You are on page 1of 109

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batik adalah salah satu warisan budaya Indonesia yang memiliki kelebihan
tersendiri dibanding peninggalan budaya lain yang berprinsip sama, yaitu celup
rintang warna. Di antara berbagai wastra tradisional yang menggunakan teknik
ini, tidak ada satupun yang tampil seindah dan sehalus batik. 1 Namun nilai
pada batik Indonesia bukan hanya semata-mata pada keindahan visual. Lebih
jauh, batik memiliki nilai filosofi yang tinggi serta sarat akan pengalaman
transendenitas. Nilai inilah yang mendasari visualisasi akhir yang muncul dalam
komposisi batik itu sendiri.

Dalam perkembangannya, sejarah mencatat bahwa penyebaran batik tidak


terlepas dari peranan para pedagang ke berbagai pelosok Nusantara, bahkan ke
Malaysia atau Singapura. Dalam usaha penyebaran itulah, terjadi penetrasi
budaya luar yang menambah khasanah perbatikan Indonesia. Fleksibilitas
tersebut dapat dilihat melalui batik pesisir yang secara antropologis lebih
terbuka terhadap sesuatu yang baru dibanding daerah pedalaman,
menyebabkan masyarakat pendukungnya lebih mudah menerima budaya luar 2 .
Salah satu contohnya dapat di lihat dari batik cirebon motif Mega Mendung atau
pengaplikasian warna-warna cerah seperti merah tua, merah muda, atau hijau
yang merupakan pengaruh kuat dari China.

Selain itu batik juga merupakan salah satu hasil seni dan budaya yang terlahir
dari masyarakat sawah, tepatnya di daerah Surakarta. Perkembangan batik

1
Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 10
2
Lihat Modern Miring tulisan Jacob Soemardjo halaman 36

1
sangat didukung oleh keadaan masyarakat yang memiliki banyak waktu luang
saat menunggu masa panen tiba, ditambah dengan kompleksitas masyarakat
pendukung yang memungkinkan terjadinya pengerjaan batik bukan hanya
sebagai kegiatan membatik, tetapi juga memiliki nilai ibadah yang transenden
dengan nilai filosofi yang tinggi. Batik itu sendiri berawal dari lingkungan
istana, sehingga adanya sebutan batik keraton yang pada akhirnya meluas ke
segala lapisan masyarakat. Hal inilah yang memberikan kesan aristokrat dan
feodal pada batik keraton.

1.2 Rumusan Masalah

Bertolak pada latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya di atas,


dalam penelitian ini Penulis akan membahas batik klasik keraton Surakarta
dengan sampel-sampel yang berasal dari kumpulan koleksi batik Santosa
Doellah yang merupakan pemberian dari kolektor batik asal Belanda,
Veldhuisen.

Dalam penelitian ini, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah visualisasi dan nilai estetik batik klasik keraton Surakarta


koleksi H Doellah Santosa?
2. Bagaimana pengaruh Keraton pada perkembangan batik Keraton
Surakarta?

1.3 Batasan Masalah

Di dalam membahas makalah yang dikaji pada penelitian ini, beberapa batasan
masalah yang diambil antara lain :

2
1. Sampel yang digunakan berasal dari kumpulan koleksi batik yang dimiliki
oleh Santosa Doellah. Sampel tersebut merupakan pemberian dari
seorang kolektor asal Belanda, Veldhuisen
2. Lokasi yang di bahas adalah keadaan Surakarta baik secara geografis,
etnografis maupun antropologis
3. Pembatasan jenis kain batik yang dibahas sebatas nyamping dan
sejenisnya.
4. Klasifikasi batik yang digunakan sebagai sampel berdasarkan pada
klasifikasi bentuk, baik itu Geometris maupun Non Geometris.

1.4 Tujuan Penelitian

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat menimbulkan penghargaan


dalam diri masyarakat Indonesia melihat keuletan, dedikasi, ketekunan,
keterampilan dalam membatik maupun usaha pendistribusiannya agar bentuk
kesenian ini tetap lestari dan tak lekang oleh waktu.

Selain itu dalam tingkat selanjutnya, diharapkan masyarakat tidak lagi melihat
batik sebagai ragam hias atau artefak tradisi, namun juga mampu membantu
membaca sejarah bangsa yang lebih lanjut menciptakan kesadaran dan
penghargaan atas budaya lokal. Agar seni budaya ini tidak stagnan, maka
diperlukan adanya pengkajian lebih lanjut.

1.5 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian ini penulis berharap masyarakat Indonesia dapat menyadari


kebesaran warisan budaya yang tak ternilai harganya, yang pada akhirnya
menumbuhkan kecintaan pada budaya lokal. Penulis sadar sekali dengan
ungkapan ‘tak kenal maka tak sayang’, sehingga penulis berusaha mengenalkan
dan memberi kesadaran akan lokalitas, yang dalam hal ini batik keraton dengan

3
mengkorelasikannya pada antropologi budaya dan sejarah lokal yang
mengantarkan pada sudut pandang baru dalam melihat batik.

Selanjutnya, dikemudian hari diharapkan masyarakat Indonesia mampu


menciptakan batik yang sesuai dengan perkembangan zaman namun tidak
menghilangkan fundamen dasar yang membangun teknik dan falsafah membatik
itu sendiri. Namun, yang lebih penting dengan kesadaran yang telah terbangun,
pada akhirnya bangsa Indonesia mengetahui hendak dibawa kemana budaya ini.
Karena jika bukan kita yang peduli, lalu siapa?

1.6 Hipotesis Awal

kegiatan membatik adalah suatu proses yang selain membutuhkan ketelatenan


dan keuletan, juga memerlukan kesungguhan dan konsistensi yang tinggi. Hal
ini dapat dilihat dari serangkaian proses, mulai dari mempersiapkan kain
(pencucian, pelorodan, pengetelan, pengemplongan), membuat pola
(ngelowongi), membuat isian (Ngisen-iseni), Nerusi, Nembok, hingga Bliriki 3 .
Melalui serangkaian proses panjang tersebut, juga dapat diketahui bahwa
waktu yang dipergunakanpun relatif panjang. Hal itu berarti masyarakat saat
itu memiliki waktu yang cukup untuk membatik. Karena itulah kegiatan
membatik ini pada awalnya tumbuh dalam masyarakat sawah yang memiliki
masa tunggu panen.

Secara visual, batik keraton memiliki pakem-pakem tertentu yang harus


diterapkan, baik dalam pakem pembuatan pola maupun pakem penggunan
motif tersebut beserta upacara ritual yang akan diselenggarakan. Pakem
tersebut muncul karena sistem terpusat yang diterapkan pada masyarakat
sawah membutuhkan hierarki untuk mengukuhkan sentralisasi. Seperti halnya
pola Parang Rusak yang hanya boleh digunakan oleh Pangeran atau Pola
Truntum yang diperuntukkan kepada pasangan pengantin.
3
Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 13-18

4
Warna yang digunakan pada batik keratonpun terbatas pada pewarna alam
mengingat belum ditemukannya pewarna sintesis pada masa itu. Jika
dipandang melalui alam kosmologi jawa, penerapan warna seperti hitam,
merah atau coklat juga mengacu pada kaidah dan pakem yang berlaku.
Keseluruhan tata aturan tersebut bertujuan untuk penyelarasan dan
harmonisasi. Penyelarasan dan harmonisasi itu sendiri merupakan suatu tujuan
utama masyarakat tradisi dalam penciptaan karya seni, yang dalam hal ini
adalah batik. Lebih jauh, penciptaan tersebut tidak terklasifikasi dalam suatu
kegiatan kesenian tersendiri, namun sebagai suatu bagian dari kehidupan
sehari-hari. Dalam hal ini seni tidaklah sekuler seperti halnya konsep seni pada
Masyarakat Modern.

1.7 Metode Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebelumnya, metode penelitian yang digunakan


kali ini secara umum menggunakan metode kualitatif. Pendekatan historis
digunakan untuk terlebih dahulu menyusun data-data kronologis sejarah
tumbuh kembangnya batik keraton Surakarta. Kemudian pendekatan deskriptif
digunakan untuk menjelaskan ciri-ciri dari objek kajian. Adapun teknik yang
digunakan dalam penelitian data :

1. Kajian literatur :
Langkah pertama dalam penelitian ini adalah melakukan kajian literatur
dalam rangka pengumpulan data yang berhubungan dengan objek
penelitian

2. Dokumentasi :
Melakukan pendokumentasian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
objek kajian. Baik itu sketsa, gambar ataupun rekaman wawancara.

5
1.8 Sistematika Penulisan

Dalam penulisan penelitian kali ini sistematika penulisan disusun menjadi


beberapa bab dengan urutan sebagai berikut :

Bab I : PENDAHULUAN
Membahas tentang latar belakang pemilihan objek penelitian,
menjelaskan rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian,
metode penelitian, hipotesis awal, sistematika penulisan dan alur kerja.

Bab II : SEJARAH BATIK


Pada bab ini membahas secara kronologis awal munculnya batik,
munculnya pertama kali di Keraton Surakarta dan pengembangan
polanya.

Bab III : DEFINISI, KLASIFIKASI DAN FUNGSI BATIK


Memuat definisi apa batik itu sendiri, beserta pembagian batik secara
garis besar. Dalam bab ini juga berisi penggolongan motif-motif, baik
yang sesuai dengan pakem yang berlaku atau yang muncul dikemudian
hari pengaruh dari sinkretisasi budaya

Bab IV : ANALISA BATIK KERATON SURAKARTA


Bab ini mengetengahkan analisa beberapa sampel visual batik dari
koleksi Batik Danar Hadi dengan motif batik keraton Surakarta (Solo)

Bab V : SIMPULAN DAN SARAN


Bab terakhir ini berisi kesimpulan dari penelitian.

6
1.9 Alur Kerja
Bagaimanakah visualisasi dan nilai estetik batik klasik
keraton Surakarta koleksi H Doellah Santosa?
Bagaimana pengaruh Keraton pada perkembangan batik
Keraton Surakarta?

Batasan Masalah Teknik Penelitian

Batik Kain batik yang Daerah Sampel yang dianalisa


Keraton di bahas adalah geografis adalah batik koleksi H
nyamping dan Surakarta Santosa Doellah
sejenisnya

Tinjauan Literatur

Masyarakat Seni Batik


Surakarta Tradisi Keraton
Surakarta

Analisa Data

Kesimpulan
Dan saran

SISTEM ALUR KERJA PENELITIAN


GAMBAR 1.1
SUMBER : PENULIS

7
BAB II
SEJARAH BATIK

“Culture is an organization of phenomena acts (patterns of behaviour), object


(tools, things made with tools), idea (beliefs, knowledge) and sentiment
(attitudes values) that is independent upon the use of symbols”
Leslie A. White

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah suatu sistem gagasan, tindakan


dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
bagian dari manusia dengan cara belajar. Dengan kemampuan akal budinya,
manusia telah mengembangkan berbagai sistem tindakan, mulai dari yang
sangat sederhana ke arah yang lebih kompleks sesuai kebutuhannya. Dari
pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa terdapat 3 faktor yang menjadi ciri-
ciri kebudayaan. Yang pertama, kebudayaan itu dipelajari satu sama lain dalam
satu kelompok. Yang kedua, kebudayaan dipegang secara luas oleh suatu
kelompok, dalam artian telah disepakati bersama, dan terakhir kebudayaan
mempengaruhi pikiran, tingkah laku, dan perasaan dalam kelompok secara
mendalam.

Kebudayaan merupakan suatu struktur yang tersusun sangat rapi dimana suatu
komponen tertentu mempunyai hubungan yang sangat erat dengan banyak
komponen lain yang terkait. Adanya perubahan pada suatu komponen
menyebabkan perubahan pada komponen lain. Karena itulah kebudayaan tidak
pernah statis, melainkan dinamis. Bahkan tanpa adanya pengaruh ekstern pun,
kebudayaan akan berubah seiring dengan berjalannya waktu dan
berkembangnya pola pikir di dalam masyarakat tersebut. Karena perubahan
itulah diperlukan adaptasi secara berkelanjutan pada kebudayaan itu sendiri.

8
Seperti yang diketahui bahwa ada 7 unsur kebudayaan, dan kesenian adalah
salah satunya. Disini, dapat dilihat bahwa dalam perspektif kebudayaan,
kesenian adalah salah satu elemen penting dan kesenian itu sendiri sangat erat
kaitannya dalam kebudayaan.

Dalam penelitian kali ini, batik yang berangkat dari seni tradisi merupakan
suatu bentuk kesenian yang merupakan produk budaya yang erat kaitannya
dengan keseharian dan bersifat aplikatif meskipun disisi lain juga memuat sisi
transendenitas. Sebenarnya istilah seni tidak ada dalam kamus masyarakat
tribal, mengingat seni merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan
sehari-hari mereka. Dalam pembahasannya, batik sebagai produk budaya dari
masyarakat tradisi tidak terlepas dengan keadaan geografis, etnografis dan
antropologis masyarakat pendukungnya.

Selain itu, secara rinci diketahui bahwa pada masa Austronesia, Indonesia
dikenal sebagai manusia kepulauan maritim yang berjiwa bahari. Kerajaan-
kerajaan di Indonesia menjelajah hingga di samudera Hindia dan Pasifik
(Tabrani 1995: 15-1) 4 . Hal inilah yang membawa pengaruh budaya luar masuk
ke Indonesia dan diadaptasi sesuai dengan keperluan. Hal ini pulalah yang
menyebabkan sejak abad ke tiga Masehi, mulai tampak kebudayaan yang
berasal dari India, seiring dengan masuknya agama Hindu Buddha 5 .

Mattiebelle Gittinger berpendapat bahwa batik di Jawa mempunyai persamaan


dengan Cina dalam bentuk stensil. Prosesnya, desain pertama kali dicetak
diatas kertas lalu dipotong-potong yang disusul proses pembekasan bagian yang
terangkat dengan jalan perekatan stensil pada kain. Proses stensil bersama-
sama dengan perekatan dipergunakan sebagai penutup saat kain di celup pada
larutan pewarna 6 .

4
Pujianto. Kajian Batik Surakarta. Tesis FSRD ITB, Bandung. 1983 halaman 127
5
Ibid halaman 127
6
Ibid halaman 128

9
2.1 Bukti Otentik Batik sebagai produk asli Indonesia

Peninggalan-peninggalan dari India khususnya motif batik mulai tampak di Jawa


pada tahun 1822 (Djajasoebrata. 1972:3) 7 , yaitu gambar batik stensilan kertas
yang mempunyai persamaan dengan India Selatan yang banyak muncul di batik
pesisir daerah Gresik. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat pesisir
memang lebih fleksibel menerima pengaruh luar dibanding batik keraton.

Pada zaman Islam purba, motif-motif batik diperkaya dengan berbagai bentuk
ilmu ukur, motif huruf arab dan motif asing lain yang ikut berperan dalam
pembentukan hiasan batik. Pada perkembangan selanjutnya, hubungan Cina
dengan Nusantara semakin erat. Hal ini dapat dilihat melalui babad tanah Jawa
ketika diceritakan bahwa kerajaan Mataram awal utusan Majapahit pergi ke
negeri Cina dan pulang membawa Puteri Cempo yang selanjutnya menjadi isteri
Prabu Brawijaya yang nantinya menghasilkan keturunan Raden Patah (Romawi.
1989 :39) 8 . Unsur Cina pada batik keraton muncul pada turunan bentuk yang
dihasilkan, seperti halnya motif Cemungkiran sebagai turunan bentuk Lotus dan
Sembagen Huk sebagai turunan dari bentuk burung phoenix yang mengadopsi
budaya Cina. Bukan hanya pada motif, pengaruh Cina juga muncul pada
pemilihan warna dan komposisi yang cenderung cerah dan berani seperti
merah, kuning dan biru.

Dari keterangan diatas terkesan bahwa batik bukanlah warisan budaya asli
Nusantara. Namun jika dianalisa, arca peninggalan zaman Sriwijaya-Syailendra
dalam penerapan pakaiannya memperlihatkan perkembangan desain batik.
Seperti halnya pada patung Syiwa dan Singosari Malang (abad 13) dimana
terdapat motif kawung dengan isen yang menyerupai motif ceplok (1980 :2).
Hal tersebut menegaskan bahwa terlihat keterkaitan antara perkembangan

7
Ibid halaman 128
8
Ibid halaman 128

10
batik dengan rekaman sejarah yang tertoreh pada dinding candi. Hal ini dapat
dijadikan parameter bahwa batik telah ada saat candi tersebut dibangun.

GAMBAR 2.1
MOTIF CEPLOK YANG JUGA MEMILIKI KESAMAAN DENGAN MOTIF DARI INDIA SELATAN,
DIMANA MOTIF-MOTIF TERSEBUT DIGAYAKAN DI GRESIK
SUMBER : DJAJASOEBRATA. 1972:3 9

Sekalipun tidak mungkin menemukan lembar kain batik sebagai bukti arkeologi
pada masa silam, tetapi bukti sejarah tentang teknik rintang celup warna,
ragam hias dekoratif, simbolik, keseimbangan dinamis dan menjiwai bentuk
batik sudah dikenal sejak zaman pra sejarah.

Temuan arkeologi berupa arca dalam Candi Ngrimbi dekat Jombang


menggambarkan sosok Kertajasa, Raja pertama Majapahit yang memerintah
pada tahun 1294-1309 memakai kain beragam hias kawung (Van der Hoop 1949:

9
Ibid halaman 128

11
80) 10 . Bisa saja ragam hias pada kain itu dibuat dengan teknik melukis, prada,
tenun songket atau batik.

GAMBAR 2.2
MOTIF CEPLOK YANG MUNCUL PADA PATUNG SIWA DI CANDI SINGOSARI
SUMBER : DWI RAHAYU SURVIATI

Tetapi bila hal tersebut diamati lebih cermat dengan membandingkan rincian
ukiran pada bentuk perhiasan manik-manik dan urat daun teratai serta detail
yang sangat halus, maka hal tersebut dapat dijadikan sebagai indikasi tentang
teknik yang diterapkan pada pengolahan kain tersebut.

Garis sejajar lembut sebagai batas bentuk elips kawung mengingatkan pada
garis yang dihasilkan oleh canting carat loro pada teknik batik. Sedangkan

10
Diambil dari Tesis mahasiswa FSRD ITB “pengaruh Etos Dagang Santri pada Batik Pesisiran”
oleh hasanudin NIM: 27192008 tahun 1997 halaman 9

12
susunan titik yang runtut hampir berdekatan hanya mungkin dihasilkan oleh
canting cecek siji untuk membuat isen-isen cecek (titik).

Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa teknik yang diterapkan dalam
pengolahan kain tersebut adalah batik, mengingat teknik tenun sulit untuk
mencapai ketelitian garis yang halus dan sejajar. Sedangkan lukisan dan prada
kurang lazim diterapkan dalam tekstil karena cepat rontok dan warnanya
kurang tahan lama.

Selain itu, bila mengungkap seni sastra Jawa Tengahan di zaman Majapahit,
seperti Kudang Sundayana, Rangga Lawe, Serat Pararaton dan Bima Suci yang
mengetengahakan pemikir-pemikir agama dan menceritakan keadaan pada
zaman tersebut, salah satunya adalah perkembangan batik (Hardjonagoro.
1978:1) 11 .

Karya sastra lama tersebut diterbitkan oleh Brandes dan karya surat Kidung
Rangga Lawe dan Sundayana oleh C.C. Berg 12 . Karya-karya tersebut antara lain:
1. Serat Pararaton

Serat Pararaton berisi antara lain adalah sebagai berikut :

“ Raden Wijaya amacal sisisngkalaning amaluku


Dadanipun Kebo mundarung tekeng mukanipun kebek endut,
Mundur tur anguncap :
‘Aduh, tuhu yan dewa si pakenira Raden’
Semangka Raden wijaya adum lancingan gerising
Ring kawunalira sawiji sowing
Ayun sira angamuka
Kang dinuman sira sora, sira Rangga Lawe
Sira Pedang, Sira Dangdi, Sira Gajah”

11
Diintisarikan dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun
1983 halaman 131
12
Ibid halaman 131

13
Artinya :
Raden Wijaya menginjakkan kaki untuk memulai perjalanannya,
Dada Kebo Mundarung hingga mukanya penuh Lumpur,
Jalan mundur sambil berkata :
‘Aduh, pasrah kepada dewaku ya Raden’
Saat itu Raden Wijaya sedang membagikan celana gerising
Kepada rakyatnya
Agar segera menentang
Yang kamu bicarakan sora, kamu Rangga Lawe
Kamu Pedang, Kamu Dangdi,Kamu Gajah]

2. Tembang Durma

Tembang Durma no. 74 dalam Rangga Lawe yang diterbitkan oleh C.C
Berg (1939: 148) menerangkan tentang pemakaian kain dodot untuk
penutup mayat di zaman Majapahit seperti yang tertulis di bawah ini:

“Tan-Dwana usungan pan atawan brana


Sang Nata kon nastari
Mangkat tan ingundang
Teka adodot petak
Winingkis pupune kalih
Tikeng Kacuran
Atuntnan limaris.”

Artinya :
Tidak bermaksud menangis karena mayat
Sang Raja suruh lestari
Barangkat tidak diundang
Dengan memakai dodot putih
Digulung pada kedua kakinya

14
Sampai lutut kakinya
Merupakan petunjuk jalan

Dengan memperhatikan karya sastra lama tersebut diatas, menunjukkan bahwa


batik muncul dan berkembang bersamaan dengan syair-syair lama. Hal ini
membuktikan pendapat J.L. Brandes bahwa batik berasal dari zaman yang sama
dengan pertanian, gamelan, wayang 13 , syair, pelayaran dan barang logam
(Handoyo: 1987: 4) 14

2.2 Klasifikasi Simbolik dalam Budaya jawa

Menurut Koentjaraningrat, sistem klasifikasi simbolik orang Jawa didasarkan


atas dua, tiga, lima dan sembilan pola 15 . Sistem yang didasarkan pada dua pola
dikaitkan oleh orang Jawa dengan hal-hal yang berlawanan atau saling
membutuhkan, seperti siang dan malam, lelaki dan perempuan, atau atas dan
bawah. Sistem klasifikasi simbolik yang dualistik tersebut dapat dilihat dalam
kesenian wayang kulit, dimana dalam pertunjukannya, tokoh jahat berada
disebelah kiri dalang sedangkan yang baik berada dalam sisi kanannya. Pola
dualistik ini dapat mewujud menjadi pola tiga dimana kedua sisi yang berlainan
tersebut diselaraskan sehingga menghasilkan suatu entitas yang sama sekali
baru. Keadaan ini disebut harmonisasi.

Selain kedua pola tersebut, orang Jawa juga mempercayai pola empat yang
dikaitkan dengan arah mata angin dan yang ke lima sebagai pusatnya. Bagi
orang Jawa, klasifikasi simbolik dengan lima kategori tersebut berkaitan
dengan persepsi kemantapan dan keselarasan. Pembagian pola lima atau yang

13
Berasal dari kata dasar ‘Yang’, merujuk pada segala sesuatu yang bersifat gaib. Contohnya
wayang kulit adalah pertunjukkan yang menampilkan repertoar lakon yang mengandung
mitologi dan filsafat. Pada masa penyebaran islam, media wayang pernah dimanfaatkan dalam
upaya sosialisasi dan penyebaran Islam di Indonesia. Wayng ini sendiri sesungguhnya adalah
suatu upacara untuk mengenang roh leluhur sekaligus memanggilnya turun untuk kepentingan
yang masih hidup.
14
Ibid halaman 134
15
Diambil dari ‘Indonesia Indah’ buku ke 8 tentang Batik halaman 56

15
dikenal dengan istilah manca-pat 16 ini, dengan satu sebagai pusat tersebut yang
kemudian menyelipkan satu diantara empat, sehingga disekeliling pusat
tersebut menjadi berjumlah delapan. Hal ini menimbulkan pola sembilan.
Dalam kesenian Jawa, pola sembilan dapat dijumpai pada tari Bedhoyo
Ketawang 17 .

Pada dasarnya pandangan dunia Jawa bertolak dari perbedaan antara dua segi
fundamental realitas, seperti atas dan bawah serta hal-hal yang telah
disebutkan di atas. Inilah yang menjadi titik tolak dari ajaran kejawen yang
pada intinya adalah kebatinan, yaitu pengembangan kehidupan batin dan diri
yang terdalam dari seseorang. Dalam pandangan Kejawen 18 , gerak diri harus
mengalir dari luar ke dalam, dari penguasaan lahir ke pengembangan batin.
Jadi, pada hakikatnya Kejawen itu sendiri adalah menyelaraskan diri dengan
kebenaran yang lebih tinggi hingga lebur (transenden).

2.2.1 Kepercayaan dan Pandangan Hidup Masyarakat Jawa

Kepercayaan Animisme, Dinamisme dan Manaisme sudah ada sejak zaman Batu,
yaitu kepercayaan akan adanya roh, benda bertuah, kekuatan gaib, dan arwah
nenek moyang 19 . Kepercayaan ini dianut oleh sebagian besar masyarakat

16
Sistem manca-pat juga mencermunkan keunggulan pusat, namun dengan penambahan
daerah di pinggirannya yang di bagi atas 4 bagian (pat, yang artinya empat). Keempat pinggiran
tersebut berkaitan dengan salah satu mata angin.
17
Tarian keramat yang dibawakan setiap ulang tahun Sunan atau Senopati sebagai penguasa
tertinggi. Ini merupakan suatu hierogami, yaitu perkawinan sakral untuk mendapatkan
kekuatan. Dalam hal ini senopati menikah dengan Nyi Roro Kidul di Pantai Parang Tritis. Pada
awalnya tarian ini hanya boleh ditonton oleh warga keraton., namun baru beberapa tahun
terakhir ini tarian Bedhoyo ketawang dapat ditonton oleh semua orang. Dalam tarian ini
kesembilan penari wanitanya bergerak lambat mengelilingi Senopati yang duduk dengan
agungnya. Karena itu selain dianggap sebagi pola sembilan, pola ini juga merepresentasikan
tatanan kosmis dengan raja sebagai pusat semesta.
18
Kejawen adalah falsafah asli pribumi Jawa yang tak tersentuh oleh pengaruh Barat maupun
Arab
19
Hal ini merupakan indikasi nyata bahwa manusia memang membutuhkan sesuatu di luar
dirinya untuk dimintai pertolongan akan sesuatu di luar kemampuan dirinya. Dengan kata lain,
sejak zaman dahulu manusia menyadari keterbatasannya dalam menghadapi sesuatu baik dari
dalam maupun dari luar diirinya, seperti bencana alam atau kematian. Hal inilah yang memacu

16
Indonesia khususnya di jawa seperti kerajaan Majapahit. Selain kepercayaan-
kepercayaan yang telah disebutkan di atas, pada kerajaan majapahit juga
memiliki kepercayaan Kejawen yang berkembang sejak abad ke 8.

Masuknya agama Hindu da kerajaan-kerajaan Jawa memunculkan kepercayaan


akan Dewa-Dewa Polytheisme). Menurut Hasaan Shadily, masyarakat Jawa
mempercayai bahwa Dewa adalah makhluk Tuhan yang diciptakan pada awal
proses penciptaan alam semesta, yang selanjutnya ditugaskan untuk
mengendalikan kekuatan alam. Raja yang dianggap titisan dewa memiliki
kekuatan yang lebih sebagai guru bagi rakyatnya. Hal inilah yang menjadi titik
tolak kepercayaan akan adanya Raja yang mampu memerintah dunia dengan
sebaik-baiknya.

Setelah kerajaan Majapahit pecah, muncullah kerajaan Demak yang pada


akhirnya melahirkan kerajaan Pajang. Pada zaman inilah Islam mulai masuk ke
Nusantara. Dalam perkembangan selanjutnya kerajaan Mataram II di kota Gede
Yogyakarta yang menyatukan Animisme, Dinamisme, Manaisme, Dewa Raja dan
Islam untuk dijalankan di Dalem Ageng. Kerajaan ini berkembang dan pindah di
Kartasura menjadi Mataram II yang selanjutnya oleh Susuhunan Pakubuwono II
di pindah ke Surakarta dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Pada
Keraton Surakarta inilah kepercayaan Kejawen mulai berkembang kembali
hingga ke masyarakat luar Dalem Ageng.

2.2.2 Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang berlaku di Keraton kasunanan dan Kadipaten


Surakarta adalah campuran Hindu Islam. Pencampuran tersebut
dilatarbelakangi oleh sejarah berdirinya keraton, dimana kronologisnya dimulai
dari kerajaan Majapahit, Keraton Demak, Keraton Pajang dan Keraton

timbulnya penyembahan akan sesuatu yang dianggap dapat menjadi penyelamat, pelindung
sekaligus pencipta.

17
Mataram. Pengaruh tersebut membuahkan sinkretisasi antara semua
kepercayaan tersebut.

Seperti halnya kepercayaan Animisme yang beranggapan bahwa segala sesuatu


yang ada di dunia ini adalah bernyawa. Sedangkan Dinamisme adalah
kepercayaan dimana segala sesuatu yang ada di dunia memiliki kekuatan dan
daya magis. Masyarakat Kearaton Surakarta percaya bahwa selain alam raya
terdapat alam lain yang merupaka tempat kehidupan para makhluk halus yang
apabila diganggu akan marah dan melakukan kerusakan di alam raya.
Sedangkan kepercayaan pada Manaisme merupakan sistem kepercayaan akan
adanya roh jelmaan dari arwah leluhur yang semasa hidup dipercaya memiliki
kekuatan magis.

2.2.3 Kejawen sebagai Wujud Ideal Kebudayaan Masyarakat Jawa

Kata kejawen berasal dari kata Jawi. Jawi sendiri merupakan bentuk halus atau
krama dari kata Jawa. Pengertian pertama kejawen mencakup segala hal yang
berhubungan dengan pandangan hidup Jawa serta wawasan tentang Jawa.
Menurut Mulder (1996 :7), Kejawen bukanlah suatu agama namun lebih
cenderung kepada suatu etika dan gaya hidup yang berpedoman pada
pemikiran khas Jawa.

Kejawen sering pula disebut dengan istilah Ilmu Jawi, suatu ajaran tentang
cara untuk menjadi seorang manusia Jawa seutuhnya. Ajaran ini merupakan
bentuk awal dari apa yang dewasa ini disebut kebatinan, yang seperti telah kita
ketahui sebelumnya merupakan inti dari kejawen itu sendiri.

Sedangkan hakikat dari kebatinan itu sendiri terletak pada permasalahan


kedudukan serta kehidupan masyarakat di dunia melalui perspektif religius.
Manusia dinilai keberadaannya dalam konteks kosmologis, di tengah alam

18
semesta yang diyakini merupakan kancah peperangan antara dua kekuatan
untuk diselaraskan.

Kisah Bima dan Dewaruci 20 yang merupakan salah satu mitologi yang terkenal
dari Mahabarata adalah kisah-kisah yang mengungkapkan tentang pencarian jati
diri, hati nurani dan peningkatan akan pemahaman yang lebih jauh terhadap
diri sendiri 21 .

Menurut Geertz 22 , segala perilaku orang Jawa bertolak pada dua buah ajaran
kejawen, yaitu :

1. Nilai yang bertolak pada penghormatan


2. Nilai yang berkaitan dengan penampilan sosial yang rukun

Selain itu, sifat orang jawa dalam Salah satu Sikap Hidup Orang Jawa oleh De
Jong (1985: 19-20) dijelaskan sebagai berikut :

1. Narimo, adalah merasa puas dengan nasibnya dan tidak ngoyo. Percaya
bahwa Tuhan memiliki rencana sendiri untuknya
2. Rila, adalah keikhlasan hati dengan rasa bahagia dalam hal menyerahkan
segala miliknya kepada Tuhan. Keikhlasan ini didasari akan pemahaman
bahwa segala sesuatunya adalah milik Tuhan dan segala sesuatu yang
ada di dunia adalah barang pinjaman yang sewaktu-waktu akan di ambil
kembali.
3. Sabar, merupakan kelapangan dada yang membantu melewati segala
cobaan. Kesabaran diibaratkan dengan samudera yang tidak pernah
meluap meski sebanyak apapun air yang mengalirinya.

20
Salah satu tokoh perwayangan yang berasal dari mitologi Mahabarata (Hindu). Esensinya
Bima dan Dewaruci adalah orang yang sama. Keduanya merujuk pada satu karakter wayang
yang sama, dimana tokoh ini terkenal kasar dan bringasan
21
Dikutip dari Kuasa Wanita Jawa halaman 54
22
Dikutip dari tesis S2 Pujianto yang berjudul Kajian batik Keraton Surakarta halaman 92

19
Sedangkan menurut K.R.T Widiatono, terdapat lima sikap dasar yang harus
dimiliki orang Jawa. Lima sikap dasar tersebut adalah sebagai beikut :

1. Rila, keikhlasan hati untuk menyerahkan segala miliknya hanya kepada


Tuhan.
2. Narimo, artinya bersyukur atas apa yang telah dimilikinya
3. Temen, artinya menepati janji yang telah diikrarkan
4. Sabar, merupakan kekuatan untuk melalui segala cobaan.
5. Budi Luhur, yaitu keadaan dimana manusia seyogyanya selalu berusaha
mengisi hidupnya dengan melakukan kebaikan terhadap sesama 23

2.2.4 Manca-pat

Sistem manca-pat 24 jelas memegang peranan penting dalam pembentukan


mentalitas Jawa, karena berfungsi sebagai sistem klasifikasi. Pada setiap arah
mata angin sesungguhnya terkait tidak hanya kepada satu orang Dewa, namun
antara lain juga pada warna dasar, logam, cairan dan hewan 25 . Pengertian
ruang di sini, bukan hanya dalam definisi geometris, akan tetapi manusia
seutuhnya yang terbagi atas lima kategori 26 . Timur dianggap berpadanan
dengan putih, perak, santan; selatan dengan warna merah, tembaga, darah;
barat dengan warna kuning, emas dan madu; serta utara dengan warna hitam
besi dan nila. Sedangkan pusat dari ke empat penjuru angin itu merupakan
harmonisasi dari keseluruhannya. Adapun panca warna tersebut dapat
tersistemasi seperti di bawah ini :

23
Ibid halaman 94
24
Sistem yang terdiri atas lima unsur dengan satu pusat dan empat arah mata angin telah
berkembang menjadi sistem yang lebih rumit yang memperhitungkan arah mata angin tengah
diantara keempat arah mata angin tadi.
25
Dikutip dari buku Nusa Jawa : Silang Budaya yang disusun oleh Danys Lombard halaman 100
26
Kategori ini dalam perkembangannya menjadi pola sembilan

20
Utara

Barat Pusat Timur

Selatan

Hitam

Kuning Pancawarna Putih

Merah

Wage

Pon Kliwon Legi

Pahing

GAMBAR 2.3
PEMBAGIAN POLA MANCA-PAT DALAM MASYARAKAT JAWA YANG MEMPENGARUHI
KEHIDUPAN BERMASYARAKAT SECARA KESELURUHAN

21
GAMBAR 2.4
RANGKUMAN PEMBAGIAN MANCA-PAT MULAI DARI ZAMAN PRASEJARAH HINGGA MASUKNYA
ISLAM
SUMBER : TELAAH BATIK KERATON. RISTYO EKO

Dari bagan di atas tampak jelas bahwa bahkan haripun tidak merupakan
kategori otonom, melainkan terklasifikasi menjadi lima unsur, dengan hari
kliwon dianggap yang utama karena berada di tengah-tengah. Selain itu dalam
alam falsafah jawa juga dikenal nilai akan suatu angka 27 . Contohnya antara lain
3 yang mewakili api dan perempuan, 4 untuk segala sesuatu yang cair (air, laut,
hujan), 5 untuk angin, 6 untuk selera dan rasa, 7 untuk gunung dan hewan-
hewan tertentu seperti kuda, 8 untuk hewan-hewan lain seperti ular, gajah,
buaya, serta 9 untuk pintu dan dewata 28 .

Keempat warna yang mewakili empat penjuru tersebut berdasarkan penelitian


Sewan Susanto memuat falsafahnya masing-masing. Adapun falsafah yang
terkadung adalah sebagai berikut :

27
Yang merupakan dasar dari Primbon
28
Dikutip dari buku Nusa Jawa : Silang Budaya seri 3 halaman 100

22
TABEL 2.1
KLASIFIKASI PEMAKNAAN WARNA YANG MEWAKILI ARAH ANGIN MENURUT SEWAN SUSANTO
SUMBER : PUJIANTO

No. Warna Makna


1. Hitam Perlambangan unsur Bumi yang direpresentasikan dengan visualisasi
tumbuhan (baik tumbuhan sulur maupun pohon hayat), binatang
dan Meru
2. Merah Melambangkan unsur api yang digambarkan dengan ornament lidah
api (modang)
3. Kuning Melambangkan unsur air yang divisualisasikan dengan ornamen air,
hewan air serta perahu
4. Putih Melambangkan unsur angin atau udara yang digambarkan dengan
burung, mega, atau awan. Berhubungan dengan dunia atas

Sedangkan dalam buku Weavings of Power and Might the Glory of Java (1988:
51) 29 , Alit Vandhuisen menghubungkannya dengan pemaknaan sebagai berikut :

TABEL 2.2
KLASIFIKASI PEMAKNAAN WARNA YANG MEWAKILI ARAH ANGIN MENURUT ALIT VANDHUISEN
SUMBER : PUJIANTO

No. Warna Makna


1. Hitam Menunjukkan arah Utara yang merujuk pada kematian
2. Merah Menunjukkan arah Selatan yang merepresentasikan kedewasaan dan
kecermatan
3. Kuning Merujuk pada arah Barat yang berarti menuju kerusakan
4. Putih Menunjukkan arah Timur yang merupakan awal dari kebangkitan

Selain itu terdapat pula tabel pemaknaan angka-angka yang merujuk pada
pembagian arah mata angin dan warna berdasarkan pembagian pola empat
dalam alam pemikiran Jawa. Tabel tersebut dilampirkan sebagai berikut :
TABEL 2.3
PEMAKNAAN ANGKA MENURUT KEPERCAYAAN JAWA
SUMBER : TELAAH BATIK KERATON. RISTYO EKO

No. Angka Pemaknaan


1. Tiga Api, Perempuan
2. Empat Segala sesuatu yang cair (air, laut, hujan)
3. Lima Angin
4. Enam Selera dan rasa
5. Tujuh Gunung dan hewan-hewan tertentu seperti kuda
6. Delapan Hewan-hewan tertentu seperti gajah, ular, buaya
7. Sembilan Kesempurnaan, Dewata
8. Nol Kembali ke asal mula

29
Di intisarikan dari tesis S2 Pujianto yang berjudul Kajian Batik Keraton Surakarta halaman
225

23
Pola manca-pat ini dapat dicermati dalam beberapa ungkapan budaya sosial
Jawa, seperti tata letak dan tata karma susunan Singasana Raja dan para
pengiringnya, arah dan sistem peletakan rumah atau perkampungan hingga
hiasan ornamentik diberbagai aplikasi. Seperti tata peletakan Keraton yang
dipercaya berada pada titik pusat diantara empat penjuru yang
mengelilinginya. Sebelah Utara terdapat Gunung Merapi yang dikuasai oleh
Kanjeng 30 Ratu Sekar Kedathon, sebelah Selatan diduduki oleh Laut Selatan
dengan penguasanya Nyi Roro Kidul, sebelah Timur terdapat Gunung Lawu di
bawah kekuasaan Kanjeng Sunan Lawu terakhir di sebelah Barat terdapat Kiai
Sapu Jagad Khayangan dengan pemimpin Dlepuh sang Hyang Harmoni.

Gunung Merapi
Kanjeng Ratu Sekar
Kedathon

Kiai Sapu Jagad Khayangan Gunung Lawu


Dlepuh sang Hyang Harmoni Keraton Kanjeng Sunan Lawu

Laut Selatan
Nyi Roro Kidul

GAMBAR 2.5
MITOLOGI KERATON SEBAGAI PUSAT
SUMBER : HARTONO, 1999: 63

2.3 Masyarakat Pendukung Kebudayaan Surakarta

Secara geografis, Jawa tengah, khususnya Surakarta (Solo) merupakan daerah


dengan masyarakat pendukungnya adalah masyarakat persawahan. Kategori

30
Berasal dari kata ‘kang’, yang merupakan sebutan kepada Raja

24
ketiga 31 produk budaya primordial ini menempati dataran-dataran rendah yang
subur oleh banyaknya sungai-sungai dan gunung berapi. Dalam pandangan
hidup, pandangan masyarakat sawah mirip dengan masyarakat ladang karena
keduanya merupakan masyarakat yang produktif. Keduanya menghasilkan
pangannya sendiri, tidak lagi bergantung pada belas-kasihan alam. Tetapi tetap
saja ada perbedaan mendasar diantara kedua masyarakat tersebut. Ladang
dapat dikerjakan oleh sekelompok kecil manusia, dan memang harus dalam
jumlah terbatas karena hambatan perpindahannya yang periodik. Sedangkan
sawah cenderung produksi padi masal. Persawahan membutuhkan pembukaan
hutan (babad) yang harus dikerjakan beramai-ramai. Sawah membutuhkan
irigasi yang juga harus dikerjakan secara masal pula. Karena itulah orang sawah
cenderung ekspansif mengingat kebutuhan mereka akan lahan persawahan yang
luas. Kecenderungan ini mengantarkan masyarakat sawah pada pribadi yang
terbuka dan adaptif secara umum, karena dalam pengolahannya membutuhkan
sumber daya manusia yang tidak sedikit 32 . Mereka tidak lagi mengenal batas
antara orang ‘dalam’ dan orang ‘luar’. Semua yang bersedia masuk dan
membantu masyarakat sawah otomatis menjadi bagian dari masyarakat sawah.
Kecenderungan mereka dalam hal ekspansif juga menyebabkan mereka
terampil dalam pengelolaan organisasi besar. Luasnya tanah pertanian dan
banyaknya tenaga penduduk tani yang bekerja didalamnya menyebabkan
munculnya sifat sentralisasi organisasi kekuasaan. Pengaturan sawah inilah yang
mendesak mereka untuk memilih suatu pusat kekuasaan tunggal yang kuat dan
adikuasa 33 .

31
Masyarakat Indonesia lama memandang dunia ini dengan pandangan Kosmosentris dan
biosentris, bukannya antroposentris (terpusat pada manusianya) seperti halnya pandangan
manusia modern. Dalam pandangan Indonesia lama, manusia tidak mandiri melainkan
bergantung pada dunia kosmos dan spiritual. Pandangan primitif seperti ini masih membudaya
hingga abad ke-19 di Indonesia, bahkan hingga saat ini masih ada di beberapa tempat di
Indonesia.Secara umum, masyarakat Indonesia terbagi menjadi 4 kategori yang didasarkan pada
keadaan alam tempat tinggal. Seperti yang diketahui bahwa alam Indonesia terdiri dari dataran
rendah, dataran tinggi, pesisir pantai dan pedalaman hutan. Empat keadaan alam yang berbeda
itu membentuk masyarakat yang menempati wilayah masing-masing agar mampu bertahan. Hal
ini mungkin didasarkan pada kemampuan adaptif manusia terhadap keadaan alam sekitarnya.
32
Hal inilah yang mendasari peribahasa Banyak anak banyak rejeki
33
Hal tersebut merupakan indikasi umum yang terjadi pada setiap masyarakat yang mengalami
‘peradaban hidrolik’, seperti Mesir, Cina, India Utara dan juga Mesopotamia.

25
Masyarakat sawah tidak lagi hidup dengan menggantungkan diri kepada alam,
seperti halnya masyarakat peramu atau peladang. Sebaliknya, masyarakat
sawah adalah masyarakat yang berhasil menaklukan dan menguasai alam. Hal
ini dikarenakan semakin banyak lahan yang dibuka untuk persawahan, semakin
besarlah produksi mereka. Produksi yang melimpah ini dapat diperjualbelikan
kepada masyarakat maritim atau ladang. Kegiatan ini memungkinkan terjadinya
feodalime yang semakin mengakar. Akibat lebih jauh mengantarkan mereka
pada keadaan dimana diterapkannya hierarki kekuasaan yang memerlukan
pengaturan yang tidak mudah. Dalam perkembangan selanjutnya, kebutuhan
akan literasi sangat diperlukan, sehingga masyarakat sawah tumbuh menjadi
masyarakat yang literer. Karena itulah dalam periode ini juga bermunculan
syair-syair, pantun, babad 34 dan bentuk seni sastra Indonesia Lama lainnya.

Selain itu, sesuai dengan konsep pengaturannya yang bersifat sentralisasi,


konsep ketuhanan mereka juga mengenal pemahaman yang absolut. Ketuhanan
yang Maha esa sesuai dengan kenyataan hidup sehari-hari mereka yang diatur
oleh sebuah kekuasaan pusat yang tunggal dan adikuasa. Paham dewa-rajapun
mudah berkembang dan diterima oleh masyarakat ini.

Dalam alam pemahaman mereka, lelaki diletakkan dalam dunia atas,


sedangkan perempuan berada di dunia bawah. Hal ini juga merupakan salah
satu perbedaan mendasar antara masyarakat ladang dan masyarakat sawah,
dimana dalam masyarakat ladang perempuan merupakan representasi dari
dunia atas. Hal ini dapat dipahami melalui peran perempuan dan lelaki yang
berbeda di antara dua masyakat tersebut. Dalam masyarakat ladang lebih
banyak melibatkan jernih payah kaum perempuan sehingga dominasi
perempuan lebih besar. Dalam masyarakat ladang, lelaki hanya berfungsi

34
Babad berarti menebang bersih hutan. Sebuah istilah umum untuk menyebut naskah tertulis
(biasanya berupa puisi) sejarah Jawa tradisional

26
sebagai ‘pelengkap’. Karena itulah muncul simbolisasi Dewi sri 35 sebagai dewi
kesuburan yang digambarkan dengan sosok perempuan berpostur tubuh yang
sesuai dengan idealisasi perempuan pada masa itu. Hal ini terjadi berkebalikan
dengan masyarakat sawah yang peran lelaki lebih dominan, sehingga kedudukan
mereka lebih terhormat. Hal inilah yang menyebabkan kecenderungan
paternalistik yang kuat di dalam sistem masyarakat sawah. Selanjutnya dalam
kebutuhan akan pemusatan kekuasaan tersebut, tampillah keraton 36 sebagai
suatu sistem pemerintahan yang mengatur secara absolut 37 .

2.3.1 Keraton Surakarta

Ki Pamanahan merupakan seorang panglima khusus Kerajaan Pajang yang


tekun, berbakat dan rajin melatih diri 38 . Selain itu berkat jasa-jasanya kepada
kerajaan Pajang, maka beliau dihadiahkan tanah bumi Mataram seluas 800
karya (satu karya : 40.000 m2). Tanah yang masih hutan belantara tersebut
dibuka (babad) untuk dibangun sebuah padepokan 39 sebagai tempat untuk
meningkatkan Kawuh kasampurnaan 40 , tempat tinggal keluarga dan
pengikutnya.

Bumi Mataram yang amat subur dengan air yang melimpah menyebabkan
banyaknya pendatang baru yang menetap untuk mengolah sawah. Hal ini

35
Sekalipun kata Sri berasal dari India, namun mitos ini terdapat di seluruh Nusantara, sampai
ke pulau-pulau yang sama sekali tidak tersentuh kebudayaan India. Meskipun memiliki versi
yang cukup variatif, namun secara garis besar sama, yaitu sri telah dikurbankan, kemudian di
seluruh tubuhnya keluarlah tanaman-tanaman pangan. Pemujaan terhadap dewi sri hingga kini
masih dilakukan oleh para petani di desa untuk mendapatkan hasil panen yang lebih baik.
36
Berasal dari akar kata ‘ratu’ (Raja atau Ratu). Karaton merujuk pada ‘tempat kedudukan
seorang Raja’, yakni istana, kuasa raja, kerajaan. Kata keraton yang berasal dari kata ratu
yang berarti pempin perempuan ini menunjukkan pentingnya posisi perempuan dalam
masyarakat ini. Hal tersebut kemungkinan besar merupakan manifestasi masyarakat ladang
pola tiga yang berkembang menjadi pola lima dan pola sembilan.
37
Tulisan ini sebagian besar diintisarikan dari tulisan Jacob Soemardjo dalam Moden Miring
halaman 31-50
38
Maksud dari melatih diri di sini adalah suatu upaya yang dilakukan berdasarkan tata aturan
tertentu untuk menjadi manusia ‘Jawa’ seutuhnya, yang diatur dalam Kejawen.
39
Sejenis tempat tinggal yang multi fungsi karena memiliki sarana dan prasarana yang
memadai
40
Salah satu jalan untuk menjadi manusia Jawa seutuhnya.

27
lambat laun menjadikan daerah ini sebagai desa dengan sistem pemerintahan
yang juga sentralisasi. Mataram pun selanjutnya terus berkembang dalam
kepemimpinan Ki Pamenahan yang mendapat gelar Ki Ageng Mataram dan
dibantu oleh putera sulungnya, Bagus Danar yang merupakan putera angkat dari
Ki Ageng Mataram. Bagus Danarpun memiliki gelar tersendiri, yaitu Raden
Ngabei Sutowidjojo yang berperan sebagai panglima khusus. Setelah Ki Ageng
Mataram wafat, Raden Ngabei Sutowidjojo naik menggantikan posisi tertinggi di
Mataram dengan gelar Senopati Ing Ngalogo.

Peristiwa ini merupakan penanda berakhirnya keraton Pajang, karena dengan


bergantinya tampuk kepemimpinan kepada Senopati Ing Ngalogo pada tahun
1586, berpindahlah keraton, tidak lagi di Pajang melainkan di daerah Kuta
Gede yang dikemudian hari dikenal sebagai Keraton Mataram.

Adapun raja-raja Mataram adalah sebagai berikut :

• Panembahan 41 Senopati Ing Ngalogo (1586-1601)


• Susuhunan 42 Hadi prabu Hanjokrowati, putera Panembahan Senopati Ing
Ngalogo (1601-1613)
• Sultan 43 Agung Prabu Hanjokrokusumo (1613-1645)
• Susuhunan Hamangkurat I (1646-1677)

Dibawah pimpinan Susuhunan Hamangkurat I terjadi pemberontakan dengan


Trunodjojo sebagai pimpinannya. Peristiwa ini mengakibatkan kekakalahan
Susuhunan Hamangkurat I, sehingga beliau dan pasukannya lari meninggalkan

41
Kata Panembahan secara harafiah berarti ‘dia yang pantas menerima sembah’ (tindak
kepatuhan). Gelar kerajaan Jawa yang sangat tinggi yang sejak abad ke 19 dikhususkan bagi
pangeran senior yang terkemuka
42
Susuhunan berarti ‘Dia yang dijunjung’ yang merupakan gelar kerajaan atau keagamaan.
Gelar ini sejak abad ke-18 hanya diperuntukkan bagi penguasa tertinggi Mataram, dan sejak
tahun 1755 hanya digunakan untuk penguasa keraton Surakarta (Solo). Pada awalnya gelar ini
diperuntukkan untuk hierarki wali Islam
43
Gelar untuk petinggi kerajaan yang merupakan pengaruh dari Arab

28
keraton. Sri baginda meninggal di perjalanan dan dikebumikan di daerah
Tegalwangi, sebelah selatan dari kota Tegal.

Sebelum meninggal dia menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Adipati


Anom sebagai Susuhunan Amangkurat II. Dengan bantuan Belanda dibawah
pimpinan Cornelis Speelman 44 , Susuhunan Amangkurat II berhasil menyingkirkan
Trunodjojo. Selanjutnya Susuhunan Amangkurat II memindahkan keraton dari
Mataram ke Wanakarta karena keraton Mataram mengalami kerusakan dan
kerugian yang besar sebagai akibat dari perang perebutan kekuasaan tersebut.
Dikemudian hari Wanakarta lebih dikenal sebagai Kartasura.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Saparto 45 , Kartasura dalam


pemerintahannya dipimpin oleh lima raja. Kelima raja tersebut adalah :

• Susuhunan Hamangkurat II, putera dari Susuhunan Hamangkurat I (1677-


1703)
• Susuhunan Hamangkurat III, putera dari Susuhunan Hamangkurat II (1703-
1704)
• Susuhunan Pakubuwono I, putera dari Susuhunan Hamangkurat I (1704-
1719)
• Susuhunan Hamangkurat IV, putera dari Susuhunan Pakubuwono I (1719-
1727)
• Susuhunan Pakubuwono II, putera dari Susuhunan Hamangkurat IV (1727-
1745).

44
Pimpinan kolonial Belanda yang menduduki wilayah Jawa. Selanjutnya, dengan adanya
campur tangan Belanda dalam upaya perebutan tanah Mataram kembali, menyebabkan Belanda
dapat menjajah Indonesia. Dari hal ini dapat dicermati bahwa masuknya Belanda ke Indonesia
dengan merangkul para petinggi di daerah ini terlebih dahulu untuk selanjutnya menjadikan
mereka bonekanya.
45
Diambil dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun
1983 halaman 23

29
Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono II tercetus sebuah perjanjian
Giyanti. Perjanjian ini diprakarsai oleh pihak Belanda. Menurut Moh. Dalyono
(1939 :8), pada tanggal 13 Februari 1755 terjadi pemisahan kerajaan Mataram
sebagai hasil dari perjanjian Giyanti di Gunung Lawu.

Isi perjanjian tersebut menerangkan bahwa di dalam keraton Mataram terbagi


dua wilayah kekuasaan. Hal ini dilakukan untuk mengangkat Mangkubumi
sebagai raja dari setengah wilayah yang dibagi. Selanjutnya Mangkubumi
dengan gelar Hamengkubuwono membangun keraton di daerah yang
selanjutnya dikenal sebagai Yogyakarta (Dalyono :8) 46 .

Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Mataram selanjutnya terbagi
menjadi dua wilayah, yaitu Yogyakarta dengan sistem pemerintahan Kasultanan
di bawah pimpinan Mangkubumi (adik Susuhunan Pakubuwono II) dan Surakarta
dengan sistem Kasunanan yang dipimpin oleh Susuhunan Pakubuwono II.

Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat beberapa perbedaan mendasar


antara kedua daerah ini. Hal tersebut dapat dicermati melalui perbedaan
antara susunan motif parang di daerah Surakarta dengan arah kiri atas ke kanan
bawah, sedangkan di daerah Yogyakarta arahnya adalah sebaliknya, yaitu dari
kanan atas ke kiri bawah 47 .

2.3.2 Pola Larangan

Keraton menempatkan dirinya sebagai suatu pusat tertinggi terhadap segala


sesuatu di tanah Jawa dan sungguh-sungguh mengaplikasikannya secara total.

46
Ibid halaman 25
47
Perbedaan arah diagonal motif parang tersebut menjadi salah satu penanda bahwa di
Yogyakarta lebih kental pengaruh dari arab mengingat arah parang bergerak dari kanan atas ke
kiri bawah. Hal ini seperti arah menulis tulisan arab dari arah kanan ke kiri. Sedangkan di
Surakarta pengaruh Hindu Buddha lebih dominant. Hal ini tampak dari arah parang dari kiri atas
ke kanan bawah, juga dari motif-motif yang ditampilkan banyak mendapat pengaruh dari India,
seperti motif Sawat atau Meru

30
Salah satu upaya untuk mengukuhkan hierarki tersebut dengan cara
mengeluarkan pola larangan dengan peraturan yang tegas mengikat dari
keraton. Pola larangan ini sendiri adalah pola yang hanya boleh dikenakan oleh
Raja dan kerabatnya, sehingga yang bukan ningrat atau priyayi 48 tidak
diperkenankan menggunakannya.

Tata aturan keraton yang merupakan penghalusan dalam kehidupan sehari-hari


di keraton tercermin dalam Dasa sila Etika Keraton, seperti Ngadi saliro, Ngadi
Busono, Ngadi Jiwo, Ngadi Logo, Wisastro, Udo Negoro, Tata Krama, Tata
Cara, Susila dan Utama. Dalam prakteknya keseluruhan sila tersebut memadu
menjadi satu sebagai sikap penghalusan.

Aturan-aturan yang melarang penggunaan corak-corak tertentu didasari atas


pertimbangan feodalistik, seperti yang dikatakan Phillip Kitley (1987:56)
sebagai berikut :

“Raja mengemukakan bahwa batik telah kehilangan sifat-sifat ekslusifnya yang dahulu, karena
kini dibuat oleh pengrajin Jawa. Pangkat atau kedudukan tidak lagi dihubungkan dengan
praktik itu sendiri, dan rumah tangga kerajaan terpaksa membuat rancangan pola yang
dikerjakan secara teliti dan terperinci untuk menunjukkan para pemakai batik dari keluarga
kerajaan dan membedakan mereka dari pemakai yang lain”

Salah satu aturan yang melarang pemakaian corak batik tertentu dikeluarkan
oleh sunan Pakubuwono III (1749-1788), pada tahun 1769 yang ditulis oleh
Sudjoko sebagi berikut :

“Anandene kang arupa jajarit kang kalebu ing larangan ingsun : Batik Sawat
lan batik Parang rusak, batik Cumangkiri kang calacap, Modang, Bangun Tulak,
Lenga Teleng, Dargem lan tumpal.Andene batik cumangkirang ingkang
acalacap Lung-lungan atawa Kekembangan, ingkang ingsun kawenangken
anganggoha papatih-ingsun, lan Sentaningsunkawulaningsun Wedana”

48
Berasal dari kata “Para Yayi” (Para adik sang Raja). Dalam penggunaannya, istilah ini
merujuk pada kelompok elit administratif dan bangsawan pada suatu negara

31
“Adapun rupa jurit dalam larangan saya : Batik sawat dan Batik Parang Rusak,
batik cumangkiri yang berupa motif modang, bangun tulak, lenga teleng,
daragem dan tumpal. Adapun batik cumangkirang yang berupa (motif) lung-
lungan atau kekembangan (buketan), saya izinkan terpakai oleh Patih-Patih
saya dan keluarga bangsawan, abdi dalem Wedana”

Masa awal pemberlakuan peraturan tentang pola larangan yang tercatat adalah
tahun 1769, 1784, dan 1790 melalui maklumat Solo 49 . Pola-pola larangan
tersebut diantaranya adalah Sawat, Parang Rusak, Cemungkiran dan Udan Liris.
Pola-pola tersebut dituangkan dalam tata tertib sebagai berikut 50 :

• Penguasa, Putera mahkota dan Permaisuri


o Semua jenis pola Parang Rusak
o Semen Gurdha
o Sawat
o Sembagen Huk
o Modang
o Bangun Tulang
• Khusus anggota keuarga yang bergelar Pangeran serta keturunan
penguasa
o Semua pola semen, baik Lar, sawat atau mirong
o Udan Liris
o Buketan
o Lung-lungan
• Keluarga jauh yang bergelar Raden atau Raden Mas
o Semua pola semen tanpa bentuk sayap
o Kawung
o Udan Liris

49
Dikutip dari Indonesia Indah buku ke-8 tentang Batik Halaman 62
50
Diambil dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun
1983 halaman 63

32
BAB III
DEFINISI, KLASIFIKASI DAN FUNGSI BATIK

3.1 Pengertian Batik

Berdasarkan sumber literatur Indonesia Indah : Batik , jika ditinjau dari proses
pengerjaan, pengertian kata benda dan penggunaannya, batik bisa juga disebut
sebagai kain bercorak. Dalam bahasa Jawa sendiripun, kata batik berasal dari
akar kata ‘tik’, yang mempunyai korelasi pada sesuatu hal yang berhubungan
dengan pekerjaan yang halus, lembut, detil dan memiliki unsur keindahan
secara visual 51 . Secara etimologis, batik berarti menitikkan malam dengan
canting sehingga membentuk corak yang terdiri atas titik dan garis. Sedangkan
jika ditinjau sebagai kata benda, batik merupakan hasil penggambaran corak
diatas kain dengan menggunakan canting sebagai alat menggambar dan malam
sebagai zat perintangnya. Dengan kata lain, membatik merupakan penerapan
corak di atas kain melalui proses celup rintang warna dengan malam sebagai
medium perintang.

Sebenarnya, selain batik adapula beberapa jenis kain yang diproses dengan
teknik celup rintang warna di Indonesia. Meskipun begitu, hasilnya tidak
sehalus, serapih dan sedetail batik. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan
peralatan, tingkat kerumitan dan kualitas bahan yang dipakai 52 . Contohnya
dalam pembuatan kain Simbut yang merupakan kain khas Baduy, suku
pedalaman yang bertempat tinggal di sebelah selatan Banten. Bahan perintang
pengganti malam dalam pembuatan kain ini adalah bubur ketan atau biasa
disebut darih. Sedangkan untuk melukis kain dengan bahan perintang
menggunakan buluh kecil atau sabut kelapa untuk mewarnai kain dengan

51
Diambil dari Karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun
1983 halaman 143
52
Lihat Indonesia Indah buku ke 8 “Batik” halaman 15

33
bidang yang luas (blocking). Corak yang muncul dalam visualisasi kain simbut
pun sangatlah sederhana dan terbatas, sesuai dengan peralatan yang
digunakan. Bentuk-bentuk geomentris dasar seperti lingkaran, segitiga dan titik
yang mendominasi ikonografinya. Zat pewarna yang lazim dipakai juga sebatas
hitam, biru tua dan merah mengkudu, yaitu zat pewarna alami yang dapat
diperoleh dilingkungan sekitar.

3.2 Bahan Baku Tekstil dalam Batik

Bahan yang paling tepat untuk pembuatan batik adalah kain yang terbuat dari
serat alami seperti kapas, sutera atau rayon. Sedangkan penggunaan katun
sebagai bahan utama batik dimulai sekitar abad ke 17. pada masa berikutnya
dipergunakan pula kain mori dari Belanda. Kain mori kualitas terbaik adalah
primissima, yang menengah adalah prima, mori biru untuk batik kasar dan yang
terendah adalah belacu 53 . Namun dalam perkembangannya, batik dapat
diaplikasikan pada kain wol atau sutera.

Dalam penggunaannya, kain mori digunakan sesuai panjangnya kain yang


diperlukan. Pengukuran panjangnya mori tidak mengikuti standar yang pasti
seperti halnya jika menggunakan meteran, namun lebih mengacu pada sistem
perhitungan tradisional. Ukuran tradisional tersebut dinamakan kacu. Kacu
adalah sebutan untuk saputangan yang berbentuk bujur sangkar. Perhitungan
sekacu adalah ukuran persegi dari kain mori yang diperoleh dari melipat ujung
lebar kain secara diagonal ke titik sisi yang penjang. Dalam sistem pengukuran
seperti ini ukuran panjang sekacu sangat bergantung pada lebarnya kain.
Karena itulah ukuran sekacu sangat relatif.

Sebelum dibatik, kain mori sebelumnya harus diolah terlebih dahulu. Proses
pengolahan mori sebelum dibatik sangat menentukan hasil akhir dari batik itu
sendiri. Pertama-tama ujung kain mori diplipit atau biasa disebut di neci.
53
Ibid halaman 17

34
Tujuannya agar benang pakan tidak terurai. Benang pakan adalah benang yang
melintang diagonal pada tenunan kain. Setelah diplipit kemudian di cuci
dengan air tawar hingga bersih. Tujuannya agar tidak ada kotoran yang berada
disela-sela kain sehingga penyerapan lilin rintang dapat maksimal. Untuk
daerah Blora, kain yang selesai dicuci bersih kemudian direbus dengan wantu.
Wantu adalah air rebusan yang di bagian dasarnya ditutupi dengan daun
bambu, daun papaya atau merang. Gunanya untuk mencegah hangus atau
gosongnya kain yang direbus. Setelah di wantu, kain baru dibilas akhir
kemudian dijemur. Tetapi dalam pembuatan batik Yogyakarta dan Surakarta,
proses pembersihan mori tidak melewati proses wantu, melainkan langsung
direbus 54 .

Setelah kering, mori di kanji. Biasanya kanji dibuat dari beras ketan yang
sebelumnya ditumbuk hingga menjadi bubuk. Selesai di kanji kain mori menjadi
mengerut dan kaku. Karena itulah dalam proses selanjutnya kain mori tersebut
diembun-embunkan selama beberapa hari. Setelah mori lembab, mori
kemudian dikemplong untuk melemaskan benang sehingga mempermudah
penyerapan malam. Cara mengemplong adalah memukul kain mori dengan cara
tertentu pada bagian tertentu pula.

Dalam perkembangan selanjutnya, proses penghilangan kanji pada mori juga


dapat dilakukan dengan menggunakan larutan asam, yaitu dengan
menggunakan larutan asam sulfat (H2SO3) atau asam klorida (HCL). Namun
dalam penerapan proses ini kain mori ada kemungkinan mengalami kerusakan
jika larutan asam terlalu pekat atau perendaman terlalu lama 55 .

54
Lihat Batik Klasik halaman 10
55
Lihat Indonesia Indah buku ke 8 “Batik” halaman 21

35
3.3 Peralatan yang digunakan dalam Membatik

Dalam membatik dibutuhkan beberapa peralatan khusus agar mencapai hasil


yang halus dan detail. Adapun peralatan yang dipergunakan adalah sebagai
berikut :

3.3.1 Canting

Canting biasanya terbuat dari tembaga ringan, mudah dilenturkan, tipis namun
kuat, memiliki ukuran dan jumlah cucuk (ujung canting yang mengalirkan
malam) bervariasi dan diletakkan pada gagang pembuluh bambu yang
ramping 56 . Menurut fungsinya, canting terbagi menjadi dua macam :

a. Canting Reng-rengan
Reng-rengan adalah batikan pertama kali yang membentuk pola dasar.
Biasa disebut kerangka. Untuk tahap ini biasanya cucuk canting
berukuran sedang.
b. Canting Isen
Canting Isen ialah canting untuk membatik isi bidang secara detail dan
halus.

Sedangkan menurut ukurannya, canting dapat dibedakan menjadi canting


bercucuk kecil, sedang dan besar 57 . Klasifikasi canting brdasarkan jumlah cucuk
adalah sebagai berikut :

56
Lihat Batik Klasik halaman 5
57
Ibid halaman 7

36
TABEL 3.1
KLASIFIKASI CANTING TULIS BERDASARKAN JUMLAH CUCUK
SUMBER : BATIK KLASIK, HAMZURI

No. Nama Keterangan


1. Canting Cecekan Canting bercucuk satu. Biasa dipergunakan untuk
membuat titik-titik kecil atau garis panjang
2. Canting Loron Loro berasal dari kata Loro yang berarti dua. Canting
bercucuk dua ini biasa digunakan untuk membentuk
garis rangkap
3. Canting Telon Talon berasal dari kata Telu yang berarti tiga. Biasa
digunakan untuk susunan titik berbentuk segitiga.
4. Canting Prapatan Prapatan berasal dari kata papat yang berarti empat.
Biasa digunakan untuk mebuat titik yang membentuk
persegi.
5. Canting Liman Liman berasal dari kata lima. Digunakan untuk membuat
bentuk persegi dengan satu titik di tengahnya.
6. Canting Byok Canting yang bercucuk tuhuh buah. Canting ini biasa
dipergunakan untuk membuat lingkaran-lingkaran kecil
dengan titik.
7. Canting Galaran Galaran berasal dari kata Galar yang berarti suatu alas
ridur yang terbuat dari bamboo yang dicacah membujur.
Biasa berjumlah genap.

Selain canting cap yang bervariasi untuk menghasilkan batik cap. Adapula
canting cap untuk menghasilkan batik cap. Pada visualisasi akhir batik cap
biasanya kurang detail, karena sulitnya membuat cecek yang halus sehingga
jika kadar malamnya tidak pas dengan panas yang juga harus cukup, titik yang
satu dengan yang lain sehingga mengaburkan detail.

GAMBAR 3.1
SALAH SATU CONTOH CANTING CAP
SUMBER : DOKUMENTASI PENULIS

37
3.3.2 Malam

Pemalaman adalah proses penggambaran corak dengan prinsip negatif diatas


kain dengan menggunakan malam cair dengan canting sebagai alatnya 58 . Proses
ini didahului dengan pemolaan. Malam yang dipakai sebagai perintang warna
berasal dari sarang lebah. Daerah penghasil sarang lebah antara lain Sumbawa,
Timor, Sumba dan Palembang. Pada awal abad ke-19 ketika penyebaran batik
mulai meluas, Palembang sempat mengirim lilin lebah ke Pulau Jawa. Namun
hal ini dianggap terlalu mahal karena pembudidayaan sarang lebah merupakan
pekerjaan yang tidak mudah dan memakan waktu yang tidak sedikit 59 .

TABEL 3.2
JENIS-JENIS MALAM YANG DIGUNAKAN DALAM MEMBATIK BESERTA KEGUNAANNYA
SUMBER ; BATIK KLASIK, HAMZURI

No. Jenis malam Keterangan


1. Malam tawon Dari sarang lebah (Tolo Tawon)
2. Malam Klenceng Dari sarang lebah klenceng
3. Malam Timur Asal bahan belum terindentifikasi, namun merupakan jenis terbaik
4. Malam putih minyak latung yang diproduksi massal
5. Malam Songkal Terbuat dari minyak Latung yang diproduksi massal
5, Keplak dan Digunakan sebagai bahan campuran
Gandarukem
6. Parafin Berasal dari munyak bumi, bersifat mudah retak sehingga biasa
digunakan sebagai campuran atau sebagai isen latar untuk kesan
retakan yang halus

Beberapa jenis malam batik lainnya adalah gondorukem yang berasal dari getah
pohon Pinus merkusi, damar mata kucing yang berasal dari Sorea Spec dan
parafin. Sedangkan parafin sendiri berasal dari minyak bumi, bersifat getas dan
mudah retak. Karena sifat inilah, penggunaan parafin dalam batik meskipun
kurang baik sebagai malam, namun dapat memberikan efek retak yang

58
Prinsip dasar ini mirip dengan prinsip dasar cukil kayu pada Seni Grafis, dimana bagian yang
tertoreh adalah bagian yang berwarna putih. Dalam teknik pencelupan warna bertingkat juga
mengingatkan kita pada teknik pengasaman etsa dimana lamanya perendaman dalam larutan
asam bergantung pada tingkat kepekatan warna yang ingin dihasilkan
59
Ibid halaman 7

38
memperkaya khasanah visual dari batik itu sendiri. Parafin sendiri dapat
digunakan sebagai bahan campuran pada malam.

Berbagai malam yang telah disebutkan diatas digunakan menurut ramuan, sifat
dan kegunaan tertentu. Beberapa contohnya Malam Klowongan. Malam ini
digunakan untuk membuat garis-garis klowongan atau garis pola. Ada juga
malam Tembokan, yaitu malam yang digunakan untuk menutupi bidang pada
pola. Berdaya lekat kuat pada kain, sangat peka panas, karena sangat mudah
mencair dan mengering.

3.3.3 Pewarna Kain

Pada batik tradisional, pewarna yang digunakan adalah pewarna alami.


Contohnya penggunaan warna coklat dari pohon tingi, warna biru dari tarum,
akar pohon mengkudu yang mengeluarkan warna merah atau kunyit yang
memunculkan warna kuning. Warna-warna batik keraton biasanya dihiasi
dengan warna-warna tanah seperti coklat, hitan, krem, putih atau bitu tua.
Sedangkan warna cerah seperti merah atau kuning lebih banyak digunakan
dalam pembuatan batik pesisir 60 .

Sekitar akhir abad ke-19 menyusul penemuan zat pewarna buatan sebagai
pengaruh dari pedagang Cina yang menjual batik namun berusaha mencari jenis
pewarna baru yang efisien, murah, tahan sinar matahari dan variatif. Zat
pewarna yang popular dikalangan batik saat itu adalah Naphtol dan Indigosol.

Secara kimiawi, naphtol merupakan persenyawaan phenolik yang diperoleh


dengan menggantikan satu atau lebih Hidrogen Napthalen dengan gugus
pencelupan gugus hidroksil. Sifat lain dari zat kimia ini adalah tidak dapat larut

60
Lihat Indonesia Indah buku ke 8 “Batik” halaman 27. Warna cerah merupakan pengaruh kuat
dari bangsa China atau Arab yang bersinkretitasi dengan budaya setempat, mengingat
kefleksibelan masyarakat maritim terhadap perubahan dan sesuatu hal yang baru.

39
dalam air, asam atau basa encer sekalipun dipanasi. Akan tetapi cat jenis ini
tidak tahan terhadap gosokan. Warna-warna yang mampu dihasilkan oleh
naphtol hampir melingkupi seluruh spektrum warna 61 .

Jenis-jenis naphtol yang banyak digunakan adalah AS, ASBO, ASLB, ASOL, ASG,
ASBS dan ASGR. Kesemua jenis naphtol ini dapat dibangkitkan dengan garam
diazo. Apabila dibangkitkan dengan garam jenis lain menghasilkan warna yang
berbeda pula. Namun, kelemahan dari pewarna naphtol ialah dia tidak dapat
menghasilkan warna-warna muda. Bila hal ini dipaksakan dengan cara
mengurangi kadar naphtol pada takaran larutan yang seharusnya maka hasilnya
akan tidak merata dan kurang cemerlang 62 .

TABEL 3.3
KLASIFIKASI PENERAPAN WARNA DALAM BATIK
SUMBER : INDONESIA INDAH SERI 8 TENTANG BATIK

No. Nama Penghasil Jenis warna Penggunaan


Warna pada Serat
1. Nila (Indigofera Tinctoria L) daun Biru tarum Sutera, kapas
2. Mengkudu (Morinda Citrifolia L) Kulit akar Merah, merah Sutera, kapas
coklat
3. Kunir (Curcuma), Kunyit (Longa L) Bubuk, akar Kuning Sutera, kapas
mentah
4. Soga Tingi (Ceriops Candolleana kulit Merah Sutera, kapas
Arn)
5. Soga Tegeran (Cudrania Javanensis) kayu Kuning Sutera, kapas

6. Soga (Peltoporum Ferrugineium) Kulit jambal Merah coklat Sutera, kapas


7. Soga Jawa (Caesalpina Sappan L) kayu Merah Sutera, kapas

8. Soga Kenet, Soga Tekik Kulit, kulit Merah Sutera, kapas


Coklat

Sebenarnya penggunaan pewarnaan alami pada kain batik memiliki filosofi tersendiri.
Proses pewarnaan dengan pewarna alami (pembabaran) yang harus dilakukan berulang
kali agar menghasilkan warna yang perlahan-lahan naik bukannya tanpa tujuan. Selain
agar menghasilkan warna yang lembut, dengan peningkatan warna yang berubah

61
Diambil dari buku Panduan Workshop Batik yang diselenggarakan oleh PSTK-ITB (Perkumpulan
Seni tari dan Karawitan) dan Sanisen Batik pada tanggal 18-19 Maret 2006
62
Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 13

40
pelan-pelan bukannya warna keras yang instan, proses ini mengisyaratkan harmoni dan
keseimbangan. Dari hal tersebut, tampak bahwa dalam membatik bukan hanya
menghargai hasil akhir yang tervisualisasikan, namun juga proses dan ritual selam
proses pengerjaannya 63 .

3.3.4 Lain-lain

Adapun beberapa perlengkapan dalam membatik selain bahan baku dasar yang
telah disebutkan di atas adalah sebagai berikut :

1. Gawangan berfungsi untuk menyangkutkan kain mori saat di batik


2. Wajan untuk mencairkan malam
3. Anglo, berupa perapian untuk memanaskan malam
4. Tepas atau kipas
5. Saringan malam

3.4 Teknik dan Proses Membatik

Teknik membatik identik dengan teknik celup rintang. Karena itu, ciri khas dari
batik adalah penggambaran corak dalam bentuk negatif. Dalam hal ini,
terdapat kesamaan prinsip antar teknik membatik dengan menggrafis
menggunakan teknik cukil kayu (cetak tinggi). Dalam cukil kayu juga dituntut
keahlian untuk mengimajinasikan bentuk berlawan dari torehan cukil kau
seperti halnya penggunaan canting dalam membatik.

Dalam teknik pembuatannya, batik terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
batik tulis dan batik cap. Kedua teknik tersebut memiliki rancangan, proses
produksi dan karakteristik yang berbeda. Batik Tulis ialah batik yang dihasilkan
dengan menggunakan canting tulis sebagai alat bantu untuk merekatkan malam

63
Dikutip dari tesis mahasiswa S2 FSRD ITB, Hasanudin yang berjudul “pengaruh Etos dagang
Santri pada Batik Pesisiran" halaman 21

41
pada kain. Batik cap adalah batik yang menggunakan canting cap.
pemalamannya relatif lebih cepat dibanding pemalaman dengan canting tulis.
Namun dalam penggunaan batik cap sulit untuk menghasilkan pemalaman yang
detail karena jika terlalu kecil detailnya akan menjadi kabur. Selain itu dalam
batik cap, canting cap yang digunakan harus menggunakan bahan logam karena
jika menggunakan material kayu menyebabkan malam cepat mengeras dan
masa pemakaiannyapun tidak terlalu lama. Hal ini dikarenakan kayu bersifat
menyerap cairan sehingga mempercepat pelapukan dan mengaburnya detail.

Dalam proses pembuatannya, batik dibagi menjadi tiga macam proses yaitu
secara tradisional, kesikan dan pekalongan atau pesisiran.

3.4.1 Proses Batik Tradisional

Proses membatik dengan cara tradisional ini memiliki beberapa perbedaan


antara satu daerah dengan yang lain. Namun, proses pengerjaan batik kali ini
dipaparkan secara garis besar

2.1.1. Nganji
Membersihkan kain dari segala kotoran yang menempel
agar tidak ada yang merintangi malam menyerap sempurna
2.1.2. Ngemplong
traditional_ngemplong.gif (1971 by tes)

Menghaluskan kain yang kaku dengan memukul-mukul kain


dengan cara tertentu
2.1.3. Ngelowong
Membuat pola dengan malam di atas kain

2.1.4. Nembok
Menutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna
putih dengan lilin batik.
2.1.5. Medel

42
Mencelup mori yang sudah diberi lilin batik dengan warna
biru
2.1.6. Ngerok
Menghilangkan lilin pada bagian yang akan berwarna soga

2.1.7. Mbironi
Menutup bagian yang akan tetap berwarna biru dan
tempat-tempat yang terdapat cecek
2.1.8. Nyoga
Mencelup mori kedalam larutan soga

2.1.9. Nglorod
Menghilangkan lilin batik dengan air panas dengan cara
mencelupkan kain agar lilinnya meluruh
GAMBAR 3.2
PROSES MEMBATIK DENGAN TEKNIK TRADISIONAL
SUMBER : www.danarhadi.com pada tanggal 20 Maret 2006 13:18WIB

3.4.2 Proses Batik Kesikan

Cara yang membedakan proses pengerjaan ini dengan batik tradisional adalah
adanya proses pengerokan, yaitu proses menutup bagian pola yang akan
dibiarkan tetap berwarna biru serta bagian yang akan berwarna putih dan cecek

• Nganji
Membersihkan kain dari segala kotoran yang menempel agar tidak ada yang
merintangi malam menyerap sempurna
• Ngemplong
Menghaluskan kain yang kaku dengan memukul-mukul kain dengan cara
tertentu
• Ngelowong
Membuat pola dengan malam di atas kain

43
• Nembok
Menutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna putih dengan lilin
batik
• Medel
Mencelup mori yang sudah diberi lilin batik dengan warna biru
• Ngerok
Menghilangkan lilin pada bagian yang akan berwarna soga
• Mbironi
Menutup bagian yang akan tetap berwarna biru dan tempat-tempat yang
terdapat cecek
• Ngesik
Menutup bagian pola yang akan dibiarkan tetap berwarna biru serta bagian
yang akan berwarna putih dan cecek
• Nyoga
Mencelup mori kedalam larutan soga
• Nglorod
Menghilangkan lilin batik dengan air panas dengan cara mencelupkan kain
agar lilinnya meluruh 64 .

3.4.3 Proses batik Pesisiran

Dalam proses pewarnaan pesisir, tidak hanya dilakukan pencelupan, namun


juga proses pencoletan. Pewarnaan pada bagian tertentu pola, cukup dengan
menyapukan larutan zat pewarna (coletan), sehingga dapat dilakukan
pewarnaan secara serentak dengan berbagai macam warna. Proses yang
diperlukan adalah sebagai berikut :
• Mola
Membuat sketsa awal pola diatas kain untuk mempermudah proses membatik
• Mbhatik

64
Dikutip dari buku Batik : Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 15

44
Membuat pola pada mori dengan menempelkan lilin batik dengan
menggunakan canting
• Nyolet
Memberi warna pada bagian tertentu pola dengan menyapukan larutan zat
warna pada bagian tersebut
• Nutup
Menutup bagian kain yang telah dicolet degan lilin batik
• Ndasari
Mencelup latar pola dengan zat warna yang dikehendaki
• Menutup dasaran
Menutup bagian latar pola yang telah diwarnai
• Medel
Mencelup ke dalam warna biru
• Nglorod
Menghilangkan lilin yang menempel pada mori kedalam bak air mendidih dan
menghasilkan kelengan warna
• Nutup dan Granitan
Menutup bagian-bagian yang telah diberi warna dan bagian yang akan
dibiarkan tetap putih serta membuat titik-titik putih pada garis-garis di luar
pola yang disebut granit dengan lilin batik 65 .

3.5 Pola Batik

Ragam hias batik terdiri atas hiasan-hiasan yang disusun sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu kesatuan rancangan yang berpola. Unsur yang
terdapat dalam batik keraton itu sendiri mencakup pada ornamen, motif
maupun warna.

65
Ibid halaman 16

45
Berdasarkan Ensiklopedi Nasional Indonesia, ornamen adalah corak yang
ditambahkan pada bagian benda yang berfungsi sebagai pengindah, sedangkan
motif adalah suatu corak atau hiasan yang terungkap sebagai ekspresi jiwa
manusia terhadap keindahan atau pemenuhan kebutuhan yang bersifat budaya.
Dalam Pengetahuan Teknologi Batik (1979 : 14) 66 dijelaskan bahwa kata motif
bersinonim dengan kata corak, yaitu berupa suatu kerangka gambar pada suatu
benda. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa motif adalah suatu bagian
yang dapat disusun membentuk pola.

Menurut The New Oxford Encyclopedic Dictionary, Pola adalah gambar untuk
membuat bentuk yang lebih indah. Sedangkan ragam hias terbentuk dari suatu
susunan terdiri atas berbagai corak serta pembagian bidang yang beraturan
(Ensiklopedia Nasional Indonesia jilid 6 1991: 409).

Antar ornamen, motif, pola dan ragam hias dapat disimpulkan bahwa ornamen
merupakan elemen hias dalam motif. Bila motif dikomposisikan dan diulang-
ulang dalam penerapannya, maka akan menghasilkan ragam hias. Penerapan
ragam hias itulah yang menghasilkan suatu pola 67 .

Sewan Susanto (1980:212) 68 menjelaskan bahwa motif batik terdiri dari dua
kerangka ornamen, yaitu :

• Ornamen Motif Batik


o Ornamen utama adalah suatu gambar yang ditentukan oleh
motif itu sendiri
o Ornamen tambahan, adalah gambar yang berfungsi sebagai
pegisi bidang
• Isen Motif Batik

66
Diambil dari karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun
1983 halaman 143
67
Ibid halaman 143
68
Ibid halaman 143

46
Isen motif adalah gambar yang berfungsi sebagai pengisi motif.

TABEL 3.4
TABEL ISEN MOTIF BATIK BESERTA PEMAKNAAN DAN PEMGEMBANGANNYA
SUMBER : PUJIANTO

No. Bentuk Nama Isen Pengembangan dari simbol Arti


1. Cecek Siji Ceplok Manunggaling
kawula Gusti
2. Cecek Telu Pembagian 3 dunia Kehidupan

3. Cecek Lima Manca-pat Kepemerintahan,


Kehidupan
4. Cecek Pitu Dina (hari) Kehidupan

5. Carat Banji/ Swastika Kehidupan

6. Cakar Atam Ceplok Mencari Rezeki,


Pangan

7. Mlinjon Manca-pat Kehidupan,


Pemerintahan,
Pusat

8. Alis Gunung Kehidupan,


Kesuburan,
Tempat Para
Dewa
9. Uceng Modang (api) Kesaktian,
Cemungkiran Berbakti

10. Matan Ceplok Manunggaling


kawula Gusti

11. Sisik Melik Gunung Kehidupan,


Keesaan

12. Jambu Cepot Manca-pat Kehidupan,


Pemerintahan,
Pusat
13. Galaran Air Cobaan

14. Kembang Cengkeh Manca-pat Kehidupan,


Pemerintahan,
Pusat
15. Ukel Swastika/ Banji Kehidupan

47
16. Tritis Modang (api) Kesaktian,
Cemungkiran Berbakti

17. Sawat Garuda Kesaktian,


Keperkasaan

18. Srimpet Meander Kehidupan


Banji

19. Blarak Sairit Modang (api) Kesaktian,


Cemungkiran Berbakti

Secara tradisional pola batik sangat banyak jenisnya. Untuk mempermudah


pengklasifikasian, menurut hemat M. Amir Sutaarga yang juga diperkuat oleh
Alit Veldhusein dan Djajasoebrata mengelompokkan batik berdasarkan
bentuknya menjadi dua bagian. Kedua bagian tersebut motif geometrik dan
motif Non Geometrik 69 .

3.5.1 Motif Geometrik

Ragam hias yang tergolong ke dalam pola geometri adalah yang mengandung
unsur garis dan bangun seperti garis miring, bujur sangkar, persegi panjang,
lingkaran dan bentuk-bentuk terukur lainnya yang disusun secara berulang-
ulang sehingga membentuk kesatuan pola. Pola Geometris terdiri dari pola
Ceplokan, Kawung, Truntum, Motif miring, motif garis pinggir dan Udan liris.

3.5.1.1 Pola Ceplokan

Ceplok berasal dari bahasa jawa yang berarti bulatan. Motif ceplok adalah
motif batik yang tersusun dari ornamen-ornamen yang mengarah melingkar,
memusat ke tengah atau secara berkelompok tersusun rapi seperti bunga yang

69
Ibid halaman 143

48
dilihat dari atas. Motif ini merupakan stilasi dari bentuk bunga, daun, bintang
dan yang bersifat simetris.

GAMBAR 3.3
POLA CEPLOK SRIWEDARI
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Motif Ceplokan adalah salah satu motif tertua yang ada dalam batik 70 . Selain
itu motif ini juga dihormati karena memiliki manca-pat. Manca-pat sendiri
merupakan suatu unsur dasar dalam pola angka empat dan lima. Selain itu
bentuknya yang menyerupai biji melambangkan Dewi Sri, yang merupakan
lambang kesuburan manusia maupun tanaman.

3.5.1.2 Pola Kawung

Motif ini adalah salah satu motif kuno yang terlihat pada candi Prambanan
sekitar abad ke-8 Masehi. Motif ini juga terdapat pada arca Kertajasa Raja
Majapahit yang pertama.

Menurut Rouffer yang ditulis oleh Muhammad Sutaarga (1964:12) 71 , bahwa


motif kawung berasal dari pola kuno yaitu Grinsing yang telah ditemukan pada
abad ke 17. motif Grinsing ini terdiri dari lingkaran-lingkaran kecil yang
didalamnya terdapat sebuah titik pusat dengan latar belakang sisik ikan atau
ular. Dalam buku Indonesia Indah: Tenunan Indonesia (Affendi. 1995:197)
Grinsing berasal dari bahasa Bali, yaitu Gering yang artinya sakit. Gerinsing

70
Lihat Batik, Pengaruh Zaman dan Lingkungan halaman 13
71
Dintisarikan dari tesisi S2 FSRD ITB yang berjudul “Kajian Batik Surakarta” halaman 158

49
sendiri adalah sebuah kain tenun yang dibuat dari benang kapas dengan motif
geometrik dengan teknik ikat ganda berwarna merah kecoklatan. Jenis ini
dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat menyembuhkan orang yang
sakit.

GAMBAR 3.4
CONTOH POLA KAWUNG
SUMBER : PUJIANTO

Sedangkan motif kawung digambarkan seperti penampang luar buah aren yang
disusun empat membentuk kotak-kotak yang dianggap simbolisasi dari alam
semesta berupa susunan kosmis dengan raja berada di pusatnya beserta manca-
pat yang merupakan pengembangan dari pola tiga. Karena itulah motif ini
hanya boleh dikenakan oleh Raja dan keluarganya.

Motif kawung tercipta dari empat bentuk oval seperti kelopak bunga atau
tablet secara diagonal kea rah masing-masing sudut. Pada tiap-tiap tablet
berisi dua bintang yang merupakan isen motif kembang kapas yang mengarah
sama ke masing-masing sudut. Di sela-sela ornamen utama terdapat ruang yang
mengarah vertikal dan horizontal yang merupakan ornamen tambahan
(mlinjon). Di dalam mlinjon ini terdapat isen kembang jambu yang mengikuti
bentuk tablet bunga.

Dalam pemaknaannya, motif kawung yang berbentu oval miring dengan buah
kawung sejenis aren yang di potong melintang dengan penyusunan geometri,
tampak seperti seorang penguasa yang dikelilingi pengawalnya. Motif ini juga
dilihat sebagai stilasi dari bentuk bunga teratai yang merupakan simbolisasi
dari umur panjang dan kesucian. Adapun bintang (palang-palang)yang
ditampilkan pada bulatan adalah sebagai perumpamaan biji dari buah kawung
yang diartikan sebagai lambang kesuburan.

50
Meskipun dalam kehidupan sehari-hari morif ini hanya diperuntukkan untuk
Raja dan keluarganya, namun dalam dunia pewayangan motif ini dipakai oleh
Punawakan yaitu Semar. Diperbolehkannya Semar memakai motif kawung
dilatarbelakangi oleh sifatnya yang arif dan anggapan bahwa dia adalah titisan
seorang Dewa.

Berdasarkan besar kecilnya motif yang ditampilkan, maka motif kawung


memiliki tiga nama, yaitu :

1. Kawung Picis adalah motif kawung berukuran kecil. Nama ini diambil
dari nama mata uang senilai sepuluh sen
2. Kawung Bribil adalah motif Kawung berukuran sedang. Nama ini
diambil dari mata uang 50 sen
3. Kawung sen adalah motif Kawung berukuran besar yang namanya
diambil dari motif Kawung berukuran besar.

Jenis Kawung tersebut jika diperhatikan dari penamaan motifnya merupakan


suatu mata uang yang dipakai pada Zaman Belanda. Hal ini menunjukkan
adanya sosial budaya di zaman Belanda yang mempengaruhi budaya Keraton.
Adapun penggunaan nama jenis Kawung ini bukan karena bobot nilai mata
uangnya, namun lebih pada ukuran penampang mata uang logam pada zaman
itu.

Sesuai perjanjian Giyanti, motif kawung tidak digunakan dalam lingkungan


keraton Kasunanan dan Kadipaten mangkunegaran. Sesuai perjanjian yang
membagi Mataram menjadi dua wilayah kekuasaan ini, motif kawung menjadi
ciri khas dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat.

51
GAMBAR 3.5
CONTOH POLA KAWUNG YANG MENCERMINKAN POLA MANCA-PAT DAN POLA SEMBILAN
SUMBER : DJAJASOEBRATA. 1979 :24 72

3.5.1.3 Pola Truntum

Motif ini diciptakan pada zaman pemerintahan Susuhunan Pakubuwono III.


Dalam tulisan The Place of Batik in the History and Philosophy of Javanese
Textile (Hardjonagoro. 1979: 238) menceritakan bagaimana terciptanya pola
truntum hingga menjadi salah satu batik larangan 73 .

Singkatnya, awal pelarangan pengunaan motif ini berdasarkan sebuah cerita


seperti yang dituturkan berikut ini :

Ceritanya pada saat Permaisuri dimarahi Raja, mengakibatkan Permaisuri


pulang ke rumah keluarganya. Di rumah beliau membatik untuk mengisi
kekosongan dan untuk menghibur hatinya. Pada suatu ketika Susuhunan
Pakubuwono III datang ke rumah mertuanyadan melihat suatu tatanan pola
motif yang rapi dan alus. Setelah mengetahui bahwa batik tersebut adalah
buatan isteri pertamanya, maka Susushunan pakubuwono III senang sekali akan
hal ini, meskipun batik tersebut belum selesai digunakan. Hal ini menyebabkan
hati Susuhunan Pakubuwono III menjadi luluh lantas meminta Permaisuri untuk
kembali ke Keraton. Karena motif baru tersebut belum bernama, maka
Susuhunan Pakubuwono III memberi nama motif baru tersebut dengan nama
Truntum 74 .

72
Sebagian besar tulisan tentang Kawung ini diintisarikan dari karya Tesis FRSD ITB oleh
Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun 1983 halaman 158-161
73
Ibid halaman 161
74
Pada beberapa kebudayaan Tradisional Indonesia memang terdapat fenomena bahwa baik
tidaknya seseorang di lihat dari hasil kerajinanannya. Semakin rapi dan alus hasilnya, semakin
baiklah orang tersebut menurut anggapan stuktur social masyarakat setempat.

52
Truntum sendiri berasal dari bahasa Jawa dengan akar kata tuntum
(mengumpulkan), tumaruntun atau menuntun dan tumbuh. Visualisasi motif ini
adalah stilasi yang menyerupai bintang bersinar di langit atau bunga yang
sedang mekar. Maksud dari kata mengumpulkan dalam motif ini adalah
menghimpun atau menyatukan. Pengertian menuntun merujuk pada keadaan
dimana orang tua menuntun anaknya untuk memasuki tahap kehidupan
selanjutnya (dalam hal ini adalah pernikahan), sedangkan kata tumbuh
mengambil dari bentuk bunga yang sedang mekar.

Motif Truntum adalah bentuk yang menyerupai bunga mekar yang saling
mengait. Motif ini memiliki dua keindahan. Pertama, keindahan pada kontur
motif yang ditampilkan secara teratur yaitu ornament utama pada motif yang
terlihat seperti bunga mekar. Yang kedua adalah tampilnya bentuk ornament
baru yang berfungsi sebagai latar atau ornament tambahan yang tasmpak
seperti bintang. Perpaduan dua hal tersebut secara berulang-ulang
mengesankan taburan bintang-bintang yang memberi kesan hidup.

GAMBAR 3.6
CONTOH POLA TRUNTUM
SUMBER : DJAJASOEBRATA DAN HAMZURI 1979: 24 75

Hamzuri dalam bukunya yang berjudul Batik Klasik mengartikan Truntum


adalah mengumpulkan yang merujuk pada pengumpulan material. Sedangkan
Nian S. Djoemena dalam tulisannya yang berjudul Ungkapan Sehelai Batik
(1990: 13) mengemukakan bahwa Truntum memuat artian menuntun, bahwa
75
Ibid halamn 164

53
orang tua menuntun kedua mempelai untuk memasuki tahap hidup selanjutnya
yang banyak lika-likunya. Karena itulah, kain ini biasa digunakan dalam upacara
pernikahan yang merepresentasikan harapan tersebut. Batik ini dapat dilihat
memuat pengharapan agar dapat melalui bahtera pernikahan dengan sebaik-
baiknya, baik secara spiritual maupun material.

3.5.1.4 Pola Garis Miring

Pola ini memiliki kemiringan 45 derajat dengan arah dari kiri bawah ke kanan
atas atau kiri atas kekanan bawah. Perbedaan ini berdasarkan daerah asalnya.
Pola garis miring pada keraon Surakarta mengarah dari kiri atas ke kanan
bawah, sedangkan di Keraton Yogyakarta arah diagonalnya dimulai dari kanan
atas menuju kiri bawah. Dari arah diagonal gerak motif pada pola garis miring
ini tampak bahwa pada keraton Yogyakarta kental akan pengaruh Islam, lain
halnya dengan keraton surakarta yang di dominasi budaya Hindu-Buddha. Hal
ini dapat dilihat dari arah gerak diagonal pola garis miring di Yogyakarta dari
kanan atas ke kiri bawah yang mengingatkan kepada kaligrafi arab, sedangkan
arak kiri atas ke kanan bawah cenderung kepada cara penulisan aksaran Jawa
Kuno. Contoh lain dapat kita lihat dari gelar pemimpin tertinggi di Keraton
Yogyakarta menggunakan gelar Kasuhunan atau sultan yang mengadopsi dari
budaya Arab.

Pola garis miring ini memiliki berbagai macam variasi yang diklasifikasikan
menjadi 3 pola. Pola tersebut adalah Pola Parang, Udan Liris dan Garis
Pinggir 76 .

76
Diambil dari karya Tesis FRSD ITB oleh Pujianto berjudul “Kajian Batik Surakarta” tahun
1983 halaman 167

54
i. Pola Parang

Motif Parang adalah stilasi dari bentuk senjata yang dikomposisikan


secara teratur dan berulang. Dalam visualisasinya, motif parang
merupakan penyederhanaan dari golok, keris dan teratai dengan
komposisi yang rapi dan berulang.

GAMBAR 3.7
DETAIL POLA PARANG
SUMBER : DJAJASOEBRATA.1979: 24 77

Stilasi parang sering ditampilkan secara bergantian dari sisi atas dan
bawah yang saling mengisi ruang. Pada setiap stilasi parang terdapat
isen uceng yang memberi kesan gerak. Diantara stilasi parang terdapat
ruang yang bernama sirap kendhela dan bagongan yang ditampilkan
secara bergantian mengikuti arah diagonal dari stilasi parang. Selain itu
juga terdapat mata gareng disela-sela stilasi parang yang mengapit
bagongan.

77
Ibid halaman 171

55
Garis diagonal akan tampak jika memperhatikan alis-alisan yang
ditampilkan secara bersambungan. Pengulangan alis-alisan yang terus-
menerus memberi kesan ritmis tanpa batas. Dari hal inipun terlihat
bahwa garis diagonal muncul bukan hanya sebagai batas, namun juga
sebagai pemersatu. Alis-alisan ditampilan secara berhadapan yang
dipisahkan dengan isen mlinjon berbentuk belah ketupat kaku yang
kontras dengan bentuk lainnya yang lentur.

Justine Boow dalam bukunya yang berjudul Symbol and Status In


Javanese Batik (1988: 16) 78 mengemukakan bahwa motif parang
mendapat pengaruh dari seni rupa Islam, yaitu motif arabesque. Motif ini
merupakan motif klasik islam yang berusaha menggambarkan
transendenitas dengan pola yang tidak berawal dan berakhir. Visualisasi
ini berusaha menggambarkan keesaan Tuhan yang tiada awal dan akhir.
Pola ini juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk doa atau dzikir yang
tidak terputus-putus kepada Tuhan. Transendenitas didukung dengan
garis diagonal yang merepresentasikan keadaan ‘diantara’ dunia atas dan
bawah.

GAMBAR 3.8
POLA PARANG CURIGA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

78
Ibid halaman 169

56
Selain itu, parang diartikan pula sebagai karang runcing yang
menggambarkan heroisme, patriotisme sehingga mampu memberi
kekuatan pada pemakai (Sastroatmodjo :1993 :46) 79 . Jenis motif parang
yang sangat terkenal adalah Parang Rusak. Menurut kepercayaan
kejawen, Parang rusak dianggap mampu memberikan kekuatan pada
pemakainya sehingga sering digunakan saat maju ke medan perang
dengan harapan dapat menjadi pemenang.

Menurut L. Koesoediarto (1960 : 5), Parang Rusak adalah sumber


kehidupan dan keselamatan, karena motif ini diyakini memiliki tenaga
penghalang terhadap semua kerusakan dan kematian. Motif ini menjadi
keramat di dalam keraton karena melambangkan kehidupan, yang dalam
hal ini adalah sang Pencipta. Kepercayaan itulah yang menyebabkan
motif ini hanya boleh dikenakan oleh Raja karena Raja saat itu dianggap
sebagai penjelmaan dari Bhatara Guru. Parang rusak merupakan stilasi
dari keris.

Selain stilasi dari senjata, baik itu keris atau golok, pola Parang ini juga
mengadopsi bentuk tumbuhan seperti halnya bunga atau tumbuhan.
Dalam penelitian ini, penulis membahas teratai sebagai perwakilan dari
kelompok tumbuhan yang distilasi menjadi bentuk parang. Di bawah ini,
akan dipaparkan penjelasan singkat perihal keris dan teratai.

1. Keris

Keris adalah sebuah benda tajam yang terbuat dari logam yang
berkembang pesat pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Jawa.
Hal yang menarik dari keris adalah, selain berfungsi sebagai senjata,
keris juga memiliki unsur estetis, filosofis, dan magis mistis.

79
Ibid halaman 168

57
GAMBAR 3.9
PROSES PENGOLAHAN BENTUK SENJATA KE STILASI MOTIF PARANG
SUMBER :SEOTOPO. 1957: 12 80

Keris pertama terbuat dari bahan baja yang diekstrak dari pasir, atau
biasa disebut baja malela (bijih besi bercampur dengan nikel dan
mangan). Kemudian jenis baja malela ini digantikan oleh baja 81 yang
dibawa oleh pedagan India dan Persia. Pada masa kekuasaan Surakarta,
jenis baja yang sering digunakan adalah baja yang digabungkan dengan
logam pamor yang digabungkan dengan logam pamor yang berasal dari
batu meteor. Bahan logam pamor ini mengandung nikel dan alumunium
murni berwarna putih terang. Logam ini diyakini berasal dari meteor
yang jatuh di daerah Prambanan pada masa pemerintahan Sunan
Pakubuwana III ( 1749 M ). Dalam catatan Surakarta, meteor ini cukup
besar sehingga ketika jatuh membuat lubang selebar bentangan tangan
10 orang dewasa. Karena meteor ini mengandung nikel dan alumunium
dalam jumlah besar, maka dapat digunakan untuk membuat pamor keris
sejak zaman Pemerintahan Sunan Pakubuwana IV hingga Sunan
Pakubuwana. Sisa batu meteor seberat 15 kg yang diberi nama Kyai
Pamor ini sekarang disimpan di Keraton surakarta 82

GAMBAR 3.10
BAGIAN-BAGIAN KERIS
SUMBER : BUDIHARJO W

80
Ibid halaman 172
81
Baja yang merupakan campuran nikel dan karbon
82
Dikutip dari Keris; Senjata, Karya Seni dan Simbol yang disusun oleh Alpha Febrianto untuk
mata kuliah Antropologi Seni semester II tahun ajaran 2004-2005 FSRD ITB program S1.

58
1. Deder
2. Selut
3. Mendak
4. Warangka
5. Pendok

1. Pesi 8. Lambe Gajah


2. Ganja 9. Kembang Kacang
3. Bungkul 10. Jenggot
4. Blumbangan 11. tikel Alis
5. Srawehan 12. Jalen
6. Gandik 13. Sogokan Depan
7. Jalu Memet 14. Lis-lisan

59
15. Gusen 22. Tungkakan
16. Kruwingan 23.
17. Ada-ada 24. Greneng
18. Janur 25. Ri Pandan
19. Sogokan Belakang 26. Kanyut
20. Wadidang 27. Tinggil
21. Ron Dha Nunut 27. Pundak Sateg
GAMBAR 3.11
RICIKAN KERIS DAN NAMA-NAMANYA
SUMBER : BAMBANG BAMBANG HARSINUKUSUMO, 1985 : 8-15

Bila dilihat dari struktur bentuknya, keris bukanlah senjata tebas seperti
halnya pedang atau jenis senjata pisau lainnya. Bentuk yang ramping dan
melancip ke ujung menunjukkan bahwa keris digunakan untuk gerakan
menusuk. Warangka yang berada ditubuh keris berfungsi untuk
menangkis serangan. Keris yang berlekuk dibuat untuk para ksatria yang
menurut para ahli merupakan stilasi dari bentuk petir atau kilat

Pada dasarnya, bersatunya besi baja dari bumi dengan batu pamor dari
meteor dianggap sebagai harmonisasi antara ‘bapak angkasa dan bumi
pertiwi. Bilah keris dianalogikan sebagai representasi dari pria,
sedangkan warangkanya adalah lambang wanita. Hal ini seperti yang
sering dibahas sebelumnya merupakan bentuk dari pola tiga yang
berkembang di masyarakat saat itu.

Keunikan dari sebilah keris adalah jumlah lekuknya yang selalu ganjil.
Dalam filosofi kejawen, angka ganjil memiliki arti yang mistis. Adapun
pemaknaan keris berdasarkan jumlah luknya adalah sebagai berikut

60
a. Luk satu atau biasa disebut keris lurus merupakan lambang
keberanian, kebenaran, kemakmuran dan kebulatan tekad.
b. Luk tiga merepresentasikan akal budi, perlawanan dan
inisiatif.
c. Luk lima melambangkan ketertiban, disiplin dan
keagungan 83
d. luk tujuh melambangkan kesaktian, kegembiraan dalam
hidup serta ilmu pengetahuan.
e. luk sembilan melambangkan kesempurnaan, ketuhanan,
kepuasan hidup serta gerbang nirwana 84 .
f. keris yang memiliki luk lebih dari sembilan disebut keris
Palawija 85 . Keris-keris palawija ini berarti memiliki
kekuatan tambahan.

2. Teratai

Teratai adalah salah satu simbolisasi penting yang muncul pada


kebudayaan Hindu-Buddha. Diceritakan bahwa teratai merupakan
tempat singgasana dari dewi Kwan in juga Dewi Laksmi. Dalam visualisasi
Wisnu 86 , dia digambarkan memiliki empat tangan yang disetiap
tangannya memegang benda-benda yang berbeda.

83
Luk lima juga kerap dihubungkan dngan pandawa lima dalam kisah pewayangan yang
diadaptasi dari mitologi Mahabrata. Karena itulah keris luk lima sering pulas disebut sebagai
dapur Pandawa.
84
Merupakan luk tertinggi, karena sembilan adalah angka kesempurnaan. Asumsi seperti ini
muncul karena setelah angka sembilan kita akan kembali ke titik nol.
85
Palawija adalah tanaman selangan (antara dua jenis padi), biasanya kacang polong dan
kacang lainnya. Dalam istilah ini merujuk pada orang luar biasa. Ciri-ciri umumnya biasanya
bertubuh cebol. Palawija adalah para orang-orang yang memiliki cacat fisik yang diangkat
menjadi abdi-abdi terdekat raja.
86
Wisnu adalah Dewa Pemelihara dalam agama Hindu. Dalam mitilogi Hindu, Wisnu akan
bereikarnasi sebanyak sepuluh kali di dunia. Reikarnasi ini bertujuan untuk memerangi
ketidakadilan dan menyelamatkan manusia. Pada reinkarnasinya yang terakhir, Wisnu akan

61
GAMBAR 3.12
PROSES PENGOLAHAN BENTUK TERATAI KE STILASI PARANG
SUMBER : JASPER DAN PRINGADI : 1916 :155 87

Tangan pertama dewa Wisnu memegang bunga teratai, tangan kedua


memegang kerang, tangan ketiga memegang cakram yang jika dilempar
akan kembali ke tangannya dan tongkat. Bunga teratai disini dipercaya
sebagai simbolisasi dari pertumbuhan penciptaan, kerang merupakan
lambang dari alam, sedangkan cakram dan tongkat merupakan lambang
kekuasaan dan kekuatan untuk melawan Dewa Indra 88 .

GAMBAR 3.13
GAMBAR BUDDHA DI ATAS SINGGASANA LUTOS (TERATAI)
SUMBER : MICROSOFT ENCARTA 2006

muncul dengan kuda putih untuk menghancurkan alam semesta. Saat inilah yang dalam mitoligi
Hindu dipercaya sebagai akhir dunia.
87
Diambil dari tulisan Pujianto untuk tesis S2 FSRD ITB yang berjudul Kajian Batik Surakarta
halaman 172
88
Sumber literatur berasal dari Microsoft Encarta 2006

62
ii. Pola Udan Liris

Udan Liris artinya hujan gerimis atau berasal dari kata Lis yang berarti
Garis. Pengertian ini diperoleh dari persamaan sifat antara air hujan
yang jatuh dengan susunan motif Udan Liris yang keduanya membentuk
garis diagonal. Sedangkan pengertian Lis sendiri menghubungkan corak
yang ditampilkan yaitu garis-garis kecil yang penuh.

GAMBAR 3.14
DETAIL POLA UDAN LIRIS
SUMBER : DJAJASOEBRATA, 1979: 24 89

Motif ini terdiri dari beberapa jenis ornamen yang diatur secara
bergantian dengan membentuk sudut 45 derajat. Tiap jenis ornamen
dipertegas dengan garis lurus memanjang yang mengesankan tak
berbatas.

89
Ibid halaman 174

63
Motif Udan Liris merupakan simbol kesuburan dan perkembangan, karena
sesuai dengan namanya yaitu hujan gerimis yang mampu menyuburkan
tumbuhan dan menjaga kelangsungan makhluk hidup lainnya.

Dengan tingginya nilai filosofi dan harapan yang terkandung didalamnya,


motif ini tampil menjadi motif larangan dalam lingkungan keraton yang
hanya boleh dipakai oleh Raja dan kaum bangsawan. Dalam
penggunaannya, motif ini biasa digunakan saat upacara-upacara sesaji.

iii. Pola Garis Pinggir

Motif garis pinggir merupakan motif yang diterapkan pada pinggiran kain
yang melintang arah kain. Motif garis pinggir secara pengulangan dengan
bentuk yang sama. Pada pangkal motif selalu didekatkan atau
dihubungkan dengan ornamen lain yang biasanya merupakan elemen
pokok dan dibagian ujungnya lepas dari ornamen yang mengarah ke
ruang kosong atau bidang lain.

Nama motif ini disesuaikan dengan penerapan dalam kain batik yang
meliputi ornamen yang diterapkan pada pinggir kain (kemada), motif
yang diterapkan diantara batas dua ornamen disebut blabakan atau
cinde, dan motif yang diterapkan pada batas bidang kosong disebut
cemungkiran. Ketiga motif tersebut merupakan batik tradisional keraton
Surakarta namun hanya cemungkiran yang termasuk motif larangan.
Motif cemungkiran sendiri merupakan stilasi dari lidah api atau sinar
matahari yang melambangkan kehebatan alam semesta.

64
GAMBAR 3.15
PROSES STILASI POLA CEMUNGKIRAN
SUMBER : DJAJASOEBRATA, 1979: 24 90

Cemungkiran juga di anggap sebagai turunan dari bentuk lotus yang


merupakan pengaruh dari budaya China. Lotus sendiri dalam budaya
China mengandung arti kekuasaan dan umur panjang.

3.5.2 Motif Non Geometrik

Motif non geometrik adalah motif yang berasal dari penyederhanaan bentuk
alam sebagai simbolisasi. Pengelompokkan ini didasari oleh bentuk ornamen
yang ditampilkan dalam motif. Bentuk ornamen yang ditampilkan selanjutnya
dikomposisikan secara bebas, tidak mengacu pada satuan ilmu ukur. Meskipun
begit, jika diperhatikan pada pola non geometris tetap terdapat komposisi yang
simetris antara satu ornamen dengan yang lain.

Nama motif menurut pengelompokkannya cukup banyak karena terus


berkembang sehingga menghasilkan motif baru yang tetap mengacu pada
simbol alam yang mengacu pada interpretasi yang sama. Dalam penelitian ini
Penulis memilih beberapa motif non geometrik yang dianggap sedikit banyak
mampu menampilkan pola non geometrik secara keseluruhan.

90
Ibid halaman 174

65
3.5.2.1 Pola Semen

Semen berasal dari kata semi yang berarti tunas. Kata ini juga mengandung
unsur perlambangan kesuburan seperti halnya motif cemungkiran dan banyak
motif batik lainnya. Pola semen sendiri merupakan ornamen yang
menggambarkan tumbuhan-tumbuhan atau tanaman menjalar. Dalam motif ini
sering ditampilkan beberapa macam ornamen lainnya yang biasanya merupakan
stilasi dari bentuk binatang dengan dominasi tanaman sulur yang menjalar pada
motif semen. Tanaman sulur tersebut merupakan simbol kesuburan, sedangkan
pohon hayat melambangkan kehidupan.

GAMBAR 3.16
DETAIL POLA SEMEN
SUMBER : DJAJASOEBRATA, 1979: 24 91

91
Ibid halaman 174

66
Tiap-tiap ornamen yang hadir dalam visualisasi motif semen memiliki arti
simbolis yang mengarah pada kepercayaan suatu kehidupan. Penyebaran
tumbuhan diseluruh bidang juga dimaksudkan sebagai penyebaran seluruh
kehidupan yang merata di alam semesta. Karena itulah motif ini dalam
penerapannya di keraton diperuntukkan bagi Pangeran, Adipati serta pengantin
pria dengan harapan pasangan pengantin tersebut dapat memiliki keturunan
yang banyak dan sehat.

Secara garis besar, terdapat beberapa ornamen utama dalam motif semen ini,
yaitu Sawat, Meru dan Pohon Hayat

i. Sawat

Sawat merupakan stilasi lengkap dari Garuda. Garuda itu sendiri merupakan
hewan yang berasal dari alam mitologi Hindu, dimana dia merupakan
kendaraan Dewa Wisnu. Menurut mitologi yang berjudul Garudeya, Garuda
adalah putera dari Kasyapa dan isterinya Vinata. Garuda menetas dari telur
yang telah inkubasi selama 1000 tahun. Dalam mitologi Hindu, garuda muncul
dalam dua skenario besar, yaitu sebagai pemakan orang-orang yang berkhianat
pada dewa Wisnu atau dalam mitologi yang lain, Garuda diceritakan mencuri
soma dari Dewa Wisnu 92 . Soma adalah pohon yang tepat berada dipuncak Meru.
Di bawah pohon ini terdapat mata air para Dewa. Alasan Garuda mencuri soma
adalh untuk membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Keberhasilan
Garuda mengambil air Soma di puncak Meru tersebut tampaknya menjadi
simbolisasi sebuah keberanian, kebaktian serta kesetiaan.

92
Soma dipercaya dapat menghidupkan orang yang telah mati. Air ini juga setara dengan Tirta
Merta yang merupakan air kehidupan. Dalam mitologi Hindu, air ini dianggap mampu
memberikan kehidupan yang kekal abadi.

67
GAMBAR 3.17
PENGGAMBARAN GARUDA DALAM MITOLOGI HINDU
Sumber : MICROSOFT ENCARTA 2006

Dalam kepercayaan Hindu, Garuda merepresentasikan dunia atas. Biasa


digambarkan sedang melawan ular yang merupakan representasi dari dunia
bawah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal negatif 93 .

GAMBAR 3.18
RAGAM HIAS GARUDA (SAWAT) YANG TERDAPAT PADA BATIK KERATON SURAKARTA
SUMBER : PUJIANTO

93
Diambil dari Microsoft Encarta 2006

68
ii. Meru

Dalam motif ini salah satu ornamen utamanya adalah Meru. Menurut
kepercayaan India, Meru (gunung) berdiri di pusat dunia dan diatasnya bersinar
Bintang Utara (kutub). Ternyata kepercayaan tersebut tidak hanya di India,
tetapi merupakan kepercayaan seluruh dunia atau biasa disebut budaya
universalitas (Baca Elaide; 2003:13). Di dalam gunung terdapat ‘axis mundi’,
yaitu titik pertemuan antara Bumi, Neraka dan Nirwana 94 .

GAMBAR 3.19
PENGAPLIKASIAN MERU DALAM GUNUNGAN PADA KESENIAN WAYANG
SUMBER : EDI SUNARYO

94
Karya Tesis ITB yang berjudul ‘Kajian Bentuk dan Makna Batik kasumedangan’ oleh Dwi
Rahayu Surviati halaman 90

69
GAMBAR 3.20
RAGAM HIAS MERU YANG TERDAPAT PADA BATIK KERATON SURAKARTA
SUMBER :PUJIANTO

70
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia mendapat pengaruh Hindu dari
India, tetapi Hindu yang ada di Indonesia tidak sama seperti Hindu menurut
versi asli India. Kepercayaan Hindu di Indonesia telah bersinkretisme dengan
budaya asli Indonesia, sehingga memunculkan ragam Meru khas Jawa atau bali
sebagai contohnya.

Meru dianggap sebagai perwujudan dari gunung Mahameru yang terdapat di


India. Pada gunung ini tumbuh berbagai macam tanaman yang berkhasiat bagi
tubuh. Pada puncak gunung Meru dipercaya tumbuh Pohon Soma yang dapat
memberikan kesaktian. Sedangkan pada bagian barat Meru terdapat pohon
Jambu wrekso yang memiliki seratus batang ranting. Pada gunung ini juga
terdapat mata air kala-kala yang dapat membuat para Dewa mati bila
meminumnya. Di dekat mata air kala-kala tumbuh pohon Sandilata yang
dipercaya mampu menghidupkan orang yang telah meninggal.

Di sisi lain, dalam alam pemikiran Jawa kuno, Meru adalah lambang
keseluruhan kosmos maupun kosmis (jagad besar dan jagad kecil) sehingga
segala bentuk kehidupan tentulah terdapat didalamnya. Maka tampillah Meru
merangkum seisi jagad raya dan segenap kehidupan. Bentuknya menjadi
gunungan seperti yang digunakan pada pertunjukkan wayang kulit. Meru atau
gunungan juga merupakan kekayon atau pohon hayat (pohon kehidupan). Pohon
ini juga melambangkan alam beserta isinya yang merupakan sumber kehidupan
manusia.

Konsep Meru di Jawa berasal dari konsep triloka agama Hindu, yaitu ajaran
tentang tiga alam atau tiga dunia yang berasal dari kepercayaan Siwa Pasupata
(Sumardjo :2001) 95 . Ajaran ini mengatakan bahwa segala sesuatu berasal dari
keadaan Syiwa sebagai Dewa tertinggi penguasa dunia atas yang kemudian

95
Ibid halaman 92

71
secara bertahap menjelma atau menubuh dari keadaan ‘tiada’, atau keadaan
‘tidak kasat mata’ menjadi keadaan ada dan kasat mata (Hadiwoyono :83).

GAMBAR 3.21
KONSEP PEMBAGIAN TIGA DUNIA DALAM KOSMOLOGI JAWA
SUMBER : KAJIAN BENTUK DAN MAKNA BATIK KASUMEDANGAN, DWI RAHAYU SERVIATI

Konsep triloka di atas ternyata juga dianut oleh masyarakat Jawa kuno. Konsep
ini meyakini bahwa segala sesuatu di dunia idealnya terdiri dari tiga bagian
dasar, seperti halnya kepercayaan yang dianut oleh Hindu.

Selain itu terdapat pula kepercayaan bahwa Gunung Tidar, sebuah bukit kecil
di dekat kota Magelang, Jawa Tengah sebagai poros atau ‘paku’ dari pulau
Jawa.

iii. Pohon Hayat

Dalam sistem religi masa lampau, pohon hayat merupakan simbol dari
kemakmuran dan keseimbangan antara mikrokosmos dan makrokosmos 96 .
Sedangkan dalam agama Hindu, pohon hayat merupakan pohon hayat dikenal
dengan istilah kalpavrksa, kalpadruma, kalpataru, atau kalpavalli. Istilah
tersebut berasal dari kata kalva yang berarti keinginan, masa dunia, zaman,
96
Menurut kamus filsafat istilah makrokosmos berasal dari bahasa Yunani, yaitu macros yang
artinya panjang, lebar dancosmos yang berarti alam semesta. Secara umum makrokosmos
adalah keseluruhan yang besar, dan kontras dengan bagian-bagian yang terkecil, yaitu
mikrokosmos. Secara khusus makrokosmos adalah adalah alam semesta yang dipandang dalam
totalitasnya.

72
harapan, nama dan cara. Sehingga kalpavrksa, kalpadruma, kalpataru, atau
kalpavalli memiliki pengertian sebagi pohon pengharapan, pohon masa dunia
atau pohon keinginan. Dalam agama Buddha juga dikenal Pohon Bodhi yang
dianggap sebagai pemberi pencerahan ketika Sidharta Gautama sedang
bersemedi.

GAMBAR 3.22
TREE OF LIFE (POHON HAYAT) DARI INDIA
SUMBER : STELLA KAMRITCH, 1972

Dalam budaya India, kalpavrksa dikenal sebagai pohon yang buah-buahnya


dapat mengabulkan setiap permohonan. Pohon tersebut selalu menghasilkan
milk, yaitu enam macam makanan para dewa serta buahnya juga mampu
menghasilkan pakaian dan perhiasan. Dengan demikian pengertian kalpavrksa
di India sama dengan pengertian pohon khayangan atau pohon surga di Jawa
karena berada di khayangan tempat tinggal para dewa.

3.5.2.2 Pola Sawat

Sawat dalam kamus Kawi Jawa juga memiliki arti yang sama dengan semen,
yaitu pertumbuhan dan kehidupan. Motif sawat ditampilkan dalam visualisasi
sayap burung pada sisi kanan dan kiri yang disebut mirong, dua sayap terbuka
kembar lengkap dengan ekor terbuka yang disebut sawat, maupun satu sisi

73
sayap, baik kanan atau kiri adalah Lar yang kesemuanya melambangkan
keperkasaan dan keberanian.

GAMBAR 3.23
ORNAMEN DASAR PADA POLA SAWAT
SUMBER : DJAJASOEBRATA. 1979: 24 97

Dalam mitologi Hindu-Jawa, Lar sebagai burung garuda, yaitu sejenis burung
yang berkaki manusia. Burung ini merupakan kendaraan Dewa Wisnu, yaitu
Dewa pemelihara. Dalam sejarah Mataram saat pemerintahan Sultan Agung
motif ini merupakan lambang kejayaan. Karena itulah motif ini diperuntukkan
bagi Raja agar diberi kekuatan untuk mengayomi masyarakat.

TABEL 3.5
JENIS-JENIS SAWAT YANG MUNCUL PADA BATIK KERATON
SUMBER : PUJIANTO

No. Jenis Ciri-Ciri Visual


1. Sawat Sepasang sayap yang terbuka lengkap dengan ekor dan
bagian tubuh lainnya.

97
Ibid halaman 184

74
2. Mirong Sepasang sayap yang terbuka
3. Lar Sebuah sayap, baik kiri maupun kanan

GAMBAR 3.24
VISUALISASI RAGAM HIAS GARUDA YANG TERDAPAT PADA BATIK KERATON SURAKARTA
SUMBER : KAJIAN BATIK SURAKARTA, PUJIANTO

3.5.2.3 Pola Alas-alasan

Alas-alasan berarti hutan, sehingga ornamen yang muncul dalam motif ini
sebagian besar adalah hewan dan tumbuhan. Motif ini hampir sama dengan
motif semen, hanya saja ornamen hewan lebih dominan dibanding motif
tumbuhan dengan visualisasi ramai dengan gaya bebas namun masih mengacu
pada unsur alam dengan komposisi menyeluruh bagian kain dan jarak antar
ornamen yang sama. Selain itu, untuk memberi kesan tidak monoton maka
maka pengisian bidang kosong dilakukan dengan menampilkan tumbuhan yang
sekaligus menjadi penghubung antar hewan.

75
Pemberian kesan berantakan dan liar merupakan salah satu cara untuk
menghadirkan kesan hutan alam yang masih liar. Namun seperti yang telah
diutarakan sebelumnya bahwa meskipun pola geometri, pola ini tetap memiliki
perhitungan jarak yang konsisten. Motif ini juga merupakan representasi dari
alam dunia yang dipenuhi oleh kebaikan dan kejahatan, karena jika
diperhatikan lebih teliti akan tampak adanya hewan yang merusak tanaman
atau memangsa hewan lain, seperti macan dan serangga. Sedangkan hewan
yang tidak merusak lingkungan seperti kupu-kupu. Berbagai sifat hewan
tersebut mewakili sifat-sifat yang ada di dunia ini.

Motif alas-alasan ini hanya boleh diterapkan pada kain Dodot Bangun Tulak
dengan kombinasi prada emas. Jenis batik ini sering digunakan untuk upacara-
upacara agung seperti menghadiri upacara pengantin agung dan tari bedhaya.

GAMBAR 3.25
POLA ALAS-ALASAN BURON SAMUDERA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Menurut paham triloka, unsur kehidupan terbagi atas 3 bagian, yaitu Alam atas,
Alam tengah dan Alam bawah. Ornamen yang berhubungan dengan alam atas
seperti Garuda, kupu-kupu dan lidah api megacu pada para dewa, pohon hayat,
tumbuhan dan meru yang mewakili Alam tengah dan perahu, naga dan binatang
laut lainnya merupakan representasi dari alam bawah.

76
3.5.2.4 Pola Lung-lungan

Motif Lung-lungan ini merupakan motif turunan dari semen. Namun jika dalam
semen sawat yang digunakan berbentuk lengkap dengan kedua sayap dan
ekornya, dalam motif Lung-lungan ornamen sawat hanya muncul sebagai lar
atau mirong. Selain itu, pada motif lung-lungan ini tidak selalu terdapat Meru,
yang menjadi karakteristik dari motif semen.

Sebaliknya, motif ini kaya dengan unsur tumbuhan, baik itu tumbuhan sulur
ataupun pohon hayat. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa motif Lung-lungan
memiliki kesamaan pula dengan motif Alas-alasan. Bedanya, jika dalam motif
Alas-alasan ornamen yang dominan adalah hewan-hewannya karena
merepresentasikan dunia fauna, maka dalam motif Lung-lungan tendensinya
lebih kepada dunia flora.

GAMBAR 3.26
POLA LUNG-LUNGAN BABON ANGREM
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

77
Dari keseluruhan pola non geometrik yang diterapkan dalam batik klasik
Keraton ini, maka dapat diklasifikasikan dengan tabel berikut ini :

TABEL 3.6
ORNAMEN YANG SERING MUNCUL PADA BATIK KERATON POLA NON GEOMETRIK BESERTA
PEMAKNAANNYA
SUMBER : SUSANTO DAN VELDHUISEN

No. Nama Arti


1. Sawat atau Garuda mentari yang berarti keperkasaan dan kesaktian.
2. meru tempat para dewa
3. pohon hayat kehidupan
4. lidah api api, kesaktian dan bakti
5. burung umur panjang
6. binatang berkaki empat keperkasaan dan kesaktian
7. kapal cobaan
8. Pusaka Wahyu, kegembiraan dan ketenangan
9. Naga kesaktian dan kesuburan
10. Kupu-kupu kebahagiaan dan kemujuran
11. Dampar Keramat, tempat raja

Sedangkan menurut Wiyoso Yudoseputro dalam Pengenalan Ragam Hias Jawa I


B (1983 :93) 98 bahwa beberapa motif yang sering digunakan dalam batik
mempunyai lambang tertentu seperti :

TABEL 3.7
ORNAMEN YANG SERING MUNCUL PADA BATIK KERATON POLA NON GEOMETRIK BESERTA
PEMAKNAANNYA
SUMBER : WIYOSO YUDOSEPUTRO

No. Ornamen batik arti


1. Meru Tanah, bumi atau gunung tempat para dewa
2. Lidah Api Api, Dewa api, lambang kesaktian
3. burung Alam atas
4. Pohon hayat Alam tengah
5. Barito Air, dunia bawah
6. Pusaka Kegembiraan, ketenangan
7. Garuda Kendaraan dewa Wisnu, matahari

Sehingga bila ornamen tersebut dikelompokkan berdasarkan wilayah alam


berdasarkan falsafah Jawa, maka akan menjadi :

98
Ibid halaman 88

78
TABEL 3.8
KLASIFIKASI ORNAMEN BERDASARKAN PELAMBANGAN DAN MAKNA
SUMBER : SUSANTO DAN VENDHIUSEN

Alam atas Alam tengah Alam bawah


Garuda (burung) Pohon hayat Perahu
Kupu-kupu Meru Naga
Lidah api Bangunan Ular
Dampar Binatang berkaki empat Binatang air lain
Pusaka Barito

Di bawah ini akan ditampilkan beberapa contoh motif pada batik klasik keraton
Surakarta yang mewakili tiap pembagian dunia. Ketiga dunia dunia tersebut
adalah :

GAMBAR 3.27
KLASIFIKASI ORNAMEN BATIK KERATON POLA NON GEOMETRIS BERDASARKAN PEMBAGIAN
TIGA DUNIA
SUMBER : PUJIANTO

3.6 Dunia Bawah

79
3.7 Dunia Tengah

80
3.8 Dunia Atas

81
BAB IV
ANALISA VISUALISASI BATIK KERATON KLASIK
SURAKARTA

Dalam bab ini penulis akan membahas visualisasi dari batik keraton klasik
Surakarta. Melalui analisa ini, Penulis mengharapkan dapat memberi
interpretasi baru sebuah karya batik keraton. Pembagian Pola yang dianalisa
diklasifikasikan sesuai bentuk geometris dan non geometris beserta turunannya.

4.1 Motif Geometris

Motif geometris seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya adalah
motif yang mengikuti kaidah ilmu ukur. Motif ini biasanya bertendensi pada
sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan dan pemerintahan, seperti halnya
motif parang rusak, cemungkiran atau ceplok.

4.1.1 Pola Parang Barong

GAMBAR 4.1
POLA PARANG BARONG
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

82
Batik yang dibahas kali ini adalah batik dengan motif Parang Barong dari marga
Parang-parangan yang tergolong motif geometris. Parang Barong merupakan
turunan dari Parang Rusak. Selain Parang Rusak Barong terdapat Parang Rusak
Klitik (Kecil) dan patang Rusak Gendreh (ukuran sedang). Parang Rusak sendiri
adalah salah satu motif larangan yang diciptakan oleh Sultan Agung dimana
beliau adalah Raja Mataram saat itu. Dalam komposisinya, batik ini membentuk
garis-garis diagonal dari kiri atas ke kanan bawah. Warna yang digunakan dalam
batik ini adalah warna-warna yang dihasilkan oleh pewarna alami yang berasal
dari nabati, seperti warna coklat soga, krem dan hitam. Kain ini berukuran 3
kacu, dimana satu kacu adalah ukuran diagonal dari lebar kain. Ukuran ini biasa
digunakan untuk kain nyamping.

Pada panjang kain ini terdapat 17 baris mlinjon dan 35 baris parang yang saling
berhadapan. Adapun tabel rincian jumlah mlinjon dan isen utama parang
diselembar wastra batik ini adalah sebagai berikut :

TABEL 4.1
RINCIAN JUMLAH MILNJON DAN UCENG PADA PARANG BARONG
SUMBER : PENULIS

No Mlinjon Uceng
Utuh Setengah Utuh Setengah
1. 5 1 sisi kiri mlinjon : 2 sisi kiri mlinjon : -
sisi kanan mlinjon : 3 sisi kanan mlinjon : 1
2. 12 1 sisi kiri mlinjon : 5 sisi kiri mlinjon : -
sisi kanan mlinjon : 7 sisi kanan mlinjon :-
3. 17 2 sisi kiri mlinjon : 8 sisi kiri mlinjon : -
sisi kanan mlinjon : 10 sisi kanan mlinjon :-
4. 24 2 sisi kiri mlinjon : 11 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon :13 sisi kanan mlinjon :-
5. 25 2 sisi kiri mlinjon :12 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon :13 sisi kanan mlinjon :-
6. 25 2 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 2
7. 26 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kiri mlinjon : 2
sisi kanan mlinjon : 13 sisi kanan mlinjon : 1
8. 25 2 sisi kiri mlinjon : 13 sisi kiri mlinjon : -
sisi kanan mlinjon : 13 sisi kanan mlinjon : 1
9. 25 2 sisi kiri mlinjon : 13 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 13 sisi kanan mlinjon : 1
10. 25 1 sisi kiri mlinjon : 13 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 13 sisi kanan mlinjon : -

83
11. 25 1 sisi kiri mlinjon : 13 sisi kiri mlinjon : -
sisi kanan mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 2
12. 24 1 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 1
13. 24 1 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 12 sisi kanan mlinjon : 1
14. 24 1 sisi kiri mlinjon : 12 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 11 sisi kanan mlinjon : 1
15. 18 1 sisi kiri mlinjon : 10 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 7 sisi kanan mlinjon : 1
16. 11 1 sisi kiri mlinjon : 7 sisi kiri mlinjon : -
sisi kanan mlinjon : 4 sisi kanan mlinjon : 1
17. 4 1 sisi kiri mlinjon : 3 sisi kiri mlinjon : 1
sisi kanan mlinjon : 1 sisi kanan mlinjon : 1

Menurut falsafah Jawa, batik adalah suatu cara untuk mencapai


transendensitas. Transendenitas itu sendiri merupakan salah satu cara untuk
beribadah pada Tuhan. Karena itulah, dilakukan berbagai upaya untuk berada
atau menggambarkan transendenitas tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
komposisi Parang Barong secara diagonal yang melambangkan keadaan
‘tengah’. Tidak berada horizontal maupun vertikal. Sedangkan penggambaran
dari arah kiri atas ke kanan bawah merupakan salah satu ciri motif batik parang
Surakarta yang membedakannya dengan batik Yogyakarta. Batik Surakarta
tampil dengan ciri khasnya yang lebih halus, rapih dan teratur.

Pengulangan kumpulan motif parang yang membentuk diagonal memberi kesan


tidak terbatas. Kesan ini sering dianggap merupakan pengaruh dari motif
arabesque yang berasal dari seni rupa Islam. Motif arabesque menggambarkan
ketidak berbatasan Tuhan dengan suatu pola tanpa awal dan akhir. Karena
Tuhan tidak memiliki awal dan akhir. Namun pola tak berbatas itu juga
merepresentasikan keadaan berdzikir yang terus-menerus dan tak terputus
pada Tuhan.

84
GAMBAR 4.2
SALAH SATU CONTOH PENGAPLIKASI POLA ARABESQUE PADA BANGUNAN ARSITEKTURAL
SUMBER : MICROSOFT ENCARTA 2006

Sedang dalam visualisasinya, stilasi parang ditampilkan secara bergantian dari


sisi atas dan sisi bawah sehingga saling berhadapan dan mengisi ruang. Pada
tiap-tiap stilasi parang terdapat isen uceng yang memberi kesan dinamis. uceng
sendiri merupakan simbolisasi dari kesaktian dan ketaatan. Isen ini
memperkuat penggambaran dinamis yang direpresentasikan melalui
pengulangan motif parang yang membentuk garis diagonal. Selain itu juga
terdapat isen mlinjon yang menjadi jeda antara isen yang satu dengan yang
lain. Kekontrasan juga ditampilkan bukan hanya dalam bentuk, tetapi juga
dalam pewarnaannya. Untuk isen mlinjon sengaja dipilih warna yang lebih kuat
namun tetap senada untuk mempertegas motif batik secara keseluruhan. Selain
itu, ditinjau dari penerapan warna yang dipilih, warna putih merupakan
perlambangan dari dunia terang dan kehidupan, warna kuning kecoklatan
merupakan lambang kematangan dan kejujuran sedangkan warna hitam
mewakili keabadian.

Dalam budaya Jawa, parang merupakan salah satu motif larangan yang hanya
boleh digunakan oleh para Raja dan Bangsawan. Alasan diberlakukannya
larangan ini karena parang adalah lambang kekuatan dan kekuasaan, sehingga
jika digunakan oleh orang yang salah dapat menyalahgunakan kekuasaannya.
Dalam pewayangan, Parang Barong biasa digunakan oleh para Dewa. Sedangkan
dalam kehidupan sehari-hari, motif ini digunakan oleh kalangan ningrat dan

85
priyayi. Selain itu yang perlu diketahui bahwa penerapan motif ini dalam pola
geometri yang mengacu pada konsep ilmu ukur menguatkan motif ini sebagai
sebuah motif yang melambangkan kekuasaan atau pemerintahan.

4.1.2 Pola Parang Sarpa

Batik yang dibahas kali ini adalah batik dengan motif Parang Sarpa dari marga
Parang-parangan yang tergolong motif geometris. Dalam komposisinya, batik ini
membentuk garis-garis diagonal dari kiri atas ke kanan bawah, yang merupakan
indikasi bahwa batik ini berasal dari Surakarta (Solo). Warna yang digunakan
dalam batik ini adalah warna-warna yang dihasilkan oleh pewarna alami yang
berasal dari nabati, seperti warna coklat soga, krem dan hitam.

Motif Parang merupakan stilasi dari senjata tajam yang dikenal dengan sebutan
parang. Senjata ini di pakai untuk perang oleh para Punggawa Keraton. Dari hal
tersebut dapat diketahui bahwa fungsi parang adalah untuk mengalahkan
musuh. Bila pengertian tersebut dikembalikan ke dalam diri manuia, maka yang
dikalahkan adalah sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Dalam batik kali ini,
Motif Parang yang digunakan adalah Parang Klitik, yang berarti Parang yang
berukuran kecil. Parang tersebut disusun secara diagonal dari kiri atas ke kanan
bawah dengan komposisi saling berhadapan sehingga saling mengisi ruang yang
kosong. Dengan alis-alisan dua lapis hitam dan coklat tua, dan uceng kecil yang
mengisi bagongan yang ramping, motif ini biasa digunakan oleh Puteri dalem
yang berbadan kecil.

86
GAMBAR 4.3
POLA PARANG SARPA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Sarpa sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Ular. Adapun
penjelasan tentang hewan melata tersebut dalam kedudukannya pada
simbolisasi falsafah Jawa adalah sebagai berikut :

4.1.2.1 Ular

Dalam serat Wulang Reh karya Sri Pakubuwana IV, beliau menegaskan bahwa
sebagai seorang yang terhormat hendaknya menjauhi sifat Adigang, Adigung
dan Adiguna.

Adigang adalah watak sombong karena mengandalkan kekayaan, pangkat dan


kekuasaan. Sifat ini dapat mencelakakan bahkan mencoreng muka sendiri. Sri
Pakubuwana IV mengambil simbolisasi seekor kijang gesit yang sangat yakin
akan kemampuan diri sendiri dengan berlebihan sehingga tidak waspada bahwa
ada harimau yang bersembunyi di balik semak-semak, siap untuk
menerkamnya.

87
Adigung adalah watak sombong karena mengandalkan kepintarannya, lantas
meremehkan orang lain. Sifat ini dilambangkan dnegan gajah yang
membanggakan kebesaran tubuhnya, lantas dia lupa bahwa makhluk sekecil
semut dapat masuk ke dalam tubuhnya dan membuatnya berang.

Adiguna adalah seseorang yang berwatak sombong karena mengandalkan


keberanian dan kemampuannya bersilat lidah. Kata-katanya sebenarnya
hanyalah manis di mulut saja, namun dirinya sendiripun tidak mampu
membuktikannya. Sifat seperti ini dianalogikan dengan seekor ular berbisa oleh
Sri Pakubuwana IV.

Ular adalah binatang yang mengandalkan bisa beracunnya. Namun ular lupa,
bahwa segala penyakit dan racun memiliki penawarnya. Tubuh ularpun
sebenarnya jika dipergunakan dalam takaran dan penggunaan yang tepat dapat
menjadi obat. Karena itulah, penggunaan kata-kata dalam ini hendaknya
secukupnya. Tidak berlebihan namun cukup adanya.

Lebih jauh, bisa ular dapat ditawarkan dengan empedu ular itu sendiri. Hal
tersebut di sisi lain mengisyaratkan bahwa racun itu terdapat di dalam diri
sendiri, begitu pula penawarnya. Dalam artian yang lebih luas, ungkapan ini
merepresentasikan bahwa proses pencarian diri sendiri adalah proses keluar
dari diri sendiri untuk menemukan jawabannya dengan kembali ke dalam diri
sendiri.
.

88
GAMBAR 4.4
RAGAM HIAS YANG MERUPAKAN STILASI DARI BENTUK ULAR ATAU NAGA DALAM BATIK
KERATON SURAKARTA
SUMBER : PUJIANTO

Pada batik Parang sarpa ini, visualisasi ular tampak dari bentuk gelombang yang
berada diantara satu baris motif parang dengan baris yang lain. Sebagai isen
motif dalam Pola ini, ditengah dua gelombang yang merepresentasikan ular
tersebut terdapat lingkaran-lingkaran kecil yang disebut matan. Lingkaran ini
ditata secara teratur dari awal dan akhir 99 sehingga mengesankan

99
Disebut juga Gringsing

89
ketidakberbatasan, seperti halnya kesan motif parang pada umumnya yang tak
ada ujung pangkal.

GAMBAR 4.5
DETAIL POLA PARANG SARPA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Gelombang tersebut selain merepresentasikan ular, juga berbicara tentang


gelombang kehidupan yang berputar dan naik turun. Kadang di atas kadang
sebaliknya. Kadang di beri kemudahan, tetapi tak jarang diuji dengan
kesulitan.

Warna yang digunakan dalam pola ini juga mengikuti pakem warna yang biasa
diterapkan dalam motif parang, yaitu gradasi dari kuning ke cokelat soga dan
hitam. Namun dalam pola kali ini tidak muncul warna putih yang kerap muncul
dalam pola parang. Warna kuning yang terlihat di sini mewaikili kematangan
dan kejujuran dan warna hitam merepresentasikan dunia petang sebagai
lambang kelanggengan (keabadian). Sedangkan gradasi warna kuning ke coklat

90
kehitaman merupakan proses kehidupan manusia dalam upayanya mencapai
transendenitas.

Secara keseluruhan, pola ini berisi nasihat untuk menjalani kehidupan dengan
kebesaran jiwa dan keteguhan hati 100 , sehingga dapat menjalani hidup dengan
sebaik-baiknya.

4.1.3 Pola Kawung

GAMBAR 4.6
POLA KAWUNG
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Pola kawung merupakan salah satu pola turunan dari salah satu ornamen
tertua, yaitu ceplok 101 . Ceplok sendiri merupakan representasi dari alam
kepercayaan orang Jawa akan pola lima atau biasa dikenal dengan istilah
manca-pat. Dalam pengaturannya, pola ini terdapat empat sisi dengan satu
berada di tengah sebagai pusatnya (sentralisasi). Sistem manca-pat juga
mencermunkan keunggulan pusat, namun dengan penambahan daerah di
pinggirannya yang di bagi atas 4 bagian (pat, yang artinya empat). Keempat
pinggiran tersebut berkaitan dengan salah satu mata angin.
100
Hal ini tampak dari visualisasi Parang yang merupakan harapan untuk dapat mengalahkan
sifat-sifat buruk dalam diri sendiri.
101
Selain kawung , terdapat Truntum yang juga merupakan turunan dari pola ceplok

91
4.1.3.1 Manca-pat

Sistem manca-pat 102 jelas memegang peranan penting dalam pembentukan


mentalitas Jawa, karena berfungsi sebagai sistem klasifikasi. Pada setiap arah
mata angin sesungguhnya terkait tidak hanya kepada satu orang Dewa, namun
antara lain juga pada warna dasar, logam, cairan dan hewan 103 . Pengertian
ruang di sini, bukan hanya dalam definisi geometris, akan tetapi manusia
seutuhnya yang terbagi atas lima kategori 104 . Timur dianggap berpadanan
dengan putih, perak, santan; selatan dengan warna merah, tembaga, darah;
barat dengan warna kuning, emas dan madu; serta utara dengan warna hitam
besi dan nila. Sedangkan pusat dari ke empat penjuru angin itu merupakan
harmonisasi dari keseluruhannya.

Pola manca-pat ini dapat dicermati dalam beberapa ungkapan budaya sosial
Jawa, seperti tata letak dan tata karma susunan Singasana Raja dan para
pengiringnya, arah dan sistem peletakan rumah atau perkampungan hingga
hiasan ornamentik diberbagai aplikasi 105 .

. .
GAMBAR 4.7
DETAIL ISEN-ISENAN PADA POLA KAWUNG
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

102
Sistem yang terdiri atas lima unsur dengan satu pusat dan empat arah mata angin telah
berkembang menjadi sistem yang lebih rumit yang memperhitungkan arah mata angin tengah
diantara keempat arah mata angin tadi.
103
Dikutip dari buku Nusa Jawa : Silang Budaya yang disusun oleh Danys Lombard halaman 100
104
Kategori ini dalam perkembangannya menjadi pola sembilan
105
Seperti tata peletakan Keraton yang mengikuti pakem-pakem yang sudah disepakati
bersama

92
Selain ornamen utama tersebut, terdapat isen motif batik yang bentuknya
bujur sangkar dengan setengah lingkaran memotong setiap sisinya. Ditengah
isen ini terdapat pengembangan dari mancapat atau yang biasa dikenal dengan
pola lima tersebut. Pola ini disebut dengan pola sembilan. Tampak disini,
terdapat delapan arah mata angin dengan satu berada ditengah sebagai pusat.
Namun jika dicermati kembali, tampak bahwa arah mata angin yang berada
diantara empat mata angin dasar lebih kecil dibandingkan dengan arah mata
angin tengah yang mendominasi dengan visual yang lebih besar.

Secara keseluruhan tampak pola empat dengan pusat pola delapan 106 , namun di
sisi lain juga terdapat penggambaran pola empat mengalami perkembangan
menjadi pola delapan 107 . Dari hal ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa
perjalanan kesejarahan Jawa beserta alam pemikirannya tidaklah linear seperti
halnya alam pemikiran Barat. Dalam falsafah Jawa, masa kini tidak dapat
terlepas dari masa lampau, bahkan saling melengkapi seperti halnya kulit
bawang 108 .

Secara keseluruhan, pola ini tersusun dari pengulangan motif ceplok yang
tertata rapih, sehingga dapat ditarik garis vertikal, horizontal maupun
diagonal. Pengulangan yang tak berujung pangkal tersebut merepresentasikan
tendensitas pada pemaknaan dari motif ceplok tersebut. Motif ini merupakan
salah satu motif larangan yang hanya boleh digunakan oleh golongan ningrat
karena dalam pemaknaannya merepresentasikan poros kekuasaan atau
pemegang tampuk kepemimpinan.

106
Lihat gambar 4.6 bagian A
107
Lihat gambar 4.6 bagian B
108
Ini merupakan istilah yang digunakan oleh Danys Lombard dalam bukunya yang berjudul
Nusa Jawa : Silang Budaya seri 3 halaman 104

93
4.1.3.2 Biji

Di sisi lain, motif ceplok ini dapat di lihat sebagai stilasi dari bentuk biji atau
tumbuhan yang melambangkan pertumbuhan, perkembangan dan kesuburan.
Seperti halnya pohon hayat yang melambangkan kehidupan, biji atau bibit yang
nantinya akan tumbuh menjadi besar ini merupakan simbolisasi dari dunia
tengah. Kesuburan dalam konteks ini melingkupi secara keseluruhan, baik itu
manusia, tumbuhan maupun hewan. Karena itulah motif ini sering pula
digunakan oleh puteri dalem keraton.

Biasanya penggunaan kain ini pada puteri dalem menyimpan pengharapan akan
kesuburan dan dipermudah mendapatkan keturunan. Dari hal ini, dapat kita
ketahui bahwa motif ini diperuntukkan pada seorang puteri yang telah
bersuami.

4.2 Motif Non Geometris

Motif yang dimaksud Geometris disini adalah motif yang tidak mengacu pada
ilmu ukur. Meskipun begitu jika diperhatikan secara seksama terdapat
perhitungan jarak dan komposisi yang teratur antara satu ornament dengan
ornamen lainnya. Pada analisa kali ini pola yang dipilih berdasarkan atas
pertimbangan keragaman visual dan re[resentasi yang berusaha ditampilkan.

94
4.2.1 Pola Semen

POLA SEMEN GURDHA


GAMBAR 4.8
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Ragam hias utama yang merupakan ciri khas pola Semen adalah Meru, suatu
gubahan yang menyerupai gunung. Kata Meru sendiri berasal dari nama gunung
Mahameru yang dianggap sebagai titik tertinggi di muka bumi dan dianggap
sebagai tempat persemayaman para dewa menurut kepercayaan Hindu.

4.2.1.1 Meru

Hakikat Meru itu sendiri adalah lambang gunung atas tempat tumbuhan
bertunas 109 .

109
Tunas tersebut dalam bahasa Jawa di sebut semi yang merupakan akar kata dari Semen.

95
GAMBAR 4.9
DETAIL VISUAL ORNAMEN SAWAT DARI POLA SEMEN GURDHA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Motif Semen yang dibahas kali ini adalah motif Semen Gurdha. Gurdha adalah
hewan kendaraan Wisnu untuk naik ke Nirwana. Karena itulah Gurdha dianggap
sebagai hewan suci dan merupakan perlambang dari dunia atas.

GAMBAR 4.10
PENGGAMBARAN DEWA WISNU DALAM 10 REINKARNASI
SUMBER : MICROSOFT ENCARTA 2006

Penekanan pada transendenitas terlihat pada pengulangan simbol ini, baik pada
Meru, tumbuhan sulur ataupun garuda yang merupakan ikon utama dalam motif
ini. Sisi transendensi tersebut ditampilkan melalui bentuknya yang mengerucut

96
ke atas. Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa tanda segitiga dengan
ujung mengarah ke atas merupakan simbolisasi dari dunia atas.

GAMBAR 4.11
DETAIL VISUAL MERU DARI POLA SEMEN GURDHA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

4.2.1.2 Bangunan

GAMBAR 4.12
DETAIL VISUAL BANGUNAN DARI POLA SEMEN GURDHA
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Bangunan merupakan tempat untuk berdiam, menetap dan berlindung. Selain


itu, bangunan khususnya rumah juga mampu berfungsi untuk melindungi harta
keluarga, menyimpan rahasia keluarga. Biasanya dihuni oleh sebuah keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Munculnya visualisasi ini dalam pola
Semen Gardha ini merupakan penggambaran dari harapan bahwa seyogyanya
manusia dapat menerima siapapun yang memerlukan perlindungan, mengatur

97
serta menyelesaikan segala masalah, arif, bijaksana dan dapat diandalkan.

GAMBAR 4.13
DETAIL POLA SEMEN GURDHA SECARA KESELURUHAN
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Pada bagian kanan dan kiri Meru terdapat dua bangunan, dengan penggabungan
simbolisasi dunia atas dan bawah yang merepresentasikan harmonisasi diantara
keduanya dan menciptakan suatu entitas yang sama sekali baru. Hal ini
merupakan pemikiran pola tiga yang tidak lagi beranggapan bahwa keberadaan
yang satu adalah kematian bagi yang lain seperti halnya dalam pola dua. Pola

98
tiga merupakan dasar dari perkembangan ke kompleksitas pola-pola
selanjutnya. Peletakan ikon yang melambangkan harmonisasi di kedua sisi Meru
tersebut juga bukannya tidak memiliki tendensi tertentu. Meru yang dianggap
sebagai tempat para Dewa di muka bumi dipercaya merupakan titik
penguhubung dengan dunia atas.

Pada intinya, motif ini memaparkan pembagian dunia secara tiga garis besar,
yaitu dunia atas yang disimbolisasikan dnegan Garuda, Meru yang merupakan
titik penghubung sehingga dapat dikatakan sebagai dunia tengah dan tumbuhan
sulur yang merupakan penggambaran dari dunia bawah. Ketiga bagian tersebut
dipisahkan oleh sebuah garis yang organis dengan bentuk juga segitiga atas.

4.2.2 Pola Bondhet

GAMBAR 4.14
POLA LUNG-LUNGAN MOTIF BONDHET
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Pola ini adalah pola Bondhet dari kelompok Lung-lungan. Motif Lung-lungan ini
merupakan motif turunan dari semen. Namun jika dalam motif Semen ornamen

99
sawat yang digunakan berbentuk lengkap dengan kedua sayap dan ekornya,
dalam motif Lung-lungan ornamen sawat hanya muncul sebagai lar atau
mirong. Selain itu, pada motif lung-lungan ini tidak selalu terdapat Meru, yang
menjadi karakteristik dari motif semen.

Sebaliknya, motif ini kaya dengan unsur tumbuhan, baik itu tumbuhan sulur
ataupun pohon hayat. Dari hal ini, dapat dilihat bahwa motif Lung-lungan
memiliki kesamaan pula dengan motif Alas-alasan. Perbedaannya terletak pada
unsure yang dominannya. Jika dalam motif Alas-alasan ornamen yang dominan
adalah hewan-hewannya karena merepresentasikan dunia fauna, maka dalam
motif Lung-lungan tendensinya lebih kepada dunia flora.

Pada motif batik kali ini, pola yang di bahas adalah pola Bondhet. Kata ini
berasal dari nama lagu gamelan yang artinya bergandengan dengan akrabnya.
Karena itulah Bondhet sering dianggap merepresentasikan kemesraan atau
kecintaan.

Secara visual, pola ini didominasi oleh warna coklat kemerahan, hitam dan
cokelat muda. Hal ini merupakan ciri khas dari jenis batik keraton Surakarta, di
mana warna-warna yang ditampilkan dalam satu kesatuan batik cenderung
berupa gradasi warna, bukannya perpaduan warna yang kontras seperti yang
sering terlihat pada batik keraton Yogyakarta. Menurut filosofi Jawa, warna
hitam melambangkan dunia atas sedangkan warna merah merupakan
perlambangan dari dunia atas. Penggunaan kedua warna tersebut secara
dominan dalam penerapan pola Bondhet kali ini tentu saja bukannya tanpa
tujuan. Perpaduan dua warna yang mewakili dunia yang sama sekali berbeda
itu berusaha merepresentasikan keadaan penyatuan atau biasa disebut
transendensi.

Dalam tampilan bentuknya, batik keraton ini menampilkan lar dengan jumlah 3
bulu pada sisi pertama, 5 pada bagian ke dua dan 9 pada bagian terakhir. Pada

100
bagian lar tampak kerangka batik yang membentuk visualisasi sayap berupa
naga dengan kedua cakar yang jumlahnya masing-masing 5 ruas jari dan gigi
menonjol yang berjumlah empat di sisi kanan dan kirinya (jumlah keseluruhan
8). Pada bagian tengahnya, terdapat bentuk seperti bunga dengan empat
kelopak dan satu titik pusat.

Diantara kedua lar yang saling berhadapan, terdapat sawat yang tidak
dilengkapi dengan ekor (mirong). Sebagai gantinya, di tengah mirong tersebut
terdapat bentuk belah ketupat (segitaga atas dan segitiga bawah) di mana
ditengahnya terdapat sepasang sayang yang di setiap sisinya terdapat 7 buah
bulu.

Pada bagian bawah mirong tersebut terdapat bentuk yang menyerupai bunga
lotus tampak samping yang jika di lihat sekilas tampak seperti segitiga atas.
Selanjutnya di bawah stilasi bunga lotus tersebut terdapat tumpal dengan
lingkaran berjumlah 8 di kanan dan kirinya dengan bentuk segitiga utama di
atasnya, dimana di sana terdapat bentuk sepasang sayap pula.

Pada bagian selanjutnya terdapat beberapa pengulangan, namun jika dibagian


awal tumpal yang muncul mengarah ke atas, pada bagian ini tumpal yang ada
menghadap ke bawah. Selain itu, jika jumlah lar yang berada di tengah-tengah
tersebut berjumlah 3, 5 dan 9, maka pada mirong, jumlah bulu yang muncul
secara berurutan adalah 2, 4 dan 7.

101
GAMBAR 4.15
DETAIL POLA LUNG-LUNGAN MOTIF BONDHET BAG.1
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Dalam ranah pemaknaan Jawa, angka-angka yang muncul pada pola ini
bukannya tanpa alasan. Angka 3, 5 dan 9 yang muncul pada mirong merupakan
representasi pengembangan pola dalam masyarakat Jawa, mulai dari pola tiga
yang sudah mengenal penyelarasan dan harmoni, pola lima yang memberi
penekanan berarti pada sebuah pemusatan dan pola sembilan yang merupakan
perluasan dari sentralisasi tersebut. Alasan tampilnya angka-angka tersebut
pada mirong juga merupakan penekanan pada sesuatu yang bersifat
kepemerintahan, dimana mirong merupakan turunan visualisasi dari garuda
yang dalam mitologi Hindu terkenal dengan pengabdian, keperkasaan dan
korelasinya dengan dunia atas.

102
GAMBAR 4.16
DETAIL POLA LUNG-LUNGAN MOTIF BONDHET BAG.2
SUMBER : BATIK, PENGARUH ZAMAN DAN LINGKUNGAN

Pembahasan selanjutnya adalah penyatuan paradoksial pada bentuk lar yang


menghasilkan suatu harmonisasi dan transendensi. Penyatuan bentuk sawat
yang diyakini sebagai representasi dari dunia atas dengan bentuk Naga sebagai
kerangka merupakan suatu cara menghasilkan transendensi. Hal ini diperkuat
dengan pemilihan warna hitam dan merah yang merupakan perlambangan dari
dunia atas dan dunia bawah, namun diharmonisasikan dalam satu kesatuan
pola, yaitu pola Bondhet. Selain itu hal tersebut juga tampak pada visualisasi
tumpal yang menyerupai bentuk gigi Naga dengan jumlah gigi 4 pada setiap
sisinya. Selanjutnya ditengahnya terdapat bentuk menyerupai bunga
berkelopak empat dengan satu titik pusat. Penguraian tersebut tampak jelas
merujuk pada pola 4 dan pengembangannya yaitu pola 9. pengulangan pada

103
tampilan segitiga atas dengan 8 lingkaran di kanan kirinya merupakan
penegasan pada manca-pat itu sendiri.

Pada sisi selanjutnya tidak terdapat banyak perbedaan. Namun jika disisi
sebelumnya tumpalnya menghadap ke atas, kali ini tumpalnya menghadap
bawah. Melalui visualisasi ini tampak usaha untuk menghadirkan dunia bawah
untuk mencapai suatu transendensi. Di sisi lain, hal ini juga dapat diartikan
sebagai pasang surut kehidupan, dimana kadang manusia berada di atas,
kadang berada di bawah. Kadang di beri kemudahan, kadang diberikan cobaan.
Pengulangan yang ditampilkan bukan hanya berusaha memberikan penekanan
bahwa perjalanan hidup manusia yang selalu naik turun, namun juga dalam
pergerakan itu terdapat harmonisasi yang menghasilkan transendensi, suatu
hubungan yang vertikal dengan Tuhan. Hal tersebut mengingatkan pada konsep
pola Parang yang mengadopsi dari konsep motif arabesque yang bersifat tak
berujung pangkal seperti halnya seharusnya sebuah doa. Juga seperti halnya
keberadaan Tuhan yang tidak berujung pangkal.

Dalam pola ini secara keseluruhan memuat suatu arahan tentang kehidupan,
dimana kita seyogyanya dapat menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, dan
tetap berdoa dan berusaha saat cobaan dan kesenangan datang. Pola ini juga
berusaha menyampaikan bahwa dalam hidup segala sesuatunya adalah fana,
dan yang abadi hanyalah Tuhan Yang maha Esa.

104
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

I. Simpulan

Teknik rintang warna telah dikenal di Indonesia sejak masa prasejarah. Hal
tersebut dibuktikan dengan penemuan gambar telapak tangan pada lukian
dinding di Gua-gua daerah Sulawesi Tenggara, Pulau Mula sebagai salah satu
contohnya. Teknik rintang warna tertua ini dilakukan dengan cara
merentangkan telapak tangan yang kemudian pada sela-sela jari dan telapak
tangan dibubuhi pigmen merah yang berasal dari tanah.

Teknik rintang warna lainnya yang juga sederhana dapat dilihat dari celu ikat,
jumputan, tritik dan plangi. Teknik pembuatan celup ikat bertujuan untuk
memuja nenek moyang sehingga diharapkan mampu menolak pengaruh roh
Jahat dan mendapat perlindungan dari roh baik. Berangkat dari rintang warna
yang sangat sederhana itulah, berkembang menjadi batik yang merupakan titik
puncak dari perkembangan rintang warna di Indonesia.

Menurut falsafah Jawa, batik adalah suatu cara untuk mencapai


transendensitas. Transendenitas itu sendiri merupakan salah satu cara untuk
beribadah pada Tuhan. Karena itulah, dilakukan berbagai upaya untuk berada
atau menggambarkan transendenitas tersebut. Hal ini dapat dipahami, karena
hampir seluruh bentuk kesenian tradisi Indonesia pembuatannya bertujuan
untuk menciptakan penyelarasan dan harmonisasi.

Dalam hal visual, pemilihan ornamen yang muncul biasanya berasal dari
lingkungan sekitar yang dianggap mampu merepresentasi maksud yang
diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari pola Kawung yang mengadopsi bentuk

105
bunga yang sedang mekar. Selain itu, motif ini sekilas terlihat seperti biji yang
merujuk pada pertumbuhan dan kesuburan. Lebih jauh, pola ini juga
menampilkan sistem kepercayaan saat itu, yaitu manca-pat sekaligus
pengembangannya, yaitu pola sembilan. Contoh lain dapat dilihat dari pola
Parang Barong yang merupakan stilasi bentuk dari senjata keris. Pada masa itu,
keris merupakan senjata yang sekaligus menjadi penanda status sosial. Senjata
merupakan representasi dari kekuasaan dan pemerintahan, sedangkan penanda
status sosial dengan sangat jelas mengacu pada strata sosial tertentu, yang
dalam hal ini adalah Raja dan para bangsawan. Dalam ranah Non Geometris,
dapat kita lihat pola Alas-alasan yang menggambarkan kehidupan belantara
hutan yang liar. Stilasi hewan yang ditampilkan bertolak pada hewan-hewan
yang ada di alam sekitarnya atau mengadopsi dari hewan-hewan Mitologi,
seperti Garuda yang merupakan pengaruh agama Hindu.

Selain itu, setiap ornamen yang muncul pada satu kesatuan pola batik bukanlah
tanpa maksud. Karena meskipun memiliki kecenderungan Horror vacui,
ornamen yang muncul diharapkan mampu memberikan suatu hal yang positif,
bukan hanya mengisi ruang kosong agar tidak di isi oleh sesuatu yang ‘lain’. Hal
ini dapat dilihat dalam pola batik Bondhet yang secara keseluruhan mengusung
tema tentang penyelarasan atau transendensi antara dunia atas dan dunia
bawah. Transendenitas tersebut berusaha ditampilkan bukan hanya melalui
motif lar (turunan bentuk Garuda, dunia atas) yang disekelilingnya dibentuk
oleh ular (dunia bawah), tetapi juga tersampaikan pada pemilihan warnanya,
yang berkisar antara warna hitam, merah dan coklat. Telah kita ketahui
sebelumnya bahwa dalam kepercayaan Jawa warna merah mewakili dunia atas,
hitam representasi dari dunia bawah sedangkan coklat adalah dunia tengah
pada pencampuran kedua warna tersebut.

Untuk pemilihan warna pada batik keraton Surakarta ini lebih memberikan
kesan gradasi dibanding kesan kontras antara satu warna dengan yang lain. Hal
ini bertolak pada falsafah yang mengajarkan bahwa segala sesuatunya harus

106
dilakukan perlahan-lahan dan berproses. Hal ini diperkuat dengan proses
pewarna alami yang membutuhkan beberapa kali membabaran untuk
meningkatkan kepekatan warna. Hasil akhir pewarnaannyapun lebih lembut dan
tidak mencolok mata.

Dengan sistem pemerintahan feodal yang terpusat dan absolut, bukan hal yang
mengejutkan bahwa pembagian hierarki sosial merupakan paham yang
diterapkan dalam masyarakat pendukung kebudayaan batik ini. Hal ini jugalah
yang menyebabkan lebih mudahnya penerimaan budaya serta agama Hindu,
sehingga semakin banyak budaya Hindu yang diadopsi dalam penerapan kain
batik ini. Lebih lanjut, penerapan pola larangan melalui maklumat Surakarta
mengukuhkan posisi keraton sebagai ranah absolute dan adikuasa. Di sisi lain,
prinsip auratis pada kain batik mengingatkan pada lukian auratis pada zaman
pra-rennaissance, dimana karya lukis adalah wahyu dan seniman adalah nabi.
Dalam kasus ini, pembatik adalah shaman atau media perantara antara dunia
bawah (manusia) dengan Tuhannya. Karena itulah, layaknya kebanyakan
shaman yang ada, pembatik biasanya anak gadis yang belum mendapat haid
atau nenek tua yang sudah menopause. Dan seperti halnya kepemilikan karya
lukis pada zaman pra-renaissance hanya sebatas raja dan golongan bangsawan
lainnya, kain batik dengan tata aturannya tertentu hanya boleh digunakan
segelintir orang dengan pembagian penggunaan motif yang ketat.

Dalam penelitian kali ini penulis juga melihat persamaan dasar antara kegiatan
membatik dengan seni cetak Grafis. Kedua bentuk kesenian tersebut selain
menghargai proses ritual pengerjaannya (bukannya melulu visualisasi akhir),
juga menerapkan teknik negatif, dimana bagian yang dicukil atau dibubuhi
malam adalah bagian yang resist terhadap warna. Selain itu, jika dalam
membatik pada proses pewarnaan dengan pewarna alam mengandung makna
filosofi perjalanan bertahap dalam upaya mendekatkan diri dengan Yang maha
Kuasa. Dalam seni grafis, hal tersebut dapat dilihat dalam Etsa saat melakukan

107
teknik pengasaman bertingkat untuk menghasilkan tingkat kepekatan warna
yang berbeda-beda.
II. Saran

Batik sebagai hasil produk budaya masyarakat tradisi Indonesia telah tumbuh
dan berkembang sesuai dengan pergerakan zaman. Hal tersebut dapat dilihat
dari masuknya pengaruh-pengaruh dari luar, baik secara visualisasi seperti
munculnya bentuk lotus atau Garuda, juga dalam hal ketidakberbatasan Tuhan
yang mengadopsi dari budaya Islam. Meskipun hubungan yang transenden
bukanlah hal yang baru dalam alam pemikiran mereka, namun kesadaran dan
cara penuturan yang berkesan tak berujung pangkal tersebut merupakan
sumbangan dari budaya Islam.

Dalam masyarakat sawah yang terpusat dan hierarkis, dibutuhkan suatu


eksklusifitas untuk mengukuhkan hal tersebut, sehingga dikeluarkanlah
maklumat Surakarta yang isinya tentang pelarangan penggunaan motif-motif
tertentu beserta tata aturan pemakaian bagi siapa yang boleh mengenakannya.
Deawasa ini, pelarangan penggunaan pola tertentu dihapuskan, namun
pemakaiannyapun tetap disesuaikan dengan konteks acara yang dilangsungkan.
Seperti halnya penggunaan pola Truntum yang hanya boleh digunakan oleh
pasangan pengantin yang menikah, atau penggunaan motif Babon Angrem
sebagai harapan akan kesuburan yang hanya boleh dikenakan oleh perempuan
yang telah menikah dan ingin dikaruniai seorang anak, atau seorang perempuan
hamil.

Dewasa ini pelestarian batik tradisional dilakukan oleh para produsen batik
yang menyebarluaskan batik ke berbagai tempat, sehingga batik tidak hanya
dikenal di Nusantara namun juga di luar Negeri. Meskipun pengembangan batik,
baik dari segi visual maupun proses pengerjaan mengarah pada perkembangan
yang positif, namun perlu disadari bahwa batik keraton adalah suatu batik yang
dengan pakem-pakemnya yang berlaku mampu menciptakan ciri khas

108
tersendiri. Hal ini bukan berarti mengacu pada pengkultusan suatu kelompok
tertentu seperti halnya yang terjadi pada zaman feodal terdahulu, namun lebih
kepada melestarikan budaya bangsa dan falsafah yang terkandung didalamnya.
Selain itu, diharapkan dalam pengembangan batik keraton ini tidak terlepas
dari pemahaman akan batik keraton itu sendiri, sehingga menghasilkan suatu
wastra batik keraton yang tidak kehilangan nilai budayanya.

109

You might also like