You are on page 1of 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian Terdahulu 1. Telah diteliti oleh Bambang Subagiyo dengan judul Hubungan pencahayaan di perumahan penduduk terhadap kejadian penyakit ISPA di Baturetno, Wonogiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 189 anggota keluarga yang diambil dari 65 kepala keluarga yang dijadikan responden terdapat 129 anggota keluarga yang pencahayaan di perumahan memenuhi syarat ternyata 67,2% tidak menderita sakit ISPA, sedangkan 182 anggota keluarga yang tidak sakit ISPA ternyata 67,2% pencahayaan di perumahan penduduk memenuhi syarat. berdasarkan analisis statistik antara pencahayaan di perumahan penduduk terhadap kejadian penyakit ISPA diperoleh nilai p.value 0,022 dengan taraf signifikasi 5%, hal ini menunjukkan hipotesa nol ditolak dan menerima hipotesa alternatif, sehingga ada hubungan yang bermakna pencahayaan di perumahan penduduk terhadap kejadian penyakit ISPA. 2. Telah diteliti oleh Sri Yen Dina dengan judul Studi tentang sanitasi rumah penderita dengan penyakit ISPA di Poncol, Magetan. Dari hasil wawancara dengan menggunakan kuesioner diperoleh hasil pengetahuan yang kurang sebanyak 62% sehingga masyarakat tidak mengetahui tentang penyakit ISPA, sikap dengan kategori baik sebanyak 74%, tindakan dengan kategori cukup sebanyak 84%, perilaku dengan kategori kurang sebanyak 61% dan lubang asap dapur dengan kategori kurang sebanyak 50% pengambilan sampel yang digunakan yaitu secara acak. Dari hasil penilaian kebersihan rumah dan sanitasi rumah di Desa Poncol Kecamatan Poncol Kabupaten Magetan termasuk dalam kriteria cukup, perilaku penderita di Desa Poncol Kecamatan Poncol Kabupaten Magetan termasuk dalam kategori kurang.

3. Telah diteliti oleh Aning Gunarni dengan judul Studi tentang sanitasi rumah dan kejadian ISPA pada balita di Kedunggalar, Ngawi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 86 rumah di Desa Gemarang kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi didapat hasil bahwa kebersihan lingkungan kotor (72,1%), kebersihan dalam rumah kotor (65,1%), rumah yang tidak memiliki lubang asap dapur (63,9%), lantai rumah masih tanah (52,3%), luas ventilasi rumah kurang dari 10% luas lantai (44,2%), rumah tidak padat huni (88,4%), kandang jadi satu dengan rumah (59,3%), kondisi sanitasi rumah dikategorikan cukup (66,3%), balita sakit (16,3%) dan balita yang tidak sakit (83,7%), kondisi sanitasi rumah balita sakit dikategorikan baik (0%). Oleh karena itu perlu peningkatan pengetahuan masyarakat tentang sanitasi rumah dengan mengikuti kader kesehatan. 4. Telah diteliti oleh Sumarsih dengan judul Studi tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit scabies di Pon. Pes. Annuqoyah GulukGuluk, Sumenep. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit scabies, dipengaruhi oleh faktor perilaku dan lingkungan pesantren. Perilaku responden sebagian besar baik (90,8%) dan untuk pengetahuan responden sebagian besar baik (73,0%), sikap responden baik (95,7%), tindakan responden baik (82,8%), kondisi kamar dan halaman baik sedangkan ketersediaan air bersih tidak memenuhi syarat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, perlu diadakannya perbaikan dan peningkatan fasilitas-fasilitas yang ada di asrama pesantren guna menunjang kesehatan santriwati dan untuk memutus rantai penularan penyakit scabies.

B. Telaah Pustaka Lain yang Sesuai 1. ISPA a. Pengertian ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura. (Amas, N., 2011) Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007). Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang. (Syair, Abdul., 2009) b. Tanda-tanda penyakit ISPA Tanda-tanda/gejala awal penyakit ISPA yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. (Syair, Abdul., 2009) Penderita yang positif ISPA adalah mereka yang ditandai dengan serangan mendadak dengan demam menggigil, nyeri pleural, dyspnea, tachhypnea, batuk produktif dengan dahak kemerahan serta lekositosis. Serangan ini biasanya tidak begitu mendadak, khususnya pada orang tua dan hasil foto toraks mungkin memberi gambaran awal

adanya pneumonia. Pada bayi dan anak kecil, demam, muntah dapat merupakan gejala awal penyakit. (Environmentalsanitation, 2009) Penyakit ISPA pada anak dapat menimbulkan bermacammacam tanda dan gejala seperti batuk, kesulitan bernafas, sakit tenggorokan, pilek, sakit telinga dan demam. (Chapter II) c. Klasifikasi penyakit ISPA Dalam Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA Untuk Kader, Depkes RI (1992) disebutkan bahwa: Penyakit ISPA mencakup saluran napas bagian atas dan saluran napas bagian bawah, ISPA bukan hanya mencakup infeksi saluran pernapasan atas saja. Beberapa penyakit yang termasuk ISPA adalah: 1) Infeksi Saluran Pernapasan atas Akut (ISPaA) Pilek Otitis Media Faringitis (WHO, 2002) Pada keadaan tertentu, ISPA dapat mengancam kehidupan (misal faringitis streptokokus dan demam reumatik akut), dan beberapa ISPA sendiri berpotensi mengancam kehidupan (misal difteri). Infeksi saluran pernafasan atas meliputi proses radang akut yang melibatkan hidung, sinus paranasal, ruang telinga tengah, orofaring dan tonsil, jaringan peritonsiler atau retrofaring, dan daerah laringo-epiglotis. Banyak ISPA yang mengakibatkan daerah anatomi yang tumpang tindih. Namun, adalah penting bagi dokter mengenali tempat-tempat patologi primer agar dapat menyimpulkan dengan tepat agen etiologi mana yang paling mungkin. Mungkin ada keterlibatan terapeutik untuk mengenali tempat infeksi; misalnya, radang epiglottis (epiglotitis) pada anak sebenarnya selalu

disebabkan oleh Haemophilus influenza, dan laringotrakeobronkitis hampir selalu penyebabnya virus. (Shulman, Phair, dan Sommers, 1994:106-107)

2) Infeksi Saluran Pernapasan bawah Akut (ISPbA) Epiglotitis Laringitis Laringotrakeitis Bronkitis Bronkiolitis Pneumonia (WHO, 2002) Infeksi saluran pernapasan bawah sangat mudah terkena infeksi oleh bermacam-macam mikroorganisme karena ia adalah salah satu dari sistem organ yang berhubungan langsung dengan lingkungan. Fungsi fisiologinya, yaitu sebagai alat pertukaran gas, dapat berakibat pemaparan terhadap bakteri, jamur, virus dan agenagen lain yang mempunyai sifat patogen. Lagipula seluruh persendian darah harus lewat melalui anyaman kapiler paru, dan infeksi yang ikut darah, dapat menimbulkan infeksi sekunder pada saluran pernafasan bawah. Saluran pernafasan bawah, terdiri atas cabang-cabang bronkus, parenkima paru dan pleura, dapat merupakan lokus infeksi yang menyajikan kompleks gejala dengan bermacam-macam tanda-tanda fisik yang serupa atau sangat berbeda. Penderita dengan infeksi saluran pernafasan bawah biasanya datang dengan tanda dan gejala yang berkenaan dengan dada. Demam dan batuk adalah dua keluhan yang paling menonjol. Dengan keterlibatan pleura, didapatkan nyeri dada. Pemeriksaan fisik memberikan bukti keterlibatan paru, radang bronkus, atau adanya cairan pleura. Dasar diagnosis adalah radiografi dada (sinarx) dan pemeriksaan mikroskopis serta biakan sputum yang diriakkan atau cairan pleura jika ada. (Shulman, Phair, dan Sommers, 1994:174) Sebagian besar dari infeksi saluran pernafasan bawah adalah akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, dan sebagian 9

mikroorganisme yang menimbulkannya mula-mula mengkolonisasi epitel hidung dan faring. kolonisasi adalah hasil dari interaksi molekul permukaan pada mikroorganisme. Setiap mikroorganisme bila diberi lingkungan dan faktor hopes yang cocok dapat menimbulkan infeksi saluran pernafasan bawah. Namun, pada bakteri, penyebab infeksi saluran pernafasan bawah yang lazim pada orang dewasa normal meliputi Streptcoccus pneumonia, Mycoplasma pneumonia dan Legionella spesies penyabab umum dari pneumonia di masyarakat. Streptokokus group A (S. pyogenes) menimbulkan jangkitan pneumonia pada populasi tertutup seperti asrama calon militer dan asrama sekolah. Staphylococcus aureus dan Haemophylus influenza adalah penyebab pneumonia yang tidak lazim pada orang dewasa kecuali bersama epidemic influenza. Infeksi paru pada organisme ini lebih sering ditemukan pada anak-anak. (Shulman, Phair, dan Sommers, 1994:175-176) d. Penyebab penyakit ISPA Infectious ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Strepcococcus, Stafilococcus, Pneumococcus, Haemophylus,

Bordetella, dan Corynebakterium. Virus penyebab ISPA terbesar adalah virus pernafasan antara lain adalah group Mixovirus

(Orthomyxovirus ; sug group Influenza virus, Paramyxovirus ; sug group Para Influenza virus dan Metamixovirus; sub group Rerpiratory sincytial virus/RS-virus), Adenovirus, Picornavirus, Coronavirus, Mixoplasma, Herpesvirus. Jamur Penyebab ISPA antara lain Aspergilus SP, Candida albicans, Histoplasma. Selain itu ISPA juga dapat disebabkan oleh karena aspirasi : makanan, asap kendaraan bermotor, BBM (Bahan Bakar Minyak) biasanya minyak tanah, benda asing (bijibijian). (Chapter II)

10

Manusia yang berada di lingkungan kumuh dan lembab memiliki resiko tinggi untuk tertular penyakit ini (intervensi dengan pemberian genting kaca dan ventilasi padan rumah sering efektif untuk mengatasi penyakit ini). Secara sederhana penyebab penyakit ISPA sebagai berikut: Bakteri streptococcus pneumoniae (pneumococci) Hemophilus influenza Asap dapur Sirkulasi udara yang tidak sehat Faktor penyebab penyakit ISPA diantaranya tingkat hunian rumah padat, ventilasi rumah/dapur tidak memenuhi syarat dan perilaku. (Environmentalsanitation, 2009) e. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ISPA 1) Perilaku Menurut Soekidjo pada Buku Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar tahun 2003, perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas mencakup: berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti bepikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung. Skinner (1938) seorang ahli perilaku mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon) dan respons. Perilaku manusia itu sangat konpleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Benyamin Bloom (1908) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku itu ke dalam 3 domain

11

(ranah/kawasan).

Pembagian

kawasan

ini

dilakukan

untuk

kepentingan tujuan pendidikan. Bahwa dalam tujuan suatu pendidikan adalah mengembangkan atau meningkatkan ketiga domain perilaku tersebut, yang terdiri dari: ranah kognitif (cognitive domain), ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor (psychomotor domain). Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan, dan untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, ketiga domain ini diukur dari: a) Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Karena dari pengalaman dan penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. b) Sikap (attitude) Sikap adalah merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikolog sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan pre-desposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.

12

c) Praktek atau tindakan practice Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas, orang tua, dll. 2) Lingkungan Lingkungan manusia terdiri atas elemen-elemen yang amat mendasar: udara untuk bernapas, air yang kita minum, makanan yang kita makan, iklim di sekeliling kita dan ruangan untuk gerakan tubuh kita. Sebagai tambahan, kita ini berada dalam lingkungan sosial dan spiritual, yang mempunyai makna yang penting untuk kesehatan mental dan kesehatan fisik kita. Hampir semua penyakit disebabkan atau dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan.

Pemahaman atas cara-cara dari faktor-faktor lingkungan yang spesifik itu dapat mempengaruhi kesehatan mempunyai arti yang amat penting dalam program-program pencegahan. (Beaglehole, Bonita, Kjellstrom., 1997: 192) Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuanga air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media yang baik untuk terwujudnya

13

kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup di dalamnya. (Notoatmodjo, S., 2003:147)

a) Pencahayaan Cahaya yang cukup untuk ruangan-ruangan, baik cahaya alam maupun cahaya buatan, tidak silau, tidak menimbulkan panas yang mengganggu, tidak terganggu bayangan. Sebaiknya cahaya matahari dibiarkan bebas masuk ruangan pada pagi hari. Cahaya matahari di samping berguna untuk menerangi ruangan, mengusir serangga (nyamuk dan tikus), juga dapat membunuh beberapa peyakit menular. Cahaya buatan, dalam hal ini lampu listrik, lampu gas atau lampu minyak digunakan terutama untuk malam hari. Apabila tidak diperlukan sama sekali hendaknya jangan dibiasakan menggunakan lampu-lampu ini pada siang hari, apalagi di ruangan tertutup, karena di samping pemborosan yang tak ada gunanya, juga kurang sehat, lebih baik menggunakan cahaya alam melalui jendela. (Suyono, 1985: 5) b) Ventilasi Lubis, P (1985:56-57) menyatakan bahwa ventilasi ialah suatu usaha untuk memelihara kondisi atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Selain untuk pergantian hawa, menurut Suyono (1985:8) udara segar juga diperlukan untuk menjaga temperature dan kelembaban dalam ruangan. c) Kepadatan hunian Menurut Sundstrom (dalam Wrightsman & Deaux, 1981) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling, 1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia

14

pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono,1992). (Rhiedha, 2011) Kepadatan (over crowding) menimbulkan efek-efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental maupun moral. Penyebaran penyakit-penyakit menular di rumah yang padat penghuninya cepat terjadi. (Lubis, P., 1985) d) Suhu Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat untuk mengukur suhu cenderung menggunakan indera peraba. Tetapi dengan adanya perkembangan teknologi maka

diciptakanlah termometer untuk mengukur suhu dengan valid. (Alljabbar, 2008) Kemampuan agent penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah suatu faktor penting di dalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit mempunyai habitat sendiri-sendiri, sehingga ia dapat tetap hidup. (Notoatmodjo, S., 2003) Suhu yang rendah menyebabkan kelembaban tinggi. Dalam kondisi ini akan memudahkan virus penyakit

berkembangbiak dengan baik. e) Kelembaban Definisi kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air di atmosfer. Udara atmosfer adalah campuran dari udara kering dan uap air. (Stasiun meteorologi Ahmad Yani Semarang, 2009) Kelembaban yang tinggi menyebaban kondisi lembab. Sedangkan kondisi lembab adalah tempat yang baik untuk perkembangbiakan virus penyakit.

15

f) Kebersihan kamar Kebersihan pencegahan merupakan menular, faktor di utama samping dalam juga usaha untuk

penyakit

meningkatkan moral. Permukaan lantai di dalam rumah sebaiknya rata dan tidak membentuk kantong-kantong tempat debu/kotoran terkumpul. (Pandapotan, Lubis., 1985: 40) 3) Faktor individu a) Keturunan Menurut Amas, N. (2011), ISPA memang bukan penyakit keturunan namun adakalanya ISPA disebabkan oleh alergi yang merupakan penyakit keturunan. b) Daya tahan tubuh ISPA banyak diderita oleh anak-anak karena mekanisme pertahanan tubuh (daya tahan tubuh) anak masih rentan dibanding mekanisme pertahan tubuh orang dewasa yang sudah kuat. (Amas, N., 2011) c) Umur Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya ISPA. Oleh sebab itu kejadian ISPA pada bayi dan anak balita akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang dewasa. Kejadian ISPA pada bayi dan balita akan memberikan gambaran klinik yang lebih berat dan jelek, hal ini disebabkan karena ISPA pada bayi dan anak balita umumnya merupakan kejadian infeksi pertama serta belum terbentuknya secara optimal proses kekebalan secara alamiah. Sedangkan orang dewasa sudah banyak terjadi kekebalan alamiah yang lebih optimal akibat pengalaman infeksi yang terjadi sebelumnya. (Chapter II) d) Jenis kelamin Berdasarka hasil penelitian dari berbagai negara termsuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah, dilaporkan berbagai

16

faktor risiko yang meningkatkan insiden ISPA adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki. (Chapter II)

f. Pengendalian, penyakit ISPA 1) Pengendalian

pencegahan,

penanggulangan,

dan

pemberantasan

Langkah-langkah pengendalian dapat diarahkan langsung ke sumber infeksi dan penyebaran infeksinya, dan dimaksudkan untuk melindungi orang-orang yang terpapar oleh paparan tersebut. Sebuah komponen esensial yang merupakan bagian dari langkah-langkah pengendalian adalah memberi tahu orang-orang yang bergerak di bidang kesehatan dan masyarakat luas tentang adanya

kecenderungan dari penyebab-penyebab, risiko menderita penyakit, dan langkah-langkah pengendalian yang esensial. Bonita, Kjellstrom., 1997: 172) 2) Pencegahan Menurut Noor pada Buku Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular tahun 1997, pengertian pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian. Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum, yakni: a) Pencegahan tingkat pertama Sasaran pencegahan tingkat pertama ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan serta faktor pejamu. (1) Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuan untuk mengurangi penyebab atau menurunkan pengaruh penyebab serendah mungkin. Usaha untuk menguragi/ manghilangkan sumber penularan dapat dilakukan melalui pengobatan penderita serta pemusnahan sumber yang ada, serta mengurangi/menghindari perilaku yang dapat ( Beaglehole,

meningkatkan risiko perorangan dan masyarakat.

17

(2) Mengatasi/modifikasi

lingkungan

melalui

perbaikan

lingkungan fisik, perbaikan dan peningkatan lingkungan biologis, serta peningkatan lingkungan sosial seperti

kepadatan, hubungan antarindividu dan kehidupan sosial masyarakat. (3) Meningkatkan daya tahan pejamu serta usaha menghindari pengaruh faktor keturunan, dan peningkatan ketahanan fisik melalui peningkatan status gizi, serta olah raga kesehatan. b) Pencegahan tingkat kedua Sasaran pencegahan ini terutama ditujukan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan usaha pencegahan tingkat kedua ini yang meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah terjadinya akibat samping atau komplikasi. c) Pencegaha tingkat ketiga Sasaran pencegahan tingkat ketiga adalah penderita penyakit tertentu dengan tujuan mencegah jangan sampai mengalami cacat atau kelainan permanen, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau mencegah kematian akibat penyakit tersebut. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik/medis, rehabilitasi mental/psikologis serta

rehabilitasi sosial. d) Strategi pencegahan penyakit Dalam usaha pencegahan penyakit secara umum dikenal berbagai strategi pelaksanaan yang tergantung pada jenis, sasaran kegiatan diutamakan pada peningkatan derajat kesehatan individu

18

dan masyarakat, perlindungan terhadap ancaman dan gangguan kesehatan, pemeliharaan kesehatan, penanganan dan pengurangan serta masalah kesehatan, serta usaha rehabilitasi lingkungan. 3) Penanggulangan Menurut Noor pada Buku Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular tahun 1997, penanggulangan (kontrol) adalah upaya untuk menekan peristiwa penyakit dalam masyarakat serendah mungkin sehingga tidak merupakan gangguan kesehatan bagi masyarakat tersebut. Upaya penanggulangan penyakit menular dapat pula dikelompokkan pada tiga kelompok sesuai dengan sasaran utamanya yang meliputi: a) Sasaran langsung pada sumber penularan pejamu Keberadaan suatu sumber penularan (reservoir) dalam masyarakat merupakan faktor yang sangat penting dalam rantai penularan. Apabila sumber penularan adalah binatang, maka dilakukan dengan pemusnahan binatang yang terinfeksi. Apabila sumber penularannya adalah manusia, maka salah satu usaha penanggulangan yang sasarannya terpusat pada sumber penularan adalah isolasi penderita. b) Sasaran ditujukan pada cara penularan Upaya mencegah dan menurunkan penularan penyakit yang ditularkan melalui udara, terutama infeksi saluran

pernapasan dilakukan desinfeksi udara dengan bahan kimia atau dengan sinar ultraviolet, ternyata kurang berhasil. Sedangkan usaha lain dengan perbaikan ventilasi serta aliran udara dalam ruangan tampaknya lebih bermanfaat. Mengingat bahwa sebagian besar penyakit yang ditularkan melalui udara pada umumnya membutuhkan kontak tidak langsung di samping itu sebagian penyakit tersebut dapat dicegah melalui imunisasi.

19

c) Sasaran ditujukan pada pejamu potensial Faktor yang berpengaruh pada pejamu potensial terutama tingkat kekebalan (imunitas) serta tingkat kerentanan/kepekaan yang dipengaruhi oleh status gizi, keadaan umum serta faktor genetika. (1) Peningkatan kekebalan khusus (imunitas) (2) Peningkatan kekebalan umum. Usaha lain dalam peningkatan daya tahan pejamu terhadap penyakit infeksi telah

diprogramkan secara luas seperti perbaikan gizi keluarga, peningkatan gizi balita, peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta pelayanan kesehatan melalui posyandu. Keseluruhan program ini bertujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh secara umum dalam usaha menangkal berbagai ancaman penyakit infeksi. 4) Pemberantasan Imunisasi tidak dapat mencegah semua penyakit menular. Upaya pencegahan sekaligus pemberantasan penyakit menular dapat dilakukan dengan menciptakan lingkungan yang sehat dan perilaku hidup sehat. Penyakit menular memiliki basis lingkungan dan perilaku penduduk setempat. Keduanya sulit dipisahkan. Oleh karena itu, upaya perbaikan sanitasi lingkungan harus diikuti atau diintegrasikan dengan upaya perbaikan perilaku hidup sehat. (Achmadi, U.F., 2005: 75-76)

2. Pondok Pesantren a. Pengertian Pondok Pesantren Pondok Pesantren pada awal berdirinya merupakan pengertian yang sederhana, yaitu tempat pendidikan santri-santri untuk

mempelajari pengetahuan Agama Islam dibawah bimbingan seorang kyai/guru/ustadz dengan tujuan untuk menyiapkan para santri sebagai

20

kader dakwah Islamiah, yang menguasai ilmu Agama Islam dan siap menyebarkan Agama Islam di pelbagai lapisan masyarakat. Sesuai dengan tujuan utamanya, maka materi yang diajarkan di Pondok Pesantren pada umumnya terdiri dari materi agama yang digali langsung dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab, yang ditulis para ulama yang hidup pada abad pertengahan. Semenjak perang kemerdekaan, terjadi perubahan mendasar dalam system pendidikan Pondok Pesantren. Perubahan tersebut, diantaranya materi umum. Dengan demikian Pondok Pesantren tidak lagi sepenuhnya tergolong pendidikan jalur luar sekolah, tetapi juga masuk jalur sekolah. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, di dalam lingkungan Pondok Pesantren, selain madrasah, diselenggarakan pula sekolah-sekolah umum, perguruan tinggi dan program pembangunan masyarakat. Masuknya program pembangunan masyarakat, keterampilan,

pendidikan umum, termasuk kesehatan, dianggap sebagai pelengkap dari pendidikan di Pondok Pesantren. (Depkes RI., 2007) b. Pembagian Pondok Pesantren Secara garis besar Pondok Pesantren terbagi dalam tiga kategori, yaitu: 1) Pondok Pesantren Salafi/Salafiah (Tradisional) Pondok Pesantren Salafiah merupakan Pondok Pesantren yang hanya menyelenggarakan kitab klasik dan pengajaran Agama Islam. Umumnya lebih mendahulukan dan mempertahankan hal yang bersifat tradisional dalam sistem pendidikan maupun perilaku kehidupannya, serta sangat selektif terhadap segala bentuk pembaharuan, termasuk kurikulum pengajarannya. 2) Pondok Pesantren Khalafi/Khalafiah (Modern) Pondok Pesantren Khalafiah/Ashriyah adalah Pondok Pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan tersebut di atas, juga menyelenggarakan pendidikan jalur sekolah atau formal, baik

21

sekolah umum (SD, SMP, SMA, dan SMK) maupun sekolah berdiri khas Agama Islam (MI, MTs, MA atau MAK). Dalam implementasi proses belajar mengajar, akomodatif terhadap perkembangan modern, metodologi penerapan kurikulum melibatkan perangkat modern, mengajarkan sejumlah keterampilan pengetahuan umum lainnya, termasuk kesehatan. 3) Pondok Pesantren Salafi-Khalafi (perpaduan Tradisionl dan Modern) Pondok Pesantren Salafi-Khalafi merupakan perpaduan Pondok Pesantren, yang dalam kegiatannya memadukan metode salafi dan khalafi, memelihara nilai tradisional yang baik dan akomodatif terhadap perkembangan yag bersifat modern. (Depkes RI., 2007) Sebagaimana yang ditulis oleh Rahmat tahun 2005, menurut Yacub yang dikutip oleh Khozin mengatakan bahwa ada beberapa pembagian Pondok Pesantren dan tipologi yaitu : 1) Pesantren Salafi yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajaran dengan kitab-kitab klasik dan tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannyapun sebagaimana yang lazim

diterapkan dalam pesantren salaf yaitu dengan metode sorogan dan wekton. 2) Pesantren Khalafi yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi) memberikan ilmu umum dan ilmu agama serta juga memberikan pendidikan keterampilan. 3) Pesantren Kilat yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu relatif singkat dan biasa dilaksanakan pada waktu libur sekolah. Pesantren ini menitik beratkan pada keterampilan ibadah dan kepemimpinan. Sedangkan santri terdiri dari siswa sekolah yg dipandang perlu mengikuti kegiatan keagamaan dipesantren kilat. 4) Pesantren terintegrasi yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejuruan sebagaimana balai latihan kerja di Departemen Tenaga Kerja dengan program yang terintegrasi.

22

Sedangkan santri mayoritas berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja. (2006:101) Sedangkan menurut Masud dkk ada beberapa tipologi atau model Pondok Pesantren yaitu : 1) Pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas asli sebagai tempat mendalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa Arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama abad pertengahan. Pesantren model ini masih banyak kita jumpai hingga sekarang seperti pesantren Lirboyo di Kediri Jawa Timur beberapa pesantren di daeah Sarang Kabupaten Rembang Jawa tengah dan lain-lain. 2) Pesantren yang memasukkan materi-materi umum dalam pengajaran namun dengan kurikulum yang disusun sendiri menurut kebutuhan dan tidak mengikuti kurikulum yang ditetapkan pemerintah secara nasional sehingga ijazah yang dikeluarkan tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah sebagai ijazah formal. 3) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan umum di dalam baik berbentuk madrasah (sekolah umum berciri khas Islam di dalam naungan DEPAG) maupun sekolah (sekolah umum di bawah DEPDIKNAS) dalam berbagai jenjang bahkan ada yang sampai Perguruan Tinggi yang tidak hanya meliputi fakultas-fakultas keagamaan meliankan juga fakultas-fakultas umum. Pesantren Tebu Ireng di Jombang Jawa Timur adalah contohnya. 4) Pesantren yang merupakan asrama pelajar Islam dimana para santri belajar di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi di luarnya. Pendidikan agama dipesantren model ini diberikan di luar jam-jam sekolah sehingga bisa diikuti oleh semua santrinya. Diperkirakan pesantren model inilah yangg terbanyak jumlahnya. (2002:149-150). (Rahmat, 2005)

23

c. Persyaratan Lingkungan Pondok Pesantren 1) Menurut Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2008 persyaratan lingkungan Pondok Pesantren terdiri atas: a) Konstruksi dan kondisi sanitasi umum (1) Halaman bersih, tertata rapi, tidak becek, tidak ada sampah berserakan. (2) Lantai bersih, kedap air, tidak retak, mudah dibersihkan, kuat. (3) Dinding bersih, berwarna terang. (4) Atap tidak bocor, bersih, memiliki kemiringan yang cukup. (5) Langit-langit dibersihkan. (6) Ventilasi pada ruangan cukup (5-15%) dari luas lantai, sirkulasi udara lancar. (7) Pintu kuat dan dapat mencegah masuknya serangga merugikan. (8) Pagar aman dan kuat. (9) Bila ada jaringan instalasi air, kondisi cukup aman dan bersih. (10) Bila ada tangga, lebar injakan minimal 30 cm, tinggi anak tangga maksimal 20 cm, lebar tangga minim 150 cm, kemiringan tangga < 45%, ada pegangan tangga. b) Penyediaan air bersih (1) Suplai air bersih berasal dari sumber yang memenuhi syarat. (2) Memenuhi syarat fisik : tidak keruh, tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau. (3) Bak penampungan air : bersih, aman, tertutup, tidak ada jentik nyamuk. c) Tempat wudlu (1) Menggunakan kran, pancuran atau air mengalir (bukan sistem bak air yang digunakan berulang-ulang). (2) Dinding : bersih, tidak bau. bersih, berwarna terang, kuat, mudah

24

(3) Lantai : bersih, tidak bau, tidak licin. (4) Menggunakan air bersih dan mencukupi kebutuhan. d) Asrama/ruang tidur (1) Lantai : bersih, kedap air, mudah dibersihkan. (2) Dinding : berwarna terang, bersih, tidak lembab, mudah dibersihkan. (3) Ruang : penerangan cukup, terdapat ventilasi, sirkulasi udara lancar. (4) Terdapat rak/almari untuk menyimpan buku, pakaian, dan barang lainnya. (5) Peralatan tidur (bantal, sprei, tikar, dan lain-lain) tertata rapi dan bersih. (6) Penghuni kamar tidak padat ( + 4 m2 ) e) Masjid/Musholla (1) Lantai dan dinding bersih. (2) Penerangan cukup. (3) Tersedia tempat wudlu, kamar kecil, WC yang memenuhi syarat. f) Hygiene Perorangan (1) 80% atau lebih penghuni pondok selalu menjaga kebersihan badan secara rutin (mandi, gosok gigi, keramas, kuku bersih, pakaian bersih, dll). (2) 80% atau lebih penghuni pondok selalu memasak air sebelum dikonsumsi. (3) 80% penghuni pondok peduli terhadap kebersihan

lingkungan (tidak membuang sampah sembarangan, terbiasa cuci tangan, dll). (4) 80% atau lebih penghuni pondok tidak merokok di lingkungan pondok.

25

2) Menurut Kepmenkes R.I. No.829/MenKes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan a) Pencahayaan Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux, dan tidak menyilaukan. b) Suhu Suhu udara nyaman berkisar 18o 30oC. c) Kelembaban Kelembaban udara berkisar antara 40% 70%.

26

C. Kerangka Konsep Faktor Perilaku 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan Kejadian Penyakit ISPA 1. Sakit Faktor Lingkungan 1. Pencahayaan 2. Ventilasi 3. Kepadatan hunian 4. Suhu 5. Kelembaban 6. Kebersihan a. halaman b. lantai c. dinding d. langit-langit e. sampah Faktor individu 1. Keturunan 2. Daya tahan tubuh 3. Umur 4. Jenis kelamin 2. Tidak Sakit

7. Kebisingan 8. Penyediaan air bersih 9. Pengolahan air limbah

Keterangan: : Diteliti : Tidak diteliti

27

You might also like