You are on page 1of 15

IBNU TAIMIYAH:

WAJAH DAN WIJHAH SEORANG ULAMA MUJADDID


Oleh: Teten Romly Qomaruddien

Ibnu Taimiyah merupakan sosok ulama pembaharu yang memiliki wawasan


pemikiran yang luas dalam bidang tafsir, fiqh, al-Qur`ân dan al-Hadîts.
Sebagian besar aktivitasnya dilakukan untuk memurnikan paham Tauhid,
membuka kembali pintu ijtihad yang telah lama ‘mati’, dan menghidupkan
pemikiran-pemikiran salaf. Ia melakukan gerakan tajdid melalui ijtihad
berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, disamping memerangi taklid, khurafat,
dan bid’ah yang telah menyimpang dari petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya.

Kata Kunci: ijtihad, tajdîd, tasawuf, taklid,puritan,


fundamental, mujahid

Pendahuluan
Salah satu tokoh pembaharuan Islam yang memiliki pengaruh besar pada
perkembangan pemikiran Islam, khususnya pada gerakan pemurnian Islam
adalah Ibnu Taimiyah. Ia adalah ulama abad ke-8 H/abad ke-14 M yang
membangkitkan kembali semangat ijtihad,dikenal sebagai seorang pemikir,
tajam intuisi, berpikir dan bersifat bebas, setia kepada kebenaran, piawai dalam
berpidato dan lebih dari itu penuh keberanian dan ketekunan. Ia memiliki
semua persyaratan yang mengantarkannya kepada peribadi yang luar biasa. Hal
ini sejalan dengan pernyataan Ignaz Goldziher, seorang ilmuwan Barat, bahwa
Ibnu Taimiyah adalah teolog muslim abad ke-13 dan 14 yang paling kenamaan.
Ilmuwan lainnya, Mac Donald mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah adalah “a
saint malgre lui” (seorang ulama yang amat terkemuka).1
Ibnu Taimiyah tidak hanya sekedar guru dan hakim, sebagaimana kakek
dan ayahnya, namun ia juga mampu memimpin perlawanan militer terhadap
bangsa mongol, demi membela tanah airnya, Syiria. Dalam berbagai
kesempatan, ia banyak melontarkan ide yang lebih sering bertentangan dengan
para penguasa atau pun dengan mayoritas masyarakat. Meskipun itu

1
Khalid Ibrahim Jindân, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibnu Taimiyah Tentang
Pemerintahan Islam (Terj. The Islamic Theory of Government According to Ibn Taimiya oleh
Masrohin), Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hal. 20-23
membuatnya dalam suasana terpojok dan sulit, tetapi ia tidak pernah goyah dari
pendiriannya.
Dengan semangat al-Amr bî al-Ma’rûf wa Nahyu ‘an al-Munkâr, Ibnu
Taimiyah menentang semua paham yang menurutnya bertentangan dengan
ajaran al-Qur`an dan al-Hadits dengan menggelar bantahan dan kritikan-
kritikan melalui pena dan lisannya kepada kelompok Syî’at, Murji’at, Râfidhat,
Qadariyat, Mu’tazilat, Asy’ariyat, Jahmiyat, Tasawuf dan filsafat, bahkan
terhadap penguasa sekalipun. Hal ini menyebabkan dirinya harus menghadapi
berbagai resiko teror dan intimidasi berupa penjara, pengasingan, dan lainnya.
Selama hidupnya, Ibnu Taimiyah banyak menghasilkan karya-karya di
bidang tafsir, fiqh, al-Qur`ân dan al-Hadîts, atau membuat kritikan terhadap
kaum filosuf yang mencapai lebih dari tiga ratus judul disiplin ilmu. Hingga
kini, pemikiran-pemikirannya banyak dikaji oleh para ulama dan kaum
intelektual Islam.

Biografi Singkat Ibnu Taimiyah


Tercatat dalam buku-buku sejarah yang menguraikan perjalanan hidup
Ibnu Taimiyah, bahwa dirinya memiliki nama dan keturunan (nasab) Ahmad
Taqiyuddin yang merupakan nama pemberian ayahnya, sedangkan Abil ‘Abbas
merupakan nama samaran (kunyat) nya. Namun akhirnya dia lebih dikenal
dengan nama Ibnu Taimiyah, sehingga mengalahkan nama aslinya.2 Oleh
karena itu, para sejarawan berpendapat bahwa penamaan itu dinisbatkan kepada
ibunya. Adapun sebutan Taimiyah, diambil dari sebuah tempat bernama Taima’.
Muhammad Al-Khidir (kakeknya) menisbatkannya kepada anak putrinya.3
Ibnu Taimiyah dilahirkan di Harrân pada hari Senin, tanggal 10 Rabi’ul
Awwal tahun 661 H. Ayahnya yang bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul
Halim Ibnu Abdis Salâm ibnu Abdillah Ibnu Taimiyah, seorang syekh, khatib
dan hakim di kotanya, adalah penduduk Damascus yang dilahirkan di kota
Harrân tahun 627 H. Sedangkan nama lengkap kakeknya adalah Majduddin
‘Abul Barakat Abdussalam bin Abdillah bin Taimiyah al-Harrani. Majduddin
adalah seorang Faqih Hanbali, Imam Ahli Hadits, Ahli Tafsir, Ahli Ushul, Ahli

2
Abul Hasan Ali al-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV Pustaka Mantiq,
1995, hal. 41
3
Ahmadi Thaha, Ibnu Taimiyah; Hidup dan Pikiran-pikirannya, Malaysia: Penamas Sdn.
Bhd., 1984, hal. 9
Nahwu dan seorang Hufazh, dia dilahirkan di Harrân pada tahun 590 H.4
Dengan demikian, Ibnu Taimiyah memiliki nama lengkap Taqiyuddin ‘Abul
‘Abbas Ahmad bin Abdil Halim bin ‘Abdis Salam bin ‘Abdillah bin Abil Qâsim
bin al-Khidir bin Muhammad bin Taimiyah al-Harani al-Dimasqi.5
Adapun pertumbuhan dan ghirah-nya kepada ilmu, telah dijalaninya
semenjak kecil dengan menimba ilmu dari para hufazh dan ahli Hadîts; bahkan
sebelum usianya mencapai belasan tahun, telah menguasai ilmu ushuluddîn,
pendalaman bidang tafsir dan bahasa Arab, serta telah mengkaji Musnad Imam
Ahmad (beberapa kali), kemudian Kutub al-Sittah dan Mu’jam’ al-Thabrâni al-
Kabîr.6
Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim mengatakan dalam pengantar
Majmû’ al-Fatâwa, bahwa al-Barzâli menyebutkan Ibnu Taimiyah memiliki
guru (masâyikh) lebih dari seratus orang.7 Diantaranya adalah Syamsuddin,
Zainuddin Ahmad bin Abdi al-Dâim, Abul Yasar, Kamal bin Abdillah, Majd bin
‘Asâkir, Jamal Yahya Ibnu Shairafi, Ahmad bin Abil Khair, al-Qâsim, al-Arbili,
Fahruddin ibnu al-Bukhari, Kamal Abdurrahim, Abul Qasim bin ‘Alal, Ahmad
bin Syaiban dan Zainab binti Makki.8

Kondisi Dunia Islam Abad Ke-7H/Abad Ke-14M


Untuk mengetahui latar belakang yang mendorong Ibnu Taimiyah
mengibarkan bendera kebangkitan dan pembaharuan (tajdid), ada baiknya kita
melihat kondisi politik, sosial, ilmu pengetahuan dan pemikiran yang
berkembang pada masa itu. Terlepas dari pertentangan pendapat para analis
pemikiran dan peradaban mengenai penilaian terhadap kondisi yang sedang
berkembang, yang jelas ketika itu ummat Islam mengalami bencana dan
4
Salah satu karya termasyhur Majduddin adalah kitab Muntaqiy al-Akhbâr yang banyak
dijadikan rujukan ulama di setiap masa. Pada akhir hayatnya dia meminta Muhammad bin Ali
al-Syaukani (w. 1255 H) untuk memberikan komentar (syarh) sehingga delapan jilid yang
diberi judul Nail al-Authâr Syarh Muntaqiy al-Akhbâr, Ibid., hal. 17. Lihat juga Muhammad Ali
bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Authâr, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994, hal. 3-4
5
Muhammad Luqman al-Salafi, Syaikh al-Islâm Ibnu Taimiyat Hâmilu Râyât al-Kitâb wa
al-Sunnat, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, Riyadh: al-Riâsat al-âmat li Idârati al-Buhûts al-
Ilmiyyah wa al-Ifta wa al-Da’wah wa al-Irsyad, 1989, hal. 207
6
Majalah As-Sunnah I, Ibnu Taimiyah; Da’i dan Mujahid Besar, Surakarta: Pustaka
Istiqomah, Januari 1993, hal. 53
7
Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawâ, t. tmpt.: Isyraf al-Ri’asat
al-‘Ammat li al-Su’un al-Haramain al-Syarifain, t. thn, hal. b
8
Muhammad Luqman al-Salafi, Syaikh, hal. 208
malapetaka yang silih berganti karena kelemahan dan kemunduran ummat
Islam sendiri serta faktor luar yang mempengaruhinya.
1. Faktor Internal
Faktor ini ditandai dengan kekacauan politik, penyalahgunaan kekuasaan,
kebodohan ummat, kelemahan ulama serta penyimpangan tradisi yang
menyebar luas. Perilaku dan kehidupan yang menyimpang dari ajaran Islam
mengakibatkan warna keislaman menjadi pudar, perpecahan merajalela, aliran
dan sekte sesat yang mengatasnamakan Islam tumbuh subur, stagnasi dan
kejumudan berfikir, taqlid buta dan fanatisme madzhab fiqh, khurafat dan
bid’ah mengeruhkan cakrawala pemikiran Islam. Hal ini ditambah dengan
sikap menuhankan akal, logika dan filsafat Yunani menggantikan al-Qur’an dan
al-Sunnah sebagai manhâj hidup, sehingga madzhab-madzhab fiqh dan aliran-
aliran teologi berubah menjadi agama.9
Mereka semakin jauh dari kitabullah dan sunnah rasul, setiap penganut
madzhab fiqh merasa bangga dengan pendapat dan analoginya serta
menganggap jelek yang lainnya, pemikiran madzhab senantiasa dikembalikan
kepada nalar (ratio) manusia semata, membuat argumen kitabullah dan sunnah
rasul menjadi asing adanya, sehingga ajakan untuk kembali kepada keduanya
menjadi ajakan yang ganjil, dinodai penganutnya sendiri dan tidak didengar
lagi. Dengan demikian, ajaran agama pun menjadi berubah. Kalaulah bukan
karena kodrat Allah, hampir saja obor al-Qur’an dan al-Sunnah menjadi
padam.10
2. Faktor Eksternal
Faktor luar merupakan serbuan pihak luar ummat Islam yang sangat
banyak mempengaruhi terjadinya pergolakan pemikiran, pertentangan ideologi,
yang dapat melahirkan iklim baru dalam kehidupan sosio politik, kebudayaan
dan tradisi keagamaan. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa yang
menjadi faktor penyebab iklim tersebut. Diantaranya adalah kemunculan
bangsa Tartar dari timur yang menjarah wilayah Islam sejak tepi sungai Indus
sampai Eufrat, dengan menggilas kota Turkistan, Samarkand, Bukhara,
Khurasan sampai perbatasan Irak.11

9
Setiawan Budi Utomo, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Wajah dan Wijhah Seorang
Mujaddid Sejati, Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, Jakarta: LP2SI Al-Haramain, 1995, hal. 65
10
Muhammad Luqman al-Salafi, Syaikh, hal. 21
11
Setiawan Budi Utomo, Syaikhul, hal. 65
Selain itu, jatuhnya kota Baghdad (sebagai jantung kekhilafahan) ke
tangan Hulagu Khan tahun 567 H (10 Ferbuari 1253 M) bersama tentaranya,
membuat tiga ratus orang pemuka kekuasaan menyerah tanpa syarat, sepuluh
hari kemudian mereka dibunuh semuanya, dan dilanjutkan dengan pembunuhan
warga kota serta perusakan fasilitas umum, pendidikan, tempat-tempat ibadah
dan sarana lainnya. Hulagu meninggalkan kota (setelah empat puluh hari)
berbuat kejahatan, di mana Hulagu mencium bau udara pes karena mayat-mayat
yang belum dikubur dan masih bergelimpangan di jalanan. 12 Hulagu pun
menaklukan Syiria (1260 M,) menguasai kota Hama dan Harim, begitu pula
kota Alepto dengan korban 50.000 orang.13
Faktor lainnya adalah jatuhnya negeri Syam (Syiria) ke tangan penjajah
Eropa Salibis (Franka, Prancis) selama kurang lebih dua abad, dan berhasil
menduduki Damascus dan sekitarnya (‘Akkah, Yafa, Beirut, Shur dan ‘Asqalan)
pada tahun 491 H, serta disusul jatuhnya Masjid Al-Aqsha ke tangan mereka
pada tahun 492 H, korban pun bergelimpangan lebih dari 70.000 orang yang
terdiri dari para tokoh kaum muslimin, ulama, para zuhhad dan para ‘ubbad,
begitu pula derita yang dialami kaum wanita dan anak-anak.14
Ibnu al-‘Atsir menjelaskan bahwa sebab kemuculan bangsa Eropa di
negeri Syam, tidak lain karena persekongkolan Dinasti Fathimiyah yang Syi’ah
mengkhawatirkan kekuasaan dinasti Saljuk yang berkuasa dari negeri Syam
sampai Gaza, di mana antara mereka dan Mesir tidak ada wilayah lain yang
12
Ahmadi Thaha, Ibnu Taimiyah, hal. 11
13
Hulagu Khan dengan segala ambisi dan kearogananya, terus melakukan serangan dan
penaklukan. Keangkuhannya dapat dilihat dalam surat-suratnya yang lebih berisikan pilihan
‘perang’ atau ‘tunduk di bawah kekuasaannya’. Hal ini pernah dilakukannya kepada Malik
Muzhaffar Quthuz di Mesir dengan penekanan yang sangat keras, di mana Hulagu memulai
surat yang dikirimkannya dengan perkataan: “Dari penguasa kerajaan-kerajaan Timur dan
Barat”, sedangkan isinya adalah: “Silahkan kalian melarikan diri, dan kami akan mencarinya;
bumi mana yang kalian singgah, jalan mana yang kalian tempuh dan negeri mana yang kalian
pertahankan, tidak akan bisa melepaskan pedang-pedang kami.” Lihat Muhammad Yusuf Musa,
Ibnu Taimiyah, Beirut: Al-‘Ashru al-Hadîts, 1988, hal. 20
14
Bahkan pada akhirnya, mereka berhasil menguasai Dimyat di Mesir. Peristiwa ini
dikenal dengan perang salib; sebagai serangkaian perang suci yang dilancarkan oleh kaum
Nashrani Eropa terhadap kerajaan-kerajaan Islam Timur Tengah dengan dalih untuk membuka
dan melancarkan perjalanan ziyarah ummat Nashrani ke Bait al-Maqdis, mereka berhasil
menguasai Dinasti Saljuk, lalu memperluas wilayah perang sampai ke negeri-negeri sekitarnya
yang berada di wilayah kekuasaan khilafah Syi’ah Fathimiyah. Dikatakan pula bahwa
kedatangan bangsa Eropa salibis memulai penjajahannya di bumi Syam dan Mesir terjadi
sebelum bangsa Tartar masuk ke negeri itu pada tahun 656 H (yaitu setelah runtuhnya Baghdad)
selama satu setengah abad. Ibid., hal. 24-25. Lihat juga Muhammad Nabhan Husein, Maulid
Nabi; Sebuah Tinjauan Sejarah, Dewan Dakwah Jakarta dan IKMI Jakarta, 1418, hal. 24-25
membatasinya, maka terjadilah peperangan antara Eropa (Salibis) dengan kaum
muslimin. Sumber lain menyebutkan bahwa penyerangan lanjutan bangsa Barat
ke negeri ini sampai Mesir (menguras waktu dua abad) tidak lepas dari dua
tujuan; pertama memberi bantuan atas permintaan Dinasti Fathimiyah yang
Syi’ah, dan kedua merupakan ekspansi lanjutan yang sudah direncanakan.
Peperangan yang lama tersebut akhirnya selesai dengan pengusiran bangsa
Eropa di bawah Malik al-Asyraf Khalil Ibnu Mansur Qalawun pada tahun 690
H. Dalam hal ini Ibnu Katsir berkomentar, “Kota ‘Akkah di Palestina dan
pesisir-pesisir laut yang tadinya dikuasai lama bangsa Eropa Salibis kembali
dibuka, hingga tak tersisa sebutir batupun”.15
Disisi lain, kondisi politik (Al-Nâhiyat al-Siyâsiyat) yang mempengaruhi
faktor internal dan eksternal ini, juga dipengaruhi oleh kondisi sosial (Al-
Nâhiyat al-Ijtimâiyat) dan nuansa pergolakan akal dan keilmuan (Al-Nâhiyat
al-aqliyyat wa al-ilmiyyat).
Pada masa Ibnu Taimiyah, kondisi masyarakat Mesir dan Syam (Syiria)
terdiri dari masyarakat yang plural, baik jenis, golongan, ras, warna kulit dan
adat istiadat. Peperangan di daerah itu membuat masyarakat bercampur baur
dari orang-orang Mesir asli, orang-orang Syam, Iraq, Franka, Armenia dan
bangsa Israel. Hal ini jelas berpengaruh dalam melahirkan kelas-kelas sosial,
keragaman agama, aliran dan sekte, serta memunculkan penyimpangan baik
kebijakan hukum atau pun perilaku.
Di antara kelas-kelas yang muncul adalah; pertama kelas yang terdiri dari
para ‘umara yang dipimpin sultan, mereka mempunyai kedudukan tinggi dan
mulia penuh wibawa untuk mengatur dan mengeluarkan hukum dan peraturan;
kedua terdiri dari para ulama, fuqaha’ dan pemuka agama. Golongan ini
menempati tempat terpenting dan hidupnya cerah, karena mereka dibebani
berbagai kekuasaan dan jabatan-jabatan penting dari Negara, mereka langsung
berhadapan dengan masyarakat dan rakyat.16
Adapun keragaman agama dan aliran yang tumbuh subur terdiri dari
Yahudi, Nasrani, Ismailiyah dan lainnya dari golongan Syi’ah Rafidhah. 17
Ditambah dengan maraknya keyakinan ‘bersatu dengan tuhan’ (ittihad), ‘Tuhan
melekat dengan makhluk’ (hulul), serta faham ‘wihdatul wujud’ Ibnu ‘Arabi
(Pâtheisme) yang mengingkari akal dan mengenyampingkan agama, yang
15
Muhammad Yusuf Musa, Ibnu Taimiyah, hal. 24
16
Ahmadi Thaha, Ibnu Taimiyah, hal. 15
17
Ibid., hal. 40
mendapatkan sokongan penuh dari Beybars (gubernur Mesir), Syaikh Nashr al-
Munbaji dan Ibnu Makhluf (hakim kerajaan), yang semuanya itu dari golongan
tasawuf.18
Dalam hal hukum, telah terjadi penyimpangan besar sebagai akibat dari
penjajahan yang terlalu lama, Salibis Eropa di satu sisi dan bangsa Tartar pada
sisi lain. Bangsa Tartar telah meninggalkan dan mewarisi banyak adat istiadat
serta pokok-pokok dasar undang-undang Jengis Khan dalam kitab mereka yang
masyhur (yaitu Al-Yasat), mereka mengagungkannya seperti mengagungkan
terhadap ajaran syari’at yang turun dari langit.19 Ibnu Katsir menyebutkan
dalam al-Bidâyah wa al-Nihâyah bahwa undang-undang dimaksud adalah
‘hukum serba bunuh’ terhadap pelanggar, tanpa melihat keadilan syari’at Islam.
Dalam hal ini, transformasi sosial yang terjadi di masa ini lebih banyak
didominasi oleh tradisi, etika dan kebudayaan jahiliyah sebelumnya sehingga
tidak mampu merubah perilaku mereka, sekalipun sebagian bangsa Tartar sudah
masuk Islam. Dikatakan oleh al-Maqrizi bahwa, “mereka adalah orang-orang
yang memeluk Islam, juga membaca al-Qur’an dan mengetahui hukum-hukum
agama Muhammad saw, namun kemudian mencampuradukkan antara haq
dengan yang bathil.20
Kondisi lainnya adalah keilmuan dan pergolakan akal yang turut
menyemarakkan masa ini dengan tumbuhnya majelis-majelis keilmuan dengan
subur. Shalahuddin al-Ayubi mendirikan Madrasah Suyufiah untuk pengikut
Imam Hanafi di Kairo, juga membangun Madzhab Syafi’i dan Maliki, dan
membangun pula di Syam dan Aljazair. Hal ini diikuti pula oleh Malik
Nuruddin Mahmud Ibnu Zanki dengan membangun madrasah-madrasah untuk
pengikut Imam Syafi’i dan Imam Hanafi di Damascus dan Halab. Kemudian
Qadhi al-Fadhil Abdurrahman al-Bisani memdirikan Al-Fadhiliyah pada tahun
580 H untuk dua golongan fiqh (Syafi’i dan Maliki). Begitu pula Malik al-
Shaleh Najmuddin Ayub mendirikan Madrasah al-Shalihiyah pada tahun 641 H
yang mempelajari ajaran empat madzhab terkenal. Sedangkan Raja Mansur
Qalawun mendirikan Madrasah al-Manshuriyah pada tahun 684 H yang
mempelajari ajaran keempat imam madzhab pula. Disusul tahun 703 H dengan
berdirinya Madrasah Nashiriyah oleh Malik Nashir Muhammad Ibnu Qalawun
dan Madrasah Mahmudiah pada tahun 797 H oleh Amir Mahmud bin Ali al-

18
Ibid., hal. 33
19
Muhammad Yusuf Musa, Ibnu Taimiyah, hal. 38
20
Abul Hasan Ali al-Nadawi, Syaikhul, hal. 35
Istadar. Al-Maqrizi menyebutkan bahwa madrasah ini paling baik sistem
kurikulumnya di Mesir.21
Adapun pergolakan akal yang hidup di masa ini, seperti digambarkan oleh
Abul Hasan Ali al-Nadawi,
“Sungguh rasa fanatik dan sikap berpecah belah dalam soal fiqh ini benar-
benar telah sampai pada puncaknya. Para pengikut masing-masing
madzhab empat memiliki murid dan guru. Masing-masing mereka
mengakui kebolehan yang lain, bahkan mereka saling berkasih sayang
dan berziarah di antara mereka. Hanya saja penyatuan antara pengikut
Asy’ari dan Hanbali seolah-oleh menjadi suatu hal yang mustahil.
Perbedaan pendapat antara dua madzhab tersebut hanya berkisar pada
soal lebih utama dan lebih dahulu. Sedangkan antara Asy’ariyah dan
Hanbaliyah berselisih dalam soal kufur dan Islam. Masing-masing
bersikeras mengkafirkan fihak lain”.22
Selanjutnya al-Nadawi mengemukakan tentang pengaruh tasawuf dan
filsafat terhadap ajaran Islam, sebagai berikut,
“Perkembangan ilmu tasawuf di sisi lain telah sampai pula kepada bentuk
yang bermacam-macam. Di dalamnya kemasukan berbagai pemikiran dan
unsur-unsur yang tidak Islami yang disuntikkan oleh orang-orang bodoh
dan ahli bid’ah, sehingga mereka menyebabkan kesesatan bagi orang
awam maupun orang khusus, bahkan menjadi sumber kemusyrikan dan
bid’ah di kalangan masyarakat. Di sisi lain, sekelompok filosof tengah
berusaha keras untuk menyebarkan ajaran-ajarannya baik secara
tersembunyi maupun terang-terangan. Mereka melepaskan ikatan agama
dan ajaran para Nabi. Di samping itu ada pula kelompok lain berusaha
mensejajarkan filsafat dengan agama dan dalil akal dengan dalil naqal
(wahyu). Kedua kelompok itu adalah pengikut setia Aristoteles dan Plato
yang menganggap suci pemikiran-pemikiran dan teori keduanya. Bahkan
mereka mempercayai kebenaran dan keutamaan ilmu keduanya. Mereka
menganggapnya sebagai sesuatu yang di atas kemampuan manusia biasa.
Mereka tidak mengakui adanya kesalahan pada pemikiran dan teorinya”.23

21
Muhammad Yusuf Musa, Ibnu Taimiyah, hal. 59-61
22
Abul Hasan Ali al-Nadawi, Syaikhul, hal. 38
23
Ibid.
Aktivitas Ilmiah Ibnu Taimiyah
Seperti dikatakan oleh al-Dzahabi (w. 748 H), Ibnu Taimiyah adalah
lambang kecerdasan dan kecepatan dalam memahami al-Kitab dan Sunnah serta
perbedaan pendapat dan lautan dalil naql. Pada jamannya, Ibnu Taimiyah
adalah satu-satunya yang terbaik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian,
kemurahan, amar ma’ruf, nahyî munkar, menguasai hadits dan fiqh, serta
banyak menghasilkan karya-karya ilmiah. Kesemuanya itu dihasilkan dengan
kecerdasan dan kedalamannya dalam Ilmu mata rantai sanad (rijâl), al-Jarh wa
al-Ta’dîl, thabaqat-thabaqat sanad, pengetahuan shahîh dan dha’îf, serta
kekuatan hafalannya dalam menghafal matan-matan hadits. Menurutnya,
“Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah
hadits.24
Sebagai bukti kepiawaiannya dalam hal ilmu, dapat dilihat dari berbagai
karya ilmiahnya. Pengumpul kitab Majmu’ Fatawâ, Abdurrahman bin
Muhammad bin Qâsim menyebutkan bahwa warisan ilmiah Ibnu Taimiyah
lebih dari enam ribu jilid buku dari berbagai pembahasan.25
Ahmad al-Qathan dan Shaleh Fauzan menukil petikan Ibnu Wardi bahwa
Ibnu Taimiyah menulis sehari semalam tentang tafsir, fiqh, al-Qur`ân dan al-
Hadîts atau membuat kritikan terhadap kaum filosuf sekitar empat buku.
Karyanya mencapai lebih dari tiga ratus judul disiplin ilmu, sebanyak 65 jilid
buku diantaranya telah tercetak seperti berikut ini:
1. Majmû’ Fatawâ (kumpulan fatwa tentang ‘akidah, fiqh, tafsir, hadits,
ushl fiqh, dan lain-lain) yang dikoleksi menjadi 37 jilid
2. Muwâfaqat Shahîh al-Manqûl Li Sharîh al-Ma’qûl (tentang kedudukan
nash al-Qur`ân kaitannya dengan akal/logika) tercetak sebanyak 10 jilid.
3. Al-Jawâb al-Shahîh Liman Baddala Dîna al-Masîh (tentang bantahan
terhadap kesesatan keyakinan orang nashrani) yang dicetak sebanyak 4
jilid.
4. Minhâj al-Sunnat al-Nabawiyyat Fî Radd ‘Ala al-Syî’at wa al-
Qadariyyat (tentang bantahan terhadap Syi’ah dan Qadariyyah)
sebanyak 4 jilid.
5. Al-Qawâid al-Nuraniyat al-Fiqhiyyat (tentang kaidah fiqh)

24
Majalah As-Sunnah I, Ibnu Taimiyah, hal. 55
25
Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawâ, hal. b
6. Kitab al-Imân (tentang iman/akidah)
7. Naqdh al-Manthîq (tentang gugatan terhadap ahli logika)
8. Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm (tentang bid’ah dan sunnah)
9. Muqaddimat Fî Ushûl al-Tafsîr (Pengantar Ilmu Tafsir al-Qur`an)
10.Al-‘Ubûdiyyat (Konsepsi Integralitas Ibadah).
11.Al-Siyâsat al-Syar’iyyat Fî Ishlâhi al-Râ’i wa al-Râiyat (tentang
tatanan bernegara dan bermasyarakat dalam Islam)
12.Raf’u al-Malâm ‘an Aimmat al-A’lam (tentang hakikat dan sebab
perbedaan pendapat di kalangan para ulama)
13.Al-Kalim al-Thayyib (tentang do’a dan dzikir Rasulullah)
14.Hijâb al-Mar’at wa Libâsuha Fî al-Shalât (tentang kewajiban
berkerudung dan berbusana wanita ketika shalat)
15.Al-Qâidat al-Jalîlat Fî al-Tawâsul wa al-Wasîlat (tentang hukum dan
kaidah ber-tawassul).
16.Al-Shârim al-Maslûl ‘alâ Sâtim al-Rasûl (bantahan Ibnu Taimiyah
terhadap penghina rasul)
17.Al-Istiqomat (bantahan terhadap tasawuf)
18.Al-Furqân baina Auliyâ al-Rahmân wa Auliyâ al-Syaithân (bantahan
terhadap tasawuf tentang wali)
19.Al-Furqân bayna al-Hâq wa al-Bâthil (tentang induk-induk firqah)
20.Al-‘Amr bî al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘ani al-Munkâr (tentang kaidah-
kaidah amar ma’ruf dan nahi munkar)
Di samping menekuni karya tulis berupa buku dan risalah, Ibnu Taimiyah
juga aktif membina kader ilmu, da’wah dan tajdid melalui halaqat dan ta’lim-
nya di berbagai tempat, terutama di masjid Umawi Damascus. Di antara
muridnya yang meneruskan pemikiran dan tajdid-nya adalah Ibnu al-Qayyim
al-Jauziyyat, Abu al-Fidâ` Ibnu Katsîr dan al-Dzahabi.

Aktivitas Jihad Ibnu Taimiyah


Dengan semangat al-amr bî al-ma’rûf wa Nahyu ‘an al-Munkâr, Ibnu
Taimiyah menentang semua paham yang menurutnya bertentangan dengan
ajaran al-Qur`an dan al-Hadits dengan menggelar bantahan dan kritikan-
kritikan melalui pena dan lisannya kepada kelompok Syî’at, Murji’at, Râfidhat,
Qadariyat, Mu’tazilat, Asy’ariyat, Jahmiyat, Tasawuf dan filsafat, bahkan
terhadap penguasa sekalipun. Hal ini menyebabkan dirinya harus menghadapi
berbagai resiko, salah satunya adalah dituduh zindiq. Di antara orang yang
menuduhnya zindiq adalah Ibnu Bathûthah, Ibnu Hajar al-Haytami, Taqiyuddin
as-Subki, Izzudin bin Jama’at dan Abu Hayyan al-Zhâhiri al-Andasi. Mereka
juga yang menyetujui agar Sulthan Nashir Ibnu Qalawun memenjarakannya.26
Di samping itu, Ibnu Taimiyah terusir dari Damascus ke Mesir pada tahun
705 H, berkali-kali masuk penjara; yaitu penjara para Qadhi di Mesir tahun 707
H, penjara Iskandariyah tahun 709 H, berkali-kali masuk penjara benteng
Damascus sampai menemui ajalnya pada tahun 726 H.27 Semuanya di hadapi
dengan penuh ketabahan dan kelapangan serta keberanian.
Kehidupan penjara tidaklah membuatnya jera, apalagi meninggalkan
aktivitas dakwah, bahkan sebaliknya dia mampu mengubah penjara menjadi
majlis ilmu, dimana setiap harinya dipenuhi murid dan handai taulannya untuk
mendiskusikan masalah-masalah agama. Terakhir ia harus masuk penjara
Qol’ah di Damascus, disaksikan muridnya (Abu Abdullah Ibnul Qayyim). Sang
gurua berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada sebuah kebun; siapa saja yang
tidak masuk ke kebun itu, ia tidak akan masuk ke kebun akhirat nanti”. Lalu
Ibnu Taimiyah berkata lagi, “Apalah yang dibuat musuh padaku; aku, taman
dan kebunku ada dalam dadaku, kemana pun aku pergi, ia selalu bersamaku dan
tidak pernah tinggalkan aku. Terpenjaraku adalah khalwat, kematianku adalah
syahadah, terusirku dari negeriku adalah siyâhah (tamasya)”.28
Hal inilah yang menjadikannya –selama hidup di penjara– selalu
beribadah, berdzikir, tahajud dan membaca al-Qur`an. Dikisahkan dalam tiap
harinya ia membaca tiga juz, selama itu pula sempat mengkhatamkan al-Qur`an
delapan puluh satu kali.29

Penghargaan Para Ulama

26
Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (terj. Al-Mi’at al-A’zham fî
Tarîkh al-Islamy oleh Bahruddin Fanani), Bandung: Rosda Group, 1995, hal. 229
27
Setiawan Budi Utomo, Syaikhul, hal. 71
28
‘Abdurrahman Abdul Khâliq, Lamhât min Hayâh Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyat, Kuwait:
Jam’iyyat al-Turâts al-Islâmy, 1983, hal. 34
29
Majalah As-Sunnah I, Ibnu Taimiyah, hal. 56
Kepiawaiannya dalam disiplin ilmu membuat Ibnu Taimiyah
mendapatkan penghargaan dan pujian dari para ulama sejamannya dan
sesudahnya, bahkan para pemikir abad ini, sekalipun pujian tersebut tidak
diharapkannya. Kesaksian para ulama atas kematangan dan keshalehannya
melahirkan sanjungan berupa Syaikh al-Islâm, Mujaddîd al-Qarni dan Imâm
al-Mujtahîd. Semua gelar itu berkonotasi pada kepakaran dan ketokohannya
dalam ilmu dan amal. Oleh karenanya, banyak ulama –secara khusus–
menuliskan pujian dengan menyusun kitab tentang kehidupannya, diantaranya
Mar’â bin Yusuf dalam Al-Syahâdat al-Zakiyyat fî Tsanâ al-A’immat ‘Alâ Ibn
Taimiyat. Pada pembukaan kitabnya dikatakan, “Inilah untaian kata dan
ungkapan yang jelas tentang sanjungan para ulama untuk Syaikh al-Islâm, Bahr
al-Ulûm, Turjuman al-Qur`ân, Mufti al-Firaq, Auhad al-Mujtahidin Abil ‘Abas
Ahmad Ibnu Taimiyah…”.30
Sedangkan Abu Zahrah dan Muhammad Yusuf Musa mencatat beberapa
buku, yaitu ‘Uqûd al-Duriyyat (Ibnu Abdil Hâdi), al-‘Alam al-‘Aliyat (al-
Bazzâr), Hayât Ibn Taimiyat (al-Baithâr), al-‘Alam (Khairuddin az-Zarkaly) dan
Syadzârat al-Dzahab (Ibnu al-‘Imâd).31
Mahmud Mahdi al-Istanbuli menulis dalam Bathal al-Ishlâh al-Dîni
bahwa al-Karami al-Hanbali menyusun secara khusus mengenai sanjungan dan
pujian (manâqib) tentang Ibnu Taimiyah. Ia berkata bahwa Imam-imam Islam
yang memberikan pujian kepada Ibnu Taimiyah diantaranya al-Hâfizh al-Mizzi,
Ibnu Daqîqil ‘Ied, Abu Hayyan an-Nahwi, al-Hafizh Ibnu Sayyidinnas, al-
Hafizh az-Zamlakani dan al-Hafizh al-Dzahabi.32

Wafatnya Ibnu Taimiyah


Menjelang detik-detik terakhirnya, Ibnu Taimiyah sempat sakit dalam
terali besi hampir tiga minggu, bahkan walikota Damascus sempat
menjenguknya dan memohon maaf. Ibnu Taimiyah menjawabnya,
“Sungguh aku telah menghalalkanmu dan semua orang yang
memusuhiku, karena mereka tidak tahu bahwa aku dalam kebenaran, aku
juga memaafkan Sulthan an-Nashir, yang telah memenjarakanku. Saya
yakin, dia melakukannya bukan atas nama kemauan sendiri. Pendeknya

30
Setiawan Budi Utomo, Syaikhul, hal. 66
31
Ibid.
32
Majalah As-Sunnah I, Ibnu Taimiyah, hal. 53
aku telah memaafkan semua orang yang memusuhiku kecuali orang yang
memusuhi Allah dan Rasul-Nya”.33
Pada akhirnya tibalah ajal mengakhiri masa sakitnya, tepat pada malam
22 Dzulqa’dah 728 H dalam usia 67 tahun. Setelah mu’adzin Qal’at
mengumumkan kematiannya, dalam waktu singkat benteng Damascus penuh
sesak dan berjubel oleh kerumunan pengunjung yang akan berta’ziah. Setelah
jenazahnya diurus, lalu dishalatkan dengan gelombang pertama diimami oleh
Muhammad bin Tamâm. Setelah jenazah dibawa keluar, orang semakin
berdesakan sehingga jenazah sempat dishalatkan di masjid Jami’ al-Umawi’ di
Damascus ba’da Zhuhur, setelah jenazah diangkat orang pun masih berdesakan
dan semakin membludak, bahkan menjelang dikebumikan, masih banyak pula
yang hendak menshalatkannya. Di tempat itu pula saudaranya Zainuddin
Abdurrahman maju untuk menshalatkannya, dan selanjutnya jenazah ‘Imâm al-
Sunnat’ dikebumikan di pemakaman ‘as-Shufiyyat’ di sebelah saudaranya
Syarafuddin Abdullah. 34
Menurut Ibnu Katsîr dari al-Barzali, jumlah lelaki yang ikut berta’ziah
sebanyak enam puluh sampai seratus ribu orang. Belum orang-orang yang
menghadang di jalan jelas tidak terhitung. Pendeknya tidak pernah terjadi
dalam sejarah Damsyiq (Damascus) seramai itu, atau mungkin hanya terjadi
pada jaman Bani Umayyah saat penduduknya banyak dan Damascus menjadi
pusat pemerintahan.35
Sedangkan Husain Ahmad Amin menulis dalam bukunya bahwa
pengantar jenazah Syeikh al-Islâm tidak kurang dari 200.000 orang, dan
diantarkan pula oleh 15.000 perempuan.36 Adapun kaum muslimin di luar
Damascus, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Rajab (muridnya Ibnu
Qayyim) dalam Thabaqat al-Hanâbilat bahwa shalat ghaib atas Ibnu Taimiyah
dilakukan di sebagian besar negeri Islam, dekat maupun jauh, bahkan sampai di
Yaman dan daratan Cina.37

Penutup

33
Abul Hasan Ali al-Nadawi, Syaikhul, hal. 121
34
Ibid., hal. 122
35
Ibid.
36
Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh, hal. 231
37
Abul Hasan Ali al-Nadawi, Syaikhul, hal. 123
Ibnu Taimiyah mencerminkan seorang da’i yang prima, bukan hanya
seorang sosok ulama yang mujtahid saja, melainkan ulama yang mujahid dan
mujaddid sekaligus. Tidak sekedar dihormati kawan-kawannya, tapi juga
disegani lawan-lawannya. Dengan keberaniannya dalam bersikap dan
bertindak, menjadikan Ibnu Taimiyah tampil sebagai tokoh yang sangat puritan
dan fundamental.
Corak pemikiran Ibnu Taimiyah bersifat empiris sehingga ia dikenal
sebagai pemikir Islam yang rasionalis. Sebagai seorang empiris, prinsip
pemikirannya adalah bahwa kebenaran itu hanya ada dalam kenyataan, bukan
dalam pemikiran. Pendapat-pendapatnya sarat dengan dalil-dalil al-Qur’an dan
Hadits. Ia berkeinginan kuat untuk menggalakan ummat Islam agar kembali
menggali ajaran-ajaran Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits, serta
mendorong mereka melakukan ijtihad dalam menafsirkan ajaran-ajaran agama.

DAFTAR PUSTAKA

‘Abdurrahman Abdul Khâliq, Lamhât min Hayâti Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyat,
Kuwait: Jam’iyyat al-Turâts al-Islâmy, 1983.
Abul Hasan Ali al-Nadawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Solo: CV Pustaka
Mantiq, 1995.
Ahmadi Thaha, Ibnu Taimiyah; Hidup dan Pikiran-pikirannya, Malaysia:
Penamas Sdn. Bhd., 1984.
Husain Ahmad Amin, Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam (terj. Al-Mi’at al-
A’zham fî Tarîkh al-Islamy oleh Bahruddin Fanani), Bandung: Rosda Group,
1995.
Khâlid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam; Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
Tentang Pemerintahan Islam (Terj. The Islamic Theory of Government
According to Ibn Taimiya oleh Masrohin), Surabaya: Risalah Gusti,1995.
Majalah As-Sunnah I, 3, “Ibnu Taimiyah; Da’i dan Mujahid Besar”, Surakarta:
Pustaka Istiqomah, Januari 1993.
Muhammad Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Authâr, Beirut: Dâr al-
Fikr, 1994.
Muhammad Luqman al-Salafi, “Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyat Hâmilu Râyât
al-Kitâb wa al-Sunnat”, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, Riyadh: al-Riâsat
al-âmat li Idârati al-Buhûts al-Ilmiyyah wa al-Ifta wa al-Da’wah wa al-
Irsyad, 1989.
Muhammad Yusuf Musa, Ibnu Taimiyah, Beirut: Al-‘Ashru al-Hadîts, 1988.
Mohammad Nabhan Husein, Maulid Nabi; Sebuah Tinjauan Sejarah, Dewan
Dakwah Jakarta dan IKMI Jakarta, 1418 H.
Setiawan Budi Utomo, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Wajah dan Wijhah
Seorang Mujaddid Sejati”, Jurnal Kajian Islam Ma’rifah, Jakarta: LP2SI Al-
Haramain, 1995.
Taqiyuddin Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawâ, t. tmpt.: Isyraf al-Ri’asat
al-‘Ammat li al-Su’un al-Haramain al-Syarifain, t. thn.

You might also like