You are on page 1of 43

BAB I PENDAHULUAN

Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis daribahasa Inggris business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi

pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis, yang meningkat dari hari ke hari. Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Eksistensi hukum bisnis baik dalam teori maupun praktik dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini salah satunya karena didorong pertumbuhan ekonomi nasional maupun global yang begitu cepat serta kompleks dengan melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis. Sejalan dengan hal itu, regulasi tata laksana hukum bisnis secara bertahap juga mengikutinya. Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari ke hari, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) di antara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai sebab dan alasan yang

melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat karena aktifitasnya dalam bidang bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis. Sebab-sebab terjadinya sengketa diantaranya: 1. Wanprestasi Wanprestasi (atau ingkar janji) adalah berhubungan erat dengan adanya perkaitan atau perjanjian antara pihak. Baik perkaitan itu di dasarkan perjanjian sesuai pasal 1338 sampai dengan 1431 KUH PERDATA maupun perjanjian yang bersumber pada undang undang seperti di atur dalam pasal 1352 sampai dengan pasal 1380 KUH perdata. Salah satu alasan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan adalah karena adanya wanprestasi atau ingkar janji dari debitur.wanprestasi itu dapat berupa tidak memenuhi kewajiban sama sekali, atasu terlambat memenuhi kewajiban, atau memenuhi kewajibanya tetapi tidak seperti apa yang telah di perjanjikan 2. Perbuatan melawan hukum Melawan hukum bukan hanya untuk pelanggaran perundang-undangan tertulis semata-mata, melaikan juga melingkupi atas setiap pelanggaran terhadap kesusilaan atau kepantasan dalam pergaulan hidup masyarakat. Perbuatan melawan hukum telah diartikan secara luas yakni mencakup salah satu dari perbuatan-perbuatan salah satu dari berikut: a. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. b. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. c. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. d. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik. 3. Kerugian salah satu pihak Apabila salah satu pihak mengalami kerugian yaitu kerugian dalam Hukum Perdata dapat bersumber dari Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum.

4. Ada pihak yang tidak puas atas tanggapan yang menyebabkan kerugian. Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan agar keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi disediakan oleh Negara. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan dalam empat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan menyelesaikan sengketa sesuai yurisdiksinya masing-masing. Keberadaan pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap sengketa harus diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara serta memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum. Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, namun adapula masyarakat yang lebih suka menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan. Alasanalasan kebudayaan menyebabkan beberapa masyarakat cenderung

mengenyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul diantara mereka. Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah

terbukti tidak mampu memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis dan biaya mahal. Menanggapi masalah tersebut, maka muncul yang disebut dengan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan formal. Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu

menyelesaikannya. Di Indonesia sendiri alternatif penyelesaian sengketa ini di atur dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2. 1. Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan: Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat : Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya. Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya. atau organisasi-organisasi terhadap satu objek

2. 2. Prinsip-prinsip Penyelesaian Sengketa


1. Prinsip Itikad Baik (Good Faith) Prinsip Itikad Baik (good faith) adalah prinsip paling fundamental dan paling sentral dalam menyelesaikan sengketa internasional. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan Prinsip ini melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan menggunakan senjata (kekerasan). 3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-cara Penyelesaian Sengketa Prinsip ini memberikan Kebebasan bagi para pihak yang bersengketa untuk memilih cara atau mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (principle of free choise of means). 4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum Yang Akan Diterapkan Terhadap Pokok Sengketa Prinsip Kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan jika sengketanya diselesaikan oleh badan peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum, termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan (ex aequo et bono), yaitu adalah sumber bagi pengadilan untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan atau kelayakan. 5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak Yang Bersengketa (Konsensus) Prinsip ini menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip Kebebasan Memilih Cara Penyelesaian Sengketa dan prinsip Kebebasan Memilih Hukum Yang Akan Diterapkan Terhadap Pokok Sengketa. Prinsip ini akan bisa direalisasikan manakala ada kesepakatan dari pihak yang bersengketa. 6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies Menurut prinsip ini sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh (exhausted). 7. Prinsip Kedaulatan, Kemerdekaan dan Integritas Wilayah Negara Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang bersengketa untuk terus mentaati dan melaksanakan kewajiban internasinal dalam hubungan antar negara berdasarkan prinsip integritas wilayah negara.

2. 3. Cara Penyelesaian Sengketa


Bila sengketa telah terjadi, maka perlu dicarikan cara penyelesaiannya yang tepat. Terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu: 1. Peradilan/Litigasi 2. Di Luar Peradilan/Nonlitigasi

2. 3. 1. Penyelesaian Sengketa Melalui Peradilan/Litigasi


Undang-undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum menyebutkan bahwa Peradilan Umum adalah salah satu pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Sedangkan Kekuasaan Kehakiman sendiri menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah: Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Litigasi/peradilan merupakan jalur konvensional menyelesaikan berbagai sengketa yang timbul. Bila sengketa timbul, maka salah satu pihak yang merasa dirugikan pihak lain dapat membawa sengketa ke Pengadilan Negeri (PN). Litigasi adalah sistem penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan. Sengketa yang terjadi dan diperiksa melalui jalur litigasi akan diperiksa dan diputus oleh hakim. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi seperti yang disebutkan pada pasal 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004. Pasal 11 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menyebutkan bhawa, Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi Negara mempunyai kewenangan sebagai berikut:

a) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung. b) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap c) undang-undang; dan d) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Sedangkan Pasal 12 ayat 1 menyebutkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya c) diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. d) memutus pembubaran partai politik. e) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sisi positif dari Litigasi: 1. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini). Hal ini tercermin pada Pasal 16 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. 2. Biaya yang relatif lebih murah (Salah satu azas peradilan Indonesia adalah Sederhana, Cepat dan Murah). Ini disebutkan dalam Pasal 4

Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi, Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sedangkan sisi negatifnya: 1. Partner asing belum memberikan kepercayaan kepada efektivitas hukum di Indonesia. 2. Proses peradilan memakan waktu yang lama. Karena terbukanya kesempatan untuk mengajukan upaya hukum atas putusan hakim, melalui banding, kasasi dan peninjauan kembali. Dijelaskan dalam Pasal 21, 22, dan 23 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 3. Proses dilakukan terbuka untuk umum. Sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi, Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undangundang menentukan lain, serta Pasal 20 Undang-undang No. 4 Tahun 2004, Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Ketentuan Pasal 16 ayat 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

2. 3. 2. Penyelesaian Sengketa di Luar Peradilan/Nonlitigasi


Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak. Pasal 6 ayat 2 menjelaskan Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis. Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka

para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator (Pasal 6 ayat 4 UU No. 30 Tahun 1999). Walaupun pada undang-undang ini lebih banyak membahas tentang arbitrase, namun masih banyak alternatif lain untuk penyelesaian sengketa. Berikut beberapa model alternatif penyelesaian sengketa: a. Negoisasi/Perundingan Merupakan proses tawar menawar antara pihak yang bersengketa dimana masing-masing berusaha untuk mencapai titik kesepakatan tentang persoalan yang diperseketakan, tanpa campur tangan dari pihak ketiga. Negoisasi dilakukan jika: Telah ada sengketa antara para pihak Belum ada sengketa karena masalahnya belum pernah dibicarakan

Terdapat dua tipe negoisasi, yaitu: 1) Negoisasi Transaksional Para pihak merencanakan suatu peristiwa untuk dilaksanakan. Misalnya negoisasi kontrak lisensi, usaha patungan pemborong bangunan. 2) Negoisasi Penyelesaian Sengketa Para pihak terlibat dalam peerselisihan. Misalnya akibat wanprestasi salah satu pihak. b. Mediasi/Penengah Menurut Blacks Law Dictionary mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak mempunyai kesewenangan untuk menetapkan keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan.

c. Konsiliasi Menurut John Wade dari bond University Dispute Resolution Center, Australia konsiliasi adalah suatu proses dalam mencari solusi untuk para pihak dalam suatu konflik, dengan bantuan seorang pihak ketiga netral (konsiliator), mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan, mempertimbangkan pilihan penyelesaian). Konsiliator dapat menyarankan syarat-syarat penyelesaian dan mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan. Berbeda dengan negosiasi dan mediasi, dalam proses konsiliasi konsiliator mempunyai peran luas. Ia dapat memberikan saran berkaitan dengan materi sengketa, maupun terhadap hasil perundingan. Dalam menjalankan peran ini konsiliator dituntut untuk berperan aktif. Beberapa aturan untuk seorang konsiliator (berlaku juga bagi mediator) yang terdapat dalam Uncitral conciliation rule: 1) Membantu para pihak untuk secara independen. 2) Adil dan objektif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor: Hak dan kewajiban para pihak. Kebiasaan dalam perdagangan. Praktek bisnis yang telah terjadi, termasuk praktek bisnis diantara para pihak. 3) Dapat menemukan bagaimana proses konsiliasi yang dianggapnya layak. 4) Disetiap tingkat, dapat mengajukan proposal penyelesaian sengketa. d. Pencari Fakta Suatu proses yang dilakukan oleh seorang atau tim pencari fakta, baik pihak independan atau hanya sepihak, untuk melakukan proses pencarian fakta terhadap suatu masalah, yang akan menghasilkan suatu rekomendasi yang tidak mengikat. e. Minitrial Disebut juga pengadilan mini, adalah sistem pengadilan swasta untuk menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan terhadap kasus-kasus

perusahaan, yang dilakukan oleh orang yang disebut manajer yang diberi wewenang untuk menegoisasikan suatu settlement di antara para pihak yang bersengketa. f. Ombudsman Merupakan seorang pejabat pubik yang independen, yang diangkat (biasanya oleh parlemen) untuk melakukan kritik, investigasi, dan publikasi terhadap administrasi pemerintah. g. Penilaian Ahli Diperlukan untuk kasus-kasus yang rumit. Kewenangan para ahli hanya sampai sebatas memberikan pendapat saja. h. Pengadilan Kasus Kecil (Small Claim Court) Merupakan sistem peradilan biasa, tetapi memakai prosedur dan sistem pembuktian yang sederhana, pengadilan dimana hanya berwenang mengadili kasus-kasus kecil dengan prosedur cepat dan tidak dibenarkan memakai pengacara. i. Pengadilan Adat Hanya bertugas menyelesaikan masalah-masalah secara adat. j. Arbitrase (Arbitration) Arbitrase menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa (Pasal 1 ayat 4 Undang-undang No. 30 Tahun 1999). Pasal 5 ayat 1 menyebutkan Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.

Pihak penyelesai sengketa dipilih oleh para pihak yang bersangkutan dengan perkara yang disengketakan. Orang yang bertindak untuk menjadi penengah dalam arbitrase disebut arbiter (Pasal 1 ayat 7 Undang-undang No. 30 Tahun1999), biasanya terdiri dari tiga orang. Prinsip-prinsip hukum arbitrase: 1) Efisien 2) Terjangkau dalam artian biaya, waktu dan tempat 3) Proteksi hak para pihak 4) Final and binding 5) Adil 6) Sesuai dengan sense of justice dalam masyarakat 7) Kredibilitas Terdapat dua jenis arbitrase: 1) Arbitrase Ad Hoc yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan perkara tertentu, kehadiran sementara dan kasuistis. Selesai sengketa diputus fungsinya berhenti. 2) Arbitrase kelembagaan/institusional Lembaga/badan arbitrase yang sengaja dibentuk untuk menyelesaikan berbagai macam transaksi bisnis di dunia perdagangan dan industri. Para pihak terikat dalam proses arbitrase melalui dua cara: 1) Clausula Arbitrase (pactum de compromittendo) yaitu telah

dirumuskan dalam kontrak sebelumnya oleh para pihak bahwa bila terjadi sengketa selesaikan melalui arbitrase. Pasal 7 ayat 1 Undangundang No. 30 Tahun 1999 menyatakan, Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase. 2) Persetujuan arbitrase (Akta Kompromis) yaitu karena ada kesepakatan setelah perselisihan terjadi untuk menyelesaikan melalui arbitrase. Pasal 9 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan, Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah

sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Pasal 1 ayat 2 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 menjelaskan bahwa, Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Apabila klausul arbitrase tersebut telah disepakati oleh kedua pihak, maka menurut Pasal 3 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pertimbangan kalangan pebisnis memilih arbitrase: a) Untuk menghindari publisitas. Pasal 27 Undang-undang No. 30 Tahun 1999, Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. b) Untuk menekan biaya penyelesaian sengketa c) Untuk menyelesaikan sengketa dengan cepat d) Menyelesaikan sengketa melalui penggunaan para ahli dibidangnya e) Menghindari penyelesaian sengketa yang tidak adil Macam-macam arbitrase: a) Arbitrase mengikat (Binding Arbitration), putusan bersifat mengikat dan final. b) Arbitrase tidak mengikat (Nonbinding Arbitration), putusan boleh diikuti dan boleh tidak diikuti. c) Arbitrase kepentingan (Interest Arbitration). Tidak memutus suatu sengketa, tetapi dipakai jasanya untuk menciptakan provisi-provisi dalam kontrak setelah mengalami jalan buntu. d) Arbitrase Hak (Right Arbitration). Member putusan terhadap sengketa para pihak, bukan hanya sekedar membuat provisi dalam kontrak. e) Arbitrase Sukarela (Voluntary Arbitration). Dimintakan para pihak, baik dalam kontrak yang bersangkutan ataupun kontrak tersendiri.

f) Arbitrase Wajib (Compulsory Arbitration). Diwajibkan oleh Undangundang. g) Arbitrase Ad Hoc. Arbitrase tidak ada badannya, tetapi hanya menunjuk orang-orang secara bebas oleh para pihak sesuai kesepakatan, dengan memberlakukan aturan hukum tertentu. h) Arbitrase Lembaga. Merupakan lawan dari arbitrase ad hoc, yakni sudah ada lembaga badannya, serta sudah ada aturan mainnya.\ i) Arbitrase nasional. Dimana para pihak yang bersengketa ada dalam satu Negara. j) Arbitrase Internasional. Dimana para pihak yang bersengketa berasal dari Negara-negara yang berbeda. k) Arbitrase kausalitas. Arbitrase yang menyangkut dengan fakta-fakta. l) Arbitrase teknis. Arbitrase yang menyangkut dengan hal-hal yang timbul dari penyusunan dan penafsiran suatu kontrak. m) Arbitrase umum. Berbentuk badan yang mempunyai ruang lingkup di semua bidang hukum. n) Arbitrase bidang khusus. Berbentuk badan yang mempunyai ruang lingkup di bidang hukum tertentu saja. Kelebihan arbitrase: a) Prosedur tidak berbelit b) Biaya murah c) Putusan tidak diekpos di depan umum d) Hukum terhadap pembuktian dan prosedur lebih luwes e) Para pihak yang memilih hukum mana yang diberlakukan oleh arbitrase f) Para pihak dapat memilih sendiri arbiter g) Dapat dipilih arbiter dari kalangan ahli dan bidangnya h) Putusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi i) Putusan umumnya final and binding j) Putusan dapat juga dieksekusi oleh pengadilan, tanpa atau sedikit review.

k) Prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat luas l) Menutup kemungkinan mencoba-coba untuk memilih atau

menghindari pengadilan Kelemahan arbitrase: a) Hanya tersedia untuk perusahaan-perusahaan besar b) Due proses kurang terpenuhi c) Kurangnya kekuasaan dalam hal enforcement dan eksekusi d) Kurangnya kekuasaan untuk menghadirkan barang bukti atau saksi e) Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif f) Putusan tidak dapat diprediksi dan ada kemungkinan timbulnya keputusan yang bertentangan g) Kualitas putusan bergantung pada kualitas arbiter h) Berakibat kurangnya semangat dan upaya untuk memperbaiki pengadilan konvensional i) Berakibat semakin tinggi permusuhan dan hujatan terhadap badanbadan pengadilan konvensional Prosedur arbitrase: 1) Permohonan arbitrase oleh pemohon 2) Pengangkatan arbiter. 3) menunjuk arbiter atau majelis arbitrase oleh para pihak yang bersengketa. Namun Pasal 13 mengemukakan bahwa, Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri. 4) Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Pasal 38 ayat 1, Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase. 5) Penyampaian satu salinan putusan kepada termohon. Setelah menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan

disertai perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari sejak diterimanya salinan tuntutan tersebut oleh termohon (pasal 39). 6) Jawaban tertulis dari pemohon diserahkan kepada arbiter. Pasal 40 ayat 1, Segera setelah diterimanya jawaban dari termohon atas perintah arbiter atau ketua majelisarbitrase, salinan jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon. 7) Salinan jawaban diserahkan kepada termohon atas perintah arbiter. Pasl 40 ayat 2, Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu. 8) Perintah arbiter agar para pihak menghadap arbitrase. Pasal 41, Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2). 9) Para pihak menghadap arbitrase. 10) Tuntutan balasan dari termohon. Pasal 42 ayat 1, Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya pada sidang pertama, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menanggapi. 11) Pemanggilan lagi jika termohon tidak menghadap tanpa alasan yang jelas. Pasal 44 ayat 1, Apabila pada hari yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.

12) Jika termohon tidak juga menghadap siding, pemeriksaan diteruskan tanpa kehadiran termohon dan tuntutan dikabulkan jika cukup alasan untuk itu (Pasal 44 ayat 2). 13) Jika termohon hadir, diusahakan perdamaian oleh arbiter. Pasal 45 ayat 1, Dalam hal para pihak datang menghadap pada hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa. 14) Proses pembuktian. Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase (Pasal 46 ayat 3) 15) Pemeriksaan selesai dan ditutup (maksimal 180 hari sejak arbitrase terbentuk). Pasal 48 ayat 1, Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. 16) Pengucapan putusan. Pasal 56 ayat 1, Arbiter atau majelis arbitrase mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. 17) Putusan diserahkan kepada para pihak. Pasal 56 ayat 2, Para pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak. 18) Putusan diterima para pihak 19) Koreksi, tambahan, pengurangan terhadap putusan. Pasal 58, Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan. 20) Penyerahan dan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri yang berwenang. Pasal 59 ayat 1, Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)

hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. 21) Permohonan eksekusi didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri 22) Putusan pelaksanaan dujatuhkan. Pasal 60, Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 23) Perintah Ketua Pengadilan Negeri jika putusan tidak dilaksanakan. Pasal 61, Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa. Eksekusi Putusan Arbitrase a) Eksekusi secara sukarela Eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan dari pihak Pengadilan Negeri manapun, para pihak melaksanakan sendiri secara sukarela apa saja yang telah diputuskan. b) Eksekusi secara terpaksa Bila tidak mau melaksanakan secara sukarela, maka diperlukan campur tangan pihak pengadilan diperlukan, yaitu dengan memaksa para pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan. Misalnya dengan melakukan penyitaan. Kontrak arbitrase adalah kesepakatan diantara para pihak yang bersengketa untuk membawa ke arbitrase setiap sengketa yang timbul dari suatu bisnis atau transaksi tertentu. Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini : a) meninggalnya salah satu pihak, b) bangkrutnya salah satu pihak, c) novasi, d) insolvensi salah satu pihak, e) pewarisan,

f) berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok, g) bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut, h) berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Arbitrase internasional adalah lembaga maupun arbitrase ad hoc yang melibatkan pihak dari dua Negara yang berbeda. Yang berwenang melakukan eksekusi di Indonesia adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2. 4. Hukum Pembuktian
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya. Kebenaran yang dituju disebut kebenaran materil. Sesuai dengan pasal 1865 KUHP tentang bukti dan daluwarsa Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian kepada Hakim tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Fungsi/Kegunaan dari pembuktian adalah sebagai dasar dari keputusan Hakim untuk memutus suatu perkara. Suatu keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan (Pasal 101 UU Peradilan Tata Usaha Negara /PTUN). Dalam pembuktian, hakim dapat menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktiannya, serta penilaian terhadap bukti-bukti tersebut. Pembagian beban pembuktian itu harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah, pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu soal hokum atau soal yuridis, yang dapat diperjuangkan sampai di tingkat kasasi, yaitu Mahkamah Agung apabila melakukan pembagian beban pembuktian yang tidak adil dianggap sebagai suatu pelanggaran hokum

atau undang-undang yang merupakan alas an bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan hakim atau pengadilan yang lebih rendah yang bersangkutan. Untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi, pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim.

2. 4. 2. Alat Bukti
Dalam pemeriksaan di sidang, dasar hukum mengenai alat pembuktian ada di dalam pasal 1866 KUHPerdata, adapun macam - macam alat pembuktian yaitu: Bukti tertulis Bukti saksi Persangkaan Pengakuan Sumpah.

a) Bukti Tertulis Sebagai mana pada pasal 1867 KUHP bukti tertulis di kelompokan menjadi dua, yaitu akta / surat surat lain dan surat surat lainnya.Akta merupakan tulisan/ surat yang ditandatangani dan sengaja dibuat untuk dijadikan sebuah alat pembuktian. Bentuk akta ada 2 macam, yaitu akta otentik (resmi) dan akta dibawah tangan.Akta otentik adalah tulisan/ surat yang dibentuk dalam format tertentu di hadapan pejabat resmi yang berwenang membuatnya (notaris, camat, bupati, catatan sipil yang mempunyai kepahaman yang cukup dan cakap). Oleh karena itu hakim harus mempercayai akta tersebut, sedangkan akta dibawah tangan adalah tulisan / surat dibuat oleh pihak yang berkepentingan/ bersangkutan tanpa perantara pejabat resmi, sedangkan surat surat lainnya adalah tulisan-

tulisan lain yang bukan akta (faktur, kwitansi) selama dapat dijadikan sebuah alat bukti. b) Bukti Saksi Sebagai mana pada pasal 1895 KUHP bukti saksi adalah pernyataan seseorang mengenai suatu peristiwa atau keadaan yang dilihatnya, didengar, dialami sendiri. Namun perlu menjadi garis bawah apabila keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain tidak boleh dipercaya oleh pengadilan. Maka bukti dalam bentuk kesaksian ini haruslah lebih dari satu keterangan seseorang dan masing masing kesaksian berdiri sendiri namun kesaksian kesaksian tersebut saling menguatkan satu sama lain. Dalam kesaksian dianut sistem : UNUS TESTIS & NULLUS TESTIS Artinya keterangan seorang bukan kesaksian. Berarti di dalam suatu perkara harus ada saksi lebih dari satu orang supaya dapat menjadi saksi. Jika hanya ada satu orang, maka hakim harus mencari bukti yang lain. c) Persangkaan Adalah kesimpulan yang diambil berdasarkan peristiwa-peristiwa yang sudah jelas dan nyata. Namun persangkaan harus dibuktikan lebih lanjut. Jenis persangkaan ini dalam KUHP dibagi menjadi dua jenis, yaitu persangkaan yang berdasarkan undang-undang ialah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu

berdasarkan ketentuan undang-undang danpersangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan Hakim, yang dalam hal ini tidak boleh memperhatikan persangkaan-persangkaan yang lain. Persangkaan-persangkaan yang demikian hanya boleh diperhatikan, bila undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula bila terhadap suatu perbuatan atau suatu akta diajukan suatu bantahan dengan alasan-alasan adanya itikad buruk atau penipuan.

d) Pengakuan Pengakuan adalah Pernyataan suatu pihak mengenai peristiwa yang dilakukan dihadapan hakimdiluar persidangan (saat diinterogasi),

Pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim, merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu. Suatu pengakuan yang diberikan dihadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. e) Sumpah Sumpah dalm hal ini adalah pernyataan dengan segala keluhuran untuk memberikan keterangan dengan kesaksian Tuhan dan sanggup menerima hukuman dari Tuhan. Menurut professor Ali Afendi: pernyataan yang khitmad bahwa Tuhan adalah yang Maha Tahu dan bahwa Tuhan akan menghukum setiap dusta pada waktu orang bersaksi. Sumpah ini merupakan alat bukti yang paling rendah. Sumpah dalam hal ini di bagi kedalam dua jenis : Decisoir: Pemutus/ Penentu.

Sumpah atas permintaan salah satu pihak yang berperkara untuk memutus suatu perkara. Jika kekurangan bukti-bukti bisa oleh penggugat dan tergugat diucapkan oleh yang menang. Suplatoir: Sumpah Tambahan.

Sumpah yang diperintahkan hakim karena jabatannya. Untuk melengkapi bukti-bukti yang sudah ada. Dalam perkara pidana, alat bukti hanya ada 4. Sumpah bukan merupakan alat bukti karena dalam perkara pidana hukuman bersifat penderitaan.

BAB III KASUS


Kronologis Kasus
Pada hari Jumat 14 september 2012, Majelis Hakim PN Jakarta Pusat (Jakpus) yang dipimpin Hakim Ketua Agus Iskandar memutuskan Telkomsel pailit atas permohonan PT Prima Jaya Informatika, distributor voucher isi ulang Kartu Prima. Telkomsel dan Prima Jaya memulai kerja sama pada 1 Juni 2011 sampai dengan Juni 2013 dengan komitmen awal Telkomsel menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olahraga. Namun, pada Juni 2012 anak perusahaan Telkom ini memutuskan kontrak, karena menganggap Prima Jaya tidak memenuhi aturan yang dipersyaratkan atau wanprestasi. Sebelumnya PT. Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan purchase order kepada Telkomsel untuk mengambil kartu. Namun, purchase order tersebut ditolak Telkomsel dengan alasan belum mendapat instruksi lebih lanjut dari pimpinan. Akibatnya PT Prima jaya yang masih memiliki piutang pada PT. Telkomsel sebesar 5,3 miliar yang mana sudah jatuh tempo dan tidak segera dibayar oleh PT. Telkomsel membuat PT. Prima Jaya geram yang akhirnya mengajukan gugatan kepailitan kepada PN Jakarta pusat. Dasar pengajuan pailit PT. Prima Jaya Informatika adalah juga karena adanya hutang pada rekanan lain PT. Telkomsel yang juga sudah jatuh tempo dan belum dibayar. Tanggal 01 Juni 2011 Peristiwa PKS disetujui antara PT Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika (PKS.591/LG.05/SL-01/2011 dan 031/PKS/PJITD/VI/2011) Berlangsung dari 11 Juni 2011 01 Juni 2013. PT Prima Jaya Informatika melakukan pemesanan produk kepada PT Telkomsel dan disetujui oleh PT Telkomsel. PT Prima Jaya Informatika kembali melakukan pemesanan produk kepada PT Telkomsel dengan no PO/PJIAK/VI/2012/00000027. PT Telkomsel menerbitkan penolakan melalui Electronic Mail (E-Mail) tertanggal 20 Juni 2012 yang pada pokoknya menyatakan sampai saat ini kami belum

09 Mei 2012 20 Juni 2012

21 Juni 2012

28 Juni 2012

Juli 2012

menerima perintah selanjutnya mengenai pendistribusian produk PRIMA, maka bersama ini kami belum bisa memenuhi permintaan alokasi tersebut. PT Prima Jaya Informatika kembali melakukan pemesanan produk kepada PT Telkomsel dengan no PO/PJIAK/VI/2012/00000028 yang kembali ditolak oleh PT Telkomsel melalui Electronic Mail (E-Mail) tertanggal 21 Juni 2012, (bukti PP-8), yang pada pokoknya menyatakan menghentikan sementara alokasi produk Prima. PT Prima Jaya Informatika menyampaikan peringatan pertama dan terakhir (somasi) kepada PT Telkomsel Nomor: 022/P/KC/VI/2012, (bukti PP-9). PT Prima Jaya Informatika mengajukan permohonan pailit PT Telkomsel kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST.

Berikut ini kronologi sidang antara PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) dan PT Prima Jaya Informatika. Sidang 1 Agustus 2012 Mantan pebulutangkis Rudi Hartono hadir di sidang Pada sidang perdana (1 Agustus) hadir mantan atlet nasional Rudi Hartono sebagai ketua Yayasan Olahragawan Indonesia (YOI) yang bekerjasama dengan pemohon. Selain timbulnya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sekitar Rp5,3 miliar dan ancaman PHK karyawan, Prima Jaya mengalami kerugian imateriil berupa rusaknya citra di hadapan konsumen dan mitranya, katanya. Menurut Rudi, ketidakpercayaan akibat pemutusan kontrak juga muncul dari para mantan atlet nasional yang selama ini disantuni melalui YOI. Mantan pemain bulutangkis itu menyayangkan sikap Telkomsel dan berharap langkah litigasi dapat menyelesaikan masalah. Sebagai catatan, ini bukan program CSR [corporate social responsibility]. Kami bekerja supaya dapat untung dan ini tidak mudah, ungkapnya. Prima Jaya merupakan mitra YOI dengan menyisihkan 30% pendapatan dari setiap penjualan produk untuk menyumbang para mantan atlet nasional pada 42 cabang olahraga.

Sidang Rabu 8 Agustus 2012 Versi Telkomsel PT Telkomunikasi Seluler (Telkomsel) menyatakan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili sengketa dengan PT Prima Jaya Informatika, distributor voucher isi ulang Kartu Prima, dan meminta pengadilan menolak permohonan pailit. Dalam sidang hari ini, Rabu (8/8/2012) kuasa hukum Telkomsel Warakah Anhar membacakan jawaban dan tanggapan atas permohonan pailit yang diajukan Prima Jaya (pemohon). Menurutnya, dalam perjanjian kerja sama antara termohon dengan pemohon terdapat klausul yang menyebutkan bila ada sengketa atau masalah di kemudian hari maka dilakukan musyawarah. Jika musyawarah gagal menyelesaikan persoalan, maka perkara itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, katanya. Oleh karena itu, termohon menganggap Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang mengadili perkara a quo. Perjanjian kerjasama itu menjadi muasal utang yang didalilkan pemohon. Versi PT Prima Jaya Informatika Permohonan pailit dengan nomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST itu diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika, distributor voucher isi ulang Kartu Prima. Menurut kuasa hukum pemohon, Kanta Cahya, utang jatuh tempo dan dapat ditagih berasal tidak terpenuhinya penyediaan voucher isi ulang dan kartu perdana Kartu Prima yang bergambar atlet-atlet nasional. Dalam permohonan pemohon menyertakan PT Extent Media Indonesia sebagai kreditur lain, yang merupakan syarat bagi pengajuan pailit. Kanta mengungkapkan utang termohon merupakan buntut dari pemutusan kerjasama secara sepihak yang menyebabkan operator telepon seluler itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk

mengalokasikan voucher isi ulang dan kartu perdana kepada pemohon. Kontrak kerjasama itu menyebutkan bahwa termohon berkewajiban menyediakan voucher isi ulang bertema khusus olahraga sedikit-sedikitnya 120 juta lembar yang terdiri kartu bernominal Rp25.000 dan Rp50.000.

Adapun untuk kartu perdana prabayar, termohon terikat kontrak untuk menyediakan 10 juta kartu untuk dijual kepada pemohon. Dua surat pemesanan (purchase order/PO) oleh pemohon yakni pada 20 juni 2012 bernilai Rp2,6 miliar dan PO tertanggal 21 Juni senilai Rp3 miliar tak dipenuhi oleh termohon. Sidang 3 September 2012 Versi PT Prima Jaya Informatika Pemohon mengungkapkan bahwa permohonan pailit sudah tepat sebab ada utang jatuh tempo dan dapat ditagih serta kreditur lain. Jika belum jatuh tempo maka ke wanprestasi, katanya. Sidang 5 September 2012 Saksi ahli bicara Saksi ahli dalam persidangan permohonan pailit PT Telkomunikasi Seluler (Telkomsel) menyatakan bahwa utang dalam perkara kepailitan harus dapat dibuktikan secara sederhana, tidak sedang dalam sengketa. Ahli hukum perikatan dan kepailitan Gunawan Widjaja mengatakan bahwa jika utang itu masih diperdebatkan seharusnya dibawa ke pengadilan negeri, baru setelah jelas sebagai utang maka dibawa ke pengadilan niaga. Jika masih diperdebatkan maka tidak bisa dibuktikan secara somir [sederhana], katanya dalam sidang hari ini (5 September). Kesaksiannya merupakan bagian dari sidang kepailitan yang diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika terhadap Telkomsel. Sidang 14 September 2012 Majelis Hakim putuskan Telkomsel pailit Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) pailit dengan mengabulkan permohonan PT Prima Jaya Informatika.

Kasasi
PT Telkomsel yang menolak putusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan melakukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Karena menurut PT Telkomsel Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo. Karena utang tersebut tidak bisa dibuktikan secara sederhana dan sesuai dengan klausul perjanjian kerja sama yang menyatakan bahwa bila ada sengketa atau masalah di kemudian hari maka dilakukan musyawarah. Jika musyawarah gagal menyelesaikan persoalan, maka perkara itu diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tanggal 21 September 2012 Peristiwa PT Telkomsel mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas gugatan pailit oleh PT Prima Jaya Informatika di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Mahkamah Agung mengabulkan kasasi yang diajukan oleh PT Telkomsel melawan PT Prima Daya Informatika. Putusan MA atas perkara kasasi nomor 704 K/Pdt.Sus/2012 yang dikeluarkan Rabu 21 November 2012 itu sekaligus membatalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menyatakan Telkomsel pailit.

21 November 2012

BAB IV PEMBAHASAN

Awal mulanya kasus ini terjadi karena PT Prima Jaya Informatika merasa Telkomsel sudah melakukan tindakan wanprestasi karena tidak melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi pesanan kartu perdana dan voucher sebagaimana yang sudah diminta dan dijanjikan serta secara sepihak memutuskan kontrak kerja sama dengan PT Prima Jaya Informatika, yang mana akibat dari pemutusan kontrak kerja sama secara sepihak ini menimbulkan kerugian bagi PT Prima Jaya Informatika berupa timbulnya piutang PT Prima Jaya Informatika pada Telkomsel sebesar Rp 5,3 miliar, ancaman PHK karyawan, dan kerugian imateriil berupa rusaknya citra dihadapan konsumen dan mitranya. Karena masalah ini tidak bisa diselesaikan meskipun PT Prima Jaya Informatika sudah melayangkan surat peringatan (somasi) kepada Telkomsel, maka PT Prima Jaya Informatika membawa kasus sengketa ini untuk diselesaikan melalui pengadilan (litigasi). Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan permohonan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) pailit dengan mengabulkan permohonan PT Prima Jaya Informatika. Karena terbukti secara sederhana debitor (PT Telkomsel) mempunyai dua kreditor (PT Prima Jaya Informatika dan PT Extent Media Indonesia) dan tidak membayar bukan hanya 1 (satu) melainkan 2 (dua) utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, hal ini senada dengan pasal 2 ayat 1 Undang Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan. Dimana dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa syarat debitur dapat dinyatakan pailit apabila: 1. Debitur memiliki dua atau lebih kreditur, dan 2. Debitur tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu/dapat ditagih. Dan sesuai dengan pasal 1865 KUHP tentang bukti dan daluwarsa Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk

meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Oleh karena itu, kedua syarat tersebut dapat dikuatkan secara fakta melalui buktibukti persidangan yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dan sesuai dengan pasal 107 UU Peradilan Tata Usaha Negara /PTUN, dalam pembuktian, hakim dapat menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktiannya, serta penilaian terhadap bukti-bukti tersebut. Untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Berikut buktibukti yang digunakan majelis hakim terkait dengan kedua syarat yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1 Undang Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan: Dalam pemeriksaan di sidang, dasar hukum mengenai alat pembuktian ada di dalam pasal 1866 KUHPerdata, adapun macam - macam alat pembuktian yang digunakan dalam sengketa ini, yaitu:

1. Bukti Tertulis: 1. Perjanjian Kerjasama tentang Penjualan Produk Telkomsel antara PT Telekomunikasi Selular dan PT.Prima Jaya Informatika Nomor PKS Telkomsel: PKS.591/LG.05/SL-01/VI/2011, Nomor: PKS Prima Jaya Informatika: 031/PKS/PJI-TD/VI/2011, tanggal 01 Juni 2011, (bukti PP-3), dimana telah disepakati PT. Prima Jaya Informatika telah ditunjuk untuk mendistribusikan Kartu Prima Voucher Isi Ulang, dimana dalam perjanjian tersebut berisi beberapa ketentuan atau pasal yang dilanggar oleh Telkomsel, yaitu: a. Berdasarkan Pasal 5.1 bahwa perjanjian tersebut berlaku selama 2 (dua) tahun, mulai 11 Juni 2011 01 Juni 2013 (Telkomsel memutuskan kontrak kerja sama secara sepihak pada bulan Juni 2012). b. Berdasarkan Pasal 7.2 Telkomsel berkewajiban untuk

menyediakan Voucher Isi Ulang bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya 120.000.000 (seratus dua puluh juta) yang terdiri dari Voucher Isi Ulang Rp 25.000,00 (dua

puluh lima ribu Rupiah) dan voucher isi ulang Rp 50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah) setiap tahun untuk dijual oleh PT. Prima Jaya Informatika 2. Puchase Order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni 2012, (Bukti PP-4), berjumlah Rp2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta rupiah), yang ditujukan kepada Termohon Pailit. 3. Purchase Order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, (bukti PP-5), berjumlah Rp. 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah). 4. Surat PT. Telkomsel tanggal Perihal: 27 Maret 2012 No.0032/ dan

MK.01/SL.06/III/2012,

Mekanisme

Pengajuan

Pengambilan Alokasi, (Bukti PP-6). 5. Surat Peringatan yang pertama dan terakhir (somasi) yang disampaikan PT Prima Jaya Informatika, pada tanggal 28 Juni 2012 Nomor: 022/P/KC/VI/2012, (bukti PP-9), untuk melaksanakan Perjanjian Kerjasama tentang Penjualan Produk Telkomsel antara PT.

Telekomunikasi Selular dan PT. Prima Jaya Informatika. 6. Bahwa Termohon Pailit juga mempunyai utang kepada Kreditor lain yaitu: kepada PT. EXTENT MEDIA INDONESIA, atas pelaksanaan kerja sama layanan Mobile Data Content, untuk periode bulan Agustus 2011 dan bulan September 2011, sebagaimana bukti-bukti: a. Invoice No. INV-TSEL.012/VI/2012 tanggal 01 Juni 2012, (Bukti KL-1) sebesar Rp. 21.031.561.274,- (Dua puluh satu milyar tiga puluh satu juta lima ratus enam puluh satu ribu dua ratus tujuh puluh empat rupiah), yang telah jatuh tempo pada tanggal 08 Juni 2012, dan; b. Invoice No. INV-TSEL.013/VI/2012 tanggal 01 Juni 2012, Rp19.294.652.520,00 (sembilan belas milyar dua ratus sembilan puluh empat juta enam ratus lima puluh dua ribu lima

ratus dua puluh Rupiah), yang telah jatuh tempo pada tanggal 08 Juni 2012 (bukti KL-2); c. Somasi tanggal 24 November 2011 (bukti KL-3), surat tanggal 9 April 2012, (bukti KL-4), surat tanggal 26 Mei 2012, (bukti KL-5), surat tanggal 01 Juni 2012, (bukti KL-6), dan Somasi Terakhir tertanggal 4 Juli 2012, Nomor :

031.1/LQQ/Extent/VII/2012, (bukti KL-7). 2. Bukti saksi Kerugian yang diderita oleh PT Prima Jaya Informatika dikuatkan oleh saksi dibawah sumpah yang bekerja sama dengan PT Prima Jaya Informatika yang menyebutkan bahwa: Selain timbulnya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sekitar Rp5,3 miliar dan ancaman PHK karyawan, Prima Jaya mengalami kerugian imateriil berupa rusaknya citra di hadapan konsumen dan mitranya. Pernyataan ini menguatkan bukti tertulis yang sudah diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan putusan mengabulkan permohonan pernyataan pailit pemohon pailit PT Prima Jaya Informatika, untuk seluruhnya menyatakan termohon pailit PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) pailit dengan segala akibat hukumnya.

Menimbang putusan tersebut termohon pailit (PT Telekomunikasi Seluler) mengajukan eksepsi yang pada pokoknya atas dalil-dalil sebagai berikut: 1. Bahwa Termohon Pailit membantah dan menolak seluruh dalil yang dikemukakan Pemohon pailit dalam Permohonan Pernyataan Pailitnya, kecuali yang tegas-tegas diakui Termohon Pailit; 2. pengadilan niaga pada pengadilan negeri jakarta pusat tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara a quo karena utang-utang yang menjadi pangkal sengketa ini tidak dapat dibuktikan secara sederhana dan sesuai

pasal 24 dalam perjanjian kerjasama diatur bahwa apabila terjadi perselisihan maka harus diselesaikan dengan musyawarah dan apabila dalam jangka waktu 1 bulan para pihak tidak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut maka para pihak bersepakat untuk membawa perselisihan tersebut ke pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan sesuai dengan Pasal 116 HIR/RBg masalah ini masalah Perjanjian (perdata) yang harus diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagaimana telah disepakati dalam Perjanjian Kerjasama. 3. permohonan pernyataan pailit kabur (exceptio obscurum libelum); 4. pemohon pailit tidak memiliki alasan hak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit karena tidak ada utang yang jatuh tempo (exeptio onrechtmatige of ongegrond);

Atas permohonan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan putusan, yaitu putusan Nomor

48/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST yang menolak eksepsi PT Telekomunikasi Seluler dan mengabulkan permohonan pernyataan pailit PT Prima Jaya Informatika terhadap PT Telekomunikasi Seluler dan membebankan biaya perkara sebesar Rp 416.000,00 (empat ratus enam belas ribu rupiah) kepada PT Telekomunikasi Seluler.

Putusan Kasasi Mahkamah Agung Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi PT Telekomunikasi Seluler dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/PAILIT/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. tanggal 14

September 2012. Dalam putusannya Mahkamah Agung mempertimbangkan secara fakta bukti-bukti yang ada dan menilai bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memahami atau sangat keliru dalam memahami hukum perikatan/perjanjian Indonesia.

Berikut adalah yang menjadi bahan pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya, yaitu: 1. Penolakan terhadap PO yang diajukan tanggal 20 Juni 2012 dan 21 Juni 2012 dengan Nomor PO/PJI-AK/VI/2012/00000027 dan PO/PJI-

AK/VI/2012/00000028. Bahwa sebagaimana suatu perjanjian/perikatan yang sah berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata Jo. Pasal 1340 KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Bukti Tertulis Berdasarkan pasal 7.3 disepakati bahwa PT Telekomunikasi Seluler terikat untuk menyediakan perdana kartu Prabayar bertema khusus olah raga dalam jumlah sedikit-dikitnya

10.000.000 (sepuluh juta) kartu setiap tahun untuk dijual olehPT Prima Jaya Informatika, yang memberikan pengertian bahwa Termohon Kasasi mempunyai kewajiban untuk menjual sedikitdikitnya 10.000.000 (sepuluh juta) perdana kartu Prabayar bertema khusus olah raga tersebut dalam setiap tahunnya, dalam masa dua tahun perjanjian tersebut. Dan pada kenyataannya sejak tanggal 01 Juni 2011 hingga 1 tahun berikutnya PT Prima Jaya Informatika hanya mampu menjual 542.000 unit kartu perdana atau hanya 8% dari target penjualan sebesar 6.732.415 unit kartu perdana Keterangan Saksi Fakta tersebut secara tegas sudah disampaikan oleh Saksi Fakta dibawah sumpah yang diajukan oleh PT Telekomunikasi Seluler, Herdin Hasibuan dan juga disampaikan oleh Saksi Fakta dibawah sumpah yang diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika, Rudi Hartono Kurniawan.

2. Penghentian, pembatasan, atau pengurangan pasokan (evaluasi) yang dilakukan oleh Telkomsel.

Bukti tertulis Bahwa berdasarkan Pasal 6.4 dari Perjanjian Kerjasama secara jelas diatur tentang hak Telkomsel untuk membatasi, mengurangi atau memberhentikan pasokan dalam hal terjadinya wanprestasi oleh pihak PT Prima Jaya Informatika, sebagai berikut: "Dalam hal MITRA melakukan pelanggaran atau penyimpangan dari yang telah disepakati terkait dengan Perjanjian Kerjasama ini, TELKOMSEL dapat membatasi, mengurangi, atau memberhentikan pasokan salah satu atau keseluruhan jenis Produk Telkomsel yang dijual atau dipasarkan oleh Mitra".

3. Perbuatan wanprestasi PT Prima Jaya Informatika dalam memenuhi kewajibannya untuk membangun suatu komunitas yang berbasis pengemar olah raga (Komunitas Prima) Bukti Tertulis Pasal 8.4 dan Pasal 8.7 Perjanjian Kerjasama disepakati bahwa PT Prima Jaya Informatika wajib untuk membangun Komunitas Prima yang berbasis penggemar olah raga dengan jumlah anggota sebanyak 10.000.000 dalam 1 tahun, akan tetapi sampai pada bulan Juni 2012 PT Prima Jaya Informatika gagal mewujudkan hal tersebut. Bukti Saksi Kewajiban PT Prima Jaya Informatika untuk membuat komunitas yang berbasis pengemar olah raga yang berisikan 10.000.000 (10 juta) anggota secara jelas juga telah dinyatakan oleh saksi fakta di bawah sumpah, Herdin Hasibuan, yang dikutip dalam halaman 33 dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga. 4. Tindakan wanprestasi yang dilakukan PT Prima Jaya Informatika yang mengakibatkan kerugian pada Telkomsel akibat tidak dibayarnya PO

Nomor PO/PKIAK/V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012 sebesar Rp4.800.000.000 yang tidak dibayar dan sudah disetujui dan diproduksi dan hingga saat ini masih ada di gudang Telkomsel Bukti Tertulis PT Prima Jaya Informatika tidak melakukan pembayaran pada hari Seninnya seperti yang disepakati Mekanisme Pengajuan dan Pengambilan Alokasi berdasarkan Surat No.

032/MK.01/SL.06/111/2012 tanggal 27 Maret 2012. Bukti Saksi Bahwa tindakan wanprestasi yang dilakukan PT Prima Jaya Informatika yang tidak melakukan pembayaran atas PO tersebut secara jelas juga telah dinyatakan oleh saksi fakta di bawah sumpah, Herdin Hasibuan, yang dikutip dalam halaman 33 dari putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga 5. Kekeliruan Majelis Hakim Niaga mengenai utang jatuh tempo dan dapat ditagih. sesuai ketentuan angka 2 dari surat No. 032/MK.01/SL.06/III/2012 tanggal 27 Maret 2012 tersebut dinyatakan bahwa setiap Purchase Order (pemesanan) yang diajukan secara mingguan tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan setelah Jasa persetujuan mendapat Informatika (approval) dari

Telkomsel. kemudian

Dimana PT

persetujuan dapat

barulah

Prima

melakukan

pembayaran pada hari senin, paling lambat pukul 12.00 WIB. Dan jelas seperti yang sudah diuraikan sebelumnya bahwa Puchase Order No.PO/PJI-AK/VI/2012/00000027, tanggal 20 Juni 2012, (Bukti PP-4), berjumlah Rp2.595.000.000,- (dua milyar lima ratus sembilan puluh lima juta rupiah) dan Purchase Order No.PO/PJIAK/VI/2012/00000028, tertanggal 21 Juni 2012, (bukti PP-5), berjumlah Rp. 3.025.000.000,00 (tiga milyar dua puluh lima juta Rupiah) tidak disetujui oleh Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika sendiri belum melakukan pembayaran atas kedua PO

tersebut sehingga dapat disimpulkan bahwa PT Prima Jaya Informatika sama sekali tidak memiliki piutang terhadap Telkomsel sehubungan dengan kedua PO tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa Majelis Hakim ketidaktepatan pemahaman Majelis Hakim terhadap pengertian pasal 1458 KUH Perdata yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk memenuhi persyaratan dari jatuh tempo dan dapat ditagih. Bahwa Pasal 1458 KUH.Perdata mengatur sebagai berikut: "Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun benda tersebut belum

diserahkan, maupun harganya belum dibayar". Tentunya Pasal tersebut lahir dari pengertian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457 KUH.Perdata yang menyatakan sebagai berikut: "Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telan dijanjikan". 6. Majelis Hakim Niaga tidak secara benar dan jujur dalam memahami dan mengutip poin-poin penjelasan dari Ahli, Dr. Johanes Johansyah,SH.MH, yang dalam halaman 60 pertimbangan hukumnya dinyatakan sebagai berikut: "Dan dengan dikuatkan keterangan Ahli pihak pemohon yaitu: Dr. Johanes Djohansyah, SH.MH., yang berpendapat sesuai dengan perjanjian Termohon Pailit telah sepakat untuk menyerahkan barang berupa voucer kartu perdana dan voucer kepada Pemohon Pailit, dimana harga dan jenis barangnya telah disepakati". Bahwa sesungguhnya Ahli tersebut menyatakan "Bahwa perjanjian kerjasama selama 2 tahun jangka waktunya dimana para pihak sepakat untuk mendistribusikan produk dari salah satu pihak dalam perjanjian ini diatur secara tegas bahwa pendistribusian itu tidak langsung, tetapi bertahap sesuai dengan permintaan sesuai dengan evaluasi atau penilaian dari pihak lain diatur

juga ketentuan bahwa jika salah satu menyatakan pembeli melanggar selama dalam melaksanakan perjanjian atau ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perjanjian karena pihak penjual mempunyai kewenangan untuk membatasi, mengurangi atau bahkan memberhentikan, ketika si pembeli mengajukan pesanan tetapi kemudian penjual menghentikan pasokan itu dengan alasan penghentian sementara atau tindakan dari penjualan itu yang tidak memberhentikan sementara permintaan dari pembeli menurut ahli dia melakukan kewenangan dan memberikan perjanjian atau tidak"

Dan bahwa dengan adanya bukti kuat penolakan PO yang diajukan oleh PT Prima Jaya Informatika adalah disebabkan oleh tindakan wanprestasi yang dilakukan PT Prima Jaya Informatika, maka pemeriksaan perkara ini tidak dapat dilakukan secara sederhana seperti yang disyaratkan oleh pasal 8 ayat 4 Undang Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan oleh karenanya pemeriksaan perkara ini bukanlah kewenangan dari Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akan tetapi harus diperiksa dan diputuskan melalui Pengadilan Negeri.

7. Tindakan pembuktian mengenai adanya kreditur lain. Bahwa Majelis hakim menimbang, bahwa walaupun bukti KL-1, KL 1-a, KL-2, KL-3, KL-3, KL-7 tidak ada aslinya, tetapi oleh karena diakui kebenarannya oleh Pemohon Pailit dan Termohon Pailit menyatakan telah melakukan pembayaran terhadap tagihan kreditor lain tersebut, maka pengakuan Termohon di persidangan merupakan alat bukti yang bersifat sempurna dan bukti tersebut tetap dipertimbangkan ... " Yang kemudian dibantah oleh Telkomsel, dengan alasan telah melakukan pembayaran berdasarkan bukti T-9 sampai dengan bukti T-14 dan menimbang bahwa keterangan Ahli termohon pailit (Telkomsel), yaitu Dr. Gunawan Widjaja, SH,MH dan Keterangan Ahli Prof. Dr. Sutan Remy Syahdeini L, SH,FCB.Arb. yang memberikan pendapat bahwa

persyaratan untuk dinyatakan pailit harus ada 2 orang kreditor dan 1 utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dan apabila selama berlangsungnya kepailitan ada pembayaran dari debitor kepada salah satu kreditor sebelum perkara diputus sehingga tinggal 1 kreditor saja, maka permohonan Pernyataan Pailit sudah tidak terpenuhi maka permohonan Pailit harus ditolak". Bukti tersebut tersebut merupakan instruksi bayar yang diajukan oleh Telkomsel melalui Bank BCA dimana terhadap instruksi bayar tersebut, BCA telah menerbitkan salinan yang telah ditandatangani secara asli oleh pegawai BCA dan juga terdapat tanda bukti transfer yang tercetak asli dalam salinan bukti pembayaran tersebut. Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1888 KUH Perdata Kekuatan pembuktian dengan suatu tulisan terletak pada akta aslinya. Bila akta yang asli ada, maka salinan serta kutipan hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta kutipan itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan., maka bukti yang diajukan PT Prima Jaya Informatika (KL-1, KL 1-a, KL-2, KL-3, KL-3, KL-7) tidak bisa dijadikan dasar untuk menunjukkan adanya kreditur lain.

Sangat terlihat kesan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Niaga hanya berupaya untuk memenuhi perwujudan dari dalil PT Prima Jaya Informatika secara menyalahi hukum dan melanggar asas imparsialitas ataupun Asas Audi et Alteram Partem. Berikut Bukti Persangkaan yang digunakan oleh Mahkamah Agung dalam memutus sengketa antara Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika: 1. Putusan Majelis Kasasi No. 852 K/Pdt.Sus/2010 dalam kasus pailit yang diajukan oleh PT Pertamina Dana Ventura terhadap PT Eurocapital Peregrine Securities. 2. Putusan Kasasi No. 14 K/N/2001 tertanggal 3 April 2001 dalam perkara antara Teddy Thohir, Heru Sajito, Setiadhi Lukman, Joey H. Wihardja melawan PT. Karabha Digdaya.

3. Putusan Kasasi No. 23 K/N/1999 tanggal 16 Agustus 1999 dalam perkara antara PT. Waskita Karya melawan PT. Mustika Princess Hotel. 4. Putusan Mahkamah Agung No. 03 K/N/2000 tertanggal 20 Desember 1999 dalam Perkara antara Bernard Ibnu Hardjojo melawan Hashim Djojohadikusumo. 5. Putusan Mahkamah Agung No. 07 K/N/2000 tertanggal 14 Maret 2000 dalam perkara antara PT Bank Inter Pacific Tbk, melawan PT Wenang Permai Sentosa dan Haryanto Hadikosoemo. 6. Putusan Mahkamah Agung No. 18 K/N/2000 tertanggal 8 Juni 2000 dalam Perkara antara BPPN melawan PT. Sumi Asih. 7. Putusan No. 834 K/Pdt.Sus/2009 tertanggal 15 Desember 2009 antara PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia melawan PT. Media Nusantara Citra, Tbk, dkk melawan Crown Capital Global Limited. 8. Putusan Mahkamah Agung No 8 K/N/2004 tertanggal 7 Juni 2004 dalam perkara antara PT. Prudential Life Assurance melawan Tuan Lee Boon Siong.

Terakhir pemohon kasasi adalah perusahaan telekomunikasi yang sangat sehat dan dikelola dengan sangat balk yang terus menghasilkan keuntungan, dimana berdasarkan laporan keuangan tahun 2011 yang telah diaudit dan membukukan keuntungan sebesar rp.12.823.670.058.017,00 (dua belas triliun delapan ratus dua puluh tiga miliar enam ratus tujuh puluh juta lima puluh delapan ribu tujuh belas Rupiah). Dan bila dibandingkan dengan nilai "yang disebut oleh Termohon Kasasi sebagai piutang" sebesar Rp.5.260.000.000,- dengan nilai aset Pemohon Kasasi pada tahun 2011 yang sangat besar dan menghasilkan keuntungan puluhan triliun Rupiah setiap tahunnya, seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Niaga secara hati-hati memeriksa dan memutuskan perkara ini, dimana putusan yang tidak didasarkan kebenaran dan keadilan yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Jakarta Pusat tersebut telah menimbulkan konsekuensi kerugian yang sangat besar bagi Telkomsel dan menimbulkan konsekuensi kerugian yang sangat besar dalam

pembangunan keamanan dan kepastian berinvestasi di indonesia, apalagi 35% dari kepemilikan saham Pemohon Kasasi adalah investor asing, Singapore Telecom Pte. Ltd.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi PT Telekomunikasi Seluler dan membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 48/PAILIT/2012/ PN.NIAGA.JKT.PST.

Dari kasus diatas, para pelaku usaha harus berhati-hati terhadap segala bentuk klausul yang tertuang didalam perjanjian yang mereka sepakati. Karena sesuai dengan pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana PT Prima Jaya Informatika dalam kasus ini tidak memahami secara jelas poin poin perjanjian dengan benar sehingga salah bertindak. Sehingga setiap bukti yang disajikan tidak dapat membantu PT Prima Jaya Informatika dalam memenangkan sengketa yang di adili oleh Mahkamah Agung.

Dan dalam kasus diatas membuktikan bahwa setiap bukti yang diajukan oleh penggugat dan tergugat harus dapat diteliti dengan benar dan tepat sehingga tidak menimbulkan ketidak tepatan putusan ataupun ketidak tepatan penafsiran dari masing-masing pihak, baik dari pihak penggugat, tergugat, dan para hakim itu sendiri. Sehingga apa yang disampaikan dalam pembuktian bisa menguatkan masing masing pihak, bukannya melemahkan. Karena tujuan dari pembuktian itu sendiri adalah untuk meneguhkan bahwa seseorang mempunyai hak atau membuktikan bahwa kejadian itu benar terjadi sesuai dengan pasal 1865 KUHP tentang bukti dan daluwarsa yang berbunyi Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu..

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan
Semakin meningkatnya kerjasama bisnis, menyebabkan semakin tinggi pula tingkat sengketa diantara para pihak yang terlibat didalamnya. Sengketa muncul dikarenakan berbagai sebab dan alasan yang melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan dua cara, yeitu melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Ruang lingkup pemeriksaannya yang lebih luas (karena sistem peradilan di Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan Tata Usaha Negara sehingga hampir semua jenis sengketa dapat diperiksa melalui jalur ini). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan muncul dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkembang dan tumbuh dimasyarakat. Selain prosedurnya lebih simple/luwes, biaya yang dikeluarkan pun tidak terlalu besar, serta proses peradilan lebih cepat. Selain itu penyelesaian sengketa di luar pengadilan banyak ditentukan faktor yang berhubungan dengan kondisi mayarakat. Keputusan yang dibuat pun tak hanya untuk menguntungkan sebelah pihak, namun juga dapat memutuskan win win solution. Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya. Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian kepada Hakim tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa. Pada Kasus Telkomsel dan PT Prima Jaya Informatika dapat disimpulkan bahwa penelitian dan penyidikan lebih lanjut mengenai bukti-bukti yang disajikan akan memiliki dampak yang signifikan terhadap putusan yang diambil oleh Majelis Hakim dan Mahkamah Agung. Dimana Majelis Hakim dinilai terburu-buru dan teledor dalam penyelidikan dan penafsiran bukti-bukti sehingga menghasilkan

putusan yang tidak tepat dan dapat mengancam perusahaan potensial dan keamanan serta pembangunan aktivitas investasi yang ada di Indonesia.

Saran
Berdasarkan kasus tersebut, diharapkan pelaku usaha berhati-hati terhadap perjanjian/perikatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak dan pelaku usaha bisa memahami setiap klausul yang tertuang dalam perjanjian sehingga tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi kedua belah pihak dimasa yang akan datang. Dan kedua belah pihak harus menunjukkan itikad baiknya tidak hanya dalam perjanjian tetapi juga dalam pemenuhan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

You might also like