You are on page 1of 18

1 Pengertian Peranan Sosial

a. Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status (kedudukan).


Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan status yang
dimilikinya, maka ia telah menjalankan peranannya.
Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan
atau status.
Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peranan tanpa
kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peranan, Contoh:
Achieved Status adalah kedudukan yang diperoleh seseorang dengan disengaja.
Contoh: kedudukan yang diperoleh melalui pendidikan guru, dokter, insinyur,
gubernur, camat, ketua OSIS dsb.
-
Dalam rumah tangga, tidak ada peranan Ayah jika seorang suami tidak mempunyai
anak.

-
Seseorang tidak bisa memberikan surat Tilang (bukti pelanggaran) kalau dia bukan
polisi.
Peranan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang, karena dengan peranan
yang dimilikinya ia akan dapat mengatur perilaku dirinya dan orang lain. Seseorang
dapat memainkan beberapa peranan sekaligus pada saat yang sama, seperti seorang
wanita dapat mempunyai peranan sebagai isteri, ibu, karyawan kantor sekaligus (lihat
gambar 2).

Konflik peranan timbul ketika seseorang harus memilih salah satu diantara peranannya
misalnya sebagai ibu atau sebagai karyawan kantor.

b. Konflik Peranan
Konflik peranan timbul apabila seseorang harus memilih peranan dari dua atau lebih
status yang dimilikinya. Pada umumnya konflik peranan timbul ketika seseorang
dalam keadaan tertekan, karena merasa dirinya tidak sesuai atau kurang mampu
melaksakan peranan yang diberikan masyarakat kepadanya. Akibatnya, ia tidak
melaksanakan peranannya dengan ideal/sempurna.
Contoh: Ibu Tati sebagai seorang ibu dan guru di suatu sekolah. Ketika puterinya sakit,
ia harus memilih untuk masuk mengajar atau mengantarkan anaknya ke dokter. Pada
saat ia memutuskan membawa anaknya ke dokter, dalam dirinya terjadi konflik karena
pada saat yang sama dia harus berperanan sebagai guru mengajar dikelas.
Pernahkah Anda mengalami konflik peranan? Misalnya, saat Anda tertekan ketika
harus menjelaskan peranan anak dan siswa dalam waktu yang bersamaan? Hanya Anda
yang bisa menjawabnya!

2. MENGAPA ANAKKU SERING MENGELUH “SAKIT”?


Seorang ibu mengeluhkan bahwa anaknya sering mengeluh sakit perut atau pusing
ketika harus pergi ke sekolah. Peristiwa ini sering ia alami secara terus menerus.
Ketika dia di bawa ke dokter, tidak ada penyebab fisik dari sakitnya tersebut. Ada
apa dengan anak ini? Ternyata setelah diselidiki lebih lanjut, masalah ini lebih
disebabkan si anak kurang mampu mengatasi masalahnya dalam pelajaran di
sekolah dan peran “sakit” ini muncul dalam upaya untuk menghindari masalahnya.
Peran “sakit” ini pada dasarnya dimainkan anak untuk memperoleh simpati ataupun
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan/tidak dapat diatasi olehnya. Sebenarnya peran
“sakit” ini tidak hanya dialami anak-anak saja namun juga orang dewasa di mana
tujuannya adalah untuk menghindari kesulitan atau memperoleh simpati.
Masalah belajar sering menjadi problema bagi orangtua maupun anak. Orang tua sering
mendapat kesulitan ketika anak harus pergi sekolah, menghadapi ulangan, dan hal-hal
lainnya yang berkaitan dengan masalah belajar. Seringkali ditemui, anak-anak sering
menghindari tugas-tugas sekolah, tidak mau pergi sekolah dengan alasan sakit. Anak tiba-
tiba mengeluh sakit perut kurang enak badan, atau pusing ketika ia harus pergi sekolah
atau mengerjakan tugas. Bila hal ini kerap terjadi, orang tua perlu waspada, bisa jadi
perilaku anak bersumber dari ketidakmampuannya berhadapan dengan kesulitan. Walau
demikian, untuk sampai pada kesimpulan ini, beberapa aspek perilakunya perlu
diperhatikan dengan seksama.
Apa dampaknya?
Jika kondisi ini kurang diwaspadai, dapat saja anak jadi mengembangkan cara ini sebagai
alternatif penyelesaian masalah yang ampuh. Pengulangan perilaku ini dan
keberhasilannya menggunakan peran “sakit” untuk menghindari masalah akan
menumbuhkan kebiasaan. Anak jadi akan terbiasa untuk mencari cara yang mudah demi
menghindari kegiatan belajar. Konsekuensi lainnya anak jadi mudah mengelak tanggung
jawab, tugas, atau hal lain yang tidak ingin dilakukannya dengan berpura-pura “sakit.”
Mengapa?
Peran “sakit” ini bisa muncul ketika anak merasa tidak mampu/tidak akan mampu
mengatasi/menanggulangi persoalan yang ia hadapi. Biasanya anak-anak ini memiliki
kemampuan coping (mengatasi masalah) yang lemah sehingga tekanan-tekanan yang
dihadapi dirasakan demikian berat. Dampaknya anak jadi memilih cara menghindar
sebagai upaya untuk tidak berhadapan dengan kesulitan/persoalan. Gejala ini dikenal
dengan istilah “malingering.”` Umumnya hal ini kerap terjadi pada anak-anak yang
rentan terhadap stres/tekanan, tidak percaya diri, dan kurang yakin pada kemampuan diri.
Mereka biasanya mudah merasa khawatir dan cemas dalam menghadapi hal-hal yang
tidak mereka prediksikan, mudah takut pada kegagalan, dan kurang terbiasa untuk
memecahkan masalah-masalahnya sendiri. Untuk itu, penting sekali bagi anak untuk
belajar mengatasi masalahnya sendiri tanpa terlalu banyak dibantu oleh orang dewasa.
Upaya Pencegahan
• Biasakan anak untuk belajar menanggung konsekuensi dari tindakan yang dilakukan.
Dengan demikian anak belajar untuk bersikap rasional dalam menyikapi kenyataan yang
harus dihadapi. Kebiasaan ini akan menumbuhkan keuletan dan daya tahan dalam
menghadapi kesulitan, anak jadi tidak mudah menyerah.
• Usahakan untuk tidak terlalu mencemaskan anak dengan cara meragukan kemampuan
mereka ataupun memberikan pertolongan yang berlebihan. Sebaliknya berikan
kepercayaan pada anak, semangat, dan dorongan agar keyakinan dan kepercayaan diri
akan semakin berkembang.
• Minimalkan juga pemberian pujian atau pandangan yang berlebih pada kemampuan
anak. Berikan secukupnya sesuai dengan porsinya.

Upaya Penanggulangan

• Perhatikan secara jeli apakah perilaku ini muncul hanya pada saat anak berusaha
menghindari kewajibannya, seberapa sering muncul perilaku “sakit” ini, dan konsistensi
dari perilaku ini. Jika hal ini terus menerus terjadi secara konsisten ketika ia hendak
melakukan kewajibannya (menghadapi tugas-tugas sekolah, masuk sekolah) besar
kemungkinan anak menghindari tugas dengan berpura-pura sakit.
• Periksakanlah ke dokter keluhan-keluhan yang diungkapkan anak untuk memastikan
kondisi fisik yang sebenarnya.
• Ajarkan anak untuk berani menghadapi kesulitan yang dihadapi, bantu mereka
menghadapi kesulitan dalam pelajarannya, berikan semangat untuk mengatasinya, dan
kurangilah tekanan pada anak-anak jika mereka memang lemah dalam belajar.
• Ajarkan anak untuk belajar mengungkapkan masalahnya. Untuk itu perlu bagi orang tua
menciptakan suasana yang nyaman buat anak. Usahakan untuk membina hubungan dan
kedekatan dengan anak supaya anak dapat lebih mudah mengungkapkan kesulitan dan
hambatan-hambatan yang dialaminya.
• Usahakan untuk tidak bereaksi berlebihan (memberikan perhatian, mengasihani, dan
perilaku lain yang menunjukkan simpati berlebihan) apabila anak menunjukkan reaksi
sakit berulang pada saat ia ingin menghindari tugas atau mendapatkan simpati.
• Jika peran “sakit” ini terus menerus muncul, konsultasikan pada ahlinya.

3. a. Urgensi LDF terutama di FK


Fakultas Kedokteran adalah sarana antara pematangan diri dokter-dokter. Di Indonesia
peran dokter penting dalam pemberdayaan masyarakat. Fungsi dokter sebagai
community leader dan decision maker masih sangat kentara di negeri ini. Intensitas
interaksi sosial yang tinggi pada profesi ini membuat kedokteran sebagai bidang yang
amat potensial membentuk karakter sosial masyarakat. Di sisi lain, kasus-kasus
malpraktek mulai semarak seiring perlindungan konsumen dan kecerdasan masyarakat
Indonesia. Hal tersebut menuntut seorang dokter masa depan Indonesia memiliki
kompetensi tinggi dan yang tak kalah pentingnya memiliki integritas moral yang kuat.
Sehingga tak terjadi kasus aborsi, kolusi gelap dengan pabrik obat, dan sebagainya.
Mempertimbangkan posisi dokter yang begitu pentingnya sekaligus di sisi lain memiliki
potensi kezhaliman tinggi di masyarakat, maka intervensi saat proses menjadi dokter dan
berlanjut setelah menjadi dokter menjadi sangat penting dan menentukan. Intervensi yang
terbaik adalah membekali para calon dokter dan dokter tersebut dengan bekal taqwa.
Bekal yang relatif sangat tersisih di kurikulum sebagian besar FK di Indonesia, mungkin
kecuali YARSI dan beberapa. Oleh karena itu, untuk segmentasi calon dokter, di sanalah
letak pentingnya ketegakan berdiri Lembaga Da’wah Fakultas Kedokteran (LDFK) yang
diharapkan dapat mengakarkan paradigma taqwa itu di kalangan calon dokter selama
menjalani proses pendidikannya di fakultas kedokteran. Tidak hanya tegak berdiri, tetapi
juga kemudian betapa pentingnya sebuah LDFK itu dikelola secara professional, bervisi
dan misi progresif, memiliki wibawa dan pengaruh, serta memberi dampak yang seluas
mungkin. Karena bisnis LDFK ini tidak main-main. Bahkan bukan tak mungkin imbas
pengaruh LDFK itu juga menjalar di kalangan birokrat kampus seperti dekanat, serta staf
pengajar. Sehingga bisa jadi kriteria iman dan taqwa betul-betul menjadi ruh agenda
pendidikan di setiap FK dalam merekayasa serta membina karakter lulusannya.
b. Urgensi jaringan antara LDFK
Jaringan antar LDFK sangat penting artinya. Pertama, sunnatullah sebuah sapu lidi yang
terdiri 100 lidi memiliki kekuatan jauh lebih dahsyat dari 100 lidi yang tanpa diikat.
Kekuatan jaringan ini akan lebih memberi determinasi menjawab permasalahan. Seperti
misalnya kasus Udayana ataupun nanti saat kita melobi misalnya Forum Dekan FK se-
Indonesia untuk menyemarakkan pengajian bagi mahasiswa muslim. Ataupun kita lebih
bisa mendesak birokrasi FK sebuah universitas yang belum ada LDFnya untuk
memberikan dukungannya. Nanti jaringan ini dapat membantu dalam hal konsep serta
maturasi kelembagaan. Hal ini dijabarkan di misi FULDFK poin 1 dan 5.
Kedua, kita dapat berbagi pengalaman dan keunggulan yang diberkahkan ALLAH pada
LDFK kita, sehingga LDFK seluruh nasional nanti punya standar kualitas yang kurang
lebih sama-sama unggul. Sehingga lebih dekatlah kita mencapai tujuan, yakni keluaran
alumnus FK se-Indonesia yang punya kualitas lebih kompleks, terutama dalam keimanan
dan kemampuan manajerial. Hal ini dijabarkan di misi FULDFK poin 2.
Ketiga, hal ini dapat menjadi sarana kita ikut melilitkan diri sebagai salah satu simpul
bersama dengan jaringan raksasa mahasiswa kedokteran muslim yang telah ada di
lingkup internasional. Bila telah demikian, kita bisa mengusahakan proyek sehingga
standar keluaran alumnus muslim FK se-Indonesia adalah standar internasional. Hal ini
menjadi sangat penting mengingat ketertinggalan negara kita dengan negara lain,
sehingga kita insya ALLAH dapat banyak menimba hikmah dari mereka. Dan juga
karena kita akan hidup di era persaingan global yang menuntut standar kualitas
internasional.
c. Urgensi FULDFK
Setelah kita memperoleh pemahaman pentingnya LDF di suatu FK serta pentingnya ada
jaringan antar LDFK maka kita akan membahas urgensi FULDFK. FULDFK adalah
wadah formal jaringan antar LDFK se-Indonesia. Merujuk misi lembaga yang akan kita
usung bersama-sama ini yakni:
1. Memperkuat Ukhuwah Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran se-Indonesia
2. Mendorong Lembaga Dakwah Fakultas Kedokteran di Indonesia untuk lebih
profesional dan mapan
3. Mensosialisasikan Kedokteran islam kepada masyarakat
4. Terlibat aktif merespon dan membentuk opini umat yang berkaitan dengan masalah
kesehatan
5. Advokasi terhadap kepentingan dakwah dalam bidang kesehatan
6. Mempersiapkan mahasiswa kedokteran muslim menuju dakwah profesi
7. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yang ada baik medis maupun non medis
dalam skala nasional maupun internasional.
Maka sangat nyata urgensi jaringan antara LDFK tertera di misi ini. Masih ingat bukan?
Sebut saja poin 1, 2, 5, 7. Ditambah, misi yang akan dijalankan sarana ini juga
menyiratkan betapa jaringan antar LDFK ini bila dikelola secara serius dengan format
organisasijuga berpotensi menghasilkan maslahat lewat kebijakan-kebijakan yang
dihasilkan. Keuntungan bentuk organisasi kepengurusan terhadap paguyuban lebih
lengkapnya akan dibahas setelah ini. Lingkup maslahat dari kebijakan-kebijakan yang
dihasilkanpun tak hanya berbatas LDFK saja tapi juga khalayak ramai.
Sekali lagi, kata kunci urgensi FULDFK selain hanya berupa jaringan –dalam hal ini
diakomodasi dalam bentuk kepengurusan- adalah kebijakan. Kebijakan dapat membuat
keuntungan yang sekedar jaringan dapat lebihefektif dirasakan oleh seluruh LDFK se-
Indonesia. Misalnya untuk poin 2, bila kemudian dihasilkan kebijakan mulai dari
klasifikasi kualitas LDFK, dibuat departemen yang mengurus hal itu di tingkat pusat dan
wilayah yang berfungsi menaikkan tingkat kelas tiap LDFK se-Indonesia maka proses
pemapanan tersebut dapat berjalan secara efektif, komunikatif (antar LDFK), dan efisien.
Kemudian tengoklah poin 3, 6 yang berkaitan erat dengan nilai tambah adanya kebijakan.
Ketika sebuah kebijakan dibuat serta kemudian dilaksanakan secara seragam oleh LDFK
se-Indonesia pastilah akan memberi efek yang besar bukan? Hanya saja, kalimat indah
tersebut hanya dapat terwujud apabila organisasi ini dapat terlebih dahulu membuktikan
bahwa dirinya membawa manfaat yang banyak terhadap konstituennya sendiri. Sehingga
kemudian, pada awal-awal masa kepengurusan, misalnya tahun pertama, orientasi
lembaga ini harus lebih tercurah pada misi-misi poin 1, 2, 5.
Kami perlu memberi catatan khusus kepada misi poin 6. Semoga kita masih ingat
substansi urgensi adanya LDF di FK. Maka kita juga harus memikirkan harus adanya
kontinuitas antara da’wah kampus FK dengan da’wah profesi kedokteran. Kami termasuk
yang berpendapat bahwa kepengurusan FULDFK nanti sebaiknya sebagian besar akan
diisi oleh rekan-rekan yang telah melewati fase top manager masing-masing kampus.
Yang jika ditilik dari sudut pandang akademik, rekan-rekan ini sudah ada di fase klinik
dan relatif sebentar lagi akan lulus menjadi dokter. Maka FULDFK dapat menjadi sarana
aktivitas rekan-rekan yang biasanya menjadi pengangguran di kampus karena tak banyak
lagi amanah intra-kampus. Sekaligus karena dalam interaksinya akan sering
bersinggungan dengan da’wah profesi, FULDFK dapat menjadi sarana mempersiapkan
kader-kadernya untuk juga terjaga akhlak dan semangat da’wahnya saat telah menjalani
profesi sebagai seorang dokter. Sehingga upaya tiap LDFK dan FULDFK yang berusaha
mentransformasi calon-calon dokter menuju ketakwaan ada kelanjutannya. Karena bisa
jadi percuma saja kalau usaha transformasi itu hanya saat fase calon dokter tanpa ada
mekasnisme penjagaan ketakwaan setelah itu. Padahal godaan dunia yang nista justeru
lebih dahsyat saat kita berdiri sebagai seorang dokter.
Mengenai mengapa pengurus FULDFK sebaiknya dikhususkan bagi rekan-rekan yang
telah melewati fase top manager di kampusnya masing-masing selain alasan yang telah
dikemukakan di atas, kami perlu menambahkan catatan khusus. Hal ini berkait erat
menjawab sebagian besar kekhawatiran LDFK yang takut kadernya diambil. Serta juga
sebagai solusi menjawab masalah bahwa banyak rekan-rekan kader LDFK yang telah
melewati fase top manager di kampusnya yang menjadi pengangguran karena tak banyak
lagi amanah, padahal kapasitas mereka jelas besar karena telah terbiasa dengan amanah
di tahun-tahun sebelumnya.

4. . Konflik peran : konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:
• Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab
yang ia miliki.
• Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan
merupakan bagian dari pekerjaannya.
• Tuntutan-tunlutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang
lain yang dinilai penting bagi dirinya.
• Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan
tugas pekerjaannya.
b. Ketaksamaan peran : jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi untuk
dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang
berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketaksaman
melipuli: Ketidakjelasan dari saran-saran (tujuan-tujuan)
kerja:
• Kesamaman tentang tanggung jawab.

• Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.

• Kesamaman tentang apa yang diharapkan oleh orang lain.

• Kurang adanya balikan, atau ketidakpastian tentang produktifitas kerja.

Menurut Kahn, dkk (dalam Munandar, 2001:392), stres yang timbul karena
ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiiiki
kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa harga diri menurun, depresi, motivasi rendah
untuk bekerja, peningkatan tekanan darah dan delak nadi, dan kecenderungan untuk
meninggaikan pekerjaan.
5. Ciri utama dalam pelayanan kesehatan adalah adanya asimetri informasi dimana
dokter memegang kendali informasi atas pasien umumnya adalah orang yang awam
terhadap ilmu kedokteran. Kedatangannya kepada seorang dokter dengan harapan yang
sangat besar untuk mengembalikan kondisi tubuhnya kembali sehat. Dalam keadaan
awam dan sangat membutuhkan pertolongan, pasien biasanya menyerahkan kepada
dokter untuk melakukan yang terbaik terhadap tubuhnya walaupun tanpa penjelasan yang
memadai.
Permasalahan asimetri informasi pada pelayanan kesehatan memang sulit dihindari, tetapi
jurang informasi antara dokter dan pasien dapat dijembatani dengan baik dengan
pemberian informasi dari dokter ataupun tenaga kesehatan lainnya. Upaya menjembatani
asimetri informasi dilakukan pemerintah dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang mengenal istilah persetujuan tindakan
medis yang merupakan terjemahan dari frasa informed consent, pada istilah asalnya
sangat kental unsur informasi.
Menilik Teori Dasar Komunikasi
Komunikasi berasal dari kata ”communicare” yang berarti berpartisipasi atau
memberitahukan dan ”communis” yang berarti milik bersama. Komunikasi mengandung
beberapa pengertian komunikasi, yaitu: (1) Pertukaran pikiran atau keterangan dalam
rangka menciptakan rasa saling mengerti serta saling percaya demi terwujudnya
hubungan yang baik antara seseorang dengan orang lainnya; (2) Pertukaran fakta,
gagasan, opini atau emosi antar dua orang atau lebih, dan (3) Suatu hubungan yang
dilakukan melalui surat, kata-kata, simbol atau pesan yang bertujuan agar tiap manusia
yang terlibat dalam proses dapat saling tukar menukar arti dan pengertian terhadap
sesuatu (Liliweri A, 2008).

.
6.Perawat adalah sumber daya kesehatan terdekat dengan masyarakat yang telah dimiliki
pemerintah yang terlupakan untuk dilibatkan lebih besar dalam mengatasi problematika
kesehatan masyarakat. Sebenarnya, hanya memerlukan stimulus sederhana saja untuk
menggerakan mesin yang selama ini idle dibanding dengan menyediakan mesin
kesehatan primer baru yang berbiaya mahal. Upaya yang mestinya dilakukan adalah
memberikan kewenangan dan perlindungan hukum yang kuat agar perawat bisa menjadi
pilar pelayanan kesehatan primer di masyarakat. Melalui peraturan atau undang-undang,
kewenangan dan perlindungan diberikan kepada perawat perawat yang kompeten untuk
bertanggungjawab di lini depan pelayanan kesehatan dasar (primer) yang paling banyak
dibutuhkan oleh masyarakat luas. Menjadikan perawat yang saat ini ada untuk dapat
tampil maksimal di masyarakat tidaklah sulit dan mahal. Melalui kerjasama dengan
pemerintah daerah, LSM dan organisasi profesi dengan jaringan yang luas serta
dukungan perawat yang saat ini sangat tinggi, sistem registrasi, sertifikasi dan lisensi
sebagai proses profesionalisasi perawat akan berjalan dengan baik. Dalam waktu singkat,
perawat profesional akan menyebar keseluruh pelosok negeri untuk memberikan jaminan
pelayanan praktik yang berkualitas sebagai hak asasi manusia.
7. Setiap organisasi bersifat kolaboratif. Tak terkecuali organisasi yang bergerak di
bidang kesehatan. Artinya, ia—tidak bisa tidak—harus berkolaborasi dengan berbagai
pihak yang lain untuk mencapai apa yang telah menjadi visi dan misinya. Kolaborasi
tersebut antara lain dilakukan dengan penduduk atau masyarakat, stakeholder atau
pemangku kepentingan, maupun dengan organisasi-organisasi yang lain. Dalam
hubungan kolaborasi tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi bagian penting,
misalnya responsivitas personal maupun kolektif terhadap visi dan misi, responsivitas
institusi terhadap masyarakat atau pelanggan, bagaimana pemberdayaan masyarakat
dilakukan, serta bagaimana melakukan inovasi sosial. Pada keseluruhan proses tersebut,
peran dari sorang pemimpin (bridging leader) yang mampu menjembatani sangatlah
penting. Ia menjembatani antara pencapaian visi misi dengan langkah-langkah yang
dilakukannya, menjembatani organisasinya dengan masyarakat, stakeholder, organisasi
lain, maupun elemen-elemen lain di luar organisasinya, serta menjembatani antara
berbagai kelompok yang ada pada masyarakatnya.

8. Para hadirin yang terhormat,


Pengembangan keperawatan sebagai profesi tidak dapat terlepas dari upaya pemantapan
tiga pilar utama profesi yaitu pendidikan, pelayanan dan kehidupan keprofesian.
Indonesia telah memilih untuk menata sistem pendidikan tinggi keperawatan sebagai
upaya awal dan kunci peletakan landasan pengembangan profesi keperawatan. Dengan
harapan lulusan dari sistem pendidikan keperawatan merupakan input bagi sistem
pelayanan dan berperan aktif dalam pengembangan keilmuan dan teknologi keperawatan
dalam satu konteks yang utuh dan saling
tergantung.
Dalam upaya pengembangan keperawatan sebagai suatu profesi inilah, PPNI berperan
sebagai pengawal pengembangan keperawatan tersebut dan memastikan bahwa hak
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan/asuhan keperawatan yang bermutu dan cost
effective sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, terpenuhi.
Sebagaimana yang telah diakui oleh 187 negara di dunia dalam World Health Assembly
Meeting ke 54, Mei 2001 yang lalu tentang pentingnya Strengthening Nursing and
Midwifery Services. Dan menghimbau tiap negara untuk melibatkan perawat dalam
perencanaan dan implementasi kebijakan kesehatan; meninjau, menyusun dan
mengimplementasikan rencana strategic nasional dan model pendidikan, regulasi
danpraktik keperawatan serta memastikan bahwa tiap perawat memiliki kompetensi dan
pengetahuan yang memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
dilayani. Bahkan ditekankan tentang pentingnya kebijakan dan program yang menjamin
lingkungan kerja yang sehat, sistem penghargaan dan jenjang karir yang transparan. Pada
WHA ke 56 tahun 2003, tiap negara, termasuk Indonesia akan diminta melaporkan
tentang upaya pengembangan keperawatan yang sudah dilakukan sesuai resolusi yang
disepakati.
Meningat perlindungan kepada kepentingan masyarakat sebagai konsumer eksternal tidak
bisa terlepas dari perlindungan terhadap tenaga keperawatan sebagai konsumer internal.
Mengingat asuhan keperawatan yang professional dan manusiawi hanya dapat diberikan
oleh perawat dengan kualifikasi professional dan akrab dengan perlakuan yang
manusiawi, maka tidak dapat dipungkiri bahwa semua ini tidak bisa terlepas dari kondisi
dan lingkungan kerja perawat.
Lingkungan kerja baik fisik maupun non-fisik yang bersifat multidimensi sangat
mempengaruhi rekrutmen dan retensi perawat serta mutu praktik keperawatan. Indonesia
jangan sampai terlena dan mengira bahwa kita tidak akan pernah kekurangan perawat,
karena memilih keperawatan sebagai karir sangat ditentukan oleh citra keperawatan dan
lingkungan kerjanya. PPNI sangat menyadari betapa kompleksnya masalah yang dihadapi
oleh profesi keperawatan, baik dalam aspek pendidikan, pelayanan, penelitian maupun
kehidupan keprofesian. Sistem yang sudah ada sekarang masih kurang berpihak pada
profesi keperawatan. Dalam hal pendidikan, + 70% perawat masih berpendidikan SPK
yaitu setara SLA. Mereka dibebani pekerjaan melebihi kompetensi yang dimiliki dan
sering dipersalahkan untuk sesuatu yang mereka tidak disiapkan.
Dari sisi pelayanan, tidak terdapat kejelasan tujuan dan panduan pendayagunaan perawat,
sehingga pendayagunaan ketenagaan perawat yang terbatas menjadi makin tidak efektif
dan terjadi berbagai ketidasesuaian, khususnya dikaitkan dalam pembagian tanggung
jawab berdasarkan kompetensi tiap jenjang pendidikan perawat. Yang selanjutnya
berpengaruh terhadap sistem penghargaan dan jenjang karir. Status kepegawaian sebagai
tenaga honorer seringkali tidak menjanjikan dan tanpa kepastian. Sebagai contoh perawat
yang bekerja di salah satu kabupaten di Sumatera Selatan dengan sistem kontrak, setelah
selesak masa kontraknya, besar honornya harus mengulang dari awal lagi. Di di Jawa
Tengah, tenyata perawat honorer yang bekerja di salah satu Rumah Sakit tanpa kejelasan
statusnya hanya membawa pulang uang Rp. 50,000, lebih keculd ari yang kita berikan
kepada pembantu rumah tangga kita. Di satu desa terpencil di Lampung, pembagian jasa
pelayanan kesehatan adalah 40% untuk seorang dokter dan 60% lainnya harus dibagi
untuk 26 perawat. Perawat di Putus Sibau, Kalimantan Barat dekat perbatasan Malaysia
harus menyadap karet dulu sebelum bekerja sebagai perawat agar dapat meneruskan
kehidupan keluarga mereka
Ketika saya mengunjungi sejawat perawat di Kalimantan Tengah, terasa pilu perasaan
saya ketika seorang perawat mengatakan bahwa selama 35 tahun ia bekerja di Puskesmas
hingga pensiun belum pernah naik pangkat, karena selama itu ia mengerjakan limpahan
pekerjaan dokter. Yang naik pangkat justru dokter, karena kegiatan yang dilakukan oleh
rekan kita tersebut tidak dapat dihitung angka kreditnya.
Dari hasil pengkajian kebutuhan diklat tahun 1997, terhadap perawat yang bekerja di 7
propinsi ternyata lebih dari 40% perawat . Dan hasil kajian Direktorat Pelayanan
Keperawatan (2001) pada 15 propinsi terpilih menunjukkan bahwa 70% waktu kerja
mereka untuk kegiatan kebersihan dan non-keperawtaan lain bukan untuk memberikan
asuhan keperawatan. Dari segi keamanan juga kurang terjamin, khususnya transportasi
bagi perawat dinas sore dan malam, pelecehan di tempat kerja dan daerah berkonflik.
Pada kesempatan ini PPNI menghimbau kiranya Pemerintah mendukung upaya perbaikan
kondisi dan lingkungan kerja yang kondusif bagi perawat di manapun mereka bekerja,
baik lingkungan yang bersifat fisik maupun non-fisik, melalui kebijakan nasional yang
mengakomodasi perlindungan bagi perawat dan akhirnya akan berpengaruh terhadap
kinerja mereka. Kebijakan yang mengatur keseimbangan kewajiban dan hak perawat
dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat, serta memfasilitasi intenational ethical
recruitment sehubungan dengan liberalisasi tenaga kesehatan khususnya tenaga
keperawatan. PPNI siap bermitra dengan semua stakeholders agar dapat memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat.

ANTROPOLOGI KESEHATAN
A.Model Sosiologi Kesehatan
1.Model Evolusi
a.Charles Darwin – Social Darwinism ( Spesies – Natural selection )
1.Faktor ketahanan fisik
2.Berfindah, mencari tempat yang lebih cocok
3.Bertahan, pengembang iptek
b.Auguste Comte
1.Manusia adalah benda mati yang memiliki nyawa
2.Metafisika – penjelasan fenomena alam melalui analisis abstrak
3.Scientific stage – semua unsur penyebab dijelaskan melalui analisisi tentang proses
ilmiah / alamiah
c.Karl Marx
1.Setiap perbedaan akan hancur
2.Muncul peradaban paling tinggi sosialis menggantikan feodalis
3.Perubahan harus duupayakan – perombakan sosial ( revolusioner )
d.Herbert Spencer
1.Perubahan masyarakat secara alamiah
2.Masyarakat bergerak ke arah lebih baik dan sempurna
e.Emile Durkhein
Model evolusi semu, karena perubahan tidak selalu ke arah kesempurnaan :
1.Spesialis pekerjaan sederhana – mechanical solidarity
2.Kepadatan penduduk – spesialisasi berbeda – organic solidarity
f.Leslie White
1.Tingkat perubahan tidak berdasarkan urutan tapi bisa meloncat
2.Medernisasi – glonal
2.Model Struktural Fungsional
Segala praktek mempunyai manfaat tentang teori Ekuilibrium – status quo
a.Talcott Parsons
Prasyarat fungsional untuk suatu struktur :
1.Ada teknologi memadai untuk kebutuhan makan, pakaian, perumahan
2.Kebutuhan emosional, spritual, kebudayaan
3.Anggota mengkoordinasikan, mengingtegrasi dengan kebutuhan kelompok
4.Analisis lembaga masyarakat misalnay keluarga
b.Kritik
1.Kebiasaan merugikan dipertahankan
2.Unsur bermanfaat bagi sub sistem tetap tidak bagi sistem
3.Unsur bermanfaat bagi sistem tetapi tidak bagi sub sistem
4.Sistem sosial tidak selalu berhubungan secara harmonis
3.Model Komplik
a.Karl Marx
Proses sosial bukan untuk harmonisasi tapi perjuangan untuk memperoleh keuntungan –
teori pertentangan kelas
b.Komplik – dinamika sosial
Komplik – manifes dan latent
c.Analisis gejala sosial politik
4.Model Interaksi Simbolik
1.Interaksi individu – mendasar masyarakat
2.Peranan interaksi – fleksibel sesuai situasi
3.Analisis hubungan perawat – klien
B.MODEL PERILAKU KESEHATAN
Individu terlibat kegiatan medis, kerana :
1.Pencegahan penyakit
2.Diagnosis penyakit atau tindakan yang diperlukan
3.Pengobatan penyakit ( sick role behavior )
1.Model Suchman ( Social Networt Model )
Orientasi kesehatan berhubungan dengan perilaku keluarga dan ada empat unsur perilaku
sakit :
a.Perilaku itu sendiri
b.Tempat / ruang lingkup
c.Validasi perilaku selama perilaku medis
d.Sekuensinya
2.Alternatif Perilaku Sendiri
a.Mencari pertolongan kesehatan
b.Fragmentasi perawatan kesehatan
c.Menggunakan pertolongan kesehatan
d.Pengobatan sendiri
e.Menghentikan pengobatan
3.Sekuensi Peristiwa
a.Pengalaman dengan gejala penyakit
b.Penilaian terhadap peran sakit
c.Kontak dengan perawat kesehatan
d.Sembuh atau masa rehabilitasi
4.Pengalaman Sakit
a.Rasa sakit, kurang enak badan
b.Pengetahuan tentang gejala dan penafsiran
c.Takut dan cemas
d.Sistem rujukan awam ( lay referral system )
e.Sick role legitimacy
f.Jadi pasien
g.Rehabiltasi
C.DICISION THEORETIC MODEL
FAGREGA = Aplikasi lintas budaya ( cross culture )
Sistem Perilaku sakit
1.Sistem Biologis – proses fisiologis dan kimia
2.Sistem sosial – individu, kelompok, lembaga
3.Sistem fenomenologis – tingkat kesadaran pengertian individu
4.Sistem memori – pengalaman sakit. Sikap, kepercayaan yang mempengaruhi ketiga
sistem lain.
Perilaku Sakit
1.Pengenalan gejala sakit
2.Penilaian dan evaluasi sakit
3.Pertimbangkan pengobatan ( sendiri, lay referal sistem dst )
4.Ada lima bagaian :
Rencana pengobatan
Keuntungan dan kelebihan
Analisis biaya, waktu, tenaga
Analisis manfaat setiap alternatif
Memilih rencana pengobatan
5.Mengulangi perilaku berdasarkan pengalaman
Pengaruh Sosial Budaya
1.Persepsi sakit yang berbeda
2.Nilai dan biaya pengobatan berbeda dari segi budaya
D.HEALTH BELIEF MODEL
Rosenstock
1.Persepsi
2.Penilaian
3.Pencetus
E.MODEL ANDERSON DAN BARTKUS
J.G. Anderson dan D>E> Bartkus
kebutuhan kesehatanKarakteristik sosial demografi
1.Penilaian individu tentang sumber pelayanan kesehatan
2.Penilaian orang lain tentang sumber pelayanan kesehatan
3.Persepsi tentang gejala penyakit serta kecendrungan tindakan sebagai respon
4.Persepsi pelayanan kesehatan
5.Faktor ekonomi
6.Fasilitas pelayanan kesehatan ( kemudahan mendapat )
7.Faktor sosial demografi ( umur, tingkat pendidikan )
8.Kemampuan mengenali gejala
9.Orientasi pelayanan kesehatan
F.MODEL KOSA DAN ROBERTSON
1.Penilaian gangguan kesehatan
2.Rosa kuatir karena gejala penyakit
3.Penerapan pengetahuan terhadap kesehatan
4.Tindakan untuk menghilangkan kekuatiran:
Floathing anxiety : mengambang – dialami setiap orang terlepas dari penyakit itu sendiri
Specific anxiety : Respon sesuai tingkat keperawatan
- Ada pengaruh sosial budaya
G.MODEL MECHANIC
Help Seeking
1.Adanya penyimpangan 7. Keseriusan penyakit
2.Dampak sakit terhadap keluarga dan sosial 8. Frekuensi penyakit
3.Informasi yang tersedia, pengetahuan, kebudayaan 9. Batas toleransi individu
4.Kebutuhan melawan penyakit 10. Interpretasi penyakit
5.Adanya kebutuhan lain yan lebih penting
6.Sumber pengobatan yang tersedia
H.MODEL AUTONOVSKY DAN KATS
1.Motivasi predisposisi
2.Variabel kendali
3.Variabel kondisi
I.MODEL LANGLIE
Model Perilaku pencegahan gangguan kesehatan
1.Faktor Resiko
Langsung : Tidak bersih,kecelakaan
Tidak langsung : Senam, Gizi, imunisasi
2.Faktor respon :
Konsisten
Tidak konsisten
J.MODEL J. YOUNG
1.Gravity ( daya tarik ) penyakit ( berat atau ringan )
2.Home remedy ( rujukan awam )
3.Faith ( kepercayaan )
4.Accesibility ( kemudahan )
K.KOMPLIK PERAN PETUGAS KESEHATAN
1.Kepentingan pasien ( individu >< kelompok ) menjelaskan penyakit
efisiensi, efektifitas waktu, keahlia, tenaga2.Pengolaan sumber daya
3.Kepentingan pasien ( sekarang >< yang akan datangyang akan datang ) dampak
perawatan sekarang
4.Perhatian terhadap kesejahteraan pasien / klien , akibat terhadap rumah tangga pasien
5.Ketidak mampuan petugas
6.Menjaga identitas pasien / klien >< kepentingan hukum, umum
7.Tanggung jawab terhadap klien >< karir petugas
8.Peranan secara sosial, suami,ayah,istri,ibu dan tokoh
L.INTERAKSI PETUGAS – KLIEN
1.Aktif – pasif :
Kasus darurat
2.Bimbingan – kerja sama :
Penyakit akut – menular
3.Saling membantu ( mutual participation )
Penyakit kronis mis : DM
Partisipasi klien besar
M.HUBUNGAN PROFESIONAL – KLIEN
Empat bentuk interaksi :
1.Role Uncertainty
Harapan – ada kesuaian, kesempatan
Kenyataan – peran belum diperinci dengan baik
2.Responsibility Conflicts
Brickman :
Perlu ada negosiasi siapa yang bertanggung jawab
Seberapa besar partisipasi klien
Jika ada ketidak cocokan ada perundingan
3.Pawer Differences
Anderson dan Helm
1.Umumnya petugas yang berkuasa
2.Sumber kekuasaaan ( French dan Raven ) :
Rewand pawer - Coercive
Legitimate - Refferent
Expert
4.Unshared Meaning
Berger dan Luckman
Arti yang diberikan tidak sama
Perlu komunikasi yg konsisten dan kontinyu tentang fokus, ruang lingku klien
N.PERILAKU PENCARIAN PELAYANAN KESEHATAN
( Seeking and using Healh Service )
1.Perilaku masyarakay sehubungan dengan pelayanan kesehatan
2.Kerangka kerja pelayanan kesehatan
3.Tipe umum dari model penggunaan pelaynan kesehatan
4.Hekath beliet model
5.Anderson model ( pendukung , karakteristik kebutuhan )
O.FAKTOR BUDAYA PADA HARAPAN PERANSAKIT ( Alexander Segal )
1.Peran Budaya – Membentuk pengertian manusia tentang kesakitan, kesehatan,
Aktifitas – aktifitas untuk mengobati
Penting untuk mengetahui konsep sick – role
2.Keterbatasan ( Model Persons ) :
Tidak observasi sistematis dari kelakuan manusia
Observasi secara abstrak sejumlah hipotesa yang dilembagakan
Konsep baru sick role
-. Hak : Tidak menjelaskan , petigas sebagai sehat
: Tangkat orang lain (selama sakit )
3.Redefinisi
- Kewajiban : Unwanted condition – coba diatasi
: kemauan untuk mengobati
Peran sakit dipengaruhi :
Sosial Budaya
Faktor Psikologis
4.Eksplorasi faktor sosial budaya dan harapan peran sakit :
Sedikit peneliti yang mencoba menetukan perbedaan sistimatis dari sosial budaya tentang
harapan peran sakit
Tendensi umum – bersasumsi model persons tentang sick role sama untuk setiap anggota
masyarakat
akibat
Sedikit peneliti hubungan antara peran sakit – status orang ( yang mau menerima peran
sakit )
5.Fakta Empirit yang Baru
Studi pasien dari RS :Hasil penelitian Segall dan Artulke
Ada berpendapat antara umur, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, dengan peranan sakit
yang diharapkan
Tidak ada perbedaan antara karakteristik ( agama / kepercayaan, seks ras ) dengan peran
sakit yang diharapkan
P.KONSEP PERAN SAKIT ( Arnold Arluke )
Model :
1.Pendekatan struktural fungsional :
Persons – struktur – fungsional untuk menjaga keseimbangan masyarakat
Sakit – sebagai suatu peyimpangan :
Tidak dapat menjalankan fungsi naormal
Orang tidak berharap untuk mendapatkannya
2.Harapan Peran Sakit
Terdapat 2 hak terhadap peran sakit dan 2 kewajiban
Berhak untuk tidak berperan normal
Berhak utnuk tidak diberi tanggung jawab
Wajib berusaha sembuh
Wajib mencari dan bekerja sama dengan ahli dibidang pertolongan
3.Keuntungan Sekunder
Gejala dilebih-lebihkan
Status pengganti terhadap ketidakmampuan
Imbalan karena telah bekerja keras
4.Kontrol Sosial
Mengangtipasi keuntungan sekunder yang dimanfaatkan :
Kewajiban untuk sembuh
Orang sakit terisolasi dari orang sehat
bahwa peran sakit dapat mempunyai keuntungan dalam lingkup :Beberapa pandangan
sosial
institusi
individu
5.Kritik
Terhadap model Personian
Batasan terhadap kejadian akut :
Dapat diterapkan pada penyakit akut
Tidak dapat diterapkan pada penyakit kronik
Lantrogenesis
Medis Sentris
Person hanya mendasarkan pada medis amerika yang cendrung menggambarkan :
Ahli sebagai figur orang tua
Pasien sebagai figur anak-anak
Kelompok Budaya dan Kelompok Klass
Model Person kurang unversal
Pada dasarnya peran sakit dipengaruhi klass dan budaya

You might also like