You are on page 1of 80

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

DAFTAR PUSTAKA Amerom, B. V. (2000). Arithmetic and algebra: Can history help to close the cognitive gap? A proposed learning trajectory on early algebra from an historical perspective. CD-Rom of the RME materials, produced for the ICME9 Congress in Japan, July 2000. Becker, J.P & Shimada, S. (1997). The open-ended approach: A new proposal for teaching mathematics. Reston: NCTM Ben-Zeev, T. Dan Star, J.(2002). Intuitive Mathematics: Theoretical and Educational Implications. Michigan: University of Michigan Brouseau, G. (1997). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers Clarke, B., Clarke, D., & Sullivan, P. (1996).The mathematics teachers and curriculum development. In Alan J. Bishop et al. (eds.), International Handbook of Mathematics Education, 2 (1207-1234). Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academics Publishers. De Lange, J. (1987). Mathematics insight and meaning. Utrecht, the Netherlands: OW &OC, Dissertation. De Lange, J. (1996). Using and applying mathematics in education. In A.J. Bishop et al. (eds.). International Handbook of Mathematics Education. 1 (49-97). The Netherlands: Kluwer Academics Publishers. Gravemeijer, K. (1994). Educational development and developmental research in mathematics education. In Journal for Research in Mathematics Education, 25 (5), 443-471. Gravemeijer, K.P.E (2000a). Developmental research: Fostering a dialectic relation between theory and practice. CD-Rom of the RME materials, produced for the ICME9 Congress in Japan, July 2000. Gravemeijer, K.P.E (2000b). Taking a different perspective. CD-Rom of the RME materials, produced for the ICME9 Congress in Japan, July 2000. Kansanen, P. (2003). Studying-theRealistic Bridge Between Instruction and Learning. An Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying-Learning Process. Educational Studies, Vol. 29,No. 2/3, 221-232 Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan Gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Bandung: SPS UPI Toom, A. (2006). Tacit Pedagogical Knowing At the Core of Teachers Professionality. Helsinki: University of Helsinki Treffers, A. & Goffree, F. (1985). Rational analysis of realistic mathematics education-The Wiskobas program. In L. Streefland (Ed.), Proceedings of Ninth International Conference for the Psychology of Mathematics Education, (pp.97-121). Noordwijkerhout, July 22-29, 1985. Treffers, A. (1987). Three dimensions: A model of goal and theory description in mathematics education. Reidel, Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic Publishers. Treffers, A. (1991). Didactic background of a mathematics program for primary school. In L. Steefland (ed.), Realistic mathematics education in primary school: On the occasion of the opening Freudenthal Institute, (pp.21-56). Utrecht: Center for Science and Mathematics Education, Utrecht University. Turmudi (2006). Designing contextual Learning Strategies for Mathematics for Junior Secondary School in Indonesia. Ph.D. Thesis, Melbourne, Australia: La Trobe University. Van den Heuvel-Panhuizen , M. (1996). Assessment and realistic mathematics education. Utrecht: CD- Press, Center for Science and Mathematics Education. Van den Heuvel-Panhuizen , M. (2000). Mathematics education in the Netherlands: A guide tour. CD-Rom of the RME materials, produced for the ICME9 Congress in Japan, July 2000. Vygotsky, L.S. (1978). Mind in society. Cambridge, MA: Harvard University Press

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

13

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

PENERAPAN BLENDED LEARNING PADA PERKULIAHAN DENGAN KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI (Studi Kasus: Mata Kuliah Dasar-dasar Matematika)
Imam Sujadi Program Studi Pendidikan Matematika UNS Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah menerapan model blended learning pada perkuliahan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang memadukan antara pembelajaran tatap muka dan sistem e-learning. Penelitian ini dilaksanakan di program studi pendidikan matematika UNS. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas dengan 2 siklus. Tahapan penelitian didahului dengan mengembangkan model pembelajaran blended learning untuk mata kuliah Dasar-dasar Matematika. Selanjutnya model tersebut digunakan dalam proses pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Tahap-tahap penelitian tiap siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah dasar-dasar matematika pada semester gasal tahun akademik 2011/2012. Metode pengumpulan data dengan angket, observasi dan tes, pemberian tugas/kuis untuk mengetahui kualitas proses dan hasil pembelajaran. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Model pembelajaran blended learning terbukti berhasil meningkatkan kemandirian belajar dan kompetensi kognitif mahasiswa. Dengan demikian, dirasa perlu dilakukan penelitian tindakan kelas ini dengan model pembelajaran yang sama tetapi dengan mata kuliah yang berbeda dan kondisi yang berbeda pula. Kata kunci: blended learning, kemandirian belajar, peningkatan kompetensi

PENDAHULUAN E-learning saat ini menjadi alternatif pembelajaran yang berkembang sangat pesat, sejalan dengan perkembangan internet dan teknologi pendukungnya. Tujuan utama e-learning adalah mempermudah setiap orang untuk belajar. Tidak bisa dipungkiri bahwa e-learning memberikan cukup banyak manfaat bagi institusi pendidikan tinggi baik bagi dosen, mahasiswa, dan penyelenggara pendidikan. Manfaat yang bisa diambil dari pemanfaatan e-learning diantaranya adalah pertemuaan tatap muka akan berkurang, sedangkan materi yang telah dikembangkan akan terus bisa digunakan. Dengan menggunakan e-learning, biaya yang digunakan untuk memberikan materi pembelajaran bisa dihemat. Mahasiswa yang bisa mengikuti perkuliahan dengan adanya e-learning juga bisa bertambah secara kuantitas sesuai dengan kebutuhan. Dengan adanya e-learning tempat belajar tidak lagi menjadi kendala yang mendasar, karena mahasiswa bisa belajar dimanapun dan kapanpun. Dengan segala kelebihan pemanfaatan e-learning tersebut, oleh sebagian pihak elearning dianggap sebagai model pembelajaran masa depan (future learning). Namun dibalik kelebihan tersebut tersimpan beberapa kelemahan terutama pada instruktur, infrastruktur dan assessment. Salah satu proses penting dalam proses pembelajaran adalah proses membangun pengetahuan, dimana pengetahuan tersebut bisa bersifat eksplisit maupun implisit. Beberapa kelemahan pemanfaatan e-learning diantaranya adalah pengetahuan yang bersifat implisit sangat tidak mungkin untuk disebarkan menggunakan e-learning. Selain itu faktor emosional, gestur, seni, dan penilaian dari pembelajaran cenderung terkurangi dengan adanya e-learning. Selain beberapa kelemahan tersebut masalah penilaian (assesment) menjadi tantangan tersendiri pada penyelenggaraan e-learning. Pada pemanfaatan e-learning dosen tidak bisa mengetahui bagaimana kemampuan sebenarnya dari mahasiswanya, karena terjadi distorsi penilaian. Penilaian yang dilakukan oleh dosen sangat bersifat kognitif, sehingga kemampuan afektif maupun motorik menjadi kurang terukur. Blended-learning, salah satu tipe pengembangan e-learning, merupakan alternatif jawaban atas kelemahan yang ada pada e-learning. Blended Learning adalah cara untuk mendidik dan belajar dengan mengkombinasikan beberapa metode dan gaya pembelajaran

14

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

yang berbeda. Blended learning berbasis pada kombinasi antara pembelajaran yang bersifat online dan tatap muka. Cara belajar seperti ini memberikan beberapa keuntungan yang bersifat fleksibel bagi dosen dan mahasiswa. Dosen tidak kehilangan gesture dan seni dalam perkuliahan, demikian juga dengan mahasiswa tidak akan merasa ketinggalan ketika tidak bisa hadir pada perkuliahan (Arai, K: 2010). Penerapan blended-learning pada perkuliahan dengan kurikulum berbasis kompetensi akan sangat menguntungkan. Hal ini disebabkan karena adanya penekanan penguasaan kompentensi mahasiswa pada standar yang terukur. Dengan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi pada perkuliahan dimungkinkan adanya remedial teaching yang harus dilakukan oleh dosen. Kendala yang dihadapi dosen dalam melaksanakan remedial teaching adalah bagaimana mengatur pengelompokan kelas dan pengaturan waktu, antara yang mengikuti remidial dan yang tidak. Penerapan blended-learning diharapkan bisa mengurangi banyak tatap muka yang harus dilakukan dosen, terutama kelompok yang harus mengikuti remedial teaching (Stacey, E dan Gerbic, P: 2008) Sebagai ilustrasi pada perkuliahan dasar-dasar matematika tahun akademik 2009/2010, peserta mata kuliah dasar-dasar matematika ini adalah 28 mahasiswa. Pada ujian kelompok kompetensi dasar (KKD-1) mahasiswa yang harus mengikuti remedial teaching berjumlah 15 mahasiswa (54%), pada KKD-2 mahasiswa yang harus mengikuti remedial teaching berjumlah 9 mahasiswa (32%), pada KKD-3 mahasiswa yang harus mengikuti remedial teaching berjumlah 11 mahasiswa (39%), sedangkan pada KKD-4 mahasiswa yang harus mengikuti remedial teaching berjumlah 4 mahasiswa (14%). Ketika dosen akan melakukan remedial teaching, kendala yang dihadapi adalah sulitnya mengatur waktu untuk melakukan pembelajaran pada kelas remedial tersebut. Kendala yang lain mahasiswa secara afektif kurang mempunyai kemauan untuk belajar mandiri dan kurang mempunyai kemauan bekerja menyelesaikan masalah. Untuk mengatasi kendala tersebut penerapan remedial teaching bagi mahasiswa dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, merupakan suatu upaya peningkatan kualitas pembelajaran di prodi pendidikan matematika. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimana penerapan blended learning pada perkuliahan dengan kurikulum berbasis kompetensi ditinjau dari aspek dampak peningkatan afektif dan kognitif mahasiswa, studi kasus pada mata kuliah dasar-dasar matematika. Asumsi yang digunakan adalah semua mahasiswa mempunyai kesempatan dan kemampuan akses yang sama terhadap materi perkuliahan yang disebarkan melalui website atau learning management system (LMS). Sebagai rencana cadangan materi juga disebarkan menggunakan media CDROM. Materi yang disampaikan melalui LMS atau CDROM bersifat pengetahuan eksplisit, sedangkan pengetahuan yang bersifat implisit disampaikan di kelas. Tatap muka di kelas lebih bersifat mediasi, review, dan diskusi terhadap materi yang diberikan. Media komunikasi yang digunakan adalah media chat melalui jejaring sosial selama jam kerja, email dan forum diskusi. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian E-Learning E-Learning didefinisikan sebagai pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching) secara online menggunakan jaringan teknologi. Saat ini telah banyak penelitian mengenai elearning, terutama pada dampak (outcomes) pembelajaran yang dihasilkan e-learning jika dibandingkan dengan pengajaran secara tradisional (Hrastinski, S: 2008). Beberapa perguruan tinggi menyelenggarakan e-learning sebagai suplemen terhadap materi yang disampaikan secara regular di kelas. Namun, tidak sedikit yang menyelenggarakan e-learning sebagai alternatif perkuliahan bagi mahasiswa yang karena satu dan lain hal berhalangan mengikuti perkuliahan (Rahayu, T: 2007). Untuk bisa mempraktekkan dan mengimplementasikan e-learning dengan baik, harus diperhatikan mengenai keuntungan dan keterbatasan setiap metode dan teknik yang dikembangkan pada e-learning. Dua tipe dasar e-learning yang saat ini berkembang adalah asynchronous dan synchronous e-learning. Sampai saat ini, tipe asynchronous lebih banyak diandalkan untuk pengajaran dan pembelajaran. Namun, seiring dengan perkembangan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

15

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

teknologi dan peningkatan kapasitas bandwith koneksi internet, tipe synchronous menjadi pilihan tersendiri (Hrastinski, S: 2008), (Rahayu, T: 2007). Blended Learning Blended-learning merupakan salah satu pendakatan dari e-learning, yang mengkombinasikan berbagai komponen pembelajaran - seperti ruang kelas, konten online, email, forum diskusi, learning management system (LMS) - dan pengalaman belajar seperti pembelajaran individual atau berbasis kelompok - untuk menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna. (Stacey, E dan Gerbic, P: 2008), (Kapp, KM dan McKeague, C: 2002), (Khan, B.H: 2010). Blended learning mengkombinasikan tipe asynchronous dan synchronous pada pelaksanaannya. Bahkan pada prakteknya sesi tatap-muka tidak hanya dilaksanakan secara virtual melalui chat atau email saja namun dilaksanakan di dalam kelas yang notabene merupakan cara konvensional. Tentu saja hal ini meningkatkan fleksibilitas pada pelaksanaannya. (Stacey, E dan Gerbic, P: 2008), (Kapp, KM dan McKeague, C: 2002), (Khan, B.H: 2010). Sehingga secara umum, blended-learning menyediakan hampir semua kebutuhan dari mahasiswa yang antara lain berkaitan dengan apa saja isi pembelajaran, waktu pembelajaran, tempat pembelajaran dan bagaimana cara belajarnya. Disamping itu pengalaman belajar mahasiswa juga akan bertambah. Blended Learning pada Kurikulum Berbasis Kompetensi Implikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasis kompetensi. Paradigma pendidikan berbasis kompetensi yang mencakup kurikulum, pembelajaran, dan penilaian menekankan pencapaian hasil belajar sesuai dengan standar kompetensi dari perkuliahan. (Rahayu, T: 2007). Berdasarkan SK Mendiknas No 232/U/2000, struktur kurikulum harus berdasar pada tujuan belajar yaitu: learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live together. Sehingga secara garis besar, KBK bisa diartikan sebagai kurikulum yang pada tahap perencanaan, terutama pada tahap pengembangan ide dipengaruhi oleh kemungkinankemungkinan pendekatan, sehingga kompetensi bisa menjawab tantangan yang muncul (Rahayu, T: 2007). Pada KBK, mahasiswa diberi kesempatan secara terbuka untuk bisa mencapai standar kompetensi yang ditetapkan. Jika ternyata peserta didik gagal, maka dosen harus memberikan remedial teaching. Hal ini sangat menguntungkan bagi mahasiswa namun membingungkan pengampu mata kuliah. Untuk melaksanakan remedial theacing, dosen harus membagi kelas menjadi dua bagian. Satu kelas, terdiri dari mahasiswa yang tidak remedial teaching, kelas lainnya yang mengikuti remedial teaching. Hal ini tentu saja merepotkan terlebih jika ternyata pada kompetensi berikutnya ada mahasiswa yang tidak memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan, sehingga perlu remedial teaching juga. Untuk mengatasi hambatan dalam melaksanakan remedial teaching tersebut tersebut, penggunaan blended learning sangat tepat digunakan. Skenarionya semua komponen blended learning dilaksanakan, selanjutnya jika terjadi remedial teaching digunakan komponen asynchronous, dengan mahasiswa tetap mengikuti perkuliahan untuk kompetensi berikutnya. Demikian seterusnya, sehingga ketika mahasiswa harus remedial maka ia tidak harus membuat kelas terpecah dalam kelas kecil. Sebagai gambaran, blended learning dilaksanakan seperti pada Gambar 1. (Arai, K: 2010). METODE PENELITIAN Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Class Room Action Research) yang difokuskan pada proses pembelajaran remidial. Jenis penelitian ini termasuk penelitian tindakan partisipan karena peneliti terlibat langsung dari awal hingga akhir penelitian. Subjek, Objek, Waktu dan Tempat Penelitian Subjek penelitian ini adalah mahasiswa prodi pendidikan matematika yang pada tahun akademik 2011/2012 mengikuti mata kuliah dasar-dasar matematika, khususnya mahasiswa

16

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

yang mengalami remedial teaching, sedangkan objek penelitian ini adalah peningkatan afektif yang berupa peningkatan kemauan mahasiswa untuk belajar mandiri dengan mencari informasi pengetahuan yang dibutuhkan, serta peningkatan kognitif berupa peningkatan kompetensi akibat kemauan mahasiswa menyelesaikan tugas yang dirancang oleh dosen. Waktu penelitian selama 6 (delapan) bulan dimulai bulan Juni sampai dengan Nopember 2011. Tempat penelitian adalah di prodi pendidikan matematika JPMIPA FKIP UNS. Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan meliputi keseluruhan kegiatan pelaksanaan mulai awal sampai akhir sebagai berikut: (1) Proses kegiatan penyusunan handout, perancangan tugas, (2) Data tentang tingkat kemauan mahasiswa belajar mandiri mencari informasi yang dibutuhkan sebelum tindakan dilakukan, (3) Data tentang tingkat kemauan mahasiswa belajar mandiri mencari informasi yang dibutuhkan setelah tindakan dilakukan, (4) Data tentang tingkat kemauan mahasiswa menyelesaikan tugas yang dirancang oleh dosen, (5) Tanggapan mahasiswa tentang penerapan blended learning pada perkuliahan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi lapangan, dan angket untuk mahasiswa. Teknik Analisis Data Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, karena sebagian besar data yang dikumpulkan berupa uraian deskripsi tentang kemauan mahasiswa belajar mandiri mencari informasi, serta kemauan mahasiswa menyelesaikan tugas yang dirancang oleh dosen. Langkah-langkah Operasional Kegiatan Pelaksanaan Penelitian Secara umum, langkah-langkah operasional penelitian meliputi tahap persiapan, tahap perencanaan atau penyusunan prototype, tahap pelaksanaan tindakan, tahap analisis dan tahap refleksi serta tahap tindak lanjut. Pada tahap persiapan, yang dilakukan adalah (1) menyusun RPP, menyusun handout, dan menyusun rancangan tugas, (2) mengembangkan media berbasis website atau learning management system (LMS), untuk memberikan materi dalam rangka remedial teaching. Pada tahap perencanaan peneliti menyusun beberapa instrumen penelitian yang akan digunakan dalam tindakan berupa lembar observasi dan angket. Sedangkan pada tahap pelaksanaan/ tindakan hal-hal yang dilakukan adalah penerapan blended learning pada perkuliahan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Adapun langkah-langkah pelaksanaan tindakan sebagai berikut: (1) membuat silabus yang dilengkapi dengan RPP, (2) melaksanakan penerapan blended learning pada perkuliahan remedial . Pada fase pertama mengidentifikasi mahasiswa yang memerlukan remidial teaching pada KKD-1 dengan cara mahasiswa diminta mempelajari materi yang sudah disiapkan, mahasiswa diberi kesempatan untuk bertanya lewat millis apabila ada kesulitan. Peneliti memotivasi siswa untuk mau mencari informasi yang dibutuhkan dan mau mempelajarinya. Pada fase kedua mahasiswa diminta membentuk kelompok kecil, masing-masing kelompok beranggotakan 3 4 orang. Tiap-tiap kelompok ditugaskan melakukan kegiatan diskusi menyelesaikan tugas baik secara langsung, dan atau menggunakan millis, sesuai dengan tugas yang telah dirancang oleh dosen. Sedangkan pada fase ketiga memberi kesempatan mahasiswa untuk menanyakan hal yang belum jelas pada dosen, baik secara langsung atau lewat email (dilakukan oleh ketua sebagai pengajar). Mahasiswa diharapkan mencatat hal-hal penting dari penjelasan dan hasil diskusi. Tahap observasi dan evaluasi, dilakukan oleh peneliti dengan cara mengamati jalannya pelaksanaan penerapan blended learning pada perkuliahan. Fokus pengamatan ditekankan pada peningkatan afektif dan kognitif mahasiswa. Tahap analisis dan refleksi dilakukan pada masing-masing siklus yaitu pada siklus 1, Analisis dilakukan dengan cara : peneliti mengumpulkan hasil observasi dan angket kemudian dianalisis bagian mana dari bahan yang belum dikuasai mahasiswa serta ditandai siapa saja mahasiswa yang belum tuntas dan tanggapan siswa (persepsi siswa) terhadap proses yang dilakukan. Sedangkan refleksi dilakukan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

17

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

dengan cara: data hasil analisis dikoreksi dan didiskusikan bersama untuk perbaikan siklus selanjutnya. Indikator keberhasilan dari siklus 1 ini dapat dilihat adanya peningkatan kemauan belajar mandiri dan kemauan menyelesaikan tugas yang ditandai dengan kenaikan prosentase sebelum tindakan. Bilamana kenaikannya belum mencapai angka 10 persen maka dikatakan belum ada peningkatan afektif dan kognitif dan perlu mengulang pada siklus II. Berdasar hasil analisis dan refleksi pada siklus I, tahap persiapan dan perencanaan pada siklus I diperbaiki untuk dilaksanakan pada siklus II. HASIL PENELITIAN 1. Hasil Pengembangan Perangkat Pembelajaran a. Perangkat Utama Perangkat Pembelajaran yang dikembangakan dalam penelitian ini adalah Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), bahan ajar, serta lembar tugas yang akan diberikan mahasiswa. Instrumen Penelitian yang dikembangkan pada penelitian ini adalah lembar observasi yang digunakan untuk melihat aktifitas mahasiswa didalam kelas, dan digunakan untuk mengidentifikasi topik-topik yang belum dikuasai oleh mahasiswa. Instrumen bantu yang dikembangkan dalam penelitian ini selain lembar observasi adalah angket untuk melihat bagaimana aktivitas mahasiswa dan tanggapan mahasiswa dengan kuliah menggunakan pendekatan Blended learning. Bahan ajar yang dikembangkan dalam penelitian ini, adalah bahan ajar perkuliahan dasar-dasar matematika untuk KKD-1 dan KKD-2. Bahan ajar tersebut disajikan dalam bentuk power point. Untuk KKD-1 pertemuan pertama bahan ajar pertemuan pertama berisi konsep aksiomatika dalam matematika, seperti: Pengertian hal-hal yang tak didefinisikan, definisi, postulat, aksioma, lemma, teorema. Untuk KKD-1 pertemuan kedua berisi fungsi dan perangkai logika, seperti : proposisi kata hubung logika dan pengembangan kata hubung; Sedangkan KKD-1 pertemuan ketiga berisi negasi dan nilai kebenaran , seperti : tautologi, kontradiksi, dan kontingensi. Bahan ajar untuk KKD-2 pertemuan pertama berisi konsep kuantifikasi, seperti: bentuk umum kuantor, hubungan kuantor, kuantor dengan beberapa variabel dan proposisi berkuantor. Bahan ajar untuk KKD-2 pertemuan kedua berisi penarikan kesimpulan dan pembuktian seperti : penarikan sahih dan tak sahih, serta pembuktian langsung dan tak langsung, pembuktian dengan induksi matematika. Bahan ajar untuk KKD-2 pertemuan ketiga berisi mengenal silogisma, seperti argumen dan validitas, hukum silogisma hipotetik dan berbagai macam modus. Pada setaiap akhir bahan ajar diberi lembar tugas. Lembar observasi yang dibuat berisi indikator untuk mengamati perilaku siswa selama proses pembelajaran. Lembar angket dibuat untuk menggali kemandirian mahasiswa dalam perkuliahan baik pada perkuliahan biasa atau perkuliahan dengan pendekatan blended learning. Adapun materi angket difokuskan pada hal-hal berikut ini. Pernyataan yang berkaitan dengan perkuliahan biasa terdiri dari 25 pernyataan. Pada pernyataan no 1-25, mahasiswa akan memilih huruf: (A) Jika selalu mengerjakan, (B) Jika sering mengerjakan, (C) Jika jarang mengerjakan, dan (D) Jika tidak pernah mengerjakan sebagaimana isi pernyataan tersebut. Sedangkan pernyataan yang berkaitan dengan model kuliah Blended Learning terdiri dari 15 pernyataan. Pada pernyataan no 26-40, Mahasiswa diminta memilih huruf (A) Jika sangat setuju, (B) Jika setuju , (C) Jika tidak setuju, dan (D) jika sangat tidak setuju dengan isi pernyataan tersebut. b. Perangkat Pendukung Perangkat pendukung yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah Blog untuk meng-upload bahan ajar dan tugas serta review hasil tugas maupun perkuliahan. Perangkat lain yang dikembangkan adalah email yang bisa digunakan mahasiswa untuk menanyakan materi atau tugas kepada dosen. Perangkat penunjang lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah mailing list yaitu suatu group dari email mahasiswa peserta kuliah dan dosen untuk digunakan mahasiswa agar bisa berdiskusi lewat dunia maya.

18

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

2. Hasil Penerapan Blended Learning Penelitian penerapan blended learning pada perkuliahan dengan kurikulum berbasis kompetensi studi kasus pada mahasiswa yang tahun akademik 2011-2012 mengikuti mata kuliah dasar-dasar matematika terdiri dari 2 siklus, dengan rincian sebagai berikut : a. Siklus I 1) Tahapan Perencanaan Berdasarkan hasil observasi pada mahasiswa yang mengikuti kuliah dasar-dasar matematika pada tahun akademik 2011/2012, semuanya berjumlah 67 mahasiswa, dimana dari 67 mahasiawa tersebut 34 mahasiswa adalah mahasiswa baru angkatan 2011. Sedangkan sisanya yaitu 33 mahasiswa adalah mahasiswa pengulang. Berdasarkan Hasil angket tentang kemandirian mahasiswa didapatkan bahwa kemandirian mahasiswa dalam belajar masih rendah. Berdasar hasil observasi tersebut dibuat perencanaan pembelajaran dengan metode Blended Learning, dengan urutan sebagai berikut: a) Mempersiapkan RPP, materi perkuliahan, lembar tugas yang akan dibicarakan. b) Sebelum perkuliahan dilakukan, sekurang-kurangnya 2 hari sebelumnya Dosen mengupload materi perkuliahan di blok dosen. Untuk mendapatkan materi kuliah tatap muka 1 pada KD 1, mahasiswa dapat mendownload KD01-01). c) Pada awal perkuliahan Dosen menanyakan pada mahasiswa apakah mereka sudah mendownload materi KD01-01? d) Dosen menanyakan apakah mahasiswa ada yang mengalami kesulitan materi yang sudah didownload. e) Dosen menanyakan apakah materi yang susah dipahami, sudah didiskusikan dengan teman yang lain? f) Dosen membahas materi atau tugas yang sudah diupload dan materi atau tugas tersebut dianggap sulit oleh mahasiswa. g) Dosen memberikan soal tambahan di kelas, kemudian menyuruh mahasiswa untuk berani mengemukakan pendapatan di dalam kelas. h) Diakhir perkuliahan dosen memberitahukan tentang materi yang akan dibahas dan akan diupload selambat-lambatnya 2 hari sebelum perkuliahan. i) Dosen memberitahukan bahawa materi yang sudah didownload dipelajari dan didiskusikan dengan teman, dan bila belum jelas bisa ditanyakan pada perkuliahan yang akan datang atau menanyakan kesulitan melalui email ke Dosen. j) Pada pertemuan ke 4 dilakukan uji kompetensi dengan materi KD01, dengan ketentuan mahasiswa yang nilainya kurang dari 60 diberi kesempatan melakukan ujian kedua, dengan sebelumnya dilakukan remidial teaching. k) Remidial teaching dilakukan dengan cara memberi tugas untuk mempelajari materi yang sudah diupload, dan mahasiswa diberi tugas untuk menyelesaikan tugas dan dikumpulkan melalui email. l) Dalam proses mempelajari materi ulang dan mengerjakan tugas mahasiswa dapat menanyakan ke dosen dengan cara menulis email ke dosen. 2) Tahap Pelaksanaan Pada tahapan pelaksanaan, tim peneliti melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang dibuat yaitu satu siklus ada 3 tatap muka, masingmasing 3 x 50 menit sesuai dengan skenario pembelajaran pada RPP. Pada siklus I ini pembelajaran dilakukan oleh ketua peneliti, sedangkan kolaborator melakukan observasi terhadap proses pembelajaran kepada beberapa siswa secara acak sebelum pembelajaran berakhir. 3) Tahap Observasi Pada tahapan observasi dan interpretasi, tim peneliti memantau proses dan dampak dari langkah-langkah perbaikan. Peningkatan kualitas proses pembelajaran akan dilihat dengan menggunakan lembar observasi dengan mengacu pada proses pembelajaran blended learning. Selain itu, untuk memperoleh data yang akurat,

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

19

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

peneliti juga melakukan wawancara tidak tersetruktur terhadap beberapa mahasiswa tentang materi yang dirasakan sulit oleh mahasiswa Berdasarkan hasil wawancara tidak tersruktur pada beberapa mahasiswa didapatkan tambahan informasi bahwa masalah perkuliahan KD01: (1) mahasiswa merasa masih kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang baru, (2) Terkadang Hot Spot di Kampus tidak berjalan dengan lancar, sehingga masalah mendownload juga masalah tersendiri bagi mahaisiswa. (3) Untuk bertanya pada dosen melalui email memang agak tidak enak. (4) Kalau tugas itu tidak dikumpulkan maka semangat mengerjakan tugas itu agak berkurang. Berdasarkan hasil UK KD01 dapat dilihat kemandirian dan pencapaian kompetensi untuk 67 mahasiswa adalah sebagai berikut ini. (1) kemandirian mahasiswa prodi pendidikan matemaika untuk belajar sendiri dan atau kelompok, mencari literature lain, kemampuan bertanya rendah, keberanian untuk mengeluarkan pendapat juga masih rendah. (2) Hasil pencapaian kompetensi juga belum menggembirakan hal ini dapat dilihat dari prosentase mahasiswa yang lulus ujian KD01 sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini. Tabel 1 Hasil Pencapaian Kompetensi Siklus I Banyaknya Peserta Lulus Tidak Lulus Peserta Ujian 67 13 (19,4%) 54 (80,6%) Peserta Uji Remidi 54 44 (81,5%) 10 (18,5%) Lulus KD01 57 dari 67 Peserta 85,1 %

4) Tahap analisis dan refleksi Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahapan observasi dan hasil wawancara dikumpulkan dan dianalisis oleh tim peneliti, untuk kemudian dilakukan refleksi untuk melihat kekurangan dan atau kelemahan yang telah terjadi. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan pada tahap mana yang perlu diperbaiki atau disempurnakan dan tahap mana yang telah memenuhi target. Kualitas proses pembelajaran dinyatakan mengalami perbaikan apabila capaian pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sesuai target atau bahkan melebihinya. Adapun hasil dari observasi dan wawancara dapat dirangkum sebagai berikut ini. (1) Kemandirian mahasiswa masih rendah, meskipun demikian dengan penerapan model pembelajaran yang dirancang rata-rata kemandirian mahasiswa meningkat untuk tiap perkuliahan yaitu dari 25,6% pada pertemuan I, kemudian naik menjadi 34,4% pada pertemuan ke II, dan pada pertemuan ke 3 menjadi 42,5%. Sedangkan dari pencapaian kompetensi penerapan model pembelajaran blended learning telah mampu meningkatkan pencapaian kompetensi mahasiswa dari 19,4% yang lulus UK01, kemudian ujian remedial yang lulus adalah 81,5%, dan setelah mahasiswa melakukan ujian remidi yang sebelumnya diberi kegiatan remidial teaching peserta ujian yang lulus mencapai 85,1%. Meskipun demikian perlu dilakukan perbaikan khususnya tentang bagaimana meningkatkan kemandirian belajar yaitu mengubah pola tanya jawab dosen mahasiswa lewat email, menjadi bentuk yang lain. Selain itu perlu ditinjau ulang tentang perlu tidaknya membangkitkan mahasiswa untuk mau mengerjakan tugas. b. Siklus II Pada siklus ini dilakukan tahapan tahapan seperti pada siklus I, tetapi didahului dengan perencanaan ulang berdasarkan hasil hasil yang diperoleh pada siklus I (refleksi) sehingga kelemahan kelemahan yang terjadi pada siklus I tidak terjadi pada siklus II. Adapun ukuran hasil tindakan pada siklus II ini dikaitkan dengan hasil tindakan pada siklus I apabila ada peningkatan kemandirian mahasiswa dalam belajar, dan peningkatan prosentase mahasiswa yang lulus tidak perlu remedial teaching, dan meningkatkan lulusan mahasiswa yang mengikuti remedial teaching. 1) Tahapan Perencanaan

20

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Berdasarkan hasil refleksi pada siklus 1, dibuat perencanaan pembelajaran dengan model blended learning, dengan urutan sama seperti pada siklus I hanya diubah pada langkah b) yaitu cara menyampaikan materi tidak hanya lewat blog tetapi diemailkan ke mahasiswa dengan cara mahasiswa dibuatkan milling list, demikian juga untuk bisa terjadi interaksi dengan sesama teman dan tidak hanya bertanya pada dosen maka dibuatkan forum diskusi lewat miilling list agar sesama mahasiswa dapat berdiskusi lewat internet. Disamping itu pada langkah h), i) , dan l) juga diubah bagaimana tugas itu harus dibuat oleh mahasiswa, sebagai berikut ini: (b) Sebelum perkuliahan dilakukan, sekurang-kurangnya 2 hari sebelumnya Dosen mengupload materi perkuliahan di blok dosen (untuk mendapatkan materi kuliah tatap muka 1 pada KD 1, mahasiswa dapat mendownload KD01-01) dan diemailkan ke fun.math.edu.uns@gmailgroup.com sehingga semua mahasiswa sudah terkirim, (h) Diakhir perkuliahan dosen memberitahukan tentang materi yang akan dibahas dan memberi tugas untuk dikumpulkan. Tugas boleh didiskusikan melalui group maillist yang sudah dibuat. Materi akan diupload selambat-lambatnya 2 hari sebelum perkuliahan, (i) i. Dosen memberitahukan bahawa materi yang sudah didownload dipelajari dan didiskusikan dengan teman, dan bila belum jelas bisa ditanyakan pada perkuliahan yang akan datang atau menanyakan kesulitan melalui email ke Dosen atau silahkan didiskusikan melalui milling list, dan (l). Dalam proses mempelajari materi ulang dan mengerjakan tugas mahasiswa dapat menanyakan ke dosen dengan cara menulis email ke dosen atau didiskusikan dengan teman melalui fun.math.edu.uns@gmailgroup.com. 2) Tahap Pelaksanaan Pada tahapan pelaksanaan, tim peneliti melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan perencanaan yang dibuat yaitu satu siklus ada 3 tatap muka, masingmasing 3 x 50 menit sesuai dengan skenario pembelajaran pada RPP. Pada siklus II ini pembelajaran dilakukan oleh ketua peneliti, sedangkan kolaborator melakukan observasi terhadap proses pembelajaran kepada beberapa siswa secara acak sebelum pembelajaran berakhir. 3) Tahap Observasi Pada tahapan observasi dan interpretasi, tim peneliti memantau proses dan dampak dari langkah-langkah perbaikan. Peningkatan kualitas proses pembelajaran akan dilihat dengan menggunakan lembar observasi dengan mengacu pada proses pembelajaran blended learning. Selain itu, untuk memperoleh data yang akurat, peneliti juga melakukan pengambilan data melalui angket tentang pembelajaran dengan blended learning pada perkuliahan dasar-dasar matematika. Berdasarkan hasil UK KD02 dapat dilihat kemandirian dan pencapaian kompetensi untuk 67 mahasiswa sudah meningkat sebagai berikut ini: (1) kemandirian mahasiswa prodi pendidikan matemaika untuk belajar sendiri dan atau kelompok, mencari literature lain, kemampuan bertanya, keberanian untuk mengeluarkan pendapat sudah mulai meningkat, (2) Hasil pencapaian kompetensi juga mengalami peningkatan, hal ini dapat dilihat dari prosentase mahasiswa yang lulus ujian KD01 sebagaimana terlihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2. Hasil Pencapaian Kompetensi Siklus II Banyaknya Peserta Lulus Tidak Lulus Peserta Ujian 67 43 (64,2%) 24 (35,8%) Peserta Uji Remidi 24 18 (75%) 6 (25%) Lulus KD01 61 dari 67 Peserta 91,1 %

4) Tahap analisis dan refleksi Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahapan observasi dan hasil angket yang telah dikumpulkan dan dianalisis oleh tim peneliti, untuk kemudian dilakukan refleksi untuk melihat kekurangan dan atau kelemahan yang telah terjadi. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan pada tahap mana yang perlu diperbaiki

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

21

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

atau disempurnakan dan tahap mana yang telah memenuhi target. Kualitas proses pembelajaran dinyatakan mengalami perbaikan apabila capaian pada indikator keberhasilan yang telah ditetapkan sesuai target atau bahkan melebihinya. Adapun hasil dari observasi dapat dirangkum sebagai berikut ini. (1) Kemandirian mahasiswa sudah mengalami peningkatan. Adapun peningkatan prosentase kemandirian karena penerapan model pembelajaran yang dirancang ratarata yaitu dari 41,8% pada pertemuan I, kemudian naik menjadi 46,3% pada pertemuan ke II, dan pada pertemuan ke 3 menjadi 48,2%. Sedangkan dari pencapaian kompetensi penerapan model pembelajaran blended learning telah mampu meningkatkan pencapaian kompetensi mahasiswa dari 64,9% yang lulus UK02, kemudian ujian remedial yang lulus adalah 75%, dan setelah mahasiswa melakukan ujian remidi yang sebelumnya diberi kegiatan remidial teaching peserta ujian yang lulus mencapai 91,1%. Dari dua siklus penerapan perkuliahan blended learning telah mampu meningkatkan kemandirian mahasiswa dan kemampuan kognitif mahasiswa. Meskipun demikian masih perlu dilakukan perbaikan terus menerus diperkuliahan pada KD03 dan KD04, khususnya tentang bagaimana meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa untuk meningkatkan kompetensinya.

PENUTUP Berdasarkan hasil maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut ini : 1. 2. Perangkat pembelajaran yang dikembangakan dalam penelitian ini berupa silabus, RPP, bahan ajar, lembar tugas, media berupa blog, email, dan mailing list . Penerapan pembelajaran matematika menggunakan model pembelajaran blended learning dapat meningkatkan kemandirian mahasiswa dalam belajar dan bekerja sama dan meningkatkan kompetensi mahasiswa dalam bidang kognitif pada mata kuliah dasar-dasar matematika. Penerapan pembelajaran matematika menggunakan model blended learning dapat digunakan untuk melaksanakan remedial teaching untuk perkuliahan yang menerapkan kurikulum berbasisis kompetensi.

3.

DAFTAR PUSTAKA Arai, K. 2010. Open Source Software for Blended Learning. Proceeding of International Conference on Open Source for Higher Education. Sebelas Maret University. Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas. Hrastinski, S. 2008. Asynchronous and Synchronous E-Learning: A study of asynchronous and synchronous e-learning methods discovered that each supports different purposes. Educause Quarterly. Volume 4 p. 51 55. Kapp, KM dan McKeague, C. 2002. Blended Learning for Compliance Training Succes. Eduneering. Bloomburg. Khan, B.H.2010. Benefits of Blended E-learning. Disampaikan pada Workshop on e-Learning in Higher Education. King Fahd University of Petroleum and Minerals. Nayak, MK dan Suesawaluk, P. 2007. Advantages and Disadvantages of eLearning Management System. Proceeding of Fourth International Conference on eLearning for Knowledge-Based Society, p:22.1 -22.7 Rahayu, T. 2007. Pemanfaatan E-Learning dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bina Widya Vol 18 p: 16-24 Stacey, E dan Gerbic, P. 2008. Succes Factor for Blended Learning. Proceeding of Ascilite Melbourne. p: 964 968 Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas. _________ 2009. Silabus Dasar-dasar matematika. Surakarta: Prodi Pendidikan Matematika UNS

22

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

PROSES BERPIKIR KREATIF SISWA SEKOLAH DASAR (SD) BERKEMAMPUAN MATEMATIKA TINGGI DALAM PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
Abdul Aziz Saefudin1, Imam Sujadi2 1) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UPY Jl. PGRI I Sonosewu Yogyakarta 2)Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP UNS Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir kreatif siswa dalam membangun ide, mensintesis ide, merencanakan penerapan ide, dan menerapkan ide tersebut dalam pemecahan masalah matematika. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif yang berupaya untuk menganalisis proses berpikir kreatif siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Subjek penelitian yang diambil adalah siswa kelas V SD berkemampuan matematika tinggi (skor 75) yang banyaknya minimal 1 orang subjek. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses berpikir kreatif siswa berkemampuan matematika tinggi: dalam tahap membangun ide, siswa membangun ide penyelesaian dari bilangan-bilangan yang diketahui pada soal, konsep matematika, dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dengan pertimbangan yang cenderung bersifat konseptual dan intuitif. Dalam tahap mensintesis ide, siswa mensintesis ide dengan mengkaitkan konsep matematika dan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap merencanakan ide, siswa merencanakan penerapan ide dengan produktif dan lancar, serta tidak menemui kesulitan. Dalam tahap menerapkan ide, siswa menerapkan ide dengan penyelesaian yang baru secara fasih dan fleksibel; tidak melakukan kesalahan, dan jika melakukan kesalahan, mampu memperbaiki kesalahan tersebut; yakin dengan jawaban yang diberikan; merasa tertantang untuk menemukan cara penyelesaian dan jawaban yang beragam; beranggapan bahwa mencari jawaban yang beragam lebih mudah daripada mencari cara penyelesaian yang beragam.
Kata Kunci: proses berpikir kreatif, pemecahan masalah matematika

PENDAHULUAN Mata pelajaran matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif, dan kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut dikembangkan dalam diri siswa, agar siswa memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif (BSNP, 2006: 416). Artinya, matematika mempunyai peran yang sangat sentral dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan bekerja sama sehingga mereka siap menghadapi segala perubahan dalam segala bidang kehidupan. Selain itu, mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan produktif tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam era persaingan global, karena tingkat kompleksitas dalam segala aspek kehidupan modern semakin tinggi (I Gusti Putu Sudiarta, 2007). Dalam pembelajaran matematika, kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan produktif merupakan kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking) dan dapat dipandang sebagai kelanjutan dari kemampuan berpikir tingkat rendah (low order thinking) atau kemampuan dasar (basic skill). Kemampuan dasar dalam pembelajaran matematika biasanya dibentuk melalui aktivitas yang bersifat konvergen, yaitu berupa latihan-latihan matematika yang bersifat algoritmik, mekanistik, dan rutin. Adapun kemampuan berpikir tingkat tinggi

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

23

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

bersifat divergen, yaitu menuntut aktivitas kritis dan kreatif dalam pemecahan masalah matematika dari beragam perspektif. Maksudnya, tidak hanya mencari jawaban yang benar dalam pemecahan masalah matematika, tetapi juga cara mengonstruksi segala kemungkinan prosedur dan argumentasinya (I Gusti Putu Sudiarta, 2007). Selain itu, dalam pemecahan masalah matematika, pembelajaran tidak hanya menekankan pada penyelesaian masalah tertutup atau mempunyai solusi tunggal, tetapi dapat menggunakan pendekatan masalah terbuka atau open-ended approach (Becker dan Shimada dalam Hashimoto, 1997). Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis dan kreatif dapat dikembangkan dalam pembelajaran matematika melalui pemecahan masalah matematika terbuka. Secara khusus, berpikir kreatif diartikan sebagai suatu kegiatan mental yang digunakan seseorang untuk membangun ide atau gagasan baru (Ruggiero dan Evans dalam Tatag Yuli Eko Siswono, 2007). Selanjutnya Pehkonen (1997) menyatakan, bahwa berpikir kreatif sebagai kombinasi dari berpikir logis dan berpikir divergen yang berdasarkan pada intuisi dalam kesadaran. Barak dan Doppelt (2000) mengemukakan bahwa berpikir kreatif merupakan sintesis antara berpikir vertikal dan berpikir lateral. Berpikir vertikal menurut Edward de Bono dalam Barak dan Doppelt (2000) merupakan pola berpikir yang dilakukan secara tahap demi tahap berdasarkan fakta yang ada, untuk mencari berbagai alternatif pemecahan masalah, dan akhirnya memilih alternatif yang paling mungkin menurut logika normal. Pola berpikir vertikal terkait dengan bernalar dalam matematika sehingga lebih memfungsikan otak kiri yang bersifat logis, sekuensial, linier, dan rasional. Sementara pola berpikir lateral menggunakan berbagai fakta yang ada, menentukan hasil akhir apa yang diinginkan, dan kemudian secara kreatif (seringkali tidak dengan cara berpikir tahap demi tahap) mencari alternatif pemecahan masalah dari berbagai sudut pandang yang paling mungkin mendukung hasil akhir tersebut. Dalam pola berpikir lateral, fungsi otak yang digunakan menggunakan otak belahan kanan yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, divergen, dan holistik (R. Rosnawati, 2011). Alhasil, tidak mengherankan jika banyak penemuan baru dan terobosan ilmu pengetahuan dari hasil pola berpikir lateral. Proses berpikir kreatif dalam pemecahan masalah matematika mempunyai beberapa tahapan. Wallas (dalam Oemar Hamalik, 2009: 146; Solso, 2008: 445; Campbell, 1986: 18) mengemukakan empat tahap berpikir kreatif, yaitu preparasi, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Sementara Krulik dan Rudnick (1995: 3) menyatakan bahwa proses berpikir kreatif meliputi tahapan-tahapan membangun suatu ide, mensintesis ide-ide, merencanakan penerapan ide, dan menerapkan ide tersebut untuk menghasilkan sesuatu yang baru. Produk dari proses berpikir kreatif adalah berbagai kreativitas. Kriteria kreativitas pemecahan masalah menurut Silver (1997) diindikasikan dengan kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kefasihan dalam pemecahan masalah didasarkan pada kemampuan siswa memecahkan/menyelesaikan masalah dengan memberi jawaban yang beragam dan benar. Beberapa jawaban dikatakan beragam jika jawaban-jawaban yang diberikan siswa tampak berlainan dan mengikuti pola tertentu. Fleksibilitas ditunjukkan dengan kemampuan siswa memecahkan/menyelesaikan masalah dengan berbagai cara yang berbeda. Sementara kebaruan dalam pemecahan masalah didasarkan pada kemampuan siswa menjawab/menyelesaikan masalah dengan beberapa jawaban yang berbeda-beda tetapi bernilai benar atau satu jawaban yang tidak biasa dilakukan oleh siswa pada tingkat pengetahuannya. Beberapa jawaban tersebut dikatakan berbeda jika jawaban tersebut tampak berlainan dan tidak mengikuti pola tertentu (Tatag Yuli Eko Siswono, 2007). Sejalan dengan pendapat Silver tersebut, kemampuan berpikir kreatif menurut Lee (2005) melibatkan kefasihan, fleksibilitas, originalitas, dan elaborasi (penyempurnaan). Originalitas menunjukkan strategi pemecahan masalah yang baru dan berbeda dengan strategi yang biasa ia atau orang lain gunakan, sedangkan elaborasi merupakan bagian dari proses berpikir di mana ide/solusi original yang muncul dengan cepat harus direspon dengan cepat sehingga ide/solusi tersebut tidak menjadi lapuk. Untuk mengetahui proses berpikir kreatif siswa berkemampuan matematika tinggi dalam pemecahan masalah matematika, maka perlu dilakukan suatu kajian atau penelitian. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan proses berpikir kreatif siswa sekolah

24

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

dasar (SD) yang meliputi tahap membangun ide, mensintesis ide, merencanakan penerapan ide, dan menerapkan ide dalam pemecahan masalah matematika materi pokok bilangan bulat. Manfaat hasil penelitian adalah memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan terhadap dunia pendidikan, khususnya dalam bidang psikologi kognitif berupa deskripsi proses berpikir kreatif dalam pemecahan masalah matematika bagi siswa berkemampuan matematika tinggi. Manfaat penelitian ini yang lain adalah sebagai upaya peningkatan kualitas pembelajaran matematika baik bagi siswa maupun guru. Selain itu, hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi guru untuk menyusun model, pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran yang tepat. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengungkap proses berpikir kreatif siswa sekolah dasar dalam pemecahan masalah matematika materi pokok bilangan bulat. Subjek penelitian ini adalah siswa SD Kanisius Demangan Baru Sleman DIY yang pernah memperoleh materi pokok bilangan bulat dan dimungkinkan mampu mengomunikasikan pemikirannya secara lisan maupun tulisan dengan baik sehingga eksplorasi tentang proses berpikir siswa dalam menyelesaikan masalah dapat dilakukan. Instrumen dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua bagian yaitu instrumen utama dan instrumen bantu. Instrumen utama dalam penelitian ini adalah pewancara (peneliti sendiri). Instrumen bantu berupa instrumen bantu pertama yaitu tes tertulis penentuan kemampuan matematika siswa, instrumen bantu kedua yaitu tes tertulis pemecahan masalah bilangan bulat, dan instrumen bantu ketiga berupa pedoman wawancara. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara yang dilakukan peneliti sebagai instrumen utama. Wawancara dilakukan untuk menggali proses berpikir subjek dalam pemecahan masalah materi pokok bilangan bulat, setelah sebelumnya menggunakan metode tes. Analisis data penelitian kualitatif menggunakan tiga komponen utama yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan sekaligus verifikasinya (Miles, Huberman, dan Spradley dalam Sugiyono, 2008: 92-99). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan pembahasan penelitian ini menunjukkan adanya proses berpikir kreatif siswa berkemampuan matematika tinggi dalam pemecahan masalah matematika materi pokok bilangan bulat. Dalam menyelesaikan soal pertama, subjek membangun ide penyelesaian dari bilanganbilangan yang diketahui pada soal dan konsep penjumlahan serta pengurangan dua bilangan. Pertimbangan ide digunakan bersifat konseptual. Subjek mensintesis ide dengan cara menjumlahkan dua bilangan melalui kombinasi atau salah satu cara dari sifat pengelompokan, cara bersusun, dan cara biasa. Ide penyelesaian tersebut berasal dari konsep yang dipelajari di dalam kelas. Subjek merencanakan ide dengan produktif dan lancar. Selain itu, subjek tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Subjek menerapkan ide penyelesaian yang fasih dan fleksibel, tetapi tidak terdapat unsur kebaruan. Jika terdapat kesalahan penyelesaian, subjek mampu memperbaikinya dengan cepat dan tepat. Subjek merasa yakin dengan jawaban yang diberikan. Selain itu, subjek merasa tertantang untuk menyelesaikan soal dengan beragam cara. Dalam menyelesaikan soal kedua, subjek membangun ide penyelesaian dari bilanganbilangan yang diketahui, konsep KPK, dan konsep grafik. Pertimbangannya bersifat konseptual. Pada tahap mensintesis ide, subjek mensintesis ide dengan cara mencari KPK dua bilangan yang diketahui dan menggunakan cara grafik. Ide penyelesaian tersebut berasal dari konsep yang dipelajari di dalam kelas. Selanjutnya dalam tahap merencanakan penerapan ide, subjek merencanakan ide dengan produktif dan lancar serta tidak menemui kesulitan. Subjek melakukan tahap menerapkan ide dengan cara penyelesaian yang baru secara fasih dan fleksibel. Apabila terdapat kesalahan penyelesaian soal, subjek mampu memperbaikinya dengan cepat dan tepat. Subjek merasa yakin dengan jawaban yang diberikan. Subjek juga merasa tertantang untuk menyelesaikan soal dengan beragam cara.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

25

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Dalam menyelesaikan soal ketiga, subjek membangun ide penyelesaian dari konsep pemfaktoran, penjumlahan dan pembagian bilangan, konteks pertanyaan soal, dan kemampuan memperkirakan (estimasi). Pertimbangannya bersifat konseptual dan intuitif. Subjek mensintesis ide dengan cara pemfaktoran dari bilangan yang diketahui dan memperkirakan berat suatu benda. Ide penyelesaian diperoleh subjek dari pengalaman belajar di dalam kelas dan pengalamannya belajar di lingkungan sekitar. Subjek merencanakan penerapan ide dengan produktif dan lancar. Subjek juga nampak tidak mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Dalam menerapkan ide, subjek mampu menyelesaikan soal dengan berbagai cara baru secara fasih dan fleksibel. Selain itu, subjek merasa yakin dengan jawaban yang diberikan. Subjek juga merasa tertantang untuk menyelesaikan soal dengan banyak cara. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikaji bahwa pada tahap membangun ide, subjek berkemampuan matematika tinggi membangun ide penyelesaian dari bilangan-bilangan yang diketahui pada soal, konsep matematika (pemfaktoran, operasi bilangan), konteks pertanyaan soal, dan kemampuan memperkirakan (estimasi). Ide-ide tersebut sangat beragam. Ide bukan hanya dari apa yang diketahui dalam soal, tetapi kelompok kreatif juga menggunakan ide-ide yang jarang ditemui pada siswa kebanyakan, misalnya dari pengalaman belajar di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, pertimbangan membangun ide tersebut cenderung bersifat konseptual dan intuitif. Konseptual maksudnya berdasarkan konsep yang pernah dipelajari oleh siswa, sedangkan intuitif maksudnya berdasarkan perasaan siswa. Pada tahap mensintesis ide, subjek berkemampuan matematika tinggi menyelesaikan soal dengan mengkaitkan bilangan-bilangan yang diketahui, konsep matematika (operasi penjumlahan dan pengurangan melalui sifat pengelompokan, cara bersusun, dan cara biasa, menentukan KPK, pembagian) dan kemampuan memperkirakan (estimasi) sesuatu (pengetahuan dari pengalaman sehari-hari). Cara-cara penyelesaian tersebut digunakan untuk mensintesis ide-ide yang telah dimunculkan pada langkah membangun ide. Pada subjek berkemampuan matematika tinggi, cara yang digunakan untuk menyelesaikan soal umumnya dapat diterapkan untuk menghasilkan suatu solusi yang kreatif. Ide-Ide penyelesaian tersebut tidak hanya berasal dari konsep yang dipelajari di dalam kelas, akan tetapi juga berasal dari pengalaman yang pernah diamati atau dipelajari di lingkungan sekitar siswa. Pada tahap merencanakan penerapan ide, subjek berkemampuan matematika tinggi cenderung memunculkan ide dengan produktif dan lancar. Selain itu, subjek berkemampuan matematika tinggi juga tidak menemui kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan soal. Jika siswa mengalami kesulitan maka mereka dapat segera mengatasinya. Pada tahap penerapan ide, subjek berkemampuan matematika tinggi mampu menyelesaikan soal dengan penyelesaian yang baru secara fasih dan fleksibel. Subjek ini juga tidak melakukan kesalahan dalam penyelesaian soal. Kalaupun melakukan kesalahan dalam penyelesaian soal, subjek berkemampuan matematika tinggi mampu memperbaiki kesalahan tersebut dengan cepat dan tepat. Akibatnya, subjek ini merasa yakin dengan jawaban yang diberikan. Keyakinan atas kebenaran jawaban yang diberikan juga memberikan karakteristik yang khas pada subjek berkemampuan matematika tinggi. Subjek selalu berusaha untuk memeriksa kembali jawaban yang telah diperoleh dengan saksama. Subjek berkemampuan matematika tinggi merasa tertantang untuk menemukan cara penyelesaian dan jawaban yang beragam, meski terkadang kurang tertantang pada soal-soal yang dianggap mudah diselesaikan. Subjek berkemampuan matematika tinggi beranggapan bahwa mencari jawaban yang beragam lebih mudah daripada mencari cara penyelesaian yang beragam. Oleh karena itu, subjek berkemampuan matematika tinggi berusaha menyelesaikan soal dengan cara penyelesaian atau jawaban yang beragam sebanyak-banyaknya. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa proses berpikir kreatif siswa berkemampuan matematika tinggi dalam pemecahan masalah matematika adalah sebagai berikut: dalam tahap membangun ide, siswa membangun ide penyelesaian dari bilangan-bilangan yang diketahui pada soal, konsep matematika, dan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dengan pertimbangan yang cenderung bersifat konseptual dan intuitif. Dalam tahap mensintesis ide, siswa mensintesis ide dengan mengkaitkan konsep matematika

26

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

dan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tahap merencanakan ide, siswa merencanakan penerapan ide dengan produktif dan lancar, serta tidak menemui kesulitan. Dalam tahap menerapkan ide, siswa menerapkan ide dengan penyelesaian yang baru secara fasih dan fleksibel; tidak melakukan kesalahan, dan jika melakukan kesalahan, mampu memperbaiki kesalahan tersebut; yakin dengan jawaban yang diberikan; merasa tertantang untuk menemukan cara penyelesaian dan jawaban yang beragam; beranggapan bahwa mencari jawaban yang beragam lebih mudah daripada mencari cara penyelesaian yang beragam. Berdasarkan kesimpulan, dapat disarankan sebagai berikut: (1) dalam mengajar matematika, guru hendaknya menekankan kemampuan berpikir kreatif siswa, (2) dalam mengajar matematika, guru dapat mengembangkan proses berpikir kreatif siswa dengan menggunakan strategi pemecahan masalah matematika, (3) kepada para guru, dosen, dan peneliti, hendaknya dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk kajian dalam pembelajaran dan pengembangan penelitian lanjutan yang sama temanya atau berbeda temanya. DAFTAR PUSTAKA Barak, Moses & Doppelt, Yaron. 2000. Using Portofolio to Enhance Creative Thinking. The Journal of Tecnology Studies Summer-Fall 2000. Volume XXVI, Number 2. http:/scholar.lib.vt.edu/ejournals, diunduh pada 24 Juni 2010. BSNP. 2006. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan SD/MI. Jakarta: Kemendiknas. Campbell. 1896. Mengembangkan Kreativitas, disadur oleh A. M. Mangunhardja. Yogyakarta: Pustaka Kaum Muda. Hashimoto, Yoshihiko. 1997. The Methods of Fostering Creativity through Mathematical Problem Solving. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publication/zdm ZDM Volum 29 (June 1997) Number 3. Electronic Edition ISSN 1615-679X. diunduh pada 24 Juni 2010. I Gusti Putu Sudiarta. 2007. Pengembangan Pembelajaran Berpendekatan Tematik Berorientasi Pemecahan Masalah Matematika Terbuka untuk Mengembangkan Kompetensi Berpikir Divergen, Kritis, dan Kreatif. http://math.sps.upi.edu/wpcontent/uploads/2009/10/Thinking-Classroom-dalam-Pembelajaran-Matematika-diSekolah.pdf. diunduh pada 24 Januari 2011. Krulik, Stephen, dan Rudnick, Jesse A. 1995. The New Sourcebook for Teaching Reasoning and Problem Solving in Elementary School. Massachusetts: Allyn & Bacon. Lee, Kyung-Hwa. 2005. The Relationship between Creative Thinking Ability and Creative Personality of Preschoolers, dalam International Education Journal. http://iej.ejb.net. ISSN 1443-1475. Diunduh pada 24 Juni 2010. Oemar Hamalik. 2009. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA: Menuju Profesionalitas Guru dan Tenaga Pendidik. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Pehkonen, Erkki. 1997. The State of Art in Mathematical Creativity. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. Volume 29, Juni 1997, No. 3, Electronic Edition ISSN 1615-679X, diunduh pada 24 Juni 2010. R. Rosnawati. 2011. Berpikir Lateral dalam Pembelajaran Matematika, dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011. Silver, Edward A. 1997. Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing. http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm. Volume 29, Juni 1997, No. 3, Electronic Edition ISSN 1615-679X, didownload 24 Juni 2010. Solso, Robert L.; Maclin, Otto H., dan Maclin, M. Kimberly. 2008. Psikologi Kognitif, Edisi Kedelapan, terj. Mikael Rahardanto dan Kristianto Batuadji. Jakarta: Erlangga. Sugiyono. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Tatag Yuli Eko Siswono. 2008. Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa. Artikel diunduh di http://suaraguru.wordpress.com pada tanggal 22 Desember 2009. _____________________. 2004. Identifikasi Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Pengajuan Masalah (Problem Posing) Matematika Berpandu dengan Model Wallas dan Creative Problem Solving (CPS). Buletin Pendidikan Matematika, Program Studi Pendidikan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

27

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Matematika FKIP Universitas Pattimura, Ambon, Volume 6, No. 2, Oktober 2004. ISSN 1412-2278, diunduh pada 2 Juni 2010. _____________________. 2007. Pembelajaran Matematika Humanistik yang Mengembangkan Kreativitas Siswa. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika yang Memanusiakan Manusia di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tanggal 28-30 Agustus 2007. _____________________. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Ringkasan disertasi diunduh dari http://suaraguru.wordpress.com pada 23 Desember 2009.

28

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

KARAKTERISTIK INTUISI SISWA SMA DALAM MEMECAHKAN MASALAH METEMATIKA DITINJAU DARI PERBEDAAN GENDER
Budi Usodo Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan PMIPA FKIP UNS Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik intuisi siswa SMA dalam memecahkan masalah matematika berdasarkan langkah Polya ditinjau dari perbedaan gender. Sejalan dengan tujuan penelitian tersebut maka dalam penelitan ini menggunakan metode penelitian diskriptif kualitatif. Subyek penelitian sebanyak 2 siswa terdiri dari 1 siswa lakilaki dan 1 siswa perempuan. Metode pengambilan data adalah wawancara berbasis tugas. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan triangulasi waktu, ketekunan pengamatan dan kecukupan referensi. Teknik analisis data melalui langkah-langkah reduksi data, pemaparan data, penafsiran data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian sebagai berikut: (1) Karakteristik intuisi siswa laki-laki dalam memecahkan masalah matematika sebagai berikut: dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global, dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. (2) Karakteristik intuisi siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika sebagai berikut: dalam memahami masalah, tidak menggunakan intuisi, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. Kata Kunci : Karakteristik intuisi, masalah matematika, gender, afirmatori, antisipatori, gender

PENDAHULUAN Kegiatan pembelajaran matematika tentu tidak akan terlepas dari masalah matematika. Dalam mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai dosen atau pendidik matematika mempunyai cara yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan contoh-contoh bagaimana memecahkan suatu masalah matematika, tanpa memberikan kesempatan banyak pada siswa untuk berusaha menemukan sendiri penyelesaiannya. Sehingga dengan cara demikian siswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah. Akibatnya siswa hanya mampu memecahkan masalah matematika bila telah dibeRikn caranya oleh Dosen. Dengan kondisi demikian, maka siswa seringkali dihadapkan pada beberapa kesulitan, misalnya siswa tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan masalah yang diberikan atau bila telah dapat memulai menjawab, namun mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut. Walaupun proses berpikir analitik dan logik memainkan peranan penting dalam merepresentasikan struktur logika pengetahuan matematika. Akan tetapi, mengejar ketepatan dan cara-cara formal hanyalah hasil akhir dari aktivitas matematika. Proses membangun pengetahuan matematika tanpa disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau ketakpastian, verifikasi atau penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan kognisi intuitif (intuitive cognition) dari pengetahuan matematika. Kognisi formal merujuk kepada kognisi yang dikontrol oleh logika matematika dan bukti melalui induksi matematika atau deduksi (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat memahami pengetahuan matematika. Kognisi formal juga perlu bagi matematikawan untuk berkomunikasi dengan sesama matematikawan dalam suatu asosiasi matematika. Serupa dengan itu, persepsi

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

29

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

terhadap pengetahuan formal sangat perlu bagi siswa untuk maju ke tingkat pengetahuan matematika yang lebih tinggi. Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas matematika. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan formal tidak sama dengan kreativitas bermatematika yang sangat diperlukan dalam doing mathematics, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Lebih jauh, tidak jelas apakah dapat dikembangkan kreativitas matematika melalui pengembangan kognisi formal. Siswa mungkin sangat yakin akan kemampuan logika dan penalaran dalam pembuktian matematik yang ketat. Akan tetapi hanya sedikit siswa yang berhasil dengan baik dalam aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah matematika. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas mental berbeda dengan kognisi formal dalam mengoperasikan kegiatan matematik. Hal tersebut disebut kognisi intuitif (intuitive cognition), atau intuisi (intuition). Konsep intuisi dijelaskan oleh Fischbein (1987) sebagai kognisi yang self evident, dapat diterima langsung, holistik, bersifat memaksa dan ekstrapolatif. Kognisi intuitif berbeda dengan kognisi secara analitik . Contoh, kebenaran pernyataan bahwa jumlah sudut-sudut pada suatu segitiga adalah 1800 diyakini karena telah membuktikannya. Tetapi kebenaran pernyataan jarak terpendek antara dua titik adalah garis lurus tanpa harus membuktikannya baik secara formal ataupun secara empiris. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan karena harus membuktikan merupakan kognisi yang bersifat non intuitif, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian secara formal) merupakan kognisi secara intuitif. Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat nampak dari suatu kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah (1) kognisi langsung, kognisi self evident (direct, self evident cognitions), yaitu intuisi merupakan kognisi yang diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus, (2) kepastian intrinsik (intrinsic certainty), yaitu intuisi feeling tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subjektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris), (3) pemaksaan (coerciveness), yaitu intuisi yang menggunakan efek memaksa pada strategi penalaran individual dan pada seleksinya dari hipotesis dan penyelesaian. Hal ini berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya, (4) Extrapolativeness, yaitu intuisi yang kaitannya dengan kemampuan untuk meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan melalui satu titik diluar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi, (5) keseluruhan (globality) adalah intuisi yang berlawa-nan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis. Lima karakteristik intuisi yang dikemukakan Fischbein di atas merupakan karakteristik afirmatori yaitu karakteristik intuisi yang berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan kecukupan secara instrinsik. Selain karakteristik afirmatori, Fischbein juga mengemukkan karakteristik intuisi lain disebut karakteristik intuisi antisipatori, yaitu karakteristik intuisi yang berkaitan untuk memecahkan masalah. Karakteristik dari intuisi antisipatori adalah sebagai berikut: (1) intuisi tersebut muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah, (2) intuisi tersebut menyajikan karakter global, (3) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling dari keyakinan, meskipun pembenaran secara rinci atau bukti belum ditemukan. Lebih lanjut, Poincare (dalam http://www-history.mcs.st-andrews.ac.uk /Extras/ Poincare _Intuition.html) membeRikn tiga jenis intuisi,yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indra dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, meniru seperti prosedur pengetahuan ekperimental (3) intuisi dari bilangan murni yang dapat mencapai berpikir matematika secara nyata.

30

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Dari uraian tentang jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare di atas, memberikan gambaran bahwa jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein berupa bentuk intuisi, sedangkan jenis intuisi yang disampaikan oleh Pincare berupa sesuatu yang mendasari adanya intuisi. Oleh karena itu pada penelitian ini jenis-jenis intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika meliputi dua bagian. a. Bagian pertama adalah jenis intuisi berdasarkan jenis-jenis intuisi yang disampaikan oleh Fischbein, yaitu: 1) Intuisi afirmatori dengan ciri-ciri sebagai berikut: langsung, self evident, pasti secara intrinsik, penggiringan, pemerkiraan atau global. 2) Intuisi antisipatori dengan ciri-ciri antara lain, akan muncul ketika berusaha keras untuk memecahkan masalah yang berupa ide global, dan intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya. b. Bagian kedua adalah jenis intuisi yang disampaikan oleh Poincare, yaitu: 1) Intuisi yang didasarkan oleh indera dan imajinasi dengan ciri-ciri antara lain dengan mengamati, memanipulasi benda, mengukur, membayangkan. 2) Intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan eksperimental dengan ciri-ciri antara lain menggunakan pola pikir induktif, dengan coba-coba atau contoh-contoh. 3) Intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara real, dengan ciri-ciri menggunakan ketentuan pada matematika, Di sisi lain, perbedaan gender dalam mempelajari matematika dan sains dalam riset pendidikan di awal 1980-an menemukan bukti kuat dominasi laki-laki dalam matematika dan sains (Benbow & Stanley, 1980; Halpern, 1986; Hyde, Reis & Park, 2001). Setelah itu beberapa penelitian menunjukkan hasil berbeda. Ditemukan bahwa perbedaan gender tidak berperan dalam kesuksesan belajar, apakah laki-laki atau perempuan lebih baik dalam belajar matematika (Hightower, M.W, 2003). Di samping itu banyak fakta bahwa beberapa perempuan sukses dalam karir matematikanya. Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan bahwa faktor gender mempengaruhi cara memperoleh pengetahuan matematika. Keitel (1998), Pinto (1998), dan Susento (2006), menunjukkan bahwa gender merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam proses konseptualisasi. Sebagai contoh, Keitel (1998) menyatakan, Gender, social, and cultural dimensions are very powerfully interacting in conceptualizations of mathematics education,....Adanya pengaruh faktor gender dalam proses konseptualisasi menunjukkan bahwa gender berpengaruh dalam memahami konsep-konsep matematika dan dalam memahami konsep-konsep matematika membutuhkan peran intuisi. Adanya perbedaan hasil temuan dari para peneliti mengenai peran gender dalam belajar matematika menunjukkan masih terbukanya ranah penelitian untuk mengungkap peran gender khususnya dalam mempelajari topik-topik tertentu dalam matematika. Dari perbedaan psikologis dan biologis, tampak bahwa karakteristik laki-laki dan perempuan berbeda. Perbedaan dari sisi psikologis dan biologis tersebut secara teoritis dapat mempengaruhi proses konseptualisasi dalam belajar matematika (Keitel, 1998). Menurut Fischbein (1999), dalam memahami fakta, konsep dan prinsip diperlukan intuisi, yang berupa intuisi afirmatori. Dengan demikian intuisi berperan dalam proses konseptualisasi. Oleh karena proses konseptualisasi berpengaruh dalam pemerolehan pengetahuan matematika, maka intuisi berperan dalam pemerolehan pengetahuan matematika, dan pengetahuan matematika yang dimiliki siswa berpengaruh pada pemecahan masalah matematika. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa faktor gender mempengaruhi intuisi siswa dalam mecahkan masalah matematika. Berdasarkan hal-hal tersebut dipandang penting untuk mengetahui penggunaan intuisi untuk menyelesaian masalah matematika ditinjau dari perbedaan gender. Di lain pihak, proses pemecahan masalah matematika, tentunya berkaitan erat dengan tahap-tahap pemecahan masalah yang dilakukan. Polya (1973) menyusun prosedur memecahkan masalah dalam empat langkah, yaitu : (1) analyzing and understanding problem, (2) designing and planning a solution, (3) explorating solutions to difficult problems, (4) verifying a solution. Namun demikian tidak serta merta siswa yang menguasai langkah-langkah penyelesaian

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

31

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

masalah tersebut akan selalu mampu memecahkan masalah matematika. Langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut hanyalah suatu sarana yang membantu untuk memudahkan dalam memecahkan masalah. Walaupun siswa menguasai langkah-langkah penyelesaian masalah, terkadang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah. Berkaitan dengan penggunaan intuisi dalam pemecahan masalah, maka keberadaan intuisi dalam proses pemecahan masalah dapat dilacak dari tahap-tahap pemecahan masalah. Oleh sebab itu pada penelitian ini akan dikaji karakteristik intuisi dalam pemecahan masalah matematika berdasarkan langkah-langkah pemecahan masalah oleh Polya. Berkaitan dengan uraian di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteristik intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau dari perbedaan gender. METODE PENELITIAN Penelitian ini untuk mengungkap hakekat gejala yang muncul dari subyek penelitian. Hakekat tersebut digunakan untuk menemukan karakteristik intuisi yang digunakan siswa dalam memecahkan pemasalahan matematika. Hakekat tersebut ditelusuri melalui suatu wawancara yang berbasis pada tugas. Oleh sebab itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif eksploratif yang data utamanya berupa kata-kata tertulis dan/atau lisan. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Sragen. Subjek dipilih tidak secara acak, namun diambil berdasarkan pertimbangan guru matematikanya. Dari pemilihan subjek penelitian seperti tersebut di atas, maka subjek penelitian ini adalah S1LK (siswa laki-laki), dan S2PR (siswa perempuan). Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara berbasis tugas. Dengan tugas pemecahan masalahh sebagai berikut: Pada suatu kelas diadakan permainan memotong-motong kertas dengan gunting. Permainan tersebut dimulai dengan salah seorang siswa (siswa ke-1) melakukan kegiatan memotong-motong selembar kertas menjadi 10 potong, kemudian siswa ke-1tersebut memberikan satu potong dari 10 potongan tersebut kepada siswa ke-2. Selanjutnya siswa ke-2 memotong-motong kertas menjadi 10 potong dan memberikan selembar kertas dari 10 potong kepada siswa ke-3, kemudian siswa ke-3 juga memotong-motongnya menjadi 10 potongan dan memberikan selembar kertas dari 10 potongan tersebut kepada siswa ke-4. Permainan memotong-motong kertas ini dilakukan sampai jumlah potongan kertas seluruhnya menjadi 352 potongan. Tentukan banyaknya siswa yang terlibat dalam kegiatan memotong-motong kertas tersebut! Data dalam penelitian ini berupa data hasil wawancara dengan subyek penelitian. Pada penelitian ini data dikatakan absah atau valid jika data tersebut memenuhi syarat kredibel. Dalam penelitian ini untuk memenuhi kredibilitas data dilakukan dengan wawancara secara tekun, yaitu peneliti mewawancarai subjek dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan dan mengadakan pengulangan pertanyaan pada waktu berbeda terhadap informasi yang tidak jelas atau berbeda. Selain itu, peneliti berada di sekolah dan mengamati kegiatan subjek dalam waktu yang cukup. Peneliti juga mengadakan triangulasi untuk menvalidasi data, yaitu dengan triangulasi waktu. Menurut Sugiono (2011) waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu dan situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian datanya. Langkah-langkah triangulasi waktu pada penelitian ini sebagai berikut: (1) melakukan wawancara berbasis tugas yang pertama pada subjek penelitian dengan menggunakan lembar tugas pemecahan masalah-1, (2) melakukan paparan data hasil wawancara-1, (3) melakukan wawancara berbasis tugas yang kedua dengan menggunakan lembar tugas pemecahan masalah2 (setara dengan lembar tugas pemecahan masalah-1) dengan subjek penelitian yang sama dan dalam waktu yang berbeda, (4) melakukan paparan data hasil wawancara-2, (5) melakukan pembandingan hasil paparan data wawancara pertama dan kedua. (6) bila pembandingan

32

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

paparan data hasil wawancara pertama dan kedua sama maka dikatakan data tersebut valid, sedangkan kalau tidak sama maka dilakukan wawancara ketiga dengan lembar tugas pemecahan masalah yang setara, dan langkah ini dilakukan sampai diperoleh dua hasil wawancara yang sama. Sedangkan analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Reduksi data yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian penyederhanaan pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan. b. Pemaparan data yang meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan dari data tersebut. c. Menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan menverifikasi kesimpulan tersebut. d. Hasil analisis wawancara akan digunakan untuk mengetahui karakteristik setiap tingkat berpikir kreatif siswa dan proses berpikirnya. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Karakteritik Intuisi Subjek Laki-laki (S1LK) a. Intuisi yang digunakan untuk memahami masalah Data hasil wawancara pada subjek S1LK yang berkaitan dengan memahami masalah adalah subjek S1LK tidak melakukan upaya tertentu untuk memahami soal, misalnya dengan membuat ilustrasi atau gambar. Hal ini terlihat dari jawaban S1LK yang langsung menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan tanpa melakukan misalnya, dengan membuat gambar Dengan demikian subjek S1LK dalam memahami masalah adalah langsung dari teks soal tanpa melakukan upaya tertentu untuk membantu memperjelas pemahaman masalah. b. Intuisi yang digunakan untuk membuat rencana penyelesaian masalah Dari data hasil wawancara pada subjek S1LK yang berkaitan dengan membuat rencana penyelesaian adalah dalam membuat rencana penyelesaian, subjek S1LK mencoba akan menggunakan rumus. Ungkapan dari subjek memberikan indikasi bahwa dalam mengerjakan soal aljabar akan menggunakan rumus barisan. Selain itu dari jawaban subjek menunjukkan bahwa subjek akan menggunakan rumus karena melihat kata-kata yang tertulis dalam teks soal. Berdasarkan hal-hal tersebut subjek S1LK dalam membuat rencana akan menggunakan rumus karena melihat kata-kata pada teks soal. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S1LK dalam membuat rencana penyelesaian dengan menggunakan rumus barisan muncul setelah mencermati teks soal. Karena munculnya pemikiran pada subjek S1LK menggunakan rumus barisan adalah sesaat setelah mencermati informasi pada teks soal, maka dikatakan bahwa subjek S1LK menggunakan kognisi segera. Dengan demikian dikatakan bahwa subjek S1LK menggunakan intuisi. Oleh karena munculnya intuisi setelah berusaha mengerjakan soal dengan mencermati informasi teks soal, maka dikatakan bahwa subjek S1LK menggunakan intuisi antisipatori. Selanjutnya, karena pemikiran penggunaan rumus muncul begitu saja yang didasarkan dari informasi yang ditangkap secara sepintas dari teks soal, sehingga subjek S1LK tidak dapat menjelaskan secara rinci mengapa digunakannya rumus barisan. Karena tidak dapat menjelaskan secara rinci, maka munculnya pemikiran penggunaan rumus barisan bersifat global. Oleh sebab itu intuisi yang digunakan subjek S1LK dalam membuat rencana penyelesaian adalah intuisi antisipatori yang besifat global. Di samping itu, dalam membuat rencana penyelesaian subjek berpikir menggunakan rumus, maka intuisinya berupa pemikiran matematika secara real. Dengan demikian intuisi yang digunakan subjek dalam membuat rencana penyelesaian adalah intuisi antisipatori yang besifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika secara real.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

33

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

c. Intuisi yang digunakan untuk melaksanakan rencana penyelesaian masalah Dari data hasil wawancara pada subjek S1LK yang berkaitan dengan melaksanakan rencana penyelesaian adalah subjek S1LK langsung menulis rumusnya, yaitu Un = a + (n-1)b.. Dari hasil wawancara, subjek S1LK langsung menggunakan rumus yang sudah diyakininya. Subjek juga tidak kesulitan dalam menggunakan rumus. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S1LK dalam melaksanakan rencana penyelesaian adalah langsung menggunakan rumus dan subjek S1LK sudah yakin akan rumus yang digunakan. Subjek S1LK tidak dapat menjelaskan secara analitik, diperolehnya rumus barisan. Subjek hanya mendasarkan dari teks soal, bahwa dari soal kelihatan ada pola dan ada beda yang disimpulkan subjek sebagai rumus barisan. Hasil jawaban subjek S1LK menunjukkan langkah dan hasil yang benar. Dengan memperhatikan apa yang dilakukan subjek S1LK dalam melaksanakan rencana, nampak bahwa tidak ada pemikiran dari subjek S1LK yang berupa kognisi segera. Hal tersebut dapat diperhatikan dari hasil wawancara bahwa subjek S1LK langsung mengerjakan berdasarkan rumus barisan. Jadi yang dilakukan subjek S1LK tersebut adalah menggunakan kognisi formal. Selain itu, subjek S1LK tidak menemui permasalahan dalam melaksanakan rencana penyelesaian, sehingga tidak timbul pemikiran lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada intuisi yang digunakan. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan rencana penyelesaian, tidak ada intuisi yang digunakan. Di samping itu berdasarkan hasil wawancara memberikan penjelasan bahwa jawaban yang diberikan oleh subjek S1LK adalah benar. d. Intuisi yang digunakan untuk memeriksa jawaban Dari data hasil wawancara pada subjek S1LK yang berkaitan dengan memeriksa jawaban nampak bahwa subjek S1LK dalam memeriksa jawaban dengan cara mengulangi dalam menjawab. Dari hasil wawancara, ungkapan subjek S1LK dengan kalimat mengulangi dalam menjawab yang dimaksudkan adalah memeriksa jawaban langkah demi langkah. Selain itu subjek tidak melakukan upaya lain. Subjek sudah cukup merasa yakin bahwa apa yang dilakukan sudah benar. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S1LK dalam memeriksa jawaban dilakukan dengan langsung mengulangi cara menjawab. Subjek tidak terpancing dengan pertanyaan peneliti untuk melakukan cara lain. Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa apa yang dilakukan subjek S1LK dalam memeriksa kembali jawaban dengan mengulangi dalam menjawab, yaitu memeriksa jawaban langkah demi langkah. Dengan demikian subjek S1LK dalam memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran biasa yang dapat dikatakan sebagai kognisi formal. Jadi yang dilakukan subjek S1LK tersebut bukan merupakan kognisi segera. Selain itu subjek tidak menggunakan cara yang lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek S1LK dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. 2. Karakteristik Intuisi Subjek Perempuan (S2PR) a. Intuisi yang digunakan untuk memahami masalah Data hasil wawancara pada subjek S2PR yang berkaitan dengan memahami masalah adalah dalam memahami masalah adalah tidak secara langsung dari teks. Hal ini dapat dilihat bahwa subjek S2PR memerlukan upaya menggambar terlebih dahulu dalam memahami apa yang diketahui soal dan apa yang ditanyakan soal. Dengan demikian subjek S2PR melakukan upaya tertentu untuk memperjelas dalam memahami soal, yaitu dengan membuat ilustrasi gambar. Walaupun subjek mengatakan sudah tahu maksud soal, namun subjek merasa bahwa gambar diperlukan dalam memperjelas pemahaman akan soal. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S2PR dalam

34

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

memahami masalah dilakukan dengan menggunakan gambar untuk memperjelas maksud soal. Dari uraian di atas memberikan penjelasan bahwa yang dilakukan subjek S2PR dalam memahami masalah adalah tidak langsung dari teks soal. Subjek S2PR dalam memahami masalah adalah melakukan upaya tertentu terlebih dahulu. Subjek dalam memahami masalah melakukan serangkaian proses dan tidak secara langsung, yaitu dengan mencermati gambar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa subjek dalam memahami masalah tidak menerima begitu saja apa yang ada pada teks soal. Sehingga tidak ada kognisi segera yang digunakan subjek dalam memahami masalah. Jadi dapat dikatakan bahwa subjek S2PR dalam memahami masalah tidak menggunakan intuisi. b. Intuisi yang digunakan untuk membuat rencana penyelesaian. Dari data hasil wawancara pada subjek S2PR yang berkaitan dengan membuat rencana penyelesaian adalah, subjek S2PR mencoba akan menggunakan rumus. Ungkapan dari subjek pada S2PR.A10 memberikan indikasi bahwa dalam mengerjakan soal aljabar akan menggunakan deret. Munculnya penggunaan rumus, karena subjek mencoba mencermati teks soal. Disamping itu dan juga subjek merasakan pernah mendapati masalah serupa yang diselesaikan menggunakan rumus barisan, walaupun subjek S2PR merasa tidak begitu ingat seperti yang diungapkan , namun dengan ingatan yang tidak penuh tersebut subjek S2PR memutuskan menggunakan rumus barisan untuk membuat rencana penyelesaian. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S2PR dalam membuat rencana penyelesaian masalah adalah begitu memahami soal maka terpikir menggunakan rumus dan penggunaan rumus barisan didasarkan pada apa yang telah pernah ia lakukan. Berdasarkan hal-hal tersebut subjek S2PR dalam membuat rencana akan menggunakan rumus karena melihat kata-kata pada teks soal. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S2PR dalam membuat rencana penyelesaian dengan menggunakan rumus barisan muncul setelah menginterpretasi teks soal. Karena munculnya pemikiran pada subjek S2PR menggunakan rumus barisan adalah sesaat setelah mencermati informasi pada teks soal, maka dikatakan bahwa subjek S2PR menggunakan kognisi segera. Dengan demikian dikatakan bahwa subjek S2PR menggunakan intuisi. Oleh karena munculnya intuisi setelah berusaha mengerjakan soal dengan mencermati informasi teks soal, maka dikatakan bahwa subjek S2PR menggunakan intuisi antisipatori. Selanjutnya, karena pemikiran penggunaan rumus muncul begitu saja yang didasarkan dari informasi yang ditangkap secara sepintas dari teks soal dan dari ingatan yang tidak penuh, sehingga subjek S2PR tidak dapat menjelaskan secara rinci mengapa digunakannya rumus barisan. Karena tidak dapat menjelaskan secara rinci, maka munculnya pemikiran penggunaan rumus barisan bersifat global. Oleh sebab itu intuisi yang digunakan subjek S2PR dalam membuat rencana penyelesaian adalah intuisi antisipatori yang bersifat global. Disamping itu, karena dalam membuat rencana penyelesaian subjek berpikir menggunakan rumus, maka intuisinya didasarkan dari pemikiran matematika secara real. Dengan demikian intuisi yang digunakan subjek dalam membuat rencana penyelesaian adalah intuisi antisipatori yang besifat global dan intuisinya didasarkan dari pemikiran matematika secara real. c. Intuisi yang digunakan untuk melaksanakan rencana penyelesaian Dari data hasil wawancara pada subjek S2PR yang berkaitan dengan melaksanakan rencana penyelesaian adalah subjek S2PR langsung menulis rumusnya, yaitu Un = a + (n-1)b. Dari hasil wawancara, pada subjek S2PR langsung menggunakan rumus yang sudah diyakininya dan sesuai dengan apa yang direncanakan. Subjek juga tidak kesulitan dalam menggunakan rumus. Subjek menggunakan a = 1 sehingga diperoleh n = 40. Subjek S2PR tidak menjelaskan secara matematis diperolehnya rumus yang merupakan rumus barisan aritmetika, subjek hanya tahu bahwa rumus barisan diperoleh dengan mencermati teks soal. Selain itu dari hasil wawancara menunjukkan bahwa jawaban subjek S2PR adalah benar.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

35

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Dengan memperhatikan apa yang dilakukan subjek S2PR dalam melaksanakan rencana, nampak bahwa subjek S2PR langsung menulis rumusnya, yaitu Un = a + (n1)b, dan mengerjakan berdasarkan rumus tersebut. Sehingga tidak ada pemikiran dari subjek S2PR yang berupa kognisi segera. Jadi yang dilakukan subjek S2PR tersebut adalah menggunakan pemikiran langsung yang berupa kognisi formal. Selain itu, subjek S2PR tidak menemui permasalahan dalam melaksanakan rencana penyelesaian, sehingga tidak timbul pemikiran lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada kognisi segera yang digunakan dalam melaksanakan rencana penyelesaian masalah, maka dapat dikatakan bahwa tidak ada intuisi yang digunakan. Jadi dapat dikatakan bahwa dalam melaksanakan rencana penyelesaian, tidak ada intuisi yang digunakan. d. Intuisi yang digunakan untuk melaksanakan rencana penyelesaian Dari data hasil wawancara pada subjek S2PR yang berkaitan dengan memeriksa jawaban nampak bahwa subjek S2PR dengan cara mengulangi dalam menjawab. Subjek melakukan dengan mengamati kembali apa yang telah dilakukannya. Dengan demikian apa yang dilakukan subjek S2PR dalam memeriksa jawaban dengan langsung mengulangi dalam menjawab. Selain itu subjek S2PR tidak melakukan upaya lain. Dari jawaban subjek S2PR, yaitu pada S2PR.A.34 dan S2PR.A.35 menunjukkan bahwa subjek S2PR sangat yakin akan apa yang dilakukan adalah benar. Berdasarkan uraian di atas nampak bahwa apa yang dilakukan subjek S2PR dalam memeriksa kembali jawaban dengan mengulangi dalam menjawab, yaitu memeriksa jawaban langkah demi langkah. Subjek S2PR juga tidak melakukan cara lain untuk memeriksa kebenaran jawaban. Karena dalam memeriksa dilakukan langkah demi langkah, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S2PR dalam memeriksa jawaban dengan menggunakan pemikiran yang berupa kognisi formal. Jadi yang dilakukan subjek S2PR tersebut bukan merupakan kognisi segera. Selain itu subjek tidak menggunakan cara yang lain yang mungkin dapat berupa kognisi segera. Oleh karena tidak ada pemikiran subjek yang menggunakan kognisi segera, sehingga dapat dikatakan bahwa subjek S2PR dalam memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Karakteristik intuisi siswa laki-laki dalam memecahkan masalah matematika sebagai berikut: dalam memahami masalah, menggunakan intuisi afirmatori yang bersifat langsung, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global, dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. 2. Karakteristik intuisi siswa perempuan dalam memecahkan masalah matematika sebagai berikut: dalam memahami masalah, tidak menggunakan intuisi, dalam membuat rencana penyelesaian, menggunakan intuisi antisipatori yang bersifat global dan intuisinya berupa pemikiran matematika real, dalam melaksanakan rencana penyelesaian dan memeriksa jawaban tidak menggunakan intuisi. SARAN Berdasarkan simpulan hasil penelitian maka direkomendasikan beberapa hal berikut. 1. Saran-saran Untuk Perbaikan Pembelajaran Matematika a. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan karakteristik siswa dalam memecahkan masalah matematika ditinjau perbedaan gender. Oleh karena itu guru matematika dalam membelajarkan pemecahan masalah matematika perlu memperhatikan perbedaan gender. Misalnya dari hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa laki-laki menggunakan intuisi dalam memahami masalah, sedangkan siswa perempuan tidak menggunakan dalam memahami masalah matematika. Oleh karena itu guru perlu melatih siswa perempuan agar dapat menggunakan intuisinya dalam memecahkan masalah matematika.

36

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

b. Perlu pembiasaan pembelajaran pemecahan masalah dengan menggunakan tahap-tahap pemecahan masalah misalnya dengan menggunakan tahap pemecahan masalah dari Polya. Hal ini bertujuan untuk lebih mengeksplorasi intuisi siswa dalam memecahkan masalah matematika. 2. Saran-saran Untuk Penelitian Relevan a. Penelitian ini dilihat dari kedalaman hasil, dirasa masih kurang, oleh sebab itu disarankan para peneliti lanjutan untuk mepertajam fokus penelitian, misalnya hanya diteliti untuk salah satu tahap pemecahan masalah dari . b. Peneliti lanjutan hendaknya dapat menggunakan tinjauan teori intuisi selain yang disampaikan oleh Fischbein dan Poincare, sehingga diperoleh karakteristik intuisi dalam memecahkan masalah yang lebih variatif dan lengkap. DAFTAR PUSTAKA Ding, C.S., Song, K., & Richardson, L.I. 2007. Do Mathematical Gender Differencess Continue? A Longitudinal Study of Gender Difference and Excellence in Mathematics Performance in The U.S. Journal of American Educational Studies Association. 40, 279-295. Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht: D. Reidel. Fischbein, E. 1994. The Interaction between the Formal, the Algorithmic, and the Intuitive Components in a Mathematical Activity. In R. Biehler, R. W. Scholz, R. Strer, & B. Winkelmann (Eds.), Didactics of Mathematics as a Scientific Discipline (pp.231245). Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. Fischbein, E., Grossman, A. 1997, Schemata and Intuitions in Combinatorial Reasoning,Educational Studies in Mathematics 34, 2747 Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based Misconseptions. Journal for Reasearch in Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol 28. Fischbein, E. (1999). Intuitions and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies in Mathematics. 38,1150. Hightower, M.W. 2003. The Boy-Turn in Research on Gender and Education. Review of Educational Research. 73, 471-498. Henden, G. 2004. Intuition and Its Role in Strategic Thinking. Unpublished Dissertation. BI Norwegian School of Management. Keitel, Christine. 1988. An Introduction: Social Justice and Mathematics Education: Gender, Class, Ethnicity and the Politics of Schooling. In Christine Keitel (Ed). Social Justice and Mathematics Education. Berlin Freie Universitat Berlin. Moleong,L.J.1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Pinto. 1988. Students Understanding of Real Analysis. Unpublished PhD Thesis, Warwick University. Polya, G. 1973. How to Solve It. A New Aspect of Mathematical Method. Princeton and Oxford: Princeton University Press. Reis, S. M. & Park, S. 2001. Gender Differences in High-Achieving Students in Math and Science. Journal For Education of The Gifted. 25, 52-73. Roh, H.K. 2005. College Students Intuitive Understanding of the Concept of Limit and Their Level of Reverse Thinking. Dissertation, The Ohio State University. Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuaantitatif, Kualitatif dan R & D). Bandung: Alfabeta Susento. 2006. Mekanisme Interaksi Antara Pengalaman Kultural-Matematis, Proses Kognitif, dan Topangan dalam Reinvensi Terbimbing. Disertasi tak Dipublikasikan, UNESA Surabaya. Zheng Zhu 2007. Gender differences in mathematical problem solving. International Education Journal, 2007, 8(2), 187-203.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

37

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

AKTIVITAS METAKOGNISI MAHASISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH PEMBUKTIAN Gatut Iswahyudi Prodi Pendidikan Matematika, FKIP UNS Surakarta Email : gatutis_wahyudi@yahoo.com Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap tentang aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian dalam matematika berdasarkan langkah-langkah Polya ditinjau dari kemampuan di bidang analisis. Secara lebih spesifik, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui: Aktivitas metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian langsung, pembuktian dengan kontraposisi, dan pembuktian dengan kontradiksi. Dalam mencapai tujuan tersebut dilakukan penelitian kualitatif eksploratif dengan tahapan sebagai berikut. (1) Dilakukan pra penelitian dan penyusunan instrumen penelitian yang disertai validasi terhadap instrumen tersebut; (2) Dilakukan penelitian terhadap subyek terpilih dengan metode think aloud dan retrospeksi untuk mendapatkan data tentang aktivitas metakognisi. (3) Melalui pengkajian mendalam akan disusun teori metakognisi yang terkait dengan masalah pembuktian ditinjau kemampuan dalam bidang analisis. Hasil Penelitian ini adalah. (1) Siswa yang menempati tingkat kemampuan analisis rendah secara umum tidak melakukan aktivitas metakognisi pada saat memecahkan masalah pembuktian tidak langsung. Mahasiswa dengan kemampuan analisis rendah hanya melakukan aktivitas metakognisi pada tahap memahami masalah. Pada ke tiga tahap selanjutnya ternyata tidak melakukan aktivitas metakognisi. Mahasiswa yang tidak memahami konsep pembuktian tidak langsung (pembuktian dengan kontradiksi), maka akan kesulitan untuk menentukan langkah serta penyelesaian masalah. Pengetahuan mahasiswa tentang cara menganalisis suatu masalah tentu akan membantu siswa dalam menentukan langkah penyelesaian yang dimulai dengan perencanaan yang baik, melaksanakan rencana dan mengevaluasinya. Di pihak lain, siswa yang menempati tingkat kemampuan analisis rendah pada saat menyelesaikan masalah pembuktian secara langsung walaupun tidak secara lengkap namun telah melakukan aktivitas metakognisi. Mahasiswa dengan kemampuan analisis rendah melakukan aktivitas metakognisi pada tahap memahami masalah, merencanakan tindakan dan melaksanakan tindakan. Namun pada tahap selanjutnya yaitu tahap melakukan evaluasi ternyata tidak melakukan aktivitas metakognisi. Mahasiswa yang menempati tingkat kemampuan analisis sedang atau tinggi sudah memahami konsep tentang pembuktian langsung, sehingga siswa akan mampu mendaftar secara lengkap semua hasil yang mungkin dari suatu masalah. (2) Sedangkan mahasiswa yang berada pada tingkat kemampuan analisis sedang, mereka mampu menggunakan dan menerapkan strategi generatif yang memungkinkan mendaftar secara lengkap data-data yang akan digunakan dalam memecahkan masalah pembuktian secara langsung maupun secara tidak langsung. Di pihak lain pada saat memecahkan masalah pembuktian secara langsung tampak bahwa pada setiap tahap pemecahan masalah Polya muncul aktivitas metakognisi. Berdasarkan hasil temuan penelitian ini terlihat bahwa siswa yang kelompok kemampuan analisis rendah, aktivitas metakognisi pada saat memecahkan masalah pembuktian secara langsung maupun tidak langsung berada di bawah tingkat aktivitas metakognisis mereka berada pada tingkat kemampuan analisis kurang. (3) Pada mahasiswa dengan kemampuan analisis tinggi, aktivitas metakognisi muncul pada setiap tahap penyelesaian masalah Polya baik pada pemecahan masalah pembuktian langsung maupun pembuktian secara tidak langsung. Kata kunci: Aktivitas, Metakognisi, Pembuktian

38

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

PENDAHULUAN Pada hakekatnya, proses belajar matematika merupakan proses mental yang berkaitan dengan kegiatan berpikir dan bagaimana pengembangannya untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan dan membentuk sikap. Pengetahuan, ketrampilan dan terbentuknya sikap tersebut tentu hanya akan dapat diperoleh melalui proses pembelajaran yang tepat. Salah satu bentuk proses pembelajaran yang tepat adalah dengan memanfaatkan proses pemecahan masalah. Melalui pemecahan masalah matematika, siswa diarahkan untuk mengembangkan kemampuannya antara lain membangun pengetahuan matematika yang baru, memecahkan masalah dalam berbagai konteks yang berkaitan dengan matematika, menerapkan berbagai strategi yang diperlukan, dan merefleksikan proses pemecahan masalah matematika (Pearson Learning Group, 2008). Proses berpikir dalam pemecahan masalah merupakan hal penting yang perlu mendapat perhatian guru terutama untuk membantu siswa agar dapat mengembangkan kemampuannya memecahkan masalah baik dalam konteks dunia nyata maupun dalam konteks matematika. Hal ini sejalan dengan pendapat Lester (dalam Gartman dan Freiberg, 1993) bahwa tujuan utama mengajarkan pemecahan masalah dalam matematika adalah tidak untuk melengkapi siswa dengan sekumpulan keterampilan atau proses, tetapi lebih kepada memungkinkan siswa berpikir tentang dirinya sendiri. Berpikir tentang dirinya sendiri berkaitan dengan kesadaran siswa terhadap kemampuannya untuk mengembangkan berbagai cara yang mungkin ditempuh dalam memecahkan masalah. Proses menyadari dan mengatur berpikir siswa sendiri tersebut, dikenal sebagai metakognisi, termasuk didalamnya adalah berpikir tentang bagaimana siswa membuat pendekatan terhadap masalah, memilih strategi yang digunakan untuk menemukan pemecahan, dan bertanya kepada diri sendiri tentang masalah tersebut (Gartman dan Freiberg, 1993). Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa metakognisi memainkan peran penting dalam pemecahan masalah serta dalam perolehan dan penerapan keterampilan belajar pada berbagai bidang penemuan (Flavell, 1979, Panaoura dan Philippou, 2005). Siswa yang mampu menyerap pelajaran matematika pada tingkatan paling tinggi dan memperoleh informasi tentang latihan dalam strategi metakognitif (yaitu perencanaan, pemantauan, dan evaluasi belajarnya sendiri) memiliki kemampuan lebih baik dalam mengatur belajarnya (Chamot, Dale, OMalley dan Spanos, 1992). Terkait dengan masalah dalam matematika, masalah dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu masalah menemukan (to find) dan masalah membuktikan (to prove). Masalah menemukan adalah suatu jenis masalah yang tujuannya akan dicari dan prosesnya diperlukan. Masalah membuktikan adalah masalah yang tujuannya sudah ditentukan tetapi prosesnya diperlukan. Diantara masalah tersebut, masalah membuktikan merupakan bagian yang sangat penting dalam matematika Didasarkan pada metode yang digunakan, pembuktian dalam matematika dapat dikelompokkan pembuktian langsung, dan pembuktian tidak langsung. Jenis-jenis pembuktian yang termasuk pembuktian tidak langsung adalah pembuktian dengan kontradiksi dan pembuktian dengan kontraposisi. Beberapa cara pembuktian lain dalam matematika adalah pembuktikan dengan induksi matematika, pembuktian dengan contoh penyangkal. Dalam dimensi proses kognitif, kemampuan analisis seseorang mempunyai peran yang penting dalam menunjang keberhasilan belajar matematika. Kemampuan analisis merupakan kemampuan tingkat ke-4 dalam taksonomi Bloom, yang berturut-turut adalah kemampuan mengingat, kemampuan memahami, kemampuan mengaplikasi, kemampuan menganalisis, kemampuan mengevaluasi dan kreativitas. Sehingga meneliti karakteristik seseorang berdasarkan kemampuan analisis yang dimilikinya perlu dilakukan, khususnya dalam memecahkan masalah pembuktian. Dari uraian yang sudah dikemukakan di atas, dapat diketahui betapa pentingnya kemampuan metakognisi dimiliki oleh siswa pada semua tingkat pendidikan. Guru dalam hal ini dapat mendorong siswa untuk memiliki kemampuan tersebut melalui serangkaian kegiatan pembelajaran. Agar guru dapat membangkitkan kemampuan metakognisi siswa, guru sendiri harus punya kemampuan metakognisi dan punya pemahaman yang memadai tentang proses metakognisi dalam memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan suatu penanaman kesadaran

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

39

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

kepada para guru atau calon guru tentang proses metakognisi yang mestinya dilaksanakan dalam memecahkan masalah matematika secara umum dan secara khusus dalam memecahkan masalah pembuktian. Berdasarkan uraian di atas, maka diajukan pertanyaan penelitian yaitu bagaimana proses metakognisi mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian pada matakuliah analisis real berdasarkan langkah-langkah Polya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu untuk mengetahui aktivitas metakognisi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian pada matakuliah analisis real berdasarkan langkah-langkah Polya. KAJIAN TEORI Pengertian Metakognisi Secara sederhana metakognisi didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau kognisi tentang kognisi seseorang (Nelson, 1992; Livingston, 1997; Gama, 2004). Terdapat beberapa definisi tentang metakognisi yang berkembang dalam bidang psikologi kognitif, diantaranya oleh Flavell dan Brown. Flavell mendefinisikan: metakognisi sebagai kemampuan untuk mengerti dan memantau berpikir sendiri dan asumsi serta implikasi dari kegiatan seseorang, metacognition as the ability to understand and monitor ones own thoughts and the assumptions and implications of ones activities (Lee dan Baylor, 2006). Sementara itu, Brown mendefinisikan metakognisi sebagai suatu kesadaran terhadap aktifitas kognisi seseorang, metode yang digunakan untuk mengatur proses kognisi seseorang dan suatu penguasaan terhadap bagaimana mengarahkan, merencanakan, dan memantau aktivitas kognitif metacognition as an awareness of ones own cognitive activity; the methods employed to regulate ones own cognitive processes; and a command of how one directs, plans, and monitors cognitive activity (Lee dan Baylor, 2006). Berdasarkan definisi di atas, penulis mendefinisikan metakognisi sebagai kemampuan untuk menyadari kognisi sendiri dan kemampuan mengatur proses kognisi sendiri. Pada penerapannya, Kirsh (2004) mengemukakan bahwa metakognisi khususnya dalam bidang pendidikan, berkaitan dengan aktifitas dan keterampilan berhubungan dengan perencanaan, pemantauan, evaluasi dan perbaikan kemampuan bekerja (performa). Pada penelitian ini, metakognisi cakupannya dibatasi pada tiga komponen yaitu perencanaan, pemantauan, dan refleksi. Ketiga kompunen ini merupakan satu rangkaian dan saling terkait dalam aktivitas metakognisi. Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika Stanic & Kilpatrick (1988: 15) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugasnya yang tidak ditemukan di waktu sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa suatu tugas merupakan masalah bergantung kepada individu dan waktu. Artinya suatu tugas merupakan masalah bagi seseorang, tetapi mungkin bukan merupakan masalah bagi orang lain. Demikian pula suatu tugas merupakan masalah bagi seseorang pada suatu saat, tetapi bukan merupakan masalah lagi bagi orang itu pada saat berikutnya, bila orang itu telah mengetahui cara atau proses mendapatkan pemecahan masalah tersebut. Menurut Polya (1973), masalah terbagi menjadi dua, yaitu masalah menemukan (problem to find), dan masalah membuktikan (problem to prove). Masalah untuk menemukan merupakan suatu masalah teoretis atau praktis, abstrak atau konkrit. Bagian utama dari masalah menemukan antara lain: apa yang dicari? Apa saja data yang diketahui? bagaimana syaratnya? Sedangkan masalah membuktikan merupakan masalah untuk menunjukkan apakah suatu pernyataan benar atau salah, atau tidak keduanya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan apakah pernyataan itu benar atau salah? Bagian utama dari masalah ini adalah hipotesis dan konklusi suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Khusus dalam pemecahan masalah matematika, salah satu yang banyak dirujuk adalah pentahapan oleh Polya (1973), yang mengemukakan empat tahapan penting yang perlu dilakukan yaitu:

40

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

1. Memahami masalah (understanding the problem) meliputi mengerti berbagai hal yang ada pada masalah seperti apa yang tidak diketahui, apa saja data yang tersedia, apa syaratsyaratnya, apakah syarat tersebut cukup untuk menentukan hal yang tidak diketahui, dan sebagainya. Tahap ini merupakan tahap memahami masalah dengan melakukan identifikasi dan klasifikasi masalah. 2. Memikirkan rencana (devising a plan) meliputi berbagai usaha untuk menemukan hubungan masalah dengan masalah lainnya atau hubungan antara data dengan hal yang tidak diketahui, dan sebagainya. Tahap ini merupakan tahap memikirkan rencana tindakan, dan membangun alternatif penyelesaian. 3. Melaksanakan rencana (carrying out the plan) termasuk memeriksa setiap langkah pemecahan, apakah langkah yang dilakukan sudah benar atau dapatkah dibuktikan bahwa langkah tersebut benar. Tahap ini merupakan tahap melaksanakan tindakan dengan memilih strategi penyelesaian. 4. Memeriksa kembali jawaban (looking back) meliputi pengujian terhadap pemecahan yang dihasilkan. Tahap ini merupakan tahap mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik. Metakognisi dalam Pemecahan Masalah Matematika Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat proses metakognisi dalam pemecahan masalah matematika, dengan memilih fokus pada proses metakognisi yang dilakukan mahasiswa calon guru ketika memecahkan masalah pembuktian. Proses metakognisi dimaksudkan sebagai rangkaian aktifitas metakognisi yang dilakukan peserta didik ketika memecahkan masalah. Sejalan dengan pandangan Brown, Cohors-Fresenborg & Kaune (2007) mengelompokkan aktivitas metakognisi dalam memecahkan masalah matematika terdiri atas (1) perencanaan (planning), (2) pemantauan (monitoring), dan (3) refleksi (reflection). Demikian juga NCREL (1995) mengelompokkan metakognisi ke dalam tiga elemen dasar yaitu (1) tahap pengembangan rencana (developing a plan of action), (2) tahap pemantauan (monitoring the plan of action), dan (3) tahap pemeriksaan (evaluation the plan action). Selanjutnya NCREL menyebut tiga tahap tersebut sebagai tahap sebelum, selama dan sesudah. Dalam penelitian ini, terkait dengan adanya istilah yang hampir sama maka tiga tahap aktivitas metakognisi ini disebut sebagai (1) bagian awal, (2) bagian inti, dan (3) bagian akhir. Pengkategorian aktivitas metakognisi didasarkan pada suatu tabel aktivitas metakognisi yang disusun dengan mengadopsi tabel serupa yang dikemukakan NCREL (1995) dipadukan dengan yang dikemukakan oleh Cohors-Fresenborg & Kaune (2007) dengan melakukan modifikasi sesuai situasi pemecahan masalah yang dilaksanakan. Berikut ini disajikan tabel aktivitas metakognisi tersebut. Tabel 1 Aktivitas metakognisi dalam pemecahan masalah matematika berdasarkan dengan langkah yang diusulkan oleh Polya Pemecahan masalah menurut Polya Memahami masalah dengan mengidentifika si dan mengkla sifikasi masalah Aktivitas Metakognisi Kode Bagian Awal (Before) 1. Memikirkan tentang pengetahuan yang dapat membantu dalam memahami masalah 2. Memikirkan tentang arah/tujuan dalam memahami masalah 3. Memikirkan tentang langkah-langkah dalam memahami masalah ( Memikirkan apa yang pertama kali harus dilakukan) 4. Memikirkan tentang apa yang dipahami merupakan bagian yang penting dalam rangka memahami masalah 5. Memikirkan tentang lama waktu yang anda

MMAW1 MMAW2 MMAW3

MMAW 4 MMWA

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

41

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

pergunakan dalam memahami masalah Bagian Inti (During) 1. Memikirkan tentang apa yang dilakukan pada saat memahami masalah 2. Sadar bahwa sudah merasa berada pada jalan yang benar saat memahami masalah. 3. Sadar tentang langkah-langkah selanjutnya setelah melakukan pemahaman terhadap masalah yang diberikan 4. Sadar tentang informasi penting yang harus diingat 5. Sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam memahami masalah dengan cara lain yang berbeda 6. Sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam memahami masalah Bagian Akhir (After) 1. Sadar atas ketepatan cara dan langkah pemahaman masalah dilakukan 2. Sadar bahwa cara pemahaman masalah yang dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan 3. Merasa dapat melakukan langkah pemahaman terhadap masalah dengan cara berbeda 4. Merasa dapat menerapkan cara pemahaman masalah seperti ini pada masalah yang lain 5. Sadar tentang perlunya kembali pada tahap awal dalam memahami masalah Memikirkan rencana tindakan dan membangun alternatif penyelesaian Bagian Awal (Before) 1. Sadar tentang pengetahuan apa saja yang diperlukan dalam merencanakan pemecahan masalah ini 2. Sadar tentang arah dari apa yang direncanakan (telah menemukapaan hubungan antara data-data (konsepkonsep) yang tidak diketahui dengan data-data (konsep-konsep) yang diketahui 3. Sadar tentang hal-hal yang dipikirkan sebelum merencanakan pemecahan masalah tersebut akan mengarah pada suatu tindakan tertentu, dan telah dapat diperoleh sesuatu yang bermanfaat dari data yang diketahui untuk memecahkan masalah ini 4. Berpikir tentang data lain yang mungkin sesuai untuk menentukan konsep-konsep tak diketahui yang dapat digunakan dalam menyelesaikan masalah 5. Sadar tentang lama waktu yang dipergunakan dalam merencanakan pemecahan masalah

5 MMIT1 MMIT2 MMIT3

MMIT4 MMIT5

MMIT6

MMAK1 MMAK2 MMAK3 MMAK4 MMAK5

MRAW1 MRAW2

MRAW3

MRAW4

MRAW5

Bagian Inti (During) 1. Sadar tentang apa yang harus dilakukan pada saat MRIT1 merencanakan pemecahan masalah. Sadar bahwa dalam merencanakan pemecahan masalah harus ditemukan definisi-definisi maupun teorema-teorema yang terkait dengan masalah itu 2. Sadar bahwa pada saat merencanakan pemecahan MRIT2

42

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

masalah sudah merasa berada pada jalan yang benar 3. Sadar tentang langkah-langkah lanjutan setelah menemukan definisi-definisi maupun teoremateorema yang terkait dengan masalah itu 4. Sadar tentang informasi penting yang harus diingat pada saat merencanakan pemecahan masalah 5. Sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam merencanakan pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda 6. Sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam pemecahan masalah Bagian Akhir (After) 1. Sadar akan ketepatan langkah perencanaan pemecahan masalah yang dilakukan. Sadar bahwa semua data yang diketahui sudah sudah dipergunakan untuk memecahkan masalah 2. Sadar bahwa pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan, sadar sudah memperhitungkan atau melibatkan semua hal yang penting yang terkandung dalam masalah ini 3. Sadar merasa telah melakukan langkah perencanaan pemecahan terhadap masalah tersebut dengan cara berbeda 4. Merasa dapat menerapkan cara perencanaan pemecahan masalah seperti ini pada masalah yang lain 5. Sadar perlunya kembali pada tahap awal dalam merencanakan pemecahan masalah ini Melaksanakan Bagian Awal (Before) rencana tindakan 1. Sadar tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan dengan memilih untuk membantu melaksanakan rencana tindakan strategi pemecahan masalah yang diberikan penyelesaian 2. Sadar tentang arah dari apa yang dilakukan dalam pelaksanaan pemecahan masalah 3. Sadar tentang hal-hal yang dipikirkan sebelum melaksanakan pemecahan masalah tersebut akan mengarah pada suatu tindakan tertentu, dan telah dapat diperoleh sesuatu yang bermanfaat dari data yang diketahui untuk memecahkan masalah ini 4. Berpikir tentang data lain yang mungkin sesuai untuk menentukan konsep-konsep tak diketahui yang dapat digunakan dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah 5. Sadar tentang lama waktu yang dipergunakan dalam melaksanakan pemecahan masalah

MRIT3

MRIT4 MRIT5

MRIT6

MRAK1

MRAK2

MRAK3

MRAK4 MRAK5

PRAW1

PRAW2 PRAW3

PRAW4

PRAW5

Bagian Inti (During) 1. Sadar tentang apa yang harus dilakukan pada saat PRIT1 melaksanakan rencana pemecahan masalah. 2. Sadar bahwa pada saat merencanakan pemecahan PRIT2 masalah sudah merasa berada pada jalan yang benar 3. Sadar tentang langkah-langkah lanjutan yang harus PRIT3

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

43

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

dilakukan 4. Sadar tentang informasi penting yang harus diingat pada saat melaksanakan rencana pemecahan masalah 5. Sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda 6. Sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah Bagian Akhir (After) 1. Sadar akan ketepatan langkah pelaksanaan rencana pemecahan masalah yang dilakukan. Sadar bahwa semua data yang diketahui sudah sudah dipergunakan untuk memecahkan masalah 2. Sadar bahwa pemahaman masalah dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan 3. Sadar merasa telah melakukan langkah pelaksanaan rencana pemecahan terhadap masalah tersebut dengan cara berbeda 4. Merasa dapat menerapkan cara pelaksanaan rencana pemecahan masalah seperti ini pada masalah yang lain 5. Sadar perlunya kembali pada tahap awal dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah untuk memenuhi kekurangan yang dirasakan Mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik. Bagian Awal (Before) 1. Sadar tentang pengetahuan awal yang dibutuhkan untuk membantu melaksanakan evaluasi terhadap pemecahan masalah yang dilakukan 2. Sadar tentang arah dari apa yang dilakukan dalam pelaksanaan pemecahan masalah 3. Sadar tentang hal-hal yang dipikirkan sebelum melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah tersebut akan mengarah pada suatu tindakan tertentu, dan telah dapat diperoleh sesuatu yang bermanfaat dari data yang diketahui untuk memecahkan masalah ini 4. Berpikir tentang hal lain yang terkait dengan evaluasi pelaksanaan pemecahan masalah 5. Sadar tentang lama waktu yang dipergunakan dalam melaksanakan evaluasi terhadap pemecahan masalah Bagian Inti (During) 1. Sadar tentang apa yang harus dilakukan pada saat melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah 2. Sadar bahwa pada saat melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah sudah merasa berada pada jalan yang benar 3. Sadar tentang langkah-langkah lanjutan yang harus dilakukan 4. Sadar tentang informasi penting yang harus diingat pada saat melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah

PRIT4 PRIT5

PRIT6

PRAK1

PRAK2 PRAK3

PRAK4 PRAK5

EPAW1

EPAW2 EPAW3

EPAW4 EPAW5

EPIT1

EPIT2

EPIT3 EPIT4

44

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

5. Sadar tentang perlunya melakukan penyesuaian langkah dalam melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah dengan cara lain yang berbeda 6. Sadar perlunya melakukan penyesuaian langkah pada saat mengalami kesulitan dalam melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah Bagian Akhir(After) 1. Sadar akan ketepatan langkah pelaksanaan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah yang dilakukan 2. Sadar bahwa evaluasi dilakukan akan menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan 3. Sadar merasa dapat melakukan langkah pelaksanaan evaluasi terhadap pemecahan terhadap masalah tersebut dengan cara berbeda 4. Merasa dapat menerapkan cara pelaksanaan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah seperti ini pada masalah yang lain 5. Sadar perlunya kembali pada tahap awal dalam melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan pemecahan masalah untuk memenuhi kekurangan yang dirasakan

EPIT5

EPIT6

EPAK1

EPAK2 EPAK3

EPAK4

EPAK5

Berdasarkan deskripsi aktivitas metakognisi dalam pemecahan masalah matematika dengan langkah yang diusulkan oleh Polya tersebut diatas disusun penjenjangan proses metakognisi pada pemecahan masalah pembuktian. Dalam hal ini proses metakognisi dibagi dalam empat jenjang berdasarkan prosentase kemunculan indikator aktivitas metakognisi pada keseluruhan tahap pemecahan masalah. Penjenjangan proses metakognisi yang dimaksud disajikan dalam tabel berikut. Tabel 2. Penjenjangan Proses Metakognisi pada Pemecahan Masalah Pembuktian Kategori Proses Metakognisi Sangat Baik Baik Cukup Kurang Sangat Kurang Indikator 80%X100% 60%X<80% 40%X<60% 20%X<40 0%X<20

Keterangan : X= Prosentase kemunculan indikator aktivitas metakognisi dari subjek penelitian pada keseluruhan tahap pemecahan masalah.

METODE PENELITIAN Penelitian ini mendiskripsikan proses metakognisi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam memecahkan masalah pembuktian pada matakuliah analisis real berdasarkan langkahlangkah Polya dengan mengungkap secara mendalam respon siswa. Terkait dengan hal tersebut maka penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Mahasiswa diberi soal tentang masalah pembuktian. Soal terdiri dari satu soal yang penyelesaiannya dilakukan dengan metode pembuktian langsung dan satu soal yang penyelesaiannya dilakukan dengan metode pembuktian tidak langsung. Dalam mengerjakan soal, mahasiswa diminta untuk mengerjakan soal berdasarkan tahap-tahap pemecahan masalah Polya, selanjutnya pada akhir tiap tahap dilakukan wawancara untuk mengungkap aktivitas metakognisi pada tahap tersebut. Ungkapan-ungkapan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

45

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

yang disampaikan berupa kata-kata, maka penelitian ini bersifat kualitatif. Sehingga penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif-eksploratif. Penelitian ini dilaksanakan di program studi pendidikan matematika. Subyek penelitian adalah Mahasiswa . Mahasiswa yang dipilih sebagai subyek adalah mahasiswa yang telah mengikuti mata kuliah Analisis real I. Adapun kriteria kemampuan analisis tinggi adalah rataan skor prestasi belajar matakuliah kelompok analisis yang telah ditempuhnya lebih besar atau sama dengan 80 dalam skala 100. Sehingga jika X menyatakan rataan skor prestasi belajar siswa berkemampuan analisi tinggi, maka 80 X 100 . Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu dengan instrumen lembar tugas penyelesaian masalah matematika, dan pedoman wawancara. Dalam hal ini peneliti merupakan perencana, pelaksana pengumpul data, analisis, penafsir data, dan akhirnya sekaligus menjadi pelapor hasil penelitian. Sedangkan instrumen lembar tugas yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen lembar tugas pemecahan masalah pembuktian. Instrumen lembar tugas ini divalidasi oleh ahli, yang terdiri atas satu orang ahli pendidikan matematika dan satu orang ahli dalam bidang matematika kelompok bidang analisis. Prosedur pengumpulan data diakukan dengan cara subyek diberi lembar tugas pemecahan masalah pembuktian, kemudian untuk setiap tahapan dalam meyelesaikan masalah berdasarkan tahapan Polya diadakan wawancara untuk mengetahui aktivitas metakognisi yang dilakukan. Data yang diperoleh pada saat wawancara direkam dan disusun transkip wawancara tersebut untuk selanjutnya dilakukan analisis terkait dengan aktivitas metakognisi yang dilakukan. Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mengungkap gambaran metakognisi siswa. Dari hasil pekerjaan siswa, pengamatan dan wawancara dapat dilihat karakteristik metakognisi siswa. Analisis data penelitian ini merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil tes tertulis dan hasil wawancara, dengan cara mereduksi data (yaitu kegiatan yang mengacu pada proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan, pengabstraksian dan transformasi data mentah di lapangan), memaparkan data (meliputi pengklasifikasi dan identifikasi data, yaitu menuliskan kumpulan data yang terorganisir dan terkategori sehingga memungkinkan untuk menarik kesimpulan dari data tersebut), dan menarik kesimpulan dari data yang telah dikumpulkan dan memverifikasi kesimpulan tersebut (Moleong, 2003). HASIL PENELITIAN Keterlaksanaan Aktivitas Metakognisi pada Pemecahan Masalah Pembuktian Tidak langsung (Kontradiksi) pada Tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi & mengkasifikasi masalah adalah sebagai berikut. Pemecahan Masalah Menurut Polya Tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi & mengkasifikasi masalah Ciri yang teramati MMAW1, MMAW2, MMAW3, MMAW4, MMAW5, MMIT1, MMIT2 , MMIT3 , MMIT4 , MMIT5, MMAK2, MMAK3

Keterlaksanaan Aktivitas Metakognisi pada Pemecahan Masalah Pembuktian Tidak langsung (Kontradiksi) pada Tahap Tahap memikirkan rencana tindakan, membangun alternatif penyelesaian adalah sebagai berikut. Pemecahan masalah menurut Polya Tahap memikirkan rencana tindakan, membangun alternatif penyelesaian Ciri yang teramati MRAW1, MRAW4, MRAW5, MRAW6, MRIT1, MRIT2, MRIT4, MRAK1, MRAK2, MRAK4

Keterlaksanaan Aktivitas Metakognisi pada Pemecahan Masalah Pembuktian Tidak langsung (Kontradiksi) pada Tahap Melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian adalah sebagai berikut.

46

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Pemecahan masalah menurut Polya Melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian

Ciri yang teramati PRAW1, PRAW3, PRAW4, PRIT1, PRAK1, PRAK4

Keterlaksanaan Aktivitas Metakognisi pada Pemecahan Masalah Pembuktian Tidak langsung (Kontradiksi) pada Tahap Mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik adalah sebagai berikut. Pemecahan masalah menurut Polya Mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik KESIMPULAN 1. Proses metakognisi mahasiswa dengan kemampuan analisis tinggi dalam memecahkan masalah pembuktian langsung, adalah sebagai berikut. Secara umum keterlaksanaan aktivitas metakognisi yang dilakukan mahasiswa dengan kemampuan analisis tinggi ketika memecahkan masalah pembuktian langsung, cukup memadai. Secara keseluruhan tahap pemecahan masalah diperoleh prosentase keterlaksanaan aktivitas metakognisi sebesar 70,77%, sehingga berada pada kategori baik. Sedangkan pada masing-masing tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah, memikirkan rencana tindakan dalam membangun alternatif penyelesaian, melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian, dan mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik diperoleh prosentase keterlaksanaan metakognisi berturut-turut sebesar 81,25%, 62,5%, 75%, dan 68%, sehingga masing-masing berada pada kategori baik. 2. Proses metakognisi mahasiswa dengan kemampuan analisis tinggi dalam memecahkan masalah pembuktian tidak langsung, cukup memadai. Secara keseluruhan tahap diperoleh prosentase keterlaksanaan aktivitas metakognisi sebesar 70,77%, sehingga berada pada kategori baik. Sedangkan pada masing-masing tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah, memikirkan rencana tindakan dalam membangun alternatif penyelesaian, melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian, dan mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik diperoleh prosentase keterlaksanaan metakognisi berturut-turut sebesar 81,25%, 62,5%, 75%, dan 68%, sehingga masing-masing berada pada kategori baik. 3. Proses metakognisi mahasiswa dengan kemampuan analisis sedang dalam memecahkan masalah pembuktian langsung, cukup memadai. Secara keseluruhan tahap diperoleh prosentase keterlaksanaan aktivitas metakognisi sebesar 69,19%, sehingga berada pada kategori baik. Sedangkan pada masing-masing tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah, memikirkan rencana tindakan dalam membangun alternatif penyelesaian, melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian, dan mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik diperoleh prosentase keterlaksanaan metakognisi berturut-turut sebesar 75%, 62,5%, 68,75%, dan 62,5%. sehingga masing-masing berada pada kategori baik. 4. Proses metakognisi mahasiswa dengan kemampuan analisis sedang dalam memecahkan masalah pembuktian tidak langsung, cukup memadai. Secara keseluruhan tahap diperoleh prosentase keterlaksanaan aktivitas metakognisi sebesar 60,94%, sehingga berada pada kategori baik. Sedangkan pada masing-masing tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah, memikirkan rencana tindakan dalam membangun alternatif penyelesaian, melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian, dan mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik diperoleh prosentase keterlaksanaan metakognisi berturut-turut sebesar 75%, 50%, 56,25%, dan 62,5%, sehingga berturut-turut berada pada karegori baik, cukup, cukup dan baik. Ciri yang teramati EPAW1, EPAW2, EPIT3, EPIT5, EPIT6, EPAK4, EPAK5

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

47

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

5. Proses metakognisi mahasiswa dengan kemampuan analisis rendah dalam memecahkan masalah pembuktian langsung, belum memadai. Secara keseluruhan tahap diperoleh prosentase keterlaksanaan aktivitas metakognisi sebesar 31,25%, sehingga berada pada kategori kurang. Sedangkan pada masing-masing tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah, memikirkan rencana tindakan dalam membangun alternatif penyelesaian, melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian, dan mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik diperoleh prosentase keterlaksanaan metakognisi berturut-turut sebesar 25%, 37,5%, 31,5%, dan 37,5%, sehingga seluruhnya berada pada kategori kurang. 6. Proses metakognisi mahasiswa dengan kemampuan analisis rendah dalam memecahkan masalah pembuktian tidak langsung, belum memadai. Secara keseluruhan tahap diperoleh prosentase keterlaksanaan aktivitas metakognisi sebesar 32,81%, sehingga berada pada kategori kurang. Sedangkan pada masing-masing tahap memahami masalah dengan mengidentifikasi dan mengklasifikasi masalah, memikirkan rencana tindakan dalam membangun alternatif penyelesaian, melaksanakan rencana tindakan dengan memilih strategi penyelesaian, dan mengevaluasi dan meneliti kembali bagaimana penyelesaian terbaik diperoleh prosentase keterlaksanaan metakognisi berturut-turut sebesar 25%, 37,5%, 31,5%, dan 37,5%, sehingga masing-masing berada pada kategori kurang.

DAFTAR PUSTAKA De Corte, E., 2003, Intervention Research: A Tool for Bridging the Theory Practice Gap in Mathematics Education, Proceedings of the International Conference, The Mathematics Education into the 21st Century Project, Brno Czech Republic. Flavell, J. H., 1979, Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive Developmental Inquiry, in Nelson, T. O. (Ed), 1992, Metacognition, Allyn and Bacon, Boston. Gama, C. A., 2004, Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment, D. Phil Dissertation, University of Sussex Julan Hernadi, 2008, Metode Pembuktian dalam Matematika, UAD, Yogyakarta Livingstone, J. A., 1997, Metacognition: An Overview, http://www.gse.buffalo.edu/fos/shuel/ cep564/metacog.html Nelson, T. O., 1992, Metacognition; Core Readings, Allyn and Bacon, Boston. 1.1 NCREL, (1995), Metacognition - Thinking about thinking - Learning to learn http://members.iinet.net.au/metacognition.htm Panaoura, A., and Philippou, G., 2004, Young Pupils Metacognitive Abilities in Mathematics in Relation to Working Memory and Processing Efficiency, www.ucy.ac.cy, Download tanggal 12 November 2007 Panaoura, A., and Philippou, G., 2005, The Measurement of Young Pupils Metacognitive Ability in Mathematics: The Case of Self-Representation and Self-Evaluation, www.ucy.ac.cy, Download tanggal 12 November 2007. Polya, G., 1973, How To Solve It, Second Edition, Princeton University Press, Princeton, New Jersey. Schoenfeld, A. H., 1980, Heuristic in the Class Room, dalam Krulik S., dan Reys, R. E. (Ed), Problem Solving in School Mathematics, NCTM, Virginia. Soedjadi, R., 2000, Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, Konstatasi Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

48

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DAN STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) DITINJAU DARI KEINGINTAHUAN DAN GAYA KOGNITIF PESERTA DIDIK SMP DI KABUPATEN BLORA
Agung Putra Wijaya1, Mardiyana2, Suyono2 1) Program Studi Magister Pendidikan Matematika 2) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran, keingintahuan, dan gaya kognitif, serta interaksinya terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental semu dengan desain faktorial 2x3x2. Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta didik SMP di Kabupaten Blora. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik stratified cluster random sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah tes kemampuan awal matematika, angket keingintahuan, tes gaya kognitif (GEFT), dan tes prestasi belajar matematika. Uji prasyarat meliputi uji normalitas populasi menggunakan metode Lilliefors dan uji homogenitas variansi populasi menggunakan metode Bartlett. Dengan = 0,05, diperoleh simpulan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Uji keseimbangan menggunakan uji-t diperoleh simpulan bahwa kedua kelas eksperimen mempunyai kemampuan awal yang seimbang. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis menggunakan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama, diperoleh simpulan bahwa (1) Terdapat pengaruh model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika. (2) Terdapat pengaruh keingintahuan terhadap prestasi belajar matematika. (3) Terdapat pengaruh gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika. (4) Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan keingintahuan terhadap prestasi belajar matematika. (5) Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika. (6) Terdapat interaksi antara keingintahuan dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika. (7) Terdapat interaksi antara model pembelajaran, keingintahuan, dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika.

PENDAHULUAN Sejalan dengan paradigma baru pendidikan di Indonesia yang lebih menekankan pada peserta didik sebagai individu yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang, pemerintah mendorong pelaksanaan inovasi pembelajaran matematika yang didasarkan pada teori belajar konstruktivisme untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Inovasi pembelajaran tersebut diharapkan mampu memberikan tantangan belajar sesuai kemampuan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual peserta didik. Dengan demikian, proses pembelajaran akan berpusat pada peserta didik dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator. yang akan membantu peserta didik dalam mengkonstruksi pemahamannya sehingga mampu memecahkan suatu permasalahan. Hanya saja, pelaksanaan inovasi pembelajaran tersebut terganjal dengan masih lemahnya pemahaman dan kemampuan guru dalam menyusun rancangan pembelajaran yang didasarkan pada teori belajar konstruktivisme. Belum optimalnya pelaksanaan pembelajaran konstruktivisme pada pembelajaran matematika diduga berdampak pada rendahnya prestasi belajar matematika peserta didik SMP di Kabupaten Blora Propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan laporan hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2009/2010 tersebut, rerata prestasi belajar matematika peserta didik SMP di Kabupaten Blora (6,53) lebih rendah dibandingkan rerata prestasi belajar matematika peserta didik SMP di tingkat Propinsi Jawa Tengah (6,73) maupun nasional (7,29). Dari 10.006 peserta ujian nasional SMP di Kabupaten Blora pada tahun pelajaran 2009/2010, terdapat 3.779 peserta didik (sekitar 37,77%) yang memperoleh nilai matematika di bawah rerata. Selain itu, mata pelajaran matematika bagi peserta didik SMP di

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

49

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Kabupaten Blora ini merupakan mata pelajaran penyumbang angka ketidaklulusan terbesar kedua setelah mata pelajaran bahasa inggris. Selain itu, analisis daya serap hasil Ujian Nasional tahun pelajaran 2009/2010 terhadap tiga kemampuan yang berkaitan dengan materi pokok persamaan garis lurus, yakni menentukan gradien garis lurus dengan persamaan ax + by + c = 0 (a, b, c bilangan bulat selain satu), menentukan persamaan garis pada sebuah grafik, menentukan grafik dari persamaan suatu garis menunjukkan bahwa penguasaan konsep persamaan garis lurus oleh peserta didik SMP di Kabupaten Blora masih rendah. Kesulitan-kesulitan yang dialami oleh peserta didik SMP di Kabupaten Blora dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan konsep persamaan garis lurus dimungkinkan karena konsep tersebut belum benar-benar dikuasai oleh peserta didik. Kesulitan-kesulitan tersebut hanya diorganisir sendiri tanpa dikomunikasikan dengan peserta didik lain atau guru matematika yang mengajar. Selain itu, sebagian besar guru matematika masih menerapkan model pembelajaran konvensional. Selama kegiatan pembelajaran guru aktif menyampaikan informasi di depan kelas, sedangkan peserta didik hanya menyimak, mencatat, dan mengerjakan latihan soal. Kondisi ini menyebabkan tujuan pembelajaran cenderung tidak tercapai secara optimal. Agar tujuan pembelajaran tercapai secara optimal, guru harus cermat dalam memilih suatu model pembelajaran yang akan diterapkan. Di antara banyak model pembelajaran, salah satu model pembelajaran inovatif yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif. Melalui model pembelajaran kooperatif, peserta didik secara aktif mengkonstruksi pemahamannya melalui diskusi kelompok. Peserta didik secara kooperatif mengkonsultasikan kesulitan yang dialaminya kepada peserta didik lain sehingga sangat dimungkinkan bagi peserta didik untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut. Selain model pembelajaran, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar matematika yang juga perlu mendapat perhatian dari guru, diantaranya keingintahuan dan gaya kognitif. Dengan mengetahui perbedaan kategori keingintahuan dan karakteristik gaya kognitif setiap peserta didik, diharapkan membantu guru dalam membimbing peserta didik untuk mengkonstruksi pemahamannya terhadap konsep matematika sehingga prestasi belajar matematika peserta didik lebih optimal. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP yang ada di Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah pada semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental semu. Populasi, Sampel, dan Sampling Populasi penelitian ini adalah seluruh peserta didik di 76 SMP yang ada di Kabupaten Blora. Sampling dilakukan menggunakan teknik stratified cluster random sampling sedemikian sehingga terpilih sampel penelitian sebagai berikut. a. SMP Negeri 2 Blora dengan kelas VIII 3 sebagai kelas eksperimen satu dan kelas VIII 5 sebagai kelas eksperimen dua. b. SMP Muhammadiyah 1 Blora dengan kelas VIII B sebagai kelas eksperimen satu dan kelas VIII A sebagai kelas eksperimen dua. c. SMP Negeri 1 Cepu dengan kelas VIII B sebagai kelas eksperimen satu dan kelas

VIII E sebagai kelas eksperimen dua.


Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data penelitian meliputi metode dokumentasi, tes, dan angket. Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data mengenai jumlah dan daftar nama peserta didik yang menjadi sampel penelitian di SMP yang telah terpilih, baik untuk kelompok tinggi, sedang, maupun rendah. Metode tes digunakan untuk memperoleh data kemampuan

50

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

awal, prestasi belajar matematika, dan gaya kognitif peserta didik. Metode angket digunakan untuk memperoleh data keingintahuan peserta didik. Teknik Analisis Data Sebelum melakukan eksperimen, dilakukan uji keseimbangan terhadap kemampuan awal matematika menggunakan uji-t. Data prestasi belajar matematika dianalisis menggunakan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama. Sebelumnya, terhadap data kemampuan awal maupun data prestasi belajar dilakukan uji prasyarat meliputi uji normalitas populasi menggunakan metode Lilliefors dan uji homogenitas variansi populasi menggunakan metode Bartlett. Apabila hasil analisis variansi menunjukkan bahwa hipotesis nol ditolak, dilakukan uji komparasi ganda menggunakan metode Scheffe. HASIL PENELITIAN A. Data Kemampuan Awal Matematika dan Uji Keseimbangan Berikut disajikan deskripsi data kemampuan awal matematika peserta didik. Tabel 1. Deskripsi Data Kemampuan Awal Matematika Peserta Didik Kelas Eksperimen Satu Eksperimen Dua n 84 84 Nilai Min 40 40 Nilai Maks 96 96 67,5238 66,9524 S 14,0828 15,0132

Hasil uji prasyarat diperoleh simpulan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Hasil uji keseimbangan menggunakan uji-t terhadap data kemampuan awal matematika peserta didik diperoleh simpulan bahwa populasi mempunyai kemampuan awal matematika yang seimbang. B. Data Penelitian dan Analisis Variansi Tiga Jalan dengan Sel Tak Sama Data yang digunakan dalam pengujian hipotesis adalah data prestasi belajar matematika peserta didik pada materi pokok persamaan garis lurus. Tabel 2. Deskripsi Data Prestasi Belajar Matematika Peserta Didik Keingintahuan Gaya Kog. Mod. Pemb. N Nilai Min N H Nilai Maks T S N S Nilai Min T Nilai Maks A D S Tinggi FD 12 72 100 91,6667 9,2573 17 56 100 76,4706 14,8918 FI 6 84 100 94,6667 7,0048 8 60 100 75,0000 15,6753 Sedang FD 22 48 88 70,5455 11,7462 27 52 100 75,8519 12,6239 FI 18 76 100 88,2222 8,7283 14 44 84 64,5714 13,1132 Rendah FD 16 48 84 60,5000 10,7207 9 56 80 67,1111 7,4237 FI 10 52 88 72,4000 11,6924 9 72 96 83,5556 8,3533

Hasil uji prasyarat diperoleh simpulan bahwa sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal dan mempunyai variansi yang homogen. Berikut disajikan hasil analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama. Tabel 3. Rangkuman Analisis Variansi Tiga Jalan dengan Sel Tak Sama Sumber A B C JK 1221,7909 4549,2818 1279,6692 dk 1 2 1 RK 1221,7909 2274,6409 1279,6692 Fhit 9,0843 16,9125 9,5147 Ftabel 3,9017 3,0540 3,9017 Keputusan Uji H0A ditolak H0B ditolak H0C ditolak

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

51

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

AB AC BC ABC Galat Total

4228,2383 811,5074 1191,0764 1754,0724 20981,1480 36016,7845

2 1 2 2 156 167

2114,1191 811,5074 595,5382 877,0362 134,4945

15,7190 6,0338 4,4280 6,5210 -

3,0540 3,9017 3,0540 3,0540 -

H0AB ditolak H0AC ditolak H0BC ditolak H0ABC ditolak -

DESKRIPSI HASIL ANALISIS VARIANSI TIGA JALAN DENGAN SEL TAK SAMA Deskripsi hasil analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama dan uji komparasi rerata adalah sebagai berikut. a. Prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. b. Prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang maupun rendah, dan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah. c. Prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent. d. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan keingintahuan peserta didik, dengan deskripsi sebagai berikut. 1) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang maupun rendah, dan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah. 2) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, sedang, maupun rendah sama baiknya. 3) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 4) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 5) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. e. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif peserta didik, dengan deskripsi sebagai berikut. 1) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent. 2) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent.

52

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

3) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 4) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. f. Terdapat interaksi antara keingintahuan dan gaya kognitif peserta didik, dengan deskripsi sebagai berikut. 1) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent. 2) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent. 3) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent lebih baik diabndingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent. 4) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang maupun rendah, dan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah. 5) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, sedang, maupun rendah sama baiknya. g. Terdapat interaksi antara model pembelajaran, keingintahuan, dan gaya kognitif peserta didik, dengan deskripsi sebagai berikut. 1) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field independent. 2) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field independent. 3) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field dependent. 4) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field dependent. 5) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field independent. 6) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

53

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

gaya kognitif field dependent. 7) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field independent. 8) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field independent. 9) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field dependent. 10) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field dependent. 11) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field independent. 12) Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field dependent. 13) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field independent. 14) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field independent. 15) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field dependent. 16) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field dependent. 17) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field dependent. 18) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field dependent.

54

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

19) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan tinggi sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan sedang. 20) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan tinggi lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan rendah. 21) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan sedang sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan tinggi. 22) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan sedang sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan rendah. 23) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan rendah sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan tinggi. 24) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan rendah sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan sedang. 25) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan tinggi lebih baik diobandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan sedang. 26) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan tinggi sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan rendah. 27) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan sedang sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan tinggi. 28) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan sedang sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan rendah. 29) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan rendah sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan tinggi.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

55

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

30) Pada peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar
matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan rendah sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan sedang. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan tinggi, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan sedang, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki keingintahuan rendah, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan tinggi, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan sedang, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki keingintahuan rendah, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field dependent sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang maupun rendah, dan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, sedang, maupun rendah sama baiknya. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, sedang, maupun rendah sama baiknya. Pada peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan memiliki gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi, sedang, maupun rendah sama baiknya. Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan tinggi dan gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

31)

32)

33)

34)

35)

36)

37)

38)

39) 40) 41)

42)

56

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

43) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field
dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 44) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan sedang dan gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT lebih baik dibandingkan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 45) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field dependent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. 46) Pada peserta didik yang memiliki keingintahuan rendah dan gaya kognitif field independent, prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe NHT sama baiknya dengan prestasi belajar matematika peserta didik yang dikenai model pembelajaran kooperatif tipe STAD. SIMPULAN Berdasarkan analisis data menggunakan analisis variansi tiga jalan dengan sel tak sama, diperoleh simpulan bahwa: a. Terdapat perbedaan pengaruh antar masing-masing kategori model pembelajaran terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. b. Terdapat perbedaan pengaruh antar masing-masing kategori keingintahuan terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. c. Terdapat perbedaan pengaruh antar masing-masing kategori gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. d. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan keingintahuan terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. e. Terdapat interaksi antara model pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. f. Terdapat interaksi antara keingintahuan dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika peserta didik. g. Terdapat interaksi antara model pembelajaran, keingintahuan, dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA Agus Suprijono. 2010. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Anita Lie. 2008. Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: Sebelas Maret University Press. . 2009. Statistik Untuk Penelitian (Edisi Kedua). Surakarta: Sebelas Maret University Press. Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara. Slavin, R. E. 2010. Cooperative Learning: Teori, Riset, dan Praktik. (Edisi terjemahan oleh Narulita Yusron). Bandung: Nusa Media. Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya. Srivastava, Priyamvada. 1997. Cognitive Style in Educational Perspective. New Delhi: Anmol Publications Pvt Ltd.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

57

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS SMART PADA MATERI PELUANG DENGAN MODEL ELICITING ACTIVITIES
Aryo Andri Nugroho Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang Jl. Lontar 1 (Sidodadi Timur) Semarang 50125, e-mail : ndrie024mp@gmail.com Abstrak
Peserta didik harus memulai sebuah pengembangan yang bermakna dari proses dan keterampilan serta ide - ide yang mendorong ke arah kesuksesan. Disini kita memperkenalkan Model Eliciting Activities (MEA) yang berfokus pada karakteristik struktural dari fenomena seperti pola dan interaksi. Pada penelitian ini menggunakan perangkat pembelajaran berbasis SMART (spesific, measurable, achievable, realistic, time bound). Penelitian ini bertujuan meningkatkan prestasi belajar matematika peserta didik menggunakan pembelajaran matematika berbasis SMART dengan MEA. Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian Quasy Experimental dan teknik random sampling untuk memilih kelas eksperimen dan kelas kontrol. Variabel dalam penelitian ini yaitu kreatifitas peserta didik (X) sebagai variabel bebas dan prestasi belajar (Y) sebagai variabel terikat. Cara pengambilan data dengan observasi dan tes prestasi belajar. Olah data dengan uji banding dan uji pengaruh. Dalam penelitian ini akan dilakukan proses pengambilan data meliputi data pengamatan kreatifitas peserta didik. Selanjutnya dilakukan tes prestasi belajar untuk mengukur prestasi belajar peserta didik di kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tingkat keberhasilan diukur melalui tiga uji statistika, yaitu uji ketuntasan prestasi belajar, uji pengaruh, dan uji perbedaan yang sebelumnya melalui uji prasyarat. Harapannya hal tersebut menunjukkan pembelajaran matematika berbasis SMART dengan model MEA akan mencapai efektif dan meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Kata Kunci : Peluang, MEA, SMART, Kreatifitas.

PENDAHULUAN Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah masih lemahnya proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir, mengembangkan karakter dan potensi yang dimiliki, serta memiliki kemampuan memecahkan masalah hidup. Selain itu peserta didik kurang diarahkan untuk membentuk manusia yang kreatif, inovatif, mandiri dan berjiwa wirausaha (Sanjaya 2008: 2). Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah maupun oleh berbagai pihak yang peduli terhadap pembelajaran matematika di sekolah. Berbagai upaya tersebut antara lain dalam bentuk: (1) penataran guru, (2) kualifikasi pendidikan guru, (3) pembaharuan kurikulum, (4) penerapan model atau metode pembelajaran baru, (5) penelitian tentang kesulitan dan kesalahan peserta didik dalam belajar matematika. Namun berbagai upaya tersebut belum mencapai prestasi yang optimal, karena berbagai kendala di lapangan. Akibatnya, sampai saat ini kualitas pembelajaran matematika di Indonesia masih rendah (Soedjadi, 2001b: 1). Pembelajaran matematika yang masih menggunakan pembelajaran konvensional masih menempatkan guru sebagai sumber informasi utama yang berperan dominan dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran konvensional guru bertindak sebagai pentransfer ilmu kepada peserta didiknya, peserta didik dianggap sebagai penerima pengetahuan yang pasif (Suparman, 1997:198). Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari sering informasi bercampur dan mungkin dapat dipertimbangkan sebagai hal yang kompleks. Banyak perangkat dimana para ilmuwan menggunakannya untuk menjelaskan sistem kompleks yang melibatkan cara pikir yang dinyatakan dalam bentuk model matematis, misalnya memusatkan pada karakteristik struktural

58

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

dari sistem yang relevan. Lebih dari itu banyak persamaan terjadi antara model dimana peserta didik mengembangkan sistem untuk bisa dipertimbangkan dalam pengalaman sehari-hari mereka sendiri dan model dimana para ilmuwan mengembangkannya (Lesh & Doerr, 2003). Peserta didik harus memulai sebuah pengembangan yang bermakna dari proses dan keterampilan serta ide-ide dan proses kunci yang mendorong ke arah kesuksesan harus diberikan. Disini kita memperkenalkan Model Eliciting Activities yang berfokus pada karakteristik struktural dari fenomena (seperti pola, interaksi, dan hubungan antara unsur-unsur) (Jones & Nisbet, 2002). Model Eliciting Activities mendorong aktivitas peserta didik dalam pengembangan model karena untuk memecahkannya diperlukan cara untuk menyatakan berpikir saat ini dalam bentuk yang diuji dan diperbaiki berulang kali setelah di uji. Dalam proses pemecahan masalah menuntut peserta didik dengan perangkat baru untuk memecahkan permasalahan serupa di masa datang (Lesh & Yoon, 2004). Model eliciting activities biasanya melibatkan aktivitas-aktivitas yang mematematikakan (mathematizing) objek yang relevan, hubungan, aksi, pola, dan keteraturan serta membekali peserta didik dengan fondasi penalaran matematis yang dasar. Sebuah nilai ekstra adalah bahwa model eliciting activities itu bisa mendorong ke arah bentuk belajar yang signifikan. Pemunculan masalah model ini adalah aktivitas-aktivitas pemecahan masalah yang mendorong ke arah pembentukan sebuah model eliciting activities (Lesh, Amit & Schorr, 1997). Model ini adalah sistem konseptual yang digunakan untuk membangun, menggambarkan, atau menjelaskan perilaku dari sistem lain. Sifat alami model tersebut dapat digambarkan dalam empat aspek. a. Model biasanya digambar dari berbagai disiplin atau area topik buku teks; b. Model biasanya dinyatakan dengan menggunakan berbagai media representational yang saling berinteraksi; c. Gagasan yang relevan dan sistem konseptual dapat diharapkan menjadi langkah-langkah intermediate dari pengembangan; d. Pengembangan model biasanya melibatkan satu rangkaian siklus desain yang melibatkan cara yang berbeda terhadap penyaringan, pengorganisasian, dan penginterpretasian dari situasi masalah yang diberikan (Lesh & Yoon, 2004). Pengalaman pemecahan masalah peserta didik secara tradisional telah dibatasi masalah dimana peserta didik menerapkan satu prosedur yang diketahui atau mengikuti satu jalur yang jelas. Ketika peserta didik diberikan suatu permasalahan maka permasalahan tersebut diterjemahkan dengan cara yang tunggal. Artinya bahwa proses penafsiran untuk peserta didik telah diminimalisir atau dieliminasi. Kesulitan bagi peserta didik adalah mengerjakan bagaimana cara untuk mendapatkan gambaran dari pernyataan yang diberikan pada tujuan yang diberikan. Sementara dengan tidak menolak pentingnya pengalaman masalah yang ada, mereka tidak memahami secara baik pengetahuan matematika, proses, kelancaran representasional, dan keterampilan sosial dimana peserta didik kita membutuhkannya (Steen, 2001). Satu komponen penting dalam pemecahan masalah didalam dunia masa kini adalah menginterpretasikan situasi masalah, berkenaan dengan informasi yang ambigu atau tidak lengkap, mengidentifikasikan rintangan terhadap solusi, dan memvisualisasikan serta mengevaluasi produk akhir yang mungkin. Salah satu substansi yang menjadi penekanan KTSP adalah bagaimana menciptakan pembelajaran yang efektif. Menurut Guskey (1982) pembelajaran yang efektif ditandai dengan adanya ketercapaian ketuntasan dalam prestasi belajar, adanya pengaruh yang positif antara variabel bebas dengan variabel terikat, adanya perbedaan prestasi antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Materi yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu tentang peluang karena pada materi peluang dibutuhkan suatu pemahaman yang abstrak dan mendorong kreatifitas peserta didik. Selain itu dalam kegiatan pembelajaran disini akan disusun perangkat pembelajaran yang meliputi: (1) Silabus, (2) RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), dan (3) CD interaktif. Perangkat pembelajaran yang disusun adalah perangkat pembelajaran yang memenuhi kriteria SMART (spesific, measurable, achievable, realistic, time bound). Dengan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

59

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

memperhatikan kekhususan materi peluang yang sesuai kurikulum dan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik (spesific), keterukuran indikator dari pemilihan materi yang khusus (measurable), indikator yang terukur dari materi yang khusus jelas dapat dicapai dengan ditunjukkan oleh ketuntasan prestasi nantinya (achievable), materi terukur agar mencapai keberprestasian atau ketercapaian harus dihantarkan oleh suatu langkah yang jelas yaitu kejelasan skenario dari awal proses hingga akhir proses untuk dilaksanakan dan pada akhirnya alat ukurnya juga nyata jelas (realistic), untuk mencapai semuanya jelas dan prestasi dapat ditunjukkan dengan menggunakan batas waktu tertentu yang lebih efisien dan efektif dari pada sebelumnya (time bound). Boise State University (2007) dan Swinton (2006) menyatakan SMART dikembangkan berkenaan dengan tujuan penting sedemikian hingga dapat sangat membantu dalam menulis tujuan yang dapat dijadikan modal dalam mengevaluasi kualitas program-program yang diajukan dan dilaksanakan. Jenis penelitian ini yaitu penelitian eksperimen jenis Quasi Experimental (Samsudi, 2006: 75) yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi belajar peserta didik pada materi peluang yang memenuhi kriteria efektif. Variabel dalam penelitian ini yaitu kreatifitas peserta didik sebagai variabel bebas dan prestasi belajar sebagai variabel terikat serta instrumen pada penelitian ini terdiri dari lembar pengamatan kreatifitas peserta didik dan lembar tes prestasi belajar. Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah data dokumentasi, data prestasi belajar, data kreatifitas peserta didik. Dalam penelitian ini peneliti memaknai perlunya model eliciting activities dalam pembelajaran dengan perangkat pembelajaran berbasis SMART sehingga diharapkan pembelajaran menjadi efektif. Berdasarkan uraian ini maka muncul masalah apakah pembelajaran matematika berbasis SMART pada materi peluang dengan model elicting activities mencapai efektif. KAJIAN TEORI 1. SMART Boise State University (2007) dan Swinton (2006) menyatakan SMART dikembangkan berkenaan dengan tujuan penting sedemikian hingga dapat sangat membantu dalam menulis tujuan yang dapat dijadikan modal dalam mengevaluasi kualitas programprogram yang diajukan dan dilaksanakan. SMART sebagai tujuan program yang berarti specific (spesifik), measurable (dapat diukur), achievable (dapat dipenuhi), realistic (realistik), time-bound (batasan waktu). a. Specific Specific maksudnya bahwa tujuan itu konkret, detail, terfokus dan dapat didefinisikan dengan jelas. Program menyatakan tujuan yang tepat. Prestasi dinyatakan dalam bilangan, persentase, frekuensi, pengamatan, prestasi ilmiah dan lain lain. Pada perangkat pembelajaran matematika dalam pemilihan indikator materi sesuai dengan kurikulum dan tingkat kemampuan peserta didik di sekolah. b. Measurable Measurable berarti dapat mengukur apakah kita telah mencapai tujuan atau tidak (bilangan, kuantitas, dan perbandingan). Pengukuran mempunyai prestasi yang dapat dinilai, baik dalam skala 110 ataupun dalam bentuk keberprestasian dan kegagalan. Pengukuran membantu untuk mengetahui kapan tujuan sebuah program telah terpenuhi. Pada perangkat pembelajaran matematika indikator yang dipilih harus terukur sesuai dengan materi yang dipilih. c. Achievable Achievable menyangkut tujuan yang di himpun dapat dipenuhi dan dapat dicapai. Pada perangkat pembelajaran matematika indikator yang terukur dari materi yang jelas dapat dicapai dengan ditunjukkan oleh ketuntasan prestasi belajarnya. d. Realistic Realistic maksudnya mempunyai kemampuan untuk memenuhi yang dikerjakan. Pemenuhan pada suatu tujuan memerlukan kemampuan, seperti keterampilan, uang, perlengkapan dan lain-lain yang diperlukan untuk memenuhi tujuan. Pada perangkat pembelajaran matematika, materi terukur agar mencapai keberprestasian atau

60

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

ketercapaian harus dihantarkan oleh suatu langkah yang jelas yaitu kejelasan skenario dari awal proses hingga akhir proses pembelajaran dan dapat dilaksanakan secara konkret. e. Time Bound Time-bound berarti mengatur batasan waktu untuk memenuhi tujuan. Batasan waktu diperlukan harus memenuhi aspek achievable dan realistic. Pada perangkat pembelajaran matematika ketersediaan waktu dari penugasan, proses pembelajaran tatap muka dan evaluasi harus jelas dan ditunjukkan dengan menggunakan batas waktu tertentu yang lebih efisien dan efektif. 2. MEA (Model Eliciting Activities) Menurut Lesh dan Doerr (2003) siklus Model Eliciting Activities adalah terdiri atas empat tahap, yaitu a) Deskripsi ( membangun model matematika dari permasalahan yang ada pada dunia nyata); b) Manipulasi (manipulasi model dengan tujuan untuk memprediksi atau melakukan aksi yang berhubungan dengan pemecahan masalah sebenarnya); c) Translasi (membawa prestasi yang diperoleh dan relevan untuk dikembalikan dengan kondisi sebenarnya); d) Verifikasi (kegunaan dari aksi dan prediksi). Berdasarkan teori tentang model eleciting activiies, maka bisa dibuat langkahlangkah sebagai berikut: 1. Peserta didik dibagi kedalam beberapa kelompok. 2. Setiap kelompok diberi bahan ajar 3. Bahan ajar yang dimaksud adalah bahan ajar yang membimbing siswa kearah MEA. 4. Dalam kegiaan inti terdapat langkah-langkah pembelajaran yang memuat MEA yaitu: a) Deskripsi Pada tahap deskripsi peserta didik membaca bahan ajar yang didalamnya terdapat aturan-aturan yang telah disusun berdasarkan MEA. sehingga Aturan menjadi jelas bagi semua peserta didik. b) Manipulasi Pada tahap ini peserta didik diberi desempatan untuk membangkitkan prediksi atau tindakan yang berhubungan dengan situasi pemecahan masalah asli. peserta didik diarahkan untuk membuat klarifikasi dari aturan permainan apakah aturan tersebut adil atau tidak c) Translasi Pada tahap translasi peserta didik didik diminta untuk mencoba langsung dari aturan permainan, dan diarahkan untuk mengaitkan dengan prestasi manipulasi. d) Prediksi dan Verifikasi Pada tahap Prediksi peserta didik diarahkan ke arah diskusi untuk meramalkan untuk usul operatif untuk membuat permainan adil disertai dengan alasan-alasan logis dan pada tahap verifikasi peserta didik diberi kesempatan untuk mencari kegunaan dari prediksi. 5. Beberapa perwakilan kelompok diminta mempresenasikan prestasi diskusinya berserta prestasi penemuannya. 6. Setelah proses diskusi dan telah didapat aturan yang adil maka tahap selanjutnya adalah mencoba mengaplikasikan konsep tersebut dalam pemecahan masalah yang ada LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik). 3. Kreatifitas Menurut Munandar (2009:46) Untuk mengembangkan kreativitas anak perlu diberikan kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif. Pendidik hendaknya dapat merangsang anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu mengusahakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini yang penting adalah memberi kebebasan pada anak untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Pertama- tama yang perlu adalah proses bersibuk diri secara kreatif, tanpa perlu atau terlalu cepat menuntut diprestasikan produk-produk kreatif yang bermakna.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

61

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Adapun langkah- langkah proses kreatif menurut Wallas (Munandar, 2009:39), yang sampai sekarang masih diterapkan dalam pengembangan kreativitas, meliputi tahap persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verivikasi. Pada tahap persiapan seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan belajar berfikir, mencari jawaban, bertanya pada orang, dan sebagainya. Pada tahap inkubasi ialah tahap dimana individu seakan-akan melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti dia tidak memikirkan masalahnya secara sadar, disinilah akan lahir gagasan inspiratif. Tahap iluminasi ialah tahap timbulnya inspirasi atau gagasan baru. Dan tahap verivikasi atau tahap evaluasi adalah tahap dimana ide atau kreasi baru tersebut harus diuji terhadap realitas ( disertai dengan pemikiran kritis ). KESIMPULAN Dalam kegiatan penelitian ini akan dilakukan proses pengambilan data meliputi data kreatifitas peserta didik. Selanjutnya dilakukan tes prestasi belajar untuk mengukur prestasi belajar peserta didik di kelas eksperimen dan kelas kontrol. Tingkat keberprestasian diukur melalui tiga uji statistika, yaitu uji ketuntasan prestasi belajar, uji pengaruh, dan uji perbedaan yang sebelumnya melalui uji prasyarat. Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan maka diperoleh kesimpulan bahwa keefektifan pembelajaran matematika berbasis SMART dengan model eliciting activities, diharapkan: 1) pembelajaran matematika berbasis SMART dengan model eliciting activities pada materi peluang peserta didik dapat mencapai tuntas; 2) terdapat pengaruh positif kreatifitas peserta didik terhadap prestasi belajar peserta didik dalam pembelajaran matematika berbasis SMART dengan MEA (model eliciting activities) pada materi peluang ; 3) pembelajaran matematika berbasis SMART dengan model eliciting activities pada materi peluang lebih baik dari pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Boise State University. 2007. Performance Management Creating SMART Objectives: Participant Guide. http://hrs.boisestate.edu/td/pdf/SMART goals.pdf download tanggal 18 Oktober 2009. Guskey, dkk. 1982. The Effectiveness Of Mastery Learning Strategies In Undergraduate Education Courses. University Of Kentucky. Jones, G. A., Thornton, C. A., Langrall, C.W., & Tarr, J.E. (1999). Understanding students' probabilistic reasoning. In: L. V. Stiff, & F. R. Curcio (Eds.), Developing Mathematical Reasoning in Grades K-12, National Council of Teachers of Mathematics' 1999 earbook (pp. 146-155). Reston VA: The Council. Lesh, R., Amit, M., & Schorr, R. (1997). Using real-life problems to prompt students to construct conceptual models for statistical reasoning. In Gal & Garfield (Eds.), The Assessment Challenge in Statistics Education. (pp. 65-83). Amsterdam: IOS Press. Lesh, R., & Doerr, H. (2003). Foundations of a models and modeling perspective on mathematics teaching, learning, and problem solving. In R. Lesh & H. Doerr (Eds.), Beyond Constructivism: Models and Modeling Perspectives on Mathematics Problem Solving, Learning and Teaching. (pp. 334). Mahwah, NJ: Erlbaum. Lesh, R., & Yoon, C. (2004). Whats distinctive in (our views about) models & modeling perspectives on mathematics problem solving, learning and teaching? In H. Henn & W. Blum (Eds.), ICMI Study 14: Applications and Modeling in Mathematics Education. Pre-Conference Volume. Ronald, E. dan Raymond, H. 1986. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan. Terbitan kedua. Bandung: ITB. Samsudi. 2009. Disain Penelitian Pendidikan. Semarang : UNNES PRESS. Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

62

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Soedjadi, R. 2001 b. Pembelajaran Matematika berjiwa RME (Suatu Pemikiran Rintisan Ke Arah Upaya Baru). Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education (RME) di UNESA Surabaya, Juni 2001. Suparman, 1997. Desain Instruksional, Jakarta : Dirjen Dikti Depdiknas. Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung: Alfa Beta Swinton, L. 2006. Goal Setting Guide. http://www.uncommon-knowledge.co.uk /psychology_articles/Goal-Setting-Guide.pdf. download 18 Oktober 2009

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

63

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN CREATIVE THINKING BERBANTUAN VIDEO DIKEMAS DALAM CD PEMBELAJARAN DAN WORKSHEET PADA MATERI SEGITIGA SISWA KELAS VII
FX. Didik Purwosetiyono Program Studi Pendidikan Matematika FPMIPA IKIP PGRI Semarang Jl. Sidodadi Timur Nomor 24 Dr. Cipto Semarang, e-mail: fxdidik.purwosetiyono@gmail.com Abstrak
Pembelajaran yang bermakna memerlukan usaha yang melibatkan siswa aktif, yang nampak dari kreativitas siswa, sehingga akan menunjukkan prestasi belajar yang optimal. Untuk melihat efektivitas pembelajaran matematika materi segitiga kelas VII dengan pendekatan creative thinking berbantuan video dikemas CD Pembelajaran dan worksheet, diperlukan adanya instrumen yang berupa: 1) Rencana Pembelajaran (RPP), 2) worksheet, 3) Lembar Observasi. Juga harus didasari kajian-kajian teoritis dan juga penelitian-penelitian yang relevan untuk membangun suatu efektivitas pembelajaran. Untuk mewujudkan kajian teoritis tersebut, diperlukan suatu penelitian, dimana penelitian tersebut merupakan jawaban atas kajian teori peneliti. Penelitian direncanakan dengan teknik claster sampling, dan akan memilih satu kelas sebagai kelas eksperimen dan dan satu kelas sebagai kelas kontrol.Variabel independen penelitian kreativitas siswa dan variabel dependen prestasi belajar. Untuk memperoleh jawaban atas permasalahan efektivitas pembelajaran matematika materi segitiga kelas VII dengan pendekatan creative thinking berbantuan video dikemas CD Pembelajaran dan worksheet, perlu dilakukan: 1) observasi terhadap respon guru dan respon siswa terhadap pembelajaran, juga dilaksanakan observasi keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan, 2) Pembelajaran mencapai efektif yang akan ditunjukkan oleh: a) Rataan kreativitas dan prestasi belajar siswa secara individu melebihi KKM, dan secara klasikal lebih dari 85% siswa memperoleh nilai diatas KKM, b) Pengaruh kreativitas terhadap prestasi belajar yang ditunjukkan dengan R Square, c) Rataan kelas eksperimen terhadap kelas kontrol, dengan hal itu diharapkan akan dicapai pembelajaran yang efektif. Dengan demikian dapat diketahui efektivitas suatu pembelajaran. Kata kunci : Efektivitas, creative thinking, Video, CD pembelajaran, worksheet.

PENDAHULUAN Pada proses pembelajaran guru meminta kepada siswa mengungkapkan pendapatnya tentang pembelajaran matematika, maka akan banyak terdengar keluhan bahwa pelajaran matematika sulit, sehingga pada prestasi belajar matematika yang kurang optimal. Sehingga karena asumsi tersebut membentuk pemikiran siswa yang kurang optimis dalam belajar matematika. Menurut Sierwalds (dalam Davasligil, 2005) dalam belajar jangka panjang, kreativitas seorang pelajar lebih tinggi dari pada seseorang yang tidak bersekolah. Kegiatan belajar mengajar diperlukan suatu proses pada diri siswa untuk mencoba, dan melakukan analisis pada suatu obyek. Dengan adanya suatu usaha dalam proses diharapkan siswa dapat menunjukkan perubahan prestasi belajarnya menjadi lebih baik, pada ranah kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya. Sehingga diperlukan suatu usaha yang melibatkan siswa aktif, yang nampak dari kreativitas yang harus diperhatikan, sehingga akan menunjukkan suatu perubahan prestasi belajar yang optimal. Hal ini ditunjukkan oleh efektifitas dalam pembelajaran. Dalam proses pembelajaran matematika menuntut peraga yang tepat, yang mampu membantu siswa memahami konsep yang diajarkan dan mampu mengatasi keberagaman kecepatan belajar dan gaya belajar siswa, serta mengatvariasi media yang digunakan dalam pembelajaran keterbatasan yang ada pada guru maupun siswa. Pentingnya suatu penggunaan

64

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

media pembelajaran dalam kegiatan belajar mengajar, harus sesuai dengan materi yang diajarkan. Salah satu salah satunya yaitu dengan pembelajaran matematika pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas CD pembelajaran dan berbantuan worksheet. Variabel yang digunakan adalah variabel bebas (X) adalah kreativitas siswa, dengan pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas dalam bentuk CD Pembelajaran dan worksheet. Variabel terikat (Y) dalam penelitian ini adalah prestasi belajar matematika siswa pada kelompok eksperimen (E) dan kelompok kontrol (K) pada kompetensi dasar kesebangunan. Variabel terikat ini akan diungkap dengan instrumen tes prestasi belajar menurut ranah kognitif. Jenis instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu instrumen untuk pengembangan perangkat pembelajaran. Instrumen untuk pengembangan perangkat pembelajaran terdiri dari: Lembar Pengamatan Kreativitas Siswa, lembar Pengamatan Keterlaksanaan pembelajaran, Lembar Angket Respon Siswa, lembar angket respon guru. Data yang telah dikumpulkan melalui instrumen-instrumen kemudian dianalisis. Data yang dianalisis adalah sebagai berikut. 1) Analisis Data Angket, 2) Analisis Data Tes Prestasi Belajar, meliputi; 3) Uji Hipotesis, meliputi; Uji homogenitas, uji normalitas, uji ketuntasan belajar, Uji perbedaan dua rata-rata uji pihak kanan dan uji proporsi, adalah sebagai berikut. Dari uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang muncul dan akan dikaji adalah: 1) Apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet pada materi segitiga kelas VII siswa dapat mencapai tuntas? 2) Apakah terdapat pengaruh pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet pada materi segitiga kelas VII siswa dengan pembelajaran konvensional? 3)Apakah pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet pada materi segitiga kelas VII siswa lebih baik dari pembelajaran konvensional? KAJIAN TEORITIS 1. Aktivitas Menurut Paul B. Diedrich ( dalam Sardiman, 2007 ) aktivitas siswa dalam belajar digolongkan atas 8 kelompok sebagai berikut. a. Visual Activities, meliputi: memperhatikan dari gambar demonstrasi , membaca, percobaan dari pekerjaan orang lain. b. Oral Activities, seperti: menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. c. Listening Activities, sebagai contoh mendengarkan: uraian, percakapan, diskusi, musik. d. Writing Activities, seperti: menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin. e. Drawing Activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram. f. Motor Activities, misalnya: melakukan percobaan, membuat konstruksi, perangkat, mereparasi, bermain, berkebun, beternak. g. Mental Activities, misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan masalah, menganalisa hubungan, mengambil keputusan. h. Emotional Activities, seperti: menaruh minat, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup, merasa bosan. Jadi klasifikasi aktivitas di atas menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariatif. Jika berbagai aktivitas tersebut dapat dikondisikan selama proses pembelajaran maka pembelajaran lebih dinamis. Menurut pandangan ilmu jiwa lama aktivitas didominasi oleh guru sedangkan menurut pandangan ilmu jiwa modern, aktivitas didominasi oleh siswa. Pada Gambar 1 menunjukkan dua kelompok model pembelajaran yaitu pembelajaran Pasif dan Pembelajaran Aktif. Gambaran tersebut juga menunjukkan bahwa kelompok pembelajaran aktif cenderung membuat siswa lebih mengingat (retention rate of knowledge) materi kuliah. Oleh sebab itu dalam pembelajaran engineering model pembelajaran aktif ini merupakan alternatif yang harus diperhatikan jika kualitas lulusan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

65

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

ingin diperebaiki. Penggunaan cara-cara pembelajaran aktif baik sepenuhnya atau sebagai pelengkap cara-cara belajar tradisional akan meningkatkan kualitas pembelajaran.

Tend to Remember about:

Level of Involment

10% of what we read 20% of what we hear 30% of what we see 30% of what we hear and see 70% of what we say

Reading

i.Hearing Words Looking at Pictures j. Watching a Movie k. Looking at an Exhibit l. Wacthing m. a Demonstration Seeing it Done on Location n.
Participation in a Discussion Giving a Talk

Verbal Receiving
PASSIVE

Visual Receiving

Paticipating
ACTIVE

90% of what we say and do

Performance/Dramatic Presentation Simulating the Real Experience Doing the Real Thing

Doing

Gambar 1. Model Pembelajaran Aktif dan Pasif (Sumaidi, 2008:52) 2. Kreativitas Menurut Munandar (2009:46) Untuk mengembangkan kreativitas anak perlu diberikan kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif. Pendidik hendaknya dapat merangsang anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu mengusahakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini yang penting adalah memberi kebebasan pada anak untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Pertamatama yang perlu adalah proses bersibuk diri secara kreatif, tanpa perlu atau terlalu cepat menuntut dihasilkan produk-produk kreatif yang bermakna. Adapun peringkat 10 ciri-ciri pribadi kreatif ( dalam Munandar, 2009: 36) yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi, adalah: 1) Imajinatif, 2) Mempunyai prakarsa, 3) Mempunyai minat luas, 4) Mandiri dalam berfikir, 5) Melit, 6) Senang berpetualang ( senang mengeksplorasi), 7) Penuh energi (bersemangat), 8) Percaya diri, 9) Bersedia mengambil resiko (berani memulai sesuatu), 10) Berani dalam pendirian dan keyakinan ( teguh pendirian). Sehingga dari ke sepulih ciri-ciri tersebut akan dibuatlah rincian mengenai daftar angket yang akan dihunakan sebagai lembar observasi kreativitas siswa. 3. Video Video adalah suatu perangkat yang berfungsi sebagai penerima gambar dan suara. Video adalah teknologi untuk menangkap, merekam, memproses, mentransmisikan dan menata ulang gambar bergerak. Biasanya menggunakan film seluloid, sinyal elektronik, atau media digital. Video juga bisa dikatakan sebagai gabungan gambar-gambar mati yang dibaca berurutan dalam suatu waktu dengan kecepatan tertentu. Gambar-gambar yang digabung tersebut dinamakan frame dan kecepatan pembacaan gambar disebut dengan frame rate, dengan satuan fps (frame per second). Karena dimainkan dalam kecepatan yang tinggi maka tercipta ilusi gerak yang halus, semakin besar nilai frame rate maka akan semakin halus pergerakan yang ditampilkan. Video ini berkaitan erat dengan audiovisual. 4. CD Pembelajaran. Levie dan Lentz (Arsyad, 2006:8) yang mereviu hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui stimulus gambar, stimulus kata atau visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep.

66

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

CD interaktif merupakan salah satu sumber belajar yang dirancang (learning resources by design) dimana di dalamnya telah diinstal program yang disiapkan untuk tujuan pembelajaran tertentu. Arsyad (2006:32) menyebutnya sebagai media mutahir berbasis komputer yang diyakini mampu menciptakan pembelajaran yang lebih hidup dan melibatkan interaktifitas siswa. Dipilihnya pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran berbantuan CD interaktif dengan perangkat komputer tidak lain karena media ini memiliki keunggulan sebagai media instruksional, antara lain: (a) dapat menunjukkan visualisasi yang menonjolkan gerak; (b) dapat dipercepat/diperlambat sehingga mudah diamati dan dimengerti (dapat diulang); (c) materi yang divisualisasikan mirip dengan objek aslinya; (d) dapat diberi efek suara sehingga efektifitas belajar lebih tinggi; (e) gambar bisa diperbesar sehingga dapat digunakan pada kelas yang besar; (f) dapat disimpan dan digandakan dalam CD atau di komputer; (g) software dapat digunakan berulang-ulang; dan (h) perangkat perekam relatif mudah dioperasikan. Dalam penelitian ini CD interaktif yang dimaksud adalah suatu alat dalam bentuk multimedia berupa keping CD yang memuat materi pembelajaran kompetensi dasar. Materi dikemas dengan program macromedia flash untuk 5 (lima) kali pertemuan berisi: (a) standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikatornya; (b) materi pendahuluan; (c) penanaman konsep dengan contoh soal dan latihan soal; dan (d) pada akhir pertemuan dilengkapi tes-uji kompetensi hasil belajar lengkap dengan skor yang diperoleh dari jawaban siswa. Berdasarkan pandangan beberapa ahli di atas maka media pembelajaran berbantuan CD interaktif audio visual merupakan media yang sangat cocok bagi siswa dalam membantu proses belajar diantaranya, (1) membuat konsep yang abstrak menjadi konkret, (2) mampu memberikan keseragaman persepsi,(3) mampu menyajikan informasi yang konsisten dan dapat diulang, dan (4) mampu mengatasi keterbatasan waktu dan tempat belajar. 5. Worksheet Lembar kerja siswa (worksheet) berupa lembaran-lembaran kertas berisi informasi maupun soal-soal atau pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab siswa, pada akhirnya siswa dapat menemukan suatu kesimpulan dari apa yang mereka pelajari. LKS ini sangat mendukung untuk meningkatkan keterlibatan siswa belajar, baik dalam penerapan metode penemuan terbimbing maupun memberikan latihan-latihan pengembangan (Depdiknas, 2004). 6. Prestasi Belajar Prestasi adalah sesuatu yang diadakan (dibuat, dijadikan) oleh suatu usaha (Depdiknas, 2003:76). Belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman (Depdiknas, 2003:26). Jadi prestasi belajar adalah sesuatu yang diperoleh karena suatu usaha memperoleh ilmu sekaligus terjadi perubahan tingkah laku. Dalam penelitian ini, prestasi belajar yang diamati pada ranah pengetahuan dan pemahaman konsep atau kognitif yang datanya diambil dari metode tes (pencil paper test). 7. Kajian Penelitian yang relevan Pada penelitian ini, adapun kajian dari penelitian yang relevan dengan penelian ini adalah penelitian yang telah dilakukan oleh Iman (2008), dan penelitian yang dilakukan oleh Arif (2008). Menurut Imam (2008: 128) para guru matematika diharapkan dapat memilih pembelajaran yang efektif dalam meningkatkan aktivitas belajar sehingga belajar siswa menjadi pembelajaran yang bermakna. Disinilah diperlukan suatu peranan seorang guru sebagai pembimbing siswa, sehingga bisa mengarahkan siswanya kearah pemahaman mengenai suatu konsep tertentu, sehingga bisa diarahkan pada aktivitas siswa. Menurut Arief (2008: 62) Semakin siswa kreatif dalam melaksanakan tugasnya, atau sudah mau belajar berfikir mandiri membuat siswa selalu aktif dalam proses kegiatan belajar mengajar. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas siswa bisa dibentuk, dengan memberikan stimulus-stimulus pada siswa dalam suatu pembelajaran, dengan memberikan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

67

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

pola yang menuntut siswa untuk berfikir, sehingga akhirnya siswa dapat menemukan jawabannya sendiri dari proses kreatif yang dilakukannya. Menurut FX. Didik (2010:102) Penggunaan dan pelaksanaan suatu strategi perlu diperhatikan arah pencapaian indikator dan tujuan pembelajaran. Pada pelaksanaan pembelajaran harus mengacu pada strategi yang tepat, agar pelaksanaan pembelajaran bisa terlaksana dengan baik. Jika strategi pembelajaran sudah tepat, barulah ditambahkan media pembelajaran yang tepat, dalam penelitian ini, penggunaan CD pembelajaran sangat membantu dalam pelaksanaan kegiatan belajar. SIMPULAN Guru sebagai fasilitator, memberikan bantuan di awal pembelajaran setelah siswa mampu maka bantuan dikurangi kemudian dilepaskan sehingga anak mandiri dalam membentuk pengetahuan baru yang berkembang terus sebagai milik mereka. Pengetahuan baru itu akan dapat diserap dengan baik apabila siswa belajar dalam situasi yang penuh kebermaknaan. Dengan pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking berbantuan video dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet, kelebihan yang bisa dicapai antara lain (1) siswa diajak dalam suasana kebermaknaan berupa visual, (2) terciptanya suasana pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas siswa dan inivatif saat belajar matematika, (3) Mengembangkan kreativitas siswa dalam hal ini difokuskan pada kreativitas siswa, dalam hal ini peranan media diperlukan, sehingga dengan bantuan media ini dapat memacu kreativitas siswa dalam kegiatan pembelajaran, (4) bimbingan guru dalam pembelajaran adalah hal yang sangat penting dan harus dilakukan oleh seorang guru untuk mengarahkan siswa menuju pada tujuan yang diharapkan. Menurut Munandar (2009:46) Untuk mengembangkan kreativitas anak perlu diberikan kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif. Pendidik hendaknya dapat merangsang anak untuk melibatkan dirinya dalam kegiatan kreatif, dengan membantu mengusahakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Dalam hal ini yang penting adalah memberi kebebasan pada anak untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Pertama- tama yang perlu adalah proses bersibuk diri secara kreatif, tanpa perlu atau terlalu cepat menuntut dihasilkan produk-produk kreatif yang bermakna. Adapun peringkat 10 ciri-ciri pribadi kreatif (dalam Munandar, 2009: 36) yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi, adalah: 1) Imajinatif, 2) Mempunyai prakarsa, 3) Mempunyai minat luas, 4) Mandiri dalam berfikir, 5) Melit, 6) Senang berpetualang (senang mengeksplorasi), 7) Penuh energi (bersemangat), 8) Percaya diri, 9) Bersedia mengambil resiko (berani memulai sesuatu), 10) Berani dalam pendirian dan keyakinan (teguh pendirian). Dari ciri-ciri pribadi kreatif tersebut dijadikan acuan untuk membentuk kreativitas siswa dalam pembelajaran matematika materi segitiga kelas VII dengan pendekatan creative thinking berbantuan video dikemas CD Pembelajaran dan worksheet. Untuk memperoleh jawaban atas permasalahan efektivitas pembelajaran matematika materi segitiga kelas VII dengan pendekatan creative thinking berbantuan video dikemas CD Pembelajaran dan worksheet, perlu dilakukan: 1) observasi terhadap respon guru dan respon siswa terhadap pembelajaran, juga dilaksanakan observasi keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan, 2) Pembelajaran mencapai efektif yang akan ditunjukkan oleh: a) Rataan kreativitas dan prestasi belajar siswa secara individu melebihi KKM, dan secara klasikal lebih dari 85% siswa memperoleh nilai diatas KKM, b) Pengaruh kreativitas terhadap prestasi belajar yang ditunjukkan dengan R Square, c) Rataan kelas eksperimen terhadap kelas kontrol, dengan hal itu diharapkan akan dicapai pembelajaran yang efektif. Dengan demikian dapat diketahui efektivitas suatu pembelajaran. Berdasarkan kajian teori tersebut di atas, diharapkan; 1) Pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet pada materi segitiga kelas VII siswa dapat mencapai tuntas, 2) Terdapat pengaruh pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking berbantuan video yang dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet pada materi segitiga kelas VII siswa dengan pembelajaran konvensional, 3) Pembelajaran matematika dengan pendekatan creative thinking

68

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

berbantuan video yang dikemas dalam CD Pembelajaran dan worksheet pada materi segitiga kelas VII siswa lebih baik dari pembelajaran konvensional.

DAFTAR PUSTAKA Arif, K. 2008. Efektivitas Pembelajaran Matematika Berbasis Teknologi Berorientasi pada Pendekatan Problem Solving Berbantuan CD Pembelajaran Pembelajaran Materi Program Linear Kelas X. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana UNNES. Arikunto, S. 2007. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Arikunto,S.& Abdul J. 2009. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Davasligil. 2005. Intercultural Aspect of Creativity; challenge and Barriers The Case in Turkey. Jurnal.Istambul University. Vol. 71: 88-97. Dekdikbud. 2003 . Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan Nasional, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Puskur Balitbang: Depdiknas. Hudoyo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Dekdikbud. Munandar. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Sudjana. 2005. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2003. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sukino & Wilson, S. 2006. Matematika untuk SMP Kelas VII. Bandung: Erlangga

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

69

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

EKSPERIMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERBANTUAN POWER POINTPADA MATERI PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL DITINJAU DARI GAYA KOGNITIF SISWA SMA NEGERI KOTA PONTIANAK
Dewi Risalah1, Riyadi2, Gatut Iswahyudi3 1) Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Matematika Pascasarjana UNS 2) Program Pascasarjana UNS 3) Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS Abstrak
Penelitian ini bertujuan : (1) untuk mengetahui apakah prestasi belajar siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point lebih baik dibanding model pembelajaran kooperatif tipe STAD tanpa pendekatan kontekstual berbantuan power point (2) untuk mengetahui apakah prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent lebih baik prestasinya dibandingkan dengan siswa yang mempunyai gayakognitiffield dependent (3) untukmengetahui pada masing- masing model pembelajaran, manakah yang mempunyai prestasi yang lebih baik, siswa dengan gaya kognitif field independent atau field dependent (4) untuk mengetahui pada masing- masing gaya kognitif, manakah yang memberikan prestasi yang lebih baik, model pembelajaran STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point, atau model pembelajaran STAD tanpa pendekatan kontekstual berbantuan power point. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu, yang terdiri 2 variabel bebas yaitu model pembelajaran dan gaya kognitif siswa, dan 1 variabel terikat yaitu hasil prestasi siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA kota Pontianak. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan stratified cluster random sampling. Pengumpulan datanya dilakukan melalui kajian dokumen sekolah, angket gaya kognitif dan tes pilihan ganda. Analisis butir soal pada tes prestasi dan angket gaya kognitif terdiri dari analisis daya beda, tingkat kesukaran dan konsistensi internal. Analisis instrumen yang dilakukan pada tes yaitu validitas isi dan reliabilitas. Teknik analisis data yang dilakukan yaitu : uji keseimbangan, uji prasyarat analisis (uji normalitas dan uji homogenitas), uji hipotesis penelitian dengan menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama. Dari data analisis disimpulkan : (1) Prestasi belajar matematika siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual power point menghasilkan prestasi yang lebih baik dibanding dengan siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD power point, (2) Prestasi siswa yang memiliki gaya kognitif FD lebih baik dibanding dengan siswa yang memiliki gaya kognitif, (3) Tidak terdapat hubungan antara model pembelajaran dan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika. Kata Kunci : STAD, Kontekstual, power point dan Gaya Kognitif.

PENDAHULUAN Salah satu faktor yang mempengaruhi rendahnya prestasi belajar siswa matematika adalah kondisi siswa yang berbeda- beda dalam satu kelas dalam daya pikir, keadaan sosial, kreatifitas dan lain- lain. Dalam suatu proses pembelajaran sering kali terdapat siswa yang cepat mengerti materi yang dipelajari, tetapi ada juga yang lambat mengerti bahkan kadang terdapat yang sangat lambat mengerti materi yang dipelajari. Seringkali guru kesulitan untuk bisa mengontrol anak satu persatu apakah setiap anak sudah mengerti materi yang diajarkan. Kesulitan ini karena waktu pertemuan yang tersedia terbatas, jumlah siswa yang banyak pada setiap kelas (35- 40 anak) dan seringkali siswa yang mengalami kesulitan tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan permasalahannya. Diperlukan suatu model pembelajaran yang membuat siswa saling berinteraksi, sehingga siswa bisa saling berdiskusi memecahkan masalah, bisa bekerja sama dan saling membantu. Siswa yang sudah memahami materi yang

70

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

dipelajari bisa membantu siswa yang lain sepaya menjadi mengerti juga. Sementara peserta yang mendapat persoalan bisa bertanya dan berdiskusi dengan siswa yang lain. Siswa saling bekerja sama untuk memahami materi yang dipelajari dengan guru sebagai fasilitator. Sehingga diharapkan dengan berinteraksi akan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika. Salah satu model pembelajaran yang memenuhi hal-hal yang diuraikan ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe student teams- achievement divisions (STAD). Menurut Balfakih (2003), STAD is a cooperative teaching method which was developed as part of a student learning approach programme along with other cooperative methods. Selain memiliki kelebihan- kelebihan seperti yang disebutkan di atas, model pembelajaran kooperatif tipe STAD juga memiliki kelemahan- kelemahan diantaranya adalah tahap presentasi yang dilakukkan oleh guru. Pada tahap ini banyak guru tidak mengaitkan materi yang diajarkan dengan contoh- contoh dunia nyata yang dekat dengan kehidupan siswa serta minimnya penggunaan media bantuan dalam pembelajaran. Media bantuan yang dimaksud adalah power point. Siswa sering merasa kesulitan mengaitkan pelajaran yang diterimanya dengan suatu yang nyata dalam hidup mereka, seringkali siswa mempertanyakan relevansi dari besarnya waktu yang dihabiskan untuk mengajarkan pelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika, sebenarnya seorang guru harus kreatif menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang diajarkan. Diperlukan suatu model pembelajaran yang bisa membuat pelajaran menjadi pengalaman yang nyata, sehingga pemahaman konsep matematika bisa lebih mudah diterima siswa.Pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang menghubungkan antara materi pelajaran dengan kehidupan sehari- hari. Menurut Smith (2006), contextual teaching and learning is defined as a conception of teaching and learning that helps teachers relate subject matter content to real world situations. Pembelajaran kontekstual juga berusaha membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan penerapan dalam kehidupan sehari- hari. Diharapkan dengan pembelajaran kontekstual pelajaran akan menjadi bermakna. Serta diharapkan bantuan power point dalam pembelajaran tersebut dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Pengetahuan tentang gaya kognitif dibutuhkan oleh guru untuk memodifikasi materi pembelajaran, tujuan pembelajaran serta metode pembelajaran. Diharapkan dengan adanya hubungan antara gaya kognitif dengan model pembelajaran, hasil belajar siswa dapat dicapai semaksimal mungkin. Untuk itu perlu dilakukan suatu pembelajaran dengan memodifikasikan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point diharapkan bisa mengisi salah satu kekurangan pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD yaitu pada tahap presentasi guru. Presentasi guru dengan model pembelajaran STAD dengan pendekatan kontekstual berdengan bantuan power point diharapkan akan membuat pelajaran lebih mudah dimengerti para siswa. Kelebihan- kelebihan pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu siswa membuat saling berhubungan positif, saling bekerja sama, akan membuat pelajaran lebih efektif. Modifikasi dari model tersebut yang ditinjau dari gaya kognitif diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Apakah prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD tanpa pendekatan kontekstual berbantuan power point ? 2) Apakah prestasi belajar matematika siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent lebih baik prestasinya dibandingkan dengan siswa yang mempunyai gaya kognitif field dependent? 3) Pada masing- masing model pembelajaran, manakah yang mempunyai prestasi yang lebih baik, siswa dengan gaya kognitif field independent atau field dependent ? 4) Pada masing- masing gaya kognitif, manakah yang memberikan prestasi yang lebih baik,model pembelajaran STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point, atau model pembelajaran STAD tanpa pendekatan kontekstual berbantuan power point ? TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Menurut Gagne dalam Winkle (1996:482), prestasi adalah kemampuan internal yang memuat kemampuan intelektual dalam hal informasi verbal. Prestasi belajar adalah penguasaan

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

71

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

keterampilan yang ditunjukkan dengan tes yang diberikan oleh guru yang biasanya dipengaruhi oleh faktor dalam diri individu dan lingkungannya. Menurut Trianto (2007:42) pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif tipe STAD ini merupakan salah satu tipe dari model pembelajaran kooperatif dengan menggunakan kelompok- kelompok kecil dengan jumlah anggota tiap kelompok 4-5 orang siswa secara heterogen. Diawali dengan penyampaian tujuan pembelajaran, penyampaian materi, kegiatan kelompok, kuis, dan penghargaan kelompok. Menurut Trianto (2007:10) pendekatan kontekstual (Contekstual teaching and learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru yang mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Menurut Broverman (1960:167) mengemukakan bahwa gaya kognitif menggambarkan cara seseorang memahami lingkungannya. Gaya kognitif adalah cara seseorang dalam memproses, menyimpan maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau menangapi berbagai jenis situasi lingkungannya. Kerangka berpikir bahwa STAD adalah model pembelajaran yang melibatkan kerjasama antar siswa secara berkelompok, sedangkan gaya kognitif FI adalah gaya belajar siswa yang tidak bergantung pada lingkungan belajarnya, sehingga jika siswa mampu untuk tidak bergantung dengan lingkungan belajarnya diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa itu sendiri. STAD adalah model pembelajaran yang melibatkan kerjasama antar siswa secara berkelompok, sedangkan gaya kognitif FD adalah gaya belajar siswa yang bergantung pada lingkungan belajarnya, sehingga jika siswa mampu beradaptasi dengan lingkungan belajarnya diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa itu sendiri. Diharapkan dengan memadukan model pembelajaran tipe STAD kontekstual dengan kontekstual dengan bantuan power point disertai dengan gaya kognitif siswa akan meningkatkan prestasi belajar menjadi lebih baik. Berdasarkan teori dan kerangka berpikir di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Prestasi belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point lebih baik dibanding model pembelajaran kooperatif tipe STAD tanpa pendekatan kontekstual berbantuan power point. 2) Siswa yang memiliki gaya belajar kognitif Field Independent memiliki prestasi belajar matematika yang lebih baik daripada siswa yang memiliki gaya kognitif Field Dependent. 3) Pada masing - masing model pembelajaran, siswa yang memiliki gaya kognitif Field Independent lebih baik daripada siswa yang memiliki gaya kognitif Field Dependent. 4) Pada masing - masing gaya kognitif, siswa yang mendapatkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan kontekstual berbantuan power point lebih baik daripada siswa yang mendapatkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD tanpa pendekatan kontekstual berbantuan power point. METODE PENELITIAN Tempat pelaksanaan penelitian ini di SMA Negeri di Pontianak. Subjek penelitian ini adalah siswa semester ganjil Kelas X tahun pelajaran 2011/2012. Penelitian ini dilakukan secara bertahap dari bulan Februari 2011 hingga bulan Oktober 2011 yang secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahappersiapan, tahap penelitian dan tahap penyelesaian. Tahap persiapan meliputi pengajuan judul tesis, permohonan ijin survei, dan konsultasi instrumen penelitian pada pembimbing. Waktu yang dibutuhkan pada tahap ini adalah 5 bulan, yaitu dari bulan Februari sampai bulan Juli 2011.Tahap penelitian meliputi semua kegiatan yang berlangsung di lapangan, yaitu uji coba instrumen dan pengambilan data. Waktu yang diperlukan pada tahap ini adalah dua bulan yaitu bulan Agustus sampai September2011. Tahap penyelesaian meliputi analisis data dan penyusunan laporan. Waktu yang diperlukan pada tahap ini dua bulan yaitu bulan Oktober 2011 sampai November 2011.

72

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Penelitian ini termasuk penelitian eksperimental semu karena peneliti tidak mungkin mengontrol atau memanipulasi semua variabel yang relevan kecuali beberapa dari variabelvariabel yang diteliti. Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan rancangan faktorial sederhana 2 X 2. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri di kota Pontianak tahun ajaran 2011/ 2012. Adapun langkah dalam pengambilan sampel yaitu dengan stratified cluster random sampling. Tahapan yang dilakukan adalah dalam pengambilan sampel yaitu dari seluruh SMA Negeri yang ada di kota Pontianak terlebih dahulu dikelompokkan menjadi tiga tingkatan, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Pengelompokkan tersebut berdasarkan nilai rata - rata ujian nasional tahun pelajaran 2009/2010 mata pelajaran matematika. Dari ketiga kelompok, masing- masing dipilih secara acak satu sekolah yang akan dijadikan sebagai subjek penelitian. Satu kelas sebagai kelompok eksperimen dan satu kelas sebagai kelompok kontrol. Sehingga diperolah tiga kelas ekperimen dan tiga kelas kontrol. Sampel penelitian adalah siswa kelas X SMA Negeri di kota Pontianak, yang terdiri dari tiga sekolah yaitu SMA Negeri 8 Pontianak, SMA Negeri 9 Pontianak, SMA Negeri 6 Pontianak yang dipilih berdasarkan rangking, yang masing- masing terdiri dari dua kelas sebagai kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran, gaya kognitif dan variabel terikatnya adalah prestasi belajar matematika siswa. Metode yang digunakan adalah dokumentasi, angket dan tes. Uji yang digunakan adalah uji validitas, reliabilitas, daya beda, tingkat kesukaran, konsistensi internal, uju normalitas, uji homogenitas, uji keseimbangan, uji ANAVA dan uji lanjut ANAVA. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 7, SMA Negeri 8, SMA Negeri 9, SMA Negeri 6 di Pontianak. Adapun hasil penelitian disajikan adalah hasil uji coba instrument, deskripsi data, pengujian data analisis, pengujian hipotesis dan pembahasan penelitian. Pada analisis daya beda terdapat 36 item soal diterima dan 4 item soal yang tidak diterima. Pada tingkat kesukaran terdapat 2 item soal yang tidak baik. Indeks reliabilitas sebesar 0,776 yang berarti instrumen tes baik. Pada gaya kognitif, terdapat 30 soal yang konsisten dan 10 soal yang tidak konsisten. Indeks reliabilitas FI sebesar 0,827 dan FD sebesar 0,831. Data penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini adalah prestasi belajar matematika pada materi SPLDV yang dikatagorikan atas model pembelajaran dan kelompok gaya kognitif siswa. a. Uji Keseimbangan Kemampuan Awal Berdasarkan hasil uji normalitas kemampuan awal prestasi belajar matematika untuk faktor model pembelajaran siswa berasal dari populasi normal dan berdasarkan uji homogenitas ternyata kemampuan awal prestasi belajar matematika antara kelas STAD Power point dan kelas STAD kontekstual Power point berasal dari populasi yang homogen. Setelah dilakukan uji prasyarat kemampuan awal siswa yakni uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya dilakukan uji keseimbangan dengan metode uji beda rerata t, pada penelitian ini uji keseimbangan uji t sebesar 1,576 dengan nilai tabel t sebesar 1,96 Karena nilai uji lebih kecil dari nilai tabel t maka H0 tidak ditolak. Hal ini berarti tidak terdapat perbedaan rerata antar kelompok model pembelajaran atau dapat dikatakan bahwa antara kelompok siswa yang dikenai model pembelajaran berbeda, yaitu STADP dan STADKP mempunyai kemampuan matematika yang sama. b. Uji Persyaratan Analisis Berdasarkan hasil uji normalitas prestasi belajar matematika untuk faktor model pembelajaran dan faktor gaya kognitif siswa berasal dari populasi normal dan berdasarkan uji homogenitas ternyata prestasi belajar matematika antara kelas STADP dan kelas STADKP berasal dari populasi yang homogen, demikian juga antara kelompok siswa mempunyai gaya gaya kognitif FD dan gaya kognitif FI berasal dari populasi yang homogen. c. Pengujian Hipotesis

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

73

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis variansi dua jalan dengan jumlah sel tak sama. Hasil pengujian ANAVA disajikan dalam tabel rangkuman analisis variansi dibawah ini : Tabel 1. Rangkuman Analisis Variansi SP Model Gaya Kognitif Interaksi Galat Total dk 1 1 2 213 216 JK 4693,1 3,5 1185,9 62957,9 73197,7 RK 4286,0 10,9 5543,1 295,6 Fobs 14,50 8,04 0,94 Ftabel 3,92 3,92 3,07 Kep. H0 ditolak H0 ditolak H0 diterima

Dari tabel di atas tampak bahwa H0A ditolak karena nilai uji Ftabel = 3,92 lebih kecil dari nilai F a = 14,50. Hal ini berarti terdapat perbedaan rerataan antara model pembelajaran STAD Power point dan STAD Kontekstual Power point terhadap prestasi belajar matematika. Sedangkan H0B ditolak karena nilai uji Ftabel = 3,92 lebih kecil dari nilai Fb = 8,04. Hal ini berarti terdapat pengaruh faktor gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika dan H0AB diterima karena nilai uji Ftabel = 3,07 lebih besar dari nilai F ab = 0,94. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara model pembelajaran dengan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika. d. Uji Lanjut Anava Dari kesimpulan penelitian, perlu dilakukan uji lanjut pasca anava, untuk itu perlu diperhatikan terlebih dahulu tabel rerata sebagai berikut : Tabel 2. Rerata Pada Masing - masing Sel Model Pembelajaran STAD power point tanpa Kontekstual STAD power point dengan Kontekstual Rerata Marginal Gaya Kognitif FI FD 54,46 65,93 75,11 64,61 64,79 65,27 Rerata Marginal 60,19 69,86

1. Komparasi Rerata Antar Baris Dari pembahasan di atas, tampak bahwa H0A ditolak. Ini berarti terdapat perbedaan antara model pembelajaran STAD power point dan STAD Kontekstual power point terhadap prestasi belajar matematika. Dalam penelitian ini, karena variabel model pembelajaran hanya mempunyai dua nilai (yaitu model pembelajaran STAD power point dan STAD Kontekstual power point), maka untuk baris tidak perlu dilakukan komparasi pasca anava. Kalau pun dilakukan komparasi ganda antar rerata model pembelajaran STAD Power point dan STAD Kontekstual Power point, dapat dipastikan bahwa hipotesis nolnya juga akan ditolak. Komparasi itu menjadi tidak berguna, karena anava telah menunjukkan H0A ditolak. Dari rerata marginalnya, yang menunjukkan bahwa rerata model pembelajaran STAD Kontekstual Power point = 69,86 lebih tinggi daripada rerata model pembelajaran STAD Power point = 60,19, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran STAD Kontekstual Power point lebih baik prestasi belajarnya dibandingkan dengan model pembelajaran STAD Power point. 2. Komparasi Rerata Antar Kolom Dari pembahasan di atas, tampak bahwa H0B ditolak, maka ini berarti terdapat pengaruh faktor gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika, karena variabel gaya kognitif hanya mempunyai dua nilai, maka komparasi ganda tidak perlu dilakukan, cukup melihat rerata marginalnya. Dari rerata marginalnya, yang menunjukkan bahwa rerata gaya kognitif FD = 65,27 lebih tinggi daripada gaya kognitif FI= 64,79, dapat

74

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

disimpulkan bahwa gaya kognitif FD lebih baik prestasi belajarnya dibandingkan dengan gaya kognitif FI. 3. Komparasi Rataan Antar Sel Pada Kolom Yang Sama Dari pembahasan di atas, tampak bahwa H0AB diterima. Hal ini berarti tidak terdapat hubungan antara model pembelajaran dengan gaya kognitif terhadap prestasi belajar matematika. Dalam penelitian ini, variabel gaya kognitif hanya mempunyai dua nilai (yaitu gaya kognitif FI dan FD), maka untuk antar kolom tidak perlu dilakukan komparasi pasca anava. Dari kenyataan bahwa tidak terdapat hubungan itu, dapat disimpulkan bahwa karakteristik perbedaan antara model pembelajaran STAD power point dan model pembelajaran STAD kontekstual power point untuk setiap tipe gaya kognitif sama, karena hubungan tidak ada, maka tidak perlu dilakukan uji lanjut antar sel pada kolom yang sama. Pembahasan Hasil Penelitian Hipotesis Pertama. Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh nilai uji F a = 14,50 dengan nilai Ftabel = 3,92. Hal ini berarti terdapat pengaruh yang signifikan faktor model pembelajaran pada prestasi belajar matematika. Berdasarkan rerata marginal nampak bahwa rerata prestasi belajar matematika siswa yang mendapatkan model tipe STAD Power point lebih rendah dari pada siswa yang mendapatkan model pembelajaran tipe STAD kontekstual Power point. Kedua model pembelajaran tersebut mempunyai nilai yang berbeda, yaitu model pembelajaran kooperatif tipe STAD Power point sebesar 60,19, sedangkan pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual Power point sebesar 69,86. Jadi dapat dikatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual Power point memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik dari pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD Power point. Hipotesis Kedua. Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh nilai uji Fb = 8,04 dengan nilai Ftabel = 3,92. Hal ini berarti terdapat pengaruh yang signifikan faktor gaya kognitif pada prestasi belajar matematika. Berdasarkan rerata marginal nampak bahwa rerata prestasi belajar matematika siswa yang memiliki gaya kognitif FI lebih rendah dari pada siswa yang memiliki gaya kognitif FD. Kedua gaya kognitif tersebut mempunyai nilai yang berbeda, yaitu gaya kognitif FI sebesar 64,79, sedangkan pada siswa yang memiliki gaya kognitif FD sebesar 65,27. Jadi dapat dikatakan bahwa gaya kognitif FD memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik dari pada gaya kognitif FI. Hipotesis Ketiga. Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh nilai uji F ab = 0,94 dengan nilai Ftabel = 3,07. Hal ini berarti tidak terdapat pengaruh yang signifikan faktor antara model pembelajaran dengan gaya kognitif pada prestasi belajar matematika.Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penerapan model pembelajaran dan gaya kognitif siswa terhadap prestasi belajar matematika, sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan model pembelajaran tipe STAD kontekstual Power point selalu lebih baik diterapkan pada setiap gaya kognitif jika dibandingkan dengan penerapan model pembelajaran STAD Power point. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan: 1) Siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual power point mempunyai prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD power point. 2) Siswa yang mempunyai gaya kognitif field dependent mempunyai prestasi belajar matematika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mempunyai gaya kognitif field independent.3) Tidak ada hubungan antara model pembelajaran dan gaya kognitif siswa, maka kesimpulan dari hipotesis ketiga mengikuti kesimpulan hipotesis pertama dan kedua yaitu pada kategori gaya kognitif field independent, model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual power point memberikan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD power point, sedangkan pada kategori gaya kognitif field dependent, model pembelajaran kooperatif tipe STAD power point

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

75

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

memberikan prestasi yang lebih baik dibandingkan dengan prestasi belajar siswa yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD kontekstual power point.

DAFTAR PUSTAKA Adesoji, F.A dan Ibraheem, T.A. 2009. Effects of Student Teams Achievement Divisions Strategy and Mathematics Knowledge on Learning Outcomes in Chemical Kinetics. The Journal of International Social Research. Vol. 2/6. Winter.Hal. 23. Diakses tanggal 15 Juni 2011. Altun, A dan Cakan, M. 2006. Undergraduated Students Academic Achievement,Field Dependent / Independent Cognitive Style and Attitude toward Computers. Journal of Educational Technology and Society.Vol. 9. No. 1. 289-297. Hal. 26,27. Diakses tanggal 15 Juni 2011. Balfakih, Nagib M.A.2003. The Effectiveness of Student Team-Achievement Division (STAD) for Teaching High School Chemistry in The United Arab Emirates.International Journal of Science Education. Vol. 25. No. 5. 605-624. Hal. 4. Diakses tanggal 15 Juni 2011. Blanchard. 2001. The Northwest Regional Education Laboratory USA. Bandung: University of Washington. Budiyono. 2009. Statistik Untuk Penelitian. Cetakan 3. UNS Press. Daryanto.1997. KamusBesarBahasa Indonesia. Jakarta: Apollo. Depdiknas.2001. PerkembanganIntelektualmenurut Piaget. Surabaya: CerdasPustaka. Dwi Titik Irdiyandi. 2010. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Model Kooperatif STAD DiModifikasikan dengan Kontekstual Pada Materi Lingkaran DiTinjau dari Tingkat Intelegensi Siswa Kelas VIII SMP Kota Surakarta Tahun Pelajaran 2009/ 2010.Tesis: UNS Surakarta. Hadari Nawawi. 2005. MetodePenelitianBidangsosial. Yogyakarta: GajahMada University Press. Hamzah Uno B. 2010. Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi Aksara. Husein Tampomas. 2008. Seribu Pena Matematika Jilid 1 Untuk SMA/ MA Kelas X. Jakarta :Erlangga. Ibnu Hadjar. 1999. Dasar- DasarMetodologiPenelitianKwantitatifdalamPendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada. Johanes Supranto. 2009. StatistikTeoridanAplikasi. Jakarta: Erlangga Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC. Johnson, Elaine B. 2009. Contextual Teaching and Learning. Bandung: MLC. Kurniawan. 2008. Mandiri Matematika Untuk SMP/ MTs Kelas VIII. Jakarta: Erlangga. Marwanta dkk. 2009. Matematika SMA Kelas X. Jakarta: Yudistira. Moh Nazir. 1985. MetodePenelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Muhibin Syah. 2009. Psikologi Belajar.Jakarta: Rajawali Pers. Paul Suparno. 2000. Teori Perkembangan kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: kanisius. R. Maclean, D. Wilson (eds.). 2009. The Implications of Cognitive Style to Adult Distance Education. Journal International Handbook of Education for the Changing World of Work. Vol. XV. No. 11. Springer Science+Business Media B.V. Hal. 31. Diakses tanggal 22 Mei 2011. Scott, Amstrong. 1998. Student Teams Achievement Divisions (STAD) in a Twelfth Grade Classroom : Effect On Student Achievement and Attitude, Journal of Social Studis Reseacrh. Vol. 29. No. 2. Spring. Hal. 20. Diakses tanggal 22 Mei 2011. Slavin.2005. Terjemahan Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Smith , P Bettye. 2006. Contextual Teaching and Learning Practices In The Family and Consumer Sciences Curriculum. Journal of Family and Consumer Sciences Education. Vol. 24. No. 1. Hal. 5. Spring/ Summer. Diakses tanggal 15 Juni 2011.

76

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Sudjana. 2005. MetodaStatistika. Bandung: Tarsito. Sugiyono. 2005. StatistikUntukPenelitian. Bandung: CV. Alfabeta. Sumargiyani. 2004. Pengaruh Pembelajaran Kontekstual Terhadap Prestasi Belajar Matematika DiTinjau dari Intelegensi Siswa SLTP Muhammadiyah II Yogyakarta. Tesis: UNS Surakarta. SoemardiSuryabrata. 2003. MetodologiPenelitian. Jakarta: Raja GrafindoPersada. Suharsimi Arikunto. 2005. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan (edisi revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Trianto. 2007. Model- model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Trianto.2008. MendesainPembelajaranKontekstual (Contextual Teaching and Learning). Jakarta: CerdasPustaka. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif- Progresif.Jakarta: Prenada Media.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

77

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

IMPLEMENTASI SUPERVISI KLINIS UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENYUSUN RPP DAN KEMAMPUAN MENGAJAR DALAM PENGAJARAN MIKRO MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FKIP UST
Esti Harini Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah : untuk meningkatkan kemampuan menyusun RPP dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro melalui supervisi klinis mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIPUST . Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan dua siklus. Kegiatan dalam setiap siklus sesuai dengan prosedur supervisi klinis yaitu meliputi: 1) Pertemuan perencanaan, 2) pengamatan mengajar, 3) pertemuan balikan, 4) Refleksi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif univariat . Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatkan kemampuan menyusun RPP hal ini ditunjukkan dari perolehan nilai rata-rata pra tindakan 63,25 dalam kategori sedang; siklus I 73,52 dalam kategori baik dan siklus II 80,88 dalam kategori sangat baik. Kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro juga menunjukkan adanya peningkatan dengan diperoleh nilai rata-rata untuk pra tindakan 63 dalam kategori sedang; siklus I 67 dalam kategori baik dan siklus II 78 dalam kategori baik.

Kata kunci: Supervisi Klinis, Rencana Pelaksanaan pembelajaran, Kemampuan Mengajar PENDAHULUAN Mata kuliah PPL I atau pengajaran mikro adalah mata kuliah kelompok kependidikan ( MKPK ) yang bertujuan melatih mahasiswa mengajar di dalam kelas dengan siswa temantemannya sendiri ( mahasiswa ), dengan materi matematika SLTA atau SLTP. Pengajaran mikro ini sebagai prasarat untuk menempuh PPL II, yaitu praktik pengalaman lapangan, yang langsung terjun mengajar di sekolah-sekolah tempat praktik dalam rangka penyiapan guru yang profesional. Profil guru yang profesional antara lain adalah menguasai materi pengajaran; mampu menyiapkan RPP yang inovatif; mampu mengelola program belajar mengajar; mampu mengelola kelas; mampu menggunakan media atau sumber; menguasai landasan-landasan kependidikan; mampu mengelola interaksi belajar mengajar; mampu melakukan evaluasi atau menilai prestasi siswa; mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan; mengenal dan menyelanggarakan administrasi sekolah; dan memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guru keperluan pengajaran. Selanjutnya dari kompetensi tersebut, disempurnakan menjadi empat kompetensi yaitu, kepribadian , professional, kependidikan, dan social. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) merupakan implementasi dari program pembelajaran yang tertuang di dalam silabus, Oleh karena itu guru haruslah mempersiapkan RPP sebelum kegiatan pembelajaran dimulai, karena RPP merupakan pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di kelas, laboratorium, atau lapangan. Disamping itu kegiatan Pembelajaran dalam Pendidikan adalah kegiatan yang bersifat terencana dan sistematik, oleh karena itu perencanaannya seharusnya dipersiapkan terlebih dahulu dan disusun secara lengkap dan operasional, sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda. Pada umumnya dalam Penyusunan RPP calon guru cenderung kering akan inovasi. Mengapa? diduga dalam melakukan penyusunan RPP calon guru tidak melakukan penghayatan terhadap jiwa calon profesi pendidik, dan kegiatan pembelajaran berlangsung dengan tidak mengacu pada RPP yang sudah disusun. Keadaan ini dapat dipahami karena, calon guru belum terbiasa mengajar dan penyiapan RPP cenderung bersifat formalitas, bukan menjadi komponen utama sebagai acuan kegiatan pelaksanaan pembelajaran.

78

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan professional guru/calon guru, khususnya dalam penyiapan rencana pelaksanaan pembelajaran ( RPP) maupun dalam penampilan mengajar berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar tersebut (http://www.scribd.com/doc/23862850/supervise-klinik) Berdasarkan uraian di atas, maka pelaksanaan supervisi klinis diharapkan dapat meningkatkan kemampuan menyusun RPP dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIPUST. METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta.Waktu pelaksanaan adalah pada semester genap tahun akademik 2010/2011. Metode penelitian adalah metode eksperimen semu. Subyek penelitian mahasiswa program studi pendidikan matematika yang pada semester genap 2010/2011 mengambil Praktek Pengalaman Lapangan I (PPL I), dan Obyeknya kemampuan menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ( RPP ) dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro dengan treatmen supervisi klinis. Teknik pengumpulan data dengan teknik observasi untuk mengumpulkan data tentang kemampuan mengajar. Observasi merupakan proses perekaman dengan mengamati semua peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama penelitian tindakan kelas berlangsung. Teknik dokumentasi digunakan untuk mengambil data tentang kemampuan menyusun RPP mahasiswa saat akan melakukan praktek mengajar. Rancangan Penelitian : Dalam penelitian ini terdapat siklus-siklus dan banyaknya siklus tergantung dari tercapainya indikator kaberhasilan. Jika indikator keberhasilan sudah dicapai dengan dua siklus, maka penelitian akan berhenti pada siklus tersebut. Namun jika indikator keberhasilan belum tercapai pada siklus tersebut maka penelitian dilanjutkan dengan siklus berikutnya. Demikian seterusnya sampai indikator keberhasilan dicapai. Secara rinci langkahlangkah dalam setiap siklus sebagai berikut: a. Siklus I Peneliti merancang tindakan/prosedur supervisi klinis yang akan dilaksanakan dalam penelitian , antara lain: 1) Pertemuan pendahuluan ( perencanaan )\ kegiatan yang dilakukan meliputi: 1. Usaha mennciptakan suasana yang hangat dan bebas antara calon guru dengan supervisor, 2. Telaah dan diskusikan ketrampilan yang akan dilatih, 3. Telaah rencana pelajaran dan cermati tujuan pelajaran dan tujuan dari latihannya, mendiskusikan instrumen yang akan digunakan 2) Pengamatan mengajar meliputi pengamatan yang dilakukan supervisor dengan cara merekam focus kegiatan maupun interaksi yang terjadi baik antara siswa dengan guru maupun antara siswa dengan siswa, dengan menggunakan instrumen yang telah disepakati 3) Pertemuan balikan , Kegiatan yang dilakukan meliputi: a) Supervisor menanyakan kepada calon guru bagaiman peranannya selama melakukan latihan mengajar. Bersama-sama melihat kembali target kecakapan atau ketrampilan serta focus utama dalam latihan yang telah disepakati. Berdasarkan target tsb supervisor menyakan kesan calon guru b) Supervisor menyajikan data berupa hasil rekaman kemudian bersama-sama menganalisis dan menafsirkan rekaman tsb. Berdasarkan hasil kajian , supervisor kembali menanyakan , perasaan atau kesan calon guru. Supervisor bersama calon guru membandingkan target latihan dengan hasil latihan dan mendiskusikannya. Berdasarkan hasil kajian bersama atau hasil latihan tsb, supervisor membantu calon guru untuk merencanakan latihan yang akan datang.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

79

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

4) Refleksi Pada tahap ini peneliti melakukan pengolahan data, validasi data, memutuskan tindakan yang akan dilakukan pada siklus selanjutnya. Siklus selanjutnya merupakan perbaikan pada siklus sebelumnya. Tahapan pelaksanaan pada siklus selanjutnya sama dengan siklus sebelumnya. Teknik Analisis Data: Untuk menganalisis kemampuan menyusun RPP dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP UST, digunakan statistik deskriptif univariat yaitu dengan menggunakan rumus penilaian dan patokan yang telah ditetapkan, Adapun rumus dan kriteria yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut: Rumus untuk menganalisis kemampuan menyusun RPP sebagai berikut : Nilai = (Jumlah Skor)/68 x 100 Rumus untuk menganalisis kemampuanmengajar sebagai berikut : Nilai = (Jumlah Skor)/100 x 100 Dengan kriteria sebagai berikut : 80,0 ke atas : Sangat Baik 67,0 79,9 : Baik 57,0 66,9 : Sedang 47,0 56,9 : Kurang Kurang 45,9 : Belum Menguasai Instrumen Penelitian Instrumen dalam penelitian ini adalah, berupa lembar penilaian penyusunan RPP ,yang terdiri dari lima indikator yaitu :1. Perumusan tujuan pembelajaran, 2. Pemilihan dan pengorganisasian materi ajar, 3. Pemilihan sumber belajar / media pembelajaran, 4. Pemilhan metode pembelajaran, 5. Kesesuaian teknik penilaian dengan tujuan pembelajaran, dan lembar penilaian keterlaksanaan pembelajaran terdiri dari : 1. Kegiatan pra pembelajaran, 2. Kegiatan inti pembelajaran yang terdiri dari 6 indikator yaitu : a. penguasaan materi pembelajaran, b. pendekatan /strategi pembelajaran, c. pemanfaatan sumber belajar/media pembelajaran, d. pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa, e. penilaian proses dan hasil belajar, f. Penggunaan bahasa. Dan kegiatan penutup pembelajaran. Kerangka Berfikir Supervisi klinis memfokuskan pada perbaikan pembelajaran melalui siklus yang sistematis mulai dari tahap perencanaan, pengamatan dan analisis yang intensif terhadap rencana pelaksanaan pembelajaran maupun penampilan pembelajarannya dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran. Disamping itu Supervisi klinis memiliki karakteristik sebagai berikut: Perbaikan dalam pembelajaran mengharuskan guru/calon mempelajari keterampilan intelektual dan bertingkah laku berdasarkan keterampilan tersebut. Sedang fungsi utama supervisor adalah menginformasikan beberapa keterampilan, seperti: (1) keterampilan menganalisis proses pembelajaran berdasarkan hasil pengamatan, (2) keterampilan mengembangkan kurikulum, terutama bahan pembelajaran, (3) keterampilan dalam proses pembelajaran dan. (4). ketrampilan menyusun RPP yang inovatif Supervisi Klinis menuntut guru/calon guru untuk selalu memperbaiki proses pembelajaran , dari tahap perencanaan yaitu penyiapan rencana pelaksanaan pembelaran sampai dengan proses pembelajarannya, Dan calon guru akan selalu dapat mereview penampilan mengajar sebelumnya dan menganalisa kekurangan kekurangannya, untuk perbaikan penampilan mengajar berikutnya. Dengan demikian , dapat diharapkan dengan supervisi klinis kemampuan menyusun RPP dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP UST dapat ditingkatkan Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah dengan supervisi klinis, kemampuan menyusun RPP dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP UST dapat ditingkatkan.

80

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dilakukan, peneliti melakukan evaluasi terhadap RPP yang para mahasiswa susun sebagai kemampuan awal. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan menyusun RPP adalah sedang dengan nilai rata-rata 63,25. Pada saat penampilan pertama para mahasiswa mengajar peneliti mengobservasi dengan pengamatan untuk mengetahui kemampuan awal mengajar para mahasiswa. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan mengajar para mahasiswa adalah sedang, dengan nilai ratarata 63. Dan hasil ini hampir merata untuk semua aspek. Setelah dilakukan tindakan diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Kemampuan Menyusun RPP Secara keseluruhan hasil evaluasi RPP para mahasiswa menunjukkan adanya peningkatan kemampuan menyusun RPP. Hasil evaluasi secara keseluruhan kemampuan menyusun RPP diperoleh nilai 73,52 dalam kategori baik pada siklus I, dan 80,88 dalam kategori sangat baik pada siklus II. Hasil secara keseluruhan untuk setiap aspeknya sebagai berikut: Tabel 1. Kemampuan Menyusun RPP Pada Siklus I Aspek Yang Diamati Perumusan tujuan pembelajaran Pemilihan dan pengorganisasian materi ajar Pemilihan sumber belajar/media pembelajaran Metode pembelajaran Kesesuaian teknik penilaian dengan tujuan Pembelajaran Nilai 83,33 68,75 75 80 75 Kategori Sangat baik Sedang Baik Sangat Baik Baik

Tabel 2. Kemampuan Menyusun RPP Pada Siklus II Aspek Yang Diamati Perumusan tujuan pembelajaran Pemilihan dan pengorganisasian materi ajar Pemilihan sumber belajar/media pembelajaran Metode pembelajaran Kesesuaian teknik penilaian dengan tujuan pembelajaran Nilai 83,33 75 83,33 75 87,5 Kategori Sangat baik Baik Sangat baik Baik Sangat baik

2. Kemampuan Mengajar Mahasiswa dalam Pengajaran Mikro Secara keseluruhan dari hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan mengajar mahasiswa dalam pengajaran mikro, dengan diperoleh hasil sebagai berikut: siklus I diperoleh nilai rata-rata 67 berada dalam kategori baik, dan pada siklus II diperoleh nilai rata-rata 78 berada dalam kategori baik. Hasil selengkapnya untuk setiap aspeknya sebagai berikut: Tabel 3. Kemampuan Mengajar Pada Siklus I
Aspek Yang Diamati Kegiatan pra pembelajaran Kegiatan inti pembelajaran terdiri dari 6 indikator yaitu : a. Penguasaan materi pembelajaran, b. Pendekatan /strategi pembelajaran, c. Pemanfaatan sumber belajar/media pembelajaran, d. Pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa, e. Penilaian proses dan hasil belajar f. Penggunaan bahasa Penutup pembelajaran Nilai 75 Kategori Baik

50 50 75 83,33 87,5 66,67 87,5

Kurang Kurang Baik Sangat baik Sangat baik Sedang Sangat baik

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

81

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Tabel 4. Kemampuan Mengajar Pada Siklus II


Aspek Yang Diamati Kegiatan pra pembelajaran Kegiatan inti pembelajaran yang terdiri dari 6 indikator yaitu : a.Penguasaan materi pembelajaran b.Pendekatan/strategipembelajaran, c.Pemanfaatansumberbelajar/media pembelajaran, d.Pembelajaran yang memicu dan memelihara keterlibatan siswa, e.Penilaian proses dan hasil belajar f.Penggunaan bahasa Penutup pembelajaran Nilai 87,5 Kategori Sangat baik

62,5 66,67 83,33 91,67 87,5 83,33 87,5

Sedang Sedang Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik Sangat baik

3. Pembahasan a. Kemampuan Menyusun RPP Berdasar hasil penelitian bahwa ada peningkatan kemampuan menyusun RPP, yaitu pra siklus diperoleh nilai rata-rata 63,25 dalam kategori sedang ; siklus I diperoleh nilai rata-rata 73,52 dalam kategori baik dan siklus II diperoleh nilai rata-rata 80,88 dalam kategori sangat baik. Meskipun secara keseluruhan sudah dalam kategori baik, tapi ada beberapa mahasiswa yang didalam menyusun RPP masih kering dan kurang inovatif oleh karena itu masih perlu untuk ditingkatkan lagi khususnya dalam aspek pemilihan dan pengorganisasian materi ajar dan pemilihan metode pembelajaran. b. Kemampuan mengajar pada pengajaran Mikro Berdasar hasil penelitian bahwa ada peningkatan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro mahasiswa FKIP UST, yaitu pra siklus diperoleh nilai ratarata 63 dalam kategori sedang ; siklus I diperoleh nilai rata-rata 67 dalam kategori baik dan siklus II diperoleh nilai rata-rata 78 dalam kategori baik. Meskipun secara keseluruhan sudah dalam kategori baik, tapi para mahasiswa masih harus banyak berlatih dan belajar, khususnya penguasaan materi matematika. Untuk penguasaan materi masih dalam kategori sedang, hal ini akan mengakibatkan kurang lancarnya didalam proses pembelajaran. Juga pemilihan strategi pembelajaran perlu untuk pemilihan yang tepat. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Supervisi klinis adalah suatu proses bimbingan yang bertujuan untuk membantu pengembangan professional guru/calon guru, khususnya dalam penyiapan rencana pelaksanaan pembelajaran ( RPP) maupun dalam penampilan mengajar berdasarkan observasi dan analisis data secara teliti dan obyektif sebagai pegangan untuk perubahan tingkah laku mengajar berikutnya. Prosedur supervisi klinis meliputi : pertemuan pendahulun , pengamatan mengajar dan pertemuan balikan Ada peningkatan kemampuan menyusun RPP dan kemampuan mengajar dalam pengajaran mikro melalui supervisi klinis mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP UST. Saran Dari hasil penelitian disarankan agar mahasiswa masih harus banyak belajar materi matematika khususnya konsep-konsep dasar matematika, dan pemahaman tentang strategi pembelajaran perlu ditingkatkan lagi.

82

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

DAFTAR PUSTAKA Agus Taufiq. 2007. Supervisi Bimbingan dan Konseling (Bahan Pelatihan BK di Cikole). Bandung edy010169.files.wordpress.com/2008/.../panduan_penyusunan_rpp.doc di download tanggal 14 April 2009 Glickman, C.D. 1985. Supervision of Intruction. Boston: Allyn and Bacon Inc. Hasibuan dan Moedjiono. 1986. Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Karya. http://ahmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/01/supervisi-klinis/ diakses Februari 2011 http://www.scribd.com/doc/23862850/supervise-klinik diakses Februari 2011 Iim Waliman, dkk. 2001. Supervisi Klinis (Modul Manajemen Berbasis Sekolah). Bandung : Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat Makmun Abin Syamsudin.2001. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Kosta Karya. Muhamad Joko Susilo. 2007. KTSP Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nana Sudjana. 1988. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Nurtain. 1989. Supervisi Pengajaran ( Teori dan Praktek ). Jakarta: Depdikbud. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005.Tentang Standar Nasional Pendidikan Rostijah,1982. Masalah-masalah ilmu keguruan. Jakarta: Bina Aksara. Suharsimi Arikunto. 1983. Kesiapan Lulusan SPG dalam Mengajarkan Matematika dan IPA di SD: Disertasi. Sahertian, P.A. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

83

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIS SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA PERMUTASI KOMBINASI MELALUI PEMBELAJARAN OPEN ENDED DI RINTISAN SMA BERTARAF INTERNASIONAL (RSMABI) Ira Kurniawati
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNS

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi permutasi dan kombinasi dengan kegiatan kreatif dan interaktif membangun melalui penerapan pembelajaran open-ended sebagai perbaikan kualitas pembelajaran di Rintisan SMA Bertaraf Internasional (RSMABI). Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2011 /2012, yang terdiri dari 37 siswa. Penelitian dilaksanakan dengan Pendekatan Tindakan Kelas ( Classroom Action Research ) yang terbagi dalam 3 siklus, dan proses pembelajaran berlangsung pada akhir bulan September sampai awal bulan November 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menerapkan pembelajaran open-ended, siswa dapat menyelesaikan soal cerita pada Permutasi dan Kombinasi dengan baik dan benar, yang ditunjukkan dengan perolehan nilai tes akhir siklus III sebagai berikut : 94,59% siswa mendapat nilai di atas KKM (75) dan hanya 5,41 % siswa yang memperoleh nilai di bawah KKM, dengan prosentase keaktifan 90% aktif dan hanya 10% kurang aktif. Sementara itu dilihat dari kemampuan berpikir matematis siswa didapat 89,19% siswa berada pada tahap relational, dan sisanya 10,81% berada pada tahap multistructural. Sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan pembelajaran opend-ended di kelas dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan soal cerita dan kemampuan berpikir matematis siswa pada materi Permutasi dan Kombinasi di RSMABI. Kata kunci : pembelajaran open-ended, penilaian autentik, keaktifan siswa, kemampuan berpikir matematis.

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Materi pelajaran Matematika SMA kelas XI IPA Semester I, memuat materi pokok peluang. Pada materi pokok tersebut memuat tentang permutasi dan kombinasi. Inti masalah pada materi tersebut adalah bagaimana siswa menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan permutasi dan kombinasi. Berdasarkan pengalaman peneliti, kenyataan menunjukkan bahwa masih banyak siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita tentang penerapan permutasi dan kombinasi. Mereka belum bisa membedakan apakah suatu soal termasuk masalah permutasi atau kombinasi. Dari hasil ulangan 205 siswa kelas XI IPA RSBI SMA Negeri 1 Sukoharjo tahun pelajaran 2010/2011, pada materi permutasi dan kombinasi diperoleh data nilai sebagai berikut : 15 siswa mendapat nilai 90 (7,3%), 25 siswa mendapat nilai antara 80 89 (12,2%), 30 siswa mendapat nilai antara 70 79 (14,6%), 60 siswa mendapat nilai antara 60 69 (29,3%), dan selebihnya mendapat nilai kurang dari 60 (36,6%). Jika batas nilai KKM untuk Kompetensi Dasar Permutasi dan Kombinasi adalah 70, maka dari data tersebut tampak bahwa hanya 34,1% siswa yang mencapai nilai KKM dan 65,9% siswa belum mencapai KKM. Hal ini dimungkinkan karena penyajian materi yang masih cenderung standar dan kurang inovatif dalam menyelesaikan soal-soal pada materi permutasi dan kombinasi. Sebagai gambaran jika diberikan soal cerita berikut: Empat pasang suami istri membeli tiket untuk suatu pertunjukan. Mereka ingin mengambil nomor duduk secara berjajar. Jika mereka harus duduk dengan aturan dua orang akan berdekatan hanya jika

84

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

keduanya adalah pasangan suami istri atau berjenis kelamin sama , ada berapa banyak susunan tempat duduk yang mungkin dibentuk? Masalah tersebut merupakan masalah terbuka, artinya cara pemecahan masalah tersebut dapat dipecahkan melalui berbagai cara. Siswa diberikan kebebasan dalam menemukan ide dalam menyelesaikannya, sehingga kegiatan kreatif dan pola pikir siswa dapat berkembang dengan maksimal. Untuk menyelesaikan soal-soal cerita seperti itu biasanya siswa kurang bersemangat dan tidak mau berusaha keras untuk memahami soal itu, padahal memahami masalah merupakan langkah awal dalam memecahkan masalah tersebut. Selanjutnya siswa akan dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar, jika siswa telah dapat membedakan masalah tersebut tergolong masalah permutasi atau kombinasi. Jika siswa salah dalam menggolongkan masalah yang ada, maka langkah penyelesaiannya dipastikan akan salah. Untuk permasalahan soal cerita di atas sebagian besar siswa salah dalam menyelesaikannya, sebagian siswa ada yang menyelesaikannya dengan menggunakan rumus akhir permutasi 4 unsur dari 4 unsur yaitu P(4,4), sebagian lagi menyelesaikannya dengan rumus P(4,4) x P(4,4), sebagian lagi menyelesaikannya dengan rumus 8! dan sebagian lagi menyelesaikannya dengan rumus 2.P(4,4). Kesalahan-kesalahan di atas terjadi di antaranya karena : siswa tidak memahami masalah dengan benar, siswa tidak bisa mengklasifikasikan masalah dengan tepat, siswa tidak bisa mengkombinasikan beberapa kejadian yang muncul, dan juga karena siswa tidak bisa mengaitkan beberapa konsep secara simultan dalam memecahkan masalah tersebut. Soal cerita permutasi dan kombinasi bersifat terbuka. Siswa seringkali salah dalam mengerjakannya karena salah dalam menafsirkan soal. Oleh karena itu, perlu adanya suatu pembelajaran yang tepat yaitu pembelajaran terbuka yang memberikan kesempatan dan kebebasan bagi siswa untuk menggunakan caranya masing-masing dalam menyelesaikan soal tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan suatu pendekatan atau strategi pembelajaran yang akan memberikan kesempatan siswa menemukan idenya untuk memecahkan masalah dengan benar. Dalam pembelajaran matematika tugas seorang guru sebagai pendidik adalah menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang dapat membangkitkan semangat belajar siswa, sehingga siswa mencintai matematika. Penekanan pembelajaran matematika di sekolah harus relevan dengan kehidupan sehari-hari, agar pelajaran matematika yang diperoleh akan terasa manfaatnya. Dengan demikian siswa dapat mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini akan berdampak positif dalam menciptakan sumber daya manusia yang bermutu. Sehubungan dengan pentingnya peranan matematika, maka sudah seharusnya proses pembelajaran matematika ditangani lebih serius. Pendidik perlu mempersiapkan suatu model, pendekatan atau pun strategi pembelajaran yang terprogram agar peserta didik memperoleh pengalaman belajar yang baik. Untuk dapat memecahkan masalah di atas, diharapkan guru sebagai pendidik berusaha untuk dapat memilih model, pendekatan atau pun strategi pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar dan keaktifan siswa, serta pendidik harus berusaha menanamkan kepada siswa bahwa pelajaran matematika dapat meningkatkan penalaran, membentuk kepribadian serta dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai siswa pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), tentu memiliki karakteristik yang berbeda dengan siswa pada sekolah-sekolah biasa. Untuk itu pendidik pada Rintisan Sekolah Bertaraf Internasinal (RSBI) perlu mengembangkan pembelajaran yang memberikan ruang bagi siswa untuk dapat lebih mengembangkan ide-idenya sehingga kemampuan berpikir matematis siswa dapat berkembang secara maksimal. Jadi untuk dapat mengajar lebih efektif dan membuat anak didik merasa senang dan tidak bosan dalam belajar, pendidik harus selalu berusaha untuk memvariasikan model, pendekatan atau pun strategi dalam proses pembelajaran sehingga dapat membangkitkan motivasi belajar siswa. Pembelajaran open-ended adalah salah satu alternatif pembelajaran matematika dalam rangka mengoptimalkan kemampuan berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita materi Permutasi dan Kombinasi melalui kegiatan aktif, kreatif dan kemampuan berpikir yang sistematis serta terorganisir. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya pendekatan Open-ended bertujuan untuk mengangkat kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

85

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Jawaban akhir bukanlah tujuan utama dalam pembelajaran open-ended, tetapi lebih menekankan pada bagaimana sampai pada suatu jawaban, sehingga pembelajaran open-ended memberikan kebebasan dalam menggunakan strategi dan cara dalam memecahkan suatu masalah. Pembelajaran ini memberikan kebebasan pada siswa untuk mengekspresikan ideidenya sehingga kegiatan kreatif dan kemampuan berpikir siswa dapat berkembang dengan maksimal. Jika kemampuan berpikir matematis siswa dapat maksimal maka kemampuan siswa dalam memecahkan masalah akan meningkat sehingga prestasi belajar matematika siswa pun dapat meningkat pula. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah Apakah penerapan pembelajaran open-ended dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi permutasi dan kombinasi di RSMABI? Tujuan Penelitian Sejalan dengan itu, tujuan umum penelitian adalah untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi lembaga pendidikan pada sekolah RSMA BI pada umumnya dan bagi guru matematika RSMABI pada khususnya, dalam hal alternatif model atau pendekatan pembelajaran yang dapat memecahkan masalah pembelajaran matematika dan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika juga sebagai salah satu acuan bagi dosen-dosen pengampu kelas SBI LPTK dalam rangka pengembangan program PGSMABI, khususnya dalam penerapan inovasi pembelajaran untuk memecahkan masalah pembelajaran matematika dan system pengelolaan program guna pengembangan institusi dan perbaikan kualitas lulusan. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi permutasi dan kombinasi dengan kegiatan kreatif dan interaktif membangun melalui penerapan pembelajaran open-ended sebagai perbaikan kualitas pembelajaran di SMA Negeri 1 Sukoharjo sebagai RSMABI. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Meningkatkan pemahaman siswa kelas XI IPA SMA RSBI dalam menyelesaikan soal cerita tentang permutasi dan kombinasi, sehingga pembelajaran matematika lebih bermakna karena lebih menekankan pada proses belajarnya. 2. Sebagai masukan bagi pengelola pendidikan untuk menerapkan pembelajaran openended sebagai alternatif pembelajaran matematika dalam rangka meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa dan perbaikan kualitas pembelajaran pada materi permutasi dan kombinasi. 3. Sebagai salah satu acuan bagi dosen-dosen pengampu kelas SBI LPTK dalam rangka pengembangan program PGSMABI, khususnya dalam penerapan inovasi pembelajaran untuk memecahkan masalah pembelajaran matematika dan system pengelolaan program guna pengembangan institusi dan perbaikan kualitas lulusan. METODE PENELITIAN Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian dilakukan di RSMABI Negeri 1 Sukoharjo pada siswa kelas XI IPA 3 semester 1 tahun pelajaran 2011/2012, yang terdiri dari 37 siswa. Materi pembelajaran sebagai fokus dalam penelitian ini adalah Permutasi dan Kombinasi yang terbagi atas beberapa sub-materi, yaitu : kaidah pencacahan dan kaidah perkalian, permutasi, dan kombinasi. Pendekatan dan Prosedur Penelitian Seperti telah disebutkan di muka, peningkatan kualitas pembelajaran pada materi materi permutasi dan kombinas dilakukan dengan pendekatan pembelajaran open-ended melalui penelitian tindakan kelas (classroom action research ). Oleh karena itu, pembelajaran materi tersebut dirancang dengan menggunakan prinsip-prinsip pembelajaran open-ended dan pelaksanaan penelitiannya mengacu kepada prinsip-prinsip tindakan kelas, dimana masing-

86

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

masing siklus terdiri dari 4 tahapan, yaitu : (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, (4) analisis dan refleksi untuk perencanaan pada siklus berikutnya. Dalam penelitian ini terdiri dari 3 siklus, dengan rincian sebagai berikut : (1) Siklus I menggunakan modul I tentang kaidah pencacahan dan kaidah perkalian, (2) Siklus II menggunakan modul II tentang permutasi, dan (3) Siklus III menggunakan modul III tentang kombinasi. Teknik Pengumpulan Data Untuk mencatat kejadian selama proses pembelajaran berlangsung digunakan lembar pengamatan. Lembar pengamatan ini diisi oleh pengamat. Sedangkan untuk menilai pemahaman dan prestasi belajar matematika siswa pada materi permutasi dan kombinasi digunakan tugas dan kuis pada tiap akhir siklus. Tugas berisi soal-soal yang harus dikerjakan oleh siswa secara individual di luar jam pembelajaran. Sedangkan kuis dikerjakan di kelas secara individual. Setiap tugas dan kuis pada akhir pembelajaran digunakan nilai dengan skala 100. Dan untuk menentukan prosentase ketuntasan belajar siswa pada materi permutasi dan kombinasi ditandai dengan nilai tugas dan kuis pada tiap siklus sebesar 75 ke atas. Mengingat materi pembelajaran dalam penelitian ini hanya satu materi pokok saja, maka peningkatan prestasi belajar matematika siswa dapat dilihat dari rangkaian kemajuan nilai yang diperoleh siswa, baik pada tugas maupun kuis pada tiap akhir siklus. Teknik Analisis Data Sesuai dengan langkah penelitian tindakan kelas, pada tahapan analisis dan refleksi, data yang telah dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan simpulan apakah pada siklus yang bersangkutan proses pembelajaran telah berlangsung baik dan apakah pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran telah baik pula. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Teknik Penyimpulan Pada akhir penelitian, yaitu pada akhir siklus ketiga, disimpulkan apakah proses pembelajaran telah berlangsung dengan baik, apakah pemahaman siswa dan kemampuan berpikir matematis siswa terhadap materi pembelajaran materi permutasi dan kombinasi khususnya dalam menyelesaikan soal cerita telah baik pula dan meningkat. Penyimpulan dilakukan dengan melihat data-data yang ada dengan kriteria yang telah ditetapkan. Penyimpulan juga dilakukan secara kualitatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan pengamatan dari siklus ke siklus dalam penelitian ini, ternyata dengan diterapkannya pembelajaran open-ended, kualitas pembelajaran berjalan semakin baik. Hal ini ditandai antara lain pada waktu proses pembelajaran berlangsung tercipta komunikasi multi arah antara guru dan siswa, antusias siswa dalam mengikuti pelajaran sangatlah tinggi. Proses interaksi multi arah ini baru dapat dilakukan pada siklus III. Secara umum, indikator tercapainya upaya peningkatan kemampuan berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi permutasi dan kombinasi dengan pembelajaran open-ended antara lain : (1) 94,59% dari jumlah siswa kelas tersebut telah mencapai KKM, (2) keaktifan siswa mencapai 90%, (3) 89,19% siswa berada pada tahap kemampuan berpikir matematis relational. Pada akhirnya, peningkatan prestasi belajar matematika dapat dilihat dari nilai-nilai siswa pada tiap kuis pada akhir proses pembelajaran, seperti terlihat pada tabel 1 berikut ini. Tabel 1.
Klasifikasi Nilai 100 90 - 99 80 - 89

Klasifikasi Nilai Kuis Materi Permutasi dan Kombinasi


Kuis Siklus 1 Kuis Siklus 2 Frekuensi 3 17 9 % 8,11 45,94 24,32 Kuis Siklus 3 Frekuensi 6 18 8 % 16,22 48,65 21,62

Frekuensi 0 0 16

% 0 0 43,24

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

87

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

70 - 79 60 - 69 < 60 Jumlah

16 4 1 37

43,24 10,81 2,71 100

4 3 1 37

10,81 8,11 2,71 100

3 2 0 37

8,11 5,40 0 100

Dari hasil tes siklus III pada akhir siklus III, dapat dilihat bahwa tingkat kemampuan siswa pada akhir siklus III telah mencapai indikator keberhasilan tindakan yang diharapkan oleh peneliti dan telah mengalami peningkatan. Dengan memperhatikan kenyataan bahwa proses pembelajaran telah berlangsung baik dan dipandang dari sisi prestasi belajar matematika pada materi yang memuat materi modul I sampai modul III, maka hipotesis tindakan yang mengatakan bahwa dengan melaksanakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan openended dalam menyelesaikan soal cerita permutasi dan kombinasi, maka kualitas pembelajaran dan kemampuan berpikir matematis akan meningkat dapat diterima. Selain daripada itu berdasarkan observasi dari tim pengamat, motivasi dan minat siswa dalam mempelajari permutasi dan kombinasi cukup tinggi. Hal ini nampak pada waktu pembelajaran berlangsung, apabila disuruh mengerjakan soal oleh guru, semua siswa berusaha menyelesaikan dan beberapa siswa mengerjakannya di depan kelas dengan cara yang berbeda. Setiap ada tugas pada akhir modul, semua siswa mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan masing-masing siswa mengerjakan sendiri dengan seksama, meskipun terkadang disertai dengan diskusi kecil di antara para siswa tanpa menimbulkan suasana yang gaduh di kelas. Pembahasan Berdasarkan analisis dari tes akhir siklus pada setiap akhir siklus yaitu dari adanya tes akhir siklus I, tes akhir siklus II, dan tes akhir siklus III, ketercapaian Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Rangkuman Ketercapaian Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) Ketercapaian KKM KKM < KKM Siklus I 59,46% 40,54% Prosentase Siklus II 78,38% 21,62% Siklus III 94,59% 5,41%

Adapun peningkatan ketercapaian Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) dalam materi permutasi dan kombinasi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00% Siklus I Siklus II Siklus III

>=KKM <KKM

Gambar 1 Perkembangan Ketercapaian KKM Sementara itu keaktifan siswa selama pembelajaran dari siklus ke siklus juga meningkat, rangkuman keaktifan siswa dari siklus ke siklus dapat disajikan dengan tabel sebagai berikut.

88

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Tabel 3. Rangkuman Keaktifan Siswa Keaktifan Aktif Kurang Aktif Tidak Aktif Siklus I 65% 30% 5% Prosentase Siklus II 80% 17% 3% Siklus III 90% 10% 0%

Jika dilihat secara keseluruhan, keaktifan siswa mengalami kenaikan secara signifikan. Adapun peningkatan keaktifan siswa dalam materi permutasi dan kombinasi dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2 Peningkatan Keaktifan Siswa Kemampuan berpikir matematis siswa dalam materi permutasi dan kombinasi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Rangkuman Perkembangan Kemampuan Berpikir Matematis Siswa Kemampuan Berpikir Matematis Prestructural Unistructural Multistructural Relational Extended Abstract Siklus I 0% 10,81% 29,73% 59,46% 0% Prosentase Siklus II 0% 5,40% 16,22% 78,38% 0% Siklus III 0% 0% 10,81% 89,19% 0%

Adapun perkembangan kemampuan berpikir matematis siswa dapat disajikan dengan diagram sebagai berikut.

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

89

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

Gambar 3 Perkembangan Kemampuan Berpikir Matematis Siswa Taksonomi SOLO (Structure of the Observed Learning Outcomes Taxonomy) dikembangkan oleh Biggs dan Colis (1982). Berdasarkan Taksonomi SOLO kemampuan berpikir matematis siswa di kategorikan sebagai berikut : a. Pre Structural Pada tingkat ini, siswa tidak mengerti penjelasan dari suatu informasi. Pada level ini, siswa kehilangan inti dari informasi yang diperoleh. b. Uni Structural Pada tingkat ini siswa telah mampu membuat hubungan sederhana, tetapi belum mampu membuat hubungan yang luas. Pada tingkat ini siswa telah mampu mengidentifikasi, mengingat, serta melakukan prosedur sederhana. c. Multi Structural Pada tingkat ini, siswa dapat mengerti komponen secara umum, tetapi pemahaman terhadap masingmasing komponen terbatas. Sejumlah hubungan telah dibuat, tetapi hubungan yang menyeluruh belum ditentukan. Ide dan konsep tentang sebuah permasalahan belum diorganisasikan dan tidak ada hubungan satu sama lain. Pada tingkat ini, siswa telah mampu menyebutkan, mengklasifikasikan, mengurutkan, mengkombinasikan dan melakukan algoritma. d. Relational Pada tingkat ini siswa dapat menentukan hubungan antara tiap komponen, fakta dan teori, kegiatan dan tujuan. Siswa menunjukkan pemahaman komponen yang masingmasing bagiannya terintegrasi. Siswa menunjukkan pemahaman bahwa tiap bagian memiliki kontribusi terhadap keseluruhan. Siswa dapat menerapkan konsep ke persoalan seharihari atau situasi kerja. Pada tingkat ini siswa dapat membandingkan, menjelaskan sebab, mengintegrasi, melakukan analisis, menjelaskan hubungan dan menerapkan. e. Extended Abstract Pada tingkat ini siswa mampu memiliki pemahaman yang lebih luas dari apa yang sudah diperoleh dalam pembelajaran. Pemahaman di transfer dan digeneralisasikan dalam masalah yang berbeda. Pada tingkat ini, siswa mampu mengemukakan teori, melakukan generalisasi, mengajukan hipotesis, memberikan reaksi, dan menghasilkan sesuatu. (RMIT University, 2008) Pada akhir siklus, dipandang dari sisi prestasi belajar pada materi permutasi dan kombinasi, sebanyak 94,59% siswa mendapat nilai di atas KKM. Dengan kata lain, ketuntasan belajar siswa untuk materi permutasi dan kombinasi baik. Jika output diasumsikan sebagai wujud dari pemahaman siswa terhadap materi permutasi dan kombinasi yang disajikan dalam proses pembelajaran, maka dapat diartikan bahwa pemahaman siswa terhadap materi permutasi dan kombinasi berada pada kategori baik pula. Jika output itu juga diasumsikan karena pengaruh proses pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran telah berlangsung dengan baik pula. Hasil tersebut sangatlah menggembirakan. Prestasi belajar

90

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

matematika siswa untuk materi permutasi dan kombinasi meningkat lebih baik daripada prestasi siswa pada tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended telah dapat meningkatkan pemahaman siswa pada materi permutasi dan kombinasi. Begitu pula jika Pada akhir siklus, dipandang dari sisi kemampuan berpikir matematis siswa pada materi permutasi dan kombinasi, sebanyak 89,19% siswa telah berada pada tahap relational yang merupakan tahapan kemampuan berpikir siswa yang tertinggi, sedangkan tahap multistructural, unistuctural dari siklus ke siklus menyusut karena kemampuan berpikir siswa cenderung meningkat ke tahap relational, hai ini disebabkan pembelajaran open-ended meningkatkan keaktifan siswa dan memberikan kebebasan siswa dalam berpikir sehingga siswa lebih aktif dan kreatif dalam mengkomunikasikan ide-idenya dalam pengerjaan soal permutasi dan kombinasi. Sebagai muaranya siswa dapat mencermati suatu kasus permutasi atau kombinasi pada suatu soal. Sedangkan taha extended abstract sebagai tingkat tertinggi dari kemampuan berpikir matematis menurut SOLO tidak dicapai karena dikarenakan konstruksi desain pembelajaran ditekankan pada pendekatan open-ended sehingga fokus utama pada penelitian tindakan ini adalah pembelajaran, sedangkan kemampuan berpikir matematis merupakan salah satu hasil dari pembelajaran Dengan kata lain, kemampuan berpikir matematis siswa untuk materi permutasi dan kombinasi baik. Jika output diasumsikan sebagai wujud dari kemampuan berpikir matematis siswa terhadap materi permutasi dan kombinasi yang disajikan dalam proses pembelajaran, maka dapat diartikan bahwa kemampuan berpikir matematis siswa terhadap materi permutasi dan kombinasi berada pada kategori baik pula. Jika output itu juga diasumsikan karena pengaruh proses pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran telah berlangsung dengan baik pula. Hasil tersebut sangatlah menggembirakan. Kemampuan berpikir matematis siswa untuk materi permutasi dan kombinasi meningkat lebih baik daripada kemampuan berpikir matematis siswa pada pembelajaran sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran menggunakan pendekatan open-ended telah dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa pada materi permutasi dan kombinasi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dengan pembelajaran open-ended, proses pembelajaran materi permutasi dan kombinasi pada kelas XI IPA 3 RSMABI Negeri 1 Sukoharjo telah berjalan lebih baik bila dibandingkan dengan proses pembelajaran pada tahuntahun sebelumnya. Motivasi belajar siswa dan keaktifan siswa dalam belajar materi permutasi dan kombinasi cukup tinggi. Prestasi belajar matematika siswa untuk materi permutasi dan kombinasi juga meningkat lebih baik daripada prestasi siswa pada tahun-tahun sebelumnya. Disamping itu, kemampuan berpikir matematis siswa pada materi permutasi dan kombinasi juga meningkat daripada kemampuan berpikir matematis siswa sebelumnya. Dengan peningkatan semua komponen, baik ditinjau dari prestasi, keaktifan, dan kemampuan berpikir matematis, siswa akhirnya mudah membedakan suatu masalah itu sebagai permutasi atau kombinasi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembelajaran open-ended dalam pembelajaran matematika di kelas dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa SMA dalam menyelesaikan soal cerita pada materi permutasi dan kombinasi. Saran Terlepas dari kelemahannya, yang antara lain adalah kesulitan guru dalam pembuatan rancangan pembelajaran dan membutuhkan waktu yang cukup lama, akibatnya dapat mengganggu target pencapaian materi yang harus dicapai, namun dari hasil penelitian ini dapat diperoleh bukti bahwa pembelajaran open-ended dapat meningkatkan kemampuan berpikir matematis siswa dalam menyelesaikan soal cerita pada materi permutasi dan kombinasi. Pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa untuk materi permutasi dan kombinasi. Dengan pembelajaran open-ended, dapat menumbuhkan motivasi, minat dan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah matematika dengan baik dan benar, serta dapat melatih siswa untuk berpikir dengan lebih cermat dan sistematis. Oleh karena itu, kepada para

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

91

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika UNS 2011

guru matematika disarankan untuk dapat merancang dan melaksanakan pembelajaran untuk materi pelajaran matematika yang lain dengan menggunakan pendekatan pembelajaran openended.

DAFTAR PUSTAKA Arends, R. I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mcraw-Hill. Eggen, P.D. dan Kauchak, D.P. 1997. Strategies For Teacher Teaching Content And Thingking Skills. Boston: Allyn & Bacon. Joyce. B and Weil.M. 1992. Models of Teaching. New Jersey : Prentice Hall, Inc. Muhammad Nur, 1999. Teori Belajar. Surabaya : University Press UNESA Muhammad Nur dan Muhammad Ibrahim. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya : University Press. Muhammad Nur dan Wikandari. 2000. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivisme dalam Pengajaran. Surabaya : PSMS Program PPS Unesa. Muhibbin Syah. 2004. Psikologi Pendidikan : Suatu Pendekatan Baru. Bandung : Remaja Karya. NCTM. 1999. Developing Mathematical Reasoning Grade K-12. Reston : Virginia. Purwoto. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika. Surakarta : UNS Press. Polya, George. 1973. How to Solve It. New Jersey : Princeton. Poppy, R, Yaniawati. 2003. Pendekatan Open-ended: Salah satu Alternatif Model Pembelajaran Matematika yang Berorientasi Pada Kompetensi Siswa. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Yogyakarta, tanggal 28 29 Maret 2003. Rusyan, Atang Kusnindar, Zainal Arifin. 1989. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja Karya. Sardiman A. M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Press. Sawada, T. 1997. Developing Lesson Plan. Dalam J. P. Becker & S. Shimada (Ed.). The OpenEnded Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics. Shimada, S. 1997. The Significance of an Open-Ended Approach. Dalam J. P. Becker & S. Shimada (Ed.). The Open-Ended Approach: A New Proposal for Teaching Mathematics. Virginia: National Council of Teachers of Mathematics.. Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta. Slavin, R. E. 1994. Educational Psychology Theory into Practice. Boston: Allyn and Bacon. Soedjadi, R. 1995. Memantapkan Matematika Sekolah sebagai Wahana Pendidikan dan Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan aktivitas Instruksional Dirjen Dikti Diknas. Soekamto, T, Winataputra dan Saripudin, U. 1996. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan Aktifitas Instruksional Dirjen Dikti Diknas. Suherman, E. dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA. Sutrisman Murtado dan J. Tambunan. 1987. Materi Pokok Pengajaran Matematika. Jakarta: Karunika. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka. ___________. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif : Konsep, Landasan dan Implementasinya pada KTSP. Jakarta: Kencana. Usman, M.U. 2001. Menjadi Guru Profesional. Bandung : Remaja Rosdakarya. Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Zamroni. (2000). Paradigma Pendidikan Masa Depan. Yogyakarta: Bigraf Publishi

92

Makalah Pendamping: Pendidikan Matematika 1

You might also like