You are on page 1of 5

Sejarah Islam Nusantara

Sejarah Islam Nusantara

Dakwah Islam Walisongo Walisanga, penyebar Islam di Jawa.


Para ulama itu berhasil menanamkan Islam dalam ranah tauhid,
akhlak, sosial, budaya dan politik. Puncak karya gemilang mereka
adalah berdirinya Kesultanan Giri, Demak, dan Cirebon, sekaligus
membuktikan bahwa mereka bukanlah sufi semata yang
menafikan penegakan syariat Islam.

Di paruh awal abad ke 16, Jawa dalam genggaman Islam.


Penduduk merasa tenteram dan damai dalam ayoman Kesultanan
Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar al-Fatah
atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan
tujuan sejatinya, setelah mengakhiri masa Syiwa-Budha serta
animisme. Mereka pun memiliki kepastian hidup, bukan karena
wibawa dan perbawa Sang Sultan. Kepastian hidup ada karena
disangga daulat hukum. Dan kepastian daulat hukum Kesultanan
Demak Bintoro kala itu, berpijak pada syariah Islam.

“Salokantara” dan “Jugul Muda”. Itulah dua kitab Undang-undang


Demak yang menurut budayawan WS Rendra dalam sebuah orasi
budaya “Megatruh”, punya landasan syariah Islam. Di hadapan
peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama
derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-sultan
Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali.
Rakyat bukanlah abdi atau kawula sebagaimana di masa
berikutnya, rezim Mataram. Sejak abad ke-17, rakyat kembali
menjadi abdi, sebab kekuasaan begitu sentralistik. Malah, para
raja rela ber-sembah sungkem kepada penjajah londo. Dan,
syariat Islam pun hanya dijalankan setengah-setengah hingga
kini, ketika para “penguasa” Jawa memimpin Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Sayang memang, Demak hanya bertahan sampai umur 65 tahun.


Keberadaannya sebagai kerajaan dengan dasar Islam telah
tercatat dalam sejarah. Dipegang-teguhnya syariat Islam sebagai
pedoman hidup seluruh isi negeri Demak tak lepas dari
perjuangan para ulama. Bahkan, dalam pengelolaan kesultanan,
para ulama itu berperan sebagai tim kabinet (kayanakan) sultan.
Para ulama itulah yang tiga abad kemudian dikenal dengan
sebutan Walisanga, wali sembilan.

Nama Walisanga begitu dekat dengan umat Islam, khususnya di


Jawa. Ia menjelma dalam hikayat di alam pikiran orang
kebanyakan. Berbagai karya dalam bentuk tulisan, gambar,
bahkan film berusaha menghidupkannya kembali. Tak ayal lagi,
anak sekolah dasar pun begitu hapal sembilan tokoh dan kisah
Walisanga. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim (1), Sunan
Ampel (2), Sunan Giri (3), Sunan Bonang (4), Sunan
Kalijaga (5), Sunan Gunung Jati (6), Sunan Kudus (7),
Sunan Muria (8) serta Sunan Derajat (9). Akan tetapi,
menurut Kitab Walisana karya Sunan Giri II (Anak Sunan Giri),
jumlah mereka bukan sembilan orang, tapi delapan orang.
Sumber kuno tersebut memuat ihwal kehidupan para ulama
penyebar Islam di Jawa dan kiprah dakwahnya. Nama Walisana
yang menjadi nama judul kitab tersebut tidak mengacu bilangan
sembilan. Dikatakan juga, selain delapan wali tersebut terdapat
ribuan wali lainnya.

Walisanga ditulis dalam Serat Walisanga karya pujangga Mataram


RM Ng Ranggawarsita pada abad 19 sebagai walisanga, wali
sembilan. Kemudian muncul pelurusan, atau lebih tepatnya
penafsiran ulang. Sebagian berpendapat, kata sanga (baca:
songo) merupakan perubahan dari kata tsana (mulia, Arab).
Maka, walisana berarti wali-wali mulia atau terpuji. Yang lainnya
melihat kata sana diambil dari bahasa Jawa kuno yang berarti
tempat. Karenanya, walisana berarti wali atau kepala suatu
tempat atau daerah. Namun kebanyakan pakar sepakat, bahwa
Walisanga merupakan kumpulan ulama dengan dakwah yang
bertujuan menegakkan agama Allah.

Walisanga dalam berbagai tulisan acapkali diidentikan sebagai


para sufi pengembang ajaran tasawuf semata. Bahkan, babad-
babad yang lahir di masa Mataram banyak melukiskan Walisanga
adalah para tokoh keramat dan digdaya. Hingga wafat sekalipun,
mereka tetap menjadi sumber berkah. Namun, jika menengok
karya-karya, ajaran, dan kinerja dakwahnya, kumpulan wali
(selanjutnya disebut ulama) itu menebarkan syariat Islam dalam
berbagai segi kehidupan. Kesultanan Islam Demak Bintoro
beserta perangkat konstitusinya bisa dikatakan sebagai puncak
karya dan pengabdian mereka. Semua itu hasil perjuangan
berpuluh-puluh tahun para ulama dalam mendakwahkan syariat
Islam di wilayah kerajaan Majapahit yang sudah rapuh.

Isyarat kuat bahwa mereka penyebar syariat bisa ditengok dari


Primbon karya Sunan Bonang. Ajaran Bonang bisa mewakili
watak dakwah Walisanga. Dari kitab itu bisa ditetapkan,
Walisanga termasuk dalam aliran Ahlus Sunnah yang tegas dan
konsekuen menentang bid’ah dan dhalalah (sesat). Ajaran
Bonang menolak konsep emanasi, panteisme atau wihdatul wujud
yang berintikan kesatuan Khalik dan hambanya. Mereka juga
penganut tasawuf sunni-nya al-Ghazali dan Abu Syalimi, yang
menyelaraskan fiqh syara’ dengan tasawuf. Alasan mereka, kalau
orang belajar tasawuf tanpa dimulai dari fiqh, besar kemungkinan
ia akan menjadi zindiq (inkar), mendekati Allah dengan
meninggalkan syariat. Al-Ghazali dengan Ihya Ulumudin-nya
memang menjadi acuan pengembangan tasawuf di masa itu.
Adapun tasawuf ekstrem di masa Walisanga tak mendapat
tempat. Terlepas dari kebenaran sejarah, Walisanga telah
membuktikan komitmennya pada tauhid dan syariah Islam
dengan kisah diqishasnya Syekh Siti Jenar. Ia dihukum karena
dianggap telah mengembangkan ajaran manunggaling kawula-
gusti (wihdatul wujud) yang meresahkan masyarakat di saat para
ulama mempersiapkan berdirinya Kesultanan Demak.
Para wali menghukumnya setelah melalui musyawarah dan
memiliki lembaga pengadilan.

Dalam mempersiapkan lembaga-lembaga negara, para ulama


melakukan pembagian tugas. Masing-masing ulama bertugas
merumuskan aturan penyelenggaraan negara sesuai syariat
Islam. Sunan Ampel dan Sunan Giri didukung lembaga
penyokongnya menyiapkan aturan soal perdata, adat-istiadat,
pernikahan dan muamalah lainnya. Dibantu pemuda Ja’far Shodiq
(Sunan Kudus), mereka menyiapkan aturan jinayat dan siyasah
(kriminal dan politik). Di dalamnya terkandung hukum untuk
imamah, qishas, ta’dzir termasuk perkara zina dan aniaya, jihad,
perburuhan, perbudakan, makanan sampai masalah bid’ah.

Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para


ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak
saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan
keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas balik,
berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat
dengan dinamika Kerajaan Majapahit.

Sekitar 1445 M, Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari


Campa bersama dua saudaranya, Ali Murtadlo dan Abu Hurairah
datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri Kertawijaya dan istrinya,
Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya selayaknya
keluarga keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan
tanah perdikan kepada Rahmat di Ampel Denta. Di sanalah,
Rahmat mengembangkan pesantren dan pusat keilmuan untuk
pembinaan budi bangsawan dan rakyat Majapahit yang sedang
merosot. Konsep lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim itupun
kemudian menghasilkan kader-kader dakwah yang handal. Dalam
waktu singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis Islam di
beberapa kadipaten.

Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya dikudeta oleh


Rajasawardhana sebagai raja. Perkembangan Islam tak disukai
raja baru itu. Rahmatpun menyusun strategi baru dengan
menyebar para ulama ke delapan titik. Kala itu Majapahit tinggal
tersisa sembilan kadipaten. Tim dakwah yang delapan itu
dinamakannya “Bhayangkare Ishlah”. Mereka adalah Sunan
Ampel sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah, Syekh Yakub,
Maulana Abdullah, Kiai Banh Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji.
Kader santri pun giliran menggantikan beberapa posisi ulama. Di
antara mereka adalah Raden Hasan yang kelak menjadi Sultan
Demak.

Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474 M


oleh Raden Rahmat membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Qosim (Sunan Drajad), Usman Haji (ayah
Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik), Syekh Suta
Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun
kemudian, Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di
dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai mubalig
keliling. Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang
dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas
sebagai seorang mufti tanah Jawi.
Hanya saja, sembilan tokoh Walisanga yang dikenal selama ini
memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah
maupun dalam proses ketatanegaraan Demak. Berikut lima wali
di antaranya.

Maulana Malik Ibrahim.


Ia dianggap pelopor penyebaran Islam para wali di Jawa. Memulai
dari desa Leran Gresik, ia bergumul dengan rakyat kecil sebagai
petani. Keahlian bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik
untuk berguru tani. Ia juga dipercaya ahli tata negara yang
dikagumi kalangan bangsawan. Ibrahim pula yang dikenal
sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren.

Raden Ali Rahmatullah


Alias Sunan Ampel. Sang mufti dari negeri Campa ini
mengajarkan Islam secara lurus. Dalam mengajarkan Islam, ia
tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Istilah pesantren dan
santri diyakini pertama kali digunakan oleh Sunan Ampel.
Wejangan terkenalnya mo limo yang intinya menolak mencuri,
mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak di masa
Majapahit.

Raden Ainul Yaqin


Atau Raden Paku atau Sunan Giri. Ia anak Syekh Yakub bin
Maulana Ishak. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai
ilmu falak (perbintangan). Di masa menjelang keruntuhan
Majapahit, Paku dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden
Fatah naik menjadi Sultan Demak. Ia diberi gelar Prabu Satmata,
Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan Ampel wafat,
Sunan Giri menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa.
Pesantren Giri hingga di masa Mataram menjadi Giri Kedaton
yang selalu diminta untuk merestui raja-raja di sebagian wilayah
Nusantara. Catatan Portugis dan Belanda di Ambon menyebut,
Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di Roma yang
memberkati para kepala negeri sebelum naik takhta. Termasuk di
dalamnya para sultan Islam di Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan
demikian, Giri merupakan wujud lembaga kekuasaan tersendiri,
meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan
saja.

Raden Makhdum Ibrahim


Atau Sunan Bonang. Ia putra sulung Sunan Ampel yang karya-
karya tertulisnya terdokumentasikan hingga kini. Di antaranya
Suluk Bonang, Primbon I dan Primbon II. Dari tulisan-tulisan
Bonang, bisa dibaca watak dakwah para wali, sekaligus pedoman
fikih umat Islam.

Raden Syahid
Atau Sunan Kalijaga. Ia tercatat paling banyak menghasilkan
karya seni berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat
(wali lain juga turut mencipta), baju takwa, tata kota Islami,
serta gong Sekaten (Syahadat ain) di Solo dan Yogya. Ia
membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan.
Sunan Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala itu
menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran
Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh
dari bentuk manusia utuh.
Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan
Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya.

Syarif Hidayatullah
Atau Sunan Gunung Jati. Nama ini acapkali dirancukan dengan
Fatahillah, yang menantunya sendiri. Ia memiliki kesultanan
sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai Banten. Ia adalah
salah satu pembuat soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel,
Kalijaga dan Bonang. Keberadaan Syarif berikut kesultanannya
membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan
kala itu, Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja, Demak dijadikan
pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para
wali.n (Hery D. Kurniawan/Sabili)

You might also like