Professional Documents
Culture Documents
Penatalaksanaan proses persalinan (kala I) dan proses kelahiran ( kala II ) yang ideal adalah
1. Peristiwa persalinan harus dipandang sebagai proses fisiologik yang normal dimana sebagian besar wanita akan mengalaminya tanpa komplikasi. 2. Komplikasi intrapartum kadang-kadang terjadi secara cepat dan tidak diharapkan sehingga diperlukan antisipasi yang memadai. Dengan demikian maka tugas para klinisi adalah secara bersama-sama membuat ibu bersalin (parturien) dan pendampingnya merasa aman dan nyaman.
His terjadi dengan interval teratur Interval semakin singkat Intensitas his semakin kuat Rasa sakit pada punggung dan abdomen Disertai dengan dilatasi servik Rasa sakit tidak hilang dengan pemberian sedasi
His terjadi dengan interval tidak teratur Interval his semakin lama Intensitas his semakin lemah Rasa sakit terutama di perut bagian bawah Tidak disertai dengan dilatasi servik Rasa sakit hilang dengan pemberian sedasi
Didalam hal terdapat kecurigaan adanya persalinan palsu, perlu dilakukan pengamatan terhafap parturien dengan waktu yang lebih lama di unit persalinan.
Identifikasi parturien:
1. Keadaan umum ibu dan anak ditentukan dengan akurat dan cepat melalui serangkaian anamnesa dan pemeriksaan fisik. 2. Keluhan yang berkaitan dengan selaput ketuban, perdarahan pervaginam dan gangguan keadaan umum ibu lain adalah data yang penting diketahui. 3. Pemeriksaan fisik meliputi : 1. Keadaan umum pasien : kesan umum, kesadaran, ikterus, komunikasi interpersonal. 2. Tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, pernafasan dan suhu tubuh. 4. Pemeriksaan obstetri : 1. Palpasi abdomen (palpasi Leopold) 2. Frekuensi-durasi dan intensitas his 3. Denyut jantung janin 4. Vaginal toucher : ( bila tak ada kontraindikasi ) 1. Servik: posisi (kedepan, tengah, posterior), konsistensi, pendataran dan pembukaan (cm) 2. Keadaan selaput ketuban (keadaan cairan amnnion bila selaput ketuban sudah pecah). 3. Bagian terendah janin (presenting part): 1. Kepala/bokong/bahu 2. Penurunan (station), gambar 6.1 3. Posisi janin berdasarkan posisi denominator
4. Arsitektur panggul dan keadaan jalan lahir 5. Keadaan vagina dan perineum 5. 5. Kardiotokografi : fetal admission test untuk memantau keadaan janin dan memperkirakan keadaan janin .
Spina ischiadica = level 0 Diatas spina ischiadica = tanda Dibawah spina ischiadica= tanda +
Pemeriksaan laboratorium : 1. Haemoglobin dan hematokrit. 2. Urinalisis ( glukosa dan protein ). 3. Untuk pasien yang tidak pernah melakukan perawatan antenatal harus dilakukan pemeriksaan:
o o o
Pada kasus persalinan resiko rendah, pada kala I DJJ diperiksa setiap 30 menit dan pada kala II setiap 15 menit setelah berakhirnya kontraksi uterus ( his ). Pada kasus persalinan resiko tinggi, pada kala I DJJ diperiksa dengan frekuensi yang lbih sering (setiap 15 menit ) dan pada kala II setiap 5 menit.
Meskipun dapat ditentukan dengan menggunakan kardiotokografi, namun penilaian kualitas his dapat pula dilakukan secara manual dengan telapak tangan penolong persalinan yang diletakkan diatas abdomen (uterus) parturien.
Suhu tubuh, nadi dan tekanan darah dinilai setiap 4 jam. Bila selaput ketuban sudah pecah dan suhu tubuh sekitar 37.50 C (borderline) maka pemeriksaan suhu tubuh dilakukan setiap jam. Bila ketuban pecah lebih dari 18 jam, berikan antibiotika profilaksis.
6. Pemeriksaan VT berikut
1.
Pada kala I keperluan dalam menilai status servik, stasion dan posisi bagian terendah janin sangat bervariasi. Umumnya pemeriksaan dalam (VT) untuk menilai kemajuan persalinan dilakukan tiap 4 jam. Indikasi pemeriksaan dalam diluar waktu yang rutin diatas adalah:
2.
3.
Menentukan fase persalinan. Saat ketuban pecah dengan bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul. Ibu merasa ingin meneran. Detik jantung janin mendadak menjadi buruk (< 120 atau > 160 dpm).
2. Makanan oral
1.
Sebaiknya pasien tidak mengkonsumsi makanan padat selama persalinan fase aktif dan kala II. Pengosongan lambung saat persalinan aktif berlangsung sangat lambat. Penyerapan obat peroral berlangsung lambat sehingga terdapat bahaya aspirasi saat parturien muntah. Pada saat persalinan aktif, pasien masih diperkenankan untuk mengkonsumsi makanan cair.
2.
3.
3. Cairan intravena
o
Bilamana pada kala III dibutuhkan pemberian oksitosin profilaksis pada kasus atonia uteri. Pemberian cairan glukosa, natrium dan air dengan jumlah 60120 ml per jam dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan asidosis pada ibu.
Pasien diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memilih posisi yang paling nyaman bagi dirinya. Berjalan pada saat inpartu tidak selalu merupakan kontraindikasi.
8. Analgesia
o
9. Lengkapi partogram
o o o o
Keadaan umum parturien ( tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan ). Pengamatan frekuensi durasi intensitas his. Pemberian cairan intravena. Pemberian obat-obatan.
10. Amniotomi
o
Bila selaput ketuban masih utuh, meskipun pada persalinan yang diperkirakan normal terdapat kecenderungan kuat pada diri dokter yang bekerja di beberapa pusat kesehatan untuk melakukan amniotomi dengan alasan:
Persalinan akan berlangsung lebih cepat. Deteksi dini keadaan air ketuban yang bercampur mekonium ( yang merupakan indikasi adanya gawat janin ) berlangsung lebih cepat. Kesempatan untuk melakukan pemasangan elektrode pada kulit kepala janin dan prosedur pengukuran tekanan intrauterin.
Namun harus dingat bahwa tindakan amniotomi dini memerlukan observasi yang teramat ketat sehingga tidak layak dilakukan sebagai tindakan rutin.
Distensi kandung kemih selama persalinan harus dihindari oleh karena dapat:
Menghambat penurunan kepala janin Menyebabkan hipotonia dan infeksi kandung kemih Carley dkk (2002) menemukan bahwa 51 dari 11.322 persalinan pervaginam mengalami komplikasi retensio urinae ( 1 : 200 persalinan ). Faktor resiko terjadinya retensio urinae pasca persalinan:
2. Untuk pemaparan yang baik, digunakan penahan regio poplitea yang tidak terlampau renggang dengan kedudukan yang sama tinggi. 3. Persalinan kepala: 1. Setelah dilatasi servik lengkap, pada setiap his vulva semakin terbuka akibat dorongan kepala dan terjadi crowning. 2. Anus menjadi teregang dan menonjol. Dinding anterior rektum biasanya menjadi lebih mudah dilihat. 3. Bila tidak dilakukan episiotomi, terutama pada nulipara akan terjadi penipisan perineum dan selanjutnya terjadi laserasi perineum secara spontan. 4. Episotomi tidak perlu dilakukan secara rutin dan hendaknya dilakukan secara individual atas sepengetahuan dan seijin parturien.
Gambar 6 2 : Rangkaian persalinan kepala 1. Kepala membuka pintu (crowning) 2. Perineum semakin teregang dan semakin tipis 3. Kepala anak lahir dengan gerakan ekstensi 4. Kepala anak jatuh didepan anus 5. Putaran restitusi 6. Putar paksi luar Episiotomi terutama dari jenis episiotomi mediana mudah menyebabkan terjadinya ruptura perinei totalis (mengenai rektum) ; sebaliknya bila tidak dilakukan episiotomi dapat menyebabkan robekan didaerah depan yang mengenai urethrae. Manuver Ritgen :
Gambar 3 Maneuver RITGEN Tujuan maneuver Ritgen : 1. Membantu pengendalian persalinan kepala janin 2. Membantu defleksi (ekstensi) kepala 3. Diameter kepala janin yang melewati perineum adalah diameter yang paling kecil sehingga dapat 4. Mencegah terjadinya cedera perineum yang Saat kepala janin meregang vulva dan perineum (crowning) dengan diameter 5 cm, dengan dialasi oleh kain basah tangan kanan penolong melakukan dorongan pada perineum dekat dengan dagu janin kearah depan atas. Tangan kiri melakukan tekanan ringan pada daerah oksiput. Maneuver ini dilakukan untuk mengatur defleksi kepala agar tidak terjadi cedera berlebihan pada perineum.
Setelah lahir, kepala janin terkulai keposterior sehingga muka janin mendekat pada anus ibu. Selanjutnya oksiput berputar (putaran restitusi) yang menunjukkan bahwa diameter bis-acromial (diameter tranversal thorax) berada pada posisi anteroposterior Pintu Atas Panggul (gambar 2d) dan pada saat itu muka dan hidung anak hendaknya dibersihkan (gambar 5)
Untuk mencegah terjadinya distosia bahu, sejumlah ahli obstetri menyarankan agar terlebih dulu melahirkan bahu depan sebelum melakukan pembersihan hidung dan mulut janin atau memeriksa adanya lilitan talipusat ( gambar 8)
Gambar 8 Memeriksa adanya lilitan talipusat Persalinan sisa tubuh janin biasanya akan mengikuti persalinan bahu tanpa kesulitan, bila agak sedikit lama maka persalinan sisa tubuh janin tersebut dapat dilakukan dengan traksi kepala sesuai dengan aksis tubuh janin dan disertai dengan tekanan ringan pada fundus uteri. Jangan melakukan kaitan pada ketiak janin untuk menghindari terjadinya cedera saraf ekstrimitas atas 5. Membersihkan nasopharynx: Perlu dilakukan tindakan pembersihan muka , hidung dan mulut anak setelah dada lahir dan anak mulai mengadakan inspirasi, seperti yang terlihat pada gambar 5 untuk memperkecil
kemungkinan terjadinya aspirasi cairan amnion, bahan tertentu didalam cairan amnion serta darah. 6. Lilitan talipusat Setelah bahu depan lahir, dilakukan pemeriksaan adanya lilitan talipusat dileher anak dengan menggunakan jari telunjuk seperti terlihat pada gambar 8 Lilitan talipusat terjadi pada 25% persalinan dan bukan merupakan keadaan yang berbahaya. Bila terdapat lilitan talipusat, maka lilitan tersebut dapat dikendorkanmelewati bagian atas kepala dan bila lilitan terlampau erat atau berganda maka dapat dilakukan pemotongan talipusat terlebih dulu setelah dilakukan pemasangan dua buah klem penjepit talipusat. 7. Menjepit talipusat: Klem penjepit talipusat dipasang 45 cm didepan abdomen anak dan penjepit talipusat (plastik) dipasang dengan jarak 23 cm dari klem penjepit. Pemotongan dilakukan diantara klem dan penjepit talipusat. Saat pemasangan penjepit talipusat: Bila setelah persalinan, neonatus diletakkan pada ketinggian dibawah introitus vaginae selama 3 menit dan sirkulasi uteroplasenta tidak segera dihentikan dengan memasang penjepit talipusat, maka akan terdapat pengaliran darah sebanyak 80 ml dari plasenta ke tubuh neonatus dan hal tersebut dapat mencegah defisiensi zat besi pada masa neonatus. Pemasangan penjepit talipusat sebaiknya dilakukan segera setelah pembersihan jalan nafas yang biasanya berlangsung sekitar 30 detik dan sebaiknya neonatus tidak ditempatkan lebih tinggi dari introitus vaginae atau abdomen (saat sectio caesar )
2. Pengeluaran darah secara mendadak. 3. Fundus uteri naik oleh karena plasenta yang lepas berjalan kebawah kedalam segmen bawah uterus. 4. Talipusat di depan menjadi semakin panjang yang menunjukkan bahwa plasenta sudah turun. Tanda-tanda diatas kadang-kadang dapat terjadi dalam waktu sekitar 1 menit setelah anak lahir dan umumnya berlangsung dalam waktu 5 menit. Bila plasenta sudah lepas, harus ditentukan apakah terdapat kontraksi uterus yang baik. Parturien diminta untuk meneran dan kekuatan tekanan intrabdominal tersebut biasanya sudah cukup untuk melahirkan plasenta. Bila dengan cara diatas plasenta belum dapat dilahirkan, maka pada saat terdapat kontraksi uterus dilakukan tekanan ringan pada fundus uteri dan talipusat sedikit ditarik keluar untuk mengeluarkan plasenta (gambar 9)
Gambar 9. Ekspresi plasenta. Perhatikan bahwa tangan tidak melakukan tekanan pada fundus uteri. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan mempertahankan posisi tangan ) Tehnik melahirkan plasenta : 1. Tangan kiri melakukan elevasi uterus (seperti tanda panah) dengan tangan kanan mempertahankan posisi talipusat. 2. Parturien dapat diminta untuk membantu lahirnya plasenta dengan meneran. 3. Setelah plasenta sampai di perineum, angkat keluar plasenta dengan menarik talipusat keatas.
4. Plasenta dilahirkan dengan gerakan memelintir plasenta sampai selaput ketuban agar selaput ketuban tidak robek dan lahir secara lengkap oleh karena sisa selaput ketuban dalam uterus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
Gambar 10 Melahirkan plasenta Kiri: Plasenta dilahirkan dengan mengkat talipusat Kanan : selaput ketuban jangan sampai tersisa dengan menarik selaput ketuban menggunakan cunam
Telapak tangan kanan diletakkan diatas simfisis pubis. Bila sudah terdapat kontraksi, lakukan dorongan bagian bawah uterus kearah dorsokranial (gambar 11 )
Gambar 11. Melakukan dorongan uterus kearah dorsokranial sambil melakukan traksi talipusat terkendali
o o
Tangan kiri memegang klem talipusat , 56 cm didepan vulva. Pertahankan traksi ringan pada talipusat dan tunggu adanya kontraksi uterus yang kuat. Setelah kontraksi uterus terjadi, lakukan tarikan terkendali pada talipusat sambil melakukan gerakan mendorong bagian bawah uterus kearah dorsokranial.
1. Penarikan talipusat hanya boleh dilakukan saat uterus kontraksi. 2. Ulangi gerakan-gerakan diatas sampai plasenta terlepas. 3. Setelah merasa bahwa plasenta sudah lepas, keluarkan plasenta dengan kedua tangan dan lahirkan dengan gerak memelintir. 4. Setelah plasenta lahir, lakukan masase fundus uteri agar terjadi kontraksi dan sisa darah dalam rongga uterus dapat dikeluarkan. 5. Jika tidak terjadi kontraksi uterus yang kuat (atonia uteri) dan atau terjadi perdarahan hebat segera setelah plasenta lahir, lakukan kompresi bimanual. 6. Jika atonia uteri tidak teratasi dalam waktu 1 2 menit, ikuti protokol penatalaksanaan perdarahan pasca persalinan. 7. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 15 menit, berikan injeksi oksitosin kedua dan ulangi gerakan-gerakan diatas. 8. Jika plasenta belum lahir dalam waktu 30 menit:
o o
Periksa kandung kemih, bila penuh lakukan kateterisasi. Periksa adanya tanda-tanda pelepasan plasenta.
PERHATIAN : Jika uterus bergerak kebawah waktu saudara menarik talipusat, HENTIKAN !! Plasenta mungkin belum lepas dari insersinya dan kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya inversio uteri. Jika ibu merasa nyeri atau jika uterus tidak mengalami kontraksi (lembek) , HENTIKAN USAHA MENARIK TALIPUSAT
Siapkan rujukan bila tidak ada tanda-tanda lepasnya plasenta.
o o
Cara mengamati kontraksi uterus. Tanda-tanda bahaya bagi ibu dan neonatus.
Ibu yang baru bersalin sebaiknya berada di kamar bersalin selama 2 jam dan sebelum dipindahkan ke ruang nifas petugas medis harus yakin bahwa: 1. Keadaan umum ibu baik. 2. Kontraksi uterus baik dan tidak terdapat perdarahan. 3. Cedera perineum sudah diperbaiki. 4. Pasien tidak mengeluh nyeri. 5. Kandung kemih kosong. Rujukan : 1. Saifuddin AB (ed): Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono, Jakarta 2002 2. American Academy of Pediatrics and the American College of Obstetricians and Gynecologists : Guideline for Perinatal Care, 5th ed Washington,DC AAP and ACOG, 2002 3. Carley ME et al : Factors that associated with clinically overt postpartum urinary retention after vaginal delivery. Am J Obstet Gynecol 187:430, 2002 4. Cunningham FG (editorial) : Normal Labor and Delivery in William Obstetrics 22nd ed p 409- 441, Mc GrawHill Companies 2005 5. Eason E et al : Preventing perineal trauma during childbirth. A Systematic Review. Obstet Gynecol 95,464, 2000 6. Jackson KW et al: A randomized controlled trial comparing oxytocin administration before and after placental delivery in the prevention of postpartum haemorrhage. Am J Obstet Gynecol 185:873, 2001 7. Jones DL : Course and Management of Childbirth in Fundamentals of Obstetric & Gynaecology 7th ed Mosby, London1997.