You are on page 1of 16

Oleh: Ahmad Sanusi Nasution,SE

CP; 085276814343
A.Latar Belakang
Benarkah ilmu akuntansi ada dalam Islam? Paertanyaan ini begitu menggelitik, karena agama
sebagaimana dipahami banyak kalangan, hanyalah kumpulan norma yang lebih menekankan
pada persoalan moralitas. Dan karenanya prinsip-prinsip kehidupan praktis yang mengatur tata
kehidupan modern dalam bertransaksi yang diatur dalam akuntansi, tidak masuk dalam cakupan
agama. Anggapan terhadap akuntansi Islam (akuntansi yang berdasarkan syariah Islam) wajar
saja dipertanyakan orang. Sama halnya pada masa lalu orang meragukan dan mempetanyakan
seperti apakah ekonomi islam.
Jika kita mengkaji lebih jauh dan mendalam terhadap sumber dari ajaran Islam –Al-Qur’an maka
kita akan menemukan ayat-ayat maupun hadits-hadits yang membuktikan bahwa Islam juga
membahas ilmu akuntansi. Agama diturunkan untuk menjawab persoalan manusia, baik dalam
tataran makro maupun mikro.. Ajaran aama memang harus dilaksanakan dalam segala aspek
kehidupan.
Dalam pelaksanaannya, ajaran agama sebagai “pesan-pesan langit” perlu penerjemahan dan
penafsiran. Inilah masalah pokoknya : “membumikan” ajaran langit. Di dunia, agama harus
dicari relevansinya sehingga dapat mewarnai tata kehidupan budaya, politik, dan sosial-ekonomi
umat. Dengan demikian, agama tidak melulu berada dalam tataran normatif saja. Karena Islam
adalah agama amal. Sehingga penafsirannya pun harus beranjak dari normatif menuju teoritis-
keilmuan yang faktual.
Eksistensi akuntansi dalam Islam dapat kita lihat dari berbagai bukti sejarah maupun dari Al-
Qur’an. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, dibahas masalah muamalah. Termasuk di dalamnya
kegiatan jual-beli, utang-piutang dan sewa-menyewa. Dari situ dapat kita simpulkan bahwa
dalam Islam telah ada perintah untuk melakukan sistem pencatatan yang tekanan utamanya
adalah untuk tujuan kebenaran, kepastian, keterbukaan, dan keadilan antara kedua pihak yang
memiliki hubungan muamalah. Dalam bahasa akuntansi lebih dikenal dengan accountability.
Wacana Akuntansi Syariah
Akuntansi konvensional yang sekarang berkembang adalah sebuah disiplin dan praktik yang
dibentuk dan membentuk lingkungannya. Oleh karena itu, jika akuntansi dilahirkan dalam
lingkungan kapitalis, maka informasi yang disampaikannyapun mengandung nilai-nilai kapitalis.
Kemudian keputusan dan tindakan ekonomi yang diambil pengguna informasi tersebut juga
mengandung nilai-nilai kapitalis. Singkatnya, informasi akuntansi yang kapitalistik akan
membentuk jaringan kuasa yang kapitalistik juga. Jaringan inilah yang akhirnya mengikat
manusia dalam samsara kapitalisme.dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat Islam
dan barat terdapat perbedaan yang sangat besar. Dalam masyarakat Islam terdapat sistem nilai
yang melandasi setiap aktivitas masyarakat, baik pribadi maupun komunal. Hal ini tidak
ditemukan dalam kehidupan masyarakat barat. Perbedaan dalam budaya dan sistem nilai ini
menghasilkan bentuk masyarakat, praktik, serta pola hubungan yang berbeda pula.
Tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban bisnis dengan wawasan humanis,
emansipatoris, transendental, dan teologis. Dengan akuntansi syariah, realitas sosial yang
dibangun mengandung nilai tauhid dan ketundukan kepada ketentuan Allah swt.
PEMBAHASAN
A.Sejarah Akuntansi Syariah
Akuntansi, menurut sejarah konvensional, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang
lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli yang menulis buku “Summa de
Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry
Accounting System”.
Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di
Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di
Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang
akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi
wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara.
Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa
sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas
keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai
suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282
yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan (kitabah) dalam bermuamalah (bertransaksi),
penunjukan seorang pencatat beserta saksinya, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti
yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Dengan
demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal sistem
akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari
Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494M
B. Prinsip Umum Akuntansi Syari’ah
Nilai pertanggung jawaban, keadilan dan kebenaran selalu melekat dalam sistem akuntansi
syari’ah. Ketiga nilai tersebut tentu saja sudah menjadi prinsip dasar yang operasional dalam
prinsip akuntansi syariah. Apa makna yang terkandung dalam tiga prinsip tersebut? Berikut
uraian yang ketiga prinsip yang tedapat dalam surat Al-Baqarah:282.
Prinsip pertanggung jawaban, Prinsip pertanggungjawaban (accountability) merupakan konsep
yang tidak asing lagi dikalangan masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan
dengan konsep amanah. Bagi kaum muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi
manusia dengan sang khalik mulai dari alam kandungan.. manusia dibebani olehAllah untuk
menjalankan fungsi kehalifahan di muka bumi. Inti kekhalifahan adalah menjalankan atau
menunaikan amanah. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang proses
pertanggungjawaban manusia sebagai pelaku amanah Allah dimuka bumi. Implikasi dalam bisnis
dan akuntansi adalah bahwa individu yang terlibat dala praktik bisnis harus selalu melakukan
pertanggungjawaban apa yang telah diamanatkan dan diperbuat kepada pihak-pihak yang terkait.
Prinsip keadilan, jika ditafsirkan lebih lanjut, surat Al-Baqarah;282 mengandung prinsip keadilan
dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan nilai penting dalam etika
kehidupan sosial dan bisnis, tetapi juga merupakan nilai inheren yang melekat dalam fitrah
manusia. Hal ini berarti bahwa manusia itu pada dasarnya memiliki kapsitas dan energi untuk
berbuat adil dalam setiap aspek kehidupannya. Dalam konteks akuntansi, menegaskan, kata adil
dalam ayat 282 surat Al-Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang
dilakukan oleh perusahan harus dicatat dengan benar. Misalnya, bila nilai transaksi adalah
sebesar Rp 100 juta, maka akuntansi (perusahan) harus mencatat dengan jumlah yang sama.
Dengan kata lain tidak ada window dressing dalam praktik akuntansi perusahaan.
Prinsip kebenaran, prinsip ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip keadilan.
Sebagai contoh, dalam akuntansi kita kan selalu dihadapkan pada masalah pengakuan,
pengukuran laporan. Aktivitas ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada
niali kebenaran, kebenaran ini kan dapat menciptakan nilai keadilan dalam mengakui, mengukur,
dan melaporkan tansaksi-transaksi dalam ekonomi. Dengan demikian pengembangan akuntansi
Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik
akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah
dapat diterangkan.
Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa :
135).
Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar,
jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7 – 8).
Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan
penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (Al-Baqarah : 282).
Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan
syariah Islam.
6. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas
usaha harus dinilai halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan
berlangsungnya kegiatan usaha.
C. Dalil Akuntansi Dalam Al-Quran
Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti
dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan
akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos
keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba (Dapat dilihat dalam Al-Qur’an
surat A-Baqarah :282).
¡°Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu
mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya,
dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya…¡±.
Dalam Al Quran juga disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan
dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita,
sedangkan bagi orang lain kita menguranginya.. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam
berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:
”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan
timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-
haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan
bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”
Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Dr. Umer Chapra juga
menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan,
sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Agar pengukuran
tersebut dilakukan dengan benar, maka perlu adanya fungsi auditing.
Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah
Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan
pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana
digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi:
“Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar.
Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Islam
dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang
disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang
Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun
penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.
Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabawiyyah, Ijma
(kesepakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu),
dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah
Akuntansi dalam Islam, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi
Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami,
dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat
penerapan Akuntansi tersebut.
Akuntansi Meta Rule
Menurut,Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi
Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman
pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar
konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan
ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang
menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada
pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawabkan
tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat
semua tindakan manusia bukan saja di bidang ekonomi, tetapi juga bidang sosial-masyarakat dan
pelaksanaan hukum Syariah lainnya.
Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi dalam Islam jauh lebih
dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian
kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional.
Terakhir, marilah kita renungi firman Allah SWT berikut ini:
“…… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.16/ An-Nahl:
89)
D. Nilai-Nilai Akuntansi syariah
Akuntansi modern tidak mungkin bebas dari nilai dan kepentingan apapun, karena dalam proses
penciptaan akuntansi melibatkan manusia yang memiliki kepribadian dan penuh dengan
kepentingan. Nilai utama yang melekat dalam diri akuntansi modern adalah nilai egoistik. Bila
informasi yang dihasilkan oleh akuntansi egoistik dikonsumsi oleh para pengguna, maka dapat
dipastikan bahwa pengguna tadi akan berpikir dan mengambil keputusan yang egoistik pula
Nilai utama kedua yang melekat pada akuntansi modern adalah nilai materialistik, yang juga
merupakan sifat yang melekat pada diri manusia. Dengan nilai ini akuntansi hanya akan
memberikan perhatian pada dunia materi (uang). Sifat egoistik dan materialistik, diekspresikan
dengan jelas pada laporan keuangan. Laporan rugi-laba misalnya, menunjukkan akomodasi
akuntansi modern terhadap kepentingan (ego) stakeholders untuk mendapatkan informasi
besarnya laba yang menjadi haknya.
Setelah kedua nilai utama akuntansi modern itu, muncullah nilai utilitarianisme sebagai akibat
dari menguatnya dua sifat sebelumnya. Sifat utilitarian adalah sifat yang menganggap bahwa
nilai baik atau buruk dari sebuah perbuatan, diukur dengan ada tidaknya utilitas yang dihasilkan
dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga, sepanjang perbuatan itu menghasilkan utilitas, maka
sepanjang itu pula sebuah perbuatan dikatakan baik tanpa melihat bagaimana prosesnya. Ketiga
nilai yang dimiliki oleh akuntansi modern ini kemudian dikenal sebagai kapitalisme.
Realitas akuntansi modern yang dibangun dengan nilai-nilai egoistik, materialistik dan
utilitarian, menjadi belenggu bagi manusia modern untuk menemukan jati dirinya dan Tuhan.
Menjadikan manusia modern terperangkap dalam dunia materi yang hedonis. Sehingga, akan
mengakibatkan terjadinya dehumanisasi bagi diri manusia itu sendiri. Selain menjadikan
manusia jauh dari penemuan jati dirinya bahkan menjauhkan manusia pada Tuhannya, karakter
ini juga merusak hubungan antar manusia. Dimana relasi sosial menjadi terasuki oleh sifat
egoistik, materialistik dan utilitarian.Bagi kalangan masyarakat muslim, Tuhan menjadi tujuan
akhir dan menjadi tujuan puncak kehidupan manusia. Akuntansi syari’ah,hadir untuk melakukan
dekonstruksi terhadap akuntansi modern. Melalui epistemologi berpasangan, akuntansi syari’ah
berusaha memberikan kontribusi bagi akuntansi sebagai instrumen bisnis sekaligus menunjang
penemuan hakikat diri dan tujuan hidup manusia.
Pada versi pertama, akuntansi syari’ah memformulasikan tujuan dasar laporan keuangannya
untuk memberikan informasi dan media untuk akuntabilitas. Informasi yang terdapat dalam
akuntansi syari’ah merupakan informasi materi baik mengenai keuangan maupun nonkeuangan,
serta informasi nonmateri seperti aktiva mental dan aktiva spiritual. Contoh aktiva spiritual
adalah ketakwaan, sementara aktiva mental adalah akhlak yang baik dari semua jajaran
manajemen dan seluruh karyawan.
Sebagai media untuk akuntabilitas, akuntansi syari’ah memiliki dua macam akuntabilitas yaitu
akuntabilitas horisontal, dan akuntabilitas vertikal. Akuntabilitas horisontal berkaitan dengan
akuntabilitas kepada manusia dan alam, sementara akuntabilitas vertikal adalah akuntabilitas
kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Pada versi kedua, tujuan dasar laporan keuangan syari’ah adalah: memberikan informasi,
memberikan rasa damai, kasih dan sayang, serta menstimulasi bangkitnya kesadaran keTuhanan.
Ketiga tujuan ini, merefleksikan secara berturut-turut dunia materi, mental, dan spiritual. Tujuan
pertama secara khusus hanya menginformasikan dunia materi baik yang bersifat keuangan
maupun non keuangan. Tujuan kedua membutuhkan bentuk laporan yang secara khusus
menyajikan dunia mental yakni rasa damai, kasih dan sayang. Selanjutnya tujuan ketiga,
disajikan dalam wadah laporan yang khusus menyajikan informasi kebangkitan kesadaran
keTuhanan.
Kinerja manajemen syari’ah memiliki tiga bentuk realitas yaitu fisik (materi) dengan perpektif
kesalehan keuangan yang memiliki indikator seperti nilai tambah syari’ah (profit), dan zakat.
Realitas berikutnya adalah psikis (mental) dengan perspektif kesalehan mental dan sosial, yang
memiliki indikator seperti damai, kasih, sayang, adil, empati, dan peduli. Sementara realitas
terakhir adalah spiritual dengan perspektif kesalehan spiritual, yang memiliki indikator seperti
ikhsan, cinta, dan takwa.
Akuntansi syari’ah dibangun dengan mengambil inspirasi dari syari’ah Islam. Secara ontologis,
akuntansi syari’ah memahami realitas dalam pengertian yang majemuk. Sedangkan secara
epistemologis, akuntasi syari’ah dibangun berdasarkan kombinasi antara akal yang rasional
dengan rasa dan intuisi (kombinasi dunia fisik dengan dunia non fisik).
<E. Konsep Pengukuran dalam Akuntansi Syari’ah
Pengukuran merupakan fungsi dari akuntansi, hanya saja sejauh ini ilmu akuntansi baru mampu
melakukan pengukuran pada transaksi yang bersifat kuantitatif, moneter, dan untuk situasi
tertentu yang sudah memiliki dasar adanya transaksi apakah sudah melibatkan kas atau baru pada
tahap ”accrue” saja atau baru melibatkan hak atau title belum direalisasi melum diselesaikan
dengan pembayaran atau penerimaan kas. Pengukuran dalam akuntansi konvensional
dimaksudkan untuk mengetahui posisi keuangan atau dapat dilihat dari neraca dan mengetahui
laba rugi yang dapat dilihat dari laporan laba rugi.
Pengukuran laba merupakan fungsi yang sangat penting dalam akuntansi konvensional, karena
dengan mengetahui laba ini dapat diketahui :
1.Prestasi Manajemen
2.Prestasi Perusahaaan
3.Pembagian Laba
4. Pembagian Bonus
Menentukan Kebijakan Bisnis jika diberikan berbagai alternatif yang banyak
Dalam akuntansi islam ternyata perhitungan labaini juga penting, baik dalam kaitannya dengan
pembagian laba antara pihak yang melakukan kerjasama maupun dalam menentukan hak,
menentukan pembagian warisan, dan perhitungan zakat dari suatu kegiatan muamalat.
Konsep laba dalam akuntansi konvensional telah lama dikaji dan berakar pada konsep economic
income yang disampaikan oleh Fisher pada tahun 1930 dan kemudian dikembangkan oleh Hicks
pada tahun 1946. salah satu hal yang disepakati dalam hal pengukuran income adalah adanya
”capital maintenance” yang berarti dalam menentukan laba maka harga pokok untuk
mendapatkan laba itu harus memperhatikan biaya yang digunakan untuk ”memepertahankan”
modal yang digunakan untuk mendapatkan laba itu. Misalnya mempertahankan nilainya
(financial maintenance), kapasitasnya (physical maintenance), dan sebagainya. Tampaknya
dalam akuntansi islam prinsip memelihara kapital ini lebih sesuai karena didasarkan pada salah
satu Hadits yang menyatakan
” orang yang beriman yang melakukan transaksi dagang, labanya tidaklah sempurna sebelum
modalnya dipelihara, dan juga bagi yang melakukan pekerjaan belum terpenuhi sebelum
kewajibannya diselesaikan.”
Dalam akuntansi konvensional dikenal beberapa pengukuran laba :
Historical Cost, tidak menyertakan holding gain.
Business Incime, menyertakan holding gain
Realizable Income yang meggunakan exit value atau market price, net realizable value, current
cash equivalent, Continuously Contemporary Income
Variable Income yang mengeluarkan laba rugi yang tidak diperkirakan.
menurut Shahul Hameed (2001) dan Hayashi (1989), yang paling sesuai dengan akuntansi islam
khususnya dalam perhitungan laba, atau kekayaan kena zakat adalah Realizable Income yang
menggunakan nilai atau harga pasar, exit value atau selling price.
F . Jenis Laporan dalam Akuntansi Syari’ah
Menurut Baydoun dan Willet (2000), bentuk laporan keuangan perusahaan yang lebih cocok
dengan akuntansi islam adalah value added reporting bukan laporan laba rugi konvensional.
Menurut beliau laporan value added reporting cenderung kepada prinsip-prinsip pertanggung
jawaban sosial. Dalam value added reporting informasi yang disajikan meliputi laba bersih yang
diperoleh perusahaan sebagai nilai tambah yang kemudian didistribusikan secara adil kepada
kelompok yang terlibat dengan perusahaan dalam menghasilkan nilai tambah
Menurut Harahap (2001) berbicara mengenai tangung jawab sosial, islam telah mengaturnya,
tidak hanya tanggung jawab sosial, tapi hanya kepada tuhan. Oleh karena itu untuk memfasilitasi
pertanggung jawaban tersebut maka beberapa kemungkinan bentuk dan jenis laporan keuangan
akuntansi islam adalah sebagai berikut:
Neraca dimana juga dimuat informasi tentang karyawan, dan akuntansi SDM Laporan nilai
tambah sebagai pengganti laporan laba rugi
Laporan arus kas Socio Economic atau laporan pertanggng jawaban sosial catatan penyelesaian
laporan keuangan yang bisa berisi laporan :
a. Mengungkapkan lebih luas tentang laporan keuangan yang disajikan
b. Laporan tentang berbagai nilai dan kegiatan yang tidak sesuai dengan syarat islam. Misalnya
dengan juga menyajikan pernyataan dari Dewan Pengawas Syari’ah
c. Menyajikan Informasi tentang efisiensi, good governance dan laporan produktifitas.
Beberapa item yang dapat diungkapkan melalui laporan keuangan :
informasi tentang karyawan :
a. Cuti hamil yang diberikan perusahan
b. Bonus /THR
c. Rasio Pendapatan Pegawai tertinggi dan terendah
d. Jam kerja biasa dan sewaktu Ramadhan
e. Perbedaan jam kerja, ruangan wanita dan laki-laki
Aspek lingkungan:
a. Tingkat polusi yang ditimbulkan perusahaan
b. Komplain masyarakat/ tetangga
c. Penyediaan sarana Ibadah
d. Perlindungan karyawan, keamanan pekerja, pekerja malam.
e. Pemeliharaan lingkungan yang nyaman.
Aspek sosial
a. Zakat yang dibayarka
b. Infaq dan shadaqah
c. Pemeliharaan dan bantuan orang miskin dan anak yatim
d. Bantuan pembangunan mesjid, sarana pendidikan dan sarana sosial lainnya.
e. Bantuan keamanan lingkungan
f. Bantuan untuk keguatan masyarakat
konsepsi Pelaporan Keuangan
Karena akuntansi konvensional yang dikenal saat ini diilhami dan berkembang berdasarkan tata
nilai yang ada dalam masyarakat barat, maka kerangka konseptual yang dipakai sebagai dasar
pembuatan dan pengambangan standar akuntansi berpihak kepada kelompok kepentingan
tertentu.
Laporan keuangan merupakan hasil akhir dari suatu proses akuntansi. Agar informasi keuangan
yang disajikan bermanfaat bagi para pemakai, maka proses penyajiannya harus berdasarkan pada
standar akuntansi yang berlaku. Dalam merumuskan standar akutansi, diperlukan acuan teoritikal
yang dapat diterima umum, sehingga standar akuntansi yang diterapkan dapat digunakan untuk
mengevaluasi praktik akuntansi yang berlangsung. Acuan teoritikal ini disebut kerangka
konseptual penyusunan laporan keuangan.
Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntutan masyarakat akan
informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran di kalangan intelektual
muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang islami. Perumusan kembali kerangka
konseptual pelaporan keuangan dengan mendasarkan pada prinsip kebenaran, kejujuran dan
keadilan menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Mengingat akuntansi syariah sesuai dengan
fitrah (kecenderungan) manusia yang menghendaki terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang
menjunjung tinggi etika dan tanggung jawab sosial.
Islam yang disampaikan Rasulullah saww melingkupi seluruh alam yang tentunya mencakup
seluruh umat manusia. Di sinilah perbedaan antara paham akuntansi konvensional dengan
akuntansi syariah. Paham akuntansi konvensional hanya mementingkan kaum pemilik modal
(kapitalis), sedangkan akuntansi syariah bukan hanya mementingkan manusia saja, tetapi juga
seluruh makhluk di alam semesta ini.
<G. Ilmu Auditing Dalam Perspektif Islam
Sebagaimana kita ketahui, dengan munculnya ilmu akuntansi maka muncul pula berbagai
disiplun ilmu yang berkaitan dengan disiplin ilmu tersebut, diantaranya adalah Auditing. Sistem
ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya menjadi bahan diskusi
para ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor perbankan, dan kemudian juga
merambat pada sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal. Perkembangannya
sangat pesat, saat ini tidak kurang dari 200 lembaga keuangan Islam telah beroperasi menerapkan
sistem ekonomi islam yang terdapat diberbagai belahan dunia bukan saja dinegara Islam tetapi
juga di negara non muslim. Dengan munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti
memiliki perbedaan dengan lembaga konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan
sistem nilai syariah yang didasarkan pada kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan
Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem yang berkaitan dengan eksistensi lembaga
ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin menerapkan nilai-nilai Islami secara
konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami dalam melakukan fungsi
audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini.
Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and
Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu : 1. Menentukan tujuan
berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai bahan
pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini. 2.
Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kepitalis kemudian mengujinya
menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak
hal-hal yang bertentangan dengan syariah.
Bagaimana pengatauran Kode Etik Profesinya? Etika sering disebut moral akhlak, budi pekerti
adalah sifat dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani yang merupakan pedoman perilaku
yang idial yang seharusnya dimiliki oleh manusia sebagai mahluk moral. Kode Etik Akuntan ini
adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syari?ah islam. Dalam sistem nilai Islam
syarat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan
dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan negara Islam. Namun disamping dasar syariat ini
landasan moral juga bisa diambil dari hasil pemikiran manusai pada keyakinan Islam. Beberapa
landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah :
Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh
perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk
melaksanakan suatu kewajiban.
Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam
melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk
kepalsuan lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan
luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi profesinya.
Tugas profesi harus bisa dikonversi menjadi tugas ibadah.
Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi
maupun terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat negatif
dari perilaku yang bertentangan dari syari?ah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku
terhadap penggunaan kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang
tidak sesuai dengan syari?ah.
Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya
melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari
dan mnenegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua
tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak
akan bisa direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan
pemahaman serta pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal
ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An Nahl ayat 90 Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berbuat adil dan berbuat kebajikan??, dan dalam Surat Al Baqarah ayat 195 Dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik?.
Takut kepada Allah dalam setiap Hal : Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat dan
menyaksikan semua tingkah laku hambaNya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan
setiap tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti sorang akuntan/auditor harus
berperilaku ?takut? kepada Allah tanpa harus menunggu dan mempertimbangkan apakah orang
lain atau atasannya setuju atau menyukainnya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia
mampu bertahan terus menerus dari godaan yang berasal dari pekerjaan profesinya. Sikap ini
ditegaskan dalam firman Allah Surat An Nisa ayat 1 Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu?. Dan dalam Surat Ar Ra?d Ayat 33 Allah berfirman : ?Maka apakah Tuhan
yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian
sifatnya)?. Sikap pengawasan diri berasal dari motivasi diri berasal dari motivasi diri sehingga
diduga sukar untuk dicapai hanya dengan kode etik profesi rasional tanpa diperkuat oleh ikatan
keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Allah yang selalu memperhatikan dan melihat
pekerjaan kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat 7 Sesungguhnya dia
mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi?.
Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah : Akuntan Muslim harus meyakini bahwa Allah
selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah
lakunya kepada Allah nanti di hari akhirat baik tingkah laku yang kecil amupun yang besar.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 : ?Barang siapa yang mengerjakan
kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun niscaya dia akan melihat balasnya pula?. Oleh karena
itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua
pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri.
Gambaran singkat ini mudah-mudahan menggugah kita bahwa auditing syari’ah sudah mulai
berkembang sejalan dengan perkembangan sistem ekonomi islam. Suatu sistem ekonomi yang
didasarkan pada nilai-nilai Islam.
H. Eksistensi Lembaga Keuangan dan Akuntansi Syari’ah
Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan perbankan syariah saat ini
adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi
keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat. Kita
mengetahui bahwa diantara kunci kesuksesan suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat
kepercayaan publik terhadap kekuatan finansial bank yang bersangkutan, dan kepercayaan
terhadap kesesuaian operasional bank dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan ini terutama
kepercayaan yang diberikan oleh para depositor dan investor, dimana keduanya termasuk
stakeholder utama sistem perbankan di dunia ini.
Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi
yang diberikan kepada publik, dimana bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia
memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan-
tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi dan
audit yang bersifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama
yang harus dipenuhi. Tanpa itu, mustahil bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya
dengan kalangan perbankan konvensional. Bahkan jika kita melihat pada Al-Quran, maka
kebutuhan pencatatan transaksi dalam sebuah sistem akuntansi yang tertata merupakan suatu hal
yang sangat penting.
Kalau kita cermati surah Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan untuk melakukan penulisan
secara benar atas segala transaksi yang pernah terjadi selama melakukan muamalah. Dari hasil
penulisan tersebut dapat digunakan sebgai informasi untuk menentukan apa yang diperbuat oleh
seeorang. jikalau kita kaitkan ayat tersebut dengan konteks perbankan kontemporer, maka
memiliki sistem akuntansi yang sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam.
Namun yang perlu kita perhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi pada
perbankan syariah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan sistem akuntansi perbankan
konvensional, meski pada aspek-aspek tertentu, keduanya memiliki persamaan-persamaan.
Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan riba / bunga dalam praktek perbankan
syariah dan differensiasi produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam bila
dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga konsep dan struktur dasar
investasi dan keuangan pada sistem perbankan syariah haruslah menjadi konsideran utama
didalam membangun sistem akuntansi yang kredibel.Dengan demikian, lahirnya sistem ekonomi
islam secara langsung akan mempengaruhi bentuk sistem akuntansi yang akan diterapkan dalam
suatu masyarakat.
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kerangka akuntansi konvensional, yang
didasarkan pada ide-ide barat, tidak sesuai diterapkan pada masyarakat islam.
Ketidaksesuaiannya itu terlihat pada aspek: pengeliminasian nilai-nilai agama; penggunaan
rasionalitas sebagai dasar pengambilan keputusan; dan penekanannya pada nilai pemilik modal
pada suatu perusahaan. Oleh karena itu kenyataannya masyarakat islam memiliki alternatif atas
keberadaan akuntansi konvensional, dan para sarjana muslim mampu mengembangkan kerangka
akuntansi yang sesuai dengannya dan didasarkan pada nilai-nilai agamanya.
Sementara itu, paradigma stari’ah, menekankan pada aspek nilai hukum dan etika islami dalam
sistem akuntansi. Aspek ini diusulkan menjadi kerangka yang sesuai dalam mengembangkan
akuntasi syari’ah. Suatu hal yang sangat penting untuk diperkenalkan adalah bahwa penerapan
akuntansi syari’ah berdasarkan pada paradigma syari’ah yng merupakan bagian yang sangat
berhubungan dengan tauhid al-ibadah mengakui ke-Esa-an Allah sebagai pemilik Alam semesta
ini). Denagn demikian, usaha berkelanjutan akan dilakukan oleh setiap orang islam untuk
menjabarkan syari’ah dalam kehidupannya. Hal yang lebih penting adalah penjabaran tersebut
diharapkan dapat diterima oleh semua golongan, khususnya bagi kelompok non-muslim.
oleh karena itu, hal ini bukanlah tugas yang mudah, kecuali ada upaya yang sungguh-sungguh
untuk mencapai suatu keadaan yang islami, pada seluruh aspek kehidupan. Jika hal ini dapat
diwujudkan, maka usaha yang terus menerus itu dapat diterjemahkan dalam bisnis , manajemen.
Itu semua dapat dilakukan dalam rangka untuk menantarkan manusia dapat mencapai tingkat
kemenangan (falah).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Harahap, Sofyan Syafri, 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam, Penerbit Quantum,
Jakarta
Muhammad, 2002. Pengantar Akuntansi Syari’ah. Penerbit Salemba Empat, Jakarta
Ash-Shadr, Syahid Muhammad. 2002. Keunggulan Ekonomi Islam. Pustaka Zahra, Jakarta
www.fatimah.org. Akuntansi dalam Perspektif Islam , Diakses Pada Tanggal 21 Juli 2007 Pukul
16.00 WIB
www.bpkp.or.id. Auditing, Diakses Pada tanggal 21 Juli 2007. Pukul 16.30 WIB
slamic Values: Dalam Pelaporan Keuangan Syariah
Author: Edo Segara /
Rifki Muhammad, SE, SH.[1]
Edo Segara, SE.[2]

LAHIRNYA Akuntansi Syariah yang merupakan paradigma baru dalam wacana Akuntansi
[Triyuwono, 2000] sangat terkait dengan kondisi obyektif yang melingkupi umat Islam secara
khusus dan masyarakat dunia secara umum. Kondisi ini meliputi: norma agama, kontribusi umat
Islam pada masa lalu, sistem ekonomi kapitalis yang berlaku saat ini dan perkembangan
pemikiran di Indonesia, istilah akuntansi syariah muncul pada pertengahan tahun 1997 ketika
Harian Republika mengekpos Iwan Triyuwono dengan topik pembicaraan akuntansi syariah.
Sejak saat itu wacana akuntansi syariah mulai ada dan berkembang di Indonesia.

Pada tahap awal, istilah akuntansi syariah merupakan pemicu bagi lahirnya akuntansi syariah
pada tingkat wacana (discourse). Ini ternyata mempunyai dampak yang sangat positif. Jadi dapat
dikatakan bahwa akuntansi syariah merupakan sebuah wacana yang bisa digunakan untuk
berbagai ide, konsep dan pemikiran tentang akuntansi syariah itu sendiri. Wacana tersebut
seterusnya berada pada tatanan konsep, tetapi bisa juga diturunkan ke tatanan yang lebih praktis.
Yang pertama cenderung untuk mengembangkan akuntansi syariah sebagai kajian filosofis-
teoritis yang memberi payung untuk derivasi konkrit dalam bentuk praktik dan kebutuhan
pragmatis. Di Indonesia, karya Widodo dkk (1999) tentang akuntansi untuk Baitul Maal wa
Tamwil (BMT) yang bisa dianggap sebagai karya konkrit dan praktis tentang akuntansi syariah.
PSAK 59 tentang akuntansi perbankan syariah yang disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi
Keuangan pada tanggal 1 Mei 2002 akan menambah wacana tentang akuntansi syariah praksis di
Indonesia.

PSAK 59 banyak merujuk pada standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI yaitu Accounting and
Auditing for Islamic Financial Institutions. PSAK 59 sendiri masih mengandung nanyak kritikan
seperti masalah cash basis dan accrual basis, revenue sharing dan profit sharing, namun belum
banyak yang memberikan kritikan mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Triyuwono
(2002b) berargumentasi bahwa PSAK 59 masih sarat dengan nilai kepemilikan kapitalisme
karena menggunakan entity theory yang sangat berorientasi pada income untuk maksimum
utilitas bagi pemilik. Hamed (2003) menyatakan bahwa ketika institusi Islami menggunakan
akuntansi konvensional yang berbasis nilai sekuler kapitalistik maka akan menyebabkan
mismatch dalam pencapaian socio-economic objectives of Shari’ah. Oleh karena itu kajian
mengenai nilai-nilai Islami dalam akuntansi syariah praksis (termasuk PSAK 59) dengan kriteria
akuntansi syariah filosofis-teoritis, sangat perlu dilakukan.

Laporan Keuangan: Paradigma Akuntansi Syariah Filosofis-Teoritis

Hameed (2003) mendefinisikan akuntansi Islami (syariah) sebagai proses akuntansi yang
menyediakan informasi yang sesuai (tidak hanya terbatas pada data keuangan) kepada
stakeholders sebuah entitas untuk menjamin bahwa institusi tersebut beroperasi secara
berkelanjutan sesuai dengan prinsip syariah dan membawanya kapada tujuan socio-economic.
Makna definisi tersebut akan lebih jelas jika membandingkan definisi tersebut dengan definisi
akuntansi konvensional. Akuntansi konvensional seperti kita ketahui adalah proses identifikasi,
pencatatan, klasifikasi, interprestasi dan mengkomunikasikan peristiwa ekonomi kepada
pengguna tertentu untuk pengambilan keputusan (AAA, 1996). Berdasar definisi tersebut,
Hameed (2003) membedakan akuntansi syariah dengan akuntansi konvensional karena tiga hal:
(1) tujuan penyediaan informasi, (2) tipe informasi yang diidentifikasi dan bagaimana mengukur
dan menilainya, mencatat dan mengkomunikasikannya (3) kepada siapa informasi tersebut
dikomunikasikan (users). Akuntansi konvensional bertujuan menyediakan informasi yang tujuan
utamanya adalah mengalokasikan sumber daya yang tersedia secara efisien dalam kerangka
market efficiency hypothesis yang dipakai oleh pengguna dalam keputusan jual atau beli dalam
invenstasi mereka. Sedangkan tujuan akuntansi syariah adalah menjamin bahwa organisasi
Islami mematuhi prinsip syariah dan mencoba mencapai tujuan socio economic tertentu yang
sesuai dengan Islam. Berdasar tujuan tersebut, maka akuntansi syariah harus holistic dalam
pelaporannya dengan ukuran finansial dan non finansial dengan mempertimbangkan peristiwa
dan transaksi ekonomi, sosial, lingkungan dan religius yang harus diukur dan
dilaporkan/diungkapkan.

Sementara itu, Triyuwono (2002a) memformulasikan tujuan dasar laporan keuangan akuntansi
syariah yang bersifat “materi” adalah pemberian informasi untuk pengambilan keputusan
ekonomi sedangkan yang bersifat “spirit” adalah akuntabilitas. Kedua tujuan ini bersifat
mutually inclusive yaitu tujuan yang satu tidak dapat meniadakan yang lain dan berada dalam
satu kesatuan. Triyuwono (2002a) berargumen bahwa akuntansi syariah merupakan instrumen
akuntabilitas yang digunakan oleh manajemen kepada Tuhan (akuntabilitas vertikal),
stakeholders dan alam (akuntabilitas horisontal). Mengenai informasi yang harus
diberikan/diungkapkan oleh akuntansi syariah, Triyuwono (2002a, 214) berpendapat: ”Perlu
diketahui bahwa dalam pemikiran ini, pemberian informasi tidak terbatas pada pemberian
informasi kuantitatif, sebagaimana pada akuntansi modern, tetapi juga melingkupi informasi
kualitatif, baik yang bersifat ekonomi maupun yang bersifat social, spiritual, dan politik bisnis. ”

Baydoun dan Willet (1994,17) juga menekankan pentingnya akuntabilitas kepada Tuhan dan
masyarakat sebagai tujuan dari akuntansi syariah:
The focal concepts of ownership in Islam are different from that of the typical western
interpretation. According to Shari'a, individuals are only trustees for what they own. God is the
ultimate owner the all wealth (Qur'an 6:165, 57:7). Although individuals have the right own
resources that are made avalaible by God, the right is not absolute. This tenet has a direct impact
on the objective of accounting from an Islamic point of view. Accountability is seen as being
personal accountanbility to God. Accountability from the traditional western perspective, of
course, is being interpreted by being accountable to private stakeholder. In an Islamic accounting
system, accountability may be interpreted as being accountable to the society at large.

Akuntansi syariah menurut Baydoun dan Willet (1994) mempunyai dua prinsip esensial yaitu full
disclosure dan social accountability yang diturunkan dari pertanggungjawaban menurut syariah
setiap muslim kepada masyarakat secara umum. Berdasar prinsip tersebut maka kerangka
pengungkapan (disclosure framework) barat dipandang oleh Baydoun dan Willet (1994) sangat
terbatas untuk tujuan akuntabilitas kepada umat. Hal ini disebabkan disclosure terbatas pada
laporan keuangan yang berdasarkan historical cost serta mengabaikan hubungan potensial entitas
dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Baydoun dan Willet (2000) berargumentasi bahwa
fokus akuntansi syariah berbeda dengan fokus pemilik entitas dalam akuntansi barat sehinggga
prinsip full disclosure mutlak dibutuhkan oleh akuntansi syariah (Baydoun dan Willet, 2000,81) :

In contrast to the focus on the owners of the entity in WFASs, the focus in Islam on the Unity of
God, the community and the environment demands a form of social accountability rather than
the personal accountability found in Western societies. Similarly, for the consensus to operate
effectively a principle of full disclosure of accounting information is needed, not based upon the
outcome of a political process but upon what ought to be disclosed in order to serve the objective
of social accountability.
Oleh karena itu Baydoun dan Willet (1994, 2000) mengusulkan format Islamic Corporate Report
dengan pengungkapan yang lebih luas dibandingkan dengan akuntansi konvensionaj, Selain
neraca (historical cost), laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas, dan
laporan keuangan yang menunjukkan karakteristik perusahaan Islami seperti: laporan perubahan
dana investasi terikat, dan laporan sumber dan penggunaan dana zakat dan qard, mereka juga
mengusulkan neraca (current value) dan Laporan Nilai Tambah (Value Added Statement).
Tambahan laporan keuangan tersebut dianggap. sesuai dengan karakteristik akuntansi syariah
yang menunjukkan perhatian entitas terhadap kepentingan sosial (indirect stakeholders) dan
lingkungan alam.

Yaya (2001) berpandangan bahwa diperlukan perubahan yang besar (extensive overhaul)
akuntansi konvensional untuk menjadi akuntansi syariah. Ia berpandangan bahwa akuntansi
konvensional gagal mencapai tujuan sosial ekonomi dalam Islam. Tujuan sosial ekonomi dalam
Islam menjadi landasan dalam setiap figh/aturan Islam yang berkaitan dengan isu ekonomi
karena permasalahan ekonomi saat ini sangat rumit sementara beberapa di antaranya tidak diatur
secara langsung oleh prinsip syariah. Sebagai contoh permasalahan pasar modal tidak diatur
secara langsung oleh prinsip syariah tetapi substansi masalahnya dapat diputuskan oleh prinsip
syariah yang berlandaskan tujuan sosial ekonomi dalam Islam. Contoh lain adalah masalah zakat
penghasilan. Meskipun zakat penghasilan tidak diatur secara langsung dalam prinsip syariah,
tetapi karena sesuai dengan tujuan sosial ekonomi dalam Islam, hampir semua pemikir dapat
menerimanya dan bahkan telah dilaksanakan dalam beberapa masyarakat Islam.

Perubahan yang kecil {slight changes) diragukan bisa mencapai tujuan sosial ekonomi Islam
baik dalam level mikro maupun makro. Ibrahim (2000) dalam Yaya (2001) berpendapat bahwa
dalam level mikro, teknik akuntansi seperti penganggaran, varians, dan pengukuran kinerja telah
memisahkan antara akuntabilitas dan akuntansi yang membawa konsekuensi sosial dan manusia
yang negatif. Dalam level makro telah menjadi alat yang efektif untuk tujuan eksploitasi
perusahaan multinasional, privatisasi, pengangguran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu
Yaya (2001) berpandangan perlu dilakukan perubahan yang mendasar dalam akuntansi
konvensional untuk mencapai tujuan sosial ekonomi. Meskipun demikian Yaya (2002)
berargumen bahwa perkembangan pelaporan akuntansi barat dapat dipertimbangkan sebagai
sarana pelaporan akuntansi Islam masa depan. Hal ini disebabkan perkembangan tersebut sejalan
dengan pemikiran akuntansi Islami yang memandang organisasi tidak hanya terlibat dalam
peristiwa ekonomi namun juga peristiwa sosial dan lingkungan seperti penggunaan sumber daya
alam dan tenaga kerja yang disediakan oleh masyarakat dan lingkungan.

Berkaitan dengan tujuan akuntansi syariah, Haniffa dan Hudaib dalam A Conceptual Framework
For Islamic Accounting: The Syariah Paradigm (2001) merumuskannya untuk membantu
keadilan sosial dan ekonomi serta mengakui pemenuhan kewajiban kepada stakeholders, sosial,
dan Tuhan. Pendapat tentang pentingnya keadilan ini berdasar nucleus Al Qur'an Surat Al-Hadiid
ayat 24:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan Neraca (Keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan.” (Q. S. Al Hadiid: 24)

Sedangkan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban (akuntabilitas) dapat dilihat konsep


kepemilikan dalam Islam pada Surat Thaha ayat 6:

Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di antara
keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah (Q. S. Thaha: 6)
Mohammad R. Taheri dalam artikelnya yang berjudul The Basic Principles of Islamic Economy
and Their Effects on Accounting Standars Settings (2000) berpendapat bahwa kebijakan
akuntansi untuk akuntansi model Islami akan lebih berorientasi nilai (value-oriented). Hal ini
didasarkan adanya tiga komponen dasar dalam ekonomi Islam yaitu prinsip multi kepemilikan
dalam Islam, prinsip kebebasan ekonomi dengan batasan yang ditentukan, dan prinsip keadilan
sosial. Berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut, maka laporan keuangan harus ditujukan untuk
memenuhi kepentingan negara, manajemen dan masyarakat.

Sementara Harahap (2001) mengusulkan Struktur Teori Konseptual Akuntansi Islam yang
memuat tujuan akuntansi syariah. Tujuan tersebut yaitu tujuan muamalah (Amar Ma'ruf Nahi
Munkar, keadilan dan kebenaran), maslahat sosial, kerjasama, menghapus riba, mendorong
zakat, dan menghindari riba. Senada dengan pendapat tersebut, Hameed (2000a) menekankan
pentingnya tujuan akuntasi syariah untuk memberikan informasi bagi perhitungan zakat,
pelaksanaan keadilan, dan melaporkan kegiatan yang bertentangan dengan syariah. Tujuan-
tujuan perlu dilaksanakan dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban baik kepada direct
stakeholders maupun indirect stakeholders. Sedangkan Khan (1994) menyatakan bahwa tujuan
informasi akuntansi untuk bank syariah berbeda dengan bank konvensional karena dua alasan
yaitu: (1) bank syariah berhubungan dengan kerangka syariah sehingga konsep transaksinya
berbeda dengan bank konvensional (2) pengguna informasi yang dihasilkan bank syariah
mempunyai kebutuhan yang berbeda dengan pengguna informasi bank konvensional. Pengguna
informasi bank syariah menurut Khan (1994) tidak hanya direct stakeholders saja seperti
shareholders, investor, Dewan Pengawas Syariah, bank sentral, pemerintah, namun juga indirect
stakeholders seperti general public, non-muslim observers , peneliti, dan karyawan. Oleh karena
itu informasi yang diungkapkan tidak hanya untuk direct stakeholders seperti informasi yang
membantu mengevaluasi kemampuan menjaga aset, memelihara likuiditas, penggunaan sumber
daya yang profitable dan kepatuhan terhadap syariah namun juga informasi pertanggungjawaban
kepada karyawan, customers, masyarakat, dan lingkungan.

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan akuntansi syariah dalam wacana
filosofis-teoritis yaitu lebih menekankan pada pemenuhan akuntabilitas. Hal inilah yang
membedakan dengan akuntansi konvensional yang lebih menekankan pada pemberian informasi
untuk pengambilan keputusan ekonomi. Tujuan akuntansi syariah tersebut akan mendasari teori-
teori akuntansi syariah termasuk dalam hal pengungkapan pelaporan keuangan. Berdasarkan
paradigma akuntansi syariah di atas maka Ratmono (2004) menyusun formula pengungkapan
pelaporan keuangan minimum bank syariah berdasar pendapat Baydoun and Willet (1994, 2000),
Gambling and Karim (!991),Hameed (2000a, 2000b, 2000c, 2003), Haniffa and Hudaib (2001),
Harahap (1997, 2001, 2002), Khan (1994), Taheri (2001), Triyuwono (2001), Yaya (2002), dan
Rahman (2000). Dari formula tersebut nampak bahwa sangat ditekankan pengungkapan Islamic
values untuk tujuan akuntabilitas yang tidak hanya terbatas pada ukuran keuangan dan
berorientasi direct stakeholders. Wallahua’lam.

DAFTAR PUSTAKA

AAOIFI, 1998. Accounting and Auditing Standars for Islamic Financial Institutions. AAOIFI
Bahrain

Al Qur'an. 1986. Terjemahan Departemen Agama. Jakarta: Departemen Agama


Baydoun, N and R. Willet. 1994. Islamic Accounting Theory. The AAANZ Annnual Conference
Baydoun, N. and Willet. R.. 2000. Islamic Corporate Reports. ABACUS, Vol 36, No I.
Belkaoui, Ahmed Riahi, 2001. Teori Akuntansi. Jakarta: Salemba Empat.
Gambling, Trevor dan Rifaat Abdel Karim. 199., Bussines and Accounting Ethics in Islam.
London: Mansell
Ghozali, Imam. 2002. Metodologi Ekonomi Islam. Makalah Seminar Ekonomi Islam KSEI
UniversitasNegeri Semarang
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim. 2000a. From Conventional Accounting to Islamic
Accounting,
Review of the Development Western Accounting Theory and Its Implication and Differences in
the
Development of Islamic Accounting, www. islamic_ accounting, com.
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim. 2000b. The Need for Fundamental Research in
Islamic Accounting.www. islamic_ accounting, com.
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim. 2000c. A Review of Income and Value Measurement
Concepts in
Conventional Accounting Theory and Their Relevance to Islamic Accountin.,
www.islamic_accounting, com.
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim. 2000d. Nurtured by "Kufr": The Western
Philosophical Assumptions Underlying Conventional (Anglo-american) Accounting.
International Journal of Islamic Financial Services Vol. 2 No. 2
Hameed, Shahul bin Hj. Muhamed Ibrahim. 2003. Islamic Accounting, A New Push. Akauntan
Nasional :Januari/Februari 2003
Haniffa, Ross dan Hudaib, 2001. A Conceptual Framework for Islamic Accounting: The Shariah
Paradigm. www. islamic_ accounting, com
Harahap, Sofyan Safri. 1997. Akuntansi Islam. Jakarta: Bumi Aksara
Harahap, Sofyan Safri. 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Jakarta: Penerbit
Quantum Harahap, Sofyan Safri. 2002.The Disclosure of Islamic Values-The Analysis of Bank
Muamalat's Indonesia Annual Report. Makalah Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islam
yang diselenggarakan oleh P3EI FE UII, 13-14 Maret 2002
Hendriksen, Eldon S dan Michael Van Breda. 1991. Accounting Theory. Illinois:lrwin -Mac
Graw Hill,. IAI. 2002. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Bank
Syariah., Jakarta: IAI IAI. 2002. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 59 tentang
Akuntansi Perbankan Syariah. Jakarta: IAI Khan, Muhammad Akram. 1994. Accounting Issues
and Concepts for Islamic Banking. London: The Institute of Islamic banking and Insurance
Rahman, Shadia. 2000. Islamic Accounting Standards, www. islamic_ accounting, com Taheri,
Ratmono, Dwi. 2004. Pengungkapan Islamic Values dalam Pelaporan Bank Syariah menurut
Paradigma Akuntansi Syariah Filosofis-Teoritis dan PSAK 59. Disajikan pada Simposium
Nasional Sistem Ekonomi Islami II di Universitas Brawijaya Malang.
Mohammad.R, 2000, The Basic Principles of Islamic Economy and Their Effects on Accounting
Standards-Setting, www. islamic_ accounting, com
Triyuwono, Iwan. 2000a. Organisasi dan Akuntansi Syari 'ah. Yogyakarta: LKiS
Triyuwono. Iwan, 2000b. Akuntansi Syariah: Paradigma Baru dalam Wacana Akuntansi.
makalah Seminar Nasional Ekonomi Islam Kelompok Studi Ekonomi Islam Universitas
Diponegoro 11-13 Mei 2000
Triyuwono, Iwan. 2001. Metafora Zakat dan Shariah Enterprise Theory sebagai Konsep Dasar
dalam Membentuk Akuntansi Syariah. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. Volume 5 No. 2
Desember 2001 Triyuwono, Iwan. 2002a. Sinergi Oposisi Biner: Formulasi Tujuan Dasar
Laporan Keuangan Akuntansi
Syari'ah. Makalah Simposium Nasional Sistem Ekonomi Islami yang diselenggarakan oleh Pusat
Pengembangan Ekonomi Islam Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. 13-14 Maret
2002

You might also like