You are on page 1of 16

Mata Kuliah :

KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH


Dosen : Dr. Roy V. Salomo

KOMENTAR, IDENTIFIKASI MASALAH DAN REKOMENDASI


TENTANG

• PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH


(Sumber : Kompas 22 Mei 2009 )
• KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN
PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH ( NKAPBN
2009)
• Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( PDRD )
( Terkait UU no 34 tahun 2000 )

Nyoman Rudana
NPM 08.D.040

Magister Administrasi Publik


Manajemen Pembangunan Daerah
STIA LAN Jakarta

I. TANGGAPAN TENTANG KOMPAS 22 MEI 2009.


Artikel yang akan dibahas adalah : (1) Sewindu Otda, Masih Jauh dari Harapan, (2)Kacamata Kuda dan
Hancurnya SDA, (3)Kewenangan Tumpang tindih menjadi tidak produktif, (4)Sejarah Panjang Pengaturan
Otonomi, (5)Kuncinya di Kapasitas Birokrasi. Namun sesuai dengan mata kuliah Keuangan Negara dan
Daerah, pembahasan dititikberatkan kepada hal – hal terkait dengan transfer dana dari pusat ke daerah.
Dalam tulisan ini ada kerancuan mengenai pengertian pembangunan daerah dan otonomi daerah
yang dikaitkan dengan transfer dana dari pusat ke daerah. Pada dasarnya semua pembangunan dilakukan
di daerah termasuk di DKI Jaya. Hanya sebelum otonomi daerah, daerah hanya menjadi pelaksana pada
kegiatan dekonsentrasi dan menyediakan dana serta pelaksana pada tugas pembantuan. Jadi
pembangunan ada di daerah dengan kebijakan , sumber dana dan serta pelaksanaan semua ditentukan
oleh pemerintah pusat. Dana yang digunakan ditransfer dari pusat ke daerah dan merupakan dana
dekonsentrasi, dimana pelaksana kegiatan adalah orang pusat yang ada di daerah.
APBN sebagian besar untuk membiayai daerah baik belanja modal,99% untuk daerah dan hanya 1%,
untukbelanja Deplu, namun dana transfer dari APBN yang langsung ke kas Daerah ( APBD ) mencapai
67,4%. Juga dilihat dari jumlah PNS yang ditransfer ke daerah 2,5 juta orang sehingga lebih banyak PNS
di daerah daripada di puat.Ini baru proses dan belum memberi hasil (output) dan belum mencapai tujuan
otonomi daerah memajukan daerah dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Setelah ada otonomi, sebagian urusan pemerintahan diserahkan ke daerah dengan asas
desentralisasi. Untuk menunjang berjalannya desentralisasi kewenangan di daerah , dilakukan
desentralisasi fiskal dengan instrumen utama kebijakan transfer ke daerah, yang terdiri atas Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Dana Perimbangan terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana
transfer ke daerah. Selain PAD, dana yang ditransfer dari pusat ini merupakan salah satu bentuk
pendapatan daerah.
Dalam bagan Alur Belanja APBN ke Daerah yg ada pada artikel Kewenangan Tumpang Tindih
Menjadi Tidak Produktif, Nampak bahwa PNPM, BOS, Jamkesmas dikategorikan sebagai dana bantuan
yang merupakan Belanja Pemerintah Pusat, padahal seharusnya termasuk ke dalam DAK, yaitu specific
grant, yang jelas dan spesifik tujuan penggunaan dananya.
Kewenangan yang tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah menimbulkan banyak hal
merugikan termasuk dalam pembuatan kebijakan yang tumpang tindih yang berakibat ekonomi biaya
tinggi yang membebani pengusaha sehingga menurunkan daya saing investasi daerah tersebut. Juga
sangat besar peluangnnya menjadi temuan BPK pada saat melaksanakan audit keuangan dari kinerja
Daerah, temuan BPK terus menerus dari tahun 2002 – 2007 masih sangat buruk, bahkan ada predikat
disclaimer (tidak dapat memberi keterangan) seperti contoh : Daerah Kaltim, Papua, Sumatra Barat dll).
Ke depan diharapkan akuntabilitas dalam menggunakan anggaran akan lebih baik.

II. KEBIJAKAN DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN


KEUANGAN DAERAH 2009

1
Beberapa tantangan dan kendala terkait dengan Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Pengelolaan
Keuangan Daerah 2009 adalah sebagai berikut :
1. Implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah.
Meskipun peningkatantransfer dari Pemerintah ke daerah diiringi perbaikan tingkat
kesejahteraan masyarakat,perlu diperhatikan kondisi daerah dan korelasi antara transfer
dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dari data Depkeu dan BPS ditemukan bahwa
(1) indikator tingkat kesejahteraan masyarakat secara nasional menunjukkan perbaikan, tetapi
tidak semua daerah mengalami perbaikan. Dari 33 propinsi, terdapat 15 propinsi dengan
penurunan % penduduk miskin dan 18 propinsi dengan peningkatan % penduduk miskin.
(2) Peningkatan transfer diiringi dengan perbaikan tingkat kesejahteraan, tetapi korelasinya
sangat rendah yaitu kurang dari o,5 bahkan mendekati nol. Dari NAPBN 2009 nampak bahwa
beberapa daerah yang rata-rata transfer per kapitanya tinggi justru menunjukkan rata- rata %
penduduk miskin yang tinggi pula. Ini mengindikasikan transfer pemerintah ke daerah masih
terkonsentrasi pada daerah yang tingkat kesejahteraannya masih rendah.

2. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD )


Akan dibahas di topik selanjutnya mengenai evaluasi UU 34 tahun 2000 tentang PDRD.

3. Penerapan Standar Pelayanan Minimum ( SPM )


Menindaklanjuti ketentuan dalam UU no 34 tahun 2004 dan mendorong implementasi SPM,
pemerintah menerbitkan PP no 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimum. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
kendala terkait dengan :(1) kompleksitas penyusunan indikator SPM, (2 ketersediaan dan
keterbatasan anggaran, (3) kompleksitas proses konsultasi publik dalam menentukan norma
dan standar untuk menghindari perbedaan persepsi dalam memberikan pelayanan publik
sesuai SPM.

4. Efektivitas kebijakan pengeluaran APBD


Efektivitas pengeluaran APBD sangat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal
pemda, antara lain proses penyusunan APBD, partisipasi masyarakat, dukungan politis dari
DPRD, kesinambungan dengan APBD sebelum dan sesudah tahun anggaran yang
bersangkutan, dan sinergi dengan program Pemerintah. Proses penyusunan APBD terkait
dengan mekanisme perencanaan yang melibatkan berbagai pihak dengan kepentingan yang
sangat beragam. Juga harus mampu mencerminkan kepentingan masyarakat yang tercermin

2
dalam anggaran yang efisien, sehingga menghasilkan output dan outcome yang sesuai
dengan perencanaannya. Tantangan dalam proses penyusunan APBD adalah :
(1) Bagaimana menciptakan hubungan yang jelas antara input(anggaran dalam APBD) dengan
output dan outcome dari program dan kegiatan.
(2) Diperlukannya partisipasi masyarakat dan dukungan politik dari DPRD, mengingat kedua hal
tersebut akan menentukan outcome yang akan dicapai dan sekaligus menilai apakah
pemerintah daerah telah berhasil mencapainya.
(3) Kesinambungan antar program dan kegiatan yang disusun dalam APBD tersebut, yang
tercermin dalam pola belanja APBD, karena pada dasarnya sebagian besar program dan
kegiatan tidak akan bisa dilihat dampaknya secara nyata dalam waktu yang singkat, dan juga
harus selalu ditunjang dengan program/kegiatan lain yang saling terkait dalam rentang
waktu yang cukup panjang.
(4) Kurangnya sinergi antara program nasional dan kebijakan di daerah. Pengeluaran APBD
akan menjadi tidak efektif apabila tidak sejalan dengan program pembangunan nasional,
atau sebaliknya. Hal yang sama terhadap APBD kabupaten /kota dimana seringkali tidak
sinkron dengan kebijakan nasional, serta dengan kebijakan di tingkat regional di propinsi

5. Efektivitas Proses Penyusunan APBD.


Tantangan yang dihadapi pemerintah pusat dan pemda dalam penyusunan APBD :
(1) Pemda seringkali tidak bisa menetapkan APBD secara tepat waktu untuk memperlancar
prosespelaksanaan anggaran dan dapat memberikan dampak yang positif bagi pelayanan
publik. Seringkali terjadi adalah sulitnya mencapai pengesahan APBD tersebut dari DPRD.
(2) Sering ada hambatan teknis dalam proses penyusunan APBD, terkait kompleksitas proses
penganggaran berbasis kinerja.
(3)Penyusunan APBD dipengaruhi oleh proses penyusunan APBN, sehingga efektivitas
penyusunan APBD tidak terlepas dari efektivitas penyusunan APBN. Untuk itu diperlukan
sinergi antara pemerintah pusat dan pemda. Oleh sebab itu pemerintah pusat harus sedini
mungkin menetapkan alokasi dana yang akan ditransfer ke daerah dan menginfomasikan
kepada daerah, disertai petunjuk teknis,terutama untuk alokasi dana tertentu, seperti DAK.

6. Penyerapan anggaran APBD di daerah.


Ada kelambanan dalam penyerapan anggaran dimana rata-rata penyerapan APBN pada
semester pertama hanya mencapai 15—30%. Akibatnya terjadi penumpukan program dan
kegiatan menjelang akhir tahun. Juga sering terjadi penyerapan anggaran di bawah target.

3
Keterlambatan penyerapan APBD ini bisa terjadi karena : (1) kesalahan dari pemda sendiri
dimana pemda terlambat melaporkan perda APBD ke pusat sehingga terkena sangsi oleh
pemerintah pusat dengan ditundanya transfer dana DAU / DAK dari pusat ke daerah. (2)
Kesengajaan daerah yang tidak mau susah payah membuat proyek. (3) Ketakutan aparat
pemda untuk berurusan dengan KPK dalam pelaksanaan program / kegiatan di lapangan
yang rawan terjadi penyimpangan. Oleh sebab itu banyak pemda memilih menternakkan
uangnya di SBI ( Sertifikat Bank Indonesia ). Hal ini membuat gerak pembangunan di daerah
tertahan dan dana yang diinvestasikan dalam SBI membebani keuangan negara karena
bunganya yang tinggi harus dibayar dari APBN.

7. Implikasi pemekaran daerah terhadap keuangan negara.


Pemekaran daerah otonomi diatur dalam PPNomor 28 Tahun 2007 tentang Tatacara
Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, yang merupakan revisi PP no 9
Tahun 2ooo tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan,
dan Penggabungan Daerah. PP ini memperketat syarat kelulusan suatu daerah untuk dapat
dimekarkan, dengan menetapkan nilai mutlak atau nilai minimal yang harus dipenuhi yaitu
kependudukan, kemampuan ekonomi, potensi daerah, kemampuan keuangan, serta
ketersediaan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan pelayanan minimal.
(1) Berdasarkan data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, 80 % kabupaten
baru hasil pemekaran dari 1999–2006, termasuk kategori kabupaten tertinggal. Ini
menunjukkan bahwa daerah pemekaran tidak memiliki kemampuan ekonomi dan keuangan
yang memadai untuk menjadi daerah otonom. Akibatnya kesejahteraan masyarakat serta
peningkatan pelayanan publik tidak tercapai.
(2) Berdasarkan hasil evaluasi sementara terhadap 147 daerah otonom baru, dari NAPBN 2009
diketahui bahwa daerah otonom baru menghadapi berbagai permasalahan, antara lain (a)
penyerahan pendanaan, personil, peralatan dan dokumen (P3D), (b) batas wilayah, (c)
dukungan dana kepada daerah otonom baru, (d) mutasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) ke
daerah otonom baru, (e) pengisian jabatan, dan (f) rencana tata ruang dan wilayah.
(3) Dari sisi pendanaan, pemekaran daerah mempunyai implikasi terhadap APBN, yaitu
penyediaan DAK bidang prasarana pemerintahan dan pembangunan instansi vertikal
berpengaruh terhadap fungsi pemerataan DAU yang belum optimal, mengingat peningkatan
alokasi DAU akan tersebar secara proporsional kepada seluruh daerah di Indonesia

4
8. Sinkronisasi Dana Desentralisasi dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan.
Berdasarkan PP no 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP Nno
21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Anggaran dan Kementerian Negara/Lembaga
(RKA-KL), anggaran untuk kementerian negara/ lembaga dibagi menurut anggaran kantor
pusat, anggaran kantor daerah, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Khusus untuk
penganggaran dekonsentrasi dan tugas pembantuan, selain harus mengikuti PP tersebut,
harus mengacu pada PP no 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
dan PP no 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Namun karena
sistem penganggaran tsb masih merupakan baru, masih banyak praktek pendanaan
program/ kegiatan di daerah cenderung tumpang tindih (overlapping), dimana satu
kegiatan yang didanai dari sumber APBN dan APBD. Hal tersebut antara lain :
(1) dalam proses penganggaran kurang memperhatikan aspek pembagian urusan/wewenang dan
aspek akuntabilitas Pagu anggaran sektoral pada kementerian negara/ lembaga belum
dipisahkan secara tepat menurut alokasi dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dana
untuk kantor vertikal di daerah, dan dana untuk satuan kerja tertentu, sehingga alokasinya
sulit untuk disinkronkan dengan alokasi dana desentralisasi.
(2) Sebagian kementerian negara/lembaga masih cenderung berpegang pada peraturan
perundang-undangan sektoral walaupun UU no 32 tahun 2004 telah mengamanatkan bahwa
semua undang-undang sektoral yang berkaitan dengan daerah otonom, wajib mendasarkan
dan menyesuaikan pengaturannya dengan ketentuan UU 32 tahun 2004 tersebut.

REKOMENDASI UNTUK DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGELOLAAN


KEUANGAN DAERAH

1. Implikasi desentralisasi fiskal terhadap perkembangan ekonomi daerah.


Pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu menyelaraskan pola alokasi dana ke daerah
dengan target pertumbuhan ekonomi dan target kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian daerah yang mendapatkan transfer yang lebih tinggi mampu memanfaatkan
dananya secara riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya secara lebih optimal.

2. Efektivitas Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ( PDRD ).


Dibahas di pertanyaan ketiga mengenai UU 34 tahun 2000 tentang PDRD .

5
3. Penerapan Standar Pelayanan Minimum ( SPM )
Dalam mengatasi kendala – kendala implementasi SPM, maka pemerintah pusat harus
memprioritaskan pengaturan mengenai kewenangan/urusan wajib yang harus dilaksanakan
sehingga dapat mempertegas pembagian kewenangan antara pemerintah, pemerintah
propinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam memberikan pelayanan publik yang lebih
baik serta menghindari tumpang tindih pendanaan. Untuk itu pemerintah telah menerbitkan
PP Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

4. Efektivitas kebijakan pengeluaran APBD


(1) Pemda harus membuat APBD yang mempunyai korelasi antara input, output dan outcome.
Pemda dapat meminta bantuan konsultan independen untuk mereview APBD yang disusun.
(2) Pemda harus membuat program dan kegiatan dalam APBD yang saling berkesinambungan
yang tercermin dalam pola belanja APBD.
(3) Pemda harus menjalin hubungan yang harmonis dengan DPRD agar DPRD dapat lebih cepat
dalam mengesahkan APBD.
(4) Pemerintah harus melakukan evaluasi dan koreksi jika kebijakan pemerintah yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah propinsi belum diakomodasi dalam program dan kegiatan
beserta anggarannya yang diusulkan dalam RAPBD yang bersangkutan. Hal yang sama juga
dilakukan oleh gubernur terhadap APBD kabupaten / kota dimana APBD harus sinkron
dengan kebijakan nasional, dan propinsi. Bilamana perlu pemerintah pusat atau daerah
dapat mengundang konsultan independen untuk menilai sinkronisasi antara kebijakan dan
usulan program dan kegiatan.

5. Efektivitas Proses Penyusunan APBD.


(1) Pemerintah harus memberlakuan sangsi penundaan penyaluran DAU apabila daerah tidak
menyampaikan perda APBD kepada Pemerintah secara tepat waktu dan pelaksanaan transfer
DAK setelah perda tentang APBD disampaikan ke Pemerintah.
(2) Pemda harus secara berkala menyelenggarakan pelatihan teknis terkait penganggaran
berbasis kinerja untuk memperlancar penyusunan APBD agar dapat tepat waktu.
(3) Harus ada sinergi antara Pemerintah dengan pemda karena APBD tergantung pada APBN.
(4) Pemerintah harus sedini mungkin menetapkan alokasi dana yang akan ditransfer ke daerah
dan menginformasikan kepada daerah disertai petunjuk teknis, terutama untuk alokasi dana

6
tertentu, seperti DAK. Hal ini dilakukan agar daerah dapat mengalokasikan dana tersebut
dalam APBD nya dengan tepat waktu pula.

6. Penyerapan anggaran APBD di daerah.


(1) Dalam mencegah keterlambatan pelaksanaan anggaran, yang pertama – tama pemda
haruslah melaporkan perda APBDnya ke pusat tepat waktu sehingga tidak mendapat sangsi
dari pemerintah pusat dengan penundaan transfer dana ke daerah.
(2) Pendampingan dari pusat setelah dana cair dengan team bersama dari Depdagri, Depkeu,
Bappenas dan departemen teknis, kalau perlu dari BPK, BPKP, KPK yang 24 jam bekerja
memberikan saran dan pendampingan secara gratis. Hal ini untuk memberikan rasa aman
agi para eksekutor di daerah dalam mengimplementasikan program dan kegiatannya tanpa
ketakutan yang tidak perlu.

7. Implikasi pemekaran daerah terhadap keuangan negara.


(1) Pemerintah pusat harus melakukan evaluasi kebijakan PP no 78 tahun 2007 tentang Tata
Cara Daerah, dengan memperketat persyaratan kelulusan bagi daerah otonomi baru dengan
menetapkan nilai mutlak atau nilai minimal yang harus dipenuhi yaitu kependudukan,
kemampuan ekonomi, potensi daerah, kemampuan keuangan, ketersediaan sarana dan
prasarana dalam pelaksanaan pelayanan minimal.
(2) Pemerintah melakukan evaluasi daerah baru berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2008 tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Tujuannya untuk mengetahui
kemampuan daerah otonom baru dan efektivitas pemberikan pelayanan publik,dan sebagai
dasar pengambilan keputusan bagi penghapusan dan penggabungan daerah.
(3) Pemerintah memberikan insentif baik fiskal maupun nonfiskal. Insentif fiskal diberikan
dalam rangka meningkatkan kemampuan APBD, sedangkan insentif nonfiskal diberikan
dalam bentuk dukungan teknis dan fasilitasi peningkatan kemampuan kelembagaan
pemerintahan daerah, SDM , kepegawaian daerah, pengelolaan keuangan daerah, dan
pelayanan publik.

8. Sinkronisasi Dana Desentralisasi dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana


Tugas Pembantuan.
(1) Untuk menghindari tumpang tindihnya pendanaan oleh APBN dan APBD terhadap program
/ kegiatan di daerah maka harus dilakukan pemisahan pagu anggaran sektoral pada

7
kementerian negara/ lembaga menurut alokasi dana nya, baik desentralisasi, dekonsentrasi,
dana tugas pembantuan dll.
(2) Prinsip money follows function dilakukan dengan memberikan sumber-sumber pendanaan
yang jauh lebih besar kepada daerah dan memberikan kewenangan untuk mengelola sumber
keuangan sendiri, dengan didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah dan
daerah.
(3) Kementerian / lembaga harus kembali mengacu kepada UU 32 tahun 2004 dan bukan UU
sektoral terkait daerah otonom dalam proses penyusunan APBN.

8
III. PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH ( PDRD )

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, maka Pemda
diberikan kewenangan untuk menggali potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak
daerah, retribusi daerah, hasil usaha BUMD dan pendapatan asli daerah lainnya. Keseriusan
untuk mendorong Pemda dalam menggali PAD ditunjukkan dengan telah direvisinya UU Nomor
18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan UU Nomor 34 Tahun 2000
dan aturan pelaksanaannya berupa PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan PP
Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Karena pajak daerah untuk kabupaten/kota tidak bersifat limitatif masih memungkinkan
untuk menetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat 4 UU
Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yaitu : (1) Bersifat pajak dan bukan
retribusi, (2) Obyek ada di lokasi daerah dan tidak bergerak; (3) Tidak bertentangan dengan
kepentingan umum; (4 ) Bukan obyek pajak propinsi dan pusat; (5 ) Potensi memadai; (6)Tidak
ada dampak negatif ekonomi; (7) Aspek keadilan dan kemampuan masyarakat, (8)Menjaga
kelestarian lingkungan.
Untuk mengantisipasi desentralisasi dan proses otonomi daerah, tampaknya pungutan pajak
dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah sebagai sumber pembiayaan
desentralisasi. Banyak permasalahan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan
peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh :
1. Relatif rendahnya basis pajak dan retribusi daerah. Berdasarkan UU No.34 Tahun 2000
daerah Kabupaten/Kota dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru.
Namun karena pajak daerah tidak boleh tumpang tindih dengan Pajak Pusat dan Pajak
Propinsi, diperkirakan daerah memiliki basis pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta
bervariasi antar daerah. Hal ini bagi sementara daerah berarti memperkecil kemampuan
manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya tergolong kecil dalam total penerimaan daerah. Sebagian besar penerimaan daerah
masih berasal dari bantuan Pusat. Banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi “usaha”
daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan kemampuan “negosiasi”
daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah yang mengakibatkan
pemungutan pajak cenderung dibebani oleh biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong
memiliki tingkat buoyancy yang rendah karena diterapkan sistem “target” dalam pungutan

9
daerah. Akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target, walaupun dari sisi
pertumbuhan ekonomi pemasukkan pajak dan retribusi daerah dapat melampaui target.
4. Adanya aspek teknis seperti tariff, dan dasar penetapan yang kurang mencerminkan asas
kemampuan dan keadilan sehingga menimbulkan hambatan dalam pelaksanaannya misalnya
si wajib pajak/retribusi tidak mampu atau bahkan tidak bersedia membayar pungutan yang
dibebankan kepada mereka.
5. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah yang mengakibatkan
kebocoran. Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat
kecil kurang dari 10% hingga 50%. Variasi dalam penerimaan ini diperparah lagi dengan
sistem bagi hasil (bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya
menguntungkan daerah tertentu). (2) Distribusi pajak antar daerah timpang karena basis
pajak antar daerah sangat bervariasi (ratio PAD tertinggi dengan terendah mencapai 600. (3)
Adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk, keadaan geografis (berdampak
pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan masyarakat, sehingga mengakibatkan biaya
penyediaan pelayanan kepada masyarakat sangat bervariasi. (4) ‘Sistem tax assignment’ di
Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah Pusat untuk
mengumpulkan pajak-pajak potensial seperti : pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai
dan bea masuk. Distribusi kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang,
penerimaan pajak yang dipungut daerah hanya 3,39% dari total penerimaan pajak (Pajak
Pusat dan Pajak Daerah).
6. Ketimpangan dalam penguasaaan sumber-sumber penerimaan pajak memberikan petunjuk
bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia dari sisi
revenue assignment masih terlalu ”sentralistis”. Dari gambaran consolidated revenues APBD
dan APBN (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi + Penerimaan Dalam Negeri dalam APBN),
porsi PAD hanya sebesar 5,30% dari total consolidated revenues, di lain pihak pengeluaran
yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari consolidated expenditures.

Selain itu dilihat dari pelaksanaannya, UUno 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah ( PDRD ) mempunyai beberapa kelemahan :
1. Ulah daerah yang berlebihan dalam mengartikan desentralisasi fiskal dimana terjadi
euphoria dalam arti sempit. Kebebasan menetapkan PDRD di luar yang ditetapkan secara
eksplisit dalam undang-undang tersebut telah dimanfaatkan oleh daerah untuk membuat
Perda mengenai PDRD yang bertentangan dengan apa yang diatur dalam undang-undang

10
tersebut dan menciptakan pungutan yang merugikan perekonomian daerah dengan
membebani masyarakat

2. Hal tsb menyebabkan banyak keluhan dari para pelaku usaha di daerah yang merasa
terganggu oleh banyaknya pungutan terutama PDRD yang meningkatkan compliance cost
( biaya pemenuhan perpajakan dan retribusi ) dalam melakukan kegiatan usaha di daerah.
Hal ini akan menurunkan daya saing invstasi daerah ybs.

3. Sistem dan prosedur pemungutan yang masih konvensional dan masih banyaknya sistem
berjalan secara parsial, sehingga besar kemungkinan informasi yang disampaikan tidak
konsisten, versi data yang berbeda dan data tidak up-to-date.
4. Dalam UU No. 34 tahun 2000 tidak diatur sanksi terhadap daerah yang menetapkan Perda
yang bertentangan dengan aturan perundang-undangan serta mengganggu kepentingan
umum, sehingga daerah seenaknya menetapkan PDRD di daerah mereka. Pengawasan yang
represif namun tidak disertai sangsi atas pelanggaran pemungutan pajak dan retribusi
menyebabkan beberapa daerah yang Perda PDRD-nya dibatalkan masih berani melakukan
pungutan walau Perdanya secara hukum sudah dibatalkan
5. Lemahnya pengawasan juga menyebabkan banyak daerah yang tidak menyampaikan Perda
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah kepada pemerintah untuk menghindari
pembatalan.
6. Banyaknya Perda yang dibuat oleh daerah adalah karena misalnya pejabat pemerintah
daerah dibebani target oleh DPRD untuk meningkatkan PAD yang dijadikan sebagai tolok
ukur keberhasilan kinerja aparat daerah.
7. Retribusi beberapa Pemda yang dikenakan kepada industri pertambangan menyangkut pajak
lingkungan, padahal sejak awal sebelum industri tambang berdiri, perusahaan sudah melalui
berbagai kontrol dan monitoring dari pemerintah. Selain itu perusahaan menyediakan dana
untuk CSR ( Corporate Social Responsibility ).

Rekomendasi yang dapat diberikan


Dalam rangka penguatan taxing power daerah, maka ada beberapa kebijakan yang perlu
dilakukan antara lain : (1) menyelaraskan perpajakan dan retribusi daerah dengan kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan daerah; (2) memperluas basis pajak daerah dan memberikan
keleluasaan dalam penerapan tarif; dan (3) mempertegas dan memperkuat dasar-dasar

11
pemungutan pajak dan retribusi daerah. Implementasi kebijakannya dapat dilakukan antara lain
dengan cara sebagai berikut.
1. Perluasan basis pajak daerah, untuk :
(1) memudahkan daerah untuk menyesuaikan pendapatannya, juga untuk mengurangi grey
area antara perpajakan pusat dan daerah.
(2) meningkatkan keadilan dalam perpajakan
Misalnya dalam : perluasan objek pajak kendaraan bermotor atas kendaraan, perluasan
objek pajak hotel, restoran

2. Penetapan tarif
Pemerintah daerah perlu diberi kewenangan untuk menetapkan tarif pajak sesuai dengan
tarif maksimal yang ditetapkan dalam undang-undang. Dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas, pemerintah daerah harus dapat memberikan alasan yang kuat tentang
besarnya tarif yang ditetapkan.

3. Penetapan retribusi daerah


(1) Pemungutan retribusi harus dilakukan secara lebih transparan, agar beban retribusi yang
harus dibayar oleh masyarakat dapat lebih jelas dan akuntabel.
(2) Pemungutan retribusi daerah harus terkait dengan fungsi pelayanan dan perizinan yang
menjadi urusan/ kewenangan daerah.
(3) Penambahan jenis retribusi baru tidak lagi diserahkan kepada daerah tetapi diatur oleh
Pemerintah dan akan disesuaikan dengan pengaturan mengenai pembagian kewenangan
antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

4. Penambahan jenis pajak daerah


Penambahan jenis pajak baru dilakukan dengan memperhatikan kriteria-kriteria pajak
daerah yang baik yang secara teori dan praktik telah teruji. Contohnya pajak bagi tenaga
asing yang bertugas ke daerah harus menjadi pendapatan daerah, pajak penggunaan wilayah
udara belum diatur dalam UU perpajakan.

5. Reformulasi Kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah


Reformulasi kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan dengan sasaran
mengurangi subsidi melalui pengurangan konsumsi BBM. Kepala daerah juga perlu diberi
peluang untuk menerapkan tarif progresif, khususnya tarif pajak kendaraan bermotor.

12
6 .Pengawasan
Daerah harus diawasi secara lebih ketat dalam pemungutan pajak dan retribusi. Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pengawasan dilakukan secara
preventif dan represif. Hasil evaluasi perda dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan.
(1) Kepada daerah juga dikenakan sanksi apabila tidak menyampaikan perda kepada
Pemerintah, atau bagi daerah yang tetap melaksanakan perda yang telah dibatalkan,
dengan melakukan penundaan penyaluran transfer ke daerah.
(2) Pembatalan perda atau meminta pemda merevisi Perda yang dianggap memberatkan
pengusaha dan berlebihan serta tidak sesuai dengan UU no 34 tahun 2000.

7. Mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan memperbaiki basis data wajib pajak

8. Menggunakan teknologi informasi secara terpadu dalam sistem perpajakan untuk


menggantikan sistem manual agar mengurangi kesalahan dan meningkatkan efisiensi dalam
penghitungan.

13
14
15

You might also like