You are on page 1of 14

LAMPIRAN 11

KEMUNGKINAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI - JUDICIAL


REVIEW – KAN oleh Lita Arijati, et. al*

*Diambil dari Jurnal Konstitusi, volume 3, nomor 1, Februari 2006.

Latar Belakang

Pemerintah RI dalam melaksanakan politik luar negerinya selalu berusaha melakukan


berbagai upaya untuk memperjuangkan kepentinan nasionalnya diantaranya adalah
dengan membuat suatu perjanjian internasional dengan negara lain, organisasi
internasional dan subyek hukum lainnya. Dengan meningkatnya intensitas hubungan dan
interdependensi antarnegara, menyebabkan meningkatnya pula kerjasama internasional
yang dituangkan dalam bentk berbagai macam perjanjian internasional.

Kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti tertuang dalam Pasal 11


UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat
perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional antara Pemerintah Indonesia denganpemerintah negara-negara lain,
organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan
hukum yang sangat penting, karena mengikat negara dengan subyek hukum
internasional lainnya. Oleh sebab itu salah satu cara pembuatan dan pengesahan suatu
perjanjian internasional dilakukan berdasarkan UU.

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian


tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian
tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk
dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum
perjanjian tersebut disahkan.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan


oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukanberdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian internasional

123
yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur pengesahan
yang diatur dalam undang-undang.

Dalam penelitian ini, akan dibahas pokok permasalahan sbb:

1. Bagaimana proses pengesahan perjanjian nternasional menjadi UU di Indonesia?


2. Apakah UU yang mengesahkan perjanjian internasional dapat diajukan ke depan MK?
3. Bagaimana proses pengajuan UU yang mengesahkan perjanjian internasional dalam
hal diajukan kehadapan MK?
4. Bagaimana dampak secara nasionalmaupun internasional dari UU yang mensahkan
perjanjian internasional jika dibatalkan ole MK?

Proses Pengesahan Perjanjian Internasional

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Indonesia dengan


pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional
lainnya adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara
dengan subyek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu, pembuatan dan pengesahan
suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan UU.

Sebelum adanya UU No. 24 tahun 2000, kewenangan untuk membuat perjanjian


internasional seperti tertuang dalam Pasal 11 UUD 1945, menyatakan bahwa Presiden
mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan perstujuan
DPR. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu
perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkanlebih lanjut Pasal 11 UUD 1945
tersebut.1

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan dalam bentuk
Surat Presiden No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada
Ketua DPR, dan telah menjadi pedoman dalam proses pengesahan perjanjian
internasional selama bertahun-tahun. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat
Presiden dapat dilakukan melalui UU atau Keppres, tergantung dari materi yang diatur
dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prakteknya pelaksanaan dari Surat Presiden
ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti dengan UU yang mengatur
secara khusus mengenai perjanjian internasional.

1
Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.
124
Hal ini emudian yang menjadi alas an perlunya perjanjian internasional diatur dalam UU
No. 24 tahun 2000. Dalam UU tersebut, adapun isi yang diatur adalah2:

a. Ketentuan Umum
b. Pembuatan perjanjian internasional
c. Pengesahan perjanjian internasional
d. Pemberlakuan perjanjian internasional
e. Penyimpangan perjanjian internasional
f. Pengakhiran perjanjian internasional
g. Ketentuan peralihan
h. Ketentuan Penutup

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori, yaitu:

1. Ratifikasi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian


internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;
2. Aksesi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional
tidak turut menandatangani naskah perjanjian;
3. Penerimaan atau penyetujuan, yaitu pernyataan menerima atau menyetujui dari
negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian
internasional tersebut;
4. Selain itu juga ada perjanjian- perjanjian internasional yang sifatnya self-executing
(langsung berlaku pada saat penandatanganan).

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian


tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian
tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional memerlukan pengesahan untuk
dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum
perjanjian tersebut disahkan.

Seseorang yang mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani


naskah suatu perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional,
memerlukan surat uasa (Full Powers).3 Pejabat yang tidak memerlukan surat kuasa
adalah presiden dan menteri.

2
Indonesia (a), UU No. 24 tahun 2000 tentang perjanjian internasional, Lembaran Negara RI Tahun 2000 No.
185
3
Ibid, Pasal 7
125
Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut kerjasama
teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan materinya berada
dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang dipersyaratkan


oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian internasional
dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak. Perjanjian
internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah terpenuhinya prosedur
pengesahan yang diatur dalam UU.4

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan UU atau Keppres.5 Pengesahan


dengan UU memerlukan persetujuan DPR.6 Pengesahan dengan Keppres hanya perlu
pemberitahuan ke DPR.7 Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui UU
apabila berkenaan dengan:

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara


b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara
c. kedualatan atau hak berdaulat negara
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup
e. pembentukan kaidah hukum baru
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.8

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggungjawaban


atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat.
Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut
dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No.
24 tahun 2000.

Indonesia sebagai negara yang menganut paham dualisme, hal ini terlihat dalam Pasal 9
ayat (2) UU No. 24 tahun 2000, dinyataka bahwa, “Pengesahan perjanjian internasional
sebagaiana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan undang-undang atau keputusan
presiden.” Dengan demikian pemberlakuan perjanjian internasional ke dalam hukum
nasional Indonesia tidakserta merta. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Indonesia

4
Ibid, Pasal 8
5
Ibid, Pasal 9
6
Ibid, Pasal 10
7
Ibid, Pasal 11
8
Ibid, Pasal 10
126
memandang hukum nasional dan hukum interasional sebagai dua sitem hukum yang
berbeda dan terpisah satu dengan yang lainnya.

Perjanjian internasional harus ditransformasikan menjadi hukum nasional dalam bentuk


peraturan perundang-undangan. Perjanjian internasional sesuai dengan UU No. 24 tahun
2000, diratifikasi melalui UU dan Keppres. UU ratifikasi tersebut tidak serta merta
menjadi perjanjian internasional menjadi hukum nasional Indonesia, UU ratifikasi hanya
menjadikan Indonesia sebagai negara terikat terhadap perjanjian internasional tersebut.
Untuk perjanjian internasional tersebut berlaku perlu dibuat UU yang lebih spesifik
mengenai perjanjian internasional yang diratifikasi, contoh Indonesia meratifikasi ICCPR
melalui UU, maka selanjutnya Indonesia harus membuat UU yang menjamin hak-hak
yang ada di covenant tersebut dalam UU yang lebih spesifik.

Perjanjian internasional yang tidak mensyaratkan pengesahan dalam pemberlakuannya,


biasanya memuat materi yang bersifat teknis atau suatu pelaksana teknis terhadap
perjanjian induk. Perjanjian internasional seperti ini dapat langsung berlaku setelah
penandatanganan atau pertukaran dokumen perjanjian/ nota diplomatic, atau melalui
cara lain yang disepakati dalam perjanjian oleh para pihak.

Perjanjian yang termasuk kedalam kategori ini diantaranya adalah perjanjian yang
materinya mengatur secara teknis kerjasama bidang pendidikan, social, budaya,
pariwisata, penerangan kesehatan, pertanian, kehutanan dan kerjasama antar propinsi
atau kota. Perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para pihak setelah
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut.

Apakah MK Berwenang Menguji UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional?

Menurut UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, pada Pasal 10 dinyatakan bahwa MK
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terkahir yang putusannya bersifat final
untuk:

a. menguji UU terhadap UUD 1945


b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945
c. memutus pembubaran partai politik, dan
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum9

9
Indonesia (b), UU No. 24 tahun 2003 tentang MK, Lembaran Negara RI tahun 2003 No. 98, Pasal 10.
127
Dengan demikian salah satu kewenangan dari MK yang perlu digaris-bawahi adalah
mengenai menguji UU terhadap UUD 1945. Hal ini relevan karena dalam melakukan
ratifikasi terhadap suatu perjanjian internasional adalah melalui UU.

Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan, dalam Pasal 8, disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam UU
berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan UUD 1945 yang meliputi (1) hak-hak
asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3) pelaksanaan dan penegakkan
kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan
pembagian daerah; (5) kewarganegaraan dan kependudukan; dan (6) keuangan
negara.10 Selanjutnya selain dari yang berkaitan dengan UUD 1945 adalah diperintahkan
oleh suatu UU untuk diatur dengan UU.11

Hal ini sama dengan ketentuan dalam UU No. 24 tahun 2000 mengenai hal apa saja dari
perjanjian internasional yang disahkan dalam UU. Beberapa hal yang sama adalah
mengenai kedaulatan, hak asasi manusia, wilayah negara dan masalah keuangan negara.
Hal lain adalah merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih spesifik dari muatan UU
secara umum. Sehingga tidak adanya suatu perbedaan antara UU ratifikasi perjanjian
internasional dan UU pada umumnya dilihat dari sudut muatan materi UU.

Dalam mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemprakarsa yang terdiri


atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non-
departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, RUU, atau rancangan
Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional dimaksud serta dokumen-dokumen
lain yang diperlukan.12

Pengajuan pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui Menteri untuk


disampaikan kepada Presiden.13 Presiden mengajukan RUU tentang pengesahan
perjanjian internasional yang telah disiapkan dengan surat presiden kepada pimpinan
DPR. Dalam surat tersebut Presiden menegaskan antara lain tentang menteri yang
ditugasi mewakili presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR.14

DPR mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat
presiden diterima. Untuk keperluan pembahsan RUU di DPR, menteri atau pimpinan

10
Indonesia (c), UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Lembaran
Negara RI tahun 2004 NO. 53, Pasal 8
11
Ibid, Pasal 8 ayat (2)
12
Ibid, Pasal 12
13
Ibid, Pasal 12 ayat (3)
14
Indonesia (c), Pasal 20
128
lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah RUU tersebut dalam jumlah yang
15
diperlukan.

Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang
ditugasi. Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan, Tingkat-
tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan DPR yang
khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Tata cara pembahasan RUU
tersebut diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPR.16

Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan presiden,
diampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU.17 Setiap UU
atau Keppres tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran
Negara RI. Penempatan peraturan perundang-undangan pengesahan suatu perjanjian
internasional di dalam Lembaran Negara dimaksudkan agar setiap orang dapat
mengetahui perjanjian yang dibuat pemerintah dan mengikat seluruh warga negara.18

Menteri menandatangani piagam pengesahan untuk mengikatkan pemerintah RI pada


suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara-negara pihak dalam
perjanjian internasional atau disimpan oleh negara atau lembaga penyimpanan pada
organisasi internasional.19 Lembaga penyimpanan (depositary) merupakan negara atau
organisasi internasional yang ditunjuk atau disebut secara tegas dalam surat perjanjian
untuk menyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional.Praktek ini berlaku bagi
perjanjian multilateral yang memiliki banyak pihak. Lembaga penyimpanan selanjutnya
memberitahukan semua pihak bahwa perjanjian tersebut telah menerima piagam
pengesahan dari salah satu pihak.20

Disamping perjanjian internasional yang disahkan melalui UU atau Keppres, pemerintah


dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan atau
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatic, atau melalui cara lain sesuai
kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian. Secara struktur, muatan dan
isi serta proses pembentukan dari UU pengesahan perjanjian internasional tidak berbeda
dengan UU lainnya. Oleh karena itu, UU ini dapat diajukan ke MK.

15
Ibid.
16
Ibid, Pasal 32, ayat 1,5,6, dan 7
17
Ibid, Pasal 37
18
Indonesia (a), Pasal 14
19
Ibid, Pasal 14
20
Ibid.
129
Tatacara Pengajuan Permohonan Pengujian UU yang Mengesahkan Perjanjian
Internasional ke MK

Dalam perkara permohonan pengujian UU Pengesahan Perjanjian Internasional, maka


prosedur pengajuan yang digunakan tidaklah berbeda dengan apa yang telah ditetapkan
dalam peraturan Mahkamah tentang pengajuan permohonan. Dimana bagian yang
terpenting adalah legal standing dari pemohon dalam mengajukan permohonannya.
Dalam hal ini adalah kepentingan pemohon dalam mengajukan permohonan termaksud.

Dalam berperkara di MK, sebenarnya tidak semua orang boleh mengajukan perkara
permohonan ke MK dan menjadi pemohon.21 Adanya kepentingan hukum saja
sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata22 maupun hukum acara tata usaha
negara tidak dapat dijadikan dasar.

Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut UU untuk


mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada MK. Pemenuhan syarat-syarat
tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk
menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian UU. Persyaratan legal standing
dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam UU, maupun syarat
materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya UU
yang dipersoalkan.

Dalam hukum acara MK yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK


ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 tahun 2003, yang bunyinya sbb:

a. Perorangan warganegara Indonesia;23


b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI ynag diatur dalam UU;24

21
Semua perkara konstitusi di MK disebut sebagai perkara permohonan, bukan gugatan. Alasannya karena
hakikat perkara konstitusi di MK tidak bersifat adversaria atau contentious yang berkenaan dengan pihak-
pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu sama lain seperti dalam perkara perdata maupun tata usaha
negara. Kepentingan yang sedang digugat dalam perkara pengujian undang-undang adalah kepentingan yang
luas menyangkut kepentingan semua orang dalam kehidupan bersama. UU yang digugat adalah UU yang
mengkat umum terhadap segenap warga negara. Oleh sebab itu perkara yang diajukan tidak dalam bentuk
gugatan, melainkan permohonan. Dengan demikian, subjek hukum yang mengajukan disebut sebagai
pemohon.
22
Dalam hukum acara perdata dikenal adagium point d’interet poiny d’action, yaitu apabila ada kepentingan
hukum diperbolehkan untuk mengajukan gugatan.
23
Yang termasuk sebagai ini adalah kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan
yang sama dapat tampil sebagai pemohon, asalkan dapat membuktikan dirinya memenuhi syarat yang
ditentukan oleh UU untuk menjadi pemohon.
24
Rumusan ini merujuk pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
130
c. Badan hukum public atau privat;25
d. Lembaga Negara.26

Hal yang perlu diingat bahwa pemohon harus mampu menguraikan dalam
permohonannya mengenai hak dan kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan.
Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar
legal standing dalam mengajukan permohonan di MK, tetapi terdapat dua hal yang harus
diuraikan dengan jelas. Dua criteria dimaksud adalah:27

a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan WNI (termasuk kelompok orang
yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
NKRI yang diatur dalam UU; (iii) badan hukum public atau privat, atau (iv) lembaga
negara;
b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/ atau kewenangan
konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Kemudian, berdasarkan pertimbangan hukum Putusan Perkara No. 006/PUU-III/2005,


Mahkamah telah menentukan lima persyaratan mengenai kerugian konstitusional yang
timbul karena berlakunya suatu UU sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK,
yaitu:

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;


b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan
oleh suatu UU yang dimohonkan pengujian;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat khusus dan actual
atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya UU
yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;

Dari penjelasan-penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa setiap pemohon


haruslah:
25
Dengan berkembangnya ilmu hukum di masa modern ini, besar kemungkinan badan hukum tidak hanya
mencakup pengertian public/privat saja, melainkan juga mencakup pengertian lainnya secara luas.
26
Maksudnya adalah lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat.
27
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konstitusi Press: Jakarta, 2005,
hal. 81-82
131
1. salah satu dari keempat kelompok subjek hukum tersebut di atas;
2. bahwa subjek hukum dimaksud memang mempunyai hak-hak atau kewenangan
sebagaimana diatur dalam UUD 1945;
3. bahwa hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah
dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya UU atau bagian dari UU yang
dipersoalkannya itu;
4. bahwa adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai
hubungan sebab akibat atau hubungan kausal dengan berlakunya UU yang dimaksud;
5. bahwa apabila permohonan yang bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian
konstitusional yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan
dibatalkannya UU dimaksud. Jika kelima criteria ini tidak dapat dipenuhi secara
kumulatif, maka yang bersangkutan memang dapat dipastikan memiliki legal standing
untuk mengajukan permohonan perkara ke MK.

Sudah tentu, dalam pelaksanaannya, kelima criteria tersebut masih bersifat abstrak.
Bagaimana penilaiannya oleh hakim sangat tergantung kepada kasus konkretnya di
lapangan. Untuk dinyatakan memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,
kelima kriteria itu kadang-kadang tidak diterapkan secara kaku, atau bersifat kumulatif
secara mutlak. Karena, penilaian mengenai legal standing ini baru mengantarkan
pemohon kepada keabsahannya sebagai pemohon, belum memperhitungkan pokok
permohonannya.

Untuk itu dalam kaitannya dengan permohonan yang diajukan ke mahkamah, dalam
permohonannya pemohonharus menjelaskan kedudukan hukum pemohon dalam perkara
yang diajuakan. Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU
pengesahan perjanjian internasional, maka pemohon harus menguraikan dengan jelas
mengenai anggapan tentang hak dan/ atau kewenangan konstitusional pemohon yang
dirugikan dengan berlakunya UU a quo. Uraian ini harus secara jelas dan tegas yang pada
pokoknya akan menunjukkan hubungan hukum antara pemohon dengan materi
permohonan yang hendak diajukan.

Dalam kaitannya dengan pengajuan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian


internasional, Mahkamah perlu lebih berhati-hati dalam memutuskan legal standing ini.
Untuk itu secara khusus perihal legal standing harus menjadi perhatian Mahkamah,
mengingat dampak kekuatan mengikatnya tidak saja terhadap keberlakuan UU tersebut
akan tetapi juga dalam pergaulan internasional.

132
Materi pengajuan yang hendak dimohonkan ke mahkamah juga harus menyebutkan
dengan jelas perihal permohonan pengujian formil atau pengujian materiil. Dalam hal ini
pemohon harus menguraikan dengan jelas yang berisi uraian perihal permohonan yang
hendak diajukan, apakah itu materiil atau formil. Uraian ini akan menjadi gambaran yang
jelas bagi hakim dalam menilai materi permohonan yang diajukan.

Dalam kaitannya dengan pengajuan pengujian formil, dalam perkara pengujian UU


pengesahan perjanjian internasional, kiranya menjadi perhatian khusus Mahkamah dalam
memeriksa dan memutus perkara ini adalah terkait dengan pengujian atas pembentukan
UU a quo. Hal ini terkait dengan proses keikutsertaan Indonesia sebagai pihak dalam
perjanjian internasional, masalah proses perundingan atau negosiasi, keterwakilan
pemerintah dalam perjanjian internasional tersebut dan proses pengesahan perjanjian
internasional menjadi UU.

Dalam pengujian formalitas UU pengesahan perjanjian internasional, pemeriksaan tidak


hanya terkait dengan proses pembentukan di DPR akan tetapi harus juga dijadikan
perhatian perihal proses keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian internasional. Dalam
hal ini harus diperhatikan bagaimana keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian
internasional tersebut. Terkait dengan keterwakilan pemerintah Indonesia dalam
perjanjian tersebut, dimana harus dilihat siapa yang mewakili pemerintah Indonesia? Apa
dasar keterweakilan pemerintah Indonesia? Hal ini terkait dengan surat kuasa yang
diemban oleh wakil Indonesia dalam proses perjanjian internasional tersebut. Hal ini akan
terkait dengan sejauh mana wewenang wakil pemerintah tersebut dalam kaitannya
dengan proses keikutsertaan dalam perjanjian internasional.

Hal lain yang harus juga diperhatikan dalam kaitannya dengan permohonan pengujian
formil UU pengesahan perjanjian internasional adalah apa bentuk UU pengesahan
tersebut. Hal ini akan terkait dengan bentuk keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian
internasional. Hal ini adalah untuk menjawab pertanyaan perihal bentuk pengesahannya
apakah UU ratifikasi atau aksesi atau penerimaan, sebagaimana yang disebutkan dalam
UU Perjanjian Internasional.

Dalam petitumnya pemohon dalam permohonan pengujian formil UU pengesahan


perjanjian internasional, menyatakan bahwa UU tersebut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Permohonan putusan Mahkamah dalam petitum penting untuk
dinyatakan dalam permohonan yang diajukan, hal ini sebagai dasar bagi hakim dalam
menjatuhkan putusan atas perkara a quo. Apabila dalam permohonan tidak dinyatakan

133
petitumnya, maka hal ini harus menjadi perhatian dalam pemeriksaan pendahuluan dan
memberikan kesempatan kepada pemohon untuk memperbaiki permohonannya.

Dalam hal permohonan yang diajukan adalah pengujian materiil UU pengesahan


perjanjian internasional, maka pengujian dilakukan berkaitan dengan materi muatan
dalam ayat, pasl dan/ atau bagian yang bertentangan dengan UUD 1945. Dalam hal ini
harus diperhatikan dengan baik terkait dengan materi muatan yang menjadi dasar
pengujian materiil yang diajukan, dimana apakah pernyataan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat atas materi muatan yang diperiksa dan diputus mahkamah akan dapat
dikategorisasi sebagai pembatalan sepihak atau tidak. Dalam hal ini harus diperhatikan,
perjanjian internasional tersebut secara keseluruhan. Kerena pengujian UU pengesahan
perjanjian internasional memiliki dimensi yang tidak saja bersifat nasional namun juga
internasional.

Kesemua aspek tersebut akan menjadi bagian yang penting dalam pertimbangan yang
akan dibuat oleh Mahkamah dalam memutus permohonan a quo. Dalam hal pengujian UU
pengesahan perjanjian internasional dapat menimbulkan penafsiran sebagai bentuk
pembatalan sepihak (denunciation) dari keikutsertaan Indonesia, hal ini juga harus
diperhatikan oleh Mahkamah, yaitu apakah dalam perjanjian internasional tersebut
dimungkinkan untuk melakukan pembatalan sepihak atau penangguhan.

Hal ini penting bagi Indonesia, karena Indonesia tidak dapat menarik diri dari perjanjian
tersebut jika tidak ada pasal yang mengatur mengenai pe,batalan sepihak atau
penangguhan keikutsertaan dalam perjanjian tersebut. Dalam memberikan keputusan
yang terkait dengan permohonan pengujian UU pengesahan perjanjian internasional, juga
harus dipertimbangkan dampak yang akan timbul dari dikabulkannya permohonan
tersebut. Meskipun dengan pembatalan UU pengesahan perjanjian internasional tidak
secara serta merta menghilangkan keikutsertaan Indonesia dalam pergaulan
internasional.

Dampak Pembatalan UU yang Mengesahkan Perjanjian Internasional

Dampak dari pembatalan UU tersebut tidak hanya akan bersifat nasional tetapi juga
bersifat internasional. Walaupun dalam Konvensi Wina Article 46 dinyatakan bahwa
negara peserta dari suatu perjanjian internasional dapat membatalkan keikutsertaannya
dalam perjanjian jika pelanggaran terhadap perjanjian tersebut merupakan suatu
tindakan yang memang sesuai dengan internal law of fundamental importance. Kemudian
yang menjadi pertanyaan apakah jika perjanjian internasional yang disahkan oleh UU

134
dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan UUD 1945, hal ini dapat dimasukkan
dalam kategori tersebut.

Konvensi Wina menyatakan hal di atas karena dalam prosedur ratifikasi, negara peserta
diberikan kesempatan untuk memutuskan apakah akan menjadi pihak dalam perjanjian
internasional atau tidak, dengan menyesuaikan perjanjian internasional tersebut dengan
konstitusi negaranya. Maka pernyataan untuk terikat dalam perjanjian internasional
tersebut merupakan suatu itikad baik, yang harus dihormati oleh negara-negara lainnya.

Mengenai pembatalan perjanjian yang diakibatkan oleh dibatalkannya suatu UU yang


mensahkan suatu perjanjian internasional oleh MK tidak termasuk dalam faktor-faktor
yang menjadikan perjanjian menjadi batal atau ditangguhkan.

Namun dalam hal ini dapat dimasukkan dalam pembatalan atau penangguhan secara
sepihak ini tidak akan menjadi masalah jika pengunduran diri diatur dalam suatu
perjanjian internasional, seperti halnya dalam Konvensi Jenewa 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang, dalam Pasl 63 mengenai Perbaikan Keadaan Luka dan Sakit
di Medan Perang di darat, menetapkan bahwa pembatalan atau pernyataan tidak terikat
terhadap perjanjian ini berlaku satu tahun sejak pemberitahuan mengenai pernyataan
tersebut diterima oleh Dewan Federasi Swiss.

Berlainan jika pengunduran diri atau pembatalan tidak diatur dalam perjanjian
internasional. Seperti halnya di dalam Piagam PBB. Sebagai contoh adalah ketika
Indonesia mundur dari keanggotaan PBB pad Desmber 1964. Hal ini berlainan dengan
LBB yang mengatur mengenai pengunduran diri dari LBB. PBB tidak ingin mengulangi
pengalaman LBB yang dilemahkan oleh pengunduran diri beberapa anggotanya pada
tahun 1938.

Pada saat Indonesia ingin kembali menjadi anggota PBB, pengunduran diri Indonesia di
PBB dihitung sejak pernyataan mundur Indonesia di PBB. Dengan demikian Indonesia
sebenarnya tidak pernah keluar dari PBB. Indonesia diwajibkan membayar segala
kewajiban selama ketidak aktifannya di PBB.

Dengan demikian pembatalan suatu UU yang mensahkan suatu perjanjian internasional


yang dilakukan oleh MK tidak selalu menjadikan Indonesia lepas dari keterikatannya yang
telah dinyatakan oleh Indonesia terhadap perjanjian tersebut, jika pengunduran diri atau
penangguhan untuk terikat terhadap perjanjian tidak diatur. Hal berbeda jika hal ini
diatur dalam perjanjian internasional.

135
136

You might also like