You are on page 1of 19

ABSTRAK Latar belakang : Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga harmonis, bahagia dan saling mencintai, namun

pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan sedih karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, seksual, emosional, maupun penelantaran. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Kondisi yang demikian cenderung mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang secara natural, bahkan menghambat anak berprestasi di sekolahnya. Untuk dapat menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, kiranya perlu dilakukan penanganan secara psikologis dan edukatif terhadap kasus KDRT, baik yang sifatnya kuratif maupun preventif, sehingga bukan saja berarti bagi pelaku KDRT, melainkan utamanya bagi kurban KDRT dan masyarakatnya secara lebih luas. Deskripsi Kasus : Seorang perempuan yang melaporkan tindak kekerasan fisik oleh suami dalam rumah tangga ke polres jakarta pusat, berupa dorongan terhadap badan istri (korban) sampai terjatuh dilantai dan menjambak rambutnya, sampai jilbabnya terlepas dan disaksikan oleh puterinya yang berusia 10 tahun. Diskusi : Istri memang sangat sering menjadi korban paling dalam kekerasan dalam rumah tangga, namun disini dampak yang terjadi tidak hanya fisik dari istri (korban), psikis pada istri dan anak pun terkena, apalagi anak tersebut menjadi saksi dalam kasus KDRT tersebut. Simpulan : Keharmonisan harus sangat dijaga dalam rumah tangga begitupun dengan kepercayaan yang diiringi dengan sebuah komunikasi yang baik akan mengurangi kasus KDRT.

LATAR BELAKANG Setiap keluarga memimpikan dapat membangun keluarga harmonis, bahagia dan saling mencintai, namun pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan sedih karena terjadi kekerasan dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, seksual, emosional, maupun penelantaran. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, terlebih-lebih di era terbuka dan informasi yang kadangkala budaya kekerasan yang muncul lewat informasi tidak bisa terfilter pengaruh negatifnya terhadap kenyamanan hidup dalam rumah tangga. Kondisi yang demikian cenderung mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga mereka tidak bisa tumbuh dan berkembang secara natural, bahkan menghambat anak berprestasi di sekolahnya. Untuk dapat menyelamatkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, kiranya perlu dilakukan penanganan secara psikologis dan edukatif terhadap kasus KDRT, baik yang sifatnya kuratif maupun preventif, sehingga bukan saja berarti bagi pelaku KDRT, melainkan utamanya bagi korban KDRT dan masyarakatnya secara lebih luas. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya. Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, 4 dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam UndangUndang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).

PRESENTASI KASUS Pada awalnya R seorang perempuan berusia 41 tahun telah menikah dengan I (tersangka), pada tanggal 21 mei 1994 di KUA Kec.Semarang selatan Kotamadya Semarang Jawa Tengah dan penikahan tersebut sah secara hukum dan agama serta terdapat buku nikah. Ny.rina menerangkan dari pernikahannya dengan Tn.irwan telah dikaruniai keturunan yaitu 4 orang anak, diantaranya 1.) Sita umur (13tahun), 2.) Rahman umur (12tahun), 3.) Bubu umur (10 tahun), 4.) Siti umur (2tahun). R menerangkan bahwa tersangka I melakukan kekerasan dalam rumah tangga dengan cara mendorong korban R hingga terjatuh kemudian setelah jatuh jilbab korban ditarik oleh tersangka keudian menjambak rambut korban R dengan tangannya. R menerangkan awal mula dari kejadian dalam rumah tangga tersebut pada hari jumat 10 Oktober 2008 korban R menemui tersangka di jl. Bendungan asuhan no.11 Rt 06 / Rw 02 Kel.Bendungan Hilir Tanah Abang Jakarta Pusat di rumah I untuk membicarakan masalah kunci mobil sedan merk Nissan Theana yang dipegang dan pembayaran mobil phanter, setelah itu sesampainya dirumah I , lalu tersangka langsung menanyakan dimana kunci mobil yang korban pegang kemudian korban menjawab kunci mobilnya dititpkan ke orang yang tidak tahu namanya kemudian tersangka berusaha ingin merebut tas korban namun tidak berhasil karena korban menarik tas kembali dan berusaha mempertahankan lalu korban marah dan mendorong korban hingga terjatuh ke lantai dan menarik jilbab korban gunakan dengan disaksikan puterinya Bubu yang berusia 10 tahun dan seoran pembantu rumah tangga. Selanjutnya A berusia 40 tahun (yang didalam rumah itu sebagai pembantu rumah tangga ) berusaha melerai tetapi tidak bisa melerainya, setelah itu korban bangun dan lari ke kamar untuk mengambil jilbab lalu I masuk kekamar melalui pintu belakang, selanjutnya I masih mengejar R ingin merebut tas yang dipegang R dan R pun berusaha lari keluar rumah dan menuju pintu tetapi pintunya dikunci oleh I kemudian R berlari menuju kamar anak-anak dari R tetapi I menarik kembali jilbab R sampai terbuka kemudian I menjambak kembali rambut R dan Bubu sebagai anak mereka berteriak dan mengatakan bapak jangan bapak , lalu I melepas tangannya dan R menuju kekamar anak-anak tetapi I masih mengejarnya karena didalam kamar ada teman-teman dari Bubu lalu I pergi dari rumah. R menerangkan pada saat I melakukan kekerasan dalam rumah tangga tidak menggunakan alat apa-apa tetapi menggunakan tangan sebelah kanan dan pada saat terjadi kejadian tersebut posisinya R dan I sama-sama berdiri dengan jarak setengah meter. R menjelaskan bahwa akibat dari peristiwa tersebut yaitu terdapat luka cakar pada bagian leher belakang siku setelah kanan dan lutut mengalami luka memar yang sesuai dengan visum dan kejadian tersebut dan yang melihat yaitu Bubu (anak mereka) dan A (pembantu rumah tangga), setelah itu R menerangkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh I telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 3 kali dan R sudah tidak tinggal satu rumah dan sekarang R tinggal dirumah kost daerah Pramuka Jakarta Pusat.

I tidak pernah melakukan kekerasan fisik dalam rumah tangga yang dilaporkan oleh R, namun sebenernya yang terjadi adalah pada hari jumat 10 Oktober 2008 pukul 10.30 wib dirumah I, I ingin mengambil kunci mobil nissan theana dari R dan tersangka tidak mengetahui jilbab yang digunakan R tertarik atau tidak. I menjelaskan bahwa keterangan dari R adalah tidak benar dan yang benar adalah pada saat I menarik tas yang dipegang R dan terjadilah tarik-menarik antara R kemudian R memanggil A lalu memisahkan mereka yang sedang tarik-menarik tas dan R terjatuh kelantai di depan sofa yang ada diruang keluarga. I pun menjelaskan menurut keterangan R adalah tidak benar yaitu mencakar leher korban, yang benar adalah pada saat tersangka mengambil kunci yang dipegang R karena tidak sengaja tubuh R terjatuh ke lantai. I pun menjelaskan bahwa jarak antara R adalah 1,5 meter dan R sudah tidak tinggal satu rumah dengan I semenjak 4 bulan yang lalu sampai sekarang. Kesaksian puteri R menyebutkan bahwa kronologis kejadiannya adalah A sedang bermain dikamar bersama teman-temannya dan keluar kamar setelah R memanggil A dan Bubu melihat R dan saksi langsung bergegas keluar dan melihat I sedang menjambak rambut R dan memarahi sambil berteriak-teriak. Dari kesaksian pembantu rumah tangga didapatkan ketika A sedang masak di dapur ketika tiba-tiba dari ruang tengah R memanggil A, kemudian setelah mendengar teriakan tersebut A menghampiri R dan melihat I berkata sini kuncinya, sini kuncinya sambil menarik-narik tas yang sedang dipegang R dan jilbab yang dipakai R dipaksa ditarik oleh I, dan A berusaha menolong R dengan cara melepas jilbabnya R agar tidak kesakitan. Setelah terlepas jilbabnya R segera berlari menuju kekamarnya dan berusaha mengejar melalui pintu belakang kemudian setelah melihat tersangka masuk dalam kamar dan R keluar dari kamar dan tersangka menyuruh A untuk meminta kunci mobil tersebut karena A bingung akhirnya A balik kerumah.

DISKUSI Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pengasuh, orangtua, atau pasangan. KDRT dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk, di antaranya: Kekerasan fisik, penggunaan kekuatan fisik; kekerasan seksual, setiap aktivitas seksual yang dipaksakan; kekerasan emosional, tindakan yang mencakup ancaman, kritik dan menjatuhkan yang terjadi terus menerus; dan mengendalikan untuk memperoleh uang dan menggunakannya. Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, 4dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam UndangUndang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). Lau dan Kosberg, (1984) melalui studinya menegaskan bahwa ada empat tipe kekerasan, di antaranya: physical abuse, psychological abuse, material abuse or theft of money or personal property, dan violation of right. Berdasarkan studinya anak-anak yang menjadi korban KDRT cenderung memiliki ketidakberuntungan secara umum. Mereka cenderung menunjukkan tubuh yang lebih kecil, memiliki kekuatan yang lebih lemah, dan merasa tak berdaya terhadap tindakan agresif. Lebih jauh lagi bentuk-bentuk KDRT dapat dijelaskan secara detil. Pertama, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat (Pasal 6). Adapun kekerasan fisik dapat diwujudkan dengan perilaku di antaranya: menampar, menggigit, memutar tangan, menikam, mencekek, membakar, menendang, mengancam dengan suatu benda atau senjata, dan membunuh. Perilaku ini sungguh membuat anak-anak menjadi trauma dsalam hidupnya, sehingga mereka tidak merasa nyaman dan aman. Kedua, kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang (pasal 7). Adapun tindakan kekerasan psikis dapat ditunjukkan dengan perilaku yang mengintimidasi dan menyiksa, memberikan ancaman kekerasan, mengurung di rumah, penjagaan yang berlebihan, ancaman untuk 5 melepaskan penjagaan anaknya, pemisahan, mencaci maki, dan penghinaan secara terus menerus. Ketiga, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi (pasal 8): (a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Keempat, penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang

menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (pasal 9). Penelantaran rumah tangga dapat dikatakan dengan kekerasan ekonomik yang dapat diindikasikan dengan perilaku di antaranya seperti : penolakan untuk memperoleh keuangan, penolakan untuk memberikan bantuan yang bersifat finansial, penolakan terhadap pemberian makan dan kebutuhan dasar, dan mengontrol pemerolehan layanan kesehatan, pekerjaan, dan sebagainya. Sebelum menjelaskan lebih lanjut, saya ingin menyampaikan dulu beberapa pengertian tentang tindak kekerasan agar diperoleh kesamaan pemahaman tentang pokok yang dimaksud. Di masyarakat, tindak kekerasan terhadap anak lebih dikenal dengan istilah penganiayaan anak. Menurut Kaplan, tindak kekerasan adalah tiap bentuk perilaku menyakiti atau melukai orang lain. Menurut Atkinson, tindak kekerasan adalah perilaku melukai orang lain, secara verbal (kata-kata yang sinis, memaki dan membentak) maupun fisik (melukai atau membunuh) atau merusak harta benda. Menurut UU RI No. 23 Th. 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal. 2 : Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Bentuk KDRT 1. Kekerasan Fisik Bentuk kekerasan fisik adalah salah satu yang paling banyak terjadi dan paling mudah dilihat akibatnya. Hal ini terjadi karena salah satu pasangan kurang mampu mengendalikan emosi, untuk menyalurkan perasaan agresinya maka terjadilah bentuk kekerasan fisik. Bentuknya dapat bermacam-macam, mulai dari penganiayaan ringan hingga berat. Pasangan yang kurang matang secara emosional, kurang mampu mengkomunikasikan kebutuhan dan saling memahami sering menjadi pemicu munculnya kekerasan fisik. 2. Kekerasan Psikis Bentuk kekerasan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kekerasan psikis atau mental. Bisanya muncul dalam bentuk kata-kata penghinaan, pelecehan, bentakan serta ancaman dan lain-lain. Hal yang kerap kali terjadi adalah salah satu pasangan memutuskan komunikasi. Karena merasa jengkel dan tidak 6

mampu mengekspresikan perasaannya, biasanya salah satu pasangan akan memilih untuk tidak berbicara dengan pasangannya. Sebagian pasangan akan merasa tidak nyaman dengan kondisi ini, sebab merasa tidak tahu harus berbuat apa karena pasangannya tutup mulut. Sering kali salah satu pihak (suami/istri) mengharapkan dimengerti oleh pasangannya dengan tindakan tutup mulut. Jika hal ini terjadi pemecahan masalah akan menjadi semakin lama. 3. Kekerasan Ekonomi Pihak yang sering menjadi korban pada bentuk kekerasan ekonomi adalah istri. Bagi istri yang memiliki pekerjaan mungkin tidak terlalu besar dampaknya, akan lain ceritanya jika istri hanya sebagai ibu rumah tangga. Biasanya berbentuk tidak diberikan nafkah atau biaya hidup oleh suami. Masalah ekonomi sering menjadi penghambat dalam kasus penyelesaian KDRT. Ada keengganan dari salah satu pasangan untuk melaporkan pasangannya kepada pihak berwenang, situasi ini mengakibatkan korban berada dalam posisi yang sangat lemah. Karena jika ia melaporkan pasangannya maka akan muncul masalah baru yakni masalah ekonomi. Sehingga tidak jarang ditemui korban yang sebelumnya melaporkan pasangannya pada akhirnya menarik kembali laporannya. 4. Kekerasan Seksual Bentuk kekerasan lain adalah kekerasan seksual. Salah satu bentuknya adalah pemaksaan keinginan untuk melakukan hubungan seksual kepada pasangan. Salah satu pasangan mungkin saja tidak sedang dalam suasana hati yang nyaman untuk berhubungan, namun tetap diminta untuk melayani keinginan pasangannya. Bentuk yang lebih ekstrim lagi adalah adanya eksploitasi secara seksual terhadap pasangan (biasanya istri) dengan motif tertentu. Bagi pelaku KDRT, tersangka diancam UU No 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pasal 44 tentang penganiayaan dengan ancaman kurungan 5 tahun, Pasal 45 (psikis) ancaman 3 tahun, Pasal 46 (seksual) ancaman 12 tahun dan Pasal 49 (penelantaran) dengan ancaman 3 tahun penjara. Yang paling sulit penyidik menindaklanjutinya, adalah pasal psikis dan penelantaran. Sebab, buktinya tidak ada dan sulit didapatkan. Hanya saja, penyidik mengejar dan mendatangkan saksi ahli. Penyebab terjadinya KDRT Ada tiga teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori frustasiagresi, dan teori kontrol. Pertama, teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu instink agressif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan manusia-manusia itu untuk menikmati 6 tindakan melukai dan membunuh orang lain dan dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Walaupun teori frustasi-agresi sebagian besar dikembangkan oleh para 7

psikolog, beberapa sosiolog telah menarpkan teori untuk suatu kelompok besar. 7 Mereka memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh kaum minoritas telah menunjukkan angka kekerasan yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesmepatan, dan ketidakadilan lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua menginginkan semua banda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan yang masuk akal terhadap angka kekarasan yang tinggi bagi penduduk minoritas. Travis Hirschi memberikan dukungan kepada teori ini melalu temuannya bahwa remaja putera yang memiliki sejarah prilaku agresif secara fisik cenderung tidak memiliki hubungan yang dekat dengan orang lain. Selain itu juga dinyatakan bahwa kekerasan mengalami jumlah yang lebih tinggi di antara para eks narapidana dan orang-orang lain yang terasingkan dari temanteman dan keluarganya daripada orang-orang Amerika pada umumnya. Setelah memperhatikan ketiga teori tersebut, kiranya variasi kekerasan di masyarakat untuk sementara ini disebabkan oleh tiga faktor tersebut. Bagaimana dengan penyebab munculnya KDRT, lebih khususnya di Indonesia. Menurut hemat saya, KDRT di Indonesia ternyata bukan sekedar masalah ketimpangan gender. Hal tersebut acapkali terjadi karena: Kurang komunikasi, Ketidakharmonisan. Alasan Ekonomi Ketidakmampuan mengendalikan emosi 8 Ketidakmampuan mencari solusi masalah rumah tangga apapun, dan juga Kondisi mabuk karena minuman keras dan narkoba. Perkembangan Psikologis Anak Psikologi Perkembangan merupakan salah satu cabang dari psikologi khusus yang mempelajari perilaku dan perubahan perilaku individu dalam berbagai tahap perkembangan, mulai dari masa sebelum lahir (prenatal), masa bayi, masa kanakkanak, masa anak kecil, masa anak sekolah dasar, masa remaja awal, masa remaja tengah dan adolesen, masa dewasa muda, dewasa dan dewasa tua, serta masa usia lanjut. Tiap tahap masa perkembangan tersebut menjadi obyek studi dari psikologi sebab setiap masa memiliki ciri-ciri atau karakteristik perkembangan yang berbeda. Karakteristik Anak Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia TK merupakan periode yang penting yang perlu mendapat penanganan sedini mungkin. Maria Montessori (Elizabeth B. Hurlock, 1978 : 13) berpendapat bahwa usia 3 - 6 tahun sebagai periode sensitive atau masa peka yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Misalnya masa peka untuk berbicara pada periode ini tidak terlewati maka anak akan mengalami kesukaran dalam kemampuan berbahasa untuk periode selanjutnya. Demikian pula pembinaan karakter anak. Pada periode tersebut karakter anak harus dapat dibangun melalui kegiatan dan pekerjaan. Jika pada periode ini anak tidak didorong aktivitasnya, perkembangan kepribadiannya akan menjadi terhambat. Masa-masa sensitif mencakup sensitivitas terhadap keteraturan lingkungan, sensitivitas untuk mengeksplorasi lingkungan dengan lidah dan tangan, sensitivitas untuk berjalan, sensitivitas terhadap obyek-obyek kecil dan detail, serta

sensitivitas terhadap aspek-aspek sosial kehidupan. Erikson (Helms & Turner, 1994 : 64) memandang periode ini sebagai fase sense of initiative. Pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan inisiatifnya, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Jika anak tidak mendapat hambatan dari lingkungannya, maka anak akan mampu mengembangkan inisiatif, dan daya kreatifnya, dan hal-hal yang produktif dalam bidang yang disenanginya. Guru yang selalu menolong, memberi nasehat, mengerjakan sesuatu di mana anak dapat melakukan sendiri maka anak tidak mendapat kesempatan untuk berbuat kesalahan atau belajar dari kesalahan itu. Pada fase ini terjamin tidaknya kesempatan untuk berprakarsa (dengan 7 adanya kepercayaan dan kemandirian yang memungkinkannya untuk berprakarsa), akan menumbuhkan inisiatif. Sebaliknya kalau terlalu banyak dilarang dan ditegur, anak akan diliputi perasaan serba salah dan berdosa (guilty). Kartini Kartono (1986:113) mengemukakan bahwa ciri khas anak masa kanak-kanak adalah sebagai berikut : (1) bersifat egosentris naif, (2) mempunyai relasi sosial dengan benda-benda dan manusia yang sifatnya sederhana dan primitif, (3) kesatuan jasmani dan rohani yang hampir-hampir tidak terpisahkan sebagai satu totalitas, dan (4) sikap hidup yang fisiognomis. Kartini Kartono menjelaskan bahwa seorang anak yang egosentris memandang dunia luar dari pandangannya sendiri, sesuai dengan pengetahuan dan pemahamannyasendiri. Sikap egosentris yang naif ini bersifat temporer, dan senantiasa dialami oleh setiap anak dalam proses perkembangannya. Relasi sosial yang primitif merupakan akibat dari sifat egosentris yang naif tersebut. Ciri ini ditandai oleh kehidupan individual dan sosialnya masih belum terpisahkan. Anak hanya memiliki minat terhadap benda-benda dan peristiwa yang sesuai dengan daya fantasinya. Dengan kata lain anak membangun dunianya dengan khayalan dan keinginannya. Kesatuan jasmani dan rohani yang tidak terpisahkan, maksudnya adalah anak belum dapat membedakan dunia batiniah dengan lahiriah. Isi lahiriah dan batiniah merupakan suatu kesatuan yang bulat, sehingga penghayatan anak diekspresikan secara spontan. Anak bersikap fisiognomis terhadap dunianya, artinya secara langsung anak memberikan atribut pada setiap penghayatannya. Anak tidak bisa membedakan benda hidup dengan benda mati. Setiap benda dianggapnya berjiwa seperti dirinya, oleh karena itu anak sering bercakap-cakap dengan bonekanya, dengan kucing, dengan kelinci dan sebagainya. Rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri lain yang menonjol pada anak usia 4-5 tahun. Anak memiliki sikap berpetualang (adventurousness) yang kuat. Anak akan banyak memperhatikan, membicarakan atau bertanya tentang berbagai hal yang sempat dilihat atau didengarnya.8 Pertumbuhan fisik anak usia 4-5 masih memerlukan aktivitas yang banyak. Kebutuhan anak untuk melakukan berbagai aktivitas sangat diperlukan, baik untuk pengembangan otot-otot kecil maupun otot-otot besar. Gerakan-gerak fisik ini tidak sekedar penting untuk mengembangkan keterampilan fisik saja, tetapi juga dapat berpengaruh positif terhadap penumbuhan rasa harga diri anak dan bahkan perkembangan kognisi. Keberhasilan anak dalam menguasai keterampilanketerampilan motorik dapat membuat anak bangga akan dirinya. Sejalan dengan perkembangan keterampilan fisiknya, anak usia sekitar lima tahun ini semakin berminat pada teman-temannya. Ia akan mulai menunjukkan hubungan dan kemampuan bekerja sama yang lebih intens dengan teman-temannya.

Anak memilih teman berdasarkan kesamaan aktivitas dan kesenangan. Kualitas lain dari anak usia ini adalah abilitas untuk memahami pembicaraan dan pandangan orang lain semakin meningkat sehingga keterampilan komunikasinya juga meningkat. Penguasaan akan keterampilan berkomunikasi ini membuat anak semakin senang bergaul dan berhubungan dengan orang lain. Anak usia TK adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan sangat pesat dan sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya. Anak memiliki dunia dan karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dari dunia dan karakteristik orang dewasa. Anak sangat aktif, dinamis, antusias dan hampir selalu ingin tahu terhadap apa yang dilihat dan didengarnya serta seolah-olah tak pernah berhenti untuk belajar. Dampak KDRT terhadap Anak Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi. Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya sebagai berikut: 1. Dampak terhadap Anak berusia bayi Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan kemampuan kognitif dan beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa anak bayi yang menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anakanak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi. 2. Dampak terhadap anak kecil Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya. Penelitian Cummings dkk (1981) menilai terhadap expresi marah dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang merespon dalam interaksinya dengan kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya sikap agresif terhadap teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung lebih agresif daripada anak-anak perempuan selama simulasi, sebaliknya anak perempuan cenderung lebih distress daripada anak laki-laki. Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang

10

rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat. 3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anakanak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua, 17%-nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non-TK, 10 baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi daripada anakanak non-TK. deLange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa. 4. Dampak terhadap Anak usia SD Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelsaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem prilaku lebih banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, 11memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki

11

kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi. 5. Dampak terhadap Anak remaja Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini.Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga yang penuh kekarasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan menjadikan isteri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh Rosenbaum dan OLeary (1981) bahwa tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang penuh kekerasa akan mengulangi pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apapun kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih dipresif Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiyaya istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan menyiksa dan menghina pasangannya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka seringkali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan tindakan ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia ada anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun diperlakukan kejam. Akibat kekerasan tidak sama pada semua anak. Diantara ciri-ciri anak yang menyaksikan atau mengalami KDRT adalah : Sering gugup Suka menyendiri Cemas Sering mengompol Gelisah Gagap Sering menderita gangguan perut Sakit kepala dan asma Kejam pada binatang Ketika bermain meniru bahasa dan perilaku kejam Suka memukul teman Batterred child syndrome

12

Gangguan tumbuh kembang anak PTSD pada anak Depresi pada anak Perilaku agresif-implusif Gangguan perilaku lainnya (gangguan perilaku sexual, drug abuse,dll)

Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiyayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan. Pengaruhnya terhadap hubungan sosial anak dengan lingkungannya juga menjadi terganggu. Ia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, anak dapat tumbuh menjadi orang yang kurang mampu dalam mengendalikan perasaannya, tumbuh menjadi orang yang tertutup, kurang komunikatif, dan kurang percaya diri. Di lingkungan luar rumah anak akan memperoleh berbagai macam model perilaku, ketika banyak hal berbeda dengan apa yang ia temui sehari-hari di rumah, dapat menyebabkan anak merasa asing dengan lingkungannya. Ia akan bertingkah laku berdasarkan referensi yang telah dimilikinya. Anak akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Anak yang tumbuh dalam rumah tangga kurang harmonis akibat adanya tindak kekerasan akan memiliki tingkat kecemasan yang tinggi dalam dirinya. Tingkat kecemasan ini akan berpengaruh terhadap setiap aktivitas yang dilakukannya. Anak dapat merasa tidak tenang dalam beraktivitas karena ia selalu mengingat dan mengkhawatirkan kondisi orang tuanya. Pengalaman yang telah tertanam dalam dirinya tidak akan bisa hilang sampai kapanpun, walaupun berusaha dilupakan, namun pengalaman tersebut akan tetap mengendap atau tersimpan dalam ketidaksadaran dan suatu saat dapat muncul kembali ke kesadaran. Pencetusnya dapat bermacam-macam. Mulai dari hal yang paling sepele hingga hal yang cukup berat. Sehingga dampak yang ditimbulkan oleh adanya KDRT lebih banyak negatifnya. Oleh karena itu sangat penting kiranya kita semua secara bersama-sama meningkatkan kesadaran dan memperkuat komitmen untuk sedikit demi sedikit menghapuskan KDRT dari lingkungan yang paling dekat dengan kita.

13

Penatalaksanaan Jauhkan anak dari pelaku kekerasan Evaluasi psikologik , identifikasi problem mental, rujukan ahli Pendampingan oleh konselor anak terlatih Evaluasi keluarga dan terapi Anak kembali pada keluarga harus masih dalam pengawasan lembaga khusus Amati kondisi fisik, psikologis. dan sosialnya. Buat rujukan kepada tenaga ahli atau profesional untuk menangani anak tersebut, agar dapat di tolong dan dihindarkan dari perkembangan yang kurang sehat. Mendidik dan menyadarkan keluarga dari akibat tindak kekerasan yang dilakukan. Bila terpaksa, pelaku dapat dilaporkan kepada pihak berwenang seperti kepolisian, lembaga perlindungan anak, dan wanita, atau panti dan yayasan yang merawat anak-anak terlantar.

14

KESIMPULAN Setiap keluarga pada awalnya selalu mendambakan kehidupan rumah tangga yang aman, nyaman, dan membahagiakan. Secara fitrah perbedaan individual dan lingkungan sosial budaya berpotensi untuk menimbulkan konflik. Bila konflik sekecil apapun tidak segera dapat diatasi, sangatlah mungkin berkembang menjadi KDRT. Kejadian KDRT dapat terwujud dalam bentuk yang 14 ringan sampai berat, bahkan dapat menimbulkan korban kematian, sesuatu yang seharusnya dihindari. Untuk dapat menyikapi KDRT secara efektif, perlu sekali setiap anggota keluarga memiliki kemampuan dan keterampilan mengatasi KDRT, sehingga tidak menimbulkan pengorbanan yang fatal. Tentu saja hal ini hanya bisa dilakukan bagi anggota keluarga yang sudah memiliki usia kematangan tertentu dan memiliki keberanian untuk bersikap dan bertindak. Sebaliknya jika anggota keluarga tidak memiliki daya dan kemampuan untuk menghadapi KDRT, secara proaktif masyarakat, para ahli, dan pemerintah perlu mengambil inisiatif untuk ikut serta dalam penanganan korban KDRT, sehingga dapat segera menyelamatkan dan menghindarkan anggota keluarga dari kejadian yang tidak diinginkan. Selain itu kita sebagai orang tua harus menjaga pola kehidupan sebaik mungkin apalagi klo di depan buah hati kita , seperti jangan bertengkar di depann nya apalagi sampai terjadi hal yang tidak diingkan. Masa depan anak, kesuksesan maupun kegagalan banyak dipengaruhi oleh peranan orang tua di masa kecil anak. Komunikasi yang dibina dengan semaksimal mungkin akan memberikan dasar terpenting dalam pendidikan anak. Dasar pembinaan komunikasi adalah dengan menanamkan pengertian pada diri orang tua bahwa bayi adalah manusia sepenuhnya sejak kelahiran. Hal inilah yang sering dilupakan oleh orang tua. Orang tua cenderung mengganggap anaknya tidak tahu apa-apa. Orang tua merasa tidak perlu memberikan kesempatan untuk mengkomunikasikan pikirannya kepada anak-anaknya. Mereka menganggap anaknya belum saatnya berbicara dan berdiskusi tentang suatu masalah dalam keluarga tersebut. Padahal mungkin masalah itu berkaitan dengan anak tersebut. Hal inilah yang sering menjadi penyebab terjadinya tindakan kekerasan pada anak dalam keluarganya

15

SARAN Dalam rumah tangga sebaiknya selalu terjalin komunikasi yang baik agar tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Orangtua sebagai jembatan anak-anak menuju proses pendewasaan juga harus memberika contoh-contoh yang baik dan berpendidikan. Jangann menyontohkan atau dengan sengaja membiarkan anak-anak dari buah hati mereka melihat suatu hal tindak kekerasan yang terjadi dalam keluarga tersebut. Selalu mendekatkan diri dengan tuhan sesuai dengan kepercayaan masingmasing , agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak diinginkan. Menjalin hubungan sebaik mungkin dengan pasangan hidup anak maupun pembantu rumah tangga jika ada. Membiarkan anak tumbuh dengan rasa sayang dan cinta kasih. Membiarkan anak tumbuh menjadi remaja yang dipenuhi dengan psikis yang baik tanpa hal hal yang tidak diinginkan.

16

UCAPAN TERIMAKASIH Bismillahirahmanirrahim Assalamualaikum Wr.Wb. Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmatnya saya bisa menyelesaikan penulisan tugas blok elektif dengan kepeminatan Domestic Violence yang berjudul Pernikahan siri berdampak pada kekerasan fisik anak kandung yang menyebabkan mati dan hukumnya menurut agama dan hukum negara Ada pun tugas ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai kelulusan pada blok elektif 2011-2012 Fakultas kedokteran YARSI. Terwujudnya tugas ini adalah bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada: Ibu Dr. Susi Susilowati, Mkes sebagai koordinator pelaksana Blok Elektif 2011-2012. Ibu Dr. Feriyal basbeth, SpF sebagai dosen pakar dan pembimbing akademik.

Ibu Dr. Miranti Pusparini, MPd sebagai pembimbing yang telah membantu dan memberikan kesempatan untuk menyelesaikan tulisan ini. Polres Jakarta Pusat, yang telah memberikan contoh kasus dan membimbing kami khususnya saya selama observasi untuk kelancaran penyelesaian tulisan ini. Penulisan ini juga saya dedikasikan kepada kedua orang tua saya yang selalu mendukung, memberi saran dan menyemangati saya dalam menyelesaikan tulisan ini. Dan kepada Rekan-rekan sejawat yang namanya tidak bisa saya sebutkan satu persatu khususnya kelompok 3 domestic violance atas kerjasamanya selama menjalankan tugas di lapangan sampai terselesaikannya penulisan ini.

Akhir kata saya ucapkan banyak terima kasih khususnya pada pihak-pihak yang saya sebutkan di atas semoga case report ini dapat bermanfaat dan memuaskan berbagai pihak.

17

DAFTAR PUSTAKA Dalyono, M.Drs. (1997). Psikologi Pendidikan. Jakarta : P.T. Rineka Cipta Ginott, Halim G., Dr. (2001). Between parents and child. Jakarta : P.T. Gramedia Pustaka Utama Gunarsa, Singgih D. (1995). Prof. Dr., dan Gunarsa, Yulia Singgih, Dra. Psikologi Perkembangan anak dan Remaja Carlson, B.E. (1984), 'Children's observations of inter-parental violence' in: Battered Women and Their Families, ed. A.R. Roberts, Springer, New York. Christopoulos, C., Cohn, D., Shaw, D., Joyce, S., Sullivan-Hanson, J., Kraft, S. and Emery, R. (1987), 'Children of abused women: adjustmenet at time of shelter residence', Journal of the Marriage and the Family, vol. 49, pp. 611-19. Cummings, E.M., Zahn-Waxler, C. and Radke-Yarrow, M. 1981, 'Young children's responses to expressions of anger and affection by others in the family', Child Development, vol.52, pp.1274-82. Davis, L. and Carlson, B. (1987), 'Observation of spouse abuse: what happens to the children?', Journal of Interpersonal Violence vol.2, no.3, pp.278- 91. Deaux, Kay & Wrightsman, L.S. (1984), Social Psychology in the 80s, Fourth Edition, California: Brooks Cole Publishing Company. deLange, C. (1986), 'The family place children's therapeutic program', Children's Today, pp.12-15. Departemen Hukum dan Ham, (2004), Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Jakarta: Eshlemen, Ross, J. (1988), The Family: An Introduction, Fifth Edition, Boston: Allen and Bacon Hughes, H. (1986), Research with children in shelters: implications for clinical services, Children Today, vol.15, no.2, pp.21-5.

18

19

You might also like