You are on page 1of 12

LAMPIRAN 9

APA PERJANJIAN INTERNASIONAL ITU? BEBERAPA PERKEMBANGAN


TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA TENTANG HUKUM PERJANJIAN
INTERNASIONAL Oleh Damos Dumoli Agusman*

* Tulisan ini dimuat dalam buku “Refleksi Dinamika Hukum” (2008) dalam rangka mengenang Prof.
Dr. Komar Kantaadmaja, S.H., LL.M. Penulis adalah lulusan FH Unpad (1987) dan University of
Hull, Inggris (1990) yang saat ini menjabat Direktur Perjanjian Ekososbud, Direktorat Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dan bukan
merupakan pandangan resmi DEPLU.

”Apa perbedaan antara perjanjian internasional dengan perjanjian biasa atau kontrak?”,
demikian pertanyaan Almarhum Prof. DR. Komar Kantaatmadja S.H., LL.M, kepada
penulis pada saat sidang ujian skripsi penulis tentang hukum perjanjian internasional
pada tahun 1986. Penulis menjawab secara normatif bahwa yang pertama subjeknya
adalah negara, sedangkan yang kedua subjeknya adalah orang/badan hukum. ”Tapi
negara dengan negara juga bisa membuat kontrak?”, lanjut beliau dengan tersenyum.
Penulis merenung dan saat usainya ujian skripsi, penulis masih belum dapat menemukan
jawabannya.

Penulis semakin menyadari betapa pentingnya memahami definisi perjanjian internasional


guna membedakannya dengan kontrak/perjanjian biasa. Pemahaman publik tentang apa
itu perjanjian internasional juga sangat minim dan acapkali melihatnya dari segi popular
yaitu perjanjian yang bersifat lintas batas. Distorsi publik ini pulalah yang mendorong
lahirnya klaim bahwa Production Sharing Contracts (PSC) antara Pemerintah RI adalah
”perjanjian internasional” sehingga memicu adanya judicial review terhadap Undang-
Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ke Mahkamah Konstitusi pada
tahun 2007. Kasus judicial review ini merupakan kasus yang pertama dalam jurisprudensi
Indonesia yang mengangkat permasalahan teoritis tentang hukum perjanjian
internasional.

Masalah definisi perjanjian internasional memang salah satu issue kontroversi dalam
literatur hukum perjanjian internasional. Perdebatan sengit bahkan berlangsung pula
dalam perumusan definisi ini pada Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional.
Menurut Konvensi ini, perjanjian internasional adalah:

“An International Agreement concluded between States and International


Organizations in written form and governed by International Law, whether embodied

97
in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its
particular designation”

Selanjutnya, definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional yang merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang
hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh
Pemerintah dengan Negara, organisasi internasional, atau subjek hukum
internasional lain.

Dari pengertian hukum ini, maka terdapat beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi
oleh suatu dokumen untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional
menurut Konvensi Wina 1969 dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, yaitu:

● an International Agreement;
● by Subject of International Law;
● in Written Form;
● “Governed by International Law” (diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
● Whatever Form.

Parameter tentang ”Governed by International Law” merupakan elemen yang sering


menimbulkan kerancuan dalam memahami perjanjian internasional tidak hanya di
kalangan praktisi namun juga akademisi. Dalam pembahasan tentang Konvensi Wina
1969, suatu dokumen disebut sebagai ”Governed by International Law” jika memenuhi
dua elemen, yaitu “intended to create obligations and legal relations under international
law:

a. Intended to create obligations and legal relations.


There may be agreements whilst concluded between States but create no obligations and
legal relations. They could be in the form of a “Joint Statement”, or “MOU”, depends on
the subject-matter and the intention of the parties (ILC Draft and Commentary, 1967).

b. …Under International Law.


There may be agreements between States but subject to the local law of one of the
parties or by a private law system/conflict of law such as “agreements for the acquisition
of premises for a diplomatic mission or for some purely commercial transactions i.e. loan
agreements” (Report of the ILC Special Rapporteur, 1962).

98
Permasalahan teoritis tentang bagaimana mengidentifikasi bahwa suatu dokumen adalah
”Governed by International Law” juga masih menimbulkan perdebatan akademis. Apakah
hal ini dapat ditarik dari the intention of the Parties? the Subject-Matter of the
agreement?, atau should there be a presumption that an inter-state agreement which is
intended to create legal relations is governed by international law? Pakar hukum D.J.
Harris sendiri masih melihat hal ini sebagai ”unanswered questions”.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sendiri telah


menekankan bahwa perjanjian internasional yang menjadi lingkup Undang-Undang ini
adalah hanya perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerinth Indonesia yang diatur
dalam hukum internasional serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum
publik dan bukan di bidang hukum perdata. Namun praktek Indonesia tentang
pembuatan perjanjian internasional baik sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000 tidak luput dari kerancuan ini. Sebelum lahirnya Undang-Undang ini,
semua dokumen sepanjang bersifat lintas negara, sepanjang yang menjadi pihak adalah
Pemerintah RI, diperlakukan sebagai perjanjian internasional dan disimpan dalam ”Treaty
Room”. Perjanjian yang dibuat Pemerintah RI dengan NGO juga dianggap sebagai
perjanjian internasional. Agreement yang dibuat oleh Pertamina and PT Caltex, PT
Stanvac and PT Shell juga pernah dianggap sebagai perjanjian internasional dan bahkan
diratifikasi melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1963.

Setelah lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,


praktek di Indonesia telah menunjukkan konsistensi tentang perjanjian namun masih
terdapat kesulitan tentang pembedaan yang berkaitan dengan “Governed by
International Law”, sehingga semua dokumen sepanjang dibuat oleh Pemerintah
RI dengan Subjek Hukum Internasional masih dianggap sebagai perjanjian
internasional sekalipun perjanjian itu tunduk pada hukum nasional seperti “loan
agreements”.

Keputusan MK terhadap judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang


Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), dimana penulis juga terlibat untuk mewakili
pemerintah, merupakan jurisprudensi landmark bagi perkembangan hukum perjanjian
internasional di Indonesia. Dalam kasus ini, beberapa anggota DPR mempermasalahkan
bahwa pasal 11 ayat (2) UU Migas yang berbunyi ”Setiap Kontrak Kerja Sama (KPS) yang
sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR-RI” dianggap
bertentangan dengan pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi ”Presiden dalam
membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan

99
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan
DPR”.

Mahkamah Konstitusi dalam judical review ini telah melakukan koreksi terhadap distorsi
yang terjadi dalam opini public tentang apa itu perjanjian internasional. Mahkamah
Konstitusi menyatakan:

“Meskipun bunyi pasal 11 ayat (2) UUD 1945 menyebut, “perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, kami dapat
menyetujui pendapat Pemerintah dan ahli yang diajukan bahwa perjanjian internasional
yang dimaksud adalah perjanjian internasional sebagaimana diartikan dalam pasal 1 dan
2 Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian (Law of Treaties) dan pasal 2
ayat (1) huruf a Konvensi Wina tahun 1986 tentang Perjanjian Internasional. Oleh
karenanya, Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU
Migas, tidak termasuk Perjanjian Internasional yang merupakan ruang lingkup pasal 11
UUD 1945, dan karena itu permohonan Pemohon sepanjang mengenai hal tersebut tidak
cukup beralasan”.

Status loan agreements juga menjadi kontroversi dalam perspektif definisi perjanjian
internasional. Hal ini disebabkan adanya pergeseran tentang governing law yang
mendasari perjanjian-perjanjian pinjaman. Secara konvensional, perjanjian pinjaman
dikenal sebagai perjanjian perdata internasional dan tunduk pada hukum nasional
tertentu sehingga status perjanjian ini bukanlah perjanjian internasional ”Governed by
International Law”, dan dengan demikian bukan perjanjian internasional seperti yang
dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional (dan UU No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional).

Meningkatnya transaksi pinjam meminjam antar negara dan organisasi internasional


ternyata menuntut adanya kebutuhan hukum khususnya bagi pihak kreditor agar
perjanjian pinjaman terlepas dari domain hukum nasional dan ditempatkan pada rejim
hukum internasional. Kreditor lebih merasa terjamin jika perjanjian pinjaman memiliki
karakteristik publik dibandingkan dengan sifatnya yang perdata (lihat Georges R.
Delaume, The Proper Law of Loans concluded by International Persons: A Restatement
and Forecast, American Journal of International Law, Vol. 56, 1962). Akibatnya, muncul
berbagai perjanjian pinjaman antar negara dan organisasi internasional yang

100
mengindikasikan bahwa perjanjian ini tidak tunduk pada hukum nasional seperti
tercermin pada General Conditions for Loans IBRD 2005. Namun di lain pihak, banyak
perjanjian pinjaman seperti halnya perjanjian komersial lainnya yang tidak secara tegas
menyebutkan governing law, sehingga penetapan status perjanjian diserahkan pada
intepretasi di kemudian hari manakala terjadi sengketa.

Dengan adanya perkembangan ini maka terdapat dua kemungkinan tentang status
perjanjian pinjaman, yaitu:

a. perjanjian internasional publik ”Governed by International Law” seperti yang


dimaksud oleh Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang No. 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional, dan;
b. perjanjian perdata internasional biasa yang ”Governed by other than International
Law yang tidak membutuhkan prosedur seperti yang dimaksud oleh Konvensi Wina
dan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

Perjanjian tentang Pinjaman/Hibah menurut pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24


Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional harus mendapat pengesahan/diratifikasi
dengan Undang-Undang dan menurut penjelasan pasal ini akan diatur secara khusus
dalam Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara menegaskan kembali prinsip perlunya persetujuan DPR ini sehingga dalam pasal
23 ayat (1) menyatakan “Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada
atau menerima hibah/pinjaman dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR”.

Dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pinjaman dan Hibah Luar Negeri,
kalangan Departemen Keuangan telah menegaskan bahwa berdasarkan praktek yang
berlaku selama ini, pagu pinjaman luar negeri telah disetujui oleh DPR bersamaan dengan
disahkannya Undang-Undang APBN sehingga secara otomatis persetujuan DPR telah
diperoleh pada saat membuat perjanjian pinjaman luar negeri.

Namun perlu ditekankan bahwa persetujuan DPR dalam konteks Undang-Undang APBN
tidak identik dengan pengesahan/ratifikasi dengan Undang-Undang (oleh DPR) seperti
yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang APBN bukanlah Undang-Undang untuk mengesahkan/ratifikasi suatu
perjanjian internasional melainkan Undang-Undang untuk menyetujui rencana
pemerintah untuk melakukan pinjaman. Di lain pihak pengesahan/ratifikasi adalah
lembaga hukum ketatanegaraan tentang pengesahan oleh legislatif atas perbuatan
hukum pemerintah RI sesuai dengan Hukum Perjanjian Internasional. Dalam hal ini,

101
perbuatan Pemerintah RI yang menandatangani suatu perjanjian disahkan dengan
Undang-Undang (dengan demikian melalui persetujuan DPR) sehingga Indonesia secara
resmi, berdasarkan Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional, terikat pada
perjanjian itu. Sedangkan pengertian persetujan DPR pada Undang-Undang APBN
bukanlah mengesahkan perjanjian yang sudah ditandatangani melainkan menyetujui
rencana pemerintah untuk melakukan pinjaman. Persetujuan DPR pada Undang-Undang
APBN adalah terhadap perjanjian yang akan dan belum ditandatangani oleh Pemerintah
RI sedangkan persetujuan dalam konteks pengesahan/ratifikasi adalah terhadap
perjanjian yang sudah ditandatangani. Dengan demikian, secara juridis formal, adanya
persetujuan DPR dalam APBN tidak dapat meniadakan persyaratan ratifikasi sebagaimana
ditetapkan oleh pasal 10 huruf f Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional, kecuali secara tegas dinyatakan dalam Rancangan Undang-Undang tentang
Pinjaman/Hibah Luar Negeri ini.

Dalam prakteknya telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 tentang
Tatacara Pengadaan Pinjaman dan/atau Penerimaan Hibah serta Penerusan Pinjaman
dan/atau Hibah Luar Negeri yang pada hakekatnya mengatur tentang Naskah Perjanjian
Pinjaman atau Hibah Luar Negeri. Menurut pasal 15 Peraturan Pemerintah tersebut,
wewenang penandatanganan Perjanjian Pinjaman dan Hibah Luar Negeri berada pada
Menteri Keuangan. Pada Peraturan Pemerintah ini tidak terdapat aturan yang
mengindikasikan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman atau Hibah harus
mendapat persetujuan DPR.

Selain itu, Pasal 16 Peraturan Pemerintah tersebut menyatakan bahwa Perjanjian


Pinjaman dan Hibah Luar Negeri mulai berlaku sejak ditandatangani, kecuali ditentukan
lain dalam naskah/dokumen yang bersangkutan. Pasal ini akan menyulitkan Departemen
Luar Negeri jika ternyata perjanjian dimaksud adalah perjanjian internasional publik yang
tunduk pada Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional. Itulah sebabnya, dalam rangka akuntabilitas juridis
serta untuk mengamankan kepentingan hukum khususnya kewajiban pengesahan dengan
Undang-Undang, maka posisi Departemen Luar Negeri pada setiap perjanjian pinjaman
kategori ini selalu mengupayakan klausula tentang dipenuhinya terlebih dahulu prosedur
konstitusional/internal sebelum berlakunya perjanjian. Dalam praktek, Departemen Luar
Negeri akan menyampaikan notifikasi “telah terpenuhinya prosedur konstitusional/
internal” setelah mendapatkan konfirmasi tertulis dari Departemen Keuangan perihal itu.

Permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah Indonesia terkait masalah perjanjian


pinjaman ini adalah tidak adanya penegasan secara juridis baik dalam Undang-Undang

102
No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara maupun Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun
2006 (bahkan dalam Rancangan Undang-Undang Pinjaman/Hibah Luar Negeri) apakah
perjanjian pinjaman ini masuk dalam kategori perjanjian internasional publik atau
perjanjian perdata internasional biasa. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional hanya mengatur tentang perjanjian pinjaman per definisi
Undang-Undang ini yaitu perjanjian “Governed by International Law”. Sehingga untuk
perjanjian pinjaman kategori ini, ketentuan Konvensi Wina 1969 dan 1986 serta Undang-
Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional diberlakukan. Akibat tidak
adanya penegasan juridis dari Rancangan Undang-Undang, akan terjadi konflik
kewenangan antara substansi dan format yaitu Menteri Keuangan yang memiliki
kewenangan atas pinjaman luar negeri dengan kewenangan Menteri Luar Negeri yang
memiliki wewenang untuk membuat perjanjian internasional itu sendiri. Terlebih lagi,
dalam pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri
ditandatangani oleh Menteri Keuangan sedangkan menurut penjelasan pasal 7 ayat (2)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Dalam hal
pinjaman luar negeri, Menteri (dalam hal ini Menteri Luar Negeri) mendelegasikan kepada
Menteri Keuangan”.

Dalam praktek Indonesia, perjanjian pinjaman dapat merupakan perjanjian internasional


dan juga dapat berupa perjanjian perdata internasional. Loan Agreements yang dibuat
oleh Indonesia selama ini adakalanya memuat klausula tentang governing law yang
merujuk pada hukum nasional sehingga dengan demikian secara juridis teoritis perjanjian
ini bukan termasuk kategori perjanjian seperti dimaksud oleh Undang-Undang No. 24
Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Konsekuensinya adalah mekanisme
ratifikasi menurut hukum perjanjian internasional tidak diperlukan karena perjanjian ini
tunduk pada hukum nasional bukan hukum internasional. Namun di pihak lain, beberapa
negara seperti Jerman dan Loan Agreement dengan International Fund for Agriculture
Development tahun 2000 menginginkan agar perjanjian pinjaman ini mengambil format
perjanjian internasional yang tunduk pada Konvensi Wina 1969, sehingga prosedur
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 harus diterapkan, termasuk prosedur ratifikasi
berdasarkan pasal 10.

Dalam definisi tentang Naskah Perjanjian Pinjaman Luar Negeri pada Rancangan Undang-
Undang ini, diindikasikan bahwa Pemerintah RI dapat membuat perjanjian dengan
pemberi pinjaman, yang dalam hal ini mungkin Bank Swasta Asing, Lembaga Keuangan
Non-Pemerintah Asing, serta Lembaga Donor Swasta lainnya. Lembaga-lembaga ini jelas
bukan Subjek Hukum Internasional dan dengan demikian perjanjian pinjaman dengan

103
lembaga-lembaga ini bukan merupakan perjanjian yang menjadi lingkup Undang-Undang
No. 24 Tahun 2000.
Pada sisi lain terdapat pula kecenderungan pada publik opini untuk menggunakan
parameter nomenklatur atau judul dokumen sebagai faktor penentu untuk menetapkan
dokumen itu sebagai perjanjian internasional. Dengan demikian maka setiap dokumen
yang berjudul treaty, convention, agreement, adalah perjanjian internasional sedangkan
agreed minutes, MOU, record of discussion bukan perjanjian internasional.

ICJ Qatar/Bahrain Case, 1994, memberikan petunjuk bahwa untuk menetapkan apakah
suatu dokumen adalah perjanjian internasional tidak harus dilihat dari judul perjanjian.
Dalam tanggapannya terhadap “Minutes signed by Foreign Ministers of Bahrain, Qatar
and Saudi Arabia, 1990”, ICJ menyatakan bahwa Minutes ini adalah perjanjian
internasional. ICJ merujuk pada The ICJ Aegean Sea Continental Shelf, 1978:

a. In order to ascertain whether an agreement of that kind has been concluded, the
Court must have regard above all to its actual terms and to the particular
circumstances in which it was drawn up.
b. The Minutes are not a simple record of a meeting; they do not merely give an account
of discussions and summarize points of agreement and disagreement. They
enumerate the commitments to which the Parties have consented. They thus
create rights and obligations in international law for the Parties. They constitute an
international agreement.
c. Having signed such a text, the Foreign Minister of Bahrain is not in a position
subsequently to say that he intended to subscribe only to a "statement recording a
political understanding” and not to an international agreement”.
d. The Court concludes that the Minutes of 25 December 1990, like the exchanges of
letters of December 1987, constitute an international agreement creating rights and
obligations for the Parties.

Sekalipun Konvensi Wina dan jurisprudensi tidak menempatkan judul dokumen sebagai
faktor penentu, perlu pula diperhatikan bahwa praktek negara tentang judul suatu
perjanjian sangat dinamis dan memunculkan berbagai variasi. Dewasa ini banyak negara
yang menggunakan berbagai variasi judul seperti Joint Statement, Protocol, Charter,
Joint Declaration, Final Act, Process Verbal, Memorandum of Cooperation, Side
Letter, Reciprocal Agreement (dalam format Nota Diplomatik), Letter of Intent,
Minutes of Meeting, Aide Memoire, Demarche, Letter of Agreement,
Memorandum of Agreement, Letter of Understanding, Memorandum of

104
Cooperation, Record of Understandings, atau nama lain yang disepakati oleh para
pihak dalam perjanjian.
Walaupun judul suatu perjanjian dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut,
pengelompokan perjanjian internasional dalam nomenklatur tertentu dimaksudkan dan
diupayakan untuk menunjukkan kesamaan materi yang diatur. Selain itu terdapat
kecenderungan dalam praktek negara-negara, sekalipun tidak konsisten, bahwa
nomenklatur tertentu menunjukkan bahwa materi perjanjian tersebut memiliki bobot
kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau
untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian tersebut dengan perjanjian internasional
lainnya. Praktek di Indonesia misalnya, sekalipun tidak mengikat secara hukum
cenderung menempatkan Agreement lebih tinggi dari MOU yang kemudian diikuti dengan
Arrangements, Exchange of Notes.

Sekalipun Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tidak


mempermasalahkan judul atau nomenklatur, namun praktek Indonesia pada umumnya
tanpa disengaja telah mengarah pada kristalisasi penggunaan nomenklatur tertentu
untuk ruang lingkup materi tertentu, misalnya lebih cenderung menggunakan
“Agreement” sebagai instrumen payung dan kemudian MOU serta Arrangements untuk
instrumen turunannya. Pendekatan ini dimaksudkan hanya untuk kebutuhan praktis dan
secara hukum tidak mengurangi atau melarang Indonesia untuk menentukan bentuk lain
berdasarkan asas kebebasan berkontrak sepanjang kedua pihak menyepakatinya. Selain
itu, terdapat pula kecenderungan umum dalam praktek Indonesia bahwa dalam setiap
pembuatan perjanjian yang bersifat teknis antar sektor harus didahului dengan
pembuatan perjanjian payung, seperti Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknik.
Pendekatan ini cukup idealis namun hanya dimaksudkan untuk kepentingan conveniences
dan bukan merupakan suatu aturan yang mengikat. Dalam hal ini, jika terdapat
kebutuhan lain maka suatu perjanjian dapat saja dibuat untuk masalah yang teknis dan
konkrit tanpa adanya perjanjian payung.

Memorandum Saling Pengertian (Memorandum of Understanding) merupakan salah satu


model dokumen yang memiliki sifat khas/typical. Terdapat praktek negara, khususnya
pada negara-negara common law system, yang berpandangan bahwa MOU adalah non-
legally binding dan perlu dibedakan dengan Treaties. Namun praktek negara-negara lain
termasuk Indonesia menekankan prinsip bahwa setiap persetujuan yang dibuat antara
negara (termasuk MOU) memiliki daya mengikat seperti Treaties. Para ahli berpendapat
bahwa istilah MOU digunakan dengan alasan politis yaitu ingin sedapat mungkin
menghindari penggunaan Agreement yang dinilai lebih formal dan mengikat. Adanya
pengertian MOU yang non-legally binding dalam praktek beberapa negara akan

105
menimbulkan suatu situasi bahwa satu pihak menilai dokumen tersebut sebagai
perjanjian internasional yang mengikat namun pihak yang lain menganggap dokumen itu
hanya memuat komitmen politik dan moral.

Untuk kebutuhan praktis, pengertian non-legally binding itu sendiri masih belum
memberikan klarifikasi yang berarti. Secara umum pengertian ini selalu diartikan bahwa
salah satu pihak tidak dapat meng-enforce isi MOU melalui jalur peradilan internasional
atau jalur kekuatan memaksa yang lazim dilakukan terhadap perjanjian internasional.
Dari sisi hukum nasional, khususnya pada negara-negara common law, pengertian non-
legally binding memiliki implikasi bahwa dokumen ini tidak dapat dijadikan alat
pembuktian serta di-enforce oleh pengadilan. Dalam praktek diplomasi Indonesia saat ini,
sebenarnya belum ada kecenderungan untuk mengarahkan penyelesaian sengketa atas
suatu perjanjian internasional melalui pengadilan internasional. Dengan demikian,
pengertian non-legally binding belum menjadi concern yang berarti bagi Indonesia.

Istilah MOU sendiri ternyata telah sering digunakan sebagai bentuk yang lebih informal
dari ”kontrak” atau ”perjanjian” dalam hubungan perdata nasional. Dalam rangka
menarik dan memberikan jaminan politik terhadap investor asing, Pemerintah Daerah
juga sudah mulai menggunakan format MOU untuk merefleksikan jaminan Pemerintah
Daerah terhadap niat investor asing untuk melakukan investasi di daerah itu. Status
hukum MOU semacam ini masih menjadi perdebatan.

Perlu pula dicermati bahwa MOU sudah menjadi instrumen yang digunakan dalam
hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia.
Pengertian MOU oleh otonomi daerah merupakan dokumen awal yang tidak mengikat
yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk “Perjanjian Kerjasama” yang bersifat
mengikat.

Metode yang digunakan dalam praktek Indonesia untuk menentukan apakah suatu
dokumen adalah perjanjian internasional masih belum konsisten. Hal ini terlihat dari pola
sistem penyimpanan perjanjian (depository system) yang ternyata menyimpan pada
Treaty Room Departemen Luar Negeri semua dokumen sepanjang ditandatangani oleh
Pemerintah RI tanpa melihat apakah dokumen tersebut memenuhi semua elemen sebagai
suatu perjanjian. Jika diteliti lebih dalam seluruh dokumen yang tersimpan pada Treaty
Room berdasarkan materi perjanjian (the merits of the documents), maka pada
hakekatnya dapat dilakukan klasifikasi sbb:

106
a. Perjanjian seperti yang didefinisikan oleh Vienna Convention on the Law of Treaties
1969 dan Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations 1986 serta Undang-Undang No.
24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Multilateral Convention, Border
Treaties, Extradition, Agreement, MOU’s, Exchange of Notes, etc);
b. Perjanjian yang memiliki karakter internasional tetapi tidak tunduk pada hukum
internasional publik (loan agreements, procurement contracts, etc);
c. Dokumen yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum (joint statements,
declarations, agreed minutes, etc).

Dinamika hubungan masyarakat internasional yang sedemikian pesat, sebagai akibat dari
semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang membawa dampak pada
percepatan arus globlalisasi, mengakibatkan hukum perjanjian internasional juga
mengalami perkembangan pesat seiring dinamika masyarakat internasional itu sendiri.
Sekalipun literatur hukum internasional telah menyediakan banyak teori dan praktek
tentang perjanjian internasional yang cenderung ajeg dan konsisten, namun dinamika
masyarakat internasional melalui diplomasi praktis telah memperkaya teori dimaksud
dalam berbagai variasinya dalam bentuk format dan klausula yang kreatif dan inovatif.
Dari uraian diatas maka praktek Indonesia juga ternyata tidak luput dari dinamika
tersebut.

107
BIBLIOGRAPHY

John H Jackson, “Status of Treaties in Domestic Legal System: A Policy Analysis”, AJIL,
Vol, 86, No. 2 (Apr. 1992), pp. 310-340.

Anthony Aust, “Modern Treaty Law and Practice”, Cambridge University Press, 2000.

Charlotte Ku & Paul F. Diehl, “International Law: Classic and Contemporary Readings”,
London: Lynne Rienner Publishers, Inc, 2003.

D. J. Harris, “Cases and Materials on International Law”, London: Sweet & Maxwell, Ltd,
1998.

Delano Verwey. “The European Union and the International Law of Treaties”, Cambridge
University Press, 2004.

Jan Klabbers. “The Concept of Treaty in International Law”, Martinus Nijhoff Publishers,
1996.

Malcolm N. Shaw. “International Law”, Cambridge University Press, 1997.

Marvin A. Chirelstein. "Concepts and Case Analysis in the Law of Contracts”, New York:
Foundation Press, 2001.

M.N. Shaw, “International Law”, Grotius Publication, 1991.

Rebecca Wallace, “International Law”, Sweet & Maxwell, London, 2005.

Mochtar Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, Bina Cipta, 1975.

Syahmin AK, “Hukum Kontrak Internasional”, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Clifford J. Hynning, “Treaty Law for the Private Practitioner”, The University of Chicago
Law Review, Vol. 23.

Antonio Cassese, “International Law”, Oxford, 2005.

Damos Dumoli Agusman, “Pedoman Teknis dan Referensi tentang Pembuatan Perjanjian
Internasional”, Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya, Direktorat Jenderal
Hukum dan Perjanjian Internasional, DEPLU, 2006.

108

You might also like