You are on page 1of 26

Home

Seputar Tokoh

MENU AWAL

Pengertian Sejarah dan Ruang Lingkup Pengertian Sejarah dan Ruang Lingkup A.Pengertian Sejarah

Saturday, 14. April 2012

Home About Me Seputar SMAN 1 Seputar Tokoh Zodiak - Ku Puisi - Ku Cerita Sedih Gallery Foto

1.Pengertian sejarah ditinjau dari asal kata Menurut Jan Romein, kata sejarah memiliki arti yang sama dengan kata history (Inggris), geschichte (Jerman) dan geschiedenis (Belanda), semuanya mengandung arti yang sama, yaitu cerita tentang kejadian atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sementara menurut sejarawan William H. Frederick, kata sejarah diserap dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti M A T E R I S E J A R A H pohon atau keturunan atau asal-usul yang kemudian berkembang dalam bahasa Melayu syajarah. Dalam bahasa Indonesia menjadi sejarah. Menurutnya kata Kelas X syajarah atau sejarah dimaksudkan sebagai gambaran Kelas XI silsilah atau keturunan. Kelas XII 2.Rumusan batasan pengertian sejarah Ada banyak rumusan pendapat yang diberikan para sejarawan terkait dengan pengertian sejarah. Dari DOWNLOAD berbagai pendapat yang ada dalam arti yang luas sejarah dapat diartikan sebagai gambaran tentang peristiwaT U G A S D A N N I L A I peristiwa atau kejadian masa lampau yang dialami manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu Lihat Nilai tertentu, diberi tafsiran dan analisa kritis sehingga mudah Kirim Tugas dimengerti dan dipahami. BAHAN AJAR TEST ONLINE B.Ruang Lingkup Studi Sejarah 1.Sejarah sebagai cerita Berbicara tentang sejarah, biasanya akan segera menghubungkannya dengan cerita, yaitu cerita tentang pengalaman-pengalaman manusia di waktu yang lampau. Bahwasanya sejarah pada hakekatnya adalah sebuah cerita kiranya tidak bisa disangkal lagi. Ucapan teoritikusteoritikus sejarah seperti Renier: nothing but a story; Trevelyan: the historians first duty is to tell the story; Huizinga: the story of something that has happened, semuanya mencerminkan gagasan bahwa sejarah itu hakekatnya adalah tidak lain sebagai suatu bentuk cerita. Kendati begitu, hal yang perlu sekali disadari adalah kenyataan bahwa sebagai cerita, sejarah bukanlah

TEST 1 TEST 2 TEST 3 KOLOM CURHAT

SAMPAIKAN SALAM CURHAT - KU DUNIA CEWEK DATA PENGUNJUNG

Today Yesterday This week Last week

29 456 3353 3867

This month 7220 Last month 34114 All 635835

sembarang cerita. Cerita sejarah tidaklah sama dengan dongeng ataupun novel. Ia adalah cerita yang didasarkan pada fakta-fakta dan disusun dengan metode yang khusus yang bermula dari pencarian dan penemuan jejak-jejak sejarah, mengujji jejak-jejak tersebut dengan metode kritik yang ketat (kritik sejarah) dan diteruskan dengan interpretasi fakta-fakta untuk akhirnya disusun dengan cara-cara tertentu pula menjadi sebuah cerita yang menarik tentang pengalaman masa lampau manusia itu.

Online (20 minutes ago): 2.Sejarah sebagai ilmu 11 Sejarah dapat digolongkan sebagai ilmu apabila ia memiliki Your IP: 112.137.166.34 syarat-syarat dari suatu ilmu pengetahuan atau syaratSAFARI 535.18, syarat ilmiah. Syarat-syarat keilmuan yang dimaksud WINDOWS adalah: Now is: 2012-04-14 Ada objek masalahnya 01:37 Memiliki metode Visitors Counter 1.6 Tersusun secara sistematis Menggunakan pemikiran yang rasional Memiliki kebenaran yang objektif Karena sejarah memiliki kesemua syarat keilmuan tersebut, termasuk memiliki metode sendiri dalam memecahkan masalah, maka tidak ragu lagi akan unsurunsur keilmuan dari sejarah. Pendapat ahli sejarah Bury bahwa history is a science, no less and no more kiranya memberikan penegasan akan hal itu. Meski demikian dalam kenyataannya banyak pihak yang masih menyangsikan keberadaan sejarah sebagai sebuah disiplin ilmu. Dilihat dari cara kerja ilmiah, dua tahapan terakhir dalam metode sejarah yaitu interpretasi dan historiografi masih sering dianggap sebagai titik-titik lemah. Interpretasi misalnya, dimana di dalamnya terdapat unsur menyeleksi fakta sehingga sesuai dengan keseluruhan yang hendak disusun, terkadang unsur subjektivitas penulis atau sejarawan seperti kecenderungan pribadinya (personal bias), prasangka kelompoknya (group prejudice), teoriteori interpretasi historis yang saling bertentangan (conflicting theories of historical interpretation) dan pandangan hidupnya sangat mempengaruhi terhadap proses interpretasi tersebut. Semuanya itu bisa membawa sejarawan pada sikap subjektif yang dalam bentuknya yang ekstrim menjurus pada sikap emosional, bahkan mungkin irasional yang kurang bisa dipertanggung jawabkan seperti kecenderungan mengorbankan fakta sejarah atau

memanipulasikannya demi suatu teori, pandangan hidup yang dipercayai secara berlebihan atau keberpihakan pada penguasa. Memang sulit untuk menghindar dari subjektivitas, sehingga sejarawan sangat dituntut untuk melakukan penelitian sejarah yang seobjektif mungkin atau setidaknya sebagai suatu ideal. Pokoknya yang penting bagi sejarawan adalah seperti yang pernah dikemukakan G. J. Renier, we must not cheat. 3.Beda sejarah dengan fiksi, ilmu sosial dan ilmu agama a.Kaidah pertama: sejarah itu fakta Perbedaan pokok antara sejarah dengan fiksi adalah bahwa sejarah itu menyuguhkan fakta, sedangkan fiksi menyuguhkan khayalan, imajinasi atau fantasi. b.Kaidah kedua: sejarah itu diakronik, ideografis dan unik Sejarah itu diakronik (menekankan proses), sedangkan ilmu sosial itu sinkronik (menekankan struktur). Artinya sejarah itu memanjang dalam waktu, sedangkan ilmu sosial meluas dalam ruang. Sejarah akan membicarakan satu peristiwa tertentu dengan tempat tertentu, dari waktu A sampai waktu B. Sejarah berupaya melihat segala sesuatu dari sudut rentang waktu. Contoh: Perkembangan Sarekat Islam di Solo, 1911-1920; Terjadinya Perang Diponegaro, 1925-1930; Revolusi Fisik di Indonesia, 19451949; Gerakan Zionisme 1897-1948 dan sebagainya. Sejarah itu ideografis, artinya melukiskan, menggambarkan, memaparkan, atau menceritakan saja. Ilmu sosial itu nomotetis artinya berusaha mengemukakan hukum-hukum. Misalnya sama-sama menulis tentang revolusi, sejarah dianggap berhasil bila ia dapat melukiskan sebuah revolusi secara menditil hingga hal-hal yang kecil. Sebaliknya ilmu sosial akan menyelidiki revolusi-revolusi dan berusaha mencari hukum-hukum yang umum berlaku dalam semua revolusi. Sejarah itu unik sedang ilmu sosial itu generik. Penelitian sejarah akan mencari hal-hal yang unik, khas, hanya berlaku pada sesuatu, di situ (di tempat itu dan waktu itu). Sejarah menulis hal-hal yang tunggal dan hanya sekali terjadi. Topik-topik sejarah misalnya Revolusi Indonesia, Revolusi di Surabaya, Revolusi di Pesantren X, Revolusi di Desa atau Kota Y. Revolusi Indonesia tidak terjadi di tempat lain dan hanya terjadi sekali pada waktu itu, tidak terulang lagi. Sedang topik-topik ilmu sosial misalnya Sosiologi Revolusi, Masyarakat Desa, Daerah Perkotaan yang hanya menerangkan hukum-hukum umum terjadinya proses tersebut.

c.Kaidah ketiga: sejarah itu empiris Inilah antara lain yang membedakan antara sejarah dengan ilmu agama. Sejarah itu empiris, ia berdasarkan pengalaman manusia yang sebenarnya, sedang ilmu agama itu lebih bersifat normatif, mengikuti kaidah-kaidah hukum yang sudah ada, yang tercantum dalam Kitab Suci masing-masing agama, yang dipercaya sebagai yang diwahyukan oleh Tuhan.

PERSOALAN OBJEKTIVITI DAN SUBJEKTIVITI DALAM ILMU SEJARAH Pengenalan


Bidang Sejarah adalah merupakan bidang yang amat mementing aktiviti penelitian ke atas fakta-fakta sejarah (peristiwa) dengan penuh bertanggungjawab demi mencari dan mewujudkan kebenaran mengenai kehidupan pada masa telahpun berlalu atau yang lampau. Sejarawan akan mengumpulkan fakta-fakta sejarah dan menghasilkannya dalam bentuk penulisan atau pensejarahan.

Dalam membicarakan persoalan objektiviti dan subjektiviti di sini, permasalahan yang pertama perlu ditekankan ialah keterlibatan (involvement) seseorang sejarawan terhadap penyelidikannya atau kajiannya. Iaitu sama ada dia harus terikat (attached) atau terpisah (detached) daripada kajiannya.[1] Ini kerana, menurut Edward Hallet Carr bahawa fakta-fakta yang dikumpul oleh ahli sejarah dari dokumen-dokumen, surat-surat dan sebagainya adalah ibarat ikan di atas papan penyiang si penjaja ikan'. Sejarawan itu memungut ikan itu, membawanya pulang, memasak dan menghidangkannya dalam apa cara yang menarik baginya.[2] Justeru itu, sejarah yang tulen ialah sejarah yang mempunyai pemisah mutlak di antara pengkaji dan kajiannya. Maka dari sinilah, sejarawan menghadapi dua bentuk konsep yang menjadi penghalang (straitjackets) kepada segala usaha penelitian sejarahnya, iaitu konsep objektiviti dan konsep subjektiviti dalam pensejarahan.

Hingga kini, perbahasan sudah berlarutan mengenai sama ada sejarah itu sewajarnya objektif atau subjektif. Persoalan yang menjadi isu paling penting dalam perbahasan para sejarawan ialah mengenai keupayaan ahli-ahli sejarah untuk menghasilkan penulisan yang bersifat objektif. Hakikatnya, ramai sejarawan tidak merasa senang dengan persoalan ini menyebabkan tidak wujud penyelesaiannya yang muktamad.[3] Terdapat dua aliran yang telah mempengaruhi pengertian sejarah ialah Aliran rasionalisme dan aliran emperisme. Aliran rasionalisme bersifat subjektif dan didokong tokoh-tokoh seperti Benedetto Croce dari Itali, Arnold Tonybee dan R.G. Collingwood dari England. Manakala aliran emperisme bersifat objektif dan didokong oleh tokoh-tokoh seperti Leopold Von Ranke dari Jerman, Lord Acton dan J.B. Bury dari England.

Pengertian Konsep objektiviti Objetiviti timbul dari kata asal objektif. Kamus Dewan memberi maksudnya sebagai suatu kenyataan atau fakta sebenar yang tidak dipengaruhi atau dikuasai oleh perasaan atau prasangka sendiri.[4]

Menurut pandangan Abdul Rahman Haji Abdullah dalam penulisan bertajuk Pengantar Ilmu Sejarah (1994), beliau mendefinisikan sejarah objektif sebagai sejarah sebagaimana terjadinya(histoire-realite). [5] Pandangan ini selari dengan teori terkenal oleh Leopold Von Ranke, iaitu wie es eigentlich gewesen[6] yang bermaksud seperti sebenarnya ia berlaku.

Muhd Yusof lbrahim mendefinisikan konsep objektif sebagai salah satu daripada beberapa sifat atau hakikat sejarah itu sendiri dan ia merupakan persoalan yang hakiki bagi sejarah dan pensejarahan. Menurut Barzun dan Graf dalam karya mereka bertajuk The Modern Researcher (1970) bahawa objektif adalah apa yang semua orang menyetujuinya atau pandangan yang benar.[7]

Aliran objektif ini didasari oleh tradisi emperisme John Locke dan positivesme Aguste Comte yang melihat adanya pemisahan di antara subjek dan objek. Karya sejarah yang dikatakan bersifat objektif ini pada asasnya adalah suatu penulisan yang merupakan tafsiran atau penerangan terhadap sesuatu peristiwa sejarah dengan berdasarkan kepada sumbemya yang masih kekal. Hasil itu haruslah dipertahankan kebenarannya untuk sementara waktu sehinggalah wujudnya pentafsiran baru yang akan mengambil alih tempat tersebut.

Empat perkara dasar yang dilihat di dalam penulisan sejarah ialah ketepatan dan kesahihan di dalam fakta, kesempumaan di dalam menyampaikan bukti, struktur logikal yang berkesan serta kelancaran persembahan. Bagi mencerminkan sifat objektif di dalam penulisan sejarah, seseorang sejarawan haruslah menyingkirkan sifat subjektif di dalam hasil penulisannya. Sebagai satu istilah ilmu sejarah, maka konsep objektif itu biasanya dilihat daripada dua sudut pengertian yang berbeza. Pengertian yang pertama ialah objektif itu bermakna tujuan atau sasaran sesuatu sejarah itu dikaji atau ditulis. Maknanya ialah untuk apa atau siapa sejarah itu dikaji? Sebagai contoh ialah Tun Seri Lanang telah memperbaiki semula 'Hikayat Melayu' yang dibawa daripada Goa dan dinamakan Sulalatus Salatin dengan tujuan untuk memenuhi permintaan Sultan Abdullah Ma'ayah Syah serta menyukakan hati baginda untuk teladan serta iktibar bagi keturunan yang akan datang.

Pengertian yang kedua adalah lebih kontrovesi dan memerlukan perbincangan yang lebih luas serta mendalam lagi. Ini kerana ia dianggap sebagai sifat sejarah itu sendiri. la adalah merupakan persoalan yang intrinsik bagi sejarah dan pensejarahan. Objektif adalah dianggap sebagai sains tulin yang menganggap kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak dan tepat. Leopold Von Ranke adalah sebagai pengasas agung aliran sejarah objektif ini.

Ranke berpendapat bahawa, sejarawan seharusnya berusaha untuk membuat satu persembahan tulen fakta-fakta yang berpandukan kepada penyelidikan rapi ke atas peristiwa-peristiwa lepas yang khusus dan nyata, dan berasaskan kepada tafsiran sumbersumber yang asli dan kemasukkan unsur moral hanya mendedahkan sejarah kepada prasangka dan berat sebelah yang boleh menggugat kewibawaannya sebagai satu bidang ilmu yang sahih.[8]

Tradisi emperisme John Locke dan positivisme Aguste Comte telah menjadi asas kepada aliran sejarah objektif yang diperjuangkan oleh Leopold Von Ranke (1795 -1886). Kita juga sedar bahawa, matlamat pengajian sejarah adalah untuk menggambarkan kejadian-kejadian sebagaimana yang berlaku. Menurut Pieter Gayl, "historisme" bermakna menjauhkan diri dari pengadilan, penerimaan atau pengakuan yang tidak ada darjah-darjah kecuali apa yang dibekalkan oleh proses sejarah itu sendiri.[9]

Pada tahun 1896, Lord Acton (1834 - 1902) telah melancarkan projek penulisan yang terkenal bertajuk "Cambridge Modern History" untuk melahirkan karya sejarah objektif. Dalam kata-kata aluannya, beliau menyatakan bahawa, biarlah gambaran para sejarawan tentang sesuatu peristi\va itu serupa sahaja dan memuaskan hati setiap pihak tanpa sebarang perasaan subjektif atau sikap berat sebelah (bias). Aliran objektif ini adalah berasaskan kepada keyakinan tentang kemampuan memperolehi fakta sejarah secara muktamad. Selain daripada itu, sejarah adalah sejenis sains dan ia mampu menghasilkan karya sejarah yang bersifat saintifik dan objektif.[10]

Kesimpulannya ialah penulisan sejarah, tafsiran atau penerangan yang objektif adalah menjadi matlamat seseorang sejarawan yang tulen. Di dalam mewujudkan hasil karya sejarah yang bersifat objektif, beberapa perkara harus diambil kira iaitu; a. Harus mencerminkan sikap yang jujur. b. Tidak ada bias tetapi adil dan berkecuali di dalam penulisan. c. Perlu memahami kaedah penyelidikan sejarah dan mengamalkannya di dalam penulisan. d. Seorang sejarawan haruslah menggunakan sumber yang secukupnya untuk mendapatkan fakta dan maklumat yang membolehkan ia membuat tafsiran secara adil dan saksama atau bersikap kritis. e. Sejarawan tidak boleh membuat pentafsiran secara sesuka hati mengikut perasaannya demi untuk menyukakan sesuatu pihak atau mendapatkan keuntungan dan kepentingan. f. Tafsiran itu pula haruslah menggambarkan kebenaran tanpa memasukkan unsur pengadilan terhadap sesuatu peristiwa sejarah yang dikajinya itu.

Pengertian Konsep subjektif

Subjektiviti pula timbul dari kata dasar subjektif. Kamus Dewan memberi makudnya sebagai sesuatu yang terbit daripada atau berasaskan pandangan orang atau pihak yang melihat atau menilai (tidak pada ciri-ciri sebenar sesuatu yang dilihat atau dinilai).[11] Konsep subjektif menurut Muhd. Yusof Ibrahim ialah merujuk kepada pensejarahan tradisi yang ditulis secara bebas atau sesuka hati sejarawan sahaja. Penulisan-penulisan mereka adalah bersifat memihak dan bertujuan menyanjung atau memperbesarkan tokoh atau peristiwa yang dikaji, menyerapkan nilai budaya atau 'world-view", mahupun ideologi serta memuatkan pelbagai unsur kesusasteraan.

Dengan kata lainnya, konsep sejarah subjektif ialah sejarah yang ditulis dan telah diolah oleh pengarang dengan memasukkan unsur mitos, lagenda dan lain-lain unsur kesusasteraan untuk mengindahkan lagi hasil penulisan. Sejarah dikatakan subjektif kerana ia ditulis oleh seorang penulis atau sejarawan dengan rekaan atau diciptakan sendiri.

Walau bagaimanapun, hakikat bahawa penulisan sejarah subjektif tidak dapat dielakkan dan ia dianggap sebagai suatu yang penting dan unggul. Ini adalah disebabkan manusia mempunyai sifat semulajadi iaitu kita akan memihak kepada sesuatu yang kita minat dan juga yang kita anggap penting. Seorang ahli falsafah Jerman bernama G. Litchenberg menyatakan bahawa, manusia mempunyai sifat memihak. Jika tidak memihak, orang itu termasuk di dalam golongan tidak memihak yang merupakan suatu pilihan.[12]

Pensejarahan subjektif dapat dilihat dengan jelas di dalam pensejarahan tradisional. Penulisan mereka bersifat memihak, yang bertujuan menyanjung atau memperbesarkan tokoh atau peristiwa yang mereka kaji, menyerapkan nilai budaya atau world-view, ideologi dan unsur kesusasteraan. Tun Seri Lanang telah memperbaiki semula Hikayat Melayu yang dibawa dari Goa dan seterusnya menamakannya Sulalatus Salatin dengan tujuan memenuhi perintah Sultan Abdullah Ma'ayah Syah serta menyukakan hati baginda untuk teladan serta iktibar bagi keturunan akan datang.[13] Pembentukan aliran sejarah subjektif adalah disebabkan oleh dua perkara.

Perkara yang pertama ialah faktor naluri atau kecenderungan semulajadi manusia itu sendiri yang suka memilih (select). Kita sendiri sedar bahawa manusia akan memilih sesuatu yang penting dan mengenepikan sesuatu yang dianggap tidak penting.

Manakala, faktor yang kedua pula ialah faktor agama dan ideologi. Faktor ini dapat membentuk pegangan dan tindakan seseorang. Manusia yang semakin kuat komitmennya, berkemungkinan besar bersikap subjektif. Maka penulisannya akan bersifat memihak.

Penulis aliran subjektif tidak bertujuan untuk mengenepikan kebenaran sejarah, tetapi mereka kurang mementingkan konsep kebenaran yang objektif. Konsep sejarah subjektif boleh dijadikan ikhtibar yakni alat untuk melakukan serangan psikologi untuk menegakkan keunggulan sesuatu kuasa atau bangsa ke atas sesuatu yang lain. Kita tahu bahawa salah satu sebab yang menyebabkan penulisan sejarah subjektif ialah tiada kesedaran yang jelas dan luas tentang sejarah Sejarawan tersebut hanya tahu bahawa fungsi sejarah adalah untuk mendapat pengajaran sahaja. Maka, dengan sebab itulah penulisan sejarah itu dicampuradukkan dengan unsur-unsur sastera seperti mitos, lagenda dan lain-lain. Melalui dongengan ini, hasrat sejarawan untuk memberi iktibar akan lebih mudah lagi untuk mencapai objektifnya. Pengaruh nilai, budaya dan adanya kepentingan yang hendak ditonjolkan juga merupakan salah satu sebab kepada kewujudan penulisan sejarah subjektif.

Hal ini dapat kita lihat dengan jelas melalui karya-karya sejarah tokoh-tokoh penjajah terhadap sejarah tanah air kita. Secara tidak langsung, penulisan sejarah ini, boleh digunakan untuk melakukan serangan psikologi bagi bangsa yang terjajah. Sejarawan Barat seperti R.J. Wilkinson, R.O. Winsted dan lain-lain lagi telah mencemuh dan memperkecilkan peristiwa-peristiwa sejarah, peranan dan tokoh-tokoh tempatan. Bagi mereka, Tok Janggut, Mat Kilau, Datuk Bahaman dan lain-lain pejuang nasionalisme dianggap penderhaka. Tokoh-tokoh Barat diperkenalkan kepada masyarakat kita dan watak mereka itu diperhebatkan. Mereka menghuraikan dengan terperinci tentang semangat yang ada pada diri J.W.W. Birch, Sir Francis Light dan lain-lain lagi yang bagi kita, mereka ini ialah penjajah yang datang menjajah ke negeri kita dan mengaut segala hasil kekayaan negara kita.

Sehubungan dengan perbincangan tadi dapat disimpulkan di sini bahawa persoalan subjektiviti dalam sejarah ialah merujuk kepada bentuk hasil sejarah yang ditulis dengan memasukkan unsur-unsur penambahan yang pada pandangan sejarawan itu adalah penting. Masalah bias adalah merupakan kesan terpenting yang wujud hasil daripada tercetusnya penulisan secara subjektif ini.

Abdul Rahman Hj Abdullah. Siri Pendidikan Jarak Jauh: Pengantar Ilmu Sejarah . Pulau Pinang: Pusat Pengajian Luar Kampus. 1994. Hlm. 105. [2] E.R.Carr. Apakah Sejarah?. (Terjemahan). Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1989. Hlm. 4. [3] John Cannon. The Historian at Work. London: George Allen & Unwin. 1980. Hlm. 7. [4] Kamus Dewan. Edisi Ketiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1994. Hlm. 939. [5] Abdul Rahman Hj Abdullah. Hlm. 105. [6] Muhd Yusuf Ibrahim & Mahayuddin Hj Yahya. Sejarawan dan Pensejarahan, Ketokohan dan Karya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 1988. Hlm. 276.

[1]

[7]

J. Barzun & H.F.Graff. The Modern Researcher. New York: Harcout, Brace & World, Inc. 1970.

Hlm. 165. R. Suntharalingam. Pengenalan kepada Sejarah. Kuala Lumpur: Marican & Sons (M) Sdn.Bhd. 1985. Hlm. 120. [9] Abdul Rahman Hj Abdullah. Hlm. 106. [10] Ibid. Hlm. 107. [11] Kamus Dewan. Hlm. 1308. [12] Abdul Rahman Hj Abdullah. Hlm. 107. [13] Muhd Yusuf Ibrahim & Mahayuddin Hj Yahya. Hlm. 231.
[8]

D.Pengertian Sumber Sejarah Sejarah sebagai peristiwa yang terjadi pada masa lampau, dapat diungkap kembali oleh para ahli sejarah berdasarkan sumber-sumber sejarah yang dapat ditemukan. Meskipun demikian, tidak semua peristiwa masa lampau dapat diungkap secara lengkap karena terbatasnya sumber sejarah. Dalam penulisan sejarah, peran atau keberadaan sumber sejarah menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Sumber sejarah merupakan bahan utama yang dipakai untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan subjek sejarah. Untuk memperolehnya seseorang dapat memanfaatkan museum, perpustakaan, arsip nasional, arsip daerah sebagai tempat untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan subjek sejarah yang akan ditulis. Ditinjau dari wujudnya, secara umum sumber sejarah dibedakan menjadi dua, yaitu: sumber primer dan sumber sekunder. 1.Sumber primer Yaitu sumber yang berkaitan langsung dengan peristiwa yang diceritakan. Sumber primer ini dapat berupa kesaksian langsung dari pelaku sejarah (sumber lisan), dokumen-dokumen, naskah perjanjian, arsip (sumber tertulis), dan benda atau bangunan sejarah atau benda-benda arkeologi (sumber benda) a.Sumber lisan Sumber lisan adalah keterangan tentang peristiwa pada masa lampau yang diperoleh secara langsung dari para pelaku atau saksi peristiwa tersebut. Misalnya, keterangan yang diberikan oleh orang-orang yang mengalami sendiri atau menyaksikan terjadinya suatu peristiwa. b.Sumber tulisan Sumber tulisan adalah keterangan tentang peristiwa pada masa lampau yang diperoleh melalui prasasti, dokumen, naskah, dan rekaman suatu kejadian. Sumber tertulis merupakan sumber sejarah yang paling baik. c.Sumber benda Sumber benda adalah keterangan tentang peristiwa pada masa lampau yang diperoleh melalui benda-benda peninggalan. Fosil, alat-alat atau benda-benda budaya (kapak, tombak, gerabah, perhiasan, manik-manik, dan sebagainya), tugu peringatan, bangunan, dan sebagainya merupakan peninggalan sejarah yang sangat penting, terutama bagi masyarakat pra-aksara. 2.Sumber sekunder Yaitu kesaksian dari siapa pun yang bukan merupakan saksi pandangan mata, yakni orang yang tidak hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Disamping berupa kesaksian dari orang yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa sejarah, yang termasuk dalam sumber sekunder lainnya adalah buku-buku tangan kedua dari penulis sejarah lain.

Metodologi Sejarah METODOLOGI SEJARAH Metodologi atau science of methods adalah ilmu yang membicarakan tentang cara. Dengan demikian metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah. Dalam metodologi sejarah, disini diuraikan berbagai jenis penulisan sejarah, unit kajian, permasalahan, teori, konsep dan sumber sejarah. Metode yang dipakai dalam penelitian sejarah mencakup empat langkah berikut: 1.Heuristik Heuristik (heureskein dalam bahasa Yunani) adalah upaya mencari atau menemukan jejakjejak sejarah (traces). Jejak sejarah sendiri adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh aktivitas manusia (baik aktivitas politik, ekonomi, sosial budaya, dan sebagainya) pada masa lampau yang menunjukkan bahwa benar-benar telah terjadi peristiwa yang dimaksud.

Dengan demikian upaya pencarian jejak-jejak sejarah berkaitan dengan penemuan bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti tersebut selanjutnya dikelompokkan atau diklasifikasikan sesuai urutan waktu terjadinya peristiwa, kesamaan cerita, dan jenis sumbernya. Jadi heuristik adalah upaya mencari sumber atau bukti sejarah yang terkait dengan masalah atau peristiwa tertentu yang akan ditulis atau diteliti. 2.Kritik sejarah Setelah jejak (bukti) atau sumber berhasil ditemukan, langkah selanjutnya adalah menyeleksi dan menguji jejak-jejak tersebut sebagai upaya untuk menemukan sumber sejarah yang sebenarnya (yang sesuai dengan yang diperlukan dan merupakan sumber yang asli atau autentik). Inilah yang dimaksud dengan kritik sejarah. Proses kritik sejarah itu sendiri meliputi dua hal. Pertama adalah kritik eksternal dan kedua adalah kritik internal. a.Kritik eksternal Kritik eksternal ditujukan untuk menjawab beberapa pertanyaan pokok berikut: Apakah sumber yang telah kita peroleh tersebut betul-betul sumber yang kita kehendaki. Apakah sumber itu sesuai dengan aslinya atau tiruannya Apakah sumber tersebut masih utuh atau telah mengalami perubahan. b.Kritik internal Dilakukan setelah dilakukan kritik eksternal. Kritik internal ditujukan untuk menjawab pertanyaan: Apakah kesaksian yang diberikan oleh sumber itu memang dapat dipercaya. Untuk itu yang harus dilakukan adalah membandingkan kesaksian antar berbagai sumber (cross examination). 3.Interpretasi fakta Fakta-fakta sejarah yang berhasil dikumpulkan dan telah menjalani kritik sejarah perlu dihubung-hubungkan dan dikait-kaitkan antara satu dengan yang lainnya sedemikian rupa sehingga antara fakta yang satu dengan yang lainnya kelihatan sebagai suatu rangkaian yang masuk akal, dalam artian menunjukkan kesesuaian satu sama lainnya. Dengan kata lain, rangkaian fakta itu harus menunjukkan diri sebagai suatu rangkaian bermakna dari kehidupan masa lalu suatu masyarakat atau bangsa. Untuk tujuan tersebut (mewujudkan suatu rangkaian peristiwa yang bermakna) sejarawan atau penulis sejarah perlu memiliki kemampuan untuk melakukan interpretasi terhadap fakta. Dalam tahap inilah salah satu masalah krusial dalam historiografi muncul. Ini terkait dengan objektivitas dan subjektivitas sejarawan. Masalah interpretasi berkaitan erat dengan dua hal ini. 4.Penulisan atau penyusunan cerita sejarah Apabila ide-ide yang membangun keterkaitan antar fakta sejarah berhasil dirumuskan, melalui kegiatan interpretasi, maka langkah selanjutnya adalah melakukan penulisan atau penyusunan cerita sejarah. Dalam metodologi sejarah langkah-langkah ini disebut dengan historiografi. B. PRINSIP SEBAB AKIBAT DALAM PENELITIAN SEJARAH Dalam ilmu sejarah prinsip sebab akibat ini disebut dengan istilah determinisme atau

historicisme. Prinsip sebab akibat ini menurut Sartono Kartodirjo (1993) pengertiannya adalah bahwa suatu peristiwa sejarah hendaknya diterangkan dengan melihat peristiwa sejarah yang mendahuluinya. Dengan kata lain semua akibat itu berawal dari adanya sebuah atau beberapa sebab yang sebelumnya terjadi. Sebagai contohnya dapat dikemukakan tentang peristiwa pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di rumah kediaman pribadi Soekarno. Pertanyaan yang bisa muncul diantaranya adalah: bagaimana naskah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dirumuskan? Mengapa naskah proklamasi kemerdekaan itu dibacakan dengan mengambil tempat di rumah pribadi Soekarno? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang dapat dikemukakan seputar pembacaan naskah proklamasi itu. Menurut konsep sebab akibat sejarah bahwa suatu peristiwa sejarah diterangkan oleh peristiwa sejarah yang mendahuluinya. Dalam hal ini peristiwa sejarah yang mendahului pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan yang mengambil tempat di rumah pribadi Ir. Soekarno itu adalah peristiwa yang terjadi sebelumnya, yaitu perumusan naskah proklamasi yang mengambil tempat di rumah seorang perwira tinggi Angkatan Laut Jepang, Laksamana Muda Maeda, yang berada di Jl. Imam Bonjol 1 Jakarta. Di rumah Maeda hadir para anggota PPKI, tokoh-tokoh pemuda seperti Chairul Saleh, Soekarni, B.M. Diah, Soediro, Sayuti Melik, dan orang-orang Jepang dari Angkatan Darat, seperti Nishijima, Yoshizumi dan Myoshi. Perumusan naskah proklamasi kemerdekaan dilakukan oleh Soekarno, Hatta dan Ahmad Soebardjo, yang disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah dan Soedirio. Soekarno menuliskan naskah proklamasi itu pada secarik kertas bergaris. Setelah mendapat kesepakatan bersama, maka naskah proklamasi tulisan tangan itu dibawa ke ruang tengah rumah Laksamana Muda Maeda. Naskah proklamasi itu kemudian diperdebatkan untuk mendapatkan kesempurnaan. Hal ini terbukti dari adanya tiga coretan, yaitu kata pemindahan, penyerahan dan diusahakan. Disepakati pula yang meandatangani naskah proklamasi kemerdekaan itu ialah Soekarno dan Hatta. Pengetikan naskah proklamasi dilakukan oleh Sayuti Melik atas permintaan Soekarni. Sayuti Melik yang mengetik naskah proklamasi itu mengadakan tiga perubahan yaitu kata tempoh diganti menjadi tempo, sedangkan bagian akhir wakil-wakil bangsa Indonesia diganti dengan atas nama bangsa Indonesia. Cara menulis tanggal diubah sedikit menjadi Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Naskah yang sudah diketik itu kemudian ditanda tangani oleh Soekarno dan Hatta dengan disaksikan oleh semua yang hadir di rumah Laksamana Muda Maeda. Pembacaan naskah proklamasi itu disepakati pula akan dilakukan di rumah pribadi Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi 56) Jakarta, pada jam 10 WIB. Pemilihan tempat itu dengan maksud atau atas dasar pertimbangan keamanan dan supaya tidak menyinggung perasaan Saiko Sikikan (Panglima Angkatan darat ke-16 di Jawa) Jenderal Yuichiro Nagano dan Gunseikan (Kepala Pemerintahan) Jenderal Yamamoto, sebagai penguasa yang berkewajiban memelihara status quo di seluruh wilayah yang diduduki dengan melarang semua kegiatan politik sejak tanggal 16 Agustus 1945 jam 12 siang. C. PRINSIP KRONOLOGI DALAM PENELITIAN SEJARAH Pengertian kronologi disini mengandung dua maksud, yaitu berdasarkan urutan waktu dan berdasarkan urutan peristiwa atau kejadian. Dalam melakukan penelitian sejarah, seorang peneliti harus memperhatikan dua kaidah tersebut. Hal itu disebabkan karena sifat sejarah sendiri yang diakronik, yaitu memanjang dalam waktu yang berisikan tentang suatu peristiwa yang ditulis berdasakan proses terjadinya peristiwa tersebut dari misalnya

tahun tertentu sampai tahun tertentu yang lain, baik dengan pola sebab akibat maupun akibat sebab. Dengan demikian peristiwa yang ditulis bersifat runtut. Diposkan oleh dHanii_aNtiKa di 00:56

serba sejarah

HOME | ABOUT | ARKEOLOGI | CANDI | PEDAGOGIK | INFORMASI GEOGRAFI | DOWNLOAD MATERI | SOFTWARE DOWNLOAD |
search here...

go

Sinopsis Sejarah Indonesia | Cultuurstelsel | Darwinisme | Teori Evolusi | Folklor | Sejarah Pers | Foto | Jalan-jalan | Info Beasiswa | KTSP | Pendidikan Karakter

Pengertian Sejarah, Konsep dan Ciri


Sejarah secara sempit adalah sebuah peristiwa manusia yang bersumber dari realisasi diri, kebebasan dan keputusan daya rohani. Sedangkan secara luas, sejarah adalah setiap peristiwa (kejadian). Sejarah adalah catatan peristiwa masa lampau, studi tentang sebab dan akibat. Sejarah kita adalah cerita hidup kita. Sejarah sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa karena: 1. 2. Sejarah merupakan gambaran kehidupan masyarakat di masa lampau. Dengan sejarah kita dapat lebih mengetahui peristiwa/kejadian yang terjadi di masa lampau.

3. Peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di masa kini dan yang akan datang. 4. Dengan sejarah kita tidak sekedar mengingat data-data dan fakta-fakta yang ada tetapi lebih memaknainya dengan mengetahui mengapa peristiwa tersebut terjadi. A. Pengertian sejarah Secara etimologi atau asal katanya Sejarah diambil dari berbagai macam istilah. Diantaranya adalah: 1. Kata dalam bahasa Arab yaitu syajaratun artinya pohon. Mereka mengenal juga kata syajarah annasab, artinya pohon silsilah. Pohon dalam hal ini dihubungkan dengan keturunan atau asal usul keluarga raja/dinasti tertentu. Hal ini dijadikan elemen utama dalam kisah sejarah pada masa awal. Dikatakan sebagai pohon sebab pohon akan terus tumbuh dan berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks/maju. Sejarah seperti pohon yang terus berkembang dari akar sampai ke ranting yang terkecil. 2. 3. 4. Dalam bahasa Jerman, yaitu Geschichteberarti sesuatu yang telah terjadi. Dalam bahasa Belanda yaitu Geschiedenis, yang berarti terjadi. Dalam bahasa Inggris yaitu History, artinya masa lampau umat manusia.

5. Kata History sebenarnya diturunkan dari bahasa latin dan Yunani yaitu Historia artinya informasi/pencarian, dapat pula diartikan Ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa pengkajian sejarah sepenuhnya bergantung kepada penyelidikan terhadap perkara-perkara yang benar-benar pernah terjadi. Istor dalam bahasa Yunani artinya orang pandai Istoria artinya ilmu yang khusus untuk menelaah gejala-gejala dalam urutan kronologis. Berdasarkan asal kata tersebut maka sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern. 1. Berdasarkan bahasa Indonesia, sejarah mengandung 3 pengertian:

Sejarah adalah silsilah atau asal-usul. Sejarah adalah kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau.

Sejarah adalah ilmu, pengetahuan, dan cerita pelajaran tentang kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau. Jadi pengertian sejarah adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala peristiwa atau kejadian yang telah terjadi pada masa lampau dalam kehidupan umat manusia.

B. Konsep Dasar Sejarah Sejarah mempunyai sifat yang khas dibanding ilmu yang lain,yaitu:

1. 2. datang 3.

Adanya masa lalu yang berdasarkan urutan waktu atau kronologis. Peristiwa sejarah menyangkut tiga dimensi waktu yaitu masa lampau, masa kini, dan masa yang akan Ada hubungan sebab akibat atau kausalitas dari peristiwa tersebut

4. Kebenaran dari peristiwa sejarah bersifat sementara (merupakan hipotesis) yang akan gugur apabila ditemukan data pembuktian yang baru. Sejarah merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji secara sistematis keseluruhan perkembangan proses perubahan dinamika kehidupan masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang terjadi di masa lampau. Masa lampau itu sendiri merupakan sebuah masa yang sudah terlewati. Tetapi, masa lampau bukan merupakan suatu masa yang final, terhenti, dan tertutup. Masa lampau itu bersifat terbuka dan berkesinambungan. Sehingga, dalam sejarah, masa lampau manusia bukan demi masa lampau itu sendiri dan dilupakan begitu saja sebab sejarah itu berkesinambungan apa yang terjadi dimasa lampau dapat dijadikan gambaran bagi kita untuk bertindak dimasa sekarang dan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik di masa mendatang. Sehingga, sejarah dapat digunakan sebagai modal bertindak di masa kini dan menjadi acuan untuk perencanaan masa yang akan datang. Masa Lampau merupakan masa yang telah dilewati oleh masyarakat suatu bangsa dan masa lampau itu selalu terkait dengan konsep-konsep dasar berupa waktu, ruang, manusia, perubahan, dan kesinambungan atau when, where, who, what, why, dan how. Kejadian yang menyangkut kehidupan manusia merupakan unsur penting dalam sejarah yang menempati rentang waktu. Waktu akan memberikan makna dalam kehidupan dunia yang sedang dijalani sehingga selama hidup manusia tidak dapat lepas dari waktu karena perjalanan hidup manusia sama dengan perjalanan waktu itu sendiri. Perkembangan sejarah manusia akan mempengaruhi perkembangan masyarakat masa kini dan masa yang akan datang.

C. Sejarah dari berbagai sudut pandang Sejarah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, yaitu : 1. Sejarah sebagai Peristiwa

Sejarah merupakan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sehingga sejarah sebagai peristiwa yaitu peristiwa yang sebenarnya telah terjadi/berlangsung pada waktu lampau. Sejarah melihat sebagaimana/ seperti apa yang seharusnya terjadi (histoir realite). Sejarah sebagai peristiwa merupakan suatu kejadian di masa lampau yang hanya sekali terjadi serta tidak bisa diulang. Ciri utama dari Sejarah sebagai peristiwa adalah sebagai berikut.

Abadi,

Karena peristiwa tersebut tidak berubah-ubah. Sebuah peristiwa yang sudah terjadi dan tidak akan berubah ataupun diubah. Oleh karena itulah maka peristiwa tersebut atas tetap dikenang sepanjang masa.

Unik, Penting,

Karena peristiwa itu hanya terjadi satu kali. Peristiwa tersebut tidak dapat diulang jika ingin diulang tidak akan sama persis. Karena peristiwa yang terjadi tersebut mempunyai arti bagi seseorang bahkan dapat pula menentukan kehidupan orang banyak. Tidak semua peristiwa dapat dikatakan sebagai sejarah. Sebuah kenyataan sejarah dapat diketahui melalui bukti-bukti sejarah yang dapat menjadi saksi terhadap peristiwa yang telah terjadi. Agar sebuah peristiwa dapat dikatakan sebagai sejarah maka harus memenuhi ciri-ciri berikut ini. 1. 2. 3. Peristiwa tersebut berhubungan dengan kehidupan manusia baik sebagai individu maupun kelompok. Memperhatikan dimensi ruang dan waktu (kapan dan dimana) Peristiwa tersebut dapat dikaitkan dengan peristiwa yang lain

Contoh: peristiwa ekonomi yang terjadi bisa disebabkan oleh aspek politik, sosial dan budaya. 1. Adanya hubungan sebab-akibat dari peristiwa tersebut.

Adanya hubungan sebab akibat baik karena faktor dari dalam maupun dari luar peristiwa tersebut. Penyebab adalah hal yang menyebabkan peristiwa tersebut terjadi. 1. Peristiwa sejarah yang terjadi merupakan sebuah perubahan dalam kehidupan. Hal ini disebabkan karena sejarah pada hakekatnya adalah sebuah perubahan dalam kehidupan manusia. Selain itu, sejarah mempelajari aktivitas manusia dalam konteks waktu. Perubahan tersebut dapat meliputi berbagai aspek kehidupan seperti politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Peristiwa adalah kenyataan yang bersifat absolut atau mutlak dan objektif. Sejarah sebagai peristiwa merupakan suatu kenyataan yang objektif artinya kenyataan yang benar-benar ada dan terjadi dalam kehidupan masyarakat manusia. Kenyataan ini dapat dilihat dari fakta-fakta sejarahnya. Peristiwa-peristiwa sejarah tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan manusia seperti peristiwa politik, ekonomi, dan sosial. 1. Sejarah sebagai Kisah

Sejarah sebagai kisah merupakan rekonstruksi dari suatu peristiwa yang dituliskan maupun diceritakan oleh seseorang. Sejarah sebagai sebuah kisah dapat berbentuk lisan dan tulisan.

Bentuk lisan, Contoh penuturan secara lisan baik yang dilakukan oleh seorang maupun kelompok tentang peristiwa yang telah terjadi. Bentuk tulisan, dapat berupa kisah yang ditulis dalam buku-buku sejarah. Sejarah sebagai kisah sifatnya akan subjektif karena tergantung pada interpretasi atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis sejarah. Subjektivitas terjadi lebih banyak diakibatkan oleh faktor-faktor kepribadian si penulis atau penutur cerita. Sejarah sebagai kisah dapat berupa narasi yang disusun berdasarkan memori, kesan, atau tafsiran manusia terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi pada waktu lampau. Sejarah sebagai kisah dapat diulang, ditulis oleh siapapun dan kapan saja. Untuk mewujudkan sejarah sebagai kisah diperlukan fakta-fakta yang diperoleh atau dirumuskan dari sumber sejarah. Tetapi tidak semua fakta sejarah dapat diangkat dan dikisahkan hanya peristiwa penting yang dapat dikisahkan. Faktor yang harus diperhatikan dan mempengaruhi dalam melihat sejarah sebagai kisah, adalah sebagai berikut.

Kepentingan yang diperjuangkannya

Faktor kepentingan dapat terlihat dalam cara seseorang menuliskan dan menceritakan kisah/peristiwa sejarah. Kepentingan tersebut dapat berupa kepentingan pribadi maupun kepentingan kelompok. Contoh: Seorang pencerita biasanya akan lebih menonjolkan perannya sendiri dalam suatu peristiwa. Misalnya, seorang pejuang akan menceritakan kehebatanya dalam menghadapai penjajah.

Kelompok sosial dimana dia berada

Dalam hal ini adalah lingkungan tempat ia bergaul, berhubungan dengan sesama pekerjaannya atau statusnya. Darimana asal pencerita sejarah tersebut juga mempengaruhi cara penulisan sejarah. Contoh: Seorang sejarawan akan menulis sejarah dengan menggunakan kaidah akademik ilmu sejarah sedang seorang wartawan akan menulis sejarah dengan bahasa wartawan.

Perbendaharaan pengetahuan yang dimilikinya

Pengetahuan dan latar belakang kemampuan ilmu yang dimiliki pencerita sejarah juga mempengaruhi kisah sejarah yang disampaikan. Hal tersebut dapat terlihat dari kelengkapan kisah yang akan disampaikan, gaya penyampaian, dan interpretasinya atas peristiwa sejarah yang akan dikisahkannya.

Kemampuan bahasa yang dimilikinya

Pengaruh kemampuan bahasa seorang penutur/pencerita sejarah sebagai kisah terlihat dari hasil rekonstruksi penuturan kisah sejarah. Hal ini akan sangat bergantung pada kemampuan bahasa si penutur kisah sejarah. 1. Sejarah sebagai Ilmu Sejarah merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau manusia. Sebagai ilmu, sejarah merupakan ilmu pengetahuan ilmiah yang memiliki seperangkat metode dan teori yang dipergunakan untuk meneliti dan menganalisa serta menjelaskan kerangka masa lampau yang dipermasalahkan. Sejarawan harus menulis apa yang sesungguhnya terjadi sehingga sejarah akan menjadi objektif. Sejarah melihat manusia tertentu yang mempunyai tempat dan waktu tertentu serta terlibat dalam kejadian tertentu sejarah tidak hanya melihat manusia dalam gambaran dan angan-angan saja. Sejarah sebagai ilmu memiliki objek, tujuan dan metode. Sebagai ilmu sejarah bersifat empiris dan tetap berupaya menjaga objektiviatsnya sekalipun tidak dapat sepenuhnya menghilangkan subjektifitas.

Menurut Kuntowijoyo, ciri-ciri atau karakteristik sejarah sebagai ilmu adalah sebagai berikut. 1. a. Bersifat Empiris: Empiris berasal dari kata Yunani emperia artinya pengalaman, percobaan, penemuan, pengamatan yang dilakukan. Bersifat empiris sebab sejarah melakukan kajian pada peristiwa yang sungguh terjadi di masa lampau. Sejarah akan sangat tergantung pada pengalaman dan aktivitas nyata manusia yang direkam dalam dokumen. Untuk selanjutnya dokumen tersebut diteliti oleh para sejarawan untuk menemukan fakta yang akan diinterpretasi/ditafsirkan menjadi tulisan sejarah. Sejarah hanya meninggalkan jejak berupa dokumen. 2. b. Memiliki Objek: Objek sejarah yaitu perubahan atau perkembangan aktivitas manusia dalam dimensi waktu (masa lampau). Waktu merupakan unsur penting dalam sejarah. Waktu dalam hal ini adalah waktu lampau sehingga asal mula maupun latar belakang menjadi pembahasan utama dalam kajian sejarah. 3. c. Memiliki Teori: Teori merupakan pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. Teori dalam sejarah berisi satu kumpulan tentang kaidah-kaidah pokok suatu ilmu. Teori tersebut diajarkan berdasarkan keperluan peradaban. Rekonstruksi sejarah yang dilakukan mengenal adanya teori yang berkaitan dengan sebab akibat, eksplanasi, objektivitas, dan subjektivitas. 4. d. Memiliki Metode: Metode merupakan cara yang teratur dan terpikir baik untuk mencapai suatu maksud. Setiap ilmu tentu memiliki tujuan. Tujuan dalam ilmu sejarah adalah menjelaskan perkembangan atau perubahan kehidupan masyarakat. Metode dalam ilmu sejarah diperlukan untuk menjelaskan perkembangan atau perubahan secara benar. Dalam sejarah dikenal metode sejarah guna mencari kebenaran sejarah. Sehingga seorang sejarawan harus lebih berhati-hati dalam menarik kesimpulan jangan terlalu berani tetapi sewajarnya saja. 5. e. Mempunyai Generalisasi: Studi dari suatu ilmu selalu ditarik suatu kesimpulan. Kesimpulan tersebut menjadi kesimpulan umum atau generalisasi. Jadi generalisasi merupakan sebuah kesimpulan umum dari pengamatan dan pemahaman penulis. Ilmu pengetahuan sosial sifatnya selalu berubah dan mudah terjadi sebab kondisi setempat berubah, waktunya berubah, dan adanya pengaruh dari luar. Manusia tetap ingin tahu yang terjadi di masa lampau. Sejarah berbeda dengan ilmu sosial/ kemanusiaan yang lain seperti antropologi dan sosiologi sebab : 1. Sejarah membicarakan manusia dari segi waktu yang artinya sejarah memperhatikan perkembangan, kesinambungan, pengulangan, dan perubahan. 2. Dalam meneliti objeknya, sejarah berpegangan pada teorinya sendiri. Teori tersebut ditemukan dalam setiap tradisi sejarah. Teori sejarah diajarkan sesuai dengan keperluan peradaban masing-masing tradisi. 3. Sejarah juga mempunyai generalisasi, dalam menarik kesimpulan umumnya dapat juga sebagai koreksi terhadap ilmu-ilmu lain. 4. Sejarah juga mempunyai metode sendiri yang sifatnya terbuka dan hanya tunduk pada fakta. 5. Sejarah membutuhkan riset, penulisan yang baik, penalaran yang teratur dan sistematika yang runtut, serta konsep yang jelas. 6. Sejarah sebagai Seni Sejarah sebagai seni merupakan suatu kemampuan menulis yang baik dan menarik mengenai suatu kisah/ peristiwa di masa lalu. Seni dibutuhkan dalam penulisan karya sejarah karena:

Jika hanya mementingkan data-data maka akan sangat kaku dalam berkisah. Tetapi jika terlalu mementingkan aspek seni maka akan menjadi kehilangan fakta yang harus diungkap. Sehingga seni dibutuhkan untuk memperindah penuturan/ pengisahan suatu cerita. Seperti seni, sejarah juga membutuhkan intuisi, imajinasi, emosi dan gaya bahasa.

Seorang sejarawan sebaiknya mampu mengkombinasikan antara pengisahan (yang mementingkan detail dan fakta-fakta) dengan kemampuannya memanfaatkan intuisi dan imajinasinya sehingga dapat menyajikan peristiwa yang objektif, lancar, dan mengalir. Ciri sejarah sebagai seni, terdapat : Intuisi: Intuisi merupakan kemampuan mengetahui dan memahami sesuatu secara langsung mengenai suatu topik yang sedang diteliti. Dalam penelitian untuk menentukan sesuatu sejarawan membutuhkan intuisi dan untuk mendapatkannya ia harus bekerja keras dengan data yang ada. Seorang sejarawan harus tetap ingat akan data-datanya, harus dapat membayangkan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang terjadi sesudahnya. Berbeda dengan seorang seniman jika ingin menulis mungkin ia akan berjalan-jalan sambil menunggu ilham sebelum melanjutkan proses kreatifnya. Emosi: Emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang. Emosi diperlukan guna mewariskan nilai-nilai tertentu asalkan penulisan itu tetap setia pada fakta. Dengan melibatkan emosi, mengajak pembaca seakan-akan hadir dan menyaksikan sendiri peristiwa itu.

Gaya Bahasa: Gaya bahasa merupakan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan atau lisan. Gaya bahasa diperlukan sejarawan guna menuliskan sebuah peristiwa. Gaya bahasa yang baik yaitu yang dapat menggambarkan detail-detail sejarah secara lugas dan tidak berbelit-belit. Imajinasi: Imajinasi merupakan daya pikiran untuk membayangkan kejadian berdasarkan kenyataan atau pengalaman seseorang (khayalan). Imajinasi diperlukan sejarawan untuk membayangkan apa yang sebenarnya terjadi, apa yang sedang terjadi, serta apa yang akan terjadi.

D. Persamaan dan Perbedaan Sejarah dan Ilmu Alam Persamaan sejarah dengan ilmu alam: Sama-sama berdasarkan pengalaman, pengamatan dan penyerapan. Sama-sama memiliki dasar teori dan metode. Perbedaan sejarah dengan ilmu-ilmu alam: Ilmu Alam: Percobaan dalam ilmu alam dapat diulang-ulang Ilmu Sejarah: Percobaannya tidak dapat diulang sebab hanya sekali terjadi. Contoh: Peristiwa G30SPKI hanya terjadi sekali dan tidak dapat diulang kembali untuk diperbaiki. Ilmu Alam: Objek dalam ilmu alam adalah semua makhluk hidup Ilmu Sejarah: Objek dalam sejarah adalah segala peristiwa dalam aktivitas manusia Ilmu Alam: Hukum-hukum berlaku secara tetap tanpa memandang orang, tempat, waktu, dan suasana. Sejarah: Hukumnya sangat bergantung pada pengalaman manusia yang telah direkam sebagai dokumen untuk diteliti sejarawan guna menemukan fakta sejarah. Ilmu Alam: Tujuan untuk menemukan hukum-hukum yang bersifat umum dan Nomotheis (berupa pendapat tunggal) Sejarah: Tujuannya untuk menuliskan hal-hal yang bersifat khas dan bersifat ideografis (berupa banyak pendapat yang saling berkaitan) Ilmu Alam: Kesimpulan umum (Generalisasi) untuk ilmu alam biasanya diakui kebenarannya dimana-mana (semua orang) Sejarah: Kesimpulan terlihat dari kebenaran suatu pola/kecenderungan dari suatu peristiwa sehingga dapat digunakan untuk memperkirakan melihat masa yang akan datang. Sehingga kesimpulan dari sejarah tidak bisa langsung diakui oleh banyak orang, karena akan terus diperbaharui sejauh orang mampu menemukan bukti-bukti yang ada.

KRITIKAN SUMBER Dalam usaha penyelidikan sejarah, biasanya terdapat dua keperluan asas yang harus dimiliki iaitu sumber (sources) dan bukti (evidences) sumber. Seseorang penyelidik sejarah harus memiliki ilmu-ilmu bantu untuk menggarap sumbersumber tersebut. Oleh kerana itu ilmu sejarah tidak dapat berdiri tanpa sumber atau bukti. Tanpa sumber, tidaklah dapat diketahui sejarah kerana sumber adalah bahanbahan yang menyediakan bukti berkenaan sesuatu peristiwa yang dikaji. Istilah 'kritikan' merujuk kepada proses pentafsiran bukti iaitu satu ujian mendapatkan kebenaran. Ia bukanlah satu pendirian secara mental mengenai sesuatu isu. Menurut Marc Bloch, kritikan ialah menguji kebenaran sesuatu sumber kerana berpunca dari kesangsian terhadap fakta. Pendapat ini dipersetujui oleh Collingwood dan menyifatkan kaedah tersebut sebagai 'sejarah kritikal'. Kritikan sumber juga boleh diertikan sebagai tafsiran sumber, iaitu penilaian untuk mempastikan sesuatu objek (sumber) dan maklumat (data) dalam sumber yang digunakan itu benar ataupun palsu. Dewasa ini, kritikan sumber tidak lagi dipandang sebagai suatu pendirian secara mental yang negatif semata-mata tetapi sebagai satu ujian untuk kebenaran. Tujuan Kritikan Sumber Bagi menyempurnakan sesuatu kajian, seseorang penyelidik sejarah perlu mencari sumber-sumber dan bertolak dari andaian bahawa bahan-bahan yang dikutip itu seharusnya diuji kebenarannya. Jadi di sini, penyelidik sejarah tidaklah berperanan sebagai penyalin, perakam atau pemetik maklumat-maklumat sahaja. Sumber perlu dikritik untuk menentukan ketulenan bukti atau sumber itu. Sesuatu sumber yang diperolehi itu tidak semestinya sumber yang tulen. Pemalsuan ini mungkin disengajakan ataupun tidak disengajakan. Oleh kerana kritikan sumber bertujuan untuk memastikan sama ada yang dikatakan asal sumber itu adalah asal yang sebenar ataupun tidak. Seandainya yang dipercayai, sumber itu tulen, jika tidak, sumber itu palsu. Kritikan terhadap sesuatu suniber itu mempunyai dua kaedah atau proses utama iaitu, (i) Kritikan Luaran dan (ii) Kritikan dalaman. Kritikan Luaran Kritikan luaran dapat dinyatakan sebagai usaha mengesahkan ketulenan atau keaslian sesuatu sumber asli itu. Tugas ini ada berkaitan dengan timbulnya perbuatan memalsukan sumber-sumber. Kritikan luaran dijalankan dengan membuat beberapa persoalan terhadap sesuatu sumber itu iaitu, misalnya (1) bila sumber itu dicatat atau direkodkan? (2) di mana ia dihasilkan? (3) siapa yang menghasilkannya? (4) daripada bahan apa ia dihasilkan? dan (5) dari bentuk apa asalnya ia dihasilkannya? Sasaran utama kritikan luaran ini adalah untuk menentukan ketulenan dan keaslian (authentic and genuine) sesuatu sumber sejarah itu. Ianya bertujuan untuk mnemastikan sama ada sesuatu sumber itu tulen atau palsu. Beberapa contoh permasalahan yang berkaitan dengan kritikan sumber boleh ditunjukkan seperti berikut:

i. Sesuai dengan sejarah pertumbuhannya sendiri, maka kitab Injillah yang menjadi sasaran kritikan yang utama. Di sini yang menjadi persoalan ialah apakah kitab Injil yang ada sekarang adalah yang tulen (sebenar) atau yang sudah mengalami perubahan dan pindaan di sana sini. Contoh yang terkemuka sekali tentang berlakunya perubahan adalah pada ayat yang dikenali sebagai Comma Johannium atau tiga kesaksian langit menjadi tiga yang menjadi saksi di syurga, iaitu anak, bapa dan roh kudus, maka ketiganya menjadi satu. Menurut Rev. Dr. Charles Francis Potter, ayat ini dianggap suatu pemalsuan yang disengajakan malah untuk kesemua 25 ayat dalam fasal 21 Injil St.john itu yang sunting oleh jemaah penyunting (The Holy Bible, Catholic Edition Revised Standard Version, Nelson, 1966), ditegaskan bahawa fasal ini ditambah kemudian, sama ada seorang penyebar agama Kristian atau oleh seorang murid Nabi Isa s.a.w. Begitu juga dalam Injil St. Mathews, ditegaskan bahawa agama Kristian hanyalah khusus untuk kaum Yahudi sahaja. Tetapi ini ditolak oleh para penganut Kristian yang menganggap ianya bersifat universal, berasaskan bukti dan Injil St.Mark. Anehnya menurut jemaah penyunting yang sama, dikatakan yang ada kemungkinan St.Mark tidak menulisnya. ii. Keraguan tentang ketulenan juga timbul dikalangan umat Islam, iaitu di kalangan golongan Sunni dan golongan Syiah. Bagi golongan Sunni, kitab AlQuran yang ada kini adalah yang sebenarnya, tanpa sebarang penambahan atau pengurangan. Tetapi dalam kitab Al-kafi oleh Al-Kulaini, sebuah kitab yang menjadi pegangan utama golongan Syiah, Al-Quran yang beredar itu hilang sejumlah dua pertiga daripada ayat keseluruhannya (17,000 ayat). Jadi kalau ayatayat Al-Quran yang ada kini adalah lebih kurang 6,000 ayat, ini bererti yang dianggap hilang ialah hampir 11,000 ayat. Golongan Syiah dikatakan mempunyai Al-Quran lain di samping Mushaf Othmani yang ada kini, iaitu Mushaf Fatimah yang menurut Al-Kulaini adalah tiga kali lebih tebal daripada Mushaf Othmani. Bukan sahaja Al-Kulaini, malah Imam Khoemeini juga percaya bahawa Al-Quran yang berada di dalam tangan umat Islam ialah Al-Quran yang sudah diubah, dikurangi atau ditambah. iii. Perbezaan faham antara golongan Sunni dengan golongan Syiab lebih hebat lagi berlaku dalam persoalan tentang sumber Hadith. Bagi kalangan Sunni, sumber kedua selepas kitab Al-Quran jalah hadith-hadith nabi s.a.w. Dalam rangkaian kitab-kitab hadith yang ada, telah sepakat di kalangan umat Islam bahawa hadithhadith riwayat Bukhari dan Muslim merupakan yang tertinggi darjat kesahihannya. Kemudian baru diikuti oleh tokoh-tokoh hadith lain seupama Nasai, Tarmizi, Abu Daud dan lain-lainnya. Tetapi bagi golongan Syiah, selepas kitab Al-Quran (yang berada pada Imam Ghaib), mereka berpegang kepada kitab-kitab lain seperti karya Al-Kulaini tersebut, Al-Razi dan Al-Tusi. Mereka menolak hadith-hadith Bukhari dan Muslim, oleh kerana ia diriwayatkan oleh tokoh-tokoh sahabat yang ditolak dan malah dikafirkan oleh mereka. Samalah halnya dengan kesangsiaan mereka terhadap kitab Al-Quran, oleh kerana ia dihimpun pada zaman Abu Bakar dan Umar iaitu tokoh-tokoh sahabat yang turut menjadi sasaran serangan mereka.

Pendek kata, baik Al-Quran mahupun hadith yang mereka terima, hanyalah yang diriwayatkan oleh mereka yang dikatakan sebagai ahli bait, iaitu keluarga Rasullullah. iv. Kesangsian juga berlaku dalam sejarah falsafah klasik, terutamanya tentang tokoh besar yang dipersoalkan iaitu Socrates. Beliau tidak meninggalkan sebarang tulisan, bagaimana mungkin dapat diketahui riwayat dan pemikirannya yang sebenarnya. Kebanyakkan tentang ketokohannya diketahui daripada anak-anak muridnya, terutamanya Plato. Keterangan daripada Plato lebih dipercayai dalam meriwayatkan hidup dan pemikiran Socrates, Meskipun kesemua sumber yang ada itu masih dipergunakan secara kritikal. v. Di Nusantara pula masalah ketiadaan nama pengarang sudah menjadi ciri umum dalam teks-teks sastera klasik, baik yang bercorak sastera rakyat mahupun yang bercorak Hindu. Malah sastera Islam pun menghadapi masalah yang sama iaitu tiada nama pengarangnya dan kandungannya pula banyak yang merupakan rekaan dan tambahan kemudian. Contoh, Hikayat Melayu-Islam. Masalah-masalah seperti inilah yang menjadi bidang garapan kritikan luaran iaitu untuk menentukan ketulenan atau keaslian sesuatu sumber yang tertentu selagi masalah pengarang atau penulisnya yang sebenar tidak diatasi terlebih dulu, sudah tentu kesimpulan muktamad tidak dapat dibuat dalam kajian yang dilakukan. Bukan sahaja Penulisnya, bahkan juga masalah bila, di mana, serta dari bahan apa karya itu ditulis, semuannya harus dikritik agar mendapat kepastian tentang kedudukan sumber yang sebenar. Kaedah-kaedah dalam Kritikan Luaran Cara-cara untuk mengatasi masalah kepalsuan sumber-sumber sejarah atau memastikan ketulenan sesuatu dokumen adalah seperti berikut, ujian kimia, ujian bahasa, ujian tulisan tangan, dan ujian bahan-bahan dalam buatan dokumen itu. Ujian Kimia: Tujuannya adalah untuk menentukan umur atau tarikh sebenar sesuatu dokumen iaitu dari segi keadaan kertas, dakwat dan cap di dalam sesebuah dokumen, yang akan berubah-ubah mengikut peredaran masa. Pakar-pakar kimia boleh memastikan sama ada sesuatu dokumen itu benar-benar dikeluarkan pada masa yang didakwa oleh pihak-pihak yang memilikinya. Sebagai contoh, Manuskrip jurnal yang disimpan oleh Frank Swettenham yang mengandungi catatan dari bulan April 1894 hingga Februari 1876 boleh disahkan tulen oleh seseorang pakar kimia yang dapat menguji sama ada kertas dari dakwat yang digunakan itu sememangnya berumur lebib kurang 100 tahun. Ujian Bahasa: Ujian bahasa ini adalah untuk melihat ketulenan sesuatu dokumen dengan disahkan melalui bahasa. Sebagaimana yang kita maklum gaya bahasa sentiasa berubah-berubah dari sudut nahu, struktur ayat, ejaan, istilah, tanda baca dan sebagainya. Garraghan pula melihat kepentingan ujian bahasa seperti berikut, Gaya tulisan Latin oleh Livy pada abad yang pertama tidaklah serupa dengan gaya tulisan Latin oleh Einhara pada abad ke-9. Kebenaran hal ini boleh juga dibuktikan jika kita menyemak gaya tulisan Bahasa Malaysia dalam awal tahun 1960an

berbanding dengan gaya tulisan masa kini. Malah klasifikasi sekarang pun sudah menjadi Bahasa Melayu. Apa yang ketara ialah perbezaan dalam gaya tulisan Bahasa Malaysia adalah lebih ketara jika kita membandingkan keadaan kini dengan gaya tulisan teks klasik Sejarah Melayu. Hakikat bahawa tulisan berubah mengikut masa menjadikannya sulit bagi seseorang yang berniat memalsukan sesebuah karya atau dokumen yang didakwa sebagai tua atau lama. Kesulitan ini akan bertambah jika karya atau dokumen yang dipalsukan itu didakwa sebagai tulisan seorang tokoh terkenal seperti Napolean, Bismarck, Lincoln atau Churchill kerana tokoh-tokoh ini mempunyai gaya penulisan yang tidak mudah ditiru orang lain. Ujian Tulisan Tangan: Ujian tulisan tangan ini hanya dapat dijalankan terhadap dokumen yang ditulis tangan dan bukan ditaip atau dicetak. Sebagaimana diutarakan oleh Garraghan, tulisan tangan adalah mempunyai cirinya yang tersendiri dan pakar-pakar dalam bidang ini boleh mendedahkan perbuatan untuk meniru tulisan tangan orang lain. Misalnya, dalam kes pemalsuan buku harian Hitler, yang termasuk menurunkan tandatangan Hitler pada tiap-tiap muka halaman, para pakar telah menguji ketulenan dokumen-dokumen lain yang ditulis oleh Hitler. Ujian Bahan-Bahan Yang Digunakan: Akhirnya ketulenan sesuatu dokumen boleh juga dipastikan dengan menentukan sama ada bahan-bahan yang digunakan dalam menghasilkan dokumen itu memang sudah wujud pada masa yang ditarikhkan dalam dokumen itu sendiri. Misalnya, jika dinyatakan kertas yang digunakan sebelum tahun 1150 T.M, boleh dikatakan bahawa dokumen itu adalah palsu kerana pada masa itu hanya kulit kambing digunakan sebagai alat tempat menulis. Keputusan yang sama juga boleh dibuat tentang sebuah dokumen yang bercetak yang ditarikkan pada tahun 1350, kerana teknik percetakan hanya diperkenalkan pada abad ke-15. Pemalsuan buku harian Hitler juga dapat dibongkarkan dengan mendedahkan bahawa benang-benang yang digunakan dalam penjilidan buku hanya mula digunakan selepas tahun 1945, iaitu selepas kematian Hitler. Di sinilah timbulnya kepentingan ilmu-ilmu bantu seperti ilmu kimia, arkeologi, numismatik, bahasa atau linguistik dan lain-lain. Dengan kombinasi ilmu-ilmu seperti ini, maka masalah-masalah tentang kepalsuan sumber itu dapat dikurangi, kalaupun tidak dapat diatasi sama sekali. Kritikan Dalaman Kritikan dalaman yang dimaksudkan adalah tentang kemunasabahan (credibility) atau perihal boleh dipercayai ataupun kewarasan isi isi kandungan sesuatu sumber itu. Persoalannya, apakah kandungannya itu benar, rasional atau logik. Walaupun dari segi kritikan luaran sumber itu mungkin asli dan tulen, namun jikalau kandungannya tidak munasabab atau tidak waras, tentunya tidak harus dijadikan sumber lagi. Dari segi asal-usulnya, timbulnya perhatian kepada kepentingan mengkaji sama

ada isi kandungannya itu waras atau tidak adalah akibat daripada sikap skeptik kepada kitab-kitab suci, baik Perjanjian Lama (Taurat) mahupun Perjanjian Baru (Injil). Dengan kebangkitan aliran rasionalisme dengan tokoh-tokoh seperti Benedict Spinoza dan Immanuel Kant, lalu timbullah kesimpulan bahawa isi kandungan ini tidak sahih lagi kerana bertentangan dengan akal waras. Dari sinilah terbentuknya aliran Higher Criticism yang mendakwa bahawa isi kandungan Injil adalah bertentangan (contradictory) antara satu sama lain, malah merupakan mitos dan dongengan belaka. Antara tokoh-tokoh aliran ini ialah Jeans Astruc (16841776) dan Julius Welhauson (1844-1918). Di samping golongan ini terdapat golongan Deist yang menundukkan Injil di bawah kuasa akal seperti Herbert of Cherbury (1583-1684), Charles Blount (1654-1693),dan John Toland (1670-1722). Juga termasuk Thomas Paine (1737-1809) dengan bukunya yang terkenal, The Age of Reason, serta Thomas Jefferson yang kemudiannya mempersembahkan Injilnya sendiri melalui karya The Jefferson Bible. Di kalangan para penyelidik nampaknya terdapat perbezaan sikap dalam menghadapi persoalan seperti ini. Jean Mabillon misalnya, lebih menumpukan perhatian kepada ketulenan sumber. Sumber yang tulen dengan sendirinya mengandungi isi yang tulen dan benar. Sebaliknya bagi Fustel De Coulages, yang lebih diutamakan ialah kemunasabahan kandungannya, sama ada sumber itu tulen atau palsu tidaklah menjadi masalah menurutnya. Dalam usaha menentukan kebenaran atau kemunasabahan sesuatu sumber sejarah, memang diakui masalah subjektiviti pengkajiannya dengan adanya perbezaan sikap dan nilai terhadap sesuatu. Sebab itulah timbulnya konsep nilai yang relatif, iaitu yang berbeza dan berubah-ubah mengikut ruang dan waktu tertentu. Setiap manusia memiliki kepentingannya sendiri, yang dapat berubah-ubah dan malah boleh bercanggah dengan pendirian sendiri sebelumnya. Jika persoalan ini dikaitkan dengan kepentingan politik peribadi, akan lebih jelaslah tentang realiti perubaban nilai ini. Sumber akhbar misalnya, yang dulunya ditolak mentah-mentah kerana kebohongannya, kini diterima sebagai benar dan sahih belaka. Sebabnya adalah kerana dulunya kita berada di dalam kem yang lain, tetapi kini sudah tergolong di dalam kem yang lain atau baru. Entah pada hari keesokannya tiba-tiba pula kembali semula kepada kerm yang asal. Justeru bergemalah semula pekikan atau gelaran 'pembohong' terhadap sumber yang sama. Sumber sejarah yang objektif, baik pihak akbar maupun fakta-fakta sejarah lainnya adalah begitu tetap sifatnya, tanpa berlaku sebarang perubahaan. Tetapi sikap subjektif manusia yang menilainya sahaja yang berubah-ubah, terutama sekali perubahaan sikap atau sentimen politiknya. Dalam konteks ini memang sukar mencapai kata sepakat terhadap kebenaran sesuatu sumber itu, oleh kerana ia banyak dipengaruhi oleh sikap subjektif penyelidiknya. Jika kebenaran itu diukur berdasarkan pemikiran subjektif para penyelidik sejarah terhadapnya, nescaya nilai sesuatu sumber 'partisan' atau beraliran politik tertentu akan meletakkan sumber tertentu sebagai benar dan penting, sedangkan yang beraliran politik yang lama pula akan mengganggap sumber berkenaan sebagai tidak benar dan tidak penting. Sebab itu penyelidik sejarah yang adil seharusnya

memerhati realiti dan hakikat ini, agar kajiannya benar-benar adil dan tidak berat sebelah (bias). Kalau kelihatan berat sebelah, ia merupakan rumusan atau kesimpulan yang berasaskan data dan fakta-fakta yang kukuh dan sahih. Dalam usaha mencari kesepakatan nilai terhadap sesuatu sumber itu, pernah diusulkan agar kebenaran dan kemunasabahannya diukur berdasarkan lunas-lunas rasionalisme dan naturalisme. Persoalannya, sekira fakta-fakta sejarah itu tidak bertentangan dengan hukum-hukum akal, maka ia dapatlah diterima sebagai benar dan munasabab. John Tosh mengatakan bahawa; Once historians have become immersed in the sources of their period and have mastered its characteristic turn of phrase and appropriate technical vocabulary, questions of meaning are unlikely to worry them very often. Collingwood mengatakan bahawa tindakan manusia yang rasional yang mempunyai dua unsur iaitu luaran dan walaupun demikian penyelidik sejarah tidak berminat mengkaji tindakan peribadi manusia yang lahir daripada naluri makan, minum, kegiatan seks dan sebagainya. Unsur luaran ialah tindakan lahiriah manusia itu. Contohnya, tindakan Si Puntum menikam Birch yang sedang mandi itu. Manakala dalaman ialah unsur fikiran iaitu apa yang difikirkan oleh Puntum ketika dia hendak membunuh Birch. Kepentingan Kritikan Sumber Kritikan sumber ini sangat mustahak kerana wujud usaha-usaha memalsukan sumber. Ia dapat membantu dalam menentukan keaslian dan kesahihan sesuatu sumber. Oleh itu seorang penyelidik perlulah mempunyai sikap yang lebih kritis terhadap sesuatu sumber dan tidak sekadar menyalin, merakam atau memetik maklumat yang disampaikan oleh sumber-sumber. Benedetto berpandangan bahawa penyelidik sejarah seharusnya mengkritik dan membandingkan sumbersumber supaya dapat memberikan maklumat yang benar. Aktiviti kritikan sumber ini akan mengelakkan penggunaan sumber-sumber yang tidak sahih dan menghasilkan kajian yang benar. Kritikan sumber ini amat mustahak untuk mengelakan pemalsuan. Terdapat beberapa motif mengapa seseorang melakukan pemalsuan adalah seperti berikut; i) Untuk keuntungan kewangan ii) Kerana keangkuhan kesarjanaan iii) Kerana cemburu iv) Kerana kepentingan parti v) Kerana kegiatan keagamaan yang tidak berperaturan. vi) Untuk mencari nama dengan melakukan kejahatan. Pada zaman Peralihan (Renaissance) terdapat banyak kerja yang dipalsukan dengan tujuan mengejar publisiti dan kemasyhuran boleh dikatakan setiap zaman mempunyai masalah ini. Kritikan sumber bukan sahaja bertujuan memastikan kebenaran bukti tetapi juga mencari maklurmat tambahan yang tidak disediakan secara nyata oleh saksi (sumber). Kritikan sumber juga penting kerana ia membantu mengelakkan kekeliruan fakta. Ia membantu penyelidik sejarah memastikan sama ada kajian-kajian lepas itu seratus peratus benar atau

bercanggah. Kemudian barulah penyelidik dapat menghasilkan suatu penulisan yang tulen dan benar seperti kata Ranke bahawa sejarah adalah suatu yang harus dikaji seperti yang sebenarnya berlaku). Kritikan sumber juga penting untuk menentukan sama ada sesuatu sumber itu adalah lama atau masih muda. Dengan kritikan, seseorang penyelidik dapat membuat analisis sesuatu yang tidak dipaparkan secara nyata dalam sumbersumber.Collingwood mengatakan bahawa sumber dalain sejarab segai berbisu dan penyelidik sejarah perlu menggarapnya untuk mendapatkan idea yang jelas mengenai perstiwa yang telah berlaku. Setiap kenyataan mestilab disangsikan terlebih dahulu. Penyelidik sejarah tidak seharusnya menerima bulat-bulat sesuatu kenyataan itu walaupun telab dipercayai oleh orang ramal atan telahpun dibuktikan benar oleh orang lain. Seperti kata Longlois dan Seigojos, penyelidik sejarah mestilah bermula dengan Methodical doubt (kesangsian metode), iaitu semua yang disahkan seorang penyelidik sejarah perlulah diteliti dengan kaedah yang lebih teliti. Penyelidik sejarah haruslah sentiasa sangsi terhadap sesuatu sumber yang diperolehinya sebelum merealisasikannya. Secara keseluruhannya, dapatlah dinyatakan bahawa kritikan sumber merupakan satu aspek penting dalam penyelidikan sejarah. Kritikan sumber ini secara langsung atau tidak lansung dapat menghasilkan sesuatu dokumen atau karangan sejarah yang tulen dari segi sumber. Jadi di sini sesuaatu sumber itu dapat dinyatakan kebenarannya sama ada tulen atau tidak. Kepentingan kaedah kritikan sumber kepada seorang penyelidik sejarah amat bermakna agar sumber-sumber yang digunakan itu betul-betul tulen dan tidak bercanggah atau palsu.

You might also like