Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang
123
yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan
yang diatur dalam undang-undang.
Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada
Ketua DPR, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian
internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat
Presiden dapat dilakukan melalui UU atau Keppres, tergantung dari materi yang diatur
dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan dari Surat Presiden
ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan UU yang mengatur
secara khusus mengenai perjanjian internasional.
1
Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.
124
Hal ini emudian yang menjadi alas an perlunya perjanjian internasional diatur dalam UU
No. 24 tahun 2000. Dalam UU tersebut, adapun isi yang diatur adalah2:
a. Ketentuan Umum
b. Pembuatan perjanjian internasional
c. Pengesahan perjanjian internasional
d. Pemberlakuan perjanjian internasional
e. Penyimpangan perjanjian internasional
f. Pengakhiran perjanjian internasional
g. Ketentuan peralihan
h. Ketentuan Penutup
2
Indonesia (a), UU No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No.
185
3
Ibid, Pasal 7
125
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama
teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada
dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.
Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9
ayat (2) UU No. 24 tahun 2000, dinyataka bahwa, “Pengesahan perjanjian internasional
sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden.” Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional Indonesia tidakserta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia
4
Ibid, Pasal 8
5
Ibid, Pasal 9
6
Ibid, Pasal 10
7
Ibid, Pasal 11
8
Ibid, Pasal 10
126
memandang hukum nasional dan hukum interasional sebagai dua sitem hukum yang
berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.
Perjanjian yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang
materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, social, budaya,
pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi
atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
Menurut UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final
untuk:
9
Indonesia (b), UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, Lembaran Negara RI tahun 2003 No. 98, Pasal 10.
127
Dengan demikian salah satu kewenangan dari MK yang perlu digaris-bawahi adalah
mengenai menguji UU terhadap UUD 1945. Hal ini relevan karena dalam melakukan
ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional adalah melalui UU.
Hal ini sama dengan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 2000 mengenai hal apa saja dari
perjanjian internasional yang disahkan dalam UU. Beberapa hal yang sama adalah
mengenai kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah negara dan masalah keuangan negara.
Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan UU
secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara UU ratifikasi perjanjian
internasional dan UU pada umumnya dilihat dari sudut muatan materi UU.
DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat
presiden diterima. Untuk keperluan pembahsan RUU di DPR, menteri atau pimpinan
10
Indonesia (c), UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran
Negara RI tahun 2004 NO. 53, Pasal 8
11
Ibid, Pasal 8 ayat (2)
12
Ibid, Pasal 12
13
Ibid, Pasal 12 ayat (3)
14
Indonesia (c), Pasal 20
128
lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah RUU tersebut dalam jumlah yang
15
diperlukan.
Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang
ditugasi. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, Tingkat-
tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Tata cara pembahasan RUU
tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR.16
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden,
diampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU.17 Setiap UU
atau Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran
Negara RI. Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian
internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat
mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara.18
15
Ibid.
16
Ibid, Pasal 32, ayat 1,5,6, dan 7
17
Ibid, Pasal 37
18
Indonesia (a), Pasal 14
19
Ibid, Pasal 14
20
Ibid.
129
Tatacara Pengajuan Permohonan Pengujian UU yang Mengesahkan Perjanjian
Internasional ke MK
Dalam berperkara di MK, sebenarnya tidak semua orang boleh mengajukan perkara
permohonan ke MK dan menjadi pemohon.21 Adanya kepentingan hukum saja
sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata22 maupun hukum acara tata usaha
negara tidak dapat dijadikan dasar.
21
Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan. Alasannya karena
hakikat perkara konstitusi di MK tidak bersifat adversaria atau contentious yang berkenaan dengan pihak-
pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata maupun tata usaha
negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara pengujian undang-undang adalah kepentingan yang
luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. UU yang digugat adalah UU yang
mengkat umum terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu perkara yang diajukan tidak dalam bentuk
gugatan, melainkan permohonan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukan disebut sebagai
pemohon.
22
Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet poiny d’action, yaitu apabila ada kepentingan
hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan.
23
Yang termasuk sebagai ini adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan
yang sama dapat tampil sebagai pemohon, asalkan dapat membuktikan dirinya memenuhi syarat yang
ditentukan oleh UU untuk menjadi pemohon.
24
Rumusan ini merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
130
c. Badan hukum public atau privat;25
d. Lembaga Negara.26
Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam
permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan.
Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar
legal standing dalam mengajukan permohonan di MK, tetapi terdapat dua hal yang harus
diuraikan dengan jelas. Dua criteria dimaksud adalah:27
a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan WNI (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
NKRI yang diatur dalam UU; (iii) badan hukum public atau privat, atau (iv) lembaga
negara;
b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/ atau kewenangan
konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.
Sudah tentu, dalam pelaksanaannya, kelima criteria tersebut masih bersifat abstrak.
Bagaimana penilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus konkretnya di
lapangan. Untuk dinyatakan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,
kelima kriteria itu kadang-kadang tidak diterapkan secara kaku, atau bersifat kumulatif
secara mutlak. Karena, penilaian mengenai legal standing ini baru mengantarkan
pemohon kepada keabsahannya sebagai pemohon, belum memperhitungkan pokok
permohonannya.
Untuk itu dalam kaitannya dengan permohonan yang diajukan ke mahkamah, dalam
permohonannya pemohonharus menjelaskan kedudukan hukum pemohon dalam perkara
yang diajuakan. Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU
pengesahan perjanjian internasional, maka pemohon harus menguraikan dengan jelas
mengenai anggapan tentang hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang
dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Uraian ini harus secara jelas dan tegas yang pada
pokoknya akan menunjukkan hubungan hukum antara pemohon dengan materi
permohonan yang hendak diajukan.
132
Materi pengajuan yang hendak dimohonkan ke mahkamah juga harus menyebutkan
dengan jelas perihal permohonan pengujian formil atau pengujian materiil. Dalam hal ini
pemohon harus menguraikan dengan jelas yang berisi uraian perihal permohonan yang
hendak diajukan, apakah itu materiil atau formil. Uraian ini akan menjadi gambaran yang
jelas bagi hakim dalam menilai materi permohonan yang diajukan.
Hal lain yang harus juga diperhatikan dalam kaitannya dengan permohonan pengujian
formil UU pengesahan perjanjian internasional adalah apa bentuk UU pengesahan
tersebut. Hal ini akan terkait dengan bentuk keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian
internasional. Hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan perihal bentuk pengesahannya
apakah UU ratifikasi atau aksesi atau penerimaan, sebagaimana yang disebutkan dalam
UU Perjanjian Internasional.
133
petitumnya, maka hal ini harus menjadi perhatian dalam pemeriksaan pendahuluan dan
memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.
Kesemua aspek tersebut akan menjadi bagian yang penting dalam pertimbangan yang
akan dibuat oleh Mahkamah dalam memutus permohonan a quo. Dalam hal pengujian UU
pengesahan perjanjian internasional dapat menimbulkan penafsiran sebagai bentuk
pembatalan sepihak (denunciation) dari keikutsertaan Indonesia, hal ini juga harus
diperhatikan oleh Mahkamah, yaitu apakah dalam perjanjian internasional tersebut
dimungkinkan untuk melakukan pembatalan sepihak atau penangguhan.
Hal ini penting bagi Indonesia, karena Indonesia tidak dapat menarik diri dari perjanjian
tersebut jika tidak ada pasal yang mengatur mengenai pe,batalan sepihak atau
penangguhan keikutsertaan dalam perjanjian tersebut. Dalam memberikan keputusan
yang terkait dengan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, juga
harus dipertimbangkan dampak yang akan timbul dari dikabulkannya permohonan
tersebut. Meskipun dengan pembatalan UU pengesahan perjanjian internasional tidak
secara serta merta menghilangkan keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan
internasional.
Dampak dari pembatalan UU tersebut tidak hanya akan bersifat nasional tetapi juga
bersifat internasional. Walaupun dalam Konvensi Wina Article 46 dinyatakan bahwa
negara peserta dari suatu perjanjian internasional dapat membatalkan keikutsertaannya
dalam perjanjian jika pelanggaran terhadap perjanjian tersebut merupakan suatu
tindakan yang memang sesuai dengan internal law of fundamental importance. Kemudian
yang menjadi pertanyaan apakah jika perjanjian internasional yang disahkan oleh UU
134
dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945, hal ini dapat dimasukkan
dalam kategori tersebut.
Konvensi Wina menyatakan hal di atas karena dalam prosedur ratifikasi, negara peserta
diberikan kesempatan untuk memutuskan apakah akan menjadi pihak dalam perjanjian
internasional atau tidak, dengan menyesuaikan perjanjian internasional tersebut dengan
konstitusi negaranya. Maka pernyataan untuk terikat dalam perjanjian internasional
tersebut merupakan suatu itikad baik, yang harus dihormati oleh negara-negara lainnya.
Namun dalam hal ini dapat dimasukkan dalam pembatalan atau penangguhan secara
sepihak ini tidak akan menjadi masalah jika pengunduran diri diatur dalam suatu
perjanjian internasional, seperti halnya dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang, dalam Pasl 63 mengenai Perbaikan Keadaan Luka dan Sakit
di Medan Perang di darat, menetapkan bahwa pembatalan atau pernyataan tidak terikat
terhadap perjanjian ini berlaku satu tahun sejak pemberitahuan mengenai pernyataan
tersebut diterima oleh Dewan Federasi Swiss.
Berlainan jika pengunduran diri atau pembatalan tidak diatur dalam perjanjian
internasional. Seperti halnya di dalam Piagam PBB. Sebagai contoh adalah ketika
Indonesia mundur dari keanggotaan PBB pad Desmber 1964. Hal ini berlainan dengan
LBB yang mengatur mengenai pengunduran diri dari LBB. PBB tidak ingin mengulangi
pengalaman LBB yang dilemahkan oleh pengunduran diri beberapa anggotanya pada
tahun 1938.
Pada saat Indonesia ingin kembali menjadi anggota PBB, pengunduran diri Indonesia di
PBB dihitung sejak pernyataan mundur Indonesia di PBB. Dengan demikian Indonesia
sebenarnya tidak pernah keluar dari PBB. Indonesia diwajibkan membayar segala
kewajiban selama ketidak aktifannya di PBB.
135
136