You are on page 1of 11

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Nama : Feybriana Langi, Irene Nainggolan, Misael Napitupulu Mata Kuliah : Teori Pendidikan

Kristen II Dosen Pengampu : Kadarmanto Hardjowasito, Erich Von Marthin Robert Raikes dan Perkembangan Sekolah Minggu Sejarah Perkembangan Pikiran dan PraktikPendidikan Agama Kristen, hal. 375-421 Robert Boehlke Pengantar Revolusi Inggris, selain banyak membawa dampak negatif, ternyata menjadi pemicu bagi kemunculan sekolah minggu. Letak geografis Inggris yang diberkati dengan bahan mentah strategis yang banyak, membawa para pengusaha memikirkan cara yang efisien untuk mengolah bahan mentah yang ada, agar menghasilkan barang dengan jumlah yang besar. Alhasil, ditunjang dengan kualitas ilmuan Inggris yang mumpuni, terciptalah mesin-mesin yang dapat mengolah bahan mentah menjadi barang jadi dalam jumlah yang besar. Kebutuhan bahan mentah yang meningkat akibat penemuan mesin-mesin industri mendorong para pemilik kawanan domba untuk menambah lahan padang rumputnya (untuk bahan wol). Hal ini mengakibatkan jumlah petani semakin berkurang, karena lahan pertanian semakin berkurang. Keadaan ini membuat petani berduyun-duyun ke kota untuk memperoleh kesempatan bekerja di pabrik-pabrik. Hasilnya, upah yang diberikan pemilik perusahaan cenderung kecil. Dampak selanjutnya adalah ketidakseimbangan antara banyaknya para tenaga kerja dengan lowongan pekerjaan yang kebanyakan telah diambil alih oleh mesin-mesin baru. Revolusi ini mengakibatkan banyak orang melakukan tindakan kriminal serta minimnya kesadaran generasi muda untuk bersekolah. Adam Smith, rasul kapitalisme abad 18 berdalil bahwa kekayaan negara terdiri atas tenaga kerja dan bukan pada sumber daya alam. Sebaliknya, kekayaan Negara ada sebagai hasil dari operasi sistem ekonomi bebas dari peraturan pemerintah. Alhasil, laju kemakmuran semakin bertambah bagi kaum penguasa, sedangkan kaum buruh semakin melarat. Realitas di atas, mendorong Robert Raikes untuk mendirikan sekolah minggu. Dengan sekolah ini, ia menolong ribuan anak di Inggris yang menjadi korban dari peralihan sosial yang mengubah masyarakat pertanian menjadi masyarakat perindustrian terkemuka di dunia selama setengah abad lamanya. Riwayat Hidup

Robert Raikes lahir dari keluarga yang cukup mapan. Ayahnya adalah anggota masyarakat terhormat dari kelas menengah di Gloucester, Inggris. Ayahnya adalah penerbit Gloucester Journal, sebuah surat kabar yang terkenal di daerah tersebut. Melalui surat kabarnya, ia selalu siap mendukung usaha tertentu atau sebaliknya menentangnya. Raikes dilahirkan dari istri ketiga ayahnya, dan dibesarkan dalam keluarga pendeta. Ketika Raikes berumur 14 tahun, ia meneruskan studinya di sekolah katerdal Gloucester. Pendidikan akademisnya berakhir di sekolah tersebut, sedangkan pendidikan kejuruan bidang percetakan diteruskan di bengkel ayahnya sendiri. Raikes kemudian mengambil alih seluruh urusan mengenai Gloucester Journal, sepeninggalan ayahnya. Ketika Raikes berumur 31 tahun, ia menikah dengan Anne Trigge. Pernikahan mereka dikaruniai 9 orang anak, namun 2 anaknya meninggal dunia. Sebagai penerbit Gloucester Journal, Raikes meneruskan keprihatinan ayahnya terhadap nasib buruk rakyat jelata dan narapidana. Raikes juga concern terhadap kehidupan narapidana. Ia mengecam tindakan tidak manusiawi oleh aparat negara terhadap narapidana. Sejak 1768, Journalnya memuat gambaran tentang keadaan penjara setempat. Raikes juga tidak hanya beraksi dengan cara memanfaatkan surat kabar untuk dijadikan sarana mendobrak hati pembaca agar peduli terhadap kehidupan narapidana yang layak, tetapi juga memenuhi pertumbuhan spiritual narapidana. Pengalaman Raikes dengan narapidana di penjara, menyadarkannya akan perlunya mencari jalan lain selain daripada memperbaiki nasib mereka yang sudah ada di penjara. Kesadaran ini diperkuat ketika Raikes meninjau anak-anak pada hari minggu. Banyak anak yang bertindak nakal pada hari minggu, karena mereka hanya bekerja selama enam hari. Pada hari minggu, Raikes selalu mendengar bunyi riuh dan hiruk-piruk dari anak-anak nakal yang memakai waktu senggang mereka di hari minggu. Keadaan inilah yang membawa Raikes menggagaskan sekolah minggu, yang akhirnya dapat kita wariskan sampai sekarang. Berdirinya Sekolah Minggu Raikes adalah seorang yang memprakarsai suatu rencana untuk mendidik anak miskin pada hari minggu, yang ia ejawantahkan dalam lembaga Sekolah Minggu. Pada 1780, secara tidak sengaja Raikes berbincang dengan istri seorang tukang kebun yang memperkerjakan banyak buruh anak-anak. Dalam perbincangan tersebut, sang istri mengeluhkan kenakalan buruh

anak-anak tersebut di hari minggu pada Raikes. Ketika Raikes pulang, ia akhirnya mengambil keputusan untuk melakukan percobaan dengan sekolah sederhana bagi anak miskin. Raikes meminta bantuan kepada seorang ibu agar mendidik beberapa anak di rumahnya, dengan gaji yang dibayarkan oleh Raikes. Sayangnya, setelah beberapa bulan, ibu tersebut tidak mau menerima anak didik dari Raikes, karena banyaknya kenakalan yang dilakukan oleh anakanak tersebut. Pendidik kemudian digantikan oleh Ibu Critchley. Chritchley menjadwalkan kegiatan anak didiknya dengan teratur, bahkan anak-anak tersebut berkesempatan beribadah minggu serta sempat untuk menghafalkan katekismus. Pendirian sekolah minggu pertama, ternyata tidak terlepas dari bantuan pihak lainnya. Thomas Stock misalnya, seorang pendeta jemaat Saint John the Babtist yang merangkap jabatan kepala sekolah katedral di Gloucester, menjelaskan bahwa gagasan dan pedirian Sekolah Minggu pertama itu terjadi di dalam jemaatnya sendiri sebagai usaha kerja sama antara ia dan Raikes. Hal ini sempat menjadi dilema bagi para pakar sejarah perkembangan pendidikan mengenai siapa yang mengagaskan ide Sekolah Minggu. Boehlke menuliskan, yang jelas adalah bahwa melalui surat kabar Raikes-lah gagasan tersebut disampaikan kepada masyarakat pembaca yang jauh di luar daerah Gloucester. Para sejarawan setuju untuk memilih Raikes sebagai pendiri Sekolah Minggu, ditengah banyaknya nama yang memungkinkan untuk dipertimbangkan, termasuk Stock. Terdapat alasan yang tepat untuk memilih Raikes sebagai pendiri Sekolah Minggu, yaitu tanpa publisitas yang dilakukan oleh Raikes melalui surat kabarnya, penyebarluasan gagasan Sekolah Minggu tidak dapat terjadi, dan akibatnya banyak orang lain tidak akan mendirikan Sekolah Minggu di tempat mereka masing-masing. Tinjauan Sementara terhadap Prestasi Raikes Berbagai dasar teologi saat ini dapat dikatakan berasal dari pemikiran teolog besar seperti Agustinus, Luther dan Calvin. Tokoh lain seperti Comenius, Pestalozzi dan Frobel mungkin hanya sebagian pendidik besar yang beranggapan bahwa pendidikan merupakan hak semua anak. Pengalaman menjadi acuan utama bagi anak-anak yang kemudian mencoba merefleksikan melalui teologi-teologi yang sesuai dengan mereka. Sehingga dikatakan bahwa tabiat seorang anak lebih penting ketimbang pandangan dogmatis tertentu. Namun ada beberapa tokoh lain yang ternyata memberikan kecaman terhadap dasar pemikiran tersebut misalnya Erasmus dan Rousseau.

Melihat perkembangan tokoh pendidikan pada zamannya, Raikes tidaklah dapat dimasukkan ke dalam dua golongan tersebut. Ia tidak menjadikan teologi sebagai dasar praktek pendidikan. Dalam kehidupannya sebagai pendidik, Raikes tidak pernah mengkhususkan suatu golongan tertentu dalam pendidikan. Baginya setiap golongan manusia sudah memiliki bagiannya masing-masing. Misalnya bagi kaum miskin, Raikes tidak pernah menuntut pendidikan bagi mereka walaupun ia berfikiran bahwa kualitas hidup kaum bawah perlu diperbaki. Untuk itu Raikes hanya mengajarkan hal-hal sederhana kepada anak-anak yang sebenarnya sudah memberikan dampak yang besar bagi mereka. Seperti mengajar membaca dan menulis, dengan begitu mereka dapat membaca Alkitab. Pemikiran tersebutlah yang memicu Raikes untuk membentuk sekolah minggu. Tujuannya agar ia dapat menolong angkatan muda agar hidup lebih tenang dalam masyarakat industri yang sedang dibangun. Namun ternyata Raikes tidak berfikiran bahwa sekolah minggu akan memberikan dampak besar bagi negara itu. Hal tersebut malah dirasakan oleh pengusaha Inggris yang berfikiran bahwa ketika anak-anak dapat membaca dan menulis mereka akan sadar bahwa sebenarnya anak-anak itu dapat memperbaiki keadaan mereka. Pengusaha dan beberapa pihak gereja menjadi sekutu yang berusaha untuk menentang pendirian sekolah minggu. Beberapa tuduhan mengatakan bahwa Raikes bukanlah orang yang saleh karena ia sudah melanggar kekudusan hari sabat. Hal tersebut karena Raikes memiliki pekerjaan sebagai seorang pencatat berita. Ia mencatat beritanya pada hari minggu dan menerbitkannya pada hari senin. Beberapa kecaman juga ia terima dari pihak gereja. Gereja pada masa itu berfikir bahwa mendidik anak pada hari sabat berarti tidak menjaga kesucian hari sabat itu sendiri. Namun alasan sebenarnya kenapa mereka mengecam adalah karena gereja takut kekuasaan mereka akan diganggu dengan ajaran-ajaran yang tidak diawasi pendeta. Di dalam menanggapi kecaman-kecaman tersebut Raikes memang tidak memiliki kutipan-kutipan khusus mengapa ia membentuk sekolah minggu. Terlihat bahwa ia rela dikecam dan ditolak oleh banyak orang asalkan anak-anak ini dapat dididik sehingga mereka memiliki kelakuan yang jauh lebih baik. Raikes hanyalah orang awam dengan hati nurani yang dibentuk oleh hubungannya dengan iman. Pada saat itu memang banyak teolog dengan pemikiran mereka yang luar biasa namun mereka tidak tahu dan tidak mengerti harus berbuat apa untuk melayani anak-anak tersebut. Dengan dasar teologi, filsafat dan etika yang tidak begitu baik Raikes

mencoba untuk menentang sistem yang ada. Setiap hal yang ia lakukan merupakan suatu pelayanan yang tulus yang ia berikan kepada anak-anak tersebut. Gambaran tentang Beberapa Sekolah Minggu Pertama Sekalipun Raikes adalah pendiri sekolah minggu, ia tidak selalu datang mengajar pada hari tersebut. Ada beberapa guru yang mengajar namun tetap berdasarkan ide-ide darinya. Ketika mengajar Raikes lebih senang menggunakan sebuah benda nyata sebagai sarana penyampaian kepada anak-anak. Ia menganggap bahwa sekalipun anak didiknya miskin mereka tetap memiliki bakat nalari juga. Raikes tidak mendirikan sekolah minggu tanpa aturan yang jelas. Pada tahun 1784 ia mencetak peraturan-peraturan bagi sekolah minggu yang disusun oleh Pdt. W. Ellis yang akan dipakai oleh Sekolah Minggu di Stroud (Boehlke 394). Beberapa peraturan tersebut menjelaskan bahwa dalam Sekolah Minggu diperlukan penyokong baik dalam dana maupun daya. Pengajaran Sekolah Minggu juga harus diambil dari Alkitab dan pola ibadahnya harus teratur sehingga menjadi kebiasaan baik dalam diri anak. Menurut Ellis ketika seorang anak Sekolah Minggu masih muda maka pembaruan akhlaknya akan lebih berhasil. Oleh karena itu ia menganjurkan anak didik Sekolah Minggu baiknya masih muda. Baginya kebaktian merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang anak dan ketika seorang anak rajin dalam proses belajarnya seorang guru sebaiknya memberika penghargaan kepada anak tersebut berupa pakaian atau bahan bacaan seperti Alkitab. Ellis berpendapat bahwa dalam sekolah minggu tugas menghafal adalah tugas belajar yang amat menonjol. Sekolah Minggu pada masa itu diadakan setiap hari Minggu pada pukul 08.00-10.00 dan kebaktian pada pukul 14.00-18.00. Buku yang digunakan adalah The Sunday Scholars Companion(Sahabat bagi Anak Sekolah Minggu) yang isinya merupakan teks singkat mengenai pengenalan akan Allah. Kota tempat Raikes tinggal Sekolah Minggu sudah tersebar menjadi 7 bagian. Keadaan setiap tempat juga berbeda-beda. Seorang teolog bernama John Wesley mengatakan bahwa ia terkesan dengan lingkungan sekolah minggu. Keadaan Sekolah Minggu di Inggris dan di Indonesia mungkin tidak jauh berbeda. Sekolah Minggu di Indonesia mencoba untuk menjadi tempat yang menyenangkan bagi anakanak. Memberikan kebutuhan rohani yang mereka butuhkan dengan cara yang menyenangkan.

Secara tidak langsung Sekolah Minggu sudah membentuk perasaan anak-anak dengan baik. Anak-anak merasa lebih dihargai dengan keberadaan mereka yang seperti apapun. Pertumbuhan Sekolah Minggu Raikes pasti tidak pernah membanyangkan dan menyangka jika gagasan Sekolah Minggunya sampai ke seluruh penjuru dunia dan disambut baik oleh hampir seluruh umat atau warga Kristen di dunia pada masa setelah ia tiada sampai saat ini. Namun, dalam diskusi kali ini kelompok, tentunya, tidak akan membahas perkembangan Sekolah Minggu yang terjadi di setiap penjuru dunia. Oleh karena itu, kelompok hanya akan memfokuskan diri pada beberapa negara saja, yakni Amerika dan Eropa Barat (Jerman, dan Belanda). Sekolah Minggu di Amerika Permulaan Pada tahun 1790 tiga warga kota PhiladelphiaBenyamin Rush, Matthew Carey, dan William Whitemendirikan Perserikatan Hari Pertama, untuk mendidik anak-anak dari keluarga miskin. Tidak jauh berbeda dengan keadaan anak-anak di Inggris, di Amerika pun anak-anak cenderung memanfaatkan hari Minggu dengan cara yang kurang baik dan bahkan merusak kesusilaan dan mutu hidup. Tahun-tahun pertama berdirinya Sekolah Minggu di Amerika, keseluruhan struktur organisasi, rencana, dan kurikulum yang ada diambil ahli langsung dari Inggris. Joanne Bethune adalah salah satu tokoh penting dalam perkembangan Sekolah Minggu di Amerika. Pada tahun 1816 ia mendirikan Perserikatan Wanita bagi Kemajuan Sekolah Sabar di New York. Ia berusaha menyakinkan ibu-ibu yang berpengaruh pada masa itu akan pentingnya Sekolah Minggu bagi anak-anak. Namun, usahanya tersebut seringkali mendapat pertentangan dari pendeta maupun kaum awam dan bahkan tidak jarang dari mereka yang berpendapat sinis akan usaha yang dilakukan Bethune. Permasalahan yang muncul dalam perkembangan Sekolah Minggu di Amerika adalah struktur organisasi, rencana kerja, dan kurikulum yang diambil langsung dari Inggris. Rupanya, hal tersebut tidaklah sesuai dengan konteks yang ada di Amerika. Misalnya saja, Sekolah Minggu yang ada di Inggris didirikan sebagai tanggapan terhadap dampak negatif dari Revolusi Industri, sedangkan Revolusi Industri belum menjamah ranah Amerika (kebanyakkan warga masih dekat dan nyaman dengan gaya hidup yang berlaku di daerah pertanian). Bukan hanya itu, perbedaan mencolok lainnya yang muncul dipermukaan adalah perbedaan sosial anak didik

Inggris dengan Amerika. Kebanyakkan anak Sekolah Minggu di Inggris berasal dari kelas menengah ke bawah, sedangkan anak-anak Sekolah Minggu Amerika berasal dari golongan sosial ditampung bersama . Seiring berjalannya waktu, para pemimpin pun mulai menyadari ketidakkontekstualan yang terdapat dalam organisasi, rencana kerja, maupun kurikulum yang ada dan diterapkan selama ini. kesadaran tersebut menghantarkan mereka pada suatu usaha untuk mempersiapkan dan mempergunakan bahan khusus yang sesuai dengan konteks anak didik Amerika. Sekolah Minggu di Amerika dianggap sebagai lembaga yang berpartisipasi secara aktif dalam usaha pendemokrasian masyarakat Amerika yang terjadi pada masa itu. Salah satu bentuk partisipasi tersebut adalah upaya yang dilakukan oleh para pemimpin untuk membujuk para orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di Sekolah Minggu. Usaha pendemokrasian yang dilakukan Sekolah Minggu rupanya menginspirasi pelbagai pihak untuk membuka sekolah negeri yang membuka kesempatan belajar bagi seluruh anak. Perkembangan tersebut membawa angin segar bagi Sekolah Minggu, karena dengan dibukanya sekolah-sekolah negeri secara otomatis Sekolah Minggu (guru) tidak lagi mempunyai tugas atau tanggung jawab (sepenuhnya)untuk mengajarkan vak membaca, menulis, dan berhitung. Mereka hanya memfokuskan diri pada usaha mendidik anak dalam iman Kristen. Usaha yang sangat baik tersebut, pada awalnya, tidak dirasakan oleh setiap anak. Pasalnya pengintegrasian semua anak dalam kelas Sekolah Minggu tidak mencangkup anak dari kaum budak. Terdapat kekuatiran yang melanda para pemilik budak. Mereka kuatir jika para budak yang dapat membaca dan menulis akan merusak sistem perbudakan yang ada pada saat itu, dan hal tersebut sangat membahayakan bagi para pemilik modal. Dengan alasan itulah, awalnya Sekolah Minggu Amerika didirikan secara terpisah bagi keturuna warga Eropa Utara dan warga Afrika. Perluasan Sekolah Minggu Pada tahun 1824 para pemimpin Sekolah Minggu mendirikan American Sunday School Union (Perserikatan Sekolah Minggu Amerika) di kota Philadelphia. Sidang raya yang berlangsung tahun 1830 menetapkan tujuan American Sunday School Union, yakni mendirikan Sekolah Minggu di setiap pelosok daerah yang luasnya meliputi seluruh Lembah Mississipi (melayani lembah). Usaha perluasaan tersebut didukung oleh sokongan dana dari para dermawan Kristen, semangat dan pengabdian para pengajar pada misinya, adanya penyokong ternama

dalam masyarakat yang di dalamnya termaksud presiden dan senator, ketidakterikatan pada keanggotaan gereja tertentu (usaha oikumenis dari pihak awam), serta tentu saja semangat dari anak-anak. Semangat dan pengabdian para pengajar agaknya adalah kunci dari kesuksesan perluasan Sekolah Minggu di Amerika. Misalnya saja, semangat John McCullagh (Skotlandia) dan Stepehen Paxson dalam memberikan pelayaan terhadap anak-anak Sekolah Minggu. Paxson pun berhasil mendirikan 1.200 Sekolah Minggu selama dua puluh tahun, dan kebanyakan dari sekolah tersebut bertumbuh menjadi jemaat. Lagu Sekolah Minggu Nyanyian adalah salah satu bagian penting di dalam suatu peribadatan. Pasalnya, nyayian beserta dengan lirik yang terkandung di dalamnya dapat menghanyutkan umat ke dalam suatu pusaran kekhusyukan yang lebih dalam guna memusatkan diri dan merendahkan hati kepada Allah dan komunitas iman. Nyanyian pun dapat memupuk semangat umat, khususnya Sekolah Minggu, dengan lagu dan syair yang digubah atau disusun khusus untuk Sekolah Minggu. Pada awalnya anak-anak Sekolah Minggu Amerika menyanyikan lagu-lagu yang bertemakan kematian, dosa, kesaksian, dan keselamatan di dalam Yesus, misalnya lagu Selamat di tangan Yesus, Yesus Berpesan, Ku Berbahagia dst. Pengalaman mereka dalam Perang Saudara tahun 1861-1865 mendorong mereka untuk mengubah lagu yang bersemangat dan membangkitkan hasrat anak-anak untuk bersatu dalam satu barisan demi melaksanakan tugas mulia, misalnya lagu Maju Laskar Kristus. Teologi Sekolah Minggu tidak membedakan keadaan anak-anak dengan orang dewasa. Pasalnya mereka menganggap bahwa keduannya sama-sama berdosa dan perlu bertobat serta mengakui Kristus sebagai Juruselamat. Oleh karena itu, pertobatan adalah salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh guru Sekolah Minggu. Namun, pada abad ke-20 mulai terjadi pergeseran pengertian mengenai anak-anak, sehingga lagu dan syair pun mulai disesuaikan dengan konteks anak-anak. Lagu yang dinyanyikan seperti Yesus, Kawan Anak-anak, Yesus Mengasihiku dst. Kelemahan Sekolah Minggu pada Abad Ke-19 Tiga kelemahan yang paling mencolok adalah para pemimpin Sekolah Minggu yang memupuk moral pribadi pada diri anak namun mereka bersikap acuh terhadap ketidakadilan yang terjadi, mengembangkan siasat untuk mendidik warga di daerah-daerah pertanian namun

melalaikan kebutuhan pendidikan agama Kristen di kota besar, dan mengutamakan teologi keselamatan pribadi serta gagal mengembangkan teologi dan praktek gereja sebagai persekutuan komunal bersama Allah untuk melaksanakan maksud-Nya di dunia. Sekolah Minggu di luar Dunia Anglo-Sakson Eropa Barat Gagasan Sekolah Minggu di setiap tempat atau negara pada dasarnya sama. Sekolah Minggu memfokuskan diri pada keefektifitasan dan potensi remaja (kaum muda) yang cenderung terabaikan dan tersia-siakan pada masa itu. Satu-satunya cara yang dapat diusahakan dan dilakukan adalah dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung. Pengetahuan lainnya yang sama pentingnya, terkhusus untuk memperbaiki akhlak kaum muda yang cenderung buruk pada masa itu, adalah pendidikan Alkitab. Mereka merasa perlu untuk mengajarkan setiap didikan yang termuat di dalam Alkitab dan mengajak kaum muda untuk berpatisipasi di dalam setiap kebaktian. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan kaum muda dapat memperoleh citra diri yang lebih baik, yakni bahwa mereka berharga, serta mengubah gaya hidup mereka menjadi lebih manusiawi. Jerman Pendirian Sekolah Minggu di Jerman dimulai pada tahun 1860 oleh Wilhelm Broeekelmann, seorang pedagang dari kota Bremen, dan Albert Woodruff, seorang pedagang dari kota New York. Pada awalnya gagasan Sekolah Minggu yang ditawarkan mendapat penolakan, dengan alasan ketidakcukupan dan ketidakkompetenan guru yang terlampir mengajar serta tidak memadainya keterampilan yang dimiliki oleh guru untuk mengajar. Sekolah Minggu di Jerman pun berfokus pada pendidikan anak-anak miskin, khususnya dalam bidang membaca, menulis, dan berhitung sambil memberikan bimbingan mengenai iman Kristen. Dalam perkembangaanya Sekolah Minggu di Jerman mengalami perubahan nama menjadi Kindergottesdienst dan gagasan merekapun mulai dijermankan. Pertumbuhan Sekolah Minggu di sana terjadi saat masyarakat menyadari pentingnya Sekolah Minggu sebagai sarana memperbaiki kehidupan rohani anak-anak Jerman. Namun pertumbuhannya selalu terhalang oleh sifat injili dan gerakan yang bersifat awam dengan gaya beribadah yang agak bebas, yang terdapat di dunia AngloSakson (asal-mula SM di Jerman), yang tentunya berbeda dengan tradisi Lutheran dan

Katolik Roma yang mengutamakan pengembalaan, pembinaan anak, dan liturgi yang tetap. Belanda Praktek Sekolah Minggu di Belanda dimulai oleh mereka yang tersentuh oleh pengalaman kebangunan . Kehidupan baru yang mereka rasakan mendorong mereka untuk mendirikan Sekolah Minggu demi kehidupan rohani anak dan remaja. Gagasan Sekolah Minggu dibawa oleh Dr. Abraham Capadose (Swiss), pada bulan Oktober 1836. Pertumbuhan Sekolah Minggu di Belanda sangatlah baik, dibuktikan dari banyaknya Sekolah Minggu yang didirikan di kota-kota Belanda seperti Amsterdam (1841) dan Rotterdam (1847). Namun, pertumbuhan terbesar terjadi pada tahun 1857, saat pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan mengenai pelarangan penggunaan Alkitab di sekolah negeri. Hal tersebut semakin mendorong orang tua untuk menghantarkan anaknya ke Sekolah Minggu guna mendapat pendidikan Alkitab yang memadai. Pada tanggal 23 Oktober 1865 para pendiri melakukan mufakat dan membentuk Nederlandse Zondagschool Vereniging (Perkumpulan Sekolah Minggu Belanda). Persekutuaan ini sebagai bentuk persatuan sekaligus pemersatu sekolah minggu yang terpisah-pisah di Belanda (menjadi forum diskusi dan pengalaman). Sekolah Minggu di Belanda mengeluarkan suatu majalah yang dijadikan panduan bagi orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, De Christelijke Familiekring. Kesimpulan Raikes menawarkan suatu produk pendidikan yang, menurut kelompok, tidak jauh berbeda dengan produk pendidikan yang telah ditawarkan oleh para tokoh pendidikan sebelumnya. Fokus pengajaran atau pendidikannya pun pada usaha menikatkan kemampuan anak dalam hal membaca, menulis, dan berhitung, tanpa melupakan pentingnya pertumbuhan iman dan akhlak anak melalui ajaran-ajaran yang terdapat di dalam Alkitab. Alat peraga dan pertanyaan-pertanyaan yang memancing dan memupuk pemikiran atau nalar anak pun menjadi metode utama yang ia gunakan atau terapkan dalam proses belajar dan mengajar di Sekolah Minggu. Menurut kelompok Sekolah Minggu adalah salah satu bentuk pendidikan yang baik terutama dalam proses pertumbuhan iman anak. Sekolah Minggu pun menjadi wadah yang sangat efektif untuk menjelaskan setiap hal yang berkaitan dengan ajaran maupun spiritualitas

Kristiani dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan anak mengenai iman dan Tuhan yang mereka percayai, misalnya, pertanyaan mengenai siapakah Yesus, mengapa mereka harus ke gereja dst. Setelah membaca dan memahami (agaknya) gagasan yang ditawarkan oleh Raikes , kelompok dengan segala keterbatasan yang ada mencoba untuk melihat dan menelaah perkembangan dan sistem Sekolah Minggu yang ada di Indonesia, khususnya gereja kami masing-masing. Berdasarkan pengalaman kami sebagai guru atau kakak SM, kami melihat bahwa Sekolah Minggu yang ada di tempat kami masing-masing agaknya memiliki tujuan dan gagasan yang sama dengan yang Raikes tawarkan. Namun, Sekolah Minggu saat ini tidak lagi memiliki tugas untuk mengajar anak membaca, menulis, dan berhitung. Pasalnya, Sekolah Minggu lebih memfokuskan diri pada peningkatan pengetahuan anak mengenai agama yang mereka yakini (Tuhan yang mereka percaya), iman mereka, komunitas iman yang ada (bagian dan keterikatan mereka kepada komunitas iman), dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan perkembangan spiritualitas mereka kepada Yesus Kristus. Sekolah Minggu saat ini pun (rata-rata) mulai mengubah dan menerapkan kurikulum dan metode mengajar yang lebih menarik dan edukatif-kreatif. Misalnya, dengan pengunaan alat-alat peraga (boneka tangan, gambar), drama yang melibatkan naradidik dengan pendidik, pemutaran film pendek atau video, kreatifitas anak dst. Hal tersebut dibuktikan dari usaha yang dilakukan gereja untuk menciptakan guru yang kreatif dan inovatif (melalui pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan gereja dan kerja sama dengan pihak-pihak lain yang berkompeten), suasana kelas yang menarik minat anak (tempat yang memadai, fasilitas yang cukup, dan dekorasi kelas), dan tentu saja metode yang menarik perhatian orang tua untuk menghantarkan anak mereka ke sana. Dengan kata lain, Sekolah Minggu saat ini telah mengalami transformasi yang cukup pesat dibandingkan Sekolah Minggu yang pada masa lalu.

You might also like