You are on page 1of 83

JAI

Volume II Nomor 03, November 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia


Dipersembahkan untuk kemanusiaan khususnya bangsa Indonesia melalui insan yang berkarya, belajar dan tertarik di bidang Anestesiologi dan Terapi Intensif

Diterbitkan oleh Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah

JAI

Jurnal Anestesiologi Indonesia Pelindung: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Ketua Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) Jawa Tengah Ketua Redaksi: dr. Uripno Budiono, SpAn Wakil Ketua Redaksi: dr. Johan Arifin, SpAn, KAP Anggota Redaksi: dr. Abdul Lian Siregar, SpAn, KNA dr. Hariyo Satoto, SpAn dr. Witjaksono, MKes, SpAn, KAR dr. Ery Leksana, SpAn, KIC, KAO dr. Heru Dwi Jatmiko, SpAn, KAKV, KAP dr. Jati Listianto Pujo, SpAn, KIC dr. Doso Sutiyono, SpAn dr. Widya Istanto N, SpAn, KAKV, KAR dr. Yulia Wahyu Villyastuti, SpAn dr. Himawan Sasongko, SpAn, MSi.Med dr. Aria Dian Primatika, SpAn, MSi.Med dr. Danu Soesilowati, SpAn dr. Hari Hendriarto, SpAn, MSi.Med Mitra Bestari: Prof. dr.Soenarjo,SpAn, KMN, KAKV Prof. dr.Marwoto, SpAn, KIC, KAO Dr.dr. Sofyan Harahap, SpAn, KNA Seksi Usaha: dr. Mochamat Administrasi: Maryani, Nik Sumarni Jurnal Anestesiologi diterbitkan 3 kali per tahun, setiap bulan Maret, Juli dan November sejak tahun 2009. Harga Rp.200.000,- per tahun. Untuk berlangganan dan sirkulasi: Ibu Nik Sumarni (081326271093) Ibu Kamtini (081325776326) Alamat Redaksi: Program Studi Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi, Jl. Dr. Sutomo 16 Semarang. Telp. 024-8444346.

Sejawat terhormat, Sehubungan dengan adanya keputusan Kongres Nasional IX IDSAI pada bulan Juli 2010 di Medan mengenai perubahan nama dari IDSAI menjadi PERDATIN, maka Pelindung Jurnal Anestesiologi Indonesia turut berubah menjadi PERDATIN Jawa Tengah. Pada nomor ini Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI) memuat penelitian klinik. Diantaranya adalah mengenai penggunaan MgSO4 terhadap derajat nyeri; pemberian natrium laktat hipertonik dan kombinasi lidokain dan epinefrin pada blok subarakhnoid. Granisetron, salah satu golongan SSRI diteliti efeknya terhadap pencegahan muntah pasca operasi. Dua tinjauan pustaka mengenai ventilasi dan monitoring kardiovaskuler intensif pada anak diharapkan menambah wawasan kita dibidang torakoanestesi dan terapi intensif. Semoga bermanfaat.

Salam,

dr. Uripno Budiono, SpAn

Artikel dalam jurnal ini boleh di-copy untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Apabila akan menggunakannya sebagai acuan, hendaknya mencantumkan artikel tersebut sebagai daftar pustaka dengan sitasinya.

DAFTAR ISI
PENELITIAN Tutus Nurastadila, Ery Leksana, Uripno Budiono Natrium laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien Sectio Caesaria Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus HES-steril 6% yang mengalami penurunan nilai SID. I Nyoman Panji, Heru Dwi Jatmiko, Aria Dian Primatika Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual Muntah Pasca Laparatomi Pemberian granisetron 1 mg mampu mengurangi mual muntah paska operasi yang sama efektifnya dengan kombinasi metoklopramid 10 mg dan deksametason 8 mg. Husni Riadi Nasution, Ery Leksana, Doso Sutiyono Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca Operasi Pemberian MgSO4 tidak mengurangi derajat nyeri dan kebutuhan opioid paska operasi. Rezka Dian Trisnanto, Uripno Budiono, Widya Istanto Nurcahyo Lama Analgesia Lidokain 2% Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan Epinefrin pada Blok Subarakhnoid Penggunaan kombinasi lidokain 2% 80 mg dan epinefrin 0,05 mg menghasilkan waktu regresi analgesia dan blokade motorik yang lebih panjang dibandingkan penggunaan lidokain. Hal. 125

136

146

154

TINJAUAN PUSTAKA Aditya Kisara, Hari Hendriarto Satoto, Johan Arifin Ventilasi Satu Paru Pembedahan di daerah thoraks menghadirkan masalah fisiologis untuk ahli anestesi sehingga membutuhkan pertimbangan khusus. Salah satu diantaranya adalah ventilasi satu paru. Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan ventilasi satu paru. Dicky Hartawan, Danu Soesilowati, Uripno Budiono Ventilasi Mekanik Noninvasif Ventilasi mekanik dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif. Aprilina Rusmaladewi, Ery Leksana, Widya Istanto Nurcahyo Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular.

160

169

180

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Natrium Laktat Hipertonik dan Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien Sectio Caesaria
Tutus Nurastadila*, Ery Leksana*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Backgrounds: Fluid therapy is an important part of peri-operative patient management. An adequate plasma volume is important to maintain cardiac output and tissue perfusion. In pregnant women, there is retention of sodium and potassium during pregnancy, but the whole concentration of these serum electrolytes decreases because of water retention which results in hemodilution. Until now, volume of hemorrhage is replaced based on the amount of blood loss, without considering the acid-base balance. Considering the acidbase balance will help post operative patient management. Objectives: to prove that hypertonic sodium lactate solution is better than Haes-sterile 6% in maintaining Stewart acid base balance in sectio caesarean. Methods: This is an experimental study. It is a 2nd phase clinical study to know the efficacy of hypertonic sodium lactate solution and Haes-sterile 6% on strong ions difference (SID) based on Stewart method. There are 48 samples, divided into two groups. LH groups are patients with 250 ml hypertonic sodium lactate solution and Haes group are patients with 500 ml Haes-sterile 6%, during sectio caesarean. Venous blood is taken wore and after surgery. The noted variables used for statistical analysis which are included in the objectives of the study are the concentration of serum electrolyte. These variables are tested using independent t-test and paired t-test, with the significance level a = 0,05. Result: SID in hypertonic sodium lactate group before and after sectio caesarean surgery increased significantly, p=0,000 (p <0,05). SID in Haes group before and after sectio caesarean surgery decreased significantly, p=0,000 (p < 0,05). Conclusion: The use of hypertonic sodium lactate solution can maintain post operative SID up to its normal value, compared with the use of Haes-sterile 6% which is decreasing SID. Keywords: Hypertonic sodium lactate, Haes-sterile 6%, strong ions difference (SID)

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

125

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK Latar belakang: Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk mempertahankan curah jantung dan seterusnya perfusi jaringan. Pada wanita hamil terjadi penumpukan natrium dan kalium selama kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan konsentrasi elektrolitelektrolit tersebut menurun karena terjadi retensi cairan yang menyebabkan hemodilusi. Selama ini, volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah yang keluar tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Dengan memperhatikan keseimbangan asam-basa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien paska operasi. Tujuan: Untuk membuktikan bahwa cairan sodium laktat hipertonik lebih baik dibanding cairan haes-steril 6% dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa Stewart dalam tindakan operasi sectio caesaria. Metode: Penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian cairan sodium laktat hipertonik dan infus haes-steril 6% terhadap strong ions difference (SID) yang berdasarkan metode Stewart. Sampel berjumlah 48 pasien dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok LH mendapat sodium laktat hipertonik 250 ml dan kelompok Haes mendapat Haes-steril 6% 500 ml, selama operasi sectio caesaria. Darah vena diambil sebelum operasi dan setelah operasi. Data-data yang dicatat untuk perhitungan statistik yang termasuk dalam tujuan penelitian ini adalah kadar elektrolit. Uji statistik menggunakan independent t-test dan paired t-test, dengan derajat kemaknaan a = 0,05. Hasil: SID pada kelompok sodium laktat hipertonik sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami kenaikan yang bermakna p=0,000 (p <0,05). SID pada kelompok Haes sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami penurunan yang bermakna p=0,000 (p < 0,05). Simpulan : Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus Haes-steril 6% yang mengalami penurunan nilai SID. Kata kunci: Sodium laktat hipertonik, Haes-steril 6%, strong ions difference (SID)

PENDAHULUAN Penderita yang dirawat di rumah sakit memerlukan perawatan yang paripurna, baik dari segi pengobatan maupun pembedahan. Bila diperlukan, perawatan yang baik maupun dukungan pemberian cairan yang memadai melalui parenteral

sangat membantu dalam proses penyembuhan atau memperpendek masa perawatan di rumah sakit. Tatalaksana cairan merupakan bagian penting penanganan pasien pada masa perioperatif. Volume plasma yang adekuat penting untuk mempertahankan curah jantung dan perfusi jaringan. Strategi tatalaksana cairan

126

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

telah mengalami beberapa pergeseran selama 50 tahun belakangan ini. Sebelum tahun 60-an, restriksi cairan intraoperatif banyak dipraktekkan. Pada awal tahun 1960-an ditunjukkan bahwa trauma dan pembedahan mayor disertai dengan kebutuhan cairan yang secara bermakna melampaui laju rumatan cairan yang biasa. Sebagai konsekuensinya pemberian cairan menjadi kurang restriktif. Satu dekade kemudian, pilihan cairan menjadi subyek debat yang intensif, dan berlangsung hingga saat ini. Lebih belakangan lagi, tatalaksana cairan yang diarahkan pada suatu sasaran ternyata memperlihatkan keuntungan pada kasuskasus pembedahan.1 Pada wanita hamil terjadi peningkatan isi plasma sekitar 45% yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan janin dan melindungi ibu dan kehilangan darah pada waktu persalinan. Terjadi juga penumpukan natrium dan kalium selama kehamilan, akan tetapi secara kesuluruhan konsentrasi elektrolit-elektrolit tersebut menurun karena retensi cairan yang menyebabkan hemodilusi.2,3 Pada saat cukup bulan, kandungan air dari janin, plasenta dan cairan amnion berjumlah sekitar 3,5 liter. Terjadi edema pada pergelangan kaki dan tungkai bawah, terjadi pada sebagian besar wanita hamil. Pengumpulan cairan ini sekitar 1 liter disebabkan oleh meningkatnya tekanan vena di bagian yang lebih rendah dari uterus akibat sumbatan parsial pada vena kava oleh uterus. Penurunan tekanan osmotik koloid interstisial juga menimbulkan edema pada akhir 4 kehamilan.
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Pasien yang menjalani pembedahan terbagi dalam beberapa klasifikasi berdasarkan pada dua hal yaitu hemodinamik dan perkiraan volume darah (estimated blood volume / EBV). Pada pasien sectio caesaria tanpa penyulit terjadi perdarahan sekitar 400-500 ml ( 15% dari EBV) dapat diganti dengan cairan koloid sesuai dengan darah yang hilang.5 Selama ini, volume perdarahan yang terjadi diganti berdasarkan jumlah yang keluar tanpa memperhatikan keseimbangan asam-basa. Dengan memperhatikan keseimbangan asam-basa, akan sangat membantu dalam mengelola pasien paska operasi. Keseimbangan asam-basa merupakan keseimbangan antar komponen elektrolit cairan tubuh yang dinilai dengan menggunakan persamaan dari Stewart. Dimana menurut Stewart pH darah merupakan variabel dependen yang ditentukan oleh PaCO2, konsentrasi weak acid (asam lemah) dan strong ions difference (SID). Strong ions yang terpenting adalah K+, Na+, dan ClPenilaian didasarkan pada hasil pemeriksaan laboratorium BGA, albumin, dan elektrolit (Na+, K+, Cl- , Mg++, PO4) preoperatif dan postoperatif. Penelitian yang dilakukan selama ini hanya berkisar pada masalah perbandingan antara cairan kristaloid atau koloid terhadap keseimbangan asam-basa HendersenHasselbalch, akan tetapi belum dilakukan penelitian yang lebih spesifik dengan menggunakan metode Stewart. Padahal pemberian cairan pada pasien operatif memerlukan penggantian cairan yang cepat, dengan harapan dapat mempertahankan kadar 02 dalam jaringan secara adekuat.6
127

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penilaian keseimbangan asam-basa dengan metode Stewart memiliki kelebihan dibandingkan metode HendersenHasselbalch, dimana kelebihan Stewart terletak pada konsistensi penilaian pada faktor kompensasi tubuh dalam mempertahankan keseimbangan asambasa. Faktor kompensasi yang tidak didapatkan pada Hendersen-Hasselbalch adalah faktor yang menilai proses pertukaran cairan tubuh yang dipengaruhi oleh tekanan onkotik. Penentu tekanan onkotik tersebut adalah albumin.6 Penelitian ini khusus dilakukan pada pasien yang menjalani operasi dengan perkiraan perdarahan kurang dan 15% EBV, karena dievaluasi berkaitan dengan penggantian volume perdarahan. Pada operasi dengan perdarahan lebih dan 15% EBV, dianjurkan penggantian cairan dengan darah. Selama penggantian cairan tersebut terjadi perubahan metabolik dalam tubuh, antara lain keseimbangan antar elektrolit.5 Kasus-kasus dengan perdarahan kurang dan 15% EBV banyak ditemukan pada operasi sectio caesaria, laparotomi tanpa reseksi usus, bedah urologi, pasien trauma ortopedi tertutup, trauma kepala/epidural hematoma (EDH), dan operasi-operasi lain dengan perdarahan yang dapat dikendalikan. Selama ini, penggantian cairan pada pasien operasi dengan perdarahan kurang dan 15% EBV dengan anestesi regional lebih banyak 7 menggunakan cairan koloid. Pemberian infus sodium laktat hipertonik akan meningkatkan osmolaritas plasma karena mempunyai kandungan sodium
128

yang tinggi dan menyebabkan cairan berpindah dan intrasel ke ekstrasel,8 meningkatkan isi intravaskuler dan intersisial dengan demikian dapat meningkatkan hemodinamik. Dengan pemberian cairan ini sebenarnya kita menambahkan natrium lebih banyak dibandingkan klorida, sehingga akan menaikkan SID, pH dan mencegah asidosis hiperkloremik, sedangkan laktat sebagai substrat energi alternatif bagi sel yang siap pakai dan mudah 9 dimetabolisme. Sodium laktat hipertonik tidak membuat reaksi alergi dibandingkan dengan plasma ekspander yang lain dan tidak mempunyai resiko penyebaran sumber infeksi seperti human plasma.10 Cairan sodium laktat hipertonik dengan konsentrasi 1,8%-7,5% telah diteliti penggunaannya pada pasien perdarahan,11 sakit jantung,12 syok hipovolemik, dan paska operasi.13 Hasil penelitian Zhu, dkk membuktikan bahwa pemberian sodium laktat hipertonik bermanfaat dalam meningkatkan fungsi jantung paska luka bakar dan tidak hanya mempengaruhi lipid-peroxidation di dalam organ jantung tetapi juga meningkatkan aktifitas organ jantung.14 Bruegger, dkk membandingkan antara pemberian infus sodium laktat hipertonik dengan hydroxyethyl starch (Haes) dalam cairan NaCI, kedua cairan tersebut menurunkan kadar asam lemah plasma, SID dan pH (7,28-7,30). Penurunan bikarbonat juga sama dan proporsional untuk berbagai tingkat dilusi. Hal tersebut menyebabkan asidosis metabolik terkoreksi untuk kedua grup setelah pembedahan.15
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Berdasarkan penelitian Jarvela, dkk pemberian 1,6 ml/kg 7,5% salin hipertonik lebih efektif dibanding 13 ml/kg NaC1 0,9% dalam mencegah perubahan hemodinamik pada pasien dengan American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II yang dilakukan tindakan arthroscopy lutut atau operasi orthopedi anggota badan bawah. Efek merugikan seperti hipernatremia, hiperosmolalitas, dan hipokalemia dapat dicegah.16 Berdasarkan hasil penelitian Markus, dkk didapatkan kesimpulan bahwa pada pemberian cairan 6% hydroxyethyl starch pada pasien dengan Acute Normovolemic Hemodilution (ANH), didapatkan volume darah yang cukup akan tetapi terjadi penurunan konsentrasi albumin dan pH.17 Pada suatu penelitian yang dilakukan Witt, dkk didapatkan bahwa pemberian Haes menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma klorida yang signifikan (P<0,01) penurunan SID (P<0,01), anion gap turun signifikan (P<0,01), sedangkan Base Excess (BE) dan pH tidak berubah secara signifikan.18 Adanya hipotensi maternal (sistolik kurang dan 100 mmHg atau turun lebih dari 30 mmHg dari tekanan darah awal) pada spinal anestesi untuk sectio caesaria ini disebabkan karena blokade simpatis dan diperbesar oleh penekanan aorta dan vena kava bawah oleh uterus pada posisi terlentang. Untuk mencegah hal tersebut diberikan 1000-1500 ml cairan Ringer Laktat (RL) 15-30 menit sebelum spinal anestesi.19

Pemilihan keseimbangan asam-basa Stewart didasarkan pada kenyataan yang terjadi di Intensive Care Unit (ICU) RSDK, bahwa terapi cairan yang didasarkan pada Handersson-Hasselbalch tidak lebih baik daripada Stewart. Bukti dan keseimbangan tersebut diniiai dari hasil pemeriksaan laboratorium BGA, elektrolit, albumin, dan kondisi obyektif dari pasien. Apabila kita bekerja di suatu rumah sakit tanpa pendukung pemeriksaan BGA, hanya dengan pemeriksaan elektrolit (Na, K, C1) kita bisa mengetahui status keseimbangan asam basa pasien berdasarkan SID. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian yang membandingkan antara cairan sodium laktat hipertonik dengan 6% hydroxyethyl starch (Haes-steril 6%). Dimana cairan sodium laktat hipertonik dalam hal biaya lebih murah dibandingkan dengan haes-steril 6%. Pemeriksaan yang akan dilakukan adalah penghitungan SID yang bersumber dari hasil pemeriksaan elektrolit, sedangkan albumin dan pCO2 tidak diperiksa dikarenakan SID lebih mewakili status keseimbangan asam-basa Stewart.5 Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa cairan sodium laktat hipertonik lebih baik dibanding cairan Haes-steril 6% dalam mempertahankan SID dalam tindakan operasi sectio caesaria. Apabila terbukti bahwa SID cairan sodium laktat hipertonik lebih baik dibandingkan Haes-steril 6%, maka pemanfaatan cairan sodium laktat hipertonik selama tindakan operasi dapat mengurangi kejadian ketidakseimbangan elektrolit. Hasil
129

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian dapat dijadikan sumbangan teori dalam mengungkapkan pengaruh pemberian cairan sodium laktat hipertonik dan cairan Haes-steril 6% terhadap keseimbangan asam-basa. Dapat dijadikan dasar penelitian lebih lanjut, dengan berlandaskan teori keseimbangan asambasa dan Stewart. METODE Jenis penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas pemberian infus sodium laktat hipertonik dan infus Haes-steril 6% terhadap SID yang didasarkan pada metode Stewart. Pengukuran dilakukan awal sebelum diberikan perlakuan dan setelah perlakuan. Skema penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:

tidak ada gangguan fungsi hati, tidak ada gangguan fungsi paru, tidak ada gangguan fungsi ginjal, tidak ada penyakit kardiovaskuler, tidak ada gangguan elektrolit (natrium, kalium, khlorida), tidak terdapat permasalahan yang timbul yang akibat oleh anestesi regional, seperti alergi, spinal tinggi ataupun total spinal. Adanya perdarahan masif lebih dari 500 ml. Dilakukan tindakan anestesi umum karena anestesi regional gagal. Cara pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling terhadap semua penderita yang dipersiapkan untuk operasi elektif, usia 20-35 tahun, ASA I-II, posisi terlentang, di mana semua penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam sampel sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi, bersedia menjadi sukarelawan. tingkat kesalahan tipe II ). Persamaan untuk jumlah sampelnya adalah : Berdasarkan jumlah sampel, maka penderita dikelompokkan ke dalam 2

Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang, dimulai dari bulan Juli sampai bulan September 2009. Populasi penelitian adalah semua penderita yang akan menjalani pembedahan elektif ataupun cito sectio caesaria dengan perkiraan perdarahan kurang dari atau sama dengan 15% EBV dengan teknik anestesi regional. Pasien Sectio caesaria dengan umur antara 20 35 tahun dengan regional anestesi, status fisik ASA I II, berat badan normal, lama operasi 60-120 menit, jumlah perdarahan < 15% EBV,
130

kelompok penelitian, yaitu : Kelompok A (perlakuan-1) : penderita dengan diberikan infus sodium laktat hipertonik Kelompok B (perlakuan-2) : penderita dengan diberikan infus Haessteril 6%. Seleksi penderita dilakukan pada saat kunjungan pra operasi, penderita yang memenuhi kriteria ditentukan sebagai sampel. Penelitian dilakukan terhadap 48

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penderita yang sebelumnya telah rnendapatkan penjelasan dan setuju mengikuti semua prosedur penelitian. Saat di ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung dan laju nafas. Semua penderita dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Untuk menghindari ketidakseimbangan antara dua kelompok subyek, dilakukan cara randomisasi blok yang bertujuan membuat tiap kelompok mempunyai jumlah subyek yang seimbang. Data diolah dan dianalisis dengan komputer menggunakan program SPSS 15.0 dan dinyatakan dalam nilai rerata simpang baku ( mean SD ). Uji statistik menggunakan t-test dan derajat kemaknaan p<0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel. HASIL Telah dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian cairan sodium laktat hipertonik dibandingkan Haes-steril 6% terhadap strong ions difference pada 48 orang penderita yang menjalani operasi sectio caesaria dengan status fisik ASA I dan II setelah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok penderita dengan diberikan infus sodium laktat hipertonik (LH) dan kelompok penderita dengan diberikan infus Haessteril 6% (Haes) dimana masing-masing 24 orang tiap kelompok.

Tabel 1. Karakteristik penderita

Hasilnya didapatkan data yang homogen (perbedaan yang tidak bermakna, p > 0,05) dari semua variabel yaitu umur, tinggi badan, berat badan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik sebelum dilakukan perlakuan.
Tabel 2.Rerata SID pada kelompok LH dan Haes pra dan paska sectio caesaria

Dari Tabel 2 diatas dapat kita lihat bahwa, rerata nilai SID sebelum operasi tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok sodium laktat hipertonik dan kelompok Haes-steril 6% (p>0,05). Sedangkan rerata SID setelah operasi antara kelompok sodium laktat hipertonik dan Haes-steril 6% terdapat perbedaan yang bermakna (p < 0,05).
Tabel 3.Rerata SID pada kelompok LH pra dan paska sectio caesaria

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

131

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Dari Tabel 3 dapat kita lihat bahwa SID pada kelompok sodium laktat hipertonik sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami kenaikan yang bermakna (p <0,05).

PEMBAHASAN Pemberian cairan pengganti selama tindakan operasi memang menjadi suatu hal yang kontroversial dalam menentukan keefektifan dan efisiensi dalam penggantian cairan. Keduanya dianggap merupakan cairan yang paling baik didasarkan kandungannya. Berdasarkan interpretasi karakteristik subyek kedua kelompok penelitian antara kelompok sodium laktat hipertonik dangan Haessteril 6% yaitu umur, tinggi badan, berat badan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik sebelum dilakukan perlakuan tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna, sehingga kedua kelompok tersebut layak untuk dibandingkan. Nilai SID sebelum operasi antara kelompok sodium laktat hipertonik dan Haes-steril 6% tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05), sehingga kedua kelompok sebanding dan layak untuk dibandingkan. Sedangkan nilai SID setelah operasi pada kelompok sodium laktat hipertonik dan Haes-steril 6% terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05) diartikan bahwa sodium laktat hipertonik lebih baik di dalam mempertahankan SID dibandingkan Haes-steril 6%. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Miller dan kawankawan bahwa selama pemberian sodium laktat hipertonik terjadi peningkatan SID mendekati nilai normal akibat kenaikan natrium, hal tersebut berperan dalam penurunan ion hidrogen, sehingga keseimbangan asam basa dipertahankan lebih baik.20

Tabel 4.Rerata SID pada kelompok Haes pra dan paska sectio caesaria

Dan Tabel 4 diatas dapat kita lihat bahwa SID pada kelompok Haes sebelum dan sesudah operasi sectio caesaria mengalami penurunan yang bermakna (p < 0,05).
Grafik 1. Rerata SID pada kelompok Haes pra dan paska sectio caesaria

Pada waktu pra operasi sectio caesaria nilai rata-rata SID pada kelompok LH (34,08) relatif sama dengan kelompok Haes (32,88). Setelah dilakukan operasi sectio caesaria (paska operasi) terjadi kenaikan SID pada kelompok LH (38,58) lebih tinggi dibandingkan kelompok Haes (29,29) dimana kelompok Haes mengalami penurunan SID paska operasi dibandingkan sebelumnya.

132

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Berdasarkan Tabel 3 nilai SID pada kelompok sodium laktat hipertonik sesudah operasi mengalami kenaikan yang bermakna (p<0,05) dan cenderung ke arah SID normal (36-40) ini diartikan bahwa sodium laktat hipertonik baik dalam mempertahankan SID. Pada Tabel 4, SID pada kelompok Haes sesudah operasi mengalami penurunan yang bermakna (p<0,05) ini berarti bahwa pemberian Haes sebelum operasi kurang baik dalam mempertahankan SID selama operasi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Will bahwa pemberian Haes pada pasien anak dengan pembedahan akan mengalami penurunan SID yang bermakna.18 Diperkuat lagi oleh pendapat Markus bahwa pemberian Haes pada pasien dengan acute normovolemic hemodilution (ANH) mengalami penurunan SID tiga kali lebih besar dibandingkan pemberian konsentrasi plasma albumin dimana akan membuat asidosis metabolik.17 Sodium laktat hipertonik dapat digunakan untuk mengisi volum intravaskuler yang kekurangan cairan dalam waktu singkat dan dalam jumlah kecil. Sodium merupakan elektrolit paling penting sebagai mekanisme transport aktif sodiumpotassium (Na+-K+) pump. Na+ akan bergerak dari ekstrasel ke intrasel dan dalam waktu yang bersamaan K+ akan keluar dan intrasel. Masuknya cairan ke dalam vaskuler setelah pemberian sodium laktat hipertonik akan meningkatkan tonisitas secara tiba-tiba. Cairan akan berpindah dari intrasel ke dalam kompartemen ekstraseluler. Cairan intertisial juga bergerak ke dalam kompartemen intravaskuler akibat + perbedaan osmotik. Penambahan Na lebih
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

banyak dibandingkan CI- yang akan meningkatkan SID ataupun pH. Selain itu laktat merupakan anion yang sangat baik metabolismenya, meskipun pasien dalam kondisi yang jelek. Laktat merupakan metabolit fisik dan berperan sebagai substrat energi yang dioksidasi secara aktif pada mitokondria sel seluruh tubuh. Khususnya pada pada otak, ginjal, jantung dan otot mempunyai aktifitas yang tinggi.20,21,22,23 Menurut asam basa Stewart bahwa status asam basa cairan tubuh ditentukan oleh beberapa variabel independen. Di dalam plasma darah, variabel independen tersebut adalah pCO2, SID, dan konsentrasi total asam lemah nonvolatil (albumin dan fosfat). Dari keterangan diatas terlihat bahwa SID merupakan variabel independen yang terpenting dalam pengaturan asam-basa antarmembran. ionion kuat dapat melewati membran dan bergerak mengikuti atau melawan 22 perbedaan konsentrasi. SIMPULAN Pemberian cairan infus sodium laktat hipertonik dan infus Haes-steril 6% yang diberikan selama operasi sectio caesaria, kemudian dilakukan penilaian terhadap strong ions difference (SID) menunjukkan hasil bahwa: pemberian infus sodium laktat hipertonik lebih baik dibandingkan Haes-steril 6% dikarenakan nilai SID sodium laktat hipertonik lebih tinggi dibandingkan nilai SID Haes-steril 6%. Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai
133

Jurnal Anestesiologi Indonesia

normal dibandingkan infus Haes-steril 6% yang mengalami penurunan nilai SID. Penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam memilih cairan infus yang diberikan pada pasien-pasien yang akan menjalani operasi besar dengan perdarahan kurang dan 15% Estimate Blood Volume (EBV), dimana cairan sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan strong ions difference dan keseimbangan asam-basa Stewart. Sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melakukan penilaian terhadap parameter asam-basa Stewart yang lain seperti penilaian terhadap kadar albumin dan BGA (pCO2) karena untuk menilai secara keseluruhan bangsa Steward untuk kepentingan terapi, juga harus mempertimbangkan parameter lain. DAFTAR PUSTAKA
1. Sunatrio S. Tatalaksana Cairan Intraoperatif dan Pilihan Cairan. Naskah Lengkap KONAS IDSAI Makasar 2004: 56-73. American College of Obstetricians an Gynecologists (ACOG) Committee on Obstetrics: Maternal and Fetal Medicine. Utility of Umbilical Cord Blood Acid Base Assesment. Washington DC; 1991. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Obstetric Anesthesia. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. United States of America: Lange Medical Books/ Mc GrawHill Medical Publishing Edition; 2006: 890919. Cunningham FG, Mc Donald PC, Gaut NF. Williams Obstetrics Alih bahasa: Suyono J, Hartono A. Edisi 18. EGC. Jakarta, 1995: 51126. Leksana E. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam Basa, Syok dan Terapi Cairan. CPD IDSAI Jateng. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Undip. Semarang; 2006. Mustafa I, George YWH, Fauzi D. Keseimbangan Asam Basa: Patofisiologi, diagnosis dan terapi. ICU Pusat Jantung Nasional RS Harapan Kita Jakarta.

7. 8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

2.

15.

3.

16.

4.

17.

5.

6.

18.

Sunatrio S. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius Jakarta 2000. Onarheim H. Fluid Shifts Following 7% Hypertonic Sodium Saline (2400 mosm/L) infusion. Shock 1995;3: 350-4. Tollofsrud S, Noddeland H. Hypertonic Saline and Dextran after Coronary Artery Surgery Mobilises Fluid Excess and Improves Cardiorespiratory Functions. Acta Anaesthesiol Scand 1998;42:154-61. Vissar MJ, Perry CA, Holcroft JW. Analysis of Potential Risks Associated with 7,5% Sodium Chloride Resucitation of Traumatic Shock. Arch Surg 1990;125:1309-15. Bitterman H, Triolo J, Lefer AM. Use of Hypertonic Saline in The Treatment of Hemorrhagic Shock. Circ Shock 1987;21:27183 Ramires JAF, Serrano CV Jr, Cesar LAM. Acute Hemodynamic Effects of Hypertonic (7,5%) Saline Infusion in Patients with Cardiogenic Shock Due to Right Ventricular Infarction. Circ Shock 1992; 37: 220-5. Ramires JAF, Serrano CV Jr, Cesar LAM. Acute Hemodynamic Effects of Hypertonic (7,5%) Saline Infusion in Patients with Cardiogenic Shock Due to Right Ventricular Infarction. Circ Shock 1992; 37: 220-5. Cross JS, Gruper DP, Burchard KW. Hypertonic Saline Fluid Therapy Following Surgery; a prospective study. J Trauma 1989; 29: 817-25. Zhu S, Liu S, Ge S. Effect of Resuscitation with Hypertonic Sodium Lactate Dextran 70 on Cardiac Function in Severely Burned Dogs. Zhonghua Zheng Xing Shaoshang Wai Ke Za Zhi.1995;11: (6):430-2. Bruegger D, Bauer A, Rehm M, Niklas M, Jacob M, Iribeck M et all. Effect of Hypertonic Saline Dextran on Acid-Base Balance in Patients Undergoing Surgery of Abdominal Aortic Aneurysm. Crit Care Med. 2005 Mar; 33(3):556-63. Jarvela K, Honkonen SE, Jarvella T, Koobi T, Kaukinen S. The Comparison of Hypertonic Saline (7,5%) and Normal Saline (0,9%) for Initial Fluid Administration before Spinal Anesthesia. Departments of Anesthesia and Intensive Care. Tampere University Hospital. Tampere Finland. Anesth Analg 2000; 91:1461-5. Markus R, Victoria 0, Stefan S, Uwe K, Heinz B, Udilo F. Acid Base Changes caused by 5% Albumin Versus 6% Hydroxyethyl Starch Solution in Patients undergoing Acute Normovolemic Hemodilution: A Randomized Prospective Study. Anesthesiology 2000; 93(5): 1174-83. Witt L, Osthaus WA, Jutcher B, Heimbucher C, Sumpelmann R. Alteration of Anion Gap and Strong Ion Difference caused by

134

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

19.

20.

21.

22.

23.

Hydroxyethyl Starch 6% (130/0,42) and gelatin 4% in Children. J Paed Anaesth 2008 Oct; 18(10):934-9. Bisri T. Anestesi pada bedah caesar. Dalam: Obstetri anestesi. Ed 1. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin; 1997.44. Miller B, Lindinger M, fattor J, Jacobs K. Hematological and Acid-Base Change in Men During Prolong Exercise with and without Sodium Lactate Infusion. URL.http//www.Anesthesia-analgesia.org/lgi/c ontent/ful1/102/6/1836. Lang K, Boldt J, Suttner S, Haisch E. Colloid versus Crystalloid and Tissue Oxygen Tension in Patients undergoing Major Abdominal Surgery. Anesthesia Analgesia Journal 2001; 93: 405-9. Leksana E. Hypertonic Sodium Lactate Solution. CPD IDSAI Jateng. Anestesi dan Terapi Intensif FK Undip. Semarang; 2006. Chiolero RL,Revelly JP, Laverne X et all. Effect of cardiogenic shock on lactate and glucose metabolism after heart surgery. Crit Care Med. 2000;28:3784-91.

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

135

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN

Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual Muntah Paska Laparatomi
I Nyoman Panji*, Heru Dwi Jatmiko*, Aria Dian Primatika*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Backgroud: Post-operative Nausea and Vomitus (PONV) is commonly unsatisfy experienced by patient after surgical procedures with general anesthesia. Laparatomy is one among high risk groups for PONV. Objective: The aim of this study to compare the efficacy between granisetron 1 mg and combination metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg in preventing PONV after laparatomy. Methods: This research was a clinical trial stage 1 in 48 patients undergoing laparatomy surgery by general anesthesia. All patients were observe the 6 hours fasting period before induction of anesthesia. Pasien randomly divided in to two group. Group I treatment with granisetron that given 30 to 60 minutes before end operation. Group II treatment with metoclopramide 10 mg and dexamethasone 8 mg, that dexamethasone given before induction of anesthesia and metoclopramide administration 30 to 60 minutes before end operation. All patient were observe the nausea and vomiting 24 hours post operative. Results: There was no significant difference for patient characterictics data distribution between two group before treatment. There was no significant difference to decrease nausea and vomiting after laparatomy between two groups. Patient who had received intravenous 1 mg granisetron incidence nausea-vomiting was 83,3 % while patient who had received the combination 10 mg metoklopramid and 8 mg dexamethasone incidence nauseavomiting was 75%. Conclusion: There was no antiemetics which fully effective to exceed post operative nausea and vomitus. Combination 10 mg metoclopramide and 8 mg dexamethasone has similar effect like 1 mg granisetron on prevent Post-operative Nausea and Vomitus but higher adverse effects. Key words: nausea, vomiting, granisetron, metoclopramide, dexamethasone, laparatomy

136

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektifitas antara granisetron 1 mg dan kombinasi metoklopramid 10 mg dengan deksametason 8 mg dalam mencegah mual muntah paska laparatomi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian tahap I pada 48 penderita yang menjalani laparatomi dengan anestesi umum. Semua penderita dipuasakan 6 jam sebelum dilakukan induksi anestesi. Pasien secara random dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok I diberikan granisetron 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai. Dan kelompok II diberikan deksametason sebelum induksi anestesi dan metoklopramid 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai. Semua pasien diamati kejadian mual muntah paska operasi selama 24 jam. Hasil: Didapatkan perbedaan tidak bermakna pada distribusi karakteristik pasien antara kedua kelompok sebelum perlakuan. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang tidak bermakna kejadian mual muntah paska laparatomi pada kedua kelompok. Dimana pasien yang diberikan granisetron 1 mg didapatkan kejadian mual muntah sebesar 83,3 % sedangkan pasien yang diberikan kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg didapatkan angka kejadian mual muntah sebesar 75%. Simpulan: Tidak ada antiemetik yang mampu sepenuhnya mencegah mual muntah paska operasi. Pemberian kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg mampu mengurangi resiko mual muntah paska operasi yang hampir sama efektifnya dengan granisetron 1 mg dengan efek samping lebih banyak. Kata kunci: mual, muntah, granisetron, metoklopramid, deksametason, laparatomi

PENDAHULUAN Mual dan muntah dapat merupakan manifestasi berbagai kondisi termasuk diantaranya adalah efek samping suatu pengobatan, gangguan sistemik atau infeksi, kehamilan, disfungsi vestibuler, peningkatan tekanan sistem saraf pusat, peritonitis, gangguan hepatobilier, paska radiasi atau kemoterapi, serta gangguan pada usus berupa obstruksi, dismotilitas atau infeksi.1,2 Mual dan muntah paska operasi (PONV) adalah salah satu keluhan paling umum setelah anestesi dan operasi.3 Mual dan muntah dapat lebih menyulitkan terutama pada operasi minor atau operasi rawat
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

jalan.4 Hal ini karena mual dan muntah dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang luas.5,6 Secara fisik mual dan muntah paska operasi dapat menimbulkan keluhan berkeringat, nyeri perut, lemah dan mengurangi kenyamanan pasien. Risiko terhadap tindakan pembedahannya berupa terbukanya kembali luka operasi, perdarahan sampai penyembuhan luka yang terhambat.7,8 Dan segi anestesi dapat meningkatkan risiko aspirasi isi lambung ke dalam paru-paru, gangguan cairan dan elektrolit.9,10,11 Hal ini menimbulkan implikasi bagi rumah sakit berupa pemanjangan masa perawatan dan perawatan rumah sakit yang tidak terduga serta peningkatan biaya perawatan terutama bagi pasien rawat jalan.12
137

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Granisetron merupakan antagonis reseptor serotonin yang bersifat lebih selektif dan masa kerja lama dibanding antagonis reseptor serotonin yang lain.13,14 Waktu paruh eliminasi granisetron adalah 2,5 kali lebih lama dan ondansetron sehingga frekuensi pemberian hams dikurangi.13 Granisetron efektif untuk mencegah mual muntah selama 24 jam pada sekali pemberian. Harga yang mahal membatasi penggunaan granisetron dalam aplikasi klinis.15,16,17 Fujii Y dan Tanaka H membandingkan pemberian dosis granisetron untuk pengelolaan PONV pada wanita yang menjalani operasi payudara antara dosis 10, 20, 40 dan 80 pg/kgBB. Dan penelitian ini didapatkan bahwa dosis efektif minimal untuk profilaksis dan granisetron adalah 20 pg/kgBB. Peningkatan dosis sampai 80 pg/kgBB tidak memberikan keuntungan bermakna.18 Sedangkan metoklopramid adalah obat golongan antidopaminergik yang juga sering dipakai dalam mengatasi mual muntah.19 Terhadap PONV metoklopramid memberikan hasil yang berbeda-beda.7,19,20 Oleh sebagian peneliti metoklopramid dosis tunggal pada dosis standar dianggap tidak efektif pada PONV.7,19 Meskipun secara meta-analisis pemberian metoklopramid 10 mg intravena hanya memiliki efek yang yang sedikit, namun mekanisme kerjanya yang komplek (terikat dengan reseptor dopamin, serotonin dan histamin) maka metoklopramid masih menjadi obat yang menarik untuk mencegah PONV.7

Wallenborn J menyatakan tidak ada obat antiemetik tunggal yang mampu memberikan penyelesaian mual muntah paska operasi secara menyeluruh. Pemberian dosis obat yang terlalu tinggi tidak memungkinkan karena menimbulkan banyak efek samping dan dapat melampaui batas keamanan, sehingga memungkinkan pemberian kombinasi obat-obat 7 antiemetik. Akhir-akhir ini kombinasi obat dengan mekanisme dan tempat kerja berbeda digunakan untuk mencapai efek antiemetik yang maksimal untuk melawan PONV.19 Kombinasi obat ini menguntungkan karena memiliki efek yang saling menguatkan.7 Deksametason adalah obat golongan kortikosteroid yang telah diketahui memiliki efek antiemetik paska operasi. 21,22,23,24 Secara umum dosis deksametason yang efektif untuk mencegah PONV berkisar 8-10 mg.25,26 Pemberian deksametason sebelum operasi jauh lebih efektif dibandingkan pemberian sesudah operasi dalam angka kejadian PONV.27 Karena efektifitas, keamanan dan biaya yang relatif murah maka deksametason direkomendasikan sebagai pilihan pertama untuk kombinasi dengan antiemetik lain.11,28 Pemberian secara kombinasi metoklopramid dengan deksametason terbukti lebih efektif menurunkan kejadian PONV.29,30 Penambahan deksametason pada metoklopramid dosis tinggi tidak diragukan lagi efektifitas dan mampu mencegah PONV. Pemberian metoklopramid dosis 25 mg memberikan efek yang sama dengan metoklopramid 50 mg namun dapat mengurangi efek samping
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

138

Jurnal Anestesiologi Indonesia

obat yang merugikan. Metoklopramid 25 mg iv efektif dalam mencegah PONV terutama fase early emesis pada awal penelitian (< 12 jam), sedangkan pada dosis 50 mg metoklopramid mampu secara efektif mengurangi PONV sampai fase late emesis pada akhir pengamatan (> 12 jam).7 Tetapi penambahan metoklopramid 10 mg dengan antiemetik yang lain jarang memperlihatkan keuntungan tambahan. Bahkan penelitian lain menyatakan bahwa penambahan deksametason pada 10 mg metoklopramid dianggap tidak terlalu efektif dan hanya memiliki efek yang bersifat sebagian.7 Kombinasi ondansetron 4 mg dan deksametason 8 mg memiliki efek profilaksis yang lebih baik dibandingkan kombinasi metoklopramid 10 mg dan deksametason 8 mg pada pasien yang menjalani laparaskopi ginekologi.31,32 Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg dalam mencegah mual muntah paska laparatomi. METODE Penelitian dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr Kariadi Semarang. Dilaksanakan dalam waktu 20-30 minggu. Desain penelitian menggunakan cara eksperimental murni post test only control group design dengan melakukan evaluasi terjadinya komplikasi dini berupa mual muntah paska operasi. Penelitian dilakukan terhadap pasien yang dipersiapkan operasi laparatomi secara elektif dengan anestesi umum di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit Umum Pusat Dokter Kariadi Semarang. Pasien yang
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, ditetapkan sebagai sampel penelitian sampai jumlahnya terpenuhi. Sebagai kriteria inklusi yaitu laki-laki, umur 18-60 tahun, status fisik ASA I atau II dengan berat badan normal, tidak ada kontraindikasi untuk dilakukan anestesi umum dan pemberian obat granisetron, metoklopramid dan deksametason. Sedangkan kriteria eksklusi yaitu riwayat PONV sebelumnya, gangguan pengosongan lambung, lama operasi kurang dari 1 jam. Semua pasien mendapatkan perlakuan yang sama yaitu dilakukan anestesi umum dan diberikan granisetron, metoklopramid + deksametason sesuai dengan kelompoknya. Dilakukan seleksi penderita pada saat kunjungan pra anestesi dan penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan sebagai sampel penelitian. Penelitian dilakukan terhadap 48 penderita yang sebelumnya telah mendapatkan penjelasan dan setuju mengikuti semua prosedur penelitian serta menandatangani informed consent. Semua penderita dipuasakan selama 6 jam sebelum operasi. Dilakukan pemasangan infus dengan kateter intravena 18 G dan diberikan cairan pengganti puasa sebanyak 6 x 2 cc/kg BB selama 1 jam sebelum operasi. Setelah sampai di ruang operasi dilakukan pemeriksaan tanda vital dan dipasang alat monitor tensimeter, EKG dan pulse oxymetric. Sekitar 3-5 menit sebelum dilakukan anestesi pada kelompok I diberikan normal salin sebanyak 2 cc dan pada kelompok II diberikan deksametason sebanyak 2 cc atau 8 mg.
139

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Induksi anestesi dilakukan dengan menggunakan propofol 2 mg/kgBB dan fentanil 1 g/kgBB serta vecuronium 0,1 mg/kg BB untuk fasilitas intubasi. Selanjutnya untuk pemeliharaan dilakukan dengan pemberian Isoflurane, N20, 02 dan dilakukan ventilasi secara kontrol kurang lebih 12 kali permenit dengan volume tidal 8-10 cc/kgBB. Kurang lebih 30 sampai 60 menit sebelum operasi selesai diberikan antiemetik sesuai kelompoknya. Yaitu pada kelompok I diberikan granisetron 1 mg dan kelompok II diberikan metoklopramid 10 mg. Setelah operasi selesai dilakukan reverse dengan sulfas atropin 0,01 mg/kgBB dan neostigmin 0,04 mg/kgBB. Sebelum dan sesudah operasi perubahan hemodinamik pasien harus dicatat dengan mengukur tekanan darah sistolik (TDS), tekanan darah diastolic (TDD), tekanan arteri ratarata (TAR) dan laju jantung. Diberikan cukup cairan, sesuai beratnya operasi dan banyaknya perdarahan. Semua pasien dilakukan evaluasi mual muntah dan tekanan darah paska operasi baik selama di ruang operasi, di ruang pemulihan dan di ruang perawatan (setelah 3, 6, 12 dan 24 jam operasi selesai). Dalam melakukan pemindahan pasien dari ruang operasi ke ruang pemulihan atau ruang perawatan, harus dilakukan secara hati-hati dengan meminimalkan terjadinya gerakan atau guncangan. Bila terjadi mual muntah dengan penilaian PONV atau lebih, maka diberikan antiemetik dari golongan yang lain yaitu droperidol 0,625 mg secara intravena.12

HASIL Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pemberian granisetron 1 mg dibanding dengan kombinasi metoklopramid 10 mg+deksametason 8 mg dalam mencegah mual muntah paska laparatomi dengan anestesi umum pada 48 orang penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Penderita dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok I (Granisetron) dan II (Metoklopramid+Deksametason). Uji data numerik yang meliputi umur, berat badan, tinggi badan, lama operasi dan lama anestesi menggunakan uji independent t test dengan derajat kemaknaan p<0,05. Sedangkan uji statistik status ASA dengan menggunakan Mann-Whitney Penelitian yang dilakukan ini untuk membandingkan pengaruh antara Granisetron dengan Metoklopramid + Deksametason dalam mencegah mual muntah paska operasi laparatomi dengan anestesi umum. Penderita secara random dibagi menjadi dua kelompok (Kelompok I dan II) yang masing-masing terdiri dan 24 orang penderita. Karakteristik data masing-masing kelompok diperiksa sebelum diberikan perlakuan. Selanjutnya dilakukan pengamatan efek mual muntah paska operasi dan efek samping yang terjadi pada setiap subyek penelitian.

140

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian Variabel Kelompok Granisetron (n=24) Kelompok Metoklopramid +Deksametason (n=24) 45,54 9,25 23,13 2,80 62,08 9,12 163,63 5,74 11 (45,8%) 13 (54,2%) 145,8349,38 132,5046,23 Uji Statistik p

1.Umur (tahun) 2.BMI 3.Berat badan (kg) 4.Tinggi badan (cm) 5.Status ASA (n dan %) ASA I ASA II 6.Lama anestesi (menit) 7.Lama operasi (menit)

44,29 11,30 22,29 3,11 60,87 9,75 165,08 4,46 16 (66,7%) 8 (33,3%) 157,7971,88 140,2174,69

Uji-t Uji-t Uji-t Uji-t Mann-Whitney

0,677 0,329 0,660 0,331 0,510

Uji-t Uji-t

0,505 0,669

Tabel 2.Karakteristik klinis hemodinamik pasien sebelum operasi Variabel Pre Operasi Kelompok Kelompok Granisetron Metoklopramid (n=24) +Deksametason (n=240) 129,38 126,50 11,81 13,26 81,50 7,50 78,54 6,70 97,759,38 95,17 8,29 90,58 8,62 90,63 10,27 18,343,41 17,872,88 36,340,41 36,87 0,88 Uji statistik p

Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg) Tekanan arteri rerata Laju Jantung (x/menit) Laju nafas (x/menit) Suhu

Independent t-test Independent t-test Independent t-test Independent t-test Independent t-test Independent t-test

0,432 0,156 0,317 0,988 0,657 0,764

Tabel 3.Efek samping pemberian obat pada kedua kelompok Efek samping Kelompok Granisetron (n=24) 20 Kelompok Metoklopramid +Deksametason (n=24) 13 Uji Statistik p

Tanpa efek samping Ada efek samping -Dyspepsia -Mengantuk -Konstipasi -pusing

MannWhitney

0,00 6

1 2 0 1

2 5 3 1

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

141

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PEMBAHASAN Dari data karakteristik penderita yang meliputi umur, berat badan, tinggi badan, indek masa tubuh, status ASA pre anestesi, lama anestesi dan lamanya operasi, kita dapat melihat bahwa terdapat perbedaan yang tidak bermakna dan kedua kelompok perlakuan. Variabel-variabel tersebut diatas telah dikendalikan dengan teknik randomisasi. Sehingga pengaruh umur, status berat badan, lama anestesi dan lama operasi tidak banyak mempengaruhi pada penelitian ini.33,34 Dengan demikian kedua kelompok dapat dikatakan homogen dan layak untuk diperbandingkan. Hasil pengukuran tanda vital sebelum operasi yang meliputi tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rerata, laju jantung, laju pernapasan dan suhu badan pada kelompok I dan II terdapat perbedaan yang tidak bermakna. Perubahan tekanan darah juga relatif stabil selama pengamatan setelah operasi. maupun walaupun terjadi sedikit peningkatan segera setelah operasi. Sehingga kedua kelompok tidak mengalami perbedaan tekanan darah bermakna yang akan mempengaruhi terjadinya PONV. Mual muntah paska operasi pada penelitian ini tetap terjadi, meskipun seluruh sampel telah diberikan antiemetik. Hal ini membuktikan bahwa laparatomi dengan anestesi umum termasuk berisiko sangat tinggi terjadi PONV dengan faktor risiko utama menurut Adfel sebesar 4.31,32 Faktor risiko ini berasal dari jenis operasinya sendiri, pemakaian agen inhalasi, N20 dan pemakaian analgetik
142

opioid selama operasi.33 Semakin banyak faktor risiko maka kemungkinan terjadi PONV akan semakin besar. PONV terjadi pada 10-20% pasien tanpa risiko atau dengan faktor risiko PONV rendah dan dapat meningkat setinggi 40-80% pada pasien dengan 2 faktor risiko atau lebih.34,35 Peneliti lain menyatakan bahwa pasien tanpa faktor risiko, dengan 1, 2, 3, 4 faktor risiko akan menimbulkan kejadian PONV sebesar 10%, 21%, 39%, 61%, 79% dan seterusnya.35 Meskipun terjadi kemajuan dalam anestesi, tidak ada pemberian antiemetik yang mampu memberikan pemecahan menyeluruh 7 PONV. Pada penelitian ini PONV terjadi pada 4 dan 24 orang (16,6%) kelompok I yang diberikan granisetron 1 mg. Sedangkan pada kelompok II yang diberikan kombinasi Metoklopramid+Deksametason didapatkan PONV sebanyak 6 dari 24 orang (25%).

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Mual muntah yang terjadi pada kedua kelompok semuanya bersifat ringan dengan penilaian pada skala 5 (5-point rating scale) sebesar 1, yaitu mual terjadi kurang dari 10 menit dan atau muntah hanya terjadi sekali yang tidak membutuhkan pengobatan. Ada kemungkinan hal ini karena efektifitas obat antiemetik yang diberikan. Ini sesuai dengan Ladjevic yang hanya menemukan episode mual pada 21 pasien kistektomi yang mendapatkan dosis rendah granisetron (1 mg) dan mampu mengontrol PONV sampai 93,33%.36 Sedangkan Mikawa K dkk mendapatkan Granisetron 20 ug/kgBB mampu mengontrol PONV sebesar 75% pasien dibanding plasebo yang hanya mengontrol PONV sebesar 18% pada pasien paska operasi ginekologi.18 Meskipun ada sebagian peneliti yang meragukan manfaat penambahan deksametason pada metoklopramid dosis yang lazim, pemberian kombinasi metoklopramid 10 mg dan deksametason 8 mg mampu menurunkan angka kejadian PONV pada pasien yang dilakukan laparaskopi kolesitektomi menjadi hanya sebesar 13% dibanding 23% hanya dengan deksametason 8 mg, 45% hanya dengan metoklopramid 10 mg dan 60% pada pasien yang mendapatkan plasebo.28 Hal ini pula yang mungkin menjadikan alasan bahwa pemberian 10 mg metoklopramid pada deksametason masih menjadi standar pencegahan untuk PONV di Jerman.37 Hasil hampir sama ini juga sesuai dengan yang disampaikan Gallardo bahwa pemberian granisetron dibanding kombinasi metoklopramid dan deksametason pada pasien kemoterapi dengan ciplastin, memiliki efektifitas yang
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

hampir sama, yaitu mampu mengontrol PONV sampai 66% pada kelompok granisetron dan 73,7% pada kelompok kombinasi metoklopramid dan 38 deksametason. Sedangkan waktu terjadinya mual muntah bervariasi pada kedua kelompok. Pada kelompok I (diberikan Granisetron) 3 orang terjadi pada antara 3-6 jam paska operasi dan 1 orang terjadi antara jam 6-12 paska operasi. Sedangkan pada kelompok II (pemberian kombinasi Metoklopramid dan Deksametason) 3 orang terjadi pada 03 jam paska operasi dan 3 orang lainnya terjadi antara jam 6-12 paska operasi. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitan sebelumnya yang menyatakan bahwa penambahan deksametason pada metoklopramid dosis tinggi efektif untuk delayed emesis, sedangkan pada dosis lebih rendah akan efektif pada early emesis.7,39 Pada penelitian ini PONV terjadi pada awal pengamatan (< 12 jam). Hal ini masih dapat terjadi karena proses pemindahan pasien, mobilisasi dan pemberian obat atau intake yang terlalu cepat atau yang lain. SIMPULAN Operasi laparatomi dengan anestesi umum termasuk operasi yang beresiko tinggi untuk terjadinya mual muntah paska operasi, sehingga perlu diberikan antiemetik. Ada perbedaan tidak bermakna antara pemberian kombinasi metoklopramid 10 mg + deksametason 8 mg dengan pemberian granisetron 1 mg dalam

143

Jurnal Anestesiologi Indonesia

mencegah mual muntah paska laparatomi dengan anestesi umum. Dan kedua kelompok tersebut, tidak ada obat antiemetik yang sepenuhnya mampu mencegah terjadinya mual dan muntah paska laparatomi dengan anestesi umum. Kombinasi metoklopramid 10 mg+deksametason 8 mg dapat dipakai sebagai alternatif selain granisetron 1 mg, untuk mencegah mual muntah paska laparatomi pada anestesi umum dengan biaya yang relatif lebih rendah. Pemberian obat antiemetik untuk mencegah PONV hendaknya tetap harus diikuti dengan pengelolaan pasien secara multimodal untuk mengurangi risiko terjadinya PONV . DAFTAR PUSTAKA

7.

8.

9. 10.

11.

12.

13.

wwvv.anesthesiologyinfo.com/articles/042520 4.php-27k. Wallenborn J, Gelbrich G, Bulst D, Behrends K, Rohrbach A, Krause U, et al. Prevention of postoperative nausea and vomiting by metoclopramide combined with dexamethasone: randomised double blind multicentre trial. British Medical Journal, 2006; 333: p 324-41. Gan TJ, Meyer T, Apfel CC, Chung F, Davis PJ, Eubanks S, et al. Concensus for Managing Postoperative Nausea and Vomiting. Anesthesia & Analgesia, 2003; 97: 62-71. Tjay TH, Raharja K. Obat-obat Penting. Jakarta : Gramedia, 2003: p 263-8. Smith G, Aronson JK. Oxford Textbook of Pharmacology and Drug Therapy. 2002; p 275-8. Stoelting RK. Pharmacology and Phisiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadelphia: Lippincott Williams Wilkins, 2006; 444-8. Dewoto HR, Louisa M. Serotonin dan Obat Serotoninergik dan Obat Antiserotoninergik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007 : p 288-98. Kytril Injection. Avaible from URL : http://www.rxlist.com/cgi/generic/ kytril-injwcp.htm.H

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Nausea and Vomiting. In: Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York : Lange Medical Books/Mc Graw-Hill Companies, 2006: p 1004-8. Wilks DH. Postoperative Nausea and Vomiting. In : Decision Making in Anesthesiology. 3th ed. Philadelphia : Mosby, 2000: p 596-7. Gupta V, Wakloo R, Lahori VU, Mahajan MK, Gupta SD. Propylactic Antiemetic Therapy with Ondasetron, Granisetron and Metoclopramide in Patiens Undergoing Laparoscopic Cholecystectomy Under General Anesthesia. The Internet Journal of Anesthesiology, 2007. Saeeda Islam. Post Operative Nausea and Vomiting (PONV) : A Riview Article. Indian Journal of Anesthesia, 2004 : p 253-8. Ku CM, BC Ong. Postoperative Nausea and Vomiting: a Review of Current Literature. Department of Anaesthesia and Surgical Intensive Care Singapore General Hospital Outram Road Singapore, 2003: p 366-74. Ting PH. Post-operative Nausea and Vomiting (PONY) : An overview. 2004, Avaible from URL :

14. Hanaoka K, Toyooka H, Kugimiya T, Ohashi. Efficacy of Prophylactic Intravenous Granisetron in Post Operative Emesis in Adults. Journal Anaesthesia, 2004; 18: p 5865. 15. Dua N, Bhatnagar S, Mishra S, Singhal AK. Granisetron and Ondansetron for Prevention of Nausea and Vomiting in Patiens under going Modified Radikal Mastektomi. Anaesthesia Intensive Care, 2004; 32: 76-4. 16. Fujii Y, Tanaka H. Efficacy of Granisetron for the Treatment of Post Operative Nausea and Vomiting in Woman undergoing Breast Surgery, 2006. 17. Janicki PK. A Meta Analysis of the Efficacy and Safety of Granisetron 0,1 mg for Post Operative Nausea and Vomiting. The Internet Journal of Anesthesiology, 2007. 18. Mikawa K, Takao Y, Nishina K, Shiga M, Maekawa M, Obara H. Optimal dose of Granisetron for Prophylaksis against Postoperative Emesis After Gynecological Surgery. Department of Anesthesiology Kobe University School of Medicine Japan. Anesthesia & Analgesia, 2008; 100: 27-30. 19. Goodle F. Metoclopramide helps reduce postoperative nausea and vomiting. British Medical Journal, 2006; 333: p 100-1. 20. Wells BG, Dipiro JT, Shwinghammer TL,

144

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

21. Hamilton CW. Pharmacotherapy. 5th Ed. Philadelphia: McGraw-Hill, 2003, p 247-52. 22. Fujii Y, Nakayama M. Dexamethasone for Reduction of Nausea, Vomiting and Analgesic Use after Gynecological Laparascopy surgery. International Journal of Gynecology and Obstetrics, 2008; 100: p 27-30. 23. Jaafarpour M, Khani A, Dyrekvan A, Khajavikhan J, Saadipour K. The Effect of Dexamethason on Nausea, Vomiting and Pain in Parturients undergoing Caesarean Delivery. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 2008; 2: p 854-8. 24. Lee Y, Lai H, Lin P, Huang S & Lin Y. Dexamethasone Prevents Postoperative Nausea and Vomiting more Effectively in Woman with Morning Sickness. Canadian of Journal Anesthesiology, 2003; 50: p 232-7. 25. Wang JJ, Ho ST, Liu HS, Ho CM. Prophylactic Antiemetic Effect of Dexamethasone in Women Undergoing Ambulatory Laparoscopic Surgery. British Journal of Anaesthesia, 2000; 84: p 459-62. 26. Huang J, Sheih J, Tang C, Tzeng J, Chu K & Wang J. Low-dose Dexamethasone Effectivelly Prevent Postoperative Nausea and Vomiting after Ambulatory Laparoscopic Surgery. Canadian of Journal Anesthesia, 2001; 48: p 973-7. 27. Kang KL, Hsu CC, Chia YY. The Effectivedose of Dexamethasone for Antiemetic after Mayor Gynecological Surgery. Anesthesia & Analgesia, 1999; 89: p 1316. 28. Wang JJ, Ho ST, Tseng JI, Tang CS. The Effect of Timing of Dexamethasone Administration on its Efficacy as a Prophylactic Antiemetic for Post Operative Nausea and Vomiting. Anesthesia & Analgesia, 2000; 91: p 136-9. 29. Habib AS, Gan TJ. Evidence-based management of post operative nausea and vomiting : a review. Canadian Journal of Anesthesiology, 2004; 5: p 326-41. 30. Nesek AV, Grizelj SE, Rasic Z. Comparison of Dexamethasone, Metoclopramide and Their Combination in the Prevent of PONV after Laparascopy Cholecystectomy. Department of Anesthesiology Zagreb Croatia, 2007. 31. Prevention of Postoperative Nausea and Vomiting by Metoclopramide Combined with Dexamethasone: Randomized Double Blind Multicentre Trial. The American College of Obstetricians and Gynecologists, 2006; 108: p 1295. 32. Shora AN, Gurcoo SA, Farooqi AK, Qazi MS, Mehraj-ud-Din. Comparative Evaluation of Ondansetron used alone and in combination with Dexamethasone in Prevention of Post Operative Nausea and Vomiting. The Internet Journal of Anesthesiology, 2008.

33. Maddali MM, Mathew J, Fahr J, Zarrough AW. Postoperative nausea and vomiting in diagnostics gynecological laparascopic prosedures : comparison of the eficacy of the combination of dexamethasone and metoclopramide with that of dexamethasone and ondansetron. J Postgrad Med, 2003; 49: p 302-6. 34. White PF, Sacan 0, Chamnong NN, Tiffany Sun T, Matthew R. Eng MR. The Relationship between Patient Risk Factors and Early Versus Late Postoperative Emetic Symptoms. Anaesthesia & Analgesia, 2008; 107: p 45963. 35. Sweeny BP. Why does smoking protect against PONY?. British Journal of Anaesthesia, 2002; 89: p 810-3. 36. Joo T, Kovac AL, Lubarsky DA, Philips BK. PONV: Current Management Strategies. 2005. Avaible from http://cme.medscape.com/viewarticle/ 522094_2. 37. Apfel CC, Kranke P, Katz MH, Goepfert C, Papenfuss T, Rauch S, et al. Volatile anaesthetics may be main cause of early but not delaying vomiting : a randomized controlled trial of factorial design. British Journal Anesthesia, 2002; 88: p 659-68. 38. Schouneck R, Hergenroder JS, Eberhart LH. Anaesthetic prosedures and use of antiemetics in ambulatory anaesthesia. Anaesthesia Intensive Med, 2002; 43: p 695-9. 39. Carlisle JB. Preventing postoperative nausea and vomiting : prevention in context. British Medical Journal, 2006; 333: p 448-9.

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

145

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca Operasi
Husni Riadi Nasution*, Ery Leksana*, Doso Sutiyono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background: Over 70% of patients experiencing pain after surgery, and 80% of this patient suffered severe pain for the Hospital care. The magnesium as NMDA antagonists in theory can blokade the making process of central sensitization. Giving magnesium is expected to reduce the degree of preoperative pain and opioid requirements after surgery. Methods: This study was an experimental study post test only controlled randomized design. Twenty -six patients underwent the elective oncology surgery using general inhalation anesthesia in the hospital dr. Kariadi Semarang, met the inclusion and exclusion criteria were divided into two group. Vital signs recorded pre surgery. MgSO4 group (I) were given MgSO4 50 mg / kg in 250 ml saline before incision, the control group (II) were given 250 mL NaCl 0.9%. premedication midazolam 0.07 mg / kg iv, 10 mg iv metoclopramid, sulfas atropine 0.01 mg / kg. induction tiopental 5 mg / kg, atrakurium 0.5 mg / kg, fentanyl 2 mcg / kg, then intubation. Maintenance of anesthesia N 2O: O2 = 50%: 50%, enfluran 0.8% 1.5%, atracurium intermittent. After the operation complete patient were extubated , and observed in the recovery room. When pain scores or Visual Analog Scale (VAS) > 3 cm is given meperidine 0.5 mg / kg iv. Vital signs recorded post-surgery, every 4 hours for 24 hours. In the ward were given analgesics meperidine 0.5 mg / kg if VAS > 3 cm. Total meperidine requirement and the side effects occurred were recorded. Statistics Test for VAS used T-Test, while the need for opioids used Mann-Whitney. Result: The degree of pain and the needs of both groups significantly different (p>0,05) Thinning MgSO4 administration significantly affected the degree of pain and opioid requirements aftersurgery. Conclusion: MgSO4 admission do not significant influence pain scale an opioid needs during postoperative period. Keywords: MgSO4, VAS, opioid, postoperative pain, NMDA antagonist.

146

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK Latar belakang: Lebih dari 70% pasien paska operasi mengalami nyeri, dan 80% dari pasien ini mengalami nyeri yang berat selama perawatan di rumah sakit. Magnesium yang bersifat sebagai antagonis NMDA secara teori dapat meblokade proses sensitisasi sentral. Pemberian magnesium preoperatif diharapkan dapat mengurangi derajat nyeri dan kebutuhan opioid paska operasi. Metode: merupakan jenis penelitian eksperimental randomized post test only controlled group design. Dua puluh enam pasien yang menjalani operasi elektif bedah onkologi dengan anestesi umum inhalasi di RS dr. Kariadi Semarang, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibagi dalam dua kelompok. Dicatat tanda vital pra bedah. Kelompok MgSO 4 (I) diberi MgSO4 50 mg/kgBB dalam NaCl 250 mL sebelum insisi, kelompok kontrol (II) diberi NaCl 0,9% 250 mL. Premedikasi dengan midazolam 0,07 mg/kgBB iv, metoclopramid 10 mg iv, sulfas atropin 0,01 mg/kgBB. Induksi dengan Tiopental 5 mg/kgBB, atrakurium 0,5 mg/kgBB, fentanil 2 mcg/kgBB, lalu dilakukan intubasi. Rumatan anestesi dengan N2O:O2=50%:50%, enfluran 0,8% - 1,5%, atrakurium intermiten. Selesai operasi pasien diekstubasi, dilakukan observasi di ruang pemulihan. Bila skor nyeri atau nilai Visual Analog Scale (VAS) > 3 cm diberikan meperidin 0,5 mg/kgBB iv. Dicatat tanda vital paska bedah, setiap 4 jam selama 24 jam. Di bangsal diberi analgetik meperidin 0,5 mg/kgBB bila VAS > 3 cm. Dicatat jumlah total kebutuhan meperidin. Efek samping yang terjadi dicatat. Uji statistik untuk VAS digunakan T-Test, sedangkan kebutuhan opioid dengan Mann-Whitney. Hasil: Derajat nyeri dan kebutuhan antara kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p>0,05) Kesimpulan: pemberian MgSO4 tidak signifikan mempengaruhi derajat nyeri dan kebutuhan opioid paska operasi. Kata Kunci: MgSO4, VAS, opioid, derajat nyeri setelah operasi, antagonis NMDA

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

147

Jurnal Anestesiologi Indonesia

LATAR BELAKANG Intensitas dan frekuensi timbulnya nyeri paska operasi tergantung sifatnya, tempatnya, serta luasnya daerah operasi.1 Meskipun ada kemajuan dalam pemahaman mekanisme nyeri, namun pengelolaan nyeri paska operasi yang tidak adekuat tetap menjadi pemikiran dan merupakan hal penting yang harus dipahami.1,2 Sebuah literatur mengindikasikan lebih dari 70% pasien paska operasi mengalami nyeri, dan 80% dari pasien ini merasakan nyeri yang berat selama perawatan di rumah sakit.1,3 Dilaporkan pada sebuah studi terbaru, lebih kurang 70% pasien tetap mengalami nyeri sedang dan berat pada periode perioperatif.1,4 Selama pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang menimbulkan stimulus noksius dan respon inflamasi pada jaringan tersebut yang juga bertanggung jawab terhadap munculnya stimulus noksious. Kedua proses yang terjadi selama dan paska pembedahan akan mengakibatkan sensitisasi susunan saraf sensorik.5,6 Sensitisasi yang terjadi paska operasi selain akan menjadi sumber stres paska operasi yang berimplikasi terhadap teraktifasinya saraf otonom simpatis dengan segala konsekuensinya, juga merupakan sumber penderitaan paska operasi. Oleh karena itu pengelolaan nyeri paska operasi seyogyanya ditujukan ke arah pencegahan atau meminimalkan terjadinya proses sensitisasi perifer dan sentral.5,6
148

Penatalaksanaan nyeri paska operasi yang adekuat merupakan salah satu faktor penting yang menentukan kapan pasien dapat dipindahkan dari kamar operasi dan faktor utama yang mempengaruhi kemampuan pasien untuk menjalani hidup dengan normal paska operasi.7,8 Opioid telah lama digunakan sebagai analgetik perioperatif. Namun penggunaan opioid perioperatif yang berlebihan dapat menimbulkan efek samping, antara lain depresi pernapasan, mengantuk dan sedasi, mual dan muntah, gatal-gatal, retensi urine, ileus, dan konstipasi yang akan mengakibatkan pasien lebih lama tinggal di rumah sakit.7,9 Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organizations menyebutkan penggunaan opioid yang berlebihan dapat mengurangi kepuasan pasien.7 Oleh karenanya seorang ahli anestesi harus lebih meningkatkan lagi penggunaan teknik analgesia non-opioid sebagai ajuvan pengelolaan nyeri perioperatif untuk mengurangi efek samping opioid.7 Teknik multimodal atau balancedanalgesic dengan menggunakan dosis kecil opioid dikombinasikan dengan non opioid, seperti anestesi lokal, paracetamol, NSAID, golongan NMDA (seperti ketamin, dextromethorphan, magnesium) semakin berkembang penggunaannya untuk mencegah nyeri paska operasi.7,10 Magnesium (MgSO4) relatif mudah diperoleh dan harganya murah. Sifatnya sebagai antagonis reseptor NMDA menjadi dasar pertimbangan penggunaannya sebagai ajuvan analgetik perioperatif.11-15 Antagonis reseptor
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

NMDA akan menghambat sensitisasi susunan saraf pusat karena proses stimulasi nosisepsi di perifer, dan meniadakan reaksi hipersensitifitas.11-16 Levaux et al. (2003) menggunakan magnesium bolus 50 mg/kgBB pada operasi tulang belakang lumbal, menyimpulkan pemberian magnesium efektif untuk mengurangi nyeri paska operasi dan mengurangi kebutuhan opioid paska operasi.17 McCartney et al. (2004) melakukan evaluasi beberapa penelitian yang menggunakan antagonis reseptor NMDA, salah satunya adalah magnesium. Dari empat penelitian yang dievaluasi dengan menggunakan magnesium dengan dosis bolus antara 29-50 mg/kgBB dan semuanya dilanjutkan tambahan magnesium intraoperatif melalui infus. Dan hasil yang diperoleh disimpulkan penggunaan magnesium tidak efektif untuk mengurangi nyeri paska operasi.18 Christopher et al. (2007) melakukan evaluasi beberapa penelitian yang menggunakan magnesium sebagai ajuvan analgetik perioperatif dan menyimpulkan dari penelitian-penelitian tersebut tidak memberikan hasil yang meyakinkan mengenai keuntungan pemberian magnesium untuk mengurangi nyeri paska operasi dan kebutuhan analgetik 19 tambahan. Dan hasil penelitian yang ada dilaporkan tidak didapatkan efek samping yang cukup serius akibat dari pemberian magnesium bolus hingga dosis 50 mg/kgBB intravena.17-28
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain penelitian randomized post test only controlled group design. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut : kelompok I mendapat MgSO4 50 mg/kgBB dalam 250 ml NaCl 0,9% selama 15 menit segera sebelum induksi, lalu kelompok II mendapat NaCl 0,9% 250 ml iv selama 15 menit segera sebelum induksi. Tempat penelitian adalah di Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi Semarang. Waktu penelitian selama 12 minggu. Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah : usia 14 65 tahun, status fisik ASA I II, menjalani operasi pada bedah onkologi, lama operasi 1 4 jam, tidak ada kontraindikasi obat anestesi yang digunakan, serta bersedia mengikuti penelitian. Disamping ini juga ada beberapa kriteria ekslusi seperti : alergi terhadap obat-obat penelitian, diabetes, menderita kelainan neurologis, AV Blok, penyakit hepar, ginjal, menggunakan obat golongan Ca-Channel Blocker, dan keadaan hipermagnesemia. Mengingat keterbatasan waktu dan jumlah populasi, maka dalam penelitian ini pemilihan sampel dilakukan dengan consecutive random sampling, dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria yang telah disebutkan diatas dimasukkan dalam sampel penelitian sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi.

149

Jurnal Anestesiologi Indonesia

HASIL Setelah disetujui oleh komite CLEARANCE Etika Medik Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan Divisi Diklit RSUP dr. Kariadi Semarang, penelitian segera dilaksanakan. Subyek penelitian ini pasien yang menjalani operasi elektif di bidang bedah onkologi

dengan anestesia umum di Instalasi Bedah Sentral Rumah Sakit dr. Kariadi Semarang. Jumlah subyek penelitian 26 orang pasien status fisik ASA I, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 13 orang pasien kelompok perlakuan mendapat MgSO4 50 mg/kgBB dalam 250 mL NaCl 0,9% dan 13 orang kelompok kontrol yang mendapat 250 mL NaCl 0,9%.

Tabel 1. Data Demografi Pasien kelompok variabel MgSO4 (n=13) Umur (tahun) Berat Badan Jenis Kelamin Laki - laki Perempuan Jenis Operasi (n dan %) Eksisi Mastektomi Ismobektomi Wide Eksisi Adenetomi Total Tiroidektomi 2 (15,4%) 11 (84,6%) 5 (28,5%) 8 (61,5%) 0,3362 38,9210,67 55,859,81 Kelompok Kontrol (n=13) 44,06,32 58,779,56 0,1471 0,4491 p variabel

Tabel 2. Tanda Vital Preoperatif kelompok MgSO4 (n=13) Kelompok Kontrol (n=13) P

4 (30,8%) 3 (23,1%) 3 (23,1%) 2 (15,4%) 0 1 (7,7%)

4 (30,8%) 1 (7,7%) 4 (30,8%) 3 (23,1%) 1 (7,7%) 0 0,687


2

Tekanan Darah Sistolik 130,0016,30 44,06,32 Tekanan Darah Diastolik 81,8512,30 58,779,56 Tekanan Arteri Rerata 99,0014,35 91,319,89 Denyut Jantung 90,009,56 89,3114,01 Laju Nafas 19,381,26 18,771,01 1 Ket : = Independent t-test 2 = Mann-Whitney test

0,196

0,0751

0,1251 0,8841 0,1532

Ket : 1 = Independent t-test 2 = Mann-Whitney test Nilai dinyatakan sebagai rerata +/- simpangan baku, kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p>0,05) p<0,05 = ada perbedaan bermakna p>0,05 = perbedaan tidak bermakna

Nilai dinyatakan sebagai rerata +/- simpangan baku, kedua kelompok berbeda tidak bermakna (p>0,05)

Subyek penelitian terdiri dari 7 laki-laki dan 19 perempuan. Pada kelompok MgSO4 subyek laki-laki sejumlah 2 dan perempuan sejumlah 11, sedangkan pada kelompok kontrol subyek laki-laki ada 5 dan perempuan ada 8 pasien. Rerata kelompok umur MgSO4 adalah 38,92 tahun (+/-10,67) sedangkan kelompok
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

150

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kontrol 44,08 tahun (+/- 6,32). Selisih umur ini tidak menyebabkan perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,147). Data berat badan pasien stelah diuji beda tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok (p=0,449). PEMBAHASAN Pengelolaan nyeri paska operasi saat ini didasari oleh pendekatan multimodal, dan meskipun opioid tetap merupakan obat terpilih, penggunaannya sering dikombinasikan dengan golongan analgetik lain seperti parasetamol, inhibitor siklooksigenase (COX-inhibitor), atau NSAID. Dan juga dapat dikombinasikan dengan ko-analgesik atau ajuvan seperti klonidin dan antagonis NMDA (ketamin, atau MgSO4).17 kombinasi yang rasional bertujuan untuk mendapatkan efek sinergistik dari masingmasing obat analgetik, atau antara analgetik dengan ajuvan. Pada penelitian ini, MgSO4 diberikan intravena dengan dosis bolus 50 mg/kgBB dalam larutan NaCL 250 mL tanpa dilanjutkan dengan pemberian tambahan melalui infus. Levaux et al (2002) dan Usmani et al (2007) menggunakan dosis bolus 50 mg/kgBB untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan.17,28 Sedangkan dosis yang lebih rendah dari 50 mg/kgBB dilaporkan tidak memperbaiki kualitas analgesia paska operasi.17,25 Dan pemberian MgSO4 hanya sebelum operasi dimulai, berdasarkan pemikiran bahwa antagonis NMDA
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

seharusnya diberikan sebelum simulasi nosisepsi timbul agar dapat menghambat proses sensitisasi sentral.17,26 Didapatkan rerata nilai VAS antara kelompok MgSO4 dengan kontrol terdapat perbedaan pada 16, 20, 24 jam paska operasi. Namun secara keseluruhan nilai VAS mulai dari saat pemulihan hingga 24 jam paska operasi antara kedua kelompok secara statistik menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tramer et al (2007), pada pemberian MgSO4 dosis tunggal 4 gram intravena tidak mempengaruhi derajat nyeri paska operasi.22 Hasil ini berbeda dengan Levaux et al (2002), dimana nilai VAS antara kelompok MgSO4 dengan kelompok kontrol terdapat perbedaan yang 17 signifikan. Hal ini mungkin dipengaruhi karena adanya perbedaan waktu lamanya pemberian bolus MgSO4. Pada penelitian ini MgSO4 diberikan dalam waktu 15 menit, sedangkan Levaux memberikannya dalam 30 menit. Adanya perbedaan lama waktu pemberian ini diduga menjadi penyebab perbedaan hasil yang diperoleh. Waktu 15 menit diduga tidak mencukupi untuk MgSO4 mencapai efek yang maksimal. Attygalle dkk (1997) melaporkan pemberian MgSO4 bolus 5 gram intravena yang dilanjutkan dengan pemberian melalui infus 2-3 gram/jam diperlukan untuk mempertahankan efek terapi magnesium antara 2-4 mmol/L.40 Sedangkan pada penelitian ini didapatkan kadar magnesium serum rata-rata paska operasi 1,22 mmol/L.

151

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kebutuhan opioid paska operasi antara kelompok MgSO4 dengan kelompok kontrol juga menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna. Rata-rata jumlah opioid yang diberikan dalam 24 jam sama antara kelompok MgSO4 dengan kelompok kontrol, yakni 50 +/- 0,00 (p>0,05). Ko et al (2001) juga melaporkan pemberian magnesium tidak mengurangi kebutuhan analgetik paska operasi. Kemudian pemberian opioid pada saat induksi pada kedua kelompok bertujuan untuk mencegah gejolak hemodinamik akibat intubasi. Opioid juga dapat memblokade sensitisasi sentral. Namun opioid disebutkan dapat mengurangi sensitivitas reseptor NMDA terhadap magnesium melalui mekanisme fosforilasi C-protein kinase.40 Hipotensi (TDS>70 mmHg) akibat pemberian MgSO4 dilaporkan oleh Levaux et al (2002) atau Tramer et al (2007). Hipotensi ini timbul karena vasodilatasi pembuluh darah akibat blokade kanal kalsium oleh MgSO4.17,22 Pada penelitian ini tidak didapatkan hipotensi. Penggantian cairan selama puasa yang diberikan sebelum perlakuan mungkin mempengaruhi kejadian hipotensi akibat pemberian MgSO4. Perubahan hemodinamik dan respirasi pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok MgSO4 dan kelompok kontrol. SIMPULAN Pemberian MgSO4 dosis bolus 50 mg/kgBB selama 15 menit tidak signifikan mempengaruhi derajat nyeri (nilai VAS) pada pasien paska operasi. Kemudian
152

pemberian MgSO4 dosis bolus 50 mg/kgBB selama 15 menit tidak signifikan mempengaruhi kebutuhan opioid paska operasi. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan waktu yang efektif dalam pemberian MgSO4 sebagai ajuvan analgesia. Kemudian juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap antagonis reseptor NMDA lain, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi. DAFTAR PUSTAKA
1. Srinivas P,Gan JT. Perioperatif Pain Management. CNS Drug 2007, 21 (3): 186211. 2. Dollin SJ, Cashman JN, Bland JM. Effectiveness of acute postoperative pain management : I Evidence from published data. Br J Anaesth 2002 Sept ; 89 (3): 409-23. 3. Warfield CAMD, Khan CHMD. Acute pain management: programs in U.S. hospitals and experiences and attitude among U.S. adults. Anesthesiology 1995 Nov ; 83 (5): 1090-4. 4. Apfelbaum JL, Chen C, Mehta SS. Postoperative pain experiences: results from a national survey suggest postoperative pain continues to be undermanaged. Anesth Analog 2003 ; 97 (2): 534-40. 5. Tanra H. Nyeri Paska Bedah Implikasi Sensitisasi Perifer dan Sentral. Symposium Pain Management Annual Meeting of Obstetric Anesthesia 2004: 195-199. 6. Cousin MJ. Post Operative Pain: Implication of Peripheral and Central Sensitization. Papers WFSA Distance Learning. Cited at http://www.wfsa.ox.ac.uk. 7. White PF. The Changing Role of Non-Opioid Analgesic Techniques in The Management of Postoperative Pain. Anesth Analog 2005; 101: S5-S22. 8. Chung F, Ritchie E, Su J. Postoperative Pain in Ambulatory Surgery. Anesth Analg 1997; 85: 808-16. 9. White PF. The Role of Non-Opioid Analgesic Techniques in the Management of Pain After Ambulatory Surgery. Anesth Analg 2002; 94: 577-85. 10. Pierre B. Non-Opioid Strategies for Acute Pain Management. Can J Anesth 2007; 54: 481-85. 11. White PF. The Changing Role of Non-Opioid Analgesic Techniques in The Management of

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

12. 13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

Postoperative Pain. Anesth Analg 2005; 101: S5-S22. James MF. Clinical Use of Magnesium in Anesthesia. Anesth Analg 1992; 74(6): 129-36. Fawcett FJ, Haxby AJ, Male DA. Magnesium: Physiology and Pharmacology. BrJ Anesth 1999; 83(2): 302-20. Hollman MW, Liu HT, Liu WH, Hoenemann CW, Durieux ME. Modulation of NMDA Receptor Function by Ketamine and Magnesium: Part I. Anesth Analg 2001; 92: 1173-1181. Laurent D, Jean CG. The Therapeutic Use of Magnesium in Anesthesiology, Intensive Care and Emergency Medicine. Can J of Anesth 2003; 50: 732-46. Andrei BP, Tomohiro Y, Hiroshi B, Koki S. The Role of N-Methyl-D-Aspartate (NMDA) Receptors in Pain: A Review. Anesth Analg 2003; 97: 1108-16. Levaux C, Bonhomme V, Dewandre PY, Brichant JF, Hans P. Effect of Intraoperative Magnesium Sulphate on Pain Relief and Patient Comfort After Mayor Lumbar Orthopaedic Surgery. Anesthesia 2003; 58: 131-35. McCartney CJ, Sinha A, Katz J. A Qualitative Systemic Review of The Role of N-Methyl-DAspartate Receptor Antagonist in Preventive Analgesia. Anesth Analg 2004: 98: 1385-400. Christopher L, Lionel D, Christopher C, Martin RT. Magnesium as an Adjuvant to Postoperative Analgesia: A Systemic Review of Randomized Trials. Anesth Analg 2007; 104: 1532-39. Stubner SS, Wettmann G, Hahn, Rossaint R. Magnesium as Part of Balanced General Anesthesia with Propofol, Remifentanyl and Mivacurium: a Double Blind, Randomized Prospective Study in 50 Patients. Eropean J of Anesthesiology 2000; 18(11); 723-29. Seyhan TO, Tugrul M, Sungur MO. Effect Pain Relief in Gynaecological Surgery. Br J Anesth 2006; 96: 247-52. Tramer MR, Glynn CJ. An Evaluation Single Dose of Magnesium to Supplement Analgesia after Ambulatory Surgery: Randomized Controlled Trial. Anesth Analg 2007 Jun; 104(6): 1374. Tramer MR, Schneider J, Marti RA, Rifat K. Role of Magnesium Sulphate in Postoperative Analgesia. Anesthesiology 1996; 84: 340-7. Koinig H, Wallner T, Marhofer P, Magnesium Sulphate Reduces Intra and Postoperative Analgesic Requirements. Anesthesia and Analgesia 1998; 87: 206-10. Wilder-Smith CH, Knopfli R, Wilder-Smith OH. Perioperative Magnesium Infusion and

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

33. 34.

35. 36.

37.

38.

39.

40.

Postoperative Pain. Acta Anesthesiologica Scandinavica 1997; 41: 1023-7. Seong-Hoon K, Hye-Rin L, Dong-Chan K, Magnesium Sulphate does not Reduces Postoperative Analgesic Requierments. Anesthesiology 2001; 95: 640-6. Bhatia A, Kashyap L. Pawar DK, Trikha A. Effect of Intraoperative Magnesium Infussion on Perioperative Analgesia in Open Cholecystectomy. J Clin Anesth 2004; 16: 262-5. Usmani H, Quadir A, Alam M, Rohtagi A, Ahmed. Evaluation of Perioperative Magnesium Sulphate Infussion on Postoperative Pain and Analgesic Requierments in Patients Undergoing Upper Abdominal Surgery. J Anesth Clin Pharmacology 2007; 23(3): 255-58. Blumstein HA, Moore D. Visual Analog Pain Scores do not Define Desire for Analgesia in Patient with Acute Pain. Acad Emerg Med 2003; 10: 3: 211-214. Bodian CA, Gordon F, Saberra H, Eisenkraft JB, Yaakov B. The Visual Analog Scale for Pain: Clinical Significance in Postoperative Patients. Anesthesiology 2001; 95: 1356-61. Cousin MJ, Power I, Smith G. 1996 Labat Lecture: Pain a Persistent problem. Reg. Anesth and Pain Med. 2000; 25(1): 6-21. Perkowski SZ. Understanding and Controlling Postoperative Pain. Cited at http://www.vetmedpub.com Nelson DL. Neuroanatomy of Pain. Cited at http://www.postoperative.co Woolf CJ, Costigan M. Transcriptional and Posttranslational Plasticity and The Generation of Inflammatory Pain. Proc. Natl. Acad. Sci. Vol 96: 7723-30. 1999. Song SO, Carr DB. Pain and Memory. Pain Clinical Updates, Vol VII(1). IASP. 1999. Woolf CJ, Chong MS. Pre-emtptive Analgesia, Treating Postoperative Pain by Preventing The Establishment of Central Sensitization. Anesth Analg 1993; 77: 362 74. Wulf H, Schug SA, Alvin R. Postoperative Pain Management; How Can We Make Progress? In Acute Pain. 1998; 1(4): 32-44. David BB. NMDA Reeptor Blockade: From The Laboratory to Clinical Application. Anesth Analg. 2009; 91: 1042-1093. Allan G, Smith DS. New Concepts in Acute Pain Therapy : Preemptive Analgesia. American Family Physician. 2001; 63(10): 1979-84. Sina G, Martin RT. Do We Need Preemptive Analgesia for the Treatment of Postoperative Pain? Best Practical Clinical Anesthesiology 2007; 21(1): 51-63

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

153

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENELITIAN Lama Analgesia Lidokain 2% 80 mg Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan Epinefrin pada Blok Subarakhnoid
Rezka Dian Trisnanto*, Uripno Budiono*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Background: Subarachnoid block using isobaric lidocaine, has been applied on many variable clinic surgeries. In the country, lidocaine 2% 80 mg is preferable because of its cost The disadvantage of using lidocaine 2% 80 cc is short duration, 45 - 60 minutes, despite many surgeries take more than 1 hour, despite many surgeries take more than 1 hour. Objective: to prove whether addition of epinephrine 0.02 mg on subarachnoiod block with lidocaine 2% 80 cc able to make longer time of analgesia. Methods: It is a experimental study with quota sampling design on the 52 patients, which are undergoing surgery. In the room, blood pressure (BP), heart rate (HR), respiratory rate (RR) were measured. All of the patients were fasting 6 hour and no premedications. In the Central Operating Theatre / COT ("Instalasi Bedah Sentral / IBS") vein access 18 G was inserted and colloid 7.5 cc/KgBW given as preload. The patients were divided randomly into 2 groups, lidocaine group and lidocaine - epinephrine group. Motoric block evaluation was performed on the same time with level of analgesia evaluation by using Bromage's criteria. Blood pressure, MAP, heart rate, respiratory rate were measured before and after subarachnoid block, in the first 10 minutes of surgery, measurement every minute, 20 th minute and every 10 minute, 20th minute and then every 10 minute until there was no motoric block. Uncooperative patient and who need additional analgesia during surgery, was excluded. Using Mann - Whitney and p < 0.05. Data were gathered in tables. Results: There was no difference for patients characteristics and surgery distribution among 2 groups. Regression time of 2 segments on the lidocaine -epinephrine group was longer significantly than iidocaine group (p = 0.000). The onset of sensoric block on lidocaine was shorter significantly than lidocaine -epinephrine group (p = 0.025). Duration of motoric block on lidocaine -epinephrine group was longer significantly than lidocaine group (p = 0.000). There was no significant difference on maximal level in two groups. There was no difference significantly on BP, MAP, HR after preload. There was difference significantly on HR at 1st and 2nd during subarachnoid block given between two group. Side effect distribution had difference significantly. Conclusion: Regression time of 2 segments on iidocaine - epinephrine group was longer significantly than lidocaine group. Keywords : subarachnoid block, lidocaine 2% 80 mg, epinephrine 0.02 mg
154 Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ABSTRAK Latar belakang: Blok subarakhnoid menggunakan lidokain isobarik, banyak digunakan pada operas! untuk pasien dengan berbagai kondisi klinik. Di daerah banyak digunakan lidokain 2% 80 mg dikarenakan harganya yang relatif murah. Kerugian dari penggunaan lidokain 2% 80 mg adalah durasi yang singkat, yaitu antara 45 - 60 menit, padahal banyak tindakan pembedahan yang durasinya lebih dari 1 jam. Tujuan: Membuktikan apakah penambahan epinefrin 0,02 mg pada blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg dapat memperpanjang lama analgesia. Metode : Merupakan penelitian eksperimental dengan desain quota sampling pada 52 pasien yang menjalani operasi di daerah region abdominal dengan blok subarakhnoid. Saat di ruangan dilakukan pengukuran tekanan darah, laju jantung, dan laju nafas. Semua penderita dipuasakan 6 jam dan tidak diberikan obat premedikasi. Penilaian blok motorik dilakukan pada saat yang sama dengan penilaian level analgesi dengan menggunakan criteria dari Bromage. Penilaian tekanan darah, TAR, laju jantung dan laju nafas dilakukan sebelum dan sesudah blok subarakhnoid selama 10 menit pertama pembedahan dilakukan tiap menit, menit ke 15,20 selanjutnya setiap 10 menit sampai hilangnya blok motorik. Pasien tidak kooperatif dan membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan dikeluarkan dari penelitian. Uji statistik menggunakan Mann - Whitney dan derajat kemaknaan p < 0,05. Penyajian data dalam bentuk tabel. Hasil: Karakteristik penderita dan distribusi operasi antara kedua kelompok tidak berbeda. Waktu regresi dua segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama dibandingkan kelompok lidokain (p=0,000). Mula kerja blok sensorik kelompok lidokain lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (pK),002). Mula kerja blok motorik kelompok lidokain lebih cepat dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (/7=:0,025). Lama kerja blok motorik kelompok lidokain - epinefrin lebih panjang dibandingkan dengan kelompok lidokain (p=0,000). Level maksimal blok sensorik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. TDS, TDD, TAR, laju nafas pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada laju jantung terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,013). TDS, TDD, TAR, laju nafas selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Laju jantung terdapat perbedaan bermakna pada menit pertama dan menit kedua selama blok subarakhnoid pada kedua kelompok. Distribusi efek samping terdapat perbedaan bermakna antara Kesimpulan: Waktu regresi 2 segmen kelompok lidokain - epinefrin lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok lidokain. Kata kunci: Blok subarakhnoid, lidokain 2% 80 mg, epinefrin 0,02 mg.

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

155

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN Blok subarakhnoid dengan obat anestesi lokal digunakan untuk analgesia pembedahan perut bagian bawah, ekstremitas bagian bawah dan daerah perineum.1 Rumah Sakit Dokter Kariadi (RSDK) Semarang sebagai salah satu rumah sakit pusat rujukan yang melayani pasien peserta Asuransi Kesehatan (Askes) Umum maupun Askes Keluarga Miskin (Askeskin) harus mengacu pada peraturanperaturan yang ditetapkan oleh PT. Askes. Menurut Formularium Rumah Sakit Program Askeskin Tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 417/MENKES/SK/IV/2007, lidokain 2% 2 ml merupakan satu-satunya obat anestesi lokal yang digunakan untuk blok subarakhnoid.2 Salah satu kekurangan dari lidokain adalah lama analgesia (duration of action) yang berkisar antara 60 - 75 menit, sehingga hanya cocok untuk pembedahan yang durasinya singkat, sehingga perlu diupayakan usaha untuk memperpanjang lama analgesia, antara lain dengan memberikan penambahan epinefrin, klonidin, opioid (morfin, petidin dan fentanyl) pada obat tersebut. Dimana epinefrin, klonidin, opioid yang terdapat didalam Formularium Rumah Sakit Program Askeskin Tahun 2007.2 Epinefrin sudah lama dikombinasi dengan obat anestesi lokal untuk memperpanjang lama analgesi.1,3,8 Preparat kombinasi lidokain dan epinefrin yang selama ini
156

sudah tersedia adalah lidokain 2% 2 ml (40 mg)+epinefrin 1 : 80.000 (lidokain cum epinefrin). Penelitian-penelitian penggunaan lidokain dan epinefrin telah banyak dilakukan dengan hasil yang berbeda-beda, diantaranya Chambers dengan Lidokain 75 mg+Epinefrin 0,1 mg hasilnya bermakna,9 Spivey Lidokain 62,5 mg + Epinefrin 1 : 160.000 hasilnya tidak bermakna.10 Penambahan epinefrin selama ini aman, karena lidokain bersifat vasodilatasi sementara epinefrin bersifat vasokonstriksi (antagonis fisiologis). Sehingga tidak akan terjadi gejala sisa berupa defisit neurologis akibat iskemi pada medula spinalis.10 Untuk itu akan diteliti, apakah terdapat perbedaan lama analgesi blok subarakhnoid dengan menggunakan lidokain 2% 80 mg dibandingkan dengan lidokain 2% 80 mg cum epinefrin 1 : 160.000. Di RSDK penelitian lama analgesi dengan menggunakan lidokain dan epinefrin belum pernah dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan bahwa lidokain 2% 80 mg cum epinefrin 1 : 160.000 dapat memperpanjang lama analgesia blok subarakhnoid. METODE Jenis penelitian ini termasuk eksperimental berupa uji klinik tahap 2 yang dilakukan secara acak tersamar ganda dengan tujuan untuk mengetahui efikasi penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada blok subarakhnoid dengan lidokain 2 % x 80 mg terhadap lama analgesia.
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Populasi penelitian adalah semua penderita yang akan menjalani pembedahan elektif yang memungkinkan digunakan teknik anestesi blok subarakhnoid di RS. dr. Kariadi Semarang. Cara pemilihan sampel dilakukan dengan cara Quota Sampling terhadap semua penderita yang dipersiapkan untuk operasi elektif, dimana semua penderita yang memenuhi kriteria dimasukkan dalam sampel sampai jumlah yang diperlukan terpenuhi dan bersedia menjadi sukarelawan. Kriteria inklusi penelitian adalah pembedahan elektif regio abdomen dengan blok subarachnoid, usia 20-65 tahun, ASA I-II, berat badan 50-60 kg, tinggi badan 150-170 cm, bersedia sebagai sukarelawan, lama operasi diperkirakan sekitar 1 jam. Sedangkan kriteria eksklusi yaitu pasien tidak kooperatif, pasien membutuhkan analgetik tambahan selama pembedahan,terdapat kontra indikasi untuk dilakukan blok subarakhnoid, posisi pasien tidak dengan posisi kepala lebih rendah (head down/trendelenburg position) selama / pada saat pembedahan. HASIL Telah dilakukan penelitian terhadap 52 orang penderita yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok A (kontrol) 26 orang penderita yang mendapat blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg dan kelompok B (perlakuan) yang mendapat blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg ditambahepinefrin 1 : 160.000.

Uji statistik disini untuk membandingkan 2 kelompok. Untuk data nominal yang meliputi variabel tingkat pendidikan, status ASA, jenis operasi, jenis kelamin dan efek samping menggunakan uji t. Untuk data numerik yang meliputi variabel umur, tinggi badan, berat badan, tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, tekanan arteri rata-rata, laju jantung, laju nafas, blok sensorik, blok motorik, dan lama analgesi menggunakan uji Mann-Whitney. Untuk karakteristik penderita dan distribusi operasi antara kedua kelompok tidak berbeda. Waktu regresi dua segmen pada kelompok lidokain-epinefrin lebih lama secara bermakna dibandingkan kelompok lidokain (p=0,000). Mula kerja blok sensorik pada kelompok lidokain lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan kelompok lidokain-epinefrin (p=0,002). Mula kerja blok motorik pada kelompok lidokain lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan kelompok lidokain - epinefrin (p=0,025). Lama kerja blok motorik pada kelompok lidokain epinefrin lebih cepat secara bermakna dibandingkan dengan kelompok lidokain (p=0,000). Level maksimal blok sensorik tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. IDS, TDD, TAR, laju nafas pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada laju jantung terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,013). IDS, TDD, TAR, laju nafas selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Laju jantung terdapat perbedaan bermakna pada menit pertama dan menit kedua selama blok subarakhnoid pada kedua kelompok
157

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

penelitian. Distribusi efek samping terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok (p=0,025). PEMBAHASAN Analgesi yang timbul pada pemberian obat anestesi lokal pada blok oid melalui mekanisme masuknya ion natrium dari ekstrasel ke intrasel spesific sodium channel (SSC) sehingga tidak terjadi potensial aksi. epinefrin dipakai sebagai penambah anestesi lokal pada blok subarakhnoid untuk memperpanjang lama analgesia. Efek epinefrin pada medula spinalis karena epinefrin menstimulasi adrenoceptor alpha di cornu dorsalis medula spinalis sehingga menimbulkan efek antinosiseptif, yang terjadi melalui descending inhibitory pathway dimana ini berperan dalam modulasi proses sensorik. Penambahan epinefrin pada lidokain akan memperpanjang durasi sampai dengan 50%. Tetapi, epinefrin tidak mempunyai efek signifikan bila ditambahkan pada bupivakain, dikarenakan ikatan protein bupivakain lebih lemah dibandingkan ikatan protein lidokain. Jadi efek yang didapat bervariasi dan pergantung pada macam obat anestetik lokal yang dipakai. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan bermakna tentang karakteristik penderita dan distribusi operasi antara kelompok lidokain dengan kelompok lidokain-epinefrin. Terdapat perbedaan bermakna antara mula kerja blok sensorik kelompok lidokain (3,2500,6677 menit) dibandingkan dengan kelompok lidokaiepinefrin (3,82310,6617 menit). Juga didapatkan perbedaan bermakna antara
158

mula kerja blok motorik kelompok lidokain (3,6250,3952/ menit) dibandingkan dengan kelompok lidokain epinefrin (3,961 0,6232 menit). Pada lama kerja blok motorik didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok lidokain (59,585,707 menit) dibandingkan dengan kelompok lidokainepinefrin (74,92+7,397 menit). Waktu regresi 2 segmen pada kelompok lidokain-epinefrin (77,089,740 menit) lebih lama secara bermakna dibandingkan dengan kelompok lidokain (61,38+5,315 menit). Pada level maksimal blok sensorik tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok lidokain (6,8110,849) dengan kelompok lidokain-epinefrin (7,120,952). Hasil penelitian ini menunjukkan TDS, TDD, TAR, laju nafas pada keadaan hemodinamik setelah preload tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Pada laju jantung terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok, dimana kelompok lidokain (81,853,414) dan kelompok lidokain-epinefrin (83,964,162). Penelitian ini menunjukkan TDS, TDD, TAR, laju nafas selama blok subarakhnoid tidak terdapat perbedaan bermakna pada kedua kelompok. Laju jantung terdapat perbedaan bermakna pada menit pertama dan menit kedua selama blok subarakhnoid pada kedua kelompok penelitiaan. Oleh karena adanya efek vasokonstriktor dari epinefrin, maka terjadi penurunan absorpsi dan akan meningkatkan neuronal uptake, dimana meningkatkan pula kualitas analgesia, memperpanjang durasi dan mengurangi efek samping lidokain
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

yang bersifat blok simpatis seperti bradikardi dan hipotensi. Gejala awal dari kejadian hipotensi salah satunya adalah mual sampai dengan muntah. Oleh karena itu pada penambahan epinefrin akan mengurangi efek samping berupa fluktuasi hemodinamik selama terjadinya blok subarakhnoid. SIMPULAN Penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg memperpanjang lama analgesia (74,927,397 menit), penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg dapat mengurangi kejadian bradikardi, hipotensi yang merupakan salah satu efek samping dari blok subarakhnoid. Penambahan epinefrin 1 : 160.000 pada blok subarakhnoid dengan lidokain 2% 80 mg merupakan salah satu alternatif untuk memperpanjang lama analgesia. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan dengan dosis yang berbeda - beda. DAFTAR PUSTAKA 1. Atkinson Rs, Rushman GB, Lee JA.
Spinal analgesia : intradural ; Extradural in : Atkinson Rs, Rushman GB, Lee JA> ed. Synopsis of Anaesthesia. 10th ed. Singapore : PG Publishing, 1988 : 662-3. Departemen Kesehatan RI. Formularium rumah sakit program askeskin. Pedoman buku pedoman pelaksanaan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin (Askeskin). Depkes RI, 2007 :2 13. Veering B. Local Anesthetics. In : Brown DL, ed. Regional anesthesia and analgesia. Philadelphia: WB Saunders Company, 1996 : 188 - 97.

4. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ.


Local anesthetics. In : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical anesthesiology, 3rd ed. New York : McGraw-Hill; 2002; 233-41. Stocking RK, Hillier SC. Local anesthetics. In : Stoelting RK, Hillier SC, eds. Pharmacology & physiology in anesthetic practice, 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2006 ; 179-207. Me Donald JS, Mandalfino DA. Subarachnoid blok. In : Bonica JJ, McDonald Jsl Principles and Practice Analgesia and Anesthesia. 2nd. Balltimore : Williams & Wilkins, 1995 : 471. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical anesthesiology, 3rd ed. New York : McGraw-Hill ; 2002; 253-82. Brown DL. Spinal, epidural and caudal anesthesia. In : Miller RD, ed. Miller's anesthesia. 6th. Pennsylvania : Elsevier Curchill Livingstone, 2005 :1661-2. Stevens RA. Neuraxial blocks. In : Brown DL, ed. Regional anesthesia and analgesia. Philadelphia : WB Saunders Company, 1996 .319 -56. Chambers WA, Littlewood DG, Logan MR and Scott DB.Effect of added epinefrin on spinal anesthesia, with lidocaine, Anesth. Analg. 1981 : 60 :41720. Spivey DL. Epinefrine does not prolong lidocaine spinal anesthesia in term parturients Anesthi. Analgesia 1985.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

2.

3.

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

159

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Ventilasi Satu Paru


Aditya Kisara*, Hari Hendriarto Satoto*, Johan Arifin*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT One lung ventilation is to provide mechanical ventilation in a selected one of the lungs and block the airway of the other lung. One lung ventilation is indicated to improve surgical access, protects lung ventilation and intensive care. During one lung ventilation, mixing of oxygenated blood that is not the collapse of the lung with oxygenated blood from the dependent lung terventilasi widen PA-a O2 gradient. In vitro studies showed that inhalation anesthetic agents directly reduce the action of hypoxic pulmonary vasocontriction and theoretically lead to increased blood flow to the lungs is not ventilated thereby increasing pulmonary shunt and PaO2 became decrease and often cause hipoksemi. Three techniques are performed: (1) placement of a double lumen bronchial tubes, (2) the use of a single lumen tracheal tube in his contact with the bronchial inhibitor, or (3) the use of single lumen bronchial tubes. High tidal volume used to maintain arterial oxygenation decrease in tidal volume, combined with the use of positive end-expiratory pressure (PEEP), can minimize the occurrence of parenchymal injury. ABSTRAK Ventilasi satu paru adalah memberikan ventilasi mekanik pada salah satu paru yang dipilih dan menghalangi jalan napas dari paru lainnya. Ventilasi satu paru diindikasikan untuk meningkatkan akses bedah, melindungi paru dan perawatan intensif ventilasi. Selama ventilasi satu paru, percampuran darah yang tidak teroksigenasi dari paru atas yang kolaps dengan darah teroksigenasi dari paru dependen yang terventilasi memperlebar gradien O2 PA-a. Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa agen anestesi inhalasi secara langsung mereduksi aksi dari hypoxic pulmonar vasocontriction dan secara teori menyebabkan meningkatnya aliran darah ke paru yang tidak terventilasi sehingga meningkatkan shunt pulmoner dan akhirnya PaO2 menjadi turun dan sering menyebabkan hipoksemi. Tiga teknik yang dilakukan: (1) penempatan sebuah tabung bronkial lumen ganda, (2) penggunaan tabung trakeal lumen tunggal pada penghubungnya dengan penghambat bronkial, atau (3) penggunaan lumen tunggal tabung bronkial. Volume tidal yang tinggi digunakan untuk mempertahankan oksigenasi arteri Penurunan volume tidal, dikombinasi dengan penggunaan akhir ekspirasi tekanan positif (PEEP), dapat meminimalkan terjadinya cedera parenkim.

160

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

PENDAHULUAN Pembedahan thoraks menghadirkan satu set masalah fisiologis untuk ahli anestesi yang membutuhkan pertimbangan khusus. Hal ini termasuk pengaturan kembali keadaan fisiologi seorang pasien dengan membaringkan pasien pada salah satu sisi lebih rendah (posisi lateral dekubitus), membuka dada (open pneumothoraks), dan terkadang ventilasi satu paru. Selama ventilasi satu paru, salah satu paru sengaja tidak diventilasi. Volume tidal diberikan ke salah satu paru yang diventilasi. Teknik ini membuat operator mudah melihat infra struktur intra thorak sehingga memberikan kondisi yang optimal untuk pembedahan. Namun, prosedur ini telah dikaitkan dengan penurunan oksigen arteri, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit paru-paru. Hal ini di karenakan tehnik ini menyebabkan berkurangnya luas permukaan alveli yang digunakan untuk pertukaran gas dan menyebabkan hilangnya regulasi otonom pernapasan yang normal. Oleh karena itu, mempertahankan kadar oksigen yang cukup dan eliminasi karbondioksida adalah tantangan terbesar dalam pengelolaan ventilasi satu paruparu. Pengelolaan ventilasi satu-paru terus menjadi tantangan dalam praktek Definisi Ventilasi satu paru adalah memberikan ventilasi mekanik pada salah satu paru yang dipilih dan menghalangi jalan napas dari paru lainnya. Hal ini bertujuan untuk

memberikan kondisi yang optimal sehingga mempermudah pembedahan.1,2 Indikasi 1.Meningkatkan akses bedah.1,2 Hal ini membuat ahli bedah jauh lebih mudah untuk melakukan operasi paruparu, atau operasi gaster dan esofagus. Dengan teknik ventilasi satu paru akan membuat reseksi tumor lebih mudah dilakukan. Beberapa operasi lain juga pasti membutuhkan teknik ventilasi satu paru, misalnya : operasi thoracoscopic. 2.Perlindungan paru- paru.1,2 Tehnik satu paru dapat berguna untuk melindungi paru-paru yang sehat terhadap kontaminasi darah atau abces dari paru paru yang sakit selama operasi. 3.Perawatan Intensif ventilasi.1,2 Diperlukan jika pasien memiliki penyakit paru-paru tunggal sehingga paruparu yang normal tidak mendapatkan tekanan yang tinggi yang mungkin diperlukan untuk paru-paru yang sakit. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan dua ventilator, misal pada perawatan setelah transplantasi satu paru. Patofisiologi ventilasi satu paru Kolaps paru yang disengaja pada sisi pembedahan memudahkan prosedur operasi namun dengan manajemen anestesi yang sulit. Karena paru yang kolaps harus tetap diperfusi dan sengaja tidak diventilasi, maka akan terjadi shunt intrapulmoner kanan-ke-kiri (20%-30%). Selama ventilasi satu paru, percampuran darah yang tidak teroksigenasi dari paru atas yang kolaps dengan darah
161

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

teroksigenasi dari paru dependen yang terventilasi memperlebar gradien O2 PA-a (alveolar-ke-arterial) dan sering menyebabkan hipoksemi. Untungnya, aliran darah ke paru yang tidak terventilasi menurun akibat hipoxia pulmonal vasoconstrictrion (HPV) dan kompresi pembedahan pada paru atas.1,2,3 Faktor-faktor yang diketahui menghambat HPV dan hal yang memperburuk shunt kanan-ke-kiri termasuk (1) tekanan arteri pulmonel yang sangat tinggi atau sangat rendah; (2) hipokapnia; (3) PO2 vena yang tinggi atau sangat rendah; (4) vasodilatator seperti nitrogliserin, nitroprusid, agonis adrenergik (termasuk dobutamin dan salbutamol), dan calsium channel blocker; (5) infeksi pulmoner; dan (6) anestesi inhalasi.1,3,4 Faktor-faktor yang menurunkan aliran darah terhadap paru yang berventilasi bisa terganggu; mereka membalik efek HPV dengan meningkatkan aliran darah secara tidak langsung terhadap paru yang kolaps. Faktor-faktor tersebut diantaranya (1) tekanan jalan nafas rata-rata yang tinggi pada paru terventilasi karena high positive end-expiratory pressure (PEEP), hiperventilasi, atau tekanan puncak inspirasi yang tinggi; (2) FIO2 rendah, yang menghasilkan vasokonstriksi pulmoner hipoksia pada paru yang terventilasi; (3) vasokonstriktor yang memiliki efek besar terhadap pembuluh darah normal dibandingkan terhadap yang hipoksia; dan (4) PEEP intrinsik yang timbul akibat waktu ekspirasi 1,3,4 inadekuat.

Eliminasi CO2 biasanya tidak disebabkan oleh ventilasi satu paru sehingga ventilasi tiap menit tidak berubah dan retensi CO2 yang sudah ada sebelumnya tidak tampak ketika kedua paru berventilasi; tegangan CO2 arterial biasanya tidak mengalami perubahan yang cukup besar.3,4 Efek Anestesi pada Ventilasi Satu Paru Penelitian secara in vitro memperlihatkan bahwa agen anestesi inhalasi secara langsung mereduksi aksi dari hypoxic pulmonar vasocontriction dan secara teori menyebabkan meningkatnya aliran darah ke paru yang tidak terventilasi sehingga meningkatkan shunt pulmoner dan akhirnya PaO2 menjadi turun.Bjertnaer dan kawan-kawan menggunakan scintigraphy skin untuk menganalisis efek dari eter, halotan, thiopental dan fentanil pada HPV dan dipastikan bahwa eter dan halotan, bila digunakan dalam konsentrasi klinis dapat menghambat HPV, sedangkan agen intravena (thiopental dan fentanil) tidak menghambat. Baru-baru ini, Groh dan kawan- kawan menyelidiki pengaruh isofluran pada vasokonstriksi hipoksia dengan mengukur aliran darah paru kelinci. Isofluran menyebabkan meningkatnya perfusi pada paru yang tidak terventilasi dengan cara menghambat terjadinya HPV.5,6 Efek propofol pada PaO2, fraksi shunt, perfusi paru dan output jantung telah dianalisis dibandingkan dengan efek agen anestesi inhalasi yang telah dipelajari sebelumnya, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai PaO2, perfusi paru-paru dan cardiac output lebih
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

162

Jurnal Anestesiologi Indonesia

tinggi ketika propofol digunakan, dan bahwa fraksi shunt secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan memakai agen inhalasi.5,7

perlindungan yang mengalihkan aliran darah pada paru-paru yang kolaps menuju paru-paru yang berventilasi.5,7,8 Mekanisme perlindungan ini yang terjadi ketika kadar PO2 alveolar 4-8 kPa. Mekanisme ini dapat dihambat sampai batas tertentu oleh vasodilator, termasuk semua gas anestesi dan agen induksi. Namun telah terbukti bahwa HPV tidak dihambat oleh nilai MAC kurang dari 1%. Satu MAC dari isoflurane hanya menghambat HPV sebesar 20% sehingga tidak menjadi masalah besar secara klinis dan tidak ada alasan untuk tidak menggunakan agen inhalasi. Penyakit paru itu sendiri mungkin telah mengubah fisiologi paru-paru. Sebuah tumor besar sudah dapat menghalangi ventilasi dan sehingga kolapsnya paru tidak menyebabkan berkurangnya 7,8 oksigenasi pasien. Teknik Ventilasi Satu Paru Ventilasi satu paru dapat digunakan untuk mengisolasi atau untuk memudahkan pengelolaan ventilasi pada keadaan tertentu. Tiga teknik yang dilakukan: (1) penempatan sebuah tabung bronkial lumen ganda, (2) penggunaan tabung trakeal lumen tunggal pada penghubungnya dengan penghambat bronkial, atau (3) penggunaan lumen tunggal tabung bronkial. Tabung lumen ganda adalah yang sering digunakan.8,9 Pertimbangan Anatomis Trakea orang dewasa panjangnya berkisar 11-13 cm. Dimulai dari kartilago cricoid (C6) hingga bifurkasio di belakang sendi sternomanubrium (T5). Perbedaan utama
163

Gambar 1. kurva compliance paru-paru7

Penggunaan obat pelumpuh otot akan menyebabkan menurunnya kapasitas residu fungsional (FRC) dikarenakan lumpuhnya otot diafragma. Gambar 1 menunjukkan komplians paru-paru saat pasien sadar dan pasien yang dibius. Ketika pasien dibius, paru-paru bagian atas bergerak ke posisi yang lebih rendah seperti posisi paru- paru dependen pada pasien sadar. dan paru-paru bagian bawah bergerak ke bawah kurva melewati titik belok. Paru-paru non-dependent menjadi lebih mudah untuk diventilasi dari paruparu dependent. Ketika dada dibuka, paruparu atas menjadi lebih mudah untuk diventilasi karena tidak ada pembatasan oleh dinding dada. Suplai darah masih sangat ditentukan oleh gravitasi. V / Q mismatch sekarang terjadi. Hal ini akan menjadi lebih buruk ketika paru-paru atas telah kolaps karena tidak ada ventilasi pada paru-paru tersebut namun masih didapatkan perfusi pada paru tersebut. Namun tubuh memiliki mekanisme
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1. jenis jenis tabung lumen ganda Nama Carlens White Robert Shaw Intubasi bronkus Kiri Kanan Kanan atau kiri Kait carina Ya Ya Tidak Bentuk lumen Oval Oval Bentuk D

antara bronkus utama kanan dan kiri adalah sebagai berikut: (1) bronkus kanan lebih lebar menyimpang jauh dari trakea dengan sudut 250, sedangkan bronkus kiri menyimpang dengan sudut 45 (2) bronkus kanan memiliki tiga cabang yaitu cabang lobus atas, tengah dan bawah, sedangkan bronkus kiri hanya dibagi menjadi cabang lobus atas dan bawah, dan (3) orificium bronkus lobus kanan atas ira-kira 1-2,5 cm dari karina, sedangkan lobus kiri atas adalah sekitar 5 cm dari karina.

Semua tabung bronkial lumen ganda memiliki karakteristik sama sebagai berikut: Sebuah lumen bronkial panjang yang bisa memasuki baik bronkus utama kanan maupun kiri dan lumen trakea pendek lainnya pada trakea bawah Sebuah lekukan lunak yang memudahkan jalan masuk ke dalam setiap bronkus Sebuah cuff bronkial Sebuah trakeal cuff Ventilasi dapat diberikan pada satu paru saja dengan cara menjepitkan lumen trakea atau bronkus dengan cuff yang sudah dikembangkan; pembukaan port dari konektornya menyebabkan paru ipsilateral kolaps. Akibat perbedaan anatomi bronkus pada kedua sisi, maka tabung didesain khusus untuk bronkus kanan atau kiri. Tabung lumen ganda yang sering digunakan adalah tipe Robert-Shaw. Terdapat uuran 35, 37, 39 dan 41 F (diameter internal sekitar 5.0, 5.5, 6.0, dan 6,5 mm). Sebuah tabung 39F digunakan umumnya untuk pria sedangkan 37F untuk kebanyakan wanita. Tabung bronkial sisi kanan harus memiliki celah untuk memberi ventilasi lobus kanan atas . Variasi anatomis antara satu individu
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Gambar 2. Anatomi trakeo bronchial

ET Bronchial Lumen Ganda Keuntungan dasar dari tabung bronkial lumen ganda ini adalah relatif lebih mudah ditempatkan, dan kemampuannya untuk memberi ventilasi salah satu atau kedua paru, dan kemampuannya dalam menghisap salah satu atau kedua paru.

164

Jurnal Anestesiologi Indonesia

dengan yang lain dalam hal jarak antara karina kanan dengan orifisium lobus kanan sering menyebabkan kesulitan dalam memberi ventilasi lobus tersebut dengan tabung sisi-kanan. Tabung sisi-kanan didesain untuk thorakotomi kiri, sedangkan tabung sisi kiri didesain untuk thorakotomi sisi kanan. Kebanyakan ahli anestesi, menggunakan tabung sisi kiri tanpa memperhatikan sisi yang akan dioperasi.; untuk operasi pada sisi kiri, tabung bisa ditarik ke dalam trakea sebelum diklem ke bronkus kiri, bila perlu.

NY). Tuba tersebut diberikan penghambat yang beretraksi penuh; kurva alaminya seperti itu yang memutar tuba dengan kurva konkav ke kanan yang secara khusus mengarahkan penghambat bronkus ke bronkus kanan. Dengan memutar tuba dengan kurva konkav ke kiri biasanya mengarahkan penghambat ke bronkus kiri. Penghambat bronchial harus di masukkan, diposisikan, dan dikembangkan dengan pengamatan langsung melalui suatu bronkoskop yang fleksibel.

Gambar 3. Letak ET double lumen9

ET Lumen Tunggal Penghambat Bronkial

dengan

sebuah
Gambar 4. ET lumen tunggal dengan penghambat bronchial

Penghambat bronchial adalah alat yang dapat digelembungkan yang mengelilingi atau melalui tabung tracheal lumen tunggal untuk menutup orificium bronchial. Tuba trakeal dengan sebuah tambahan kanal di sampingnya untuk menghambat bronchial yang dapat beretraksi, dijual secara komersial (tuba univent; vitaid; Lewiston,
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

3.ET Bronkial Lumen Tunggal Tuba bronchial lumen tunggal saat ini jarang digunakan. Tuba Gordon-Green merupakan sebuah lumen tunggal sisi
165

Jurnal Anestesiologi Indonesia

kanan yang dapat digunakan untuk torakotomi kiri; tuba ini memiliki cuff trakeal dan bronchial seperti hook karina. Mengembangnya cuff bronchial mengisolasi dan menyebabkan ventilasi hanya pada paru kanan. Bila cuff bronchial dikempiskan dan cuff trakeal dikembangkan, kedua paru dapat diventilasi. Suatu celah yang jauh lebih besar pada cuff bronchial (dibandingkan dengan tuba lumen ganda sisi kanan) menyebabkan nilai keberhasilan yang tinggi untuk membuka ventilasi lubus superior dekstra. Kerugian yang utama dari tuba Gordon-Green adalah merusak hook karina dan ketidakmampuan menghisap paru kiri. Biasanya, tuba trakeal lumen tunggal yang tidak dipotong digunakan sebagai tuba bronchial pada situasi emergensi (perdarahan pulmo unilateral). Tuba biasanya dapat di masukkan secara buta ke bronkus kanan bila sumber perdarahannya adalah paru kiri; sayangnya, lobus superior dekstra tidak dapat diventilasi . Memasukkan tuba secara buta ke bronkus kiri lebih sulit (memasukkan tuba yang memiliki konveksitas di posterior sambil memutar kepala ke kanan) dan seharusnya dipandu dengan bronkoskopi, bila memungkinkan. Pelaksanaan teknik ventilasi satu paru Selama ventilasi satu paru, direkomendasikan bahwa paru dependent diventilasi dengan volume tidal (VT) yang mirip dengan yang digunakan saat ventilasi kedua paru-paru. Volume tidal yang tinggi digunakan untuk mempertahankan oksigenasi arteri . Katz et al, telah menunjukkan bahwa tingkat volume tidal (VT) 8 sampai 15 ml/ kg
166

tidak secara signifikan mempengaruhi baik shunt paru atau PaO2. Peneliti lain melaporkan bahwa tingkat volume tidal ( VT ) kurang dari 8ml/kg menghasilkan penurunan kapasitas fungsional residu, sehingga menyebabkan atelektasis pada paru-paru dependen sehingga menyebabkan gangguan pertukaran gas.10 Namun perlu diperhatikan tentang efek buruk pemberian volume tidal tinggi pada pasien yang menjalani ventilasi satu paru. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa penggunaan ventilasi mekanis saja sudah dapat dapat memulai atau memperburuk cedera paru. Volume tidal tinggi mungkin dapat mengembangkan alveoli secara normal atau mencederai alveoli, sehingga menyebabkan cedera langsung ke parenkim paru-paru. Konsekuensi utama dari pemberian volume tidal yang tinggi adalah cedera seluler disebabkan oleh hyperdistension alveoli yang mengakibatkan rupture membran alveolar-kapiler, perubahan fungsi sel, keluarnya sel-sel proinflamasi sitokin, perubahan transportasi ion dan penurunan sekresi surfaktan. Meskipun sebagian besar pasien yang menjalani ventilasi satu paru tidak memiliki riwayat penyakit paru-paru, pemberian volume tidal yang tinggi dapat menyebabkan parenkim paru cedera.10 Penurunan volume tidal, dikombinasi dengan penggunaan akhir ekspirasi tekanan positif (PEEP), dapat meminimalkan perubahan ini .Selain penggunaan Volume tidal tinggi, digunakan FiO2 sebesar 1,0 untuk menjaga oksigen arteri. Konsentrasi oksigen akan menyebabkan vasodilatasi di
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

paru-paru dependen, sehingga meningkatkan kapasitas untuk mengakomodasi aliran darah yang berasal dari paru-paru nondependent. Capan et al.menunjukkan bahwa penggunaan FiO2 sebesar 1,0 mengakibatkan shunt fraksi dari 25% sampai 30% dan nilai PaO2 antara150 mmHg dan 210 mmHg selama ventilasi satu paru Baru-baru ini, bahwa terdapat perbedaan peningkatan oksigen alveolar arterial, terlepas dari Bardoczky et al, menganalisa efek dari pemberian konsentrasi oksigen yang berbeda dikombinasikan dengan posisi pasien di dorsal decubitus atau lateral dekubitus dan menyimpulkan nilai-nilai FiO2 yang digunakan. Namun, dengan FiO2 sebesar 1,0, terjadi penurunan PaO2 yang lebih kecil dan karena itu tidak menyebabkan hipoksemia. Perlu dicatat bahwa penurunan PaO2 lebih besar terjadi pada pasien dalam posisi dorsal dekubitus dibandingkan pada posisi dekubitus lateral .10 Tetapi disisi lain FiO2 tinggi dapat menyebabkan beberapa komplikasi, seperti penyerapan atelektasis, perubahan dalam kapasitas vital, respiratory rate, pH, PaO2 dan kapasitas difusi karbon monoksida di paru. Hal ini akan menyebabkan peningkatan fraksi shunt .Selama ventilasi satu paru, terutama ketika dalam posisi dekubitus lateral, fungsional kapasitas residual paru-paru dependen berkurang karena faktor yang berhubungan dengan induksi umum anestesi, seperti kompresi isi perut dan mediastinum.9,10 yang memuaskan saat digunakan tingkat PEEP yang sama dengan tingkat autoPEEP pasien. Oleh karena itu, dalam
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Pemakaian PEEP ke paru-paru dependen mencegah kolaps alveolar dan meningkatkan kapasitas fungsional residu, sehingga meningkatkan ratio ventilation perfusion dan komplians paru-paru .Namun, keberhasilan PEEP tergantung pada tingkat yang digunakan PEEP tingkat tinggi mungkin memiliki efek merusak pada oksigenasi arteri. Hal ini disebabkan kompresi dari intra-alveolar kapiler yang disebabkan oleh peningkatan volume paru, sehingga resistensi pembuluh darah paru meningkat dan curah jantung 8,9,10 menurun. Ada banyak kontroversi dalam literature tentang keuntungan menggunakan PEEP dalam mengendalikan PaO2 selama ventilasi satu paru. Cohen et al. menunjukkan bahwa penerapan tingkat PEEP dari 10 cmH2O untuk pasien dengan PaO2 rendah meningkatkan kapasitas fungsional residu, sehingga mengurangi resistensi vaskular paru, meningkatkan rasio ventilasi-perfusi dan meningkatkan PaO2. Di sisi lain, Capan dkk. memberikan bukti oksigenasi yang tidak membaik dalam penggunaan PEEP . Baru-baru ini, Inomata dkk..memberikan penjelasan untuk mengenai administrasi PEEP selama ventilasi satu paru. Mereka memastikan bahwa ada peningkatan resistensi jalan napas dan, sebagai hasilnya, pada pasien akan timbul autoPEEP. Pada pasien yang tidak memiliki riwayat penyakit paruparu sebelumnya,didapatkan nilai oksigenasi arteri, shunt fraksi dan denyut jantung rangka untuk menerapkan tingkat PEEP yang ideal, direkomendasikan untuk menentukan tingkat auto-PEEP.8,10
167

Jurnal Anestesiologi Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1. Helena F,Walter A, Physiopathology and Clinical Management of One Ventilation.[home page on the internet]. c2004 [cited 2011 nov 20]. Avalaible from: http://www.scielo.br/pdf/jbpneu/v30n6/en_a12 v30n6.pdf 2. Blieux PD, Ali J, Summer WR, Levitzky MG, editors. Respiratory failure :Pulmonary pathophysiology. 2th edition. New Orleans: The McGraw Hill companies. 2005; p. 232-48. 3. Kozian T,Fredu F,Maripu E,et.al, One lung Ventilation Induces hypoperfusion and alveolar damage in ventilated lung: an experimental study.[Home page on the Internet]. c2008 [cited 2011 Nov 20] Avalaible from: http://www.anestesiologiafsfb.com/subreunion es/onelung/Hypoxemia 4. Hoftman N,Canales C, Leduc M, Mahgu A, Positive end expiratory during one lung ventilation: an selecting ideal patients and ventilator setting with the aim of improving arterial oxygenation. [Home page on Internet]. c2011 [cited 2011 Nov 20]. Avalaible from: http://www.annals.in/article.asp?issn=09719784; 5. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Anaesthesia for thoracotomy. In: Clinical anesthesiology. 4th ed. New York: Mc GrawHill companies, 2006 6. Meredith LF, Body SC, Physiology of one lung ventilation. [Home page on the Internet]. c1997 [cited 2011 Nov 20]. Avalaible from: http://scv.sagepub.com/content/1/3/236 7. Slinger P, Management of one lung ventilation. [Home page on the internet]. c2011[cited 2011 Nov 21]. Avalaible from: http://www.thoracic-anesthesia.com/?p=21 8. Miller RD, Ericcson L, et.al. Anesthesia for thoracic Surgery. In :Millers anaesthesia. 7th ed , New York ,2011. 9. KarzaiW,Scharkopz, Hipoxia during One lung ventilation: predicting ,prevention, and treatment, anesthesiology. [Home page on internet].c2009 [cited 2011 Nov 2001]. Avalaible from:http://journals.lww.com/anesthesiology/F ulltext/2009 10. Brodsky JB, Approaches to hypoxemia during single lung ventilation, Anaesthesiology. [ Home page on internet]. c2009 [cited 2011 Nov 21]. Avalaible from: http://www.scielo.br/pdf/jbpneu/v30n6/en_a12 v30n6.pdf

168

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Ventilasi Mekanik Noninvasif


Dicky Hartawan*, Danu Soesilowati*, Uripno Budiono*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Mechanical ventilation can be invasive and noninvasive manner. Noninvasive ventilation as an alternative to avoid the risks posed to the use of invasive ventilation, reducing the costand length of treatment in intensive care. Noninvasive ventilation is divided into two negative pressure ventilation and positivepressure ventilation. Noninvasive positivepressure ventilation requires the interface such as a facemask, nasal shield, mouthpieces, nasal pillow and helmet. Ventilators are used to control a ventilator volume, pressure, BiPAP and CPAP ABSTRAK Ventilasi mekanis dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif. Ventilasi noninvasif terbagi 2 yaitu ventilasi tekanan negatif dan ventilasi tekanan positif. Ventilasi noninvasif tekanan positif memerlukan alat penghubung seperti sungkup muka, sungkup nasal, keping mulut, nasal pillow dan helmet. Ventilator yang digunakan dapat berupa ventilator kontrol volume, tekanan, BIPAP dan CPAP.

PENDAHULUAN Ventilasi noninvasif merupakan teknik ventilasi mekanis tanpa menggunakan pipa trakea (endotracheal tube) pada jalan napas. Sejarah pemakaian ventilasi noninvasif dimulai pada tahun 1930-an dengan teknik negative pressure ventilation (NPV) berupa body ventilator. John Dalziel pada tahun 1938 memperkenalkan bodyventilator dalam bentuk tank type untuk penderita polio yang terdiri atas ruang padat berisi udara dengan posisi penderita duduk didalamnya
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

tetapi kepala di luar.1,2 Philip Drinker mengembangkan bentuk body ventilator lain dengan kekuatan listrikyang disebut iron lung pada tahun 1928. Rocking bed dikembangkan oleh Wright pada tahun 1940 saat terjadi epidemi polio. Intermittent abdominal pressure respirator atau lebih dikenal dengan pneumobelt ditemukan pada tahun 1950 dengan alat ini mulai dikenal metode noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) yang digunakan secara intermiten atau terusmenerus.2-5

169

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Penggunaan ventilasi mekanis invasif mempunyai efektivitas yang berbeda dengan ventilasi noninvasif. Tindakan intubasi trakea pada ventilasi invasif memiliki risiko komplikasi yang lebih besar seperti cidera jalan napas atas, paralisis pitasuara, stenosis trakea, tracheomalacia, sinusitis dan ventilator associated pneumonia (VAP). Dewasa ini penggunaan ventilasi noninvasif semakin berkembang dan membuat penderita merasa lebih aman, nyaman, biaya perawatan lebih murah serta waktu perawatan lebih singkat dibandingkan pemakaian ventilasi invasif.5 Indikasi ventilasi noninvasif adalah penyakit paru kronik yang berat, hipoventilasi nokturnal yang berhubungan dengan disfungsi saraf otot, gagal napas akut seperti keadaan eksaserbasi penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gagal napas hipoksemik akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS), pneumonia pada pasien dengan atau tanpa immunocompromised, trauma, edemaparu kardiogenik dan penderita yang sulit dilakukan penyapihan (weaning) dari ventilasi invasif. Keberhasilan ventilasi noninvasif ditentukan oleh pemilihan dan pemakaian alat penghubung (interface), tenaga kesehatan terlatih dan pengawasan yang baik.3,4,6 Pemahaman mengenai ventilasi noninvasif diperlukan mengingat penggunaan dan manfaatnya yang semakin berkembang pada saat ini. FUNGSI PARU SEBAGAI SISTEM RESPIRASI Respirasi yang berlangsung terus-menerus selama 24 jam merupakan proses yang diatur oleh sistem terdiri atas sensor, pusat
170

dan efektor napas. Sensor napas membawa input aferen ke pusat napas di medula oblongata. Dua jenis sensor napas yaitu mekanoreseptor berada di paru sedangkan kemoreseptor terdapat di sentral dan perifer berupa badan aorta (aortic body) dan karotis (carotid body). Keduanya memberikan respons terhadap perubahan tekanan parsial oksigen (PaO2), karbondioksida (PaCO2) dan pH. Pusat napas akan memberikan perintah keefektor napas yaitu otot napas, diafragma dan otot bantu napas.7 Proses masuknya oksigen (O2) ke dalam tubuh dan keluarnya karbondioksida(CO2) dari dalam tubuh terjadi akibat kerja mekanis otot bantu napas, perubahan tekanan intrapleura dan intrapulmoner. Saat inspirasi diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi muskulus sternokleidomastoideus, interkostalis eksternus, serratus, skalenus sehingga volume rongga toraks membesar. Peningkatan volume ini menyebabkan tekanan intrapleura menurun menjadi lebih negatif dari -4 mmHg menjadi -8 mmHg dan tekanan intrapulmoner dari 0 mmHg menjadi -2 mmHg, tekanan alveolar juga menjadi lebih rendah (-1 mmHg) daripada tekanan atmosfir (0mmHg). Perbedaan tekanan intrapleura dan tekanan intrapulmoner menyebabkan udara masuk ke alveoli.8 Saat ekspirasi otot mengalami relaksasi, volume rongga toraks menurun sehingga tekanan intrapleura kembali menjadi kurang negatif (-4mmHg), volume alveolar menurun karena daya rekoil alveolar, tekanan alveolar kembali naik menyamai tekanan atmosfir dan udara keluar alveoli.8 Proses masukdan keluarnya udara ke jalan napas disebut
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ventilasi. Peningkatan PaCO2, penurunan pH dan PaO2 akan merangsang kemoreseptor di pusat napas untuk meningkatkan ventilasi. Ventilasi yang tidak berjalan normal memerlukan bantuan berupa ventilasi invasif maupun noninvasif. Ventilator adalah alat yang mampumengambil alih proses pertukaran gas di paru saat ventilasi tidak berlangsung normal.7,8 VENTILASI NONINVASIF MEKANIK

penenang,memungkinkan penderita untuk tetap berkomunikasi dengan petugas kesehatan dan fungsi menelan serta batuk masih dapat dipertahankan secara 1 alamiah. Ventilasimekanik noninvasif terdiri atas dua bagian yaitu ventilasi tekanan negatif danventilasi tekanan positif.9 Ventilasi tekanan negatif Prinsip ventilasi tekanan negatif adalah memberikan tekanan pada dinding toraks dan abdomen untuk mencapai tekanan di bawah tekanan atmosfir saat inspirasi. Tekanan ini menyebabkan rongga toraks mengembang dan terjadi penurunan tekanan di pleura dan alveolar sehingga menimbulkan perbedaan tekanan yang memungkinkan udara masuk ke alveoli. Saat ekspirasi, tekanan dinding toraks kembali sama dengan tekanan atmosfir dan ekspirasi terjadi secara pasif dengan daya elastik rekoil paru. Ventilator tekanan negatif mempunyai duakomponen utama yaitu keadaan kedap udara (airtight) dibuat melalui ruang yang menutupi rongga toraks dan abdomen secara ketat serta pompa untuk menimbulkan perbedaan tekanan di dalam ruang tersebut.10 Jenis ventilator tekanan negatif antaralain tank ventilator (Iron lung), shell ventilator (chest cuirras), wrap ventilator (pneumobelt) dan rocking bed. (gambar 1).9-11 Kondisi tertentu seperti penyakit neuromuskular, kelainan dinding dada, hipoventilasi sentral dan paralisis diafragma, penggunaan ventilasi tekanan negatif lebih banyak memberikan 10,12 manfaat. Manfaat lain ventilasi tekanan
171

Penggunaan ventilasi mekanik invasif memerlukan tindakan intubasi endotrakea atau trakeostomi pada keadaan gagal napas akut mengancam jiwa. Efektivitas ventilasi invasif lebih tinggi daripada ventilasi noninvasif namun dapat memberikan berbagai komplikasi berat berupa risiko trauma jalan napas, pneumonia nosokomial, VAP, memperpanjang masa perawatan di ruang intensif akibat kesulitan penyapihan (weaning). Penderita yang diintubasi mempunyai risiko sebesar 1% tiap hari untuk terjadinya VAP. Penelitian selama 3 minggu di Perancis pada 42 ruang rawat intensif mendapatkan kejadian pneumonia nosokomial sebesar 10% pada ventilasi noninvasif dan 19% pada intubasi endotrakea, angka kematian lebih rendah pada ventilasi noninvasif (22%) dibandingkan dengan intubasi endotrakea(40%).9 Teknik ventilasi noninvasif saat ini mulai digunakan secara luas pada keadaan gagal napas akut karena mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan ventilasi invasif seperti tidak memerlukan pemakaian obat
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

negatif biladibandingkan dengan ventilasi tekanan positif yang menggunakan sungkup muka (mask) adalah penderita masih dapat berbicara, batuk, menelan dan makan selama penggunaan ventilator. Jalan napas yang bebas pada ventilasi tekanan negatif memungkinkan untuk dilakukan penghisapan jalan napas dan tindakan diagnostik maupun terapi dengan menggunakan bronkoskop serat optik.9 Ventilasi tekanan positif Noninvasive positive pressure ventilation (NPPV) atau ventilasi tekanan positif merupakan ventilasi noninvasif yang lebih efektif dan nyaman dibandingkan dengan cara ventilasi noninvasif lainnya dan lebih banyak digunakan selama dekade 9 terakhir. Ventilasi tekanan positif menggunakan sungkup atau alat pengubung (interface) untuk menghantarkan udara dari ventilator tekanan positif melalui hidungatau mulut sehingga udara masuk jalan napas. Prinsip ventilasi tekanan positifadalah memberikan udara dengan tekanan positif atau diatas tekanan atmosfir secara

intermiten ke dalam jalan napas, meningkatkan tekanan transpulmoner sehingga terjadi pengembangan paru. Proses ekspirasi terjadi secara pasif karena daya rekoil paru dan bantuan otot bantu napas. Penggunaan ventilasi tekanan positif tergantung dari sistem ventilator yang digunakan dan dirancang secara efektif supaya penderita merasa nyaman saat memakai sungkup dan kebocoran udaradapat dikurangi.9,10 Ventilasi tekanan positif dapat digunakan pada keadaan gagal napas akut maupun kronik. Definisi gagal napas menurut British Thoracic Society (BTS) adalah terjadinya kegagalan proses pertukaran gas secara adekuat ditandai dengan tekanan gas darah arteri yang abnormal. Gagal napas tipe 1 (hipoksemik) bilaPaO2 < 8 kPa (60 mmHg) dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas tipe 2(hiperkapnik) terjadi bila PaO2 < 8 kPa (60 mmHg) dengan PaCO2 > 6 kPa (45mmHg). Gagal napas dapat akut, acute on chronic dan kronik. Pembagian keadaan ini penting untuk menentukan terapi terutama pada gagal napas tipe 2. 3,12

Gambar 1. Ventilasi tekanan negatif, iron lung (kiri), rocking bed (kanan) Dikutip dari (11)

172

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Gagal napas hiperkapnik akut terjadi bila penderita mempunyai gangguan napas minimal yang mengawali keadaan tersebut dengan analisis gas darah menunjukkan PaCO2 yang tinggi, pH rendah dan bikarbonat normal. Gagal napas hiperkapnik kronik apabila terdapat penyakit paru kronik, PaCO2 tinggi, pH normal dan bikarbonat meningkat. Gagal napas hiperkapnik acute on chronic apabila terjadi perburukan tiba-tiba pada seseorang yang sudah mengalami gagal napas hiperkapnik sebelumnya, ditandai dengan PaCO2 yang tinggi, pH rendah dan bikarbonat yang meningkat. Indikasi penggunaan ventilasi noninvasif tekanan positif dapat dilihat pada tabel 1 dan kontraindikasinya pada tabel 2.3
Tabel 1. Indikasi NPPV

napas akut.3 Keuntungan lain ventilasi noninvasif adalah mekanisme pertahanan jalan napas tetap utuh dan fungsi menelan tetap dapat dipertahankan.14 Perlu dipahami bahwa ventilasi noninvasif bukanlah sebagai terapi pengganti intubasi trakea atau ventilasi invasif apabila secara jelas terbukti bahwa ventilasi invasif merupakan pilihan terapi untuk penderita.3
Tabel 2. Kontra indikasi NPPV Kontra indikasi Trauma atau luka bakar pada wajah Pembedahan pada wajah, jalan napas atas, atau saluran cerna bagian atas Sumbatan jalan napas atas Tidak mampu melindungi jalan napas Hipoksemia yang mengancam jiwa Hemodinamik tidak stabil Penyakit penyerta yang berat Gangguan kesadaran Kejang/ gelisah Muntah Sumbatan usus besar Sekret jalan napas berlebihan Gambaran konsolidasi pada foto toraks Pneumotoraks yang belum diatasi Dikutip dari (3)

Indikasi PPOK eksaserbasi dengan asidosis respiratorik (pH<7,35) Gagal napas hiperkapnik sekunder akibat kelainan dinding dada (skoliosis,torakoplasti) atau Penyakit neuromuskular Edema paru kardiogenik yang tidak respons terhadap CPAP Proses weaning dari intubasi trakea Dikutip dari (3)

Alat penghubung (interface) NPPV Enam tipe sungkup atau alat penghubung NPPV yang dapat digunakan padagagal napas akut yaitu sungkup muka penuh (full face mask), total face mask,sungkup nasal, keping mulut (mouthpiece) bantalan hidung (nasal pillow) atau plugs dan helmet.14 Sungkup muka yang paling sering digunakan dan keuntungannya biladibandingkan dengan sungkup nasal adalah kemampuan untuk mencapai tekanan jalan napas lebih tinggi, respirasi melalui mulut, kebocoran udara lebih kecil dan memerlukan kerjasama penderita yang
173

Beberapa keadaan yang tidak memungkinkan untuk penggunaan ventilasi noninvasif antara lain gangguan kesadaran, hipoksemia berat, sekret jalan napas yang banyak dan keadaan lainnya seperti terlihat pada tabel 2.3,4 Keuntungan penggunaan ventilasi noninvasif antara lain mengurangi tindakan intubasi atau pemasangan endotracheal tube, waktu perawatan lebih singkat dan berkurangnya angka kematian pada penderita gagal
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

minimal. Kekurangannya adalah perasaan kurang nyaman, penderita tidak dapat berbicara, makan atau minum selamaventilasi dan terdapat kemungkinan aspirasi bila penderita muntah.14-16 Navalesi dkk melaporkan bahwa sungkup nasal lebih ditoleransi daripada sungkup muka dan bantalan nasal pada penderita hiperkapnik kronik stabil. Kwok dkk melaporkan penderita gagal napas akut akibat edema paru kardiogenik lebih dapat mentoleransi sungkup muka sementara Wilson dkk mendapatkan bahwasungkup nasal maupun sungkup muka sama efektifnya dalam proses ventilasi. 14,17 Bentuk sungkup nasal, sungkup muka dan bantalan nasal dapat dilihat pada gambar 2. Sungkup nasal (kiri) hanya

menutupi bagian hidung, nasal pillow (tengah) dansungkup muka (kanan) menutupi hidung dan mulut.10 Ventilator untuk pemberian NPPV Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NPPV) dapat digunakan dengan berbagai jenis ventilator yang tersedia. Pada keadaan kronik, ventilator volume maupun tekanan dapat digunakan. Ventilator tekanan lebih dianjurkan untuk keadaan akut karena dapat diatur besar aliran. Beberapa jenis ventilator yaitu volume ventilators, pressure ventilators, Bilevel positive airway pressure (BiPAP) atau Continous positive airway pressure (CPAP) seperti terlihat pada tabel 3.3,9-11,18

Gambar 2. Sungkup pada NPP Dikutip dari (10) Tipe Noninvasive positive pressure ventilation Volume mechanical ventilation Pressure mechanical

Bilevel positive airway pressure

Continous positive airway pressure

Volume tidal 250-500 ml ( 4-8ml/kg tekanan bervariasi) Ventilation Tekanan 8-20 cm H2O Tekanan akhir ekspirasi 0-6 cm H2O Volume bervariasi Tekanan inspirasi 6-14 cm H2O Tekanan akhir ekspirasi 3-5 cm H2O Volume bervariasi Tekanan konstan 5-12 cm H2O Volume bervariasi Tabel 3. Tipe NPPV Dikutip dari (10)

174

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

MODE VENTILASI NON INVASIF Ventilasi Mekanik Kontrol Mechanical Ventilation/ CMV) (Control

Assisted Spontaneous Breathing (Pernapasan spontan yang dibantu) Pernapasan spontan yang dibantu pada pasien dengan usaha napas dicetuskan saat ventilator on atau off. Bentuk ini biasanya meliputi setting tekanansering disebut pressure support. Jika pasien gagal untuk membuat usaha napas,tidak ada pernapasan kendali dari mesin yang terjadi.8 Continous (CPAP) positive airway pressure

Ventilasi mekanik tipe kontrol/ control mechanival ventilation (CMV), support ventilasi seluruhnya diberikan dan tidak ada usaha dari pasien. Tekanan inflasi,tidal volume, frekuensi dan waktu tiap bernapas diset atau ditentukan. Kontrol tekanan menghasilkan volume tidal tidak tergantung resistensi aliran, keterbatasan aliran udara compliance paru dan dinding dada. Kontrol volume, tidal volume diset dan hasil tekanan yang dibutuhkan untuk menghantarkan volume ini ditentukan oleh compliance sirkuit dan mekanik toraks.8,9 Assist / Control ventilation Bentuk ini terlihat sejumlah pernapasan yang dikendalikan permenit yang akan dihantarkan pada pasien tanpa usaha napas, sama seperti CMV, pernapasan yang diberikan ditentukan oleh setting volume atau tekanan dan lama ekspirasi atau inspirasi. Pasien dapat bernapas tanpa dihalangi mesin tetapi mesin memberikan pernapasan yang terkendali. Pencegahan inflasi yang berlebihan dilakukan melalui bernapas tambahan, ventilator diprogram untuk gagal menghantarkan melalui variable periode lock out/ kunci. Pada keadaan frekuensi napas yang meningkat, periode kunci harus diperpendek. Pernapasan pencetus dari pasien yang lebih lambat dari pernapasan berikutnya dari mesin sehingga disebut sinkronisasi antara pernapasan pasien sendiri dan dari mesin (SIMV).8,10
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Continous positive airway pressure digunakan pada pasien dengan gagal napas akut untuk mengoreksi hipoksemia. Hal ini yang mendasari pemberian oksigen inspirasi kandungan tinggi, meningkatkan rerata saluran napas dan akan memperbaiki ventilasi untuk mencegah daerah paru menjadi kolaps. Continous positive airway pressure akan menguras kerja otot inspirasi sehingga kerja inspirasi berkurang walaupun secara konvensional CPAP tidak dipertimbangkan sebagai support ventilasi dan indikasi utama adalah untuk mengoreksi hipoksemia. Aliran generator pada CPAP akan mempertahankan tekanan yang diinginkan melaui siklus pernapasan. Pada terapi Obstructive Sleep Apnea (OSA) generator dapat memberikan aliran rendah yang cukup sebagai ventilasi semenit dan aliran puncak inspirasi rendah. Keunggulan CPAP dapat meningkatkan kapasitas residu fungsional,membuka alveoli kolaps atau dengan ventilasi alveoli yang menurun, menurunkan pirau intrapulmoner
175

Jurnal Anestesiologi Indonesia

serta memperbaiki oksigenasi. Efek pada gangguan jantungadalah menurunkan tekanan transmural ventrikel kiri, menurunkan beban akhir dan meningkatkan curah jantung sehingga CPAP dapat digunakan pada penderitaedema paru akut. Pasien PPOK yang mengalami distress mengalami peningkatan ventilasi semenit, frekuensi tinggi dan waktu inspirasi pendek mungkin akan menyebabkan aliran puncak inspirasi lebih dari 60 l/m, aliran yang tinggi inidibutuhkan untuk mencegah penurunan tekanan yang digunakan. Beberapa modeCPAP dapat menghantarkan aliran adekuat. Generator CPAP tipe ini membutuhkan suplai oksigen tekanan tinggi. Masker CPAP biasanya mendapatkan tekanan udara melalui satu katup ekskalasi.8,9 Bi-level pressure support Pressure support dan CPAP sering digunakan sebagai kombinasi Bi-level Pressure Support (BiPAP). Ventilasi dihasilkan oleh tekanan inspirasi positif saluran napas/ inspiratory positive airway pressure (iPAP) sedangkan expiratory positive airway pressure (EPAP) menerima paru tidak terventilasi dan mengimbangi PEEP intrinsik, EPAP juga menyediakan gas yang mengalami ekshalasi keluar melalui lubang 3,4 pembuangan. Proportional Assist Ventilation (PAV) Proportional Assist Ventilation merupakan teknik alternative yang memberikan baikaliran udara maupun volume yang secara independen dapat disesuaikan. Hal
176

ini untuk memperbaiki kenyamanan pasien dan memperbaiki compliance.9,10 INDIKASI PENGGUNAAN VENTILASI NONINVASIF Penelitian terhadap penggunaan ventilasi noninvasif serta keberhasilannyatelah banyak dilakukan. Keadaan gagal napas akut seperti pada PPOK eksaserbasi, edema paru kardiogenik, keadaan immunocompromised direkomendasikan untukmenggunakan ventilasi non invasif sebagai pilihan terapi.3,1 Manfaat penggunaanventilasi noninvasif pada asma, pascareseksi paru, penderita yang menolak intubasi, ARDS dan pneumonia berat kurang terbukti dari penelitian. Penggunaan NPPV pada kondisi gagal napas kronik akibat penyakit neuromuskular, kelainan dinding dada, memperlihatkan perbaikan gejala, pertukaran gas dan kualiti hidup. Pada OSA biasanya terjadi hipoventilasi alveolar sehingga dapat digunakan intermitten positive airway pressure (iPAP), CPAP dan BiPAP. Pada penyakit neuromuscular gagal napas yang terjadi terlihat pada gerakan otot bantu napas sehingga terjadihiperkapnia. 9 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Ventilasi noninvasif menjadi pilihan terapi utama dalam penatalaksanaan PPOK eksaserbasi berdasarkan berbagai 3,4 penelitian. Berkurangnya tindakan intubasi, lama perawatan dan angka kematian dengan pemakaian ventilasi noninvasif pada penderita PPOK didapatkan dari penelitian meta 4,19-21 analisis.
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Keberhasilan ventilasi noninvasif pada PPOK eksaserbasi dapat diprediksi apabilaterdapat keadaan asidosis ringan, tidak ada penyakit penyerta, pemasangan sungkup adekuat, perbaikan pH dan berkurangnya frekuensi napas selamapemakaian ventilasi noninvasif.4 Penggunaan ventilasi noninvasif pada 236 penderita PPOK eksaserbasi di Inggris menurunkan tindakan intubasi dari 27% menjadi 15% dan menurunkan angka kematian dari 20% menjadi 10%.4 Plant dkk dikutip dari 18 mendapatkan penurunan tindakan intubasi, angka kematian serta perbaikan pH darah, frekuensi napas dan keluhan sesak napas pada penderita PPOK yang mendapat ventilasi noninvasif. Penelitian Todisco dkk pada penderita gagal napas kronik yang mengalami eksaserbasi, menggabungkan penggunaan iron lung (ventilasi tekanan negatif) dengan NPPV pada 152 penderita mendapatkan angka keberhasilan sebesar 81,6% mengurangi tindakan intubasi dan trakeostomi (13,8%) serta mempersingkat masa perawatan.22 Asma Ventilasi noninvasif tidak direkomendasikan untuk digunakan secara rutin pada penderita asma karena kurangnya penelitian tentang hal tersebut. Penelitian dalam jumlah besar masih diperlukan untuk mendukung penggunaan ventilasi noninvasif pada keadaan status asmatikus. Penderita asma yang mendapat terapi ventilasi noninvasif harus diawasi ketat dan apabila tidak didapatkan perbaikan dalam 1-2 jam pertama, maka segera dilakukan intubasi mengingat
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

perburukan yangcepat sangat mungkin terjadi.3,4,19 Edema paru kardiogenik Penggunaan ventilasi noninvasif pada keadaan ini didukung oleh banyak penelitian. Keuntungan yang didapatkan adalah peningkatan kapasitas residu fungsional, terbukanya alveoli yang kolaps, peningkatan compliance paru dan berkurangnya kerja otot pernapasan. Peningkatan tekanan intratoraks juga akan memperbaiki kerja jantung karena berkurangnya beban ventrikel sebelum dan sesudah kontraksi. Penelitian meta analisis menemukan bahwa terdapat penurunan tindakan intubasi dan angka kematian pada penderita dengan menggunakan ventilasi noninvasif.3,4,19,25 Gagal napas pada penderita immune compromised. Penderita yang mendapat transplantasi organ atau sumsum tulang yang menggunakan ventilasi noninvasif menunjukkan penurunan tindakan intubasi,angka kematian di ruang intensif dan berkurangnya lama perawatan.24,25 Hasil yang sama juga didapatkan pada penderita acquired immune deficiency syndrome (AIDS) diperkirakan karena ventilasi noninvasif mengurangi terjadinya risiko infeksi akibat tindakan intubasi termasuk VAP, infeksi nosokomial lainnya dan syok sepsis.19 Proses weaning di ruang rawat intensif Penggunaan ventilasi noninvasif direkomendasikan BTS untuk proses weaning pada penderita yang mendapat
177

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ventilasi invasif dan digunakan bila proses weaning dengan cara konvensional tidak berhasil.3,4 Lima puluh penderita PPOK yang diintubasi dan setelah 48 jam diterapi dengan ventilasi noninvasif menunjukkan perbaikan dalam proses weaning setelah 60 hari, berkurangnya lama pemakaianventilasi mekanis dan singkatnya perawatan di ruang intensif bila dibandingkandengan kontrol.18,19,24 Pengawasan Pengawasan secara ketat terutama pada periode awal pemakaian merupakan salah satu kunci keberhasilan pada ventilasi noninvasif. Hasil yang diharapkan pada ventilasi noninvasif antara lain didapatkan perbaikan keluhan sesak napas, pertukaran gas, berkurangnya usaha napas, memperkecil komplikasi,mempertahankan kenyamanan penderita dan menghindari intubasi.9 Faktor penderita, pemeriksaan fisis, parameter ventilator, analisis gas darah dan lokasi ventilator merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan seperti terlihat pada tabel4.19 Tabel 4. Pengawasan ventilasi noninvasif
Pengawasan Subjektif penderita

pasien-ventilator Pertukaran gas Oksimetri, analisis gas darah awal dan 1-2 jam berikutnya sesuai indikasi Ruang rawat intensif atau ruang rawat biasa

Lokasi

Dikutip dari (19)

DAFTAR PUSTAKA
1. Mehta S, Hill N. Noninvasive ventilation. Am J Respir Crit Care Med2001;163:540-77. 2. Hill N. Noninvasive mechanical ventilation. In: Bone R editor. Pulmonary andcritical care medicine. 5th ed. Chicago: Mosby-Year book, Inc;1997.p.1-21. 3. British Thoracic Society standars of care committee. Noninvasive ventilation inacute respiratory failure. Thorax 2003;57:192-211. 4. Elliot MW. Non-invasive ventilation for acute respiratory disease. British MedicalBulletin 2004;72:83-97. 5. Antonaglia V, Pascotto S, Piller F. Advanced Modalities in Negative-PressureVentilation. In: Lucangelo U editor. Respiratory system and artificial ventilation.New York: Springer; 2008.p.221-35. 6. Tobin MJ. Critical care medicine in AJRCCM 2003. Am J Respir Crit Care Med2004; 169:23953. 7. Santos FB, Nagato LKS, Zin WA. Control of brething. In: Lucangelo U editor.Respiratory system and artificial ventilation. New York: Springer;2008.p.3-20. 8. Levitzky MG. Mechanics of breathing. In: Pulmonary physiology. 6th ed. NewYork: McGraw-Hill;2003.p.11-25. 9. Corrado A, Gorini M. Negative pressure ventilation. In: Tobin MJ editor.Principles and practice of mechanical ventilation. 2nd ed. New York: McGraw- Hill;2006.p.421-19. 10. Hillberg RE, Johnson DC. Noninvasive ventilation. N Engl J Med 2007;337:1746-52. 11. Hill N, Kramer N. Type of noninvasive nocturnal ventilatory support inneuromuscular and chest wall disease. [cited 2008 March 8 ]. Available from:http://cmbi.bmju.edu.cn/uptodate/pictures/p ulm_pix/rocking_.gif. 12. Fauroux B, Lofaso F. Non-invasive mechanical ventilation: when to start for whatbenefit? Thorax 2005;60:979-80. 13. Butler V. Noninvasive ventilation in audit accross the North Central LondonCritical Care

Kenyamanan terhadap sungkup, toleransi terhadap seting ventilator, distress pernapasan Frekuensi pernapasan, tanda vital,penggunaan otot bantu pernapasan

Pemeriksaan Fisik

Ventilator Kebocoran udara, bantuan tekanan yang adekuat, PEEP yang adekuat, volume tidal (5-7ml/kg), sinkronisasi

178

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Network. Intensive and Critical Care Nursing 2005;21:243-56. 14. Nava S, Ceriana P. Patient-ventilator interaction during noninvasive positivepressure ventilation. Respir Care Clin 2005;11:281-93. 15. Roy B, Cordova FC, Travaline M. Full face mask for noninvasive positivepressureventilayion in patients with acute respiratory failure. J Am OsteopathAssoc 2007; 107:148-56. 16. Costa R, Navalesi P, Antonelli M. Physiologic evaluation of different levels ofassistance during nononvasive ventilation delivered through helmet. Chest2005;128:2984-90. 17. Willson GN, Piper AJ, Norman M. Nasal versus full face mask for noninvasiveventilation in chronic respiratory failure. Eur Respir J 2004;23:605-9. 18. Liesching T, Kwok H, Hill NS. Acute application of noninvasive positive pressureventilation. Chest 2003;124:699-713. 19. Hill NS, Brennan J, Garpestad E, Nava S. Noninvasive ventilation in acuterespiratory failure. Crit Care Med 2007;35:2402-7. 20. Lightowler J, Wedicha JA, Elliot MW. Noninvasive positive pressure ventilation totreat

respiratory failure resulting from exacerbation of COPD. BMJ2003;326:185-7. 21. Crummy F, Buchan C, Miller B. The use of noninvasive mechanical ventilation inCOPD with severe hypercapnic acidosis. Respiratory Med 2007;101:53-61. 22. Todisco M, Baglioni S, Aslami A. Treatment of acute exacerbation of chronicrespiratory failure, integrated use of negative pressure ventilation andnoninvasive positive pressure ventilation. Chest 2004:125;2217-23. 23. Penuelas O, Vivar FF, Esteban A. Noninvasive positive pressure ventilation inacute respiratory failure. CMAJ 2007;177:1211-8. 24. Antonelli M, Conti G, Bufi M, et al: Noninvasive ventilation for treatment of acuterespiratory failure in patients undergoing solid organ transplantation: Arandomized trial. JAMA 2000;283:235-41. 25. Hilbert G, Gruson D, Vargas F, et al: Noninvasive ventilation in immunosuppressed patients with pulmonary infiltrates and acute respiratoryfailure. N Engl J Med 2001; 344:4817

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

179

Jurnal Anestesiologi Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care


Aprilina Rusmaladewi*, Ery Leksana*, Widya Istanto Nurcahyo*
*Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Undip/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRACT Anesthesia plays an important role on the development of the Pediatric Intensive care because anestesiologist knowledge and skills in managing the airway and breathing, circulation and vascular access monitoring. Pediatric Anesthesia is also a leader in the management of childhood respiratory and intensive care. Anesthesia knowledge and skills in acute and emergency in the operating room and the skills to provide basic life support to make a lot of anesthetic to be a leader in the PICU. ABSTRAK Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga menjadi leader pada pengelolaan pernafasan pada anak dan intensive care. Ilmu pengetahuan anestesi dan keterampilan pada keadaan akut dan emergensi di dalam ruang operasi dan keterampilan dalam memberikan bantuan hidup dasar menjadikan anestesi menjadi leader di banyak PICU.

PENDAHULUAN Perioperatif care yang optimal pada bayi dan anak anak membutuhkan tenaga dan peralatan medis yang optimal. Pediatric Intensive Care menawarkan keadaan yang vital yang merupakan komponen penting untuk pemeliharaan kesehatan bayi dan anak anak. Pediatric Intensive Care adalah bagian dari ilmu yang mempunyai fokus pada clinical care, ilmu dan penelitian serta penanganan kesehatan bagi bayi, anak dan dewasa muda yang mempunyai

penyakit yang berpotensial mengancam nyawa. Tujuan dari Inten sive care ini adalah memperbaiki keadaan umumanak yang memiliki penyakit yang mengancam nyawa dengan rasa nyeri yang minimal, kecemasan dan komplikasi serta menawarkan rasa nyaman pada pasien dan keluarga.1 Pertama kalinya Pediatric Intensive Care (PICU) didirikan di sebuah rumah sakit untuk anak pada tahun 1955 di Eropa dan pada tahun 1967 di Amerika Utara. Di kebanyakan PICU tenaga medis dan perawat memberikan pelayanan yang full time, dimana tenaga medis sering disebut sebagai Pediatric Intensivists dan
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

180

Jurnal Anestesiologi Indonesia

subspesialisasinya disebut sebagai 1 Pediatric Critical Care Medicine. ANESTESI PEDIATRI Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care semenjak epidemik penyakit polio sekitar tahun 1950 sampai 1980 karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular. Pediatric Anestesi juga menjadi leader pada pengelolaan pernafasan pada anak dan intensive care. Ilmu pengetahuan anestesi dan keterampilan pada keadaan akut dan emergensi di dalam ruang operasi dan keterampilan dalam memberikan bantuan hidup dasar menjadikan anestesi menjadi leader di banyak PICU. 2 PERBEDAAN FUNDAMENTAL ANTARA ANAK-ANAK dan DEWASA Selama perkembangan anak anak menjadi dewasa terdapat beberapa prinsip yang mendasar yang harus diketahui tenaga medis sebagai clinician sehingga dapat menjadi pedoman dalam membedakan anak yang normal dengan anak yang sedang sakit. 3 Anatomi dan Fisiologi Sistem Respirasi Karena besarnya produksi CO2 pada anak maka peningkatan volume semenit dibutuhkan untuk mendapatkan keadaa normocarbia, sehingga akan terjadi peningkatan frekuensi nafas dengan tidal volume yang konstan atau peningkatan tidal volume dengan frekuensi nafas yang konstant. Sistem pernafasan pada anak juga mempunyai kompliance paru yang
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

rendah karena kurangnya sistem konduksi dan jumlah total alveoli yang masih rendah sehingga FRC juga masih rendah. pada anak anak jika mereka memilih sistem pernafasan dengan tidal volume yang besar mereka membutuhkan stabilisasi otot otot intercostal sehingga membutuhkan energi yang besar sehingga pada bayi dan anak anak mereka memilih sistem pernafasan dengan frekuensi nafas yang tinggi dibandingkan dengan tidal volume yang meningkat karena mengurangi jumlah energi yang akan dikeluarkan.3 Anatomi dan Cardiovaskular Fisiologi Sistem

Neonatal mempunyai cardiac output 2 3 kali lebih besar daripada dewasa atau sekitar 180 240 ml/kgBb/menit. Konsumsi Oksigen dapat digunakan untuk memperkirakan Cardiac Output menggunakan Fick Principle : Q (dl/minute) = Vo2 (mL/menit) (a-v) Do2 (mL/dL) Dimana : (a-v) Do2 adalah konstan (5mL/dL), dan oksigen uptake proportional dengan dengan cardiac output ( 3xkg3/4 untuk anak anak) 3 Massa Otot jantung pada bayi baru lahir dan anak anak lebih kecil dibanding dewasa, dimana fungsi ventrikel belum sempurna. Baroreseptor , seperti fungsi miokard berkembang setelah lahir. Sensitifitas dari baroreseptor carotid seperti peningkatan tekanan arteri mulai berkembang saat trimester 3 kehamilan dan satu bulan setelah kelahiran. Setelah lahir sensitifitas baroreseptor meningkat

181

Jurnal Anestesiologi Indonesia

sampai usia 6 minggu dimana perubahan terbesar terjadi pada usia 2 minggu. 3 Anatomi dan fisiologi fungsi renal Kebutuhan cairan pada bayi dan anak anak lebih besar dibanding dewasa karena pada bayi dan anak anak terjadi peningkatan kebutuhan kalori, produksi panas, volume dan luas permukaan tubuh dibandingkan massa tubuhnya. Berkembangnya fungsi renal terjadi mulai usia beberapa minggu sampai 1 bulan kehidupan sementara Glomerular filtration rate (GFR) meningkat segera setelah lahir.3 Sistem Gastrointestinal Perkembangannya dan

abdominal. Glukoneogenesis dan sintesis protein mulai berkembang pada usia kehamilan 3 bulan, namun simpanan glikogen lebih sedikit dibanding dengan dewasa sehingga anak lebih rentan terhadap hipoglikemia terutama anak dengan gizi yang kurang atau dengan gangguan metabolisme karbohidrat.3 Susunan Syaraf Pusat Otak merupakan organ utama yang berperan dalam perkembangan sistem syaraf pusat. Selama usia bayi dan anak anak otak terus berkembang. Pada hewan uji yaitu tikus, perkembangan otak secara cepat terjadi pada usia 0-6, 8-12 dan 17 23 hari setelah lahir sedangkan perkembangan secara lambat terjadi pada usia 6-8, 12-17, dan setelah usia 23 hari. hal ini hampir sama dengan perkembangan pada manusia dimana perkembangan mencapai puncaknya pada usia 11 15 tahun.3 Disfungsi akut miokard yang berat merupakan faktor utama yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada anak yang membutuhkan perawatan yang intensif. Berbeda dengan dewasa, henti jantung pada anak anak jarang terjadi dan biasanya tidak hanya berasal dari jantung sebagai penyebab utamanya namun juga dapat berasal dari gagal nafas atau syok.4 FISIOLOGI KARDIOVASKULAR Struktur Dasar Jantung dan Fungsi Jantung manusia berfungsi untuk memompa darah ke paru dan sirkulasi sistemik. Jantung terdiri dari dua atrium yang menerima darah balik dan dua
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Terdapat perbedaan antara anak dan dewasa baik secara anatomi maupun fungsinya terutama pada esofagus. Bagian distal esofagus pada bayi tidak berfungsi untuk peristaltik seperti dewasa. Sekitar 40% dari bayi baru lahir mudah mengalami regurgitasi sampai usia beberapa bulan. Esofagus juga berukuran lebih pendek dan dapet menjadi inkompeten selama terjadi distensi lambung sering terjadi saat bayi menangis maupun saat induksi anestesi menggunakan masker. Perkembangan yang abnormal dari traktus gastrointestinal seperti atresia esofagus dengan fistula tracheoesofagus, atresia atau stenosis intestinal, duplikasi atau diverticulitis, atau defek abdominal seperti gastroschisis atau omfalocel dan malrotasi dapat mempengaruhi fungsi normal lambung dan fungsi esofagus. Hepar berkembang dengan cepat dan menempati tempat terbesar di rongga
182

Jurnal Anestesiologi Indonesia

ventrikel yang memompa darah dan katub yang berfungsi untuk mencegah aliran darah balik dan sistem konduksi yang menyalurkan impuls listrik yang menjalankan kerja jantung. Impuls listrik ini disebarkan dan dirubah menjadi aktivitas mekanis melalui interaksi biochemical yang mencakup beberapa ion seperti Na+, Ca++ dan K-. 3,5 Elektrofisiologi Ritme jantung dan kontraksi yang teratur diatur oleh impuls elektrik. Setiap potensial aksi ini dimulai dari nodus SA yang merupakan kumpulan sel miocard yang ada atrium kanan. Sel sel tersebut secara aktif memberikan impuls listrik (depolarisasi). Impuls tersebut kemudian disebarkan ke seluruh atrium melalui sel ke sel sampai depolarisasi mencapai nodus AV yang berada di atrium kanan. Karena atrium dan ventrikel terpisah oleh jaringan fibrous pada katub trikuspid dan katub mitral maka impuls hanya disalurkan melalui nodus AV dan dilanjutkan oleh bundel HIS dan serabut Purkinje pada ventrikel. 5

Potensial Aksi dan Istirahat Pada saat istirahat sel myosit jantung mempunyai tekanan listrik yang negatif dibanding dengan extraseluler. Hal ini dihasilkan oleh aktivitas ion chanel dan transportasi melalui membran sel dan kemampuan dari myosit untuk 5 menyalurkan impuls listrik. Otonomik Jantung Otonomik jantung adalah kemampuan intrinsik cardiomiosit untuk berdepolarisasi secara spontan dan menghantarkan potensial aksi yang meliputi pacemaker, nodus SA dan nodus AV. Sel HIS dan serabut Purkinje serata ventrikular myocard juga secara spontan berdepolarisasi. Jika terdapat gangguan fungsi jantung maka sistem otonomik tersebut dapat mengalami penurunan konduksi yang menghasilkan keterlambatan konduksi dan depolarisasi. 5 FUNGSI JANTUNG Fungsi dari sistem kardiovaskular adalah untuk memberikan oksigen dan substansi metabolik untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Fungsi kardiovaskular dapat dinilai seperti fungsi kontraktilitas, fungsi pompa jantung, dan delivery oksigen. Penilaian fungsi jantung mungkin dapat tanpa disertai informasi yang memadai tentang penyakit yang dihadapi. Sebagai contoh pengukuran cardiac output biasanya tanpa disertai dengan informasi mengenai kontraktilitas jantung. Pasien dengan cardiomiopati yang berat mempunyai cardiac output yang terbatas tanpa gejala-gejala syok cardiogenik seperti asidosis atau oligouria namun mempunyai gangguan kontraktilitas dan
183

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

fungsi pompa jantung yang berat, sedangkan pasien dengan syok septik dapat mengalami peningkatan cardiac output namun output yang dihasilkan masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme yang menunjukkan adanya fungsi 1 cardiovaskular yang kurang adekuat. Cardiac output merupakan interaksi antara ventrikel kiri dan kanan serta sirkulasi arteri dan vena. Pasien dewasa biasanya mempunyai disfungsi ventrikel kiri yang disebabkan karena iskemik sedangkan anak anak biasanya mengalami disfungsi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmoner atau penyakit jantung bawaan. 1,6 Hal Hal yang Mempengaruhi Fungsi Jantung Fungsi pompa jantung ditentukan oleh banyak faktor seperti preload, afterload, kontraktilitas, pengisian diastolik dan heart rate. Cardiac output merupakan produk dari stroke volume dan heart rate. Meskipun fungsi pompa jantung sangat menentukan cardiac ouput namun interaksi dari sistem syaraf juga sangat menentukan.
5,6

Preload menggambarkan status intravaskular pasien, dimana status volume secara klinis dilakukan dengan mengukur Central Venous Pressure (CVP) dimana hasilnya ekuivalent dengan tekanan enddiastolik ventrikel kanan. Dengan menganggap ventrikel compliane normal (hubungan tekanan-volume) dan tidak terdapatnya srenosis trikuspid (mitral) maka CVP dapat digunakan untuk mengukur preload. Namun pada keadaan tertentu CVP tidak dapat digunakan untuk menggambarkan preload, seperti pada keadaan dimana compliance ventrikel buruk akibat disfungsi diastolik atau pericarditis konstriktif maka CVP kemungkinan didapatkan hasil CVP yang rendah. 5,7 Afterload Afterload menggambarkan tekanan dinding ventrikel selama kontraksi. Secara klinis afterload dianggap sebagai Systemic Vascular Resistance (SVR) yang ditentukan oleh resistensi arteriolar. Sesuai dengan hukum LaPlace, tekanan dinding berhubungan dengan tekanan ventrikel dan diameter ventrikel. Pada otot lurik, afterload adalah beban yang masih dapat ditahan setelah adanya stimulasi. Sebuah otot lurik yang terstimulasi akan berkontraksi secara isometrik sama berkembang kekuatan untuk mengatasi pemendekan massa. Jika sebuah otot siap siap berkontraksi, tekanan yang berkembang sebelum pemendekan merupakan afterload. Jika preload dipertahankan konstan, maka peningkatan afterload akan mengurangi heart rate dan memperbanyak pemendekan otot. 5,7

Preload Preload merupakan keadaan awal dari otot sebelum kontraksi dimulai. Preload lebih akurat dalam menggambarkan hubungan antara tekanan dengan perubahan volume pada jantung. Hukum Frank Starling menegaskan bahwa preload meningkat maka stroke volume dan kapabilitas tekanan juga meningkat.

184

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Kontraktilitas Kontraktilitas merupakan kemampuan intrinsik dari otot jantung untuk menghasilkan tenaga dimana kontraktilitas ini bersifat independent terhadap preload dan afterload. Kontraktilitas jantung berdasar pada panjang serat otot dan kemampuan serat otot untuk berkontraksi. Kontraktilitas seperti afterload merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan konsumsi oksigen jantung. Faktor yang mepengaruhi kontraktilitas adalah latihan, stimulasi adrenergik, agen agen vasoaktif (katekolamin, inhibitor phosphodiesterase) dan dapat menurun pada kondisi yang mendepresi inotropik seperti disfungsi sistolik. Pada cardiac output yang rendah (cardiomyopati) dapat diberikan obat obatan untuk memperbaiki keadaan jantung seperti dobutamin, epinefrin dosis rendah, milrinon atau digoksin untuk mengurangi kontraktilitas. 5,7 Variabel Hemodinamik Anak Anak Menurut Usia 11

Abnormal fungsi diastolik merupakan disfungsi jantung yang paling sering terjadi di ICU. Pasien pasien yang mengalami sakit kritis dapat mengalami penurunan cardiac output yang disebabkan karena adanya disfungsi diastolik seperti pada pasien postoperasi Tetralogy of Fallot. Diastolik memiliki 4 fase yaitu : Fase relaksasi isovolemik merupakan suatu proses dimana tekanan intraventrikular turun dengan cepat tanpa terjadinya peningkatan volume ventrikel. Fase pengisian cepat Sebagian ventrikel kiri terisi dengan cepat pada jantung normal setelah katub atrioventrikular terbuka. Diastasis atau pengisian lambat Diastasis adalah periode antara pengisian cepat dan sistolik atrium dimana biasanya terjadi sedikit pengisian pada ventrikel. Sistolik atrium atau pengisian fase lambat Sistolik atrium atau pengisian fase lambat memberikan 15% pada pengisian ventrikel pada akhir diastolik. Sistolik atrium memberikan kontribusi yang besar saat pengisian ventrikel pada disfungsi sistolik / disfungsi diastolik maupun kombinasi keduanya. 1

KEGAWATAN JANTUNG ANAKANAK PENANGANANNYA Fungsi dan Disfungsi Diastolik


Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

PADA DAN

Heart Rate dan Sinkronisasi Jantung Denyut jantung merupakan faktor penting pada cardiac output terutama pada neonatus dimana mekanisme untuk meningkatkan cardiac output terbatas.
185

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Ketika stroke volume bertahan konstan maka cardiac output sangat bergantung dari heart rate, dimana peningkatan heart rate akan meningkatan kekuatan kontraksi ventrikel.

Patofisiologi Gangguan Fungsi Jantung Kronis Gagal jantung merupakan suatu sindrom disfungsi jantung yang mengakibatkan kongesti sirkulasi dan respon neuroendokrin. Gagal jantung dapat menyebabkan terjadinya disfungsi miokard primer, overload cairan atau overload tekanan pada jantung. Permasalahan utama adalah ketidakmampuan miokard untuk menghasilkan tenaga untuk melawan beban yang diberikan. Peningkatan cairan intravaskular disebabkan karena adanya aktivasi dari sistem Renin Angiotensin Aldosteron (RAA). 1 Aktivasi dari sistem neurohormonal maladaptif menyebabkan terjadinya trauma miokard. Remodelling secara kronis menyebabkan hipertrofi cardiomiocyt, hiperplasi fibroblast yang dapat mepengaruhi kontraktilitas dan mengakibatkan gagal jantung kronis.

Gagal jantung pada anak anak berbeda dengan dewasa pada etiologi dan patofisiologinya dimana perbedaan utama berdasar pada perbedaan antara miokard yang immatur dan matur. Pada jantung yang immatur dibanding dengan dewasa mengandung banyak collagen yang membutuhkan tekanan yang tinggi untuk menghasilkan cardiac output yang adekuat. Jantung immatur juga berbeda dengan dewasa pada komposisi aktin myosin dan juga troponin. Jantung immatur juga menggunakan glukosa lebih banyak daripada asam lemak untuk menghasilkan ATP. Gagal jantung kronis pada anak anak biasanya disebabkan karena cardiomyopati (postinfeksi, genetik, metabolik atau tidak diketahui penyebabnya) atau penyakit jantung bawaan. Sebanyak 20% anak anak lahir dengan penyakit jantung bawaan yang dapat berkembang menjadi gagal jantung kronis jika tidak menjalani operasi. Defek yang terjadi dapat berupa peningkatan tekanan (stenosis valvular, coarctasi aorta) atau peningkatan volume yang berlanjut menjadi shunts (defek septum ventrikular maupun atrium). Gagal jantung juga berhubungan dengan ritme jantung yang tidak normal (takikardi supraventrikular, atrial flutter atau takikardi ventrikular) atau sekunder terhadap defek genetik seperti Marfan sindrom. Pasien pasien tersebut dapat memperlihatkan variasi derajat dekompensasi jantung. Aktivasi Neurohormonal Aktivasi neurohormonal adalah respon kompleks dari tubuh untuk meningkatkan cardiac output dengan cara meningkatkan heart rate, kontraktilitas, preload dan

186

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

elemen myocard. Respon tersebut meliputi RAA, sistem syaraf simpatis, endotel, vasopresin dan sitokin. 1 Faktor-Faktor Berubah pada Kongestif Neurohormonal yang pasien Gagal Jantung

Tanda Klinis Kongestif

pada

Gagal

Jantung

Aktivasi Sistem RAA. Penurunan Cardiac Output memicu aktivasi renin dan angiotensin II

Sistem Renin Angiotensin Aldosteron Pada gagal jantung, ginjal memberikan respon dengan menurunkan delivery oksigen dengan cara meningkatkan sekresi renin, angiotensin II dan katekolamin yang secara efektif meningkatkan reabsorbsi natrium dan air oleh tubulus proksimal renal. Peningkatan renin dan angiotensin II akan mengstimulasi pengeluaran aldosteron dari glandula adrenal yang menghasilkan reabsorbsi sodium dan air oelh tubulus distal dimana peningkatan volume darah dapat meningkatkan stroke volume. 1

Aktivasi Adrenergik Disfungsi myocard memicu pengeluaran katekolamin. Kadar plasma norepinefrin merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan kematian pada CHF dewasa.
187

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Norepinefrin yang berlebihan bersifat toksis bagi cardiomyocit. Aktivasi simpatik pada jantung mengubah kontraktilitas dan metabolisme protein serta dapat menyebabkan hipertrofi. Resusitasi Jantung Paru Sekitar 450.000 masyarakat Amrerika Utara meninggal akibat serangan jantung setiap tahunnya sedangkan insiden arrest jantung pada anak anak adalah sekitar 16.000 setiap tahunnya dan hanya 30% yang menerima resusitasi jantung paru (RJP). American Heart Association (AHA) melakukan revisi pada bantuan hidup dasar dalam bantuan hidup lanjutan pada untuk memperbaiki keadaan umum stelah henti jantung. 8 Epidemiologi Henti Jantung pada Anak Henti jantung pada anak anak biasanya disebabkan karena asfiksi yang merupakan sekunder dari gagal nafas daripada kejadian aritmia. Sekitar 2 4% pasien yang berada di PICU mengalami cardiac arrest. Hasil dari RJP sangat bervariasi tergantung dari lokasi terjadinya arrest, ritme EKG, durasi arrest, kualitas resusitasi dan kondisi medis awal pasien. 4 Fase Henti Jantung dan Resusitasi Cardiopulmoner Minimal ada 4 fase henti jantung yaitu Prearrest No flow (henti jantung yang tidak ditangani Low flow (CPR) Postresusitasi 1

Ketika aliran oksigen ke otak dan jantung tidak adekuat maka harus segera dilakukan RJP. Tujuan dari RJP adalah untuk mengoptimalkan tekan perfusi arteri koroner dan aliran darah ke organ organ penting selama fase low flow. Bantuan hidup dasar dengan kompresi jantung yang berkelanjutan (tekan kuat, tekan cepat, minimal interupsi, tidak telalu banyak ventilasi) sangat penting pada fase ini. Fase Henti Jantung dan Resusitasi
Fase Fase (proteksi) Intervensi Mengoptimalkan monitoring pasien Intervensi untuk menghindari gagal nafas yang berlanjut menjadi fase syok dan henti jantung Meminimalkan interval waktu antara BLS dengan ACLS (respon yang terorganisir) Memelihara jantung dan otak fungsi

Prearrest

Arrest (no flow) / fase pemeliharaan

Low flow Resusitasi)

(Fase

Meminimalkan interval waktu defibrilasi jika dibutuhkan. Tekan keras, tekan cepat, minimalkan gangguan dalam kompresi Titrasi CPR mengoptimalkan darah miokard untuk aliran

Pertimbangkan peralatan tambahan untuk meningkatkan perfusi organ vital selama RJP Seimbangkan delivery oksigen dengan kebutuhan oksigen Pertimbangkan ekstracorporeal RJP jika RJP / ALS dasar tidak berhasil

188

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Fase Postresusitasi

Mengoptimalkan cardiac output dan perfusi otak Perbaiki aritmia dibutuhkan jika

mencapai pertukaran gas yang adekuat dari sirkulasi darah ke paru paru. Sirkulasi Sirkulasi darah selama RJP dibedakan menjadi 2 mekanisme yaitu pompa jantung yaitu kompresi langsung pada jantung antara sternum dan tulang belakang pompa thorakal yaitu peningkatan tekanan intrathorakal membuat perbedaan tekanan sehingga sirkulasi darah mengalir dari paru melewati jantung menuju sirkulasi perifer. Pada mekanisme pompa jantung, kompresi pada ventrikel menyebabkan katub atrioventrikular menutup sehingga darah mengalir menuju aorta; sedangkan selama fase relaksasi tekanan pada ventrikel turun dan katub atriventrikel membuka. Mekanisme pompa jantung ini dominan pada anak kecil karena dinding dada lebih lentur. Pada anak-anak mulai infant sampai adolescence posisi jantung berada di daerah posterior sepertiga bawah dari sternum sehingga kedalaman pijat jantung yang efektif adalah minimal sampai 1/3 diameter antero lateral atau 11/2 inchi (4cm) pada infants dan sekitar 2 inchi (5cm) pada anak. 1,4

Postresusitasi rehabilitasi regenerasi)

(fase /

Hindari hiperglikemia, hipertermia dan hiperventilasi Intervensi yang cepat dengan terapi fisik Transplantasi sel stem jika memungkinkan kedepannya

(Slonim) Postresusitasi merupakan periode yang mengandung resiko tinggi terjadinya trauma otak yang berkelanjutan, aritmia ventrikel ada trauma reperfusi yang lain. Sel yang mengalami trauma dapat rusak maupun dapat berfungsi kembali. Intervensi seperti hipotermi sistemik selama fase postresusitasi berguna untuk meminalkan trauma reperfusi dan pengembalian fungsi sel. Hipertermi juga harus dihindari pada selama resusitasi, sedangkan hipotermi (32 340 C) selama 12 24 jam setelah resusitasi lebih bermanfaat. 8 Intervensi selama Fase Low Flow : Resusitasi Jantung Paru Jalan nafas dan Pernafasan Faktor utama yang sering menyebabkan henti jantung pada anak adalah gangguan pernafasan dimana membutuhkan ventilasi dan oksigenasi yang cukup. Ventilasi yang efektif membutuhkan ETT. Selama CPR, cardiac output dan aliran darah paru kurang lebih 10-25% dibanding pada ritme sinus normal dimana keadaan sedikit ventilasi selama RJP penting dalam

Variabel=Variabel yang Mempengaruhi Efektivitas Kompresi Dada Perbandingan Kompresi dan Ventilasi Perbandingan yang ideal antara kompresi dengan ventilasi pada anak anak tidak diketahui dengan pasti. Jumlah ventilasi harus sesuai, namun tidak boleh berlebihan karena dapat menyebabkan peningkatan
189

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

tekanan intrathorakal yang pada akhirnya dapat mengurangi perfusi koroner. Resusitasi pijat jantung pada infant dan anak anak diawali dengan 30x kompresi bagi penolong tunggal dan 15 kompresi bagi 2 penolong dengan berikan bantuan pernafasan kurang lebih selama 1 detik. 4,8 Siklus Kerja Siklus kerja merupakan rasio waktu dari fase kompresi dengan akhir relaksasi. Pada pasien henti jantung dewasa, cardiac output dan aliran darah koroner akan optimal jika kompresi dada sekitar 30% dari total siklus waktu; sedangkan pada saat RJP maka optimal siklus kerja akan meningkat menjadi 50%.1 Monitoring Efektivitas dari Resusitasi Jantung Paru Tekanan perfusi miokardial (Myocardial perfusin pressure / MPP) yang adekuat sangat penting bagi keberhasilan dalam CPR. Tanpa arterial line akan sulit dilakukan monitoring relaksasi aorta dan tekanan diastolik. Pada henti jantung dewasa, jika end tidal CO2 > 10 mmHg berhubungan dengan keberhasilan RJP, namun pada pediatric, end tidal CO2 tinggi pada awal resusitasi dan turun selama resusitasi. Peralatan mekanis untuk memperbaiki Hemodinamik selama Resusitasi Kardiopulmoner

Tujuan dari peralatan mekanis selama resusitasi adalah untuk meningkatkan cardiac output dengan cara meningkatan kerja dari pompa jantung, thorakal dan abdominal atau untuk memberikan sirkulasi buatan untuk jaringan vital. Peralatan peralatan tersebut mencakup pneumatik vest and band, kompresi dan dekompresi yang aktif, teknik kompresi interposed abdomen serta katub inspirasi impedance untuk meningkatkan venous return dan cardiac output. Ekstracorporeal Membran Oksigenasi pada Resusitasi Cardiopulmoner Penggunaan Venoarterial Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO) adalah untuk menciptakan sirkulasi dan memberikan reperfusi terkontrol yang mengikuti henti jantung terutama pasien dengan potensial disfungsi miokard akut post operasi atau aritmia. Pada suatu study, 11 anak yang mengalami henti jantung di PICU setelah operasi jantung menerima ECMO setelah dilakukan RJP selama 20 110 menit, dimana 6 dari 11 pasien tersebut dapat bertahan hidup tanpa sekuel neurologis. CPR dan ECMO bukan merupakan perawatan kuratif namun merupakan resusitasi kardiopulmoner yang membantu perfusi dan viabilitas jaringan yang memgalami proses penyakit mengalami recovery kembali. Keuntungan dari ECMO termasuk untuk mengontrol parameter fisilogis seperti heart rate, oksigenasi, ventilasi dan temperatur tubuh melalui sirkuit ECMO. 1,4

190

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Algoritma penatalakasanaan Henti Jantung pada Anak.4

Obat Obatan yang Digunakan selama Henti Jantung Vasopressor Pengunaan epinefrin yang merupakan alpha adrenergik yang mempengaruhi tonus vaskular sangat dibutuhkan selam RJP. Aksi dari obat ini meningkatkan systemic vascular resistence (SVR), meningkatkan tekanan darah diastolik
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

yang akan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Epinefrin juga meningkatkan aliran darah otak selama RJP karena vasokontriksi perifer menyebabkan aliran darah ke otak meningkat. Pada miokard, epinefrin meningkatkan kontraktilitas, meningkatkan heart rate dan relaksasi otot polos. Epinefrin dosis tinggi (0.05 0.2 mg / kgBB) memperbaiki miocard dan aliran
191

Jurnal Anestesiologi Indonesia

darah otak selama RJP dibandingkan dengan dosis standar (0.01 0.02 mg/kgBB), namun pemberian epinefrin dosis tinggi ini dapat memperburuk kondisi pasien postresusitasi dengan meningkatkan kebutuhan oksigen miocard, hipertensi dan nekrosis miocard. 1 Calcium Pemberian calcium selama RJP diindikasikan untuk beberapa kondisi tertentu seperti hipocalcemia, hiperkalemia, hipermagnesia dan overdosis calcium channel blocker. Buffer darah Keadaan henti jantung merupakan hasil dari asidosis laktat yang diakibatkan oleh sirkulasi yang adekuat dan oksigenasi yang buruk. Asidosis mendepresi fungsi miocard dan respon terhadap katekolamin, mengurangi SVR dan menghambat defibrillasi. Pemberiaan sodium bikarbonat juga diindikasikan bagi pasien dengan overdosis trisiklik antidepresan, hiperkalemia, hipermagnesia atau overdosis sodium channel blocker. Buffer bikarbonat terjadi ketika kation hidrogen dan anion bikarbonat membentuk karbondioksidan dan air. Ketika karbondioksida tidak seluruhnya dapat dibersihkan melalui ventilasi maka keadaan ini akan diimbangi dengan efek buffer bikarbonat. Efek samping penggunaan sodium bikarbonat adalah hipernatremia hiperosmolaritas dan alkalosis metabolik. Alkalosis yang berat menurunkan konsentrasi calcium dan potasium kurva disosiasi oksihemoglobin ke arah kiri. 9

Gangguan Ritme Jantung Gangguan ritme jantung merupakan masalah pada jantung yang sering dihadapi yang merupakan penyakit primer atau akibat komplikasi pengobatan. Disritmia Secara umum aritmia dibedakan berdasar rate, pemeriksaan EKG dan mekanisme elektrofisiologi. Berdasar EKG, aritmia dibagi menjadi bradikardi, takikardi dan ekstrasistol. Bradiaritmia disebabkan karena keterlambatan konduksi impuls dari atrium kanan menuju nodus AV dan serabut HIS Purkinje dimana gangguan tersebut meliputi nodus AV (gangguan blok jantung derajat 1 dan 2 tipe 1) atau sistem HIS Purkinje (derajat 2 tipe 2/mobitz) dan gangguan blok derajat 3. Bradiaritmia juga dapat disebabkan oleh gangguan nodus sinus (otonomik yang tidak efektif) seperti pacemaker yang tidak regular dalam menghasilkan denyut jantung. Etiologi takiaritmia lebih bervariasi dan dapat berasal dari atrium, ventrikel atau nodus AV yang dapat dikategorikan juga sebagai gangguan otonomik atau reentrant. Takikardi dapat dihasilkan dari sek tau kelompok sel yang mempunyai abnormal otonomik yang secara spontan berdepolarisasi lebih cepat dari nodus sinus dan menghasilkan denyut jantung lebih cepat dibanding denyut normal. Takikardi meliputi ektopik atrial takikardi, multifokal atrila takikardi dan junctional ektpoik takikardi. Sebaliknya takikardi reentrant disebabkan oleh jalur elektrik yang nonfisiologis yang menghasilkan konduksi kembali pada bagian bagian jantung yang berrepolarisasi setelah konduksi awal dengan impuls yang sama. Sirkuit
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

192

Jurnal Anestesiologi Indonesia

reentrant ini dapat terjadi di atrium (atrial flutter), ventrikel (ventrikular takikardi) nous AV (AV node reentrant takikardi) atau jaringan yang menghubungkan atrium, dan/atau ventrikel (jalur takikardi tambahan). 5,9 Klasifikasi Aritmia

penggunaan digoksin, peningkatan intrakaranial atau AV blok. Dapat juga diberikan epinefrin (0.1 mcg/kgBB) untuk meningkatkan denyut jantung, namun setelah pemberian epinefrin atau isopretolol dosis tinggi sebaiknya diganti dengan pace maker sementara ataupun sebagai back up. 4,9 Untuk akses vaskular, jika kesulitan dalam mendapatkan akses vena dapat diberikan obat obatan yang bersifat larut dalam lemak yaitu lidokain, epinefrin, atropin dan nalokson melalui pipa ET. Cara pemberian obat obatan tersebut dengan cara berikan minimal 5cc normal salin pada pipa ET diikuti dengan 5x ventilasi manual. Sedangkan obat obatan yang tidak boleh diberikan melalui pi[a ET adalah sodium bikarbonat karena dapat menyebabkan iritasi parenkim paru. 4 Penatalaksanaan Takikardi Vagal Manuver Vagal manuver merupakan intervensi yang paling sering digunakan untuk penatalaksanaan SVT. Mekanisme vagal manuver seperti Valsava manuver atau pemijatan pada sinus carotid selama 15 30 detik untuk menghasilkan stimulasi vagal pada infant. Stimulasi vagal secara farmakologis juga dapat dicapai dengan pemberian asetilkolin inhibitor edrophonium (tensilon 0.1 0.2 mg/kgBB). 9 Ventrikel Fibrilasi pada Anak Anak Penatalaksanaan untuk VF durasi pendek adalah defibrilasi. Defibrilasi dapat memutus VF dengan depolarisasi secara terus menerus dan menciptakan kontraksi
193

Penatalaksanaan Jantung

Gangguan

Irama

Penatalaksanaan Bradikardi Pada intensif care unit untuk mengobati bradikardi kita tetap harus mengobati penyebab dasarnya. Peningkatan tekanan intrakranial, hipotermi dll dapat mengakibatkan bradikardi yang membutuhkan penatalaksanaan spesifik. Pengobatan awal untuk bradikardi selain airway dan ventilasi adalah pengobatan farmakologis. Atropin 0.02 mg/kgBB IV/IO atau 0.03 mg/kgBB via ET dapat mengurangi gejala bradikardi akibat hipoksia (atau stimulasi vagal),
Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

miocard. Keberhasilan defibrilasi menurun apabila durasi dari VF semakin panjang. Dosis defibrilasi bervariasi dari 0.25 1 J/kgBB untuk SVT dan lebih dari 2 J/kgBB untuk takikardi ventrikular . 1,5,9 Obat Obat Antiaritmia Pengobatan antiaritmia sebaiknya tidak menunda pengobatan VF. Meskipun defibrilasi yang diberikan tidak berhasil, obat-obatan resusitasi tetap diberikan, dimana epnefrin merupakan pengobatan awal bagi VF pada anak maupun dewasa dan dilanjutkan dengan lidokain atau amiodaron apabila pemberian epinefrin dengan atau tanpa vasopresin tidak berhasil. Obat Antiaritmia Kelas I A Obat antiaritmia kelas I memperlama repolarisasi dan mempunyai efek antivagal. Quinidin Indikasi digunakan sebagai profilaksis setelah cardioversi pada kasus atrila fibrilasi atau flutter untuk mempertahankan normal sinus ritme dan digunakan untuk mencegah terjadinya Supraventrikular Takikardi (SVT) dan Ventrikel Takikardi (VT) yang berulang. Quinidin merupakan sodium dan potasium channel blocker, disamping menciptakan keadaan ion negatif dan memblokade reseptor muskarinik. Dosis (267 mg quinidin glukonat setara dengan 200 mg quinidin sulfat) Bayi / Anak : test dosis untuk reaksi idiosinkratik, intolerance, sinkop dan
194

trombositopenia. Oral, IM : 2 mg/kgBB atau 60 mg/m2 Oral (quinidin sulfat) : 30 mg/kg/day atau 900mg/m2/hari terbagi dalam dosis 5x/hari atau 6mg/kgBB setiap 4 6 jam Intravena (IV) (quinidine glukonat) : 2 10 mg/kgBB/dosis setiap 3 6 jam tergantung kebutuhan. 5 Procainamide Indikasi untuk pengobatan VT, paroxysmal atrial takikardi dan atrial fibrilasi Procainamide merupakan sodium chanel blocker yang potent dan potasium chanel blocker moderate, procainamide menghambat repolarisasi dan mempercepat denyut jantung. Dosis Bayi / Anak oral : 15 30 mg/kgBB/hari, diberikan dalam dosis terbagi setiap 3 6 jam (maksimal 4g/hari) IM : 20 30 mg/kgBB/hari diberikan dalam dosis terbagi setiap 4 6 jam (maksimal 4g/hari) IV : loading dosis 3 6 mg/kgBB/dosis dalam 5 menit, tidak boleh melebihi 100 mg/dosis dapat diulang setiap 5 10 menit dengan dosis maksimal 15 mg/kgBB. Maintenance : infuse kontinyu IV 20 80 mcg/kgBB/menit (maksimal 2 g/hari) (5)

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Obat Antiaritmia Kelas IB Obat dari golongan ini memblok sodium chanel dan memperpendek durasi potensial aksi dan repolarisasi Lidokain Indikasi digunakan sebagai pengobatan ventrikular ektopik, takikardidan fibrilasi selain digunakan sebagai anestesi lokal Mekanisme aksi :lidoakain sodium chanel dengan cepat. memblok

Obat Antiaritmia Kelas II : beta blocker Propanolol Indikasi digunakan untuk pengobatan vebtrikular aritmia dan hipertensi Mekanisme aksi propanolol merupakan non selektif beta blocker dengan efek membran sodium chanel. Propanolol tidak mempunyai efek simpatometik intrinsik. Dosis neonatal : 0.01 mg/kgBB IV pelan diberikan selama 10 menit, dapat diulang 6 8 jam sesuai dengan kebutuhan sampai dosis maksimal 0.15 mg/kgBB/dosis secara pelan. Infant / Anak Anak : 0.01 0.1 mg/kgBB diberikan IV pelan selama 10 menit, dosis maksimal 1mg pada infant dan 3 mg pada anak anak. Neonatal : 0.25 mg/kgBB/dosis setiap 6 8 jam oral, dapat dinaikkan maksimal 5 mg/kgBB/hari. Anak : 0.5 1 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi setiap 6 8 jam, dititrasi selama 3 5 hari dengan dosis 2 4 mg/kgBB/hari dan tidak melebihi 16 mg/kgBB/hari atau 60mg/hari. 5 Obat Obat Antiaritmia Kelas III

Dosis IV, IO (intra osseous) : loading dosis 1 mg/kgBB diikuti infus continue 20 50 mcg/kgBB/menit. Dapat diulang bolus 0.5 1 mg/kgBB. Pada pasien dengan syok, penyakit hati atau CHF dosis dapat diberikan setengah dari dosis loading dan infus. Endotracheal Tube : 2 10x dosis bolus IV. 5 Obat obat antiaritmia kelas IC Obat dari golongan ini merupakan sodium chanel blocker dengan efek pada repolarisasi yang bervariasi. Flekainamid Pengobatan aritmia atrial, junctional dan ventrikular. Mekanisme aksi flekainamid memblok sodium chanel dengan lambat dengan sedikit memblok potasium chanel. Dosis oral : dosis awal 1 3 mg/kgBB/hari atau 50 100 mg/m2/hari terbagi menjadi 3 dosis.

Amiodaron Indikasi digunakan untuk pengobatan takiaritmia ventrikular dan atrial. Amiodaron sering digunakan untuk pengobatan Junctional Ektopik Takikardi postoperatif. Mekanisme Aksi amiodaron menghambat stimulasi adrenergik, memperlama
195

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

potensial aksi dan periode refraktori dari atrium dan ventrikel dan mengurangi fungsi nodus AV dan sinus nodus. Dosis IV : 5 mg/kgBB diberikan bolus cepat untuk VT/Vftanpa nadi Oral untuk anak anak dibawah 1 tahun menggunakan rumus luas tubuh. Loading dosis 10 15 mg/kgBB/hari atau 600 800 mg/1.73m2/hari terbagi menjadi 2x pemberian selama 4 14 hari. Dosis kemudian dikurangi sampai 5 mg/kgBB/hari atau 200 400 5 mg/1.73m2/hari. Obat Antiaritmia Kelas IV : Calcium Channel Blocker Verapamil

Diltiazem Digunakan sebagai pengobatan blok nodus AV pada atrial fibrilasi dan flutter serta paroxysmal SVT Mekanisme aksi diltiazem membloks calcium channel dengan efek pada nodus SA dan nodus AV Dosis Infants / Anak IV : bolus 0.15 0.45 mg/kgBB, infus kontinyu 2 mg/kgBB/menit Oral : 1.5 2 mg/kgBB/hari terbagi menjadi 3 4 dosis, maximal 3.5 mg/kgBB/hari. 5 Syok

Indikasi digunakan untuk mengobati takiaritmia atrial (SVT, atrial flutter dan atrial fibrilasi) Mekanisme aksi verapamil memblok Calcium Channel Blocker pada otot polos vaskular dan myocard selama depolarisasi. Pemberian Verapamil tidak direkomendasikan pada anak dibawah 1 tahun. Dosis IV : 0.1 0.2 mg/kgBB/dosis jika tidak berespon dapat diulang 30 menit kemudian. Untuk anak anak diatas 1 tahun diberikab 0.1 0.3 mg/kgBB/dosis dengan dosis maksimal 5 mg. Oral : 4 8 mg/kgBB/hari dosis terbagi, diberikan setiap 8 jam. 5

Syok merupakan keadaan akut dan kompleks dari gangguan sirkulasi yang mengakibatkan gangguan pengangkutan oksigen dan nutrient untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Syok Kardiogenik Syok cardiogenik merupakan abnormalitas dari fungsi jantung yang bertanggungjawab terhadap sistem cardiovaskular untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Syok cardiogenik atau congestive heart failure (CHF) pada infant dan anak anak membutuhkan diagnostik dan penatalaksanaan khusus. 10

196

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Jurnal Anestesiologi Indonesia

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

197

Jurnal Anestesiologi Indonesia

RINGKASAN Disfungsi akut miokard yang berat merupakan faktor utama yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada anak anak yang membutuhkan perawatan yang intensif. Jantung merupakan organ yang paling mudah mengalami gangguan pada penyakit kritis dan kegagalan fungsi jantung ini dapat diakibatkan oleh berbagai penyakit termasuk sepsis, penyakit jantung bawaan, trauma dan juga akibat infeksi pada pernafasan seperti respiratory syncitial virus (RSV). Pediatric Intensive Care adalah bagian dari ilmu yang mempunyai fokus pada clinical care, ilmu dan penelitian serta penanganan kesehatan bagi bayi, anak anak dan dewasa muda yang mempunyai penyakit yang berpotensial mengancam nyawa, sehingga dengan melakukan monitoring yang intensif pada sistem kardiovaskular dan penanganan yang cepat dan tepat dalam mengenali gangguan fungsi jantung dapat meminimalkan angka morbitas dan mortalitas.

5.

Munoz, R.,Schmitt, CG, Roth, SJ. Handbook of Pediatric Cardiovascular Drugs. Springer Verlag London; 2008. 6. Marino PL. The Little ICU Book of Facts and Formulas. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia; 2007. 7. Morgan, GE, Mikhail, MS. Clinical Anesthesiology, 3rd ed., 18, Appleton and Lange. London, 2002 8. Doniger, SJ, Sharieff, GQ. Pediatric Resuscitation Revised : A Summary of the Updated BLS/NALS/PALS Recommendation. 2007. From : http://www.isrjem.org/June207.ResuscDonzinger.postrprod.pdf 9. Fuhrman, BP, Zimmerman, J.J. Pediatric Critical Care. Mosby, Inc. Philadelphia; 2009 : 4 10. Arikan, AA. Pediatric Shock. 2008. From : http://www.signavitae.com/articles/reviewarticles/51-pediatric-shock

DAFTAR PUSTAKA
1. Slonim, AD, Pollack, MM. Pediatric Critical Medicine. Lippincott Williams & Wilkins. 2006 : 5 Wheeler, DS, Wong, HR, Shanley,TP. Science and Practise of Pediatric Critical Care Medicine. Springer Verlag. London. 2009 : Holzman, RS, Mancuso, TJ, Polaner, DM. A Practical Approach to Pediatric Anesthesia. Lippincott Williams & Wilkins; 2008. American Heart Association. Pediatric Advanced Life Support. 2005. From : http://cic.ahajournals.org/http:/content/120/7 /e53.full.pdf

2.

3.

4.

198

Volume II, Nomor 3, Tahun 2010

Subject Index Volume II

ADP, 24, 91 CNS trauma, 52 dexamethasone, 136 enflurane, 24 epinephrine, 154 fasciculation, 1 fluids administration, 107 glomerular filtration rate, 10 granisetron, 136 haes-sterile, 125 halothane, 24 histologic score MHC Class I, 81 hypertonic sodium lactate, 125 IL-10 serum level, 71 incision pain, 71 isoflurane, 10 ketorolac, 10 laparatomy, 136 Levobupivacaine infiltration, 71 levobupivacaine, 81 lidocaine, 154 magnesium sulphate, 1 mediastinoscopy, 44 metoclopramide, 136 MgSO4, 146 midazolam, 17

muscle relaxant, 116 nausea, 136 NMDA antagonist, 146 non invasive mechanical ventilation, 169 one lung ventilation, 160 opioid, 146 pediatric intensive care, 180 pediatric, 107 penthotal, 91 platelet aggregation, 91 postoperative management, 36 postoperative pain, 146 potassium, 1 propofol, 91 sectio caesaria, 17 sedation, 116 spinal anesthesia, 17 strong ions difference (SID), 125 subarachnoid block, 154 succinylcholine, 1 thrombocyte aggregation, 24 trauma patient, 36 VAS, 146 vomiting, 136 wound healing, 81

INDEKS JUDUL JURNAL ANESTESIOLOGI INDONESIA VOLUME II No. 1 s.d. 3 Th 2010 No. Nama 1. Satrio Adi W, Hari Hendriarto, Heru Dwi Jatmiko Judul Volume Vol. 2, No. 1, A Th 2010 Anestesi Pada Mediastinoskopi Mediastinoskopi menggunakan anestesi umum. Akses vena dengan kateter intravena diameter besar (14 hingga 16 gauge) diharuskan karena resiko perdarahan berlebihan dan kesulitan pengendalian perdarahan. Hal 44

2.

Moch. Rahardi Hamsya, Mohamad Sofyan Harahap

Vol. 2, No. 1, Atrakurium dan Magnesium Sulfat untuk Mencegah Peningkatan Serum Th 2010 Kreatinin Fosfokinase dan Ion Kalium akibat Induksi Suksinilkolin Pemberian Magnesium Sulfat 40% 40 mg/kgBB dapat mencegah peningkatan kadar kreatinin fosfokinase serum dan kadar kalium darah, meskipun tidak seefektif Atrakurium, tetapi lebih baik dibanding yang lain. Vol. 2, No. 3, G Th 2010 Granisetron, Kombinasi Metoklopramid dan Deksametason Terhadap Mual Muntah Pasca Laparatomi Pemberian granisetron 1 mg mampu mengurangi mual muntah paska operasi yang sama efektifnya dengan kombinasi metoklopramid 10 mg dan deksametason 8 mg. Vol. 2, No. 1, Th 2010

3. I Nyoman Panji, Heru Dwi Jatmiko, Aria Dian Primatika

136

4.

H Eva Susana, Uripno Hubungan Kadar Midazolam Budiono, Heru Dwi Plasma Ibu Dan Bayi Dengan Jatmiko Kondisi Fisik Serta Waktu Persalinan Pada Pasien Sectio Caesaria Yang Mendapat Premedikasi Midazolam Intravena Ada hubungan kadar midazolam plasma ibu dan bayi terhadap kondisi fisik serta waktu persalinan.

17

5. Rosa Afriani, Heru Dwi Jatmiko

K Ketorolak Intravena dan Laju Filtrasi Glomerulus pada Anestesi Isofluran Terdapat peningkatan kreatinin serum secara tidak bermakna dan terjadi penurunan klirens kreatinin secara tidak bermakna, pada kelompok ketorolak dan plasebo, dengan menggunakan agen inhalasi isofluran. L Lama Analgesia Lidokain 2% Dibandingkan Kombinasi Lidokain 2% dan Epinefrin pada Blok Subarakhnoid Penggunaan kombinasi lidokain 2% 80 mg dan epinefrin 0,05 mg menghasilkan waktu regresi analgesia dan blokade motorik yang lebih panjang dibandingkan penggunaan lidokain. M Magnesium Sulfat Intravena, Derajat Nyeri dan Kebutuhan Opioid Pasca Operasi Pemberian MgSO4 tidak mengurangi derajat nyeri dan kebutuhan opioid paska operasi. Monitoring Kardiovaskuler pada Pediatric Intensive Care Anestesi memegang peranan penting terhadap perkembangan Pediatric Intensive care karena ilmu pengetahuan dan keterampilan anestesiologist dalam mengelola jalan nafas dan pernafasan, monitoring sirkulasi dan akses vaskular.

Vol. 2, No. 1, Th 2010

10

6. Rezka Dian Trisnanto, Uripno Budiono , Widya Istanto Nurcahyo

Vol. 2, No. 3, Th 2010

154

7. Husni Riadi Nasution, Ery Leksana

Vol. 2, No. 3, Th 2010

132

8.

Aprilina Rusmaladewi, Ery Leksana, Widya Istanto Nurcahyo

Vol. 2, No. 3, Th 2010

180

9. Tutus Nurastadila, Ery Leksana, Uripno Budiono

Vol. 2, No. 3, P Natrium laktat Hipertonik dan Th 2010 Strong Ions Difference (SID) Pada Pasien Sectio Caesaria Pemberian infus sodium laktat hipertonik dapat mempertahankan SID paska operasi dimana SID meningkat menuju nilai normal dibandingkan infus Haes-steril 6% yang mengalami

125

penurunan nilai SID. 10. Aria Dian Primatika, Uripno Budiono, Ery Leksana Pengaruh Infiltrasi Levobupivakain pada Skor Histologis MHC Kelas 1 pada Penyembuhan Luka Ekspresi MHC kelas I (skor histologi MHC I) pada kelompok dengan infiltrasi levobupivakain lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tanpa infiltrasi levobupivakain. Pengelolaan Cairan Pediatrik Pemberian cairan pada anak berbeda dengan pemberian cairan pada dewasa. Untuk memudahkan menghitug jumlah kebutuhan cairan rumatan pada anak dapat digunakan rumus dari Holliday dan Segar. Pada anak yang akan mejalani operasi, perlu diberikan cairan pengganti puasa dan cairan yang hilang selama operasi. Pengelolaan Pasca Operasi Dan Rawat Intensif Pada Pasien Trauma Pengelolaan pasien trauma di ICU terutama difokuskan pada pengelolaan hipotermi, koagulopati, asidosis, sindrom kompartemen abdomen dan ARDS, hal ini karena faktor-faktor tersebut merupakan penyebab utama kematian pada jam-jam pertama pasca trauma. Penggunaan Sedasi dan Pelumpuh Otot di Unit Rawat Intensif Sedasi sebaiknya diberikan pada pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU, dan pelumpuh otot jarang digunakan di ICU karena biasanya sedasi saja sudah mencukupi untuk menenangkan pasien dan memberikan kenyamanan pasien dengan ventilasi mekanik. Penggunaan sedasi yang terlalu berlebihan atau telalu sedikit meningkatkan angka morbiditas pasien. Penggunaan pelumpuh otot dalam waktu lama memiliki banyak kerugian yang harus dipertimbangkan. Vol. 2, No. 2, Th 2010 81

11.

Aditya Kisara, Hariyo Satoto, Johan Arifin

Vol. 2, No. 2, Th 2010

107

12.

Rindarto, Jati Listiyanto Pujo, Ery Leksana

Vol. 2, No. 1, Th 2010

36

13.

Tatag Istanto, Jati Listiyanto, Danu Soesilowati

Vol. 2, No. 2, Th 2010

116

14.

Mochamad Rofii, Hariyo Satoto, Mohamad Sofyan Harahap

Perbandingan Kadar IL-10 Serum dengan dan Tanpa Infiltrasi Levobupivakain pada Nyeri Pasca Insisi Infiltrasi Levobupivakain 0,25 % disekitar luka insisi meningkatkan kadar IL-10 serum. Kenaikan kadar IL10 serum tertinggi adalah pada kelompok infiltrasi dengan Levobupivakain 0,25 % yang terjadi pada hari kedua yaitu sebesar 130 %. Perbedaan Agregasi Trombosit pada Penderita yang Mendapat Propofol dan Penthotal Propofol secara bermakna menurunkan agregasi maksimal trombosit dan menyebabkan hipoagregasi lebih banyak daripada penthotal. Perbedaan Pengaruh Pemberian Enfluran Dan Halotan Terhadap Agregasi Trombosit Halotan secara bermakna menurunkan persen agregasi trombosit dan menyebabkan gambaran hipoagregasi lebih banyak dari pada enfluran.

Vol. 2, No. 2, Th 2010

70

15.

Arliansah, Widya Istanto, Hariyo Satoto

Vol. 2, No. 2, Th 2010

91

16.

Agatha Citrawati Anom, Mohamad Sofyan Harahap

Vol. 2, No. 1, Th 2010

24

17. Dicky Hartawan, Danu Soesilowati, Uripno Budiono

Vol. 2, No. 3, V Th 2010 Ventilasi Mekanik Noninvasif Ventilasi mekanik dapat diberikan dengan cara invasif maupun noninvasif. Ventilasi noninvasif menjadi alternatif karena dapat menghindari risiko yang ditimbulkan pada penggunaan ventilasi invasif, mengurangi biaya dan lama perawatan di ruang intensif. Ventilasi Satu Paru Pembedahan di daerah thoraks menghadirkan masalah fisiologis untuk ahli anestesi sehingga membutuhkan pertimbangan khusus. Salah satu diantaranya adalah ventilasi satu paru. Terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam pengelolaan ventilasi satu paru. Vol. 2, No. 3, Th 2010

169

18.

Aditya Kisara, Hari Hendriarto Satoto, Johan Arifin

160

You might also like