Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
A k m a l, S.Pi,
Sugeng Raharjo, A.Pi.
I l h a m, S.Pi.
Makalah ini disampaikan pada Pelatihan Budidaya Rumput Laut, 27-30 Mei 2008,
Di Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah .
2008
TEKNOLOGI BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Kappaphycus alvarezii)1)
Oleh :
A k m a, S.Pi,2) Sugeng Raharjo, A.Pi, 3)
dan I l h a m, S.Pi. 4)
Abstrak
1) Makalah disampaikan pada Pelatihan Budidaya Rumput Laut, 27-30 Mei 2008, Di Kabupaten
Donggala, Sulawesi Tengah.
2) Perekayasa Muda pada Balai Budidaya Air Payau Takalar
3) Kepala Balai Budidaya Air Payau Takalar
4) Pengawas Budidaya pada Balai Budidaya Air Payau Takalar
1
I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
2
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan untuk mengantisipasi masalah
penjualan adalah umur panen, cara panen serta penanganan pasca panen.
b. Tujuan
c. Sasaran
A. LOKASI
3
menentukan layak atau tidaknya suatu lokasi budidaya. Lahan budidaya K.
alvarezii yang cocok terutama sangat ditentukan oleh kondisi ekologis yang
meliputi kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi.
1. Faktor Resiko
Faktor resiko merupakan salah satu faktor non-teknis yang perlu mendapat
pehatian dalam pemilihan lokasi budidaya, yang meliputi:
a. Keterlindungan; Untuk menghindari kerusakan fisik sarana budi daya
dan rumput laut, maka diperlukan lokasi yang terlindung dari pengaruh
angin dan gelombang yang besar. Lokasi yang terlindung biasanya di
perairan teluk atau perairan yang terlindung atau terhalang oleh pulau.
b. Keamanan; Masalah pencurian dan sabotase mungkin saja dapat
terjadi pada lokasi tertentu, sehingga upaya pengamanan baik secara
perorangan maupun secara kelompok harus dilakukan. Upaya
pendekatan dan hubungan yang baik dengan masyarakat sekitar lokasi
perlu dilakukan.
c. Konflik Kepentingan; Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan
konflik dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan
(penangkapan ikan, pemasangan bubu, bagang, dll) dan kegiatan non
perikanan (parawisata, perhubungan laut, industri, taman laut, dll)
dapat berpengaruh negatif terhadap aktivitas usaha rumput laut.
d. Aspek Peraturan dan Perundang-Undangan; Untuk menguatkan
keberlanjutan usaha budi daya rumput laut, maka pemilihan lokasi
harus tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah serta harus
mengikuti tata ruang yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah
setempat.
2. Faktor Pencapaian
4
Kemudian lokasi diharapkan berdekatan dengan sarana jalan, karena
akan mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit, hasil
panen dan pemasarannya. Hal tersebut akan mengurangi biaya
pengangkutan.
3. Faktor Ekologis.
5
itu terkena gelombang yang besar dan apabila dasar perairan terdiri
dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.
d) Kedalaman; Kedalaman perairan sangat tergantung dari metode budi
daya yang akan dipilih. Metode lepas dasar dilakukan pada kedalaman
perairan tidak kurang dari 30-60 cm pada waktu surut terendah,
sedangkan metode rakit apung, rawai dan jalur pada perairan dengan
kedalaman sekitar 2-15 m. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut
mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.
e) Kadar Garam; K. alvarezii merupakan rumput laut yang relatif tidak
tahan terhadap kisaran kadar garam yang luas. Kadar garam yang
sesuai untuk pertumbuhannya adalah berkisar 28-35 ppt. Salinitas yang
baik berkisar antara 28 - 34 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt.
Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari
lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.
f) Kecerahan; Rumput laut memerlukan cahaya sebagai sumber energi
guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan
dan perkembangannya yang normal. Lokasi yang potensial hendaknya
dipilih yang memiliki kecerahan air tinggi. Lokasi budidaya rumput laut
sebaiknya pada perairan yang jernih atau tingkat kecerahan yang tinggi
sekitar 2-5 m. Air keruh mengandung lumpur dapat menghalangi
cahaya matahari ke dalam air serta dapat menutupi permukaan thallus
yang dapat menyebabkan thallus membusuk sehingga mudah patah.
Lokasi yang baik bagi budidaya rumput laut memiliki kecerahan lebih
dari 1,5 m pada pengukuran dengan alat secchi disk.
g) Organisme Pengganggu; Lokasi budidaya diusahakan pada perairan
yang tidak banyak terdapat organisme pengganggu misalnya ikan
beronang, bintang laut, bulu babi dan penyu serta tanaman penempel.
h) Pencemaran; Lokasi yang telah tercemar, baik yang berasal dari
limbah rumah tangga, aktivitas pertanian, maupun limbah industri
harus dihindari untuk budidaya rumput laut, Sebaiknya dihindari pula
lokasi budidaya yang berdekatan dengan muara sungai, karena
terutama pada saat musim penghujan, merupakan sumber sampah dan
kotoran lumpur. Kondisi ini akan menutupi permukaan thallus rumput
laut dan akan mempengaruhi pertumbuhannya.
6
i) Tenaga kerja; Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di
lapangan sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan
lokasi budidaya, dan memiliki kemauan bekerja. Hal ini dapat
menghemat biaya.
3. Faktor Higienis
4. Faktor Sosial-Ekonomi
7
d) Kondisi Sosial Masyarakat; Kondisi sosial masyarakat yang kondusif
memungkinkan perkembangnya usaha budidaya rumput laut.
B. TEKNIK BUDIDAYA
8
dengan jarak antara tali ris sekitar 25 – 50 cm sehingga jarak tanam antar
ikatan tidak kurang dari 25 cm (Gambar 2).
6 6 6
6 6 6
6 6 6
6 6 6 6
± 30 cm
6 6 6 6 6
± 30 cm
6 6 6 6 6 6 6
± 60 cm
66 6 6
± 30 cm
6 6 6
6 66 6
6 6 6 6
6 6 6 6 6 ± 30 cm
6 6 6 6 6 6 6
Dasar Perairan
Dua susun
Gambar 2. Metode Penanaman rumput laut metode lepas dasar bersusun dua
Metode ini sering disebut metode rakit kotak, dibentuk dari empat buah
bambu yang dirakit sehingga berbentuk persegi panjang dengan ukuran 2,5 -
4 x 5 - 8 m. Pada rakit tersebut dipasang tali pengikat rumput laut secara
membujur dengan jarak 30 cm kemudian rumput laut (bibit) diikat pada tali
tersebut. Berat bibit yang digunakan berkisar antara 50 – 100 gram. Setelah
rumput diikat maka rakit tersebut ditarik dan ditempatkan pada lokasi yang
telah ditetapkan dengan menggunakan dua buah jangkar pada kedua ujung
rakit tersebut dengan kedalaman perairan berkisar antara 0,5 – 10 meter.
9
Gambar 3. Model dan konstruksi rakit apung dengan menggunakan bambu
Konstruksi metode ini semuanya terbuat dari tali PE. Adapun teknik
pembuatan konstruksinya sbb : Menyiapkan tali PE Ø 10 mm sebagai tali
jangkar. Kedua ujung tali tersebut dihubungkan kemudian dirancang hingga
berbentuk persegi panjang berukuran 100 x 30 m. Pada keempat sudut
dilengkapi dengan empat buah pelampung yang berfungsi mempertahakan
konstruksi agar tetap berada pada permukaan air. Agar konstruksi tersebut
tetap pada posisi yang diharapkan maka pada keempat sudut yang sama
diikatkan tali PE Ø 8 mm sebagai tali jangkar yang dilengkapi dengan enam
buah jangkar.
Setelah selesai menyiapkan konstruksi maka tahap berikutnya adalah
menyiapkan tali jalur yang terbuat dari tali PE Ø 4 mm. Tali tersebut dipotong
masing – masing 30 m sesuai dengan panjang konstruksi. Pada satu tali jalur
dipasang 120 tali PE Ø 2 mm coban (tali titik) berjarak 25 cm yang berfungsi
sebagai tempat mengikat bibit yang akan digunakan.
Bibit yang digunakan adalah tanaman muda dari hasil budidaya. Sebelum
diikat bibit tersebut dipotong agar ukurannya sesuai dengan bobot yang
dikehendaki. Untuk mengetahui perkembangan tanaman, ditentukan beberapa
sampel dengan berat rata-rata 100 gram kemudian setiap minggu dilakukan
penimbangan sampel tersebut.
10
30 m
100 m
Gambar 4. Unit konstruksi budidaya rumput laut metode long line ukuran 3000 m2
10-15 cm
20 cm
50 – 100 meter
Jangkar
Rumpun
Eucheuma Tali nilon
Tali bibit
11
4. Sistim Jalur (metode kombinasi)
Metode ini merupakan kombinasi antara metode rakit dan metode long line.
Kerangka metode ini terbuat dari bambu yang disusun sejajar, pada kedua
ujung setiap bambu dihubungkan dengan tali PE Ø 8 mm sehingga
membentuk persegi panjang dengan ukuran 5 x 7 m. perpetak. Satu unit
metode ini terdiri dari 7 – 8 petak dan pada kedua ujung setiap unit diberi
jangkar. Kegiatan penanaman diawali dengan mengikat bibit rumput laut ke
tali jalur yang telah dilengkapi tali PE Ø 2 mm. Setelah bibit diikat pada tali
jalur maka tali jalur tersebut dipasang pada kerangka yang telah tersedia
dengan jarak tanam yang digunakan minimal 25 cm x 30 cm.
5. Bibit.
12
Gambar 7. Bibit Rumput Laut unggul (Karimun Jawa, Madura, Maumere, dan
Sulawesi Selatan)
6. Penanaman
13
rumput laut maka tali jalur yang berisi rumput tersebut diikatkan pada
kerangka yang telah tersedia.
Gambar 8. Cara Pengikatan dan pemasangan bibit rumput laut di tepi pantai oleh
ibu-ibu dan gadis-gadis.
5. Sampling.
14
pengelola (pembudidaya) rumput laut sangat diperlukan untuk memperkecil
kemungkinan adanya kerusakan khususnya kekuatan alam yang tak terduga.
Pemeliharaan rumput laut dari keempat metode budi daya tersebut
adalah relatif sama. Kegiatan yang dilakukan dalam pemeliharaan rumput laut
tersebut adalah meliputi: pembersihan lumpur, kotoran dan biofouling yang
menempel pada thallus rumput laut; penyisipan tanaman yang rusak atau
lepas dari ikatan; penggantian tali, patok, bambu serta pelampung yang
rusak; penjagaan tanaman dari serangan predator dan pemantauan
pertumbuhan rumput laut secara berkala.
Memelihara rumput laut berarti mengawasi terus menerus, konstruksi
budidaya dan tanamannya. Pemeliharaan dilakukan pada saat ombak besar
maupun saat laut tenang. Kerusakan patok, jangkar, tali ris, dan tali ris utama
yang disebabkan oleh ombak yang besar, atau daya tahannya menurun harus
segera diperbaiki. Bila ditunda akan berakibat makin banyak yang hilang
sehingga kerugian lebih besar tidak bisa dihindari.
Kotoran atau debu air sering melekat pada tanaman, yaitu saat musim
laut tenang. Pada saat seperti ini tanaman harus sering digoyang-goyangkan
di dalam air agar tanaman selalu bersih dari kotoran/debu yang melekat.
Kotoran yang melekat dapat menggangu proses metabolisme sehingga laju
pertumbuhan menurun.
Hama rumput laut yang biasa dijumpai adalah larva bulu babi
(Tripneustes) dan larva teripang (Holothuria sp.). Hama lainnya antara lain
ikan beronang (Siganus sp.), bintang laut (Protoneustes nodulus), bulu babi
15
(Diadema dan Tripneustes sp.) dan penyu hijau (Chelonia midas). Serangan
ikan beronang umumnya bersifat musiman sehingga setiap daerah memiliki
waktu serangan yang berbeda. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi
hama tersebut adalah dengan cara memperbaiki/memodifikasi teknik budi
daya, sehingga tanaman budi daya berada pada posisi permukaan air. Selain
itu, diterapkan pola tanam yang serentak pada lokasi yang luas serta
melindungi areal budi daya dengan memasang pagar dari jaring.
Sedangkan penyakit yang dapat menyerang rumput laut adalah
penyakit bakterial, jamur dan ice-ice. Penyakit bakterial yang disebabkan oleh
Macrocystis pyrifera dan Micrococcus umumnya menyerang budi daya
Laminaria sp., sedangkan penyakit jamur yang disebabkan oleh Hydra
thalassiiae menyerang bagian gelembung udara rumput laut Sargassum sp.
Penyakit ice-ice (sebagian orang menyebutnya sebagai white spot) merupakan
kendala utama budi daya rumput laut Kappaphycus/Eucheuma. Gejala yang
diperlihatkan pada rumput laut yang terserang penyakit tersebut adalah
antara lain: pertumbuhan yang lambat, terjadinya perubahan warna thallus
menjadi pucat atau warna tidak cerah, dan sebagian atau seluruh thallus pada
beberapa cabang menjadi putih dan membusuk.
Penyakit tersebut terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan
seperti arus, suhu dan kecerahan. Kecerahan air yang sangat tinggi dan
rendahnya kelarutan unsur hara nitrat dalam perairan juga merupakan
penyebab munculnya penyakit tersebut.
8. Panen
16
a. Umur
Umur rumput laut akan sangat menentukan kualitas dari rumput laut
tersebut. Jika rumput laut tersebut akan digunakan sebagai bibit maka
pemanenan dilakukan setelah rumput laut berumur 25 – 35 hari karena
pada saat itu tanaman belum terlalu tua. Sedangkan jika rumput laut
tersebut dipanen untuk dikeringkan maka sebaiknya pemanenan dilakukan
pada saat rumput tersebut berumur 1,5 bulan atau lebih karena pada umur
tersebut kandungan karaginan cukup tersedia.
b. Cuaca
Hal kedua yang sangat penting pada saat panen adalah cuaca. Jika
pemanenan dan penjemuran dilakukan pada cuaca cerah maka mutu dari
rumput laut tersebut dapat terjamin. Sebaliknya jika pemanenan dan
penjemuran dilakukan pada cuaca mendung akan terjadi proses fermentasi
pada rumput tersebut yang menyebabkan mutunya tidak terjamin.
c. Cara Panen
d. Beberapa cara panen dan pasca panen hasil budidaya rumput laut yang
seharusnya dilakukan :
1) Proses perontokan rumput laut dapat dilakukan seperti di atas tetapi
cukup dengan satu tali jalur.
17
2) Perontokan rumput dilakukan dengan memotong setiap tali pengikat
rumput laut.
3) Penjemuran rumput laut dilakukan sekaligus dengan tali jalur tanpa
dirontokkan. Setelah hari ke dua rumput laut tersebut dapat
dirontokkan dengan jalan memotong thalus tempat mengikat rumput
laut tersebut.
4) Penjemuran harus dilakukan diatas wadah penjemuran agar terhindar
dari kotoran (sebaiknya di atas para-para).
5) Penjemuran sebaiknya dilakukan selama 3 – 4 hari pada cuaca cerah
(apabila cuaca mendung maka penjemuran dapat dilakukan lebih dari 4
hari).
6) Hindari rumput laut yang dijemur dari air hujan dengan cara
menyiapkan plastik atau terpal di lokasi penjemuran.
Apabila tahapan kegiatan sejak proses produksi hingga panen dan pasca
panen dilakukan seperti tersebut di atas maka akan diperoleh bahan baku
rumput laut industri kualitas eksport dengan kriteria sebagai berikut:
1) Umur panen 45 hari atau lebih,
2) Kurangi luka pada thallus saat panen,
3) Penjemuran dilakukan di atas wadah,
4) Kadar air 30 – 35 % dan
5) Kemurnian minimal 97 %
18
III KESIMPULAN DAN SARAN
19
DAFTAR PUSTAKA
20
Sulistyowati. H., 2003. Struktur Komunitas Seaweed (Rumput Laut) Di Pantai
Pasir Putih Kabupaten Situbondo. Jurusan Biologi FMIPA Universitas
Jember. Jurnal Ilmu Dasar vol. 4 No.1 hal. 58 – 61.
Sulistijo. 1985. Budidaya Rumput Lau. (BL/85/WP-11). Laboratorium
Marikultur, Lembaga Oceanologi Nasional LIPL. Jakarta.
Sulistijo, 1996. Perkembangan Budidaya Rumput laut di Indonesia, dalam
WS. Atmadja. Dkk. Pengenalan Jenis-jenis Rumput laut di Indonesia.
Puslitbang Oseanologi LIPI Jakarta.
21
Lampiran 1. Penilaian kecocokan lokasi budidaya Kappaphycus alvarezii
dengan metode lepas dasar (Mubarak et al., 1990).
22