You are on page 1of 5

Artikel

KONDOM DAN PENCEGAHAN HIV/AIDS


Mardiya Siapa sangka sejak ditemukan kasusnya pertama kali di Pulau Bali pada tahun 1987, kasus epidemi HIV/AIDS di negara kita telah meningkat begitu pesat hampir tanpa bisa dicegah. Selama rentang 1987 - 31 Maret 2009 saja , Dirjen Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (PPM dan PL) Depkes RI menemukan 23.632 kasus HIV/AIDS dengan rincian 6.668 orang terinfeksi HIV dan 16.964 orang positif AIDS. Dari jumlah tersebut yang meninggal sebanyak 3.492 orang. Ini baru kasus yang muncul ke permukaan. Kasus yang sebenarnya dengan konsep fenomea gunung es bisa berpuluh-puluh kali lipat dari kejadian yang terpantau. Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) Dr. Nafsiah Mboi, SpA MPH, bila tahun-tahun sebelumnya penyebab utama HIV/AIDS adalah narkoba suntik, sekarang ini telah bergeser ke perilaku seks bebas dengan proporsi sekitar 55 persen. Selanjutnya dijelaskan, dari 55 persen penyebab utama HIV/AIDS itu 48,4 persen di antaranya adalah akibat seks bebas secara heteroseksual (beda jenis), 3,7 persen akibat seks bebas secara homoseksual (sesama jenis), dan sisanya akibat penularan dari ibu ke bayi. Informasi terakhir, KPAN menemukan bukti-bukti kuat bahwa HIV/AIDS telah masuk ke dalam lingkungan keluarga karena kebiasaan salah satu anggotanya (suami atau isteri) yang suka jajan di luar, selain berhubungan dengan pasangannya sendiri. Mendasarkan pada peta persoalan dan penyebab penularan HIV/AIDS yang terjadi, mau tidak mau kondom yang selama ini diyakini cukup efektif untuk mencegah penularan HIV/AIDS, kembali dilirik oleh pemerintah, swasta, LSM dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya. Intinya, kondom diharapkan menjadi salah satu faktor penghambat penyebaran HIV/AIDS yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, kondom harus dioptimalkan pemakaiannya melalui program-program penyuluhan, pembinaan, pendistribusian dan pemantauan secara sistematis pada masyarakat luas, termasuk melalui advokasi, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) dan konseling yang intensif. Sasarannya tidak saja kelompok atau individu yang selama ini dianggap rawan atau

rentan terhadap bahaya HIV/AIDS, tetapi juga pada seluruh keluarga di Indonesia yang jumlahnya saat ini tidak kurang dari 57,4 juta. Persoalannya, siapakah yang dapat diandalkan dan dipercaya untuk dapat melaksanakan program-program tersebut sehingga mampu memberikan hasil seperti yang diharapkan? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan mengingat masyarakat kita dikenal sangat resisten terhadap sosialisasi kondom karena berbagai stigma negatif yang melekat, seperti kondom dianggap menjijikkan dan kurang nyaman dipakai oleh pasangan tertentu, kondom sering diidentikan dengan seks bebas, pemasyarakatan kondom sama artinya dengan legalisasi tempat-tempat pelacuran, dan sebagainya. Mencermati akar permasalahannya, maka upaya mengoptimalkan program pemakaian kondom untuk pencegahan HIV/AIDS di Indonesia tidak boleh dilepaskan dari fungsi kondom sebagai alat kontrasepsi. Apalagi selama ini kondom dikenal sebagai dual protection yang memiliki kemampuan untuk mencegah bertemunya sperma dan sel telur saat pasangan suami isteri bersetubuh di satu sisi, dan memiliki kemampuan melindungi seseorang dari penularan HIV/AIDS pasangannya di sisi lain. Dengan menempatkan kondom sebagai dual protection, maka sasaran pemakaian kondom dapat diperluas pada seluruh keluarga di Indonesia melalui pelibatan kader Institusi Masyarakat Pedesaan (IMP) yang terdiri dari Koordinator Pembantu Pembina Keluarga Berencana Desa (PPKBD), PPKBD dan Sub PPKBD yang jumlahnya di negeri ini tidak kurang dari 1,23 juta orang. Ini belum termasuk kelompok KB-KS yang berbasis di tingkat RT. Melalui pelibatan kader IMP yang nota bene merupakan kader KB, maka upaya penyuluhan, pembinaan, pendistribusian dan pemantauan pemakaian kondom sebagai alat pencegah penularan HIV/AIDS menjadi lebih mudah, murah dan efektif. Dengan sentuhan sedikit saja oleh Penyuluh KB, kader IMP ini akan sangat mudah digerakkan untuk memberikan penyuluhan, KIE dan konseling yang sejelas-jelasnya pada masyarakat atau keluarga binaanya tanpa harus menimbulkan gejolak, mengingat mereka adalah orang yang sangat dikenal oleh kelompok sasaran. Termasuk saat dilakukan pendistribusian kondom pada keluarga yang membutuhkan. Hal ini mengingat salah satu peran dari kader IMP yang dikemas dalam Enam Peran Bakti Institusi ini adalah Pelayanan Kegiatan yang di dalamnya termasuk penyaluran kondom pada Pasangan Usia Subur (PUS). Sementara enam peran bakti itu sendiri terdiri atas: (1) Pengorganisasian,

(2) Pertemuan, (3) KIE dan Konseling, (4) Pencatatan Pendataan, (5) Pelayanan Kegiatan, (6) Kemandirian. Kualitas kader IMP akan ditentukan oleh tingkat kemampuanya dalam pelaksanaan enam peran bakti ini, yang secara kategorial dibagi atas tiga kelompok, yakni Klasifikasi Dasar (D), Berkembang (B) dan Mandiri (M). Perlu ditandaskan di sini, kader IMP yang selama ini memiliki kontribusi besar terhadap suksesnya program KB di Indonesia tersebut, keberadaannya telah menjangkau seluruh desa, dusun dan RT di 33 propinsi, 440 kabupaten/kota dan 5.278 kecamatan. Sehingga tidak ada satu wilayah pun di negara kita yang kini luput dari pembinaan kader IMP. Sejarah membuktikan, selama lebih dari tiga dasa warsa kader IMP ini bersamasama tokoh masyarakat, tokoh agama, orgaisasi profesi, LSM, pemuda dan alim ulama mampu mengubah wajah kepedudukan di Indonesia. Dari awalnya kondisi penduduk dengan laju pertumbuhan sangat tinggi (2,34 persen) di masa lalu, menjadi relatif rendah (1,39 persen) per tahun pada saat sekarang. Yang patut pula dipertimbangkan, kader IMP ini adalah pekerja sosial yang tangguh, sehingga mereka sangat cocok bila dijadikan mitra oleh KPAN maupun KPAD untuk bersama-sama menyosialisasikan kondom pada masyarakat luas. Keberadaannnya pun juga sudah diakui oleh pemerintah dan

masyarakat seiring dengan terbitnya Surat Keputusan (SK) Kepala Desa atau Camat tentang keberadaan institusi ini di semua wilayah. Bukti bahwa mereka merupakan pekerja sosial yang tangguh, mereka tetap bekerja dengan tekun dan penuh keikhlasan walaupun tidak digaji. Karena mereka sadar, menjadi kader IMP tidak dapat dijadikan media atau jalan pintas untuk mencari uang/materi, tetapi lebih cenderung ke arah mencari amal untuk kebaikan masyarakat dan kehidupan pribadinya kelak di zaman yang lebih abadi (akhirat). Ini jelas dapat dijadikan modal utama sekaligus potensi luar biasa yang dapat dimanfaatkan oleh KPAN dan KPAD di seluruh Indonesia, untuk menanggulangi HIV/AIDS. Apalagi sekarang ini BKKBN baru giat-giatnya berupaya mendongkrak kesertaan KB Pria sebagai bagian dari upaya menciptakan kesetaraan gender dalam KB pasca ICPD Cairo 1994, di mana kondom menjadi salah satu alat kontrasepsi yang akan digalakkan secara luas di masyarakat. Kuncinya adalah bagaimana KPAN dan KPAD dapat bermitra secara harmonis dengan BKKBN Pusat, Propinsi maupun Kabupaten (di era otonomi nomenklaturnya berbeda-beda) sehingga di tingkat lini lapangan dapat lebih

mudah untuk digerakkan. Dengan berbagai pertimbangan logis, BKKBN Pusat, BKKBN Propinsi maupun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengampu program KB di kabupate/kota, tentu dengan senang hati akan menerima kerjasama itu. Terlebih

BKKBN sejak tahun 2007 lalu telah menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) untuk pertama kalinya yang pelaksanaannya bersamaan dengan peringatan Hari AIDS seDunia melalui kerjasama antara BKKBN Pusat, KPAN dan DKT Indonesia, dengan rentang waktu kurag lebih selama satu minggu. Peringatan ini terus berlanjut pada tahun 2008 dan akan tetap dilaksanakan pada tahun 2009 dan tahun-tahun selanjutnya. Dengan demikian, tidak ada satu alasan pun bagi KPAN maupun KPAD untuk menunda-nunda kerjasama dengan BKKBN dalam penanggulangan HIV/AIDS. Bila selama ini sudah ada rintisan kerjasama di tingkat Pusat, maka untuk selanjutnya harus lebih diintensifkan di tingkat daerah. Hal ini mengingat, para pengelola KB di tingkat kabupaten/kota, selain memiliki kedekatan dengan lini lapangan, mereka juga memiliki Penyuluh KB sebagai pembina dari kader IMP ini. Dengan demikian, bila model pendekatan ini dilakukan oleh KPAD di seluruh Indonesia, hasilnya tentu akan sangat luar biasa. Karena selain informasi HIV/AIDS secara benar dan proposional diterima oleh masyarakat luas dan seluruh keluarga di Indonesia, secara signifikan masyarakat akan lebih peduli terhadap program pemakaian kondom yang selama ini banyak dicurigai sebagai upaya legalisasi prostitusi dan seks bebas. Ini berarti pula, kegagalan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang pernah dikatakan oleh Zahidul Huque, Perwakilan United Nation Fund for Population Activities (UNFPA) di Indonesia pada saat peluncuran laporan Epidemi AIDS Global 2008 di Jakarta 13 Agustus 2008 lalu, dapat segera ditebus menjadi keberhasilan yang gemilang menyusul keberhasilan Thailand yang mampu menekan tingkat penularan HIV/AIDS di negaranya hingga 83% karena gencarnya program pemakaian kondom. Namun agar hasilnya efektif, selain dibutuhkan koordinasi dan mekanisme operasional yang mantap, dibutuhkan pula payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS. Perda atau Perbup ini setidaknya harus mengatur hak dan kewajiban daerah dan warga serta mengatur public health law, administrasi law, civil law yang mengakomodasi pidana dan Hak Azasi Manusia (HAM). Dengan adanya Perda atau

Perbup ini maka akan ada pengawasan, kesungguhan, dan indikator yang jelas dalam program penanggulangan HIV/AIDS di daerah/kabupaten/kota yang berimbas pada kesungguhan lintas sektor dan segenap komponen masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS di wilayahnya masing-masing. Dampak positif lainnya adalah kader IMP dapat lebih mantap dalam penyuluhan dan pembinaannya pada kelompok sasaran, termasuk dalam upaya pemasyarakatan kondom sebagai alat pencegah penularan HIV/AIDS selain sebagai alat kontrasepsi. Semoga.

Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan KB & Kesehatan Reproduksi Badan PMPDP & KB Kabupaten Kulon Progo.

You might also like