You are on page 1of 7

Kriteria Hubungan Istimewa Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia dikenal adanya hubungan istimewa di antara Wajib Pajak.

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya disebabkan karena (1) kepemilikan atau penyertaan modal, dan/atau (2) adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, (3) Selain karena halhal tersebut, hubungan istimewa diantara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan Hubungan istimewa dianggap ada apabila : a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan.

Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, walaupun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut.

Pengertian Hubungan Istimewa Menurut pandangan pajak, apabila terjadi suatu transaksi antara pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa, maka besar kemungkinan nilai atau harga transaksi yang diterapkan dalam transaksi tersebut tidak sesuai dengan kondisi pasar yang seharusnya alias menerapkan harga tidak wajar. Kondisi ini jika didiamkan dikhawatirkan akan mengakibatkan berkurangnya penerimaan negara dari bidang perpajakan. Sebab dengan menerapkan harga transaksi yang tidak wajar, Wajib Pajak (WP) dapat merekayasa penghasilan kena pajaknya sehingga jumlah pajak yang dibayarnya ke negara juga semakin kecil. Dalam peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia, pengertian atau definisi Hubungan Istimewa diuraikan dalam Pasal 2 UU PPN 1994 dan Pasal 18 ayat (4) UU PPh 2008. Sedangkan penjelasan Dirjen Pajak mengenai pengertian Hubungan Istimewa diuraikan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-18/PJ.53/1995 tanggal 26 April 1995. SE Dirjen Pajak tersebut sebenarnya berisi penjelasan mengenai pengertian Hubungan Istimewa yang ada dalam Pasal 2 UU PPN 1994 yaitu UU PPN Nomor 11 Tahun 1994 yang merupakan amandemen pertama dari UU PPN Nomor 8 Tahun 1983. Berhubung ketentuan dalam Pasal 2 UU PPN 1994 itu tidak pernah mengalami perubahan hingga pemberlakuan UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, maka ketentuan dalam SE-18/PJ.53/1995 itu pun masih menjadi acuan para praktisi pajak hingga saat ini. Merefer pada ketentuan dan peraturan pajak tersebut, Hubungan Istimewa dalam konteks pajak dapat terjadi karena terpenuhinya salah satu atau lebih dari tiga faktor yaitu: faktor kepemilikan atau penyertaan modal, faktor penguasaan manajemen atau teknologi, dan faktor hubungan keluarga sedarah atau semenda. Dalam istilah sehari-hari, Hubungan Istimewa ini seringkali disebut juga dengan afiliasi atau affiliated company. 1. Faktor Kepemilikan atau Penyertaan Modal Jika kita memiliki penyertaan modal pada perusahaan lain dengan nilai penyertaan sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari seluruh jumlah modal disetor perusahaan tersebut, maka dalam hal ini antara kita dan perusahaan lain itu dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena faktor penyertaan modal secara langsung. Misalnya dalam akte maupun neraca PT DEF tercantum jumlah modal disetor Rp 1.000.000.000,- kemudian berdasarkan struktur kepemilikan saham atau modal diketahui bahwa PT ABC memiliki penyertaan modal atau saham senilai Rp 250.000.000,- (atau lebih). Dalam hal ini, antara PT ABC dan PT DEF dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Contoh lain misalnya PT ABC memiliki penyertaan modal atau saham pada PT DEF sebesar 50% (atau lebih) dari seluruh jumlah modal disetor sementara PT DEF juga memiliki penyertaan modal atau saham di PT GHI dengan nilai penyertaan 50% (atau lebih), maka dalam hal ini:

antara PT ABC dengan PT DEF dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena adanya penyertaan modal secara langsung; antara PT DEF dengan PT GHI dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena adanya penyertaan modal secara langsung; dan antara PT ABC dengan PT GHI dianggap memiliki Hubungan Istimewa karena adanya penyertaan modal secara tidak langsung melalui PT DEF (meskipun misalnya antara PT ABC dan PT GHI tidak

saling kenal). Hubungan Istimewa yang terjadi karena faktor kepemilikan atau penyertaan modal/saham ini diuraikan dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UU PPN 1994 dan Pasal 18 ayat (4) huruf a UU PPh 2008. 2. Faktor Penguasaan Manajemen atau Teknologi Apabila faktor kepemilikan atau penyertaan modal/saham tidak terjadi, tidak berarti kita bisa lepas dari konteks Hubungan Istimewa. Sebab seperti dinyatakan pada Pasal 2 ayat (2) huruf b UU PPN 1994 dan Pasal 18 ayat (4) huruf b UU PPh 2008, Hubungan Istimewa tetap dapat dianggap ada apabila dua pihak (perusahaan) berada dalam penguasaan dari satu pihak (orang) yang sama. Misalnya Bambang Gunawan selain menjadi direktur utama di PT XXX juga menjadi direktur utama di PT YYY. Dalam hal ini, antara PT XXX dan PT YYY dianggap mempunyai Hubungan Istimewa karena faktor penguasaan manajemen, meskipun misalnya antara PT XXX dan PT YYY tidak saling kenal dan tidak ada penyertaan modal/saham. Dalam SE-18/PJ.53/1995 bahkan ada contoh Hubungan Istimewa yang terjadi karena faktor penguasaan teknologi. Misalnya jika PT XXX produsen minuman dan menggunakan formula yang diciptakan dan dimiliki oleh PT YYY, maka dalam hal ini antara PT XXX dan PT YYY dianggap memiliki Hubungan Istimewa meskipun di antara keduanya tidak ada faktor kepemilikan modal/saham maupun penguasaan manajemen seperti dicontohkan di atas. 3. Faktor Hubungan Keluarga Jika kita memiliki usaha atau perusahaan sementara anak kita atau orang tua kita juga memiliki usaha atau perusahaan mereka sendiri, maka menurut pajak antara usaha/perusahaan kita dengan usaha/perusahaan milik anak dan orang tua kandung kita itu dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Begitu juga jika seandainya kakak atau adik kandung kita punya usaha/perusahaan sendiri, maka antara usaha/perusahaan kita dengan milik kakak/adik kandung kita dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Ini disebut dengan Hubungan Istimewa karena adanya faktor hubungan keluarga sedarah. Bagi kita yang sudah bersuami/beristri dan bila mertua, anak tiri, maupun kakak/adik ipar memiliki usaha/perusahaan sendiri, maka antara usaha/perusahaan kita dengan usaha/perusahaan mereka itu pun dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Ini yang disebut dengan Hubungan Istimewa karena faktor hubungan keluarga semenda (hubungan keluarga yang terjadi karena adanya perkawinan).

Bagi Anda yang punya istri/suami dan antara Anda dengan istri/suami Anda ada perjanjian tertulis pisah harta dan penghasilan, juga harus hati-hati mengenai Hubungan Istimewa ini. Sebab seperti dijelaskan di butir 2.3. SE-18/PJ.53/1995, antara suami-istri ini pun dianggap memiliki Hubungan Istimewa. Jadi bila suami-istri itu punya usaha/perusahaan sendiri-sendiri, maka nilai atau harga dari setiap transaksi yang dilakukan antar mereka dapat dicurigai mengandung unsur transfer pricing.

Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha


Istilah kewajaran dan kelaziman usaha yang merupakan padanan istilah arms length principle (ALP), berkaitan erat dengan pemahaman kita atas transfer pricing (penentuan harga transfer), related party (hubungan istimewa), dan penghindaran pajak (tax avoidance). Semua istilah ini bisa kita temukan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan yang merupakan salah satu Pasal anti penghindaran pajak ( anti tax avoidance rule). Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen ( comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali (resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method) atau metode lainnya. Sesuai dengan penjelasannya, maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, terdapat kemungkinan Wajib Pajak mengatur harga transaksi agar memperkecil penghasilan kena pajak. Untuk itu, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang PPh ini, Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Pengertian PER-43/PJ/2010 memberikan pengertian Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha ( arms length principle/ALP) sebagai prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding

Dari pengertiam tersebut kita bisa memahami bahwa penerapan ALP dilakukan terhadap transaksi antara pihakpihak yang memiliki hubungan istimewa (related party). Dengan kata lain, apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubunggan istimewa, ALP tidak perlu dilakukan sebagaimana transaksi independen. Nah, pengertian dan definisi hubungan istimewa sendiri diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-undang PPN 1984. Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-undang PPh, hubungan istimewa dianggap ada jika : 1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau 2. 3. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat. Adapun jenis transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang dapat mengakibatkan pelaporan penghasilan dan pengurangan yang tidak sesuai dengan prinsip ALP antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang tidak berwujud; sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud maupun harta tidak berwujud; penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan jasa; alokasi biaya; dan penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud. Kewajiban Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Wajib Pajak yang melakukan transaksi-transaksi di atas dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib untuk menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. 2. 3. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding; menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat; menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; dan 4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Namun demikian, atas transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui Rp 10 .000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi kewajiban melakukan langkah-langkah tersebut di atas, namun Wajib Pajak tetap diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.

Yang dimaksud dengan Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. Wajib Pajak harus menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat atas transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Terdapat beberapa metode harga transfer yang diatur dalam PER-43/PJ/2010 ini, yaitu : 1. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen ( comparable uncontrolled price/CUP), yaitu metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding 2. Metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar 3. Metode biaya-plus (cost plus method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha 4. Metode pembagian laba (profit split method/PSM) adalah metode Penentuan Harga Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. 5. Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method/TNMM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya. Demikian gambaran singkat tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang harus diterapkan dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Tulisan berikutnya saya akan coba mendetailkan setiap langkap penerapan prinsip ini sesuai dengan PER-43/PJ/2010.

You might also like