You are on page 1of 20

MENGENAL MANAJEMEN STRATEGIK: suatu pengantar

APA DAN MENGAPA


Manajemen strategik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu manajemen.
Hadir sebagai suatu solusi untuk memberdayakan keseluruhan organisasi (perusahaan) agar
secara komprehensif dan sistematis mampu mewujudkan visi dan misi organisasi tersebut.
Selama bertahun-tahun beragam konsep dan teori yang menjelaskan strategi
dikembangkan. Mulai dari yang menekankan perhatian pada kemampuan organisasi untuk
memaksimalkan sumber-sumber yang dimilikinya dalam menjawab peluang dan tantangan
serta berbagai ketidakpastian yang berasal dari luar organisasi [Porter, 1985], sampai pada
kajian yang menekankan pada kemampuan sumber-sumber internal organisasi untuk
mendorong terjadinya keunggulan kompetitif (competitive advantages) [Grant, 1991].
Namun demikian, terlepas dari perdebatan tentang sudut pandang perencanaan strategis suatu
organisasi, kedua aliran jelas memiliki tujuan yang sama yaitu tercapainya sasaran dan tujuan
organisasi melalui cara-cara yang sistematis sehingga keberhasilan yang mungkin terjadi
dapat ditelusuri kembali.
Menurut Hunger dan Wheelen, manajemen strategik adalah seperangkat keputusan
serta tindakan manajerial yang menentukan kinerja jangka panjang dari suatu organisasi
(perusahaan) [Hunger dan Wheelen, 1996]. Bagi Fred David, manajemen strategik adalah
seni dan ilmu penyusunan, penerapan dan pengevaluasian keputusan-keputusan lintas fungsi
(cross-functional) yang memberdayakan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Oleh
karenanya manajemen strategik berpusat pada penyatuan manajemen, pemasaran,
keuangan/akuntansi, produksi/operasi, riset dan pengembangan, serta sistem informasi
komputer untuk mencapai keberhasilan organisasi [David, 1996]. Sedangkan Proses
Manajemen Strategik oleh Hitt, Ireland, dan Hoskisson [Hitt, Ireland, Hoskisson, 1995]
dimengerti sebagai seperangkat komitmen, keputusan, dan tindakan yang dibutuhkan suatu
perusahaan untuk mencapai persaingan strategik dan memperoleh keuntungan di atas rata-
rata.
Alfred Chandler mengatakan bahwa strategi adalah suatu penentuan sasaran dan
tujuan dasar jangka panjang dari suatu organisasi (perusahaan) serta pengadopsian
seperangkat tindakan serta alokasi sumber-sumber yang perlu untuk mencapai sasaran-
sasaran tersebut [Rumelt, Schendel, dan Teece, 1995]. Dalam kajiannya tentang strategi,
Henry Mintzberg mencatat bahwa setidaknya strategi tidak sekadar memiliki dua elemen
definisi, yaitu sebagai perencanaan (plan) dan pola (pattern). Lebih dalam lagi, ia
mengungkap bahwa definisi strategi telah berkembang dengan tiga ‘P’ baru, yaitu posisi
(position), perspektif (perspective), dan penerapan (ploy) [bandingkan Mintzberg, 1994b dan
Mintzberg, Ahlstrand, dan Lampel, 1998].
Kajian tentang manajemen strategik yang terus berkembang selalu diarahkan untuk
menghasilkan berbagai pendekatan yang memudahkan organisasi untuk melakukan
penyesuaian strategi yang dipilihnya dalam kerangka menjamin keberhasilan usahanya.
Dalam lingkungan bisnis yang semakin dinamis, bagaimanapun juga organisasi harus
sanggup secara konstan menghadapi perubahan yang demikian cepat [Rainer dan
Chaharbaghi, 1995]. Formulasi strategi harus berupa proses kognitif dibanding proses
konsepsi semata. Dalam kerangka inilah pembelajaran organisasi menjadi fokus perhatian
utama riset dan kemampuan belajar diakui sebagai satu-satunya sumber keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan (sustainable competitive advantage) [Nonaka, 1991].
Merangkum seluruh paparan di atas, Henry Mintzberg, Bruce Ahlstrand, dan Joseph
Lampel mengidentifikasikan bahwa formulasi strategi dapat dikelompokkan ke dalam
sepuluh aliran pemikiran dan tiga kelompok pemikiran. Kesepuluh aliran tersebut adalah:
Design, Planning, Positioning, Entrepreneurial, Cognitive, Learning, Power, Cultural,
Environmental, dan Configuration. Tiga aliran pertama masuk ke dalam kelompok
Presikriptif yang lebih menekankan pada proses penyusunan strategi; enam aliran berikutnya
masuk dalam kelompok Deskriptif yang menekankan pada bagaimana strategi dilakukan;
dan aliran terakhir identik dengan kelompok ketiga, yaitu Konfigurasi yang
mengkombinasikan/ mengintegrasikan aliran-aliran sebelumnya.[Mintzberg, Ahlstrand, dan
Lampel, 1998].
BAGAIMANA
Terdapat tiga pertanyaan yang mendasari setiap gerak langkah perencanaan strategis, yaitu:
1. Di manakah posisi perusahaan saat ini? Pertanyaan ini mengantar pada analisa tentang
situasi yang terdiri atas beberapa unsur, yaitu: analisa eksternal, analisa internal, dan
analisa tentang kompetisi.
2. Ke mana perusahaan akan pergi? Pertanyaan ini membawa pada logika mengapa suatu
perusahaan (organisasi) didirikan. Mission statement hadir sebagai arahan
korporasi/perusahaan (corporate direction), sementara itu tujuan jangka panjang dan
sasaran-sasaran jangka pendek hadir dalam unit usaha (business unit direction).
3. Bagaimana cara perusahaan bisa sampai ke sana? Pada tahap ini strategi disusun
sebagai arahan untuk mencapai visi dan misi perusahaan. Formulasi strategi dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok, aras korporasi (corporate level), aras unit usaha
(business unit level), dan aras fungsi manajemen (functional level).

Pada prinsipnya, manajemen strategik terdiri atas tiga tahapan, yaitu:


1. Tahap Formulasi: meliputi pembuatan misi, pengidentifikasian peluang dan tantangan
eksternal organisasi, penentuan kekuatan dan kelemahan internal, pembuatan sasaran
jangka panjang, pembuatan pilihan-pilihan strategi, serta pengambilan keputusan strategi
yang dipilih untuk diterapkan. Dalam hal penyusunan strategi, Fred R. David membagi
proses ke dalam tiga tahapan aktivitas, yaitu: input stage, matching stage, dan decision
stage.[David, 1996]. Termasuk di dalam formulasi strategi adalah pembahasan tentang
bisnis baru yang akan dimasuki, bisnis yang dihentikan, alokasi sumber-sumber yang
dimiliki, apakah akan melakukan ekspansi atau diversifikasi usaha, apakah akan
memasuki pasar internasional, apakah akan melakukan merjer atau membentuk joint-
venture, serta bagaimana untuk menghindari pangambilalihan secara paksa (hostile
takeover).
2. Tahap Implementasi (biasa juga disebut tahap tindakan): meliputi penentuan sasaran
tahunan, pengelolaan kebijakan, pemotivasian pegawai, pengalokasian sumber-sumber
agar strategi yang diformulasikan dapat dilaksanakan. Termasuk di dalamnya adalah
pengembangan kultur yang mendukung strategi, penciptaan struktur organisasi yang
efektif, pengarahan usaha-usaha pemasaran, penyiapan anggaran, pengembangan dan
pemanfaatan sistem informasi, serta mengkaitkan kompensasi pegawai dengan kinerja
organisasi.[bandingkan dengan Senge, 1994]. Pada tahap ini, ketrampilan interpersonal
sangatlah berperan. Sebagaimana Carl von Clausewitz (1780-1831) dalam bukunya yang
diterbitkan kembali On War, strategi bukanlah sekedar aktivitas problem-solving, tetapi
lebih dari itu strategi bersifat terbuka (open-ended) dan kreatif untuk mempertajam masa
depan dalam model chain of command di mana suatu strategi harus dijalankan setepat
mungkin (menghindari bias-bias yang tidak perlu dalam setiap bagian struktur
organisasi). [Clausewitz, 1989].
3. Tahap Evaluasi: meliputi kegiatan mencermati apakah strategi berjalan dengan baik atau
tidak. Hal ini dibutuhkan untuk memenuhi prinsip bahwa strategi perusahaan haruslah
secara terus-menerus disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang selalu terjadi di
lingkungan eksternal maupun internal. Tiga kegiatan utama pada tahap ini adalah: (a)
menganalisa faktor-faktor eksternal dan internal sebagai basis strategi yang sedang
berjalan; (b) pengukuran kinerja; (c) pengambilan tindakan perbaikan [bandingkan
dengan Kaplan dan Norton, 1996].
Gambar 1.
Alur Manajemen Strategik

Terlepas dari pendekatan perencanaan yang digunakan, formulasi strategi harus


berlandaskan pada pemahaman secara mendalam pada pasar, kompetisi, dan lingkungan
eksternal. Strategi hadir dalam berbagai bentuk. Namun demikian, strategi akan
mengidentifikasi tipe-tipe barang dan jasa yang akan dijual, sumber-sumber dan teknologi
yang digunakan dalam proses produksinya, metoda koordinasi usaha-usaha dan rencana-
rencana untuk digunakan untuk menghasilkan kinerja yang efisien dan efektif, serta tipe-tipe
aktivitas yang diambil. Richard P. Rumelt mengidentifikasi empat tolok ukur yang digunakan
untuk menguji baik atau tidaknya suatu strategi, yaitu [Rumelt, 1997):
1. Consistency: strategi tidak boleh menghadirkan sasaran dan kebijakan yang tidak
konsisten.
2. Consonance: strategi harus merepresentasikan respons adaptif terhadap lingkungan
eksternal dan terhadap perubahan-perubahan penting yang mungkin terjadi.
3. Advantage: strategi harus memberikan peluang bagi terjadinya pembuatan atau
pemeliharaan keunggulan kompetitif dalam suatu wilayah aktivitas tertentu (terpilih).
4. Feasibility: strategi tidak boleh menggunakan sumber-sumber secara berlebihan (di luar
kemampuan) dan tidak boleh menghadirkan persoalan-persoalan baru yang tidak
terpecahkan.
KEGAGALAN STRATEGI
Andrew Campbell dan Marcus Alexander mengidentifikasi sekurang-kurangnya terdapat tiga
alasan mengapa suatu strategi dapat gagal dalam mengantar suatu perusahaan untuk
mencapai sasaran dan tujuannya. Ketiga hal tersebut adalah [Campbell dan Alexander, 1997]:
1. Strategi Tanpa Arah (directionless strategies): kegagalan membedakan antara purposes
(apa yang akan dilakukan organisasi) dan constraints (apa yang harus dilakukan suatu
organisasi agar dapat bertahan). Perusahaan yang gagal memahami constraints yang
dimilikinya dan salah membacanya sebagai maksud purposes, akan cenderung terlempar
dari arena bisnis.
2. Kelumpuhan Perencanaan (planning paralysis): kegagalan menentukan pijakan awal
untuk bergerak (dari strategi atau tujuan?) menyebabkan terjadinya rencana yang
‘lumpuh’ akibat kebingungan terhadap pelibatan ‘proses’ dalam penyusunan suatu
strategi. Menentukan tujuan dan kemudian menyusun strategi untuk mencapainya ataukah
meniru strategi yang telah terbukti berhasil dan kemudian menentukan tujuan yang
dapat/ingin dicapai berdasarkan strategi tersebut.
3. Terlalu Fokus pada Proses (good strategy vs planning process): Seringkali manajer
berharap untuk dapat menyusun suatu strategi yang baru dan lebih baik. Sayangnya
keberhasilan seringkali tidak semata bergantung pada proses perencaaan yang baru atau
rencana yang didesain dengan lebih baik, tetapi lebih kepada kesanggupan manajer untuk
memahami dua hal mendasar, yaitu: keuntungan atas dimilikinya maksud (purposes)
yang stabil dan terartikulasi dengan baik; serta pentingnya penemuan, pemahaman,
pendokumentasian, dan eksploitasi informasi-informasi penting (insights) tentang
bagaimana menciptakan nilai lebih banyak dibanding perusahaan lain.
Bandingkan temuan Campbell dan Alexander tersebut dengan apa yang diungkapkan
Henry Mintzberg dalam tulisannya di Harvard Business Review [1994a] yang
mengungkapkan bahwa perencanaan strategik (strategic planning) memiliki suatu potensi
kegagalan besar. Kegagalan tersebut adalah keyakinan bahwa analisa akan menuju pada
sintesa dan perencanaan strategik adalah pembuatan strategi (strategy making). Pada
dasarnya, kegagalan ini disebabkan oleh tiga kesalahan mendasar pada asumsi, yaitu
[Mintzberg, 1994a]:
1. Fallacy of Prediction: tidak setiap hal dapat begitu saja diprediksi, kecuali hal-hal yang
memiliki pola berulang (repetitive pattern) seperti musim. Sedangkan hal-hal lainnya
seperti penemuan teknologi dan peningkatan harga hampir tidak mungkin diduga secara
relatif akurat, kecuali oleh para visioner yang biasa membangun strateginya secara
personal dan intuitif. [bandingkan Ansoff, 1965].
2. Fallacy of Detachment: seringkali manajer dipisahkan dari persoalan detil dan
operasional, sesuatu yang seharusnya mereka kenal dengan baik. Ketika manajer
terjauhkan dari hal-hal mendasar tersebut, manajer akan gagal memahami keseluruhan
proses dan mengingkari konsep Frederick Taylor tentang manajemen bahwa proses harus
sepenuhnya dipahami sebelum diprogram [lihat Jelinek, 1979].
3. Fallacy of Formalization: kegagalan perencanaan strategik adalah kegagalan sistem untuk
bekerja lebih baik daripada manusia. Sistem formal atau mekanikal seringkali gagal
mengimbangi informasi yang berkembang dalam otak manusia. Sistem memang sanggup
mengelola informasi yang lebih banyak, tetapi tidak sanggup menginternalisasikan,
mencernanya, dan mensintesanya. Formalisasi merujuk pada tata urutan yang rasional,
tetapi pembuatan strategi adalah proses pembelajaran yang terus bergerak. Formalisasi
akan gagal mencerna sesuatu yang tidak kontinu dan baru. Dan oleh karenanya
pemahaman tentang perencanaan strategik (strategic planning) harus bisa dibedakan dari
pemahaman tentang pembuatan strategi (strategy making). Keduanya tidak bisa dianggap
sama.
SEGITIGA STRATEGI
Salah satu hal terpenting yang perlu diperhatikan secara terus-menerus oleh para ahli strategi
adalah segitiga strategi-struktur-kultur. Dalam segitiga ini hubungan ketiga elemen tersebut
harus dapat dikelola sedemikian rupa agar menjadi seimbang antara satu dengan lainnya.
Ketimpangan hubungan tersebut akan bermuara pada tumpulnya stratagi yang dibangun.
Strategi mengkaji tentang gerak langkah yang akan diambil perusahaan dalam rangka
mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan. Kajian tentang struktur memusatkan perhatian
pada perubahan-perubahan yang terjadi pada organisasi beserta berbagai unsur lainnya yang
terkait. Sedangkan kajian atas kultur memusatkan perhatian pada persoalan manajemen
sumber daya manusia, manajemen perubahan, kultur organisasi, dan berbagai unsur lainnya
yang terkait.
Gambar 2.
Segitiga Strategi

Surabaya, Nopember 2002


r.h.m

DAFTAR PUSTAKA
Ansoff, H. Igor. Corporate Strategy, McGraw-Hill, New York, NY, 1965.
Campbell, Andrew dan Marcus Alexander. “What’s wrong with strategy?” Harvard Business
Review, November-December 1997, pp. 2-8.
Clausewitz, Carl von. On War, Princeton University Press, Princeton, NJ, 1989.
David, Fred R. Strategic Management, Prentice Hall International, Inc., the Philippines,
1996.
Grant, R.M. “The resource-based theory of competitive advantage: implications for strategy
formulation”, California Management Review, Vol. 33 No. 3, 1991, pp. 114-135.
Hitt, Michael A., R. Duane Ireland, dan Robert E. Hoskisson. Strategic Management:
competitiveness and globalization concepts, West Publishing Company, St. Paul, MN,
1995.
Hunger, J. David, dan Thomas L. Wheelen. Strategic Management, Addison-Wesley
Publishing Company, Reading, Massachusetts, 1996.
Jelinek, Mariann. Institutionalizing Innovation: a study of organizational learning systems,
Praeger, New York, NY, 1979.
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. The Balance Scorecard, Harvard Business School
Press, Boston, Massachusetts, 1996.
Mintzberg, Henry, Bruce Ahlstrand, and Joseph Lampel. Strategy Safari: a guided tour
through the wilds of strategic management, The Free Press, New York, NY, 1998.
Mintzberg, Henry. “The fall and rise of strategic planning”, Harvard Business Review,
January-February, 1994a, pp. 107-114.
Mintzberg, Henry. The Rise and Fall of Strategic Planning, Prentice Hall International
Limited, London, UK, 1994b.
Nonaka, I. “The knowledge-creating company”, Harvard Business Review, November-
December 1991, pp. 96-104.
Porter, Michael. Competitive Advantage, The Free Press, New York, NY, 1985; Buzzell,
R.D. dan T.G. Bradley. The PIMS Principles – Linking Strategy to Performance, The
Free Press, New York, NY, 1985.
Rainer, Feurer dan Kazem Chaharbaghi. “Strategy formulation: a learning methodology”,
Benchmarking for Quality Management & Technology, Vol. 2 No. 1, 1995, pp. 38-55.
Rumelt, Richard P. “The evolution of business strategy”, dalam Henry Mintzberg dan JB
Quinn, The Strategy Process, Prentice Hall, Englewood Cliffs, NJ, 1997.
Rumelt, Richard P., Dan E. Schendel, dan David J. Teece (eds.). Fundamental Issues in
Strategy: a research agenda, Harvard Business School Press, Boston, Massachusetts,
1995.
Senge, Peter M. The Fifth Discipline: the art and practice of the learning organization,
Currency Doubleday, New York, NY, 1994.
“Rivals can easily copy your improvements in quality and efficiency.
But they shouldn’t be able to copy your strategic positioning –
what distiguishes your company from all the rest.”

Michael A. Porter, 1996.

PENGANTAR
Strategi perusahaan atau organisasi merupakan suatu wilayah kajian yang selalu menarik
untuk dicermati. Begitu banyak pendekatan yang dilakukan, mulai dari sangat kuantitatif
sampai pada belajar dari pengalaman sukses seseorang atau suatu perusahaan (best practices).

Setidaknya, terdapat dua aliran besar yang dijadikan landasan pembahasan strategi
perusahaan, yaitu kajian tentang strategi-strategi utama (grand strategies) dan strategi-strategi
generik (generic strategies). Strategi utama merupakan seperangkat alternatif strategi
perusahaan yang secara umum dijadikan ‘patokan’ dalam menentukan strategi yang akan
diambil oleh suatu perusahaan. Sedangkan strategi generik ada dua, yaitu: Porter’s generic
strategies dan Glueck’s generic strategies, nama penulis yang mengintrodusir masing-masing.

Tulisan ini pada dasarnya akan memiliki tiga pokok bahasan, yaitu: (1) Strategi Generik
Porter, (2) Strategi Generik Glueck, (3) Strategi Utama, dan (4) Efektivitas Industri vs Posisi
Kompetitif.

STRATEGI GENERIK PORTER


Dalam analisanya tentang strategi bersaing (competitive strategy atau disebut juga Porter’s
Five Forces) suatu perusahaan, Michael A. Porter mengintrodusir 3 jenis strategi generik,
yaitu: Keunggulan Biaya (Cost Leadership), Pembedaan Produk (Differentiation), dan Focus.
(Lihat Gambar 1).

Porter Generic Strategies


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE
MicrosoftInternetExplorer4 <![endif]--><!--[if gte mso 9]> <![endif]-->

1. Strategi Biaya Rendah (cost leadership)

Strategi Biaya Rendah (cost leadership) menekankan pada upaya memproduksi produk
standar (sama dalam segala aspek) dengan biaya per unit yang sangat rendah. Produk ini
(barang maupun jasa) biasanya ditujukan kepada konsumen yang relatif mudah terpengaruh
oleh pergeseran harga (price sensitive) atau menggunakan harga sebagai faktor penentu
keputusan. Dari sisi perilaku pelanggan, strategi jenis ini amat sesuai dengan kebutuhan
pelanggan yang termasuk dalam kategori perilaku low-involvement, ketika konsumen tidak
(terlalu) peduli terhadap perbedaan merek, (relatif) tidak membutuhkan pembedaan produk,
atau jika terdapat sejumlah besar konsumen memiliki kekuatan tawar-menawar yang
signifikan.

Terutama dalam pasar komoditi, strategi ini tidak hanya membuat perusahaan mampu
bertahan terhadap persaingan harga yang terjadi tetapi juga dapat menjadi pemimpin pasar
(market leader) dalam menentukan harga dan memastikan tingkat keuntungan pasar yang
tinggi (di atas rata-rata) dan stabil melalui cara-cara yang agresif dalam efisiensi dan
kefektifan biaya. Sumber dari keefektifan biaya (cost effectiveness) ini bervariasi. Termasuk
di dalamnya adalah pemanfaatan skala ekonomi (economies of scale), investasi dalam
teknologi yang terbaik, sharing biaya dan pengetahuan dalam internal organisasi, dampak
kurva pembelajaran dan pengalaman (learning and experience curve), optimasi kapasitas
utilitas, dan akses yang baik terhadap bahan baku atau saluran distribusi. Pada prinsipnya,
alasan utama pelaksanaan strategi integrasi ke hulu (backward integration), ke hilir (forward
integration), maupun ke samping (horizontal integration) adalah untuk memperoleh berbagai
keuntungan dari strategi biaya rendah ini. Biasanya strategi ini dijalankan beriringan dengan
strategi diferensiasi. (Lihat David, 1998; Fournier dan Deighton, 1997; Pass dan Lowes,
1997; Porter, 1980 dan 1985).

Untuk dapat menjalankan strategi biaya rendah, sebuah perusahaan harus mampu memenuhi
persyaratan di dua bidang, yaitu: sumber daya (resources) dan organisasi. Strategi ini hanya
mungkin dijalankan jika dimiliki beberapa keunggulan di bidang sumber daya perusahaan,
yaitu: kuat akan modal, trampil pada rekayasa proses (process engineering), pengawasan
yang ketat, mudah diproduksi, serta biaya distribusi dan promosi rendah. Sedangkan dari
bidang organisasi, perusahaan harus memiliki: kemampuan mengendalikan biaya dengan
ketat, informasi pengendalian yang baik, insentif berdasarkan target (alokasi insentif berbasis
hasil). (Umar, 1999).

2. Strategi Pembedaan Produk (differentiation)

Strategi Pembedaan Produk (differentiation), mendorong perusahaan untuk sanggup


menemukan keunikan tersendiri dalam pasar yang jadi sasarannya. Keunikan produk (barang
atau jasa) yang dikedepankan ini memungkinkan suatu perusahaan untuk menarik minat
sebesar-besarnya dari konsumen potensialnya. Cara pembedaan produk bervariasi dari pasar
ke pasar, tetapi berkaitan dengan sifat dan atribut fisik suatu produk atau pengalaman
kepuasan (secara nyata maupun psikologis) yang didapat oleh konsumen dari produk
tersebut. Berbagai kemudahan pemeliharaan, features tambahan, fleksibilitas, kenyamanan
dan berbagai hal lainnya yang sulit ditiru lawan merupakan sedikit contoh dari diferensiasi.
Strategi jenis ini biasa ditujukan kepada para konsumen potensial yang relatif tidak
mengutamakan harga dalam pengambilan keputusannya (price insensitive).

Perlu diperhatikan bahwa terdapat berbagai tingkatan diferensiasi. Diferensiasi tidak


memberikan jaminan terhadap keunggulan kompetitif, terutama jika produk-produk standar
yang beredar telah (relatif) memenuhi kebutuhan konsumen atau jika kompetitor/pesaing
dapat melakukan peniruan dengan cepat. Contoh penggunaan strategi ini secara tepat adalah
pada produk barang yang bersifat tahan lama (durable) dan sulit ditiru oleh pesaing.

Resiko lainnya dari strategi ini adalah jika perbedaan atau keunikan yang ditawarkan produk
tersebut ternyata tidak dihargai (dianggap biasa) oleh konsumen. Jika hal ini terjadi, maka
pesaing yang menawarkan produk standar dengan strategi biaya rendah akan sangat mudah
merebut pasar. Oleh karenanya, dalam strategi jenis ini, kekuatan departemen Penelitian dan
Pengembangan sangatlah berperan.

Pada umumnya strategi biaya rendah dan pembedaan produk diterapkan perusahaan dalam
rangka mencapai keunggulan bersaing (competitive advantage) terhadap para pesaingnya
pada semua pasar. (Lihat David, 1998; Fournier dan Deighton, 1997; Pass dan Lowes, 1997;
Porter, 1980 dan 1985).

Secara umum, terdapat dua bidang syarat yang harus dipenuhi ketika perusahaan
memutuskan untuk memanfaatkan strategi ini, yaitu: bidang sumber daya (resources) dan
bidang organisasi. Dari sisi sumber daya perusahaan, maka untuk menerapkan strategi ini
dibutuhkan kekuatan-kekuatan yang tinggi dalam hal: pemasaran produk, kreativitas dan
bakat, perekayasaan produk (product engineering), riset pasar, reputasi perusahaan, distribusi,
dan ketrampilan kerja. Sedangkan dari sisi organisasi, perusahaan harus kuat dan mampu
untuk melakukan: koordinasi antar fungsi manajemen yang terkait, merekrut tenaga yang
berkemampuan tinggi, dan mengukur insentif yang subyektif di samping yang obyektif.
(Umar, 1999)

3. Strategi Fokus (focus)

Strategi fokus digunakan untuk membangun keunggulan bersaing dalam suatu segmen pasar
yang lebih sempit. Strategi jenis ini ditujukan untuk melayani kebutuhan konsumen yang
jumlahnya relatif kecil dan dalam pengambilan keputusannya untuk membeli relatif tidak
dipengaruhi oleh harga. Dalam pelaksanaannya – terutama pada perusahaan skala menengah
dan besar –, strategi fokus diintegrasikan dengan salah satu dari dua strategi generik lainnya:
strategi biaya rendah atau strategi pembedaan karakteristik produk. Strategi ini biasa
digunakan oleh pemasok “niche market” (segmen khusus/khas dalam suatu pasar tertentu;
disebut pula sebagai ceruk pasar) untuk memenuhi kebutuhan suatu produk — barang dan
jasa — khusus.

Syarat bagi penerapan strategi ini adalah adanya besaran pasar yang cukup (market size),
terdapat potensi pertumbuhan yang baik, dan tidak terlalu diperhatikan oleh pesaing dalam
rangka mencapai keberhasilannya (pesaing tidak tertarik untuk bergerak pada ceruk tersebut).
Strategi ini akan menjadi lebih efektif jika konsumen membutuhkan suatu kekhasan tertentu
yang tidak diminati oleh perusahaan pesaing. Biasanya perusahaan yang bergerak dengan
strategi ini lebih berkonsentrasi pada suatu kelompok pasar tertentu (niche market), wilayah
geografis tertentu, atau produk — barang atau jasa — tertentu dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan konsumen secara baik, excellent delivery. (Lihat David, 1998; Fournier dan
Deighton, 1997; Pass dan Lowes, 1997; Porter, 1980 dan 1985).

STRATEGI GENERIK GLUECK


Glueck meyakini bahwa strategi perusahaan pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam
empat strategi generik, yaitu: strategi stabilitas (stability), ekspansi (expansion), penciutan
(retrenchment), dan kombinasi (combination) dari ketiganya. (Umar, 1999).

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Strategi Stabilitas (stability)

Pada prinsipnya, strategi ini menekankan pada tidak bertambahnya produk, pasar dan fungsi-
fungsi perusahaan karena berusaha untuk meningkatkan efisiensi di segala bidang dalam
rangka meningkatkan kinerja dan keuntungan. Strategi ini relatif rendah resiko dan biasanya
dilakukan untuk produk yang tengah berada pada posisi matang/dewasa (maturity).

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Strategi Ekspansi (expansion)

Strategi ekspansi menekankan pada penambahan atau perluasan produk, pasar dan fungsi
dalam perusahaan sehingga aktivitas perusahaan meningkat. Tetapi selain keuntungan yang
ingin diraih lebih besar, strategi ini juga mengandung resiko kegagalan yang tidak kecil.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Strategi Penciutan (retrenchment)

Strategi penciutan dimaksudkan untuk melakukan pengurangan atas pasar maupun fungsi-
fungsi dalam perusahaan yang memiliki aliran keuangan (cash-flow) negatif. Biasanya
strategi ini diterapkan pada perusahaan yang berada pada tahap menurun (decline).

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Strategi Kombinasi (combination)

Oleh karena berbagai perubahan eksternal seringkali hadir secara tidak seragam (dan bahkan
terkadang sulit diduga) terhadap berbagai lini produk (product line) yang dihasilkan suatu
perusahaan seperti daur hidup produk (product life cycle) yang tidak seragam, maka
perusahaan tersebut dapat saja melakukan kombinasi atas ketiga jenis strategi di atas secara
bersama.

STRATEGI UTAMA
Secara garis besar, terdapat 4 kelompok strategi utama dengan 14 tipe turunannya.
Keempatbelas tipe strategi tersebut adalah sebagai berikut (Lihat David, 1998; Porter 1980
dan 1985):

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Integration Strategies

Tiga jenis strategi, yaitu forward, backward, dan horizontal seringkali disebut sebagai
strategi-strategi vertical integration. Namun, tidak jarang yang memaksudkan integrasi
vertikal sebagai hanya integrasi forward dan backward saja.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Forward Integration

Integrasi ke hilir melibatkan upaya untuk memperoleh kepemilikan (saham perusahaan) lebih
besar atau meningkatkan kontrol terhadap para distributor dan peritel. Salah satu bentuk/cara
efektif untuk melakukan strategi ini adalah waralaba (franchising). Begitu banyak perusahaan
berminat di bidang ini sebagai upaya untuk mendistribusikan produknya (barang maupun
jasa). Salah satu alasan terbesar hadirnya bentuk waralaba ini adalah realita bahwa model ini
sebetulnya merupakan upaya untuk membagi biaya dan peluang kepada banyak pihak.
Perhatikan gejala bermunculannya factory outlet yang merupakan salah satu bentuk strategi
ini. Contoh lain adalah perusahaan farmasi Kimia Farma dengan Apotik Kimia Farma-nya
dan perusahaan sepatu BATA dengan toko BATA-nya. Perhatikan pula Coca Cola dengan
perusahaan pembotolan di berbagai negara serta keputusan untuk membeli perusahaan
fastfood.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Backward Integration

Integrasi ke hulu merupakan suatu strategi yang mengupayakan kepemilikan atau


meningkatkan kontrol terhadap perusahaan pemasok. Hal ini dibutuhkan karena baik
produsen maupun peritel selalu membeli bahan baku dari perusahaan pemasok. Strategi ini
menjadi menarik terutama ketika perusahaan pemasok yang saat ini ada ternyata tidak dapat
diandalkan (unreliable), terlalu mahal, atau tidak dapat memenuhi kebutuhan perusahaan.
Langkah ini dapat disebut sebagai upaya “mengamankan” jalur pasokan perusahaan terhadap
kebutuhan dalam rangka proses produksinya. Contoh yang menarik adalah Harian Jawa Pos
yang mendirikan pabrik kertas untuk menjamin ketersediaan pasokan kebutuhan bahan
bakunya. Perhatikan pula Gudang garam yang memiliki pabrik kertas rokok di Afrika.

Namun demikian, perlu pula dicermati munculnya kecenderungan bahwa berbagai industri
besar mulai melakukan aktivitas de-integrasi (deintegration), yaitu melepas berbagai aktivitas
yang “seharusnya” menjadi bagian dari aktivitas perusahaan pemasok. Tidak tertutup
kemungkinan, sampai pada level tertentu, ternyata perusahaan menemukan bahwa integrasi
ke hulu bukan lagi solusi tepat untuk unggul dalam persaingan, karena menjadi semakin
membebani keuangan perusahaan. Oleh karenanya, kecenderungan perusahaan untuk
melakukan outsourcing kemudian menjadi berkembang pesat. Perhatikan kebijakan
Sampoerna ketika melakukan outsourcing produksi rokok kretek tangan kepada berbagai
koperasi di Jawa Tengah.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Horizontal Integration


Strategi integrasi ke samping merupakan strategi yang dilakukan dalam bentuk membeli atau
meningkatkan kontrol terhadap perusahaan pesaing. Salah satu kecenderungan paling
signifikan dalam kompetisi perusahaan saat ini adalah meningkatnya upaya untuk melakukan
integrasi ke samping sebagai suatu strategi pertumbuhan. Merjer, akusisi, dan
pengambilalihan perusahaan yang sedang bersaing memberikan peluang terjadinya skala
ekonomi (economies of scale) serta mendorong terjadinya transfer sumber daya dan
kompetensi perusahaan. Dalam artikelnya, Kenneth Davidson (Davidson, 1987) mengungkap
bahwa merjer di antara perusahaan yang tidak bergerak di bidang yang sama merupakan
suatu kesalahan. Tetapi merjer yang terjadi pada perusahaan yang sedang bersaing langsung
(direct competitors) memberikan peluang yang besar untuk menyatukan potensi agar menjadi
lebih efektif, efisien, dan kompetitif. Contoh pelaksanaan strategi integrasi horisontal adalah
ketika toko obat Guardian membeli Shop-in atau Indofood membeli SuperMie, dan ketika
beberapa bank membentuk Bank Mandiri.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Intensive Strategies

Kelompok strategi ini disebut sebagai intensive strategies, karena mensyaratkan berbagai
upaya yang intensif untuk meningkatkan posisi kompetitif perusahaan dengan produk yang
ada. Kelompok strategi ini meliputi tiga strategi, yaitu:

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Market Penetration

Strategi penetrasi pasar berusaha untuk meningkatkan pangsa pasar untuk produk atau
layanan yang ada saat ini di dalam pasar yang ada saat ini melalui upaya-upaya pemasaran
yang lebih besar. Strategi ini umum diterapkan baik sendiri maupun sebagai kombinasi
dengan strategi lainnya. Termasuk di dalam penetrasi pasar adalah meningkatan jumlah
tenaga penjualan, peningkatan pembelanjaan iklan, penawaran barang-barang promosi secara
ekstensif (besar-besaran), atau peningkatan upaya-upaya publisitas. Aktivitas pemasaran dan
promosi yang intensif dari A-Mild Sampoerna dan berbagai perusahaan rokok lainnya
merupakan contoh yang menarik. Demikian juga dengan upaya McDonald untuk
memberikan berbagai cinderamata menarik maupun beberapa pabrik farmasi yang
meningkatkan jumlah detailer obat-nya.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Market Development

Pengembangan pasar melibatkan upaya-upaya untuk mengenalkan produk atau layanan yang
ada saat ini kepada berbagai wilayah geografis baru. Globalisasi dan iklim perkembangan
pasar internasional semakin kondusif untuk strategi ini. Hal ini dibutuhkan karena tidak
jarang persaingan yang demikian ketat pada suatu pasar tertentu menyebabkan pengalihan
perhatian kepada pasar yang baru merupakan solusi agar perusahaan tidak tersingkir dari
arena bisnisnya.

Namun demikian, perlu dicermati bahwa pada wilayah-wilayah tertentu masuknya pemain
baru yang besar akan menimbulkan pergesaran equilibrium persaingan bisnis yang ada. Oleh
karenanya, tidak jarang para pemain besar akan mengalami tantangan dari para pemain lokal
sehingga terpaksa harus melakukan berbagai konsesi yang dapat diterima. Berbagai
perusahaan ritel yang bergerak pada skala grosir dan hypermarket, sering mengalami
tantangan tersebut. Makro, Alfa, Holland Bakery, Matahari dan berbagai perusahaan lainnya,
membuka gerai baru di berbagai lokasi merupakan contoh penerapan strategi ini.
<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Product Development

Pengembangan produk yang berusaha meningkatkan penjualan melalui perbaikan atau


modifikasi produk atau layanan yang ada saat ini. Biasanya strategi pengembangan produk
tercermin pada biaya penelitan dan pengembangan (Research and Development) yang besar.
Beberapa industri yang sangat didominasi oleh aktivitas R&D adalah otomotif, komputer,
dan farmasi. Pada industri yang berbasis R&D seperti ini, setiap keterlambatan untuk
meluncurkan sesuatu yang baru akan berarti perusahaan tersebut berpeluang kehilangan
posisi kompetitifnya. Dan oleh karenanya, aktivitas R&D menjadi tidak pernah berhenti
untuk menghasilkan suatu perbaikan yang terus-menerus (continuous improvement). Rinso
dengan berbagai variannya serta Pepsodent dengan berbagai variannya merupakan contoh
dari strategi ini. Juga munculnya berbagai features baru pada produk Handphone, komputer,
dan perusahaan jasa seperti Telkom dengan Telkom Memo-nya merupakan contoh yang
menarik.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Diversification Strategies

Dari waktu ke waktu semakin sedikit perusahaan yang melakukan diversifikasi usaha, justru
karena kompleksitas persoalan yang dimunculkan oleh strategi ini. Suatu kelompok usaha
yang bergerak pada sektor yang beragam tentunya sangatlah sulit dikelola. Pada dekade
1960-an dan 1970-an, strategi diversifikasi menjadi populer karena setiap perusahaan
berusaha semaksimal mungkin agar tidak tergantung hanya pada satu jenis usaha saja. Tetapi
konsep pemikiran tersebut mulai surut sejak dekade 1980-an. Pada prinsipnya kecenderungan
baru tersebut dimotori oleh keinginan untuk menjadi lebih baik dan tidak bergerak terlalu
jauh dari basis kompetensi utama (core competence) setiap perusahaan.

Namun demikian, hal tersebut bukan berarti strategi diversifikasi sudah benar-benar hilang.
Masih cukup banyak pula perusahaan yang berhasil dengan strategi ini, terutama bagi
perusahaan yang bergerak di wilayah bisnis yang mengalami kecenderungan menurun
(decline), seperti ketika Philip Morris, sebuah produsen rokok membeli Kraft General Food,
sebuah perusahaan makanan dalam kelompok Nestle. Hal ini dilakukan karena konsumsi
rokok semakin menurun akibat peningkatan kesadaaran konsumen atas kesehatan dan bahaya
rokok.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Concentric Diversification

Diversifikasi terkonsentrasi merupakan suatu strategi yang menghasilkan produk atau


layanan baru tetapi berhubungan/terkait dengan yang telah ada. Contoh dari strategi ini
adalah Harian Kompas yang memunculkan berbagai suratkabar, tabloid, dan majalah baru.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Horizontal Diversification

Jika suatu perusahaan menerapkan strategi yang menambah produk atau layanan baru yang
tidak berhubungan/terkait dengan yang telah ada, tetapi ditujukan kepada pasar/ konsumen
yang telah ada disebut sebagai diversifikasi horizontal. Perhatikan Garuda Indonesia Airways
yang memiliki beberapa jaringan hotel di Indonesia.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Conglomerate Diversification


Ketika suatu perusahaan menambah suatu produk atau layanan baru yang tidak terkait/
berhubungan dengan yang sekarang ada, maka strategi tersebut disebut sebagai diversifikasi
konglomerat. Pada beberapa kasus terjadi bahwa strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan melalui aktivitas memecah perusahaan yang telah dibeli atau
menjual kembali salah satu atau lebih devisinya. Ketika Lippobank memutuskan untuk
bergerak di sektor properti atau ketika Bimantara memasuki sektor televisi merupakan dua
contoh strategi konglomerasi. Demikian pula Maspion dengan Maspion Bank-nya.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Defensive Strategies

Pada prinsipnya, strategi defensif ditujukan untuk mempertahankan eksistensi perusahaan


dari semakin ketatnya persaingan bisnis dan berbagai ketidakpastian eksternal yang sulit
(terkadang tidak mungkin) dikontrol dan diprediksi. Strategi defensif seringpula dikenal
sebagai survival strategy, yang cenderung terjadi dalam suasana krisis ekonomi.

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Joint Venture

Joint Venture, biasa disingkat JV, merupakan strategi yang sangat populer. Strategi ini
muncul ketika dua atau lebih perusahaan membentuk suatu kerjasama atau konsorsium dalam
rangka memanfaatkan peluang yang ada secara bersama-sama. Strategi ini masuk dalam
kategori strategi defensif karena perusahaan yang melakukan JV tidak berminat untuk
bekerja/ mengambil resiko sendiri. Tidak jarang, pihak-pihak yang bermaksud melakukan
kerjasama tersebut membentuk suatu perusahaan baru dengan tujuan menjalankan kerjasama
yang dimaksud. JV bisa terjadi dalam berbagai bentuk seperti R&D, jaringan dan sistem
distribusi, kesepakatan linsensi, kesepakatan produksi, juga upaya untuk mengajukan
penawaran bersama agar dapat memenangkan suatu tender.

JV dan kesepakatan kerjasama banyak digunakan secara luas karena kemampuannya untuk
meningkatkan komunikasi dan jaringan kerja, untuk melakukan operasi secara global, serta
untuk menurunkan resiko. Bahkan kesepakatan kerjasama antar perusahaan yang sedang
bersaing secara langsung juga terjadi. Biasanya kesepakatan kerjasama ini merupakan
jembatan untuk mensinergikan keunggulan kempetitif di bidang masing-masing, baik itu
teknologi, distribusi, riset dasar, maupun kapasitas produksi.

Strategi ini begitu populer di kelompok industri yang bersifat padat modal (intensive capital)
dan penuh resiko, seperti industri farmasi dan komputer. Berbagai kisah di balik strategi
Microsoft memasuki pasar Cina merupakan contoh penerapan strategi JV. Di bidang media
adalah hadirnya Harian Surya di Surabaya sebagai hasil JV antara Kompas dan Pos Kota.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Retrenchment

Strategi penciutan dilakukan ketika organisasi mengelompok kembali melalui reduksi biaya
dan aset dalam upaya membalikkan proses penurunan penjualan dan laba perusahaan.
Strategi ini terkadang dikenal sebagai strategi turnaround atau reorganizational. Tujuan dari
strategi ini adalah untuk memperkokoh keunggulan yang membedakan (distinctive
competences) yang dimiliki perusahaan. Pada masa strategi ini dijalankan, operasi
perusahaan berjalan dengan sumber daya (terutama dana) yang terbatas dan akan berada pada
kondisi penuh tekanan dari berbagai pihak seperti pemilik saham, pegawai, dan media.
Strategi penciutan dapat berbentuk penjualan aset untuk memperoleh dana tunai,
pemangkasan lini produk (product line), menutup bisnis yang kurang menguntungkan atau
yang tidak termasuk core competence perusahaan, otomasi proses, pengurangan jumlah
pegawai, dan penerapan sistem kontrol pengeluaran biaya. Pengurangan kapasitas produksi
berbagai perusahaan selama krisis moneter di Indonesia dapat diangkat sebagai contoh.
Demikian pula dengan kebijakan PHK maupun pemulangan tenaga kerja asing demi menjaga
keberlangsungan bisnis selama krisis.

Yang perlu diperhatikan adalah keputusan untuk membangkrutkan diri bisa juga hadir
sebagai salah satu bentuk penerapan strategi penciutan ini. Oleh karenanya perlu dicermati
hubungan antar perusahaan dalam satu kelompok usaha dan kesehatan keuangan keseluruhan
kelompok usaha tersebut dalam kaitan dengan strategi pembangkrutan diri ini.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Divestiture

Menjual sebuah divisi usaha atau bagian dari organisasi perusahaan disebut sebagai strategi
divestasi. Seringkali strategi divestasi dilakukan dalam rangka memperoleh dana segar bagi
kepentingan investasi atau akuisisi strategik lebih lanjut atau di bidang lain yang lebih
prospektif. Divestasi bisa pula merupakan bagian dari keseluruhan strategi penciutan untuk
membersihkan/menyingkirkan berbagai bisnis yang tidak menguntungkan, yang
membutuhkan terlalu banyak modal, atau bagian yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
aktivitas perusahaan.

Strategi divestasi menjadi populer ketika perusahaan berupaya untuk kembali dalam core
competence-nya serta mengurangi komleksitas diversifikasinya agar lebih terkelola dengan
baik. Keputusan PT HM Sampoerna untuk melepas berbagai bisnisnya seperti perbankan,
properti, dan transportasi (dalam rangka kembali ke inti usahanya, rokok) sebelum krisis
melanda Indonesia merupakan suatu contoh strategi ini.

<!--[if !supportLists]-->d. <!--[endif]-->Liquidation

Strategi likuidasi dapat diidentifikasi ketika perusahaan melakukan penjualan seluruh asetnya
secara bagian per bagian untuk menghasilkan dana tunai. Likuidasi biasanya dipahami
sebagai pengakuan atas kekalahan dan cenderung — secara emosional — sulit dijalani.
Namun demikian, bisa dimengerti bahwa lebih baik menghentikan operasi daripada
mengalami kerugian yang lebih besar. Likuidasi berbagai bank di Indonesia merupakan
contoh.

<!--[if !supportLists]-->e. <!--[endif]-->Combination

Strategi kombinasi adalah perpaduan antara dua atau lebih strategi yang dijalankan secara
simultan. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa strategi kombinasi harus dioperasikan
secara sangat hati-hati karena jika terlalu dalam dalam membawa resiko yang lebih besar.
Tidak ada perusahaan yang dapat menerapkan semua strategi secara bersamaan meskipun
semuanya ditujukan utnuk memberikan keuntungan pada perusahaan. Oleh karenanya, di
tengah sulitnya penentuan yang diambil, skala prioritas yang baik dan tepat perlu dibangun.
Hal ini dibutuhkan karena sumber daya yang dimiliki perusahaan tentunya memiliki
keterbatasan tertentu. Prioritas sangat dibutuhkan, karena dalam penerapan strategi kombinasi
akan berarti pula terjadinya penyebaran sumber daya dan kemampuan yang mungkin akan
terbaca oleh kompetitor sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah yang justru
membahayakan posisi perusahaan.

Dalam suatu perusahaan yang sangat terdiversifikasi, strategi kombinasi seringkali diterapkan
ketika divisi-divisi yang ada menerapkan strategi berbeda. Demikian juga perusahaan yang
sedang berusaha untuk mempertahankan operasinya (struggle for survival) biasanya
menerapkan strategi kombinasi dari beberapa strategi defensif secara simultan.

Merger dan Leveraged Buyouts (LBO)

Akuisisi dan merjer merupakan dua cara yang secara umum digunakan untuk menjalankan
strategi. Suatu akuisisi terjadi ketika sebuah perusahaan besar membeli suatu perusahaan
yang (biasanya) lebih kecil. Suatu merjer adalah tindakan ketika dua buah atau lebih
perusahaan yang relatif berukuran sama menyatukan diri dan membentuk perusahaan baru.
Ketika akuisisi atau merjer tidak diharapkan kedua belah pihak, maka tindakan tersebut
disebut sebagai pengambilalihan (takeover) atau pengambilalihan paksa (hostile takeover).

Berbagai tindakan merjer, akuisisi, dan pengambilalihan sering pula dijalankan sebagai
strategi untuk menjadi yang paling besar dan tangguh. Langkah ini banyak dilakukan di
berbagai industri seperti perbankan, asuransi, pertahanan, kesehatan, farmasi, makanan,
penerbangan, penerbitan, komputer, ritel, keuangan, bioteknologi, dan sebagainya. Beberapa
alasan tentang perlunya merjer adalah: untuk memperbaiki kapasitas utilisasi; untuk
memaksimalkan pemanfaatan kekuatan penjualan; mengurangi staf manajerial; memperoleh
skala ekonomi (economies of scale); untuk memperkecil pengaruh trend musiman dalam
penjualan; untuk memperoleh akses baru kepada pemasok, distributor, kastemer, produk, dan
kreditor; untuk memperoleh teknologi baru; dan untuk strategi pembayaran pajak.

Sementara itu, LBO adalah suatu keadaan di mana para seluruh saham perusahaan dibeli oleh
pihak manajemen perusahaan atau oleh investor lain dengan memanfaatkan dana pinjaman.
Selain untuk menghindari pengambilalihan paksa, tindakan ini dilakukan karena berbagai
keputusan manajemen unit usaha tertentu tidak sesuai dengan keseluruhan strategi korporasi
atau unit tersebut hendak dijual untuk memperoleh dana tunai, atau unit bisnis tersebut
sedang memperoleh tawaran harga yang atraktif. Sebuah LBO mengubah perusahaan menjadi
pribadi (private, tidak publik). Pada saat ini aktivitas LBO menjadi bisnis yang menarik
karena perusahaan yang telah dibeli tersebut (biasanya setelah disehatkan) dapat dijual
kembali bagian per bagian untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar, bahkan
terkadang dengan harga premium. Bank yang bergerak di sektor ini biasa disebut sebagai
merchant banking.

Namun demikian, perlu dicermati bahwa perusahaan yang dibeli investor secara LBO harus
lebih hati-hati. Kehati-hatian tersebut erat kaitannya dengan peluang menjual kembali
perusahaan tersebut dengan harga premium atau menjadikan perusahaan tersebut sebagai
“sapi perahan” untuk membayar kembali utang yang digunakan untuk LBO atau untuk
membiayai kebutuhan dana segar di bidang lainnya.
EFEKTIVITAS INDUSTRI vs POSISI KOMPETITIF
Begitu banyak aktivitas dilakukan untuk membuat, memproduksi, menjual, dan
menyampaikan (delivery) sebuah produk atau layanan merupakan unit dasar dari keunggulan
kompetitif. Efektivitas operasional (operational effectiveness) berarti menjalankan berbagai
aktivitas tersebut dengan lebih baik – yaitu lebih cepat atau dengan input atau kerusakan yang
lebih redah – daripada perusahaan pesaing.

Perusahaan dapat meraih beragam keunggulan dari efektivitas operasional, sebagaimaan


ditunjukkan oleh perusahaan-perusahaan Jepang pada dekade 1970–an dan 1980-an melalui
cara-cara TQM dan perbaikan terus-menerus. Tetapi, dari sudut pandang kompetitif,
persoalan yang dihadapi oleh efektivitas operasional adalah kebiasaan-kebiasan baik
sangatlah mudah disamai dan bahkan diungguli. Sebagaimana setiap kompetitor dalam
industri tersebut mengadopsinya, tapal batas produktivitas (productivity frontier) – yaitu nilai
maksimum yang bisa disampaikan oleh perusahaan pada suatu biaya tertentu, dengan
teknologi, ketrampilan, dan teknik manajemen terbaik yang tersedia – bergeser ke luar
menurunkan biaya dan meningkatkan nilai pada saat yang sama. Kompetisi seperti itu
menghasilkan perbaikan yang absolut dalam efektivitas operasional, tetapi relatif tidak
memberikan peningkatan kepada siapa pun. Dan semakin banyak benchmark yang dilakukan
perusahaan, maka semakin banyak titik temu kompetitif (competitive convergence) yang
terjadi. Artinya, semakin sulit membedakan antara satu perusahaan dengan yang lainnya.

Pemposisian strategik (strategic positioning) berusaha untuk mencapai keunggulan kompetitif


yang berkelanjutan dengan cara mempertahankan apa yang khas dari perusahaan tersebut.
Artinya, menjalankan aktivitas yang berbeda dibanding para pesaing atau menjalankan
aktivitas yang sama melalui cara-cara yang berbeda. Posisi strategik dapat berbasis pada
kebutuhan kastemer, aksesibilitas kastemer, atau keragaman produk atau layanan perusahaan.
Michael A. Porter (Porter, 1996) mengidentifikasi adanya tiga prinsip dasar yang melandasi
strategic positioning, yaitu:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Strategi merupakan sebuah karya dari suatu posisi


yang unik dan berharga serta melibatkan seperangkat aktivitas yang berbeda.

Pada prinsipnya, posisi strategik muncul dari tiga sumber daya yang membedakan, yaitu:

<!--[if !supportLists]-->a. <!--[endif]-->Melayani sedikit kebutuhan dari banyak kastemer.

<!--[if !supportLists]-->b. <!--[endif]-->Melayani banyak kebutuhan dari sedikit kastemer.

<!--[if !supportLists]-->c. <!--[endif]-->Melayani banyak kebutuhan dari banyak kastemer


dalam suatu pasar yang sempit.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Strategi mensyaratkan terjadinya pertukaran (trade-


off) dalam berkompetisi, yaitu untuk memilih apa yang tidak akan dilakukan.

Beberapa bentuk kegiatan kompetitif tidak dapat dipadukan dengan lainnya (incompatible),
sehingga keberhasilan di suatu wilayah hanya dapat dicapai jika terjadi
pengorbanan/pengeluaran di wilayah yang lain. Trade-offs adalah sangat penting bagi
strategi, karena menciptakan kebutuhan untuk memilih (memutuskan) dan secara sengaja
membatasi apa yang dapat ditawarkan oleh perusahaan. Sebagai contoh, sabun Neutrogena
diposisikan sebagai produk kesehatan dari pada sebagai sabun cuci tangan. Perusahaan
mengatakan “tidak” pada penjualan berbasis zat pewangi, melepas volume (penjualan) besar,
dan mengorbankan efisiensi produksi. Sebaliknya, keputusan Maytag untuk memperluas lini
produknya dan membeli merek lain menunjukkan contoh kegagalan untuk melakukan
pertukaran (trade-offs). Akibatnya keberhasilan di bidang pemasukan hanyalah hasil dari
pengorbanan return on sales.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Strategi melibatkan penciptaan kesesuaian (fit) di


tengah berbagai aktivitas perusahaan.

Fit merupakan sesuatu yang berkaitan dengan cara aktivitas-aktivitas perusahaan berinteraksi
dan saling memperkuat satu dengan lainnya. Misalnya, Vanguard Group mengkaitkan seluruh
aktivitasnya dengan strategi biaya rendah; perusahaan ini mendistribusikan dana langsung
kepada para konsumen dan meminimalkan turnover portfolio. Fit mendorong keduanya, baik
keunggulan kompetitif maupun keberlanjutan. Artinya, ketika berbagai aktivitas secara
mutualisme saling memperkokoh satu dengan lainnya, para pesaing tidak secara mudah bisa
menirunya. Jika pun meniru maka harus ditiru secara keseluruhan sistem. Ketika Continental
Lite mencoba untuk memadukan aktivitasnya dengan beberapa (tetapi tidak seluruh sistem
yang saling mengunci) aktivitas Southwest Airlines, hasil yang diperoleh adalah kehancuran.

Berdasarkan ketiga prinsip dasar di atas, dapat dijelaskan bahwa para pegawai membutuhkan
panduan tentang bagaimana memperdalam (menggali lebih dalam) posisi strategik dari pada
memperluas atau mengkompromikannya. Tentang bagaimana memperluas keunikan
perusahaan sambil memperkuat kesesuaian (fit) di tengah berbagai aktivitasnya. Pekerjaan
untuk menentukan kelompok sasaran (target group) serta kebutuhan yang mana yang akan
dilayani mensyaratkan adanya disiplin, kemampuan untuk menetapkan batasan, dan
komunikasi secara terbuka/transparan. Manajemen Umum lebih dari sekadar pelayanan
(stewardship) fungsi-fungsi individual; dan inti sebenarnya adalah mendefinisikan serta
mengkomunikasikan keunikan posisi perusahaan, membuat trade-offs, dan menempa fit
dalam berbagai aktivitasnya. Jelas sekali bahwa strategi dan kepemimpinan merupakan suatu
rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.
DAFTAR PUSTAKA

David, Fred R. Strategic Management, Philippines: Prentice Hall, 1998.

Davidson, Kenneth. “Do megamergers make sense?”, Journal of Business Strategy, 7, no. 3,
Winter 1987, p. 45.

Fournier, Susan dan John Deighton. Consumer Behavior Exercise A – F, Harvard Business
School, 8 May 1997.

Pass, Christopher dan Bryan Lowes. Kamus Lengkap Bisnis, Jakarta: Penerbit Erlangga,
1997.

Porter, Michael A. “What is strategy?”, Harvard Business Review, November-December


1996, pp. 61-78.

Porter, Michael A. Competitive Advantage: Creating and sustaining superior performance,


New York: The Free Press, 1985.

Porter, Michael A. Competitive Strategy: Techniques for analyzing industries and


competitors, New York: The Free Press, 1980.

Umar, Husein. Riset Strategi Perusahaan, Jakarta: Gramedia, 1999.

You might also like