You are on page 1of 8

Menentukan Metode Kontrasepsi Yang Tepat Berdasarkan Etika dan Hukum Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Sebagai dokter yang profesional, dalam bekerja dokter harus berpedoman pada etika dan hukum profesi. Etika dan hukum menjaga tindakan dokter agar tetap berada di jalur yang benar. Menurut kaidah dasar bioetik, dalam membuat keputusan dokter selalu membuat pertimbangan dari beberapa alternatif, untuk ditentukan satu pilihan yang akan diberikan pada pasiennya. Perrtimbangan ini berdasar pada beneficence (tanpa pamrih), autonomy (pasien mempunyai otoritas sendiri), non-maleficence (menolong pasien emergensi), dan justice (adil, memperlakukan sesuatu secara universal). Kontrasepsi adalah pencegahan konsepsi atau kehamilan. (Dorland, 2002). Sejak KB (Keluarga Berencana) menjadi program nasional RI pada tahun 1970, berbagai cara kontrasepsi telah ditawarkan dalam pelayanan KB, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal, (pil, suntikan, susuk KB), Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR), dan kontrasepsi mantap (kontap) berupa vasektomi dan tubektomi. (Hanafiah, et. al., 1999). Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3: Pasutri datang ke rumah sakit, konsultasi masalah kontrasepsi. Mereka tidak ingin anak lagi. Setelah mendaftar mereka konsultasi dengan bidan, mereka bingung akan memakai KB steril atau hormonal. Bidan kemudian merujuk mereka ke dokter, untuk konsultasi lebih lanjut. Dokter pada kesempatan itu menyarankan untuk melakukan KB steril saja. Dari masalah diatas, penulis akan mencoba menganalisis metode penentuan kontrasepsi yang tepat berdasarkan etika dan hukum serta latar belakang dokter diatas menyarankan penggunaan KB steril pada pasutri. B.

RUMUSAN MASALAH Apa saja dasar pertimbangan penggunaan KB steril dan hormonal? o Apa dasar pertimbangan dokter menyarankan penggunaan KB steril? o Bagaimana sudut pandang penggunaan KB dilihat dari aspek etika dan hukum? TUJUAN PENULISAN

C.

Mengetahui dasar pertimbangan penggunaan KB steril dan hormonal. Mengetahui dasar pertimbangan dokter menyarankan penggunaan KB steril. Mengetahui sudut pandang penggunaan KB dilihat dari aspek etika dan hukum.

D.

MANFAAT PENULISAN Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan pertimbangan dari beberapa aspek terkait sesuai etika dan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam keputusan Menkes RI No.369/MENKES/SK/III/2007 tentang standar profesi bidan, jenis dan indikasi, cara pemberian, cara pencabutan dan efek samping berbagai kontrasepsi yang digunakan antara lain pil, suntik, AKDR, alat kontrasepsi bawah kulit (AKBK), kondom, tablet vagina dan tisu vagina. (Supari, 2007). Kontrasepsi mantap (kontap) dilakukan dengan cara mengikat atau memotong saluran telur (pada wanita, disebut tubektomi) atau saluran sperma (pada pria, disebut vasektomi). (Anonim, 2008). Vasektomi adalah pengangkatan duktus (vas) deferens atau sebagian darinya secara bedah. (Dorland, 2002). Vasektomi berguna untuk menghalangi transport spermatozoa di pipa-pipa sel mani pria. (Anonim, 2008). Tubektomi adalah pengangkatan bedah tuba uterina. (Dorland, 2002). Kontra indikasi bagi vasektomi adalah radang di sekitar skrotum, hernia, diabetes melitus, kelainan mekanisme pembekuan darah, dan kejiwaan tidak stabil. Kontra indikasi bagi tubektomi adalah penderita dengan penyakit jantung, paru-paru, hernia, pernah dioperasi di daerah perut, berat badan lebih dari 70 kg, dan pasangan yang masih ragu menggunakan metode ini. (Anonim, 2008). Alat kontrasepsi hormonal mengandung hormon-hormon reproduksi wanita. Alat kontrasepsi hormonal mencegah proses pematangan sel telur sehingga tidak bisa dibuahi. Metode kontrasepsi ini terdiri dari jenis pil, suntikan, dan susuk. (Anonim, 2008). Kontra indikasi pil adalah penderita sakit kuning, kelainan jantung, varises, hipertensi, diabetes, migrainm, dan pendarahan tanpa sebab yang jelas. Kontra indikasi suntik adalah ibu hamil, penderita tumor/kanker, penyakit jantung, hati, hipertensi, diabetes, dan penyakit paru-paru. Kontra indikasi susuk adalah penderita tumor, gangguan jantung, hati, hipertensi, diabetes, usia >35 tahun, dan pendarahan tanpa sebab yang jelas. Wanita yang belum mempunyai anak tidak dianjurkan menggunakan susuk KB. (Anonim, 2008). Menurut etika kedokteran, pelaksanaan kontrasepsi dapat dilaksanakan, walaupun penggunaan AKDR dan kontap menimbulkan berbagai pertentangan. Belakangan, AKDR terutama yang mengandung copper berfungsi sebagai kontrasepsi, bukan hanya mencegah nidasi. Dari segi hukum, kontap dapat dianggap melanggar KUHP pasal 354 yang melarang usaha pencegahan kehamilan dan melanggar pula pasal 351 karena merupakan mutilasi alat tubuh. Namun, karena KB telah menjadi program pemerintah, maka terhadap hal ini dapat dibuat pengecualian. (Hanafiah et. al., 1999). Secara umum, KB dapat diterima dalam ajaran Islam. Alat kontrasepsi yang dapat diterima syari adalah yang menghalangi bertemunya ovum dengan sperma, dan adanya pembolehan cara ber-KB jika pelaksanaannya tidak bertentangan dengan batasan syari yang lain. (Zuhroni, et.al., 2003). BAB III

PEMBAHASAN Pemilihan metode kontrasepsi yang tepat sebaiknya didasarkan pada tujuan berkontrasepsi, kontra indikasi, dan hak autonomi pasien berdasarkan Kaidah Dasar Bioetik. Pasien dapat memilih sendiri metode kontrasepsi yang diinginkan, sedangkan dokter hanya dapat menyarankan. Pasutri yang hanya bertujuan ingin mengatur jarak kelahiran anak, disarankan menggunakan KB hormonal atau AKDR. Metode sederhana seperti kondom, tisu KB, dan spermisida juga dapat digunakan, namun relatif lebih merepotkan dibandingkan metode KB hormonal atau AKDR. Pil KB diminum setiap hari, sehingga dapat diatur kapan akan memutuskan untuk mempunyai anak lagi, demikian pula metode suntik yang dilakukan secara berkala. Sementara susuk mempunyai jangka waktu penggunaan yang cukup panjang, sehingga hanya disarankan untuk pasutri yang tidak akan merencanakan kehamilan dalam 4 hingga 5 tahun kedepan. Pasutri yang tidak berniat mempunyai anak lagi dapat menggunakan metode KB steril, yaitu dengan vasektomi dan tubektomi. Dengan KB steril, pasutri tidak perlu repot mengatur jadwal minum pil, atau suntik dan susuk secara berkala. Sejalan dengan perkembangan ilmu kedokteran, metode KB steril ini ternyata tidak sepenuhnya permanen, karena saluran yang diikat masih mempunyai kemungkinan rekanalisasi seperti semula, baik buatan maupun spontan. Menurut etika, hukum, dan agama, kontrasepsi steril / kontrasepsi mantap (kontap) diperbolehkan, dan tidak mempunyai ganjalan baik dari segi etika, hukum, dan agama. BAB IV KESIMPULAN Penggunaan metode kontrasepsi dilakukan berdasarkan tujuan penggunaan KB, kontra indikasi metode kontrasepsi, dan hak autonomi pasien berdasarkan Kaidah Dasar bioetik (KDB). Calon akesptor KB dalam kasus ini berniat untuk tidak mempunyai anak lagi, bukan mengatur waktu dan jarak kelahiran, sehingga dokter menyarankan agar calon akseptor menggunakan metode kontap (steril). Disamping itu, calon akseptor KB dalam kasus ini mungkin saja mempunyai kontra indikasi terhadap metode kontrasepsi hormonal, sehingga dokter menyarankan agar calon akseptor menggunakan metode KB steril (kontap). Dilihat dari aspek etika, agama, dan hukum, penggunaan kontrasepsi sebetulnya diperbolehkan, tergantung dari metode dan pelaksanaannya. Metode kontap yang dahulu tidak diperbolehkan pun sekarang dapat diperbolehkan karena belakangan diketahui bahwa ada kemungkinan rekanalisasi saluran, baik spontan maupun buatan. BAB V DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Vasektomi. http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/vasek.htm Anonim. 2008. Tubektomi. http://www.bkkbn-jatim.go.id/bkkbn-jatim/html/tubek.htm Anonim. 2008. Alat Kontrasepsi. http://www.yakita.or.id/alat_kontrasepsi.htm Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC. Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC. Supari, Siti Fadilah. 2007. Keputusan Menkes RI No.369/MENKES/SK/III/2007 Tentang Standar Profesi Bidan. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Wujoso, Hari. 2008. Kaidah Dasar Bioetik. Zuhroni, H. Riani, Nur. Nazaruddin, Nirwan. 2003. Kesehatan dan Kedokteran 2 (Fiqih Kontemporer). Jakarta : Departemen Agama RI.

Penerapan Etika dan Profesionalisme Kedokteran Berkaitan Dengan Hukum dan Agama Pada Kasus Aborsi Provokatus
4 September 2009 Agatha 2 komentar BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Aborsi atau keguguran kandungan merupakan suatu isu yang kontroversial. Pertimbangan pelaksanaan aborsi harus dilihat dari aspek etika dan profesionalisme kedokteran, hukum yang berlaku, serta agama. Pelaksanaan aborsi harus melalui pertimbangan berbagai pihak yang terlibat serta kompeten. Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi secara prematur dari uterusembrio, atau fetus yang belum dapat hidup. (Dorland, 2002). Dengan kata lain, aborsi adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu yang mengakibatkan kematian janin. Ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dimana aborsi terjadi secara alami, tanpa intervensi tindakan medis (aborsi spontanea), dan aborsi yang direncanakan melalui tindakan medis dengan obat-obatan, tindakan bedah, atau tindakan lain yang menyebabkan pendarahan lewat vagina (aborsi provokatus). (Fauzi, et.al., 2002) Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 1: Seorang siswi kelas I SMP berumur 13 tahun, hamil 1 bulan akibat perkosaan. Akibatnya korban mengalami depresi. Orangtua ingin agar janin diaborsi, kemudian berkonsultasi ke dokter. Dokter setelah mengadakan pertimbangan dengan tim ahli (dokter, ahli agama dan psikiater) memutuskan setuju untuk melakukan aborsi. Namun, walaupun tim ahli telah setuju, orang tua masih bingung karena menurutnya agama dan hukum melarang aborsi. Dalam laporan ini, penulis mencoba menganalisis tindakan aborsi dari segala aspek yang terkait sehingga dapat dicapai kesimpulan yang tepat tentang pertimbangan pelaksanaan aborsi. Penulis dapat belajar untuk mengetahui penerapan etika dan profesionalisme kedokteran, aspek medikolegal dan agama dalam kasus tersebut. B.

RUMUSAN MASALAH Bagaimana status aborsi, baik dalam aspek etika dan profesionalisme kedokteran, medikolegal, dan agama? Apa tindakan terbaik yang dapat dilakukan untuk pasien tersebut? TUJUAN PENULISAN

C.

Mengetahui status aborsi, baik dalam aspek etika dan profesionalisme kedokteran, medikolegal dan agama. Mengetahui tindakan terbaik yang dapat dilakukan untuk pasien tersebut. MANFAAT PENULISAN

D.

Mahasiswa dilatih untuk memecahkan berbagai macam kasus yang memerlukan pertimbangan dari beberapa aspek, selain aspek medis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tertulis : Setiap dokter senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Namun dalam sumpah dokter, terdapat pernyataan: Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Dalam pernyataan ini, yang dimaksud makhluk insani masih belum dapat ditentukan dengan jelas dan pasti, mulai kapan awal kehidupan ditentukan, sehingga menimbulkan pertentangan. Karena itu Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) masih mengadakan perundingan tentang lafal sumpah dokter Indonesia melalui hasil referendum dari anggota IDI untuk memilih apakah kata mulai dari saat pembuahan hendak dihilangkan atau diubah. (MKEK, 2002). Sikap etis profesional berarti bekerja sesuai standar, melaksanakan advokasi, menjamin keselamatan pasien, menghormati terhadap hak-hak pasien. Kriteria perilaku profesional antara lain mencakup bertindak sesuai keahlian dan didukung oleh keterampilan, bermoral tinggi, memegang teguh etika profesi, serta menyadari ketentuan hukum yang membatasi gerak. (Wahyuningsih, et. al., 2005). Seluruh peraturan tentang kegiatan yang terkait dengan perihal kesehatan termasuk dalam hukum kesehatan. Dalam KUHP, pasal 346 hingga pasal 350 mengatur batasan-batasan aborsi. Namun dalam KUHP, kesengajaan aborsi sangat tidak dibenarkan. (KUHP, 2008) Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 15, dinyatakan bahwa dalam upaya menyelamatkan Ibu dan atau janinnya dapat dilakukan tindakan tertentu. Namun, tindakan tertentu ini belum dijelaskan lebih detil, seperti apa dan kriteria tertentu dalam pelaksanaan tindakan medis yang dimaksud. (UU Kesehatan, 1992) Secara umum, agama apapun melarang aborsi. Dalam agama Islam, umumnya hukum-hukum yang ada melarang aborsi. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Isra : 31 : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa besar.. Hadis riwayat Imam Al-Bukhari juga menyatakan : Seseorang dari kamu ditempatkan penciptaannya di dalam perut ibunya dalam selama empat puluh hari, kemudian menjadi alaqah selama itu pula (40 hari); kemudian menjadi mudhghah selama itu pula (40 hari); kemudian Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan empat kalimat (hal), dan dikatakan kepadanya: Tulislah amal, rizki dan ajalnya, serta celaka atau bahagia(nya); kemudian ditiupkan ruh padanya.. Dalam Islam, kaidah fiqih secara umum menyatakan : 1) Menghindarkan kerusakan (hal-hal negatif) diutamakan dari pada mendatangkan

kemaslahatan.; 2) Keadaaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan).; dan 3) Hajat terkadang dapat menduduki keadaan darurat. (MUI, 2005). Depresi pada ibu hamil sedikit banyak mempengaruhi perkembangan janin, bahkan masih berpengaruh dalam tahap perkembangan awal bayi setelah kelahiran. Peningkatan hormon stres pada ibu juga mengakibatkan hal yang sama pada janin. Hal ini tidak membahayakan nyawa ibu, hanya dapat mengakibatkan bayi lahir prematur dan berat badan dibawah normal. Selain itu, respon bayi terhadap lingkungannya kurang peka bila dibandingkan dengan bayi dari ibu yang tidak mengalami depresi. (Field, et.al., 2004) BAB III PEMBAHASAN Menurut etika kedokteran, setiap dokter harus menghormati setiap makhluk insani. Namun karena masih terdapat pertentangan maksud pasal dan sumpah dokter yang berkaitan dengan waktu dimulainya suatu awal kehidupan, maka dalam etika kedokteran, pelaksanaan aborsi dalam kasus ini diserahkan kembali kepada hati nurani masing-masing dokter. Dalam etika profesionalisme, apabila seorang dokter tidak memberanikan dirinya untuk melaksanakan tindakan aborsi, maka dokter tersebut dapat merekomendasikan pelaksanaan aborsi tersebut kepada dokter lain yang jelas kompeten di bidangnya, dengan tetap memantau dan bertanggung jawab atas keselamatan dan perkembangan pasien selanjutnya. Republik Indonesia yang berdasarkan hukum telah membuat hukum yang mengatur aborsi, dalam KUHP dan UU Kesehatan. KUHP menyatakan segala macam bentuk aborsi dilarang, bahkan dengan tujuan menyelamatkan nyawa Ibu. Sementara UU Kesehatan menyatakan pembolehan aborsi apabila nyawa Ibu dapat terancam apabila kehamilan diteruskan lebih lanjut. Dilihat dari sudut pandang agama, secara umum agama yang penulis anut (Islam) tidak membolehkan pelaksanaan aborsi. Namun, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan antara lain, kehamilan akibat perkosaan dapat digugurkan, apabila usia kehamilan tidak lebih dari 40 hari. Hal ini pun harus ditetapkan oleh tim yang berwenang yang terdiri dari keluarga korban, dokter, dan polisi. Hal ini mungkin didasarkan pada pertimbangan bahwa depresi yang diderita pasien akan mencapai tahapan yang lebih buruk, misalnya mengarah ke percobaan bunuh diri, jika kehamilan diteruskan. Dibandingkan jika pasien bunuh diri (kemudian membunuh diri sendiri dan janinyang belum ditiupkan ruhnya), lebih baik jika aborsi dilakasanakan, apabila memang dapat menjadi jalan pengobatan bagi pasien. Fatwa MUI ini jelas bukan sekadar pertimbangan asal-asalan. Fatwa ini merupakan konsensus bersama sejumlah besar cendekiawan muslim yang sudah mempretimbangkan matang-matang sebab dan akibatnya. Depresi pada kehamilan memang mempengaruhi perkembangan janin dan perkembangan bayi pada tahap-tahap awal kelahiran, namun tidak berpengaruh luas pada tumbuh kembang anak selanjutnya. Masalah mungkin hanya berupa masalah psikologis, namun secara fisik ibu hamil yang depresi tidak mempunyai dampak yang membahayakan selain bunuh diri apabila memang tingkat depresinya sudah menngkhawatirkan. BAB IV

KESIMPULAN Menurut etika dan profesionalisme kedokteran, serta agama, pelaksanaan aborsi pada kasus ini dapat diperbolehkan, karena memenuhi syarat-syarat terntentu yang telah ditetapkan. Namun menurut hukum hal ini masih rancu. Ada ketidakcocokan antara KUHP dengan UU Kesehatan, padahal sebagai dokter ada aturan-aturan hukum tertentu yang wajib dipatuhi, sehingga penulis berpendapat bahwa dalam kasus ini aborsi tidak dibenarkan dan tidak perlu dilakukan. Dengan alasan medis tertentu yang berhubungan dengan keselamatan nyawa ibu, memang tindakan aborsi diperbolehkan. Namun dalam kasus ini, depresi yang dimaksud diatas belum dapat menjadi alasan kuat pengguguran janin tersebut, karena depresi tidak membahayakan nyawa ibu. Aborsi yang dibenarkan secara hukum adalah apabila kehamilan mengancam jiwa dan keselamatan ibu. Sehingga, dalam kasus ini pasien sebaiknya disarankan untuk meneruskan kehamilannya. Depresi dan trauma psikologis selanjutnya dapat ditangani dengan terapi psikologis. BAB IV DAFTAR PUSTAKA Dorland. 2002. Kamus Kedokteran Edisi 29. Jakarta : EGC. Fauzi, Ahmad. Lucianawaty, Mercy. Hanifah, Laily. Bernadette, Nur. 2002. Aborsi di Indonesia. http://situs.kesrepro.info/gendervaw/jun/2002/utama03.htm, akses tanggal 15 oktober 2008, 17:34. Field, Tiffany. Diego, Miguel. Dieter, John. Hernandez-Reif, Maria. Schanberg, Saul. Kuhn, Cynthia. Yando, Regina. Bendell, Debra. 2004. Prenatal Depression Effects on The Fetus and The Newborn. http://cat.inist.fr/?aModele=afficheN&cpsidt=15748144, akses tanggal 15 Oktober 2008, 17:08. Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta : Majelis Kehormatan Etika Kedokteran. Majelis Ulama Indonesia. 2005. Fatwa MUI no.4 tahun 2005 Tentang Aborsi. Jakarta : www.mui.or.id/mui_in/fatwa.php?id=101 Presiden RI. 1992. UU no. 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan. Wahyuningsih, H.P. Hera, A.Y. 2005. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta : Fitrayama. Wikipedia. 2008. Aborsi. www.id.wikipedia.org Wujoso, Hari. 2008. KUHP.

You might also like