar Rp.10.000.000,-- ( sepuluh juta ), tiba-tiba melakukan transaksi yang bernilai 1.000.000.000,-- ( satu miliar ), maka menurut pendangan kami transaksi tersebut sudah patut dicurigai sebagai transaksi yang tidak normal atau tidak wajar, yang berarti masuk kategori transaksi mencurigakan menurut UU TPPU. Di sinilah peran penting bank atau karyawan bank dalam rangka pelaksanaan prinsip KYC dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU TPPU.
142
Berhasil tidaknya penerapan prinsip KYC dalam kaitannya dengan pelaksanaan UU TPPU sangat digantungkan kepada keyakinan bank atau karyawan bank dalam mendeteksi transaksi-transaksi mencurigakan yang terjadi di lingkungan banknya. Keyakinan itu sesuatu yang sangat subyektif, erat kaitannya dengan moral, kejujuran, spiritualitas seseorang. Hal ini merupakan tantangan bagi setiap bankir.
143
144
3. Mengkaji langkah 1, 2 tersebut di atas dan kemudian mengambil keputusan ada tidaknya transaksi yang mencurigakan yang wajib dilaporkan.
145
146
148
b.
c.
d.
150