You are on page 1of 16

TOKOH FILSAFAT ETIKA ISLAM TOKOH FILSAFAT ETIKA ISLAM

A. Mulla Shadra B. Al-Razi C. Al-Farabi D. Al-Ghazali E. Ibnu Maskawaih F. Ibnu Rusyd G. Ibnu Sina

Mulla Shadra
Shadr al-Din Muhammad ibn Ibrahim ibn Yahya Qawami alSyirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra, dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Pendidikan dasarnya dijalani dikotanya dalam bidang al-Qur'an, Hadis, Bahasa Arab dan Bahasa Persia kemudian dilanjutkan di Isfahan sebuah kota pusat studi yang penting pada masa itu.

Filsafat Mulla Sadra


Dalam bagian pendahuluan kitab Al-Asfar, Mulla Shadra menyesalkan sikap berpaling masyarakat Muslim dari studi filsafat. Padahal, prinsip-prinsip filsafat yang dipadukan dengan kebenaran wahyu Nabi adalah cermin nilai kebenaran tertinggi. Menurutnya, keharmonisan itu menunjukkan kebenaaran tunggal yang dibawa oleh Adam. Dari Adam, kebenaran ini diturunkan kepada Ibrahim, kemudian para filosof Yunani, lalu para sufi, dan akhirnya, para filosof pada umumnya. Orang-orang Yunani, tulisannya, semula menjadi penyembah binatang. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka mengambil filsafat dan teologi dari Ibrahim.

Biografi Al-Razi
Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Zakaria bin Yahya Al-Razi. Dia lahir di Ray, dekat Teheran, Iran, pada 865 M/251 H. Al-Razi hidup di bawah pemerintahan Dinasti Saman. Di kota Ray, Al-Razi belajar ilmu kedokteran pada Ali bin Rabban al-Thabari, belajar ilmu filsafat pada al-Balkhi. Di samping itu, AlRazi juga belajar matematika, astronomi, sastra, dan kimia. Di masa mudanya, AlRazi hidup sebagai tukang intan, penukar mata uang, dan sebagai pemusik/pemetik kecapi. Al-Razi menulis hampir semua karyanya kecuali matematika

Kontroversi Pandangan Al-Razi Tentang Kenabian Sebagian dari penjelasan al-Razi yang menunjukkan pengingkarannya pada kenabian dan cenderung merendahkan posisi para nabi adalah dapat dilihat dalam dua buah karyanya, Makhariq al-Anbiya` aw Hiyal al-Mutanabbi`in? (Kehebatan Para Nabi atau Tipu Muslihat Orang-Orang yang Mengaku Nabi?) dan Naqd al-Adyan aw fi alNubuwwah? (Kritik atas Agama-Ag/ama atau Kenabian?). Karya yang pertama mendapat sambutan cukup sukses di kalangan kelompok yang menyebarkan ajaran zindiq dan ateis, khususnya kaum Qaramithah (salah satu dari sekte-keagamaan Syiahpen). Abu Hatim menyebut bahwa al-Razi berkata, Yang lebih utama bagi hikmah dan kasih sayang Sang Maha Bijaksana adalah memberi inspirasi pada seluruh hambaNya untuk mengetahui, baik cepat atau lambat, beberapa manfaat dan kemudharatan, dan tidak boleh melebihkan sebagian mereka dari yang lain serta tidak boleh terdapat pertentangan dan pertikaian di antara mereka sehingga menyebabkan kebinasaan. Hal ini lebih hati-hati dari pada Dia menjadikan sebagian dari mereka beberapa pemimpin, lalu pengikut-pengikutnya membenarkan sang imam (pemimpin) dan mengingkari pemimpin lainnya sehingga terjadi peperangan di antara mereka dan menimbulkan bencana. Keba-nyakan manusia binasa karena hal ini. Disebutkan pula bahwa Al-Razi mengatakan, Para nabi tidak berhak mengaku diri mereka sebagai manusia yang istimewa, baik secara akal maupun spiritual, karena seluruh manusia adalah sama dan bentuk keadilan dan kebijaksanaan Allah Swt. adalah tidak boleh memberi keistimewaan seseorang atas lainnya.

Biografi Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Auzalagh. Lahir pada 870 M di desa Wasij, bagian dari Farab, yang termasuk bagian dari wilayah M War`a al-Nahr (Transoxiana); sekarang berada di wilayah Uzbekistan. Al-Farabi meninggal di Damaskus, ibukota Suriah pada umur sekitar 80 tahun, tepatnya pada 950 M. Di negeri Barat, al-Farabi dikenal dengan nama Avennaser atau Alfarabius. Ayahnya berasal dari Persia (Suriah) yang pernah menjabat sebagai panglima perang Turki. Sedang ibunya berasal dari Turki

Filsafat al-Farabi
Al-Farabi menggunakan proses konseptual yang disebutnya dengan nazhariyyah al-faidh (teori emanasi) untuk memahami hubungan antara Tuhan danalam pluralis dan empirik. Menurut teori ini, alam terjadi dan tercipta karena pancaran dari Yang Esa (Tuhan); yaitu keluarnya mumkin al-wujud (disebut alam) dari pancaran Wjib alWujud (Tuhan). Proses terjadinya emanasi (pancaran) ini melalui tafakkur (berpikir) Tuhan tentang diri-Nya, sehingga Wjib al-Wujd juga diartikan sebagai Tuhan yang berpikir . Tuhan senantiaa aktif berpikir tentang diri-Nya sendiri sekaligus menjadi obyek pemikiran. Al-Farabi memberi 3 istilah yang disandarkan padaTuhan: al-Aql (akal, sebagai zat atau hakikat dari akal-akal); al-qil (yang berakal, sebagai subyek lahirnya akal-akal); dan al-Maql (yang menjadi sasaran akal, sebagai obyek yang dituju oleh akal-akal).

Biografi Al-Ghazali
Nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, digelar Hujjah (Acuan) Al-Islam lahir di Thus, bagian kota Khusaran, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang (ghazzal) sehinnga dijuluki al-Ghazzali, karena dinisbatkan kepada mata pencaharian ayahnya, tetapi ayah mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti terlihat ada simpatiknya pada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat pada uamaqt. Sebelum ayahnya wafat, ayahnya menitipkan anaknya Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad yang pada itu masih kecil, kepada seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan.

Filsafat al-Ghazali
a. Epistimologi Sebagaimana dijelaskan Al-Ghazali dalam bukunya AlMunqidz Min Al-Dhalal, ia ingin mencari kebenaran yang sejati, yaitu kebenaran yang diyakininya betul-betul merupakan kebenaran, seperti kebenaran sepuluh lebih banyak dari tiga. sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa tiga itu lebih banyak dari sepuluh dengan argumen bahwa tongkat dapat ia jadikan ular, dan hal itu memang memang betul ia laksanakan, saya akan kagum melihat kemampuannya, sungguhpun demikian keyakinan saya bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga tidak akan goyah. Seperti inilah menurut Al-Ghazali pengetahuan yang sebenarnya.

b. Metafisika Dalam lapangan metafisika (ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap NeoPlatonisme islam, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu secara langsung Al-Ghazali mengecam dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Sina), dan Aristoteles, guru mereka. c. Moral Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu: -Mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan(morlitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku orang yang mempelajarinya. - Mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari. - Karena akhlak terutama merupakan subyek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalampenyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri. . Jiwa Manusia diciptakan menurut Al-Ghazali dicitakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, menjadi inti hakekat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sabgat halus (lathifa rabbaniyah ruhaniyah). Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan aql. Jiwa bagi Al-Ghazali merupakan suatu zat (jauhur) sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada didalam spiritual, sedangkan jasad dialam materi. Jiwa bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilahiyah. Disamping itu jiwa mempunyai kemampuan memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makan dalam kehidupan manusia.

Biografi Ibnu Maskawaih


Maskawaih adalah seorang filosuf muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika islam. Ia seorang sejarawan tabib, ilmuan dan sastrawan. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Yaqub bin Maskawaih. Namanya yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih.dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong menganut aliran syiah. Maskawaih dilahirkan di Ray (Iran), pada 320H (932M) dan wafat di Asfahan pada 9 Safar 421H (16 Pebruari 1030M).

Filsafat Ibnu Maskawaih


a.
Hikmah dan Falsafah Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan , wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (Mumayyis). Hikmah adalah bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) atau engkau mengetahui perkara-perkara ilahiah (ketuhanan) dan perkaraperkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran sepiritual (maqulat) dapat b. Metafisika

Metafisika Maskawaih mencakup pembahasan tentang bukti adanya Tuhan pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwah). Sejarah lengkap metafisika Maskawaih dituangkan dalam kitabnya AlFauz Al Ashghar.

Biografi Ibnu Rusyd


Ibnu Rusyd atau nama lengkapnya Abu Walid Muhammad Ibnu Ahmad lahir di Kardova pada tahun 1126. Beliau ahli falsafah yang paling agung pernah dilahirkan dalam sejarah Islam. Pengaruhnya bukan sahaja berkembang luas didunia Islam, tetapi juga di kalangan masyarakat di Eropah. Di Barat, beliau dikenal sebagai Averroes. Keturunannya terdiri daripada golongan yang berilmu dan ternama. Bapanya dan datuknya merupakan kadi di Kardova.

. Filsafat Ibnu Rusyd Pembicaraan falsafah Ibnu Rusyd banyak tertumpu pada persoalan yang berkaitan dengan metafizik, terutamanya ketuhanan. Beliau telah mengemukakan idea yang bernas lagi jelas, dan melakukan pembaharuan semasa membuat huraianya mengenai perkara tersebut. Pembaharuan ini dapat dilihat juga dalam bidang perubatan apabila Ibnu Rusyd memberi penekanan tentang kepentingan menjaga kesihatan. Beberapa pandangan yang dikemukakan dalam bidang perubatan juga didapati mendahului zamannya. Beliau pernah menyatakan bahawa demam campak hanya akan dialami oleh setiap orang sekali sahaja. Kehebatannya dalam bidang perubahan tidak berlegar di sekitar perubatan umum, tetapi juga merangkum pembedahan dan fungsi organ di dalam tubuh manusia. Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Ibnu Rusyd turut menjangkau bidang yang berkaitan dengan kemasyarakatan apabila beliau cuba membuat pembahagian masyarakat itu kepada dua golongan iaitu golongan elit yang terdiri daripada ahli falsafah dan masyarakat awam.

Biografi Ibnu Sina


Ibnu Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali alHussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara (Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika, dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu. Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam. Kemampuannya dalam bidang pengobatan sudah begitu mumpuni di usianya yang masih belia. Bahkan ketika usianya baru tujuhbelas tahun, dia sudah berhasil menyembuhkan penguasa Bukhara, Nun Ibn Manshur. Padahal sebelumnya para pakar kesehatan kerajaan sudah menyerah, tak satu pun yang mampu mengatasi penyakit sang raja. Atas jasanya itu, Manshur bermaksud memberinya hadiah. Namun Ibnu Sina justru lebih memilih izin dari sang raja untuk diperkenankan meggunakan perpustakaan kerajaan yang dikenal memiliki koleksi buku-buku yang unik.

Filsafat Ibnu Sina


Karya Ibnu Sina dalam bidang filsafat yang terkenal adalah Al-Najat, Isyarat, dan al-Shifa (buku yang berisi tentang penyembuhan penyakit) merupakan ensiklopedi filosofis. Di dalamnya berisi jangkauan pengetahuan yang luas, dari filsafat hingga ilmu pengetahuan. Filsafat Ibnu Sina merupakan penggabungan tradisi Aristotelian, pengaruh Neoplatonic dan teologi Islam. Ibnu Sina mengelompokkan seluruh bidang ilmu ke dalam dua kategori besar, yakni: pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Pengetahuan teoritis meliputi fisika, matematika, dan metafisika, sedangkan pengetahuan praktis meliputi etika, ilmu ekonomi, dan ilmu politik. Jenius yang satu ini tidak pernah berhenti mengembara, baik secara fisik maupun secara batin. Secara fisik, dia terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, untuk memuaskan rasa ingin tahunya terhadap segala hal, serta untuk dapat belajar, belajar, dan belajar. Karena terlalu banyak memeras otak dan diperparah oleh gejolak politik pada masa itu, kesehatannya semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1037 dia kembali ke Hamadan, dan meninggal di sana.

You might also like