Professional Documents
Culture Documents
Nyoman Rudana
NPM 08.D.040
1
Artikel yang akan dibahas adalah : (1) Sewindu Otda, Maish Jauh dari Harapan, (2)Kacamata
Kuda dan Hancurnya SDA, (3)Kewenangan Tumpang tindih menjadi tidak produktif, (4)Sejarah
Panjang Pengaturan Otonomi, (5)Kuncinya di Kapasitas Birokrasi. Namun sesuai dengan mata
kuliah Keuangan Negara dan Daerah, maka pembahasan dititikberatkan kepada hal – hal terkait
dengan transfer dana dari pusat k daerah.
Dalam tulisan ini ada kerancuan mengenai pengertian pembangunan daerah dan otonomi
daerah yang dikaitkan dengan transfer dana dari pusat ke daerah.
Pada dasarnya semua pembangunan dilakukan di daerah termasuk di DKI Jaya. Hanya sebelum
otonomi daerah, daerah hanya menjadi pelaksana pada kegiatan dekonsentrasi dan
menyediakan dana serta pelaksana pada tugas pembantuan. Jadi pembangunan ada di daerah
dengan kebijakan , sumber dana dan serta pelaksanaan semua ditentukan oleh pemerintah
pusat. Dana yang digunakan ditransfer dari pusat ke daerah da merupakan dana dekonsentrasi,
dimana pelaksana kegiatan adalah orang pusat yang ada di daerah.
Setelah ada otonomi, sebagian urusan pemerintahan diserahkan ke daerah dengan asas
desentralisasi. Untuk menunjang berjalannya desentralisasi kewenangan di daerah , dilakukan
desentralisasi fiskal dengan instrument utama melalui kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri
atas dana perimbangan dan dana otonomi khusus. Dana perimbangan terdiri atas Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan
komponen terbesar dari dana transfer ke daerah. Selain PAD, dana yang ditransfer dari pusat ini
merupakan salah satu bentuk pendapatan daerah.
Hal lain yang perlu dicermati adalah bahwa dalam bagan Alur Belanja APBN ke Daerah yg
ada pada artikel Kewenangan Tumpang Tindih Menjadi Tidak Produktif, Nampak bahwa
PNPM, BOS, Jamkesmas dikategorikan sebagai dana bantuan yang merupakan Belanja
Pemerintah Pusat, padahal seharusnya termasuk ke dalam DAK, yaitu specific grant, yang jelas
dan spesifik tujuan penggunaan dananya.
Kewenangan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah menimbulkan
banyak hal merugikan termasuk dalam pembuatan kebijakan yang tumpang tindih yang
berakibat ekonomi biaya tinggi yang membebangi pengusaha sehingga menurunkan daya saing
investasi daerah tersebut. Sedangkan ulasan mengenai desentralisasi fiskal akan dibahas pada
bab berikutnya.
2
Beberapa tantangan dan kendala terkait dengan Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan
Pengelolaan Keuangan Daerah 2009 adalah sebagai berikut :
1. Implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah.
Meskipun peningkatan transfer dari Pemerintah ke daerah diiringi perbaikan tingkat
kesejahteraan masyarakat,perlu diperhatikan kondisi daerah dan korelasi antara transfer
dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari data Depkeu dan BPS ditemukan bahwa
(1) indikator tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional menunjukkan perbaikan,
tetapi tidak semua daerah mengalami perbaikan. Dari 33 propinsi, terdapat 15 propinsi
dengan penurunan % penduduk miskin dan 18 propinsi dengan peningkatan % penduduk
miskin.
(2) Peningkatan transfer diiringi dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, tetapi korelasinya
sangat rendah yaitu kurang dari o,5 bahkan mendekati nol. Dari NAPBN 2009 nampak
bahwa beberapa daerah yang rata-rata transfer per kapitanya tinggi justru menunjukkan
rata- rata % penduduk miskin yang tinggi pula. Ini mengindikasikan transfer pemerintah ke
daerah masih terkonsentrasi pada daerah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah.
3
yang sesuai dengan perencanaannya. Tantangan dalam proses penyusunan APBD adalah
:
(1) Bagaimana menciptakan hubungan yang jelas antara input(anggaran dalam APBD)
dengan output dan outcome dari program dan kegiatan.
(2) Diperlukannya partisipasi masyarakat dan dukungan politik dari DPRD, mengingat kedua
hal tersebut akan menentukan outcome yang akan dicapai dan sekaligus menilai apakah
pemerintah daerah telah berhasil mencapainya.
(3) Kesinambungan antar program dan kegiatan yang disusun dalam APBD tersebut, yang
tercermin dalam pola belanja APBD, karena pada dasarnya sebagian besar program dan
kegiatan tidak akan bisa dilihat dampaknya secara nyata dalam waktu yang singkat, dan
juga harus selalu ditunjang dengan program/kegiatan lain yang saling terkait dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
(4) Kurangnya sinergi antara program nasional dan kebijakan di daerah. Pengeluaran APBD
akan menjadi tidak efektif apabila tidak sejalan dengan program pembangunan nasional,
atau sebaliknya. Hal yang sama terhadap APBD kabupaten /kota dimana seringkali tidak
sinkron dengan kebijakan nasional, serta dengan kebijakan di tingkat regional di propinsi
4
sendiri dimana pemda terlambat melaporkan perda APBD ke pusat sehingga terkena
sangsi oleh pemerintah pusat dengan ditundanya transfer dana DAU / DAK dari pusat ke
daerah. (2) Kesengajaan daerah yang tidak mau susah payah membuat proyek. (3)
Ketakutan aparat pemda untuk berurusan dengan KPK dalam pelaksanaan program /
kegiatan di lapangan yang rawan terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu banyak pemda
memilih menternakkan uangnya di SBI ( Sertifikat Bank Indonesia ). Hal ini membuat
gerak pembangunan di daerah tertahan dan dana yang diinvestasikan dalam SBI
membebani keuangan negara karena bunganya yang tinggi harus dibayar dari APBN.
5
Berdasarkan PP no 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP Nno
21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga
(RKA-KL), anggaran untuk kementerian negara/ lembaga dibagi menurut anggaran kantor
pusat, anggaran kantor daerah, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Khusus untuk
penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan, selain harus mengikuti PP tersebut,
harus mengacu pada PP no 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
dan PP no 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Namun karena
sistem penganggaran tsb masih merupakan baru, masih banyak praktek pendanaan
program/ kegiatan di daerah cenderung tumpang tindih (overlapping), dimana satu
kegiatan yang didanai dari sumber APBN dan APBD. Hal tersebut antara lain :
(1) dalam proses penganggaran kurang memperhatikan aspek pembagian urusan/wewenang
dan aspek akuntabilitas Pagu anggaran sektoral pada kementerian negara/ lembaga
belum dipisahkan secara tepat menurut alokasi dana dekonsentrasi, dana tugas
pembantuan, dana untuk kantor vertikal di daerah, dan dana untuk satuan kerja tertentu,
sehingga alokasinya sulit untuk disinkronkan dengan alokasi dana desentralisasi.
(2) Sebagian kementerian negara/lembaga masih cenderung berpegang pada peraturan
perundang-undangan sektoral walaupun UU no 32 tahun 2004 telah mengamanatkan
bahwa semua undang-undang sektoral yang berkaitan dengan daerah otonom, wajib
mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan UU 32 tahun 2004
tersebut.
6
Dalam mengatasi kendala – kendala implementasi SPM, maka pemerintah pusat harus
memprioritaskan pengaturan mengenai kewenangan/urusan wajib yang harus
dilaksanakan sehingga dapat mempertegas pembagian kewenangan antara pemerintah,
pemerintah propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan
publik yang lebih baik serta menghindari tumpang tindih pendanaan. Untuk itu
pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
7
6. Penyerapan anggaran APBD di daerah.
(1) Dalam mencegah keterlambatan pelaksanaan anggaran, yang pertama – tama pemda
haruslah melaporkan perda APBDnya ke pusat tepat waktu sehingga tidak mendapat
sangsi dari pemerintah pusat dengan penundaan transfer dana ke daerah.
(2) Pendampingan dari pusat setelah dana cair dengan team bersama dari Depdagri, Depkeu,
Bappenas dan departemen teknis, kalau perlu dari BPK, BPKP, KPK yang 24 jam bekerja
memberikan saran dan pendampingan secara gratis. Hal ini untuk memberikan rasa
aman agi para eksekutor di daerah dalam mengimplementasikan program dan
kegiatannya tanpa ketakutan yang tidak perlu.
8
yang jauh lebih besar kepada daerah dan memberikan kewenangan untuk mengelola
sumber keuangan sendiri, dengan didukung oleh perimbangan keuangan antara
Pemerintah dan daerah.
(3) Kementerian / lembaga harus kembali mengacu kepada UU 32 tahun 2004 dan bukan UU
sektoral terkait daerah otonom dalam proses penyusunan APBN.
9
III. PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ( PDRD )
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka Pemda
diberikan kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak
daerah, retribusi daerah, hasil usaha BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya. Keseriusan
untuk mendorong Pemda dalam menggali PAD ditunjukkan dengan telah direvisinya UU
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan UU Nomor 34
Tahun 2000 dan aturan pelaksanaannya berupa PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak
Daerah dan PP Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Karena pajak daerah untuk kabupaten/kota tidak bersifat limitatif masih
memungkinkan untuk menetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan
dalam pasal 2 ayat 4 UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah,
yaitu : (1) Bersifat pajak dan bukan retribusi, (2) Obyek ada di lokasi daerah dan tidak
bergerak; (3) Tidak bertentangan dengan kepentingan umum; (4 ) Bukan obyek pajak
propinsi dan pusat; (5 ) Potensi memadai; (6)Tidak ada dampak negatif ekonomi; (7)
Aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, (8)Menjaga kelestarian lingkungan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan
pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber
pembiayaan desentralisasi. Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan
penggalian dan peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh :
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000
daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru.
Namun karena pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak
Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas,
serta bervariasi antar daerah. Hal ini bagi sementara daerah berarti memperkecil
kemampuan manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan
daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi
“usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan
“negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah yang mengakibatkan
pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih
tergolong memiliki tingkat buoyancy yang rendah karena diterapkan sistem “target”
dalam pungutan daerah. Akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target,
10
walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat
melampaui target.
4. Adanya aspek teknis seperti tariff, dan dasar penetapan yang kurang mencerminkan asas
kemampuan dan keadilan sehingga menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya
misalnya si wajib pajak/retribusi tidak mampu atau bahkan tidak bersedia membayar
pungutan yang dibebankan kepada mereka.
5. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan
kebocoran. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah
sangat kecil kurang dari 10% hingga 50%. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi
dengan sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya
menguntungkan daerah tertentu). (2) Distribusi pajak antar daerah timpang karena basis
pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600.
(3) Adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis
(berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga
mengakibatkan biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. (4)
‘Sistem tax assignment’ di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada
Pemerintah Pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial seperti : pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Distribusi kewenangan perpajakan antara
daerah dan pusat sangat timpang, penerimaan pajak yang dipungut daerah hanya 3,39%
dari total penerimaan pajak (Pajak Pusat dan Pajak Daerah).
6. Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak memberikan
petunjuk bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di
Indonesia dari sisi revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”. Dari gambaran
consolidated revenues APBD dan APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan
Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated
revenues, di lain pihak pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30%
dari consolidated expenditures.
Selain itu dilihat dari pelaksanaannya, UUno 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah ( PDRD ) mempunyai beberapa kelemahan :
1. Ulah daerah yang berlebihan dalam mengartikan desentralisasi fiskal dimana terjadi
euphoria dalam arti sempit. Kebebasan menetapkan PDRD di luar yang ditetapkan secara
eksplisit dalam undang-undang tersebut telah dimanfaatkan oleh daerah untuk membuat
Perda mengenai PDRD yang bertentangan dengan apa yang diatur dalam undang-undang
tersebut dan menciptakan pungutan yang merugikan perekonomian daerah dengan
membebani masyarakat
11
2. Hal tsb menyebabkan banyak keluhan dari para pelaku usaha di daerah yang merasa
terganggu oleh banyaknya pungutan terutama PDRD yang meningkatkan compliance
cost ( biaya pemenuhan perpajakan dan retribusi ) dalam melakukan kegiatan usaha di
daerah. Hal ini akan menurunkan daya saing invstasi daerah ybs.
3. Sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem
berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak
konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.
4. Dalam UU No. 34 tahun 2000 tidak diatur sanksi terhadap daerah yang menetapkan
Perda yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan serta mengganggu
kepentingan umum, sehingga daerah seenaknya menetapkan PDRD di daerah mereka.
Pengawasan yang represif namun tidak disertai sangsi atas pelanggaran pemungutan
pajak dan retribusi menyebabkan beberapa daerah yang Perda PDRD-nya dibatalkan
masih berani melakukan pungutan walau Perdanya secara hukum sudah dibatalkan
5. Lemahnya pengawasan juga menyebabkan banyak daerah yang tidak menyampaikan
Perda mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kepada pemerintah untuk
menghindari pembatalan.
6. Banyaknya Perda yang dibuat oleh daerah adalah karena misalnya pejabat pemerintah
daerah dibebani target oleh DPRD untuk meningkatkan PAD yang dijadikan sebagai tolok
ukur keberhasilan kinerja aparat daerah.
7. Retribusi beberapa Pemda yang dikenakan kepada industri pertambangan menyangkut
pajak lingkungan, padahal sejak awal sebelum industri tambang berdiri, perusahaan
sudah melalui berbagai kontrol dan monitoring dari pemerintah. Selain itu perusahaan
menyediakan dana untuk CSR ( Corporate Social Responsibility ).
12
(2) meningkatkan keadilan dalam perpajakan
Misalnya dalam : perluasan objek pajak kendaraan bermotor atas kendaraan,
perluasan objek pajak hotel, restoran
2. Penetapan tarif
Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak sesuai dengan
tarif maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas, pemerintah daerah harus dapat memberikan alasan yang kuat tentang
besarnya tarif yang ditetapkan.
6 .Pengawasan
Daerah harus diawasi secara lebih ketat dalam pemungutan pajak dan retribusi.
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pengawasan dilakukan
secara preventif dan represif. Hasil evaluasi perda dikoordinasikan dengan Menteri
Keuangan.
13
(1) Kepada daerah juga dikenakan sanksi apabila tidak menyampaikan perda kepada
Pemerintah, atau bagi daerah yang tetap melaksanakan perda yang telah dibatalkan,
dengan melakukan penundaan penyaluran transfer ke daerah.
(2) Pembatalan perda atau meminta pemda merevisi Perda yang dianggap memberatkan
pengusaha dan berlebihan serta tidak sesuai dengan UU no 34 tahun 2000.
7. Mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan memperbaiki basis data
wajib pajak
14
15
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
Meskipun pemerintah provinsi memiliki penerimaan pajak yang cukup besar sumbangannya
terhadap APBD, provinsi masih tetap mengalami kesulitan untuk membiayai tambahan
kebutuhan pengeluarannya. Provinsi tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif
pajaknya. Penetapan tarif pajak yang seragam untuk provinsi selama ini dilakukan untuk
menghindari perang tarif yang berlebihan antardaerah. Perbedaan tarif akan berdampak
terhadap pelarian objek, karena objek pajak provinsi relatif lebih tinggi tingkat mobilitasnya
jika dibandingkan dengan pajak kabupaten/kota.
16