You are on page 1of 7

Hentikan Kerusakan Lingkungan, di Darat dan Laut Bangka Belitung Sekarang Juga

Akibat pengerukan timah di lepas pantai terjadi perubahan topografi pantai dari yang sebelumnya landai menjadi curam. Hal ini akan menyebabkan daya abrasi pantai semakin kuat dan terjadi perubahan garis pantai yang semakin mengarah ke daratan. Aktivitas pengerukan dan pembuangan sedimen akan menyebabkan perairan di sekitar penambangan mengalami kekeruhan yang luar biasa tinggi. Radius kekeruhan tersebut akan semakin jauh ke kawasan lainnya jika arus laut semakin kuat. Karenanya, meskipun pengerukan tidak dilakukan di sekitar daerah terumbu karang, namun sedimen yang terbawa oleh arus bisa mencapai daerah terumbu karang yang bersifat fotosintetik sangat rentan terhadap kekeruhan. Menurut data 2006, cadangan bijih timah di Indonesia mencapai 355.870 ton. Angka itu terdiri atas 106.068 ton di darat dan 249.802 ton di lepas pantai dan sebagian besar cadangan timah tersebut terletak di Pulau Bangka, tempat dimana kita berpijak. Tahun lalu, produksi bijih timah PT Timah Tbk mencapai 58.086 ton. Mayoritasnya, yakni 46.078 ton ditambang di darat dan hanya 12.008 ton yang digali dari lepas pantai. Karenanya, di tahun-tahun mendatang PT Timah Tbk akan mengkonsentrasikan penambangan di daerah lepas pantai. Apalagi biaya produksi pertambangan di lepas pantai jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan pertambangan di darat. Tahun 2007 saja, PT Timah Tbk mengeluarkan Rp 724 miliar untuk biaya produksi pertambangan di darat (inilah.com, 2008). Selain itu, dari segi dampak lingkungan penambangan lepas pantai yang timbul tidak terlalu parah karena dilakukan minimal dua mil dari pantai. Sejak Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 146/MPP/Kep/4/1999 mengenai pencabutan timah sebagai komoditas strategis, Bupati Bangka saat itu, Eko Maulana Ali, sekarang Gubernur ke-3 Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, memberikan izin aktivitas penambangan skala kecil atau tambang inkonvensional (TI). Hanya dalam kurun waktu beberapa tahun, jumlah TI darat membabi buta di Pulau Bangka lalu menular hingga ke bumi laskar pelangi, Pulau Belitung. Selain itu beroperasi pula beberapa perusahaan peleburan (smelter) timah sekala menengah di Pulau Bangka membuat persaingan pertambangan timah di darat semakin tinggi.

Foto/Gambar Kapal Hisap PT TIMAH di perairan laut Bangka Belitung

Tak heran jika PT Timah Tbk menyiapkan pos peningkatan kapasitas produksi dari belanja modal sebesar Rp 551 miliar antara lain untuk menambah jumlah kapal hisap 8 buah menjadi 20 buah dan sedang menyiapkan pembangunan kapal keruk hisap untuk laut dalam yang bisa mengambil pasir timah sampai kedalaman hingga 60 meter (republika, 2008). Menurut informasi, kapal keruk tersebut akan selesai pada tahun 2009 dan memiliki kapasitas 1000 hingga 1500 meter kubik per jam. Atau dua hingga tiga kali kapasitas kapal keruk yang ada sekarang yang sebesar 600 meter kubik perjam. Menurut data dari kompas, 2005, di kawasan Kabupaten Bangka saja, PT Timah Tbk mengoperasikan delapan kapal keruk yang aktif menambang timah, dengan mengerahkan sekitar 100 pekerja di setiap kapal : Kapal Keruk Kebiyang, Tempelan, Rambat, Duyung, dan Peri. Sementara Kapal Keruk Singkep I, Riau, dan Merantai. Kapal-kapal besar itu mengeruk timah dari kedalaman 25 meter sampai dengan 50 meter di dasar laut, dengan produksi antara 20 ton sampai dengan 80 ton timah setiap delapan jam. Pengerukan itu sudah dilakukan sejak puluhan tahun lalu, rata-rata jaraknya sekitar lima kilometer dari bibir pantai. Penambangan dilakukan dengan berpindah-pindah. Jika kandungan timahnya sudah tipis, akan beralih ke tempat lain. Tahun depan PT Timah Tbk mentargetkan kontribusi produksi timah dari lepas pantai menjadi 50 persen. Tahun ini, perseroan akan membangun tujuh kapal keruk, masing-masing senilai Rp 150 miliar dan satu kapal keruk berukuran besar senilai Rp 200 miliar. Saat ini PT Timah Tbk sudah mengoperasikan 14 kapal, empat diantaranya berukuran besar dan 10 sedang.

Foto/Gambar Akitivitas Tambang Inkonvensional (TI) Apung di perairan laut Bangka Belitung

Akibat pengerukan timah di lepas pantai terjadi perubahan topografi pantai dari yang sebelumnya landai menjadi curam. Hal ini akan menyebabkan daya abrasi pantai semakin kuat dan terjadi perubahan garis pantai yang semakin mengarah ke daratan. Aktivitas pengerukan dan pembuangan sedimen akan menyebabkan perairan di sekitar penambangan mengalami kekeruhan yang luar biasa tinggi. Radius kekeruhan tersebut akan semakin jauh ke kawasan lainnya jika arus laut semakin kuat. Karenanya, meskipun pengerukan tidak dilakukan di sekitar daerah terumbu karang, namun sedimen yang terbawa oleh arus bisa mencapai daerah terumbu karang yang bersifat fotosintetik sangat rentan terhadap kekeruhan.

Foto/Gambar Akitivitas Tambang Inkonvensional (TI) Apung di perairan laut Bangka Belitung

Tidak ada pertambangan yang tidak merusak lingkungan, baik di darat maupun di laut. Kerusakan itu akan memberikan dampak untuk beberapa puluh tahun ke depan bahkan bisa bersifat permanen. Penambangan timah lepas pantai yang membabi buta jelas-jelas telah merusak terumbu karang, mengotori pantai, dan mengganggu perkembangan perikanan. Penambangan di sekitar pantai obyek wisata akan memberangus pesona pantai yang bernilai jual tinggi. Potensi besar dalam jangka panjang akan habis, hanya untuk memenuhi nafsu mengeruk keuntungan yang sesaat. Sebagai daerah kepulauan, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi yang sangat besar di sektor ekosistem pesisir terutama ekosistem terumbu karang. Namun sangat disayangkan, hingga saat ini belum jelas informasi sebaran dan kondisi ekosistem terumbu karang yang terdapat di kawasan Pulau Bangka. Kekeruhan perairan yang tinggi akibat penambangan timah dilepas pantai akan menyebabkan penutupan polip-polip karang oleh sediment yang terbawa ke pesisir. Hal ini akan menyebabkan kondisi karang menjadi merana dan akhirnya mengalami kematian massal. Tak dapat dipungkiri, pertambangan timah lepas pantai merupakan penyebab utama kerusakan ekosistem terumbu karang di Pulau Bangka. Tidak hanya akibat aktivitas dari kapal keruk, tetapi juga oleh kapal hisap dan TI Apung yang semakin marak. Terumbu karang yang sehat menyediakan tempat tinggal, tempat berlindung (Spawning ground), tempat berkembang biak (Nursery ground) dan sumber makanan (Feeding ground) bagi ribuan biota laut yang tinggal di dalam dan di sekitarnya, seperti di laut lepas, hutan mangrove, dan padang lamun. Tidak ada wilayah laut lain yang mempunyai begitu banyak jenis kehidupan dengan rantai makanan yang sangat produktif seperti terumbu karang. Terumbu karang mampu mendukung kehidupan ribuan penduduk Pulau Bangka, khususnya dalam sektor perikanan dan pariwisata. Dari 1 km2 terumbu karang yang sehat, dapat diperoleh 20 ton ikan yang cukup untuk memberi makan 1.200 orang di wilayah pesisir setiap tahun (Burke et al., 2002). Kerusakan terumbu karang akan kembali pulih seperti semula setidaknya membutuhkan waktu sekitar 50 tahun tanpa ada lagi aktivitas pengrusakan di lingkungan ekosistem terumbu karang tersebut. Tak heran jika degradasi terumbu karang yang parah ini memberikan dampak pada turunnya produksi perikanan tangkap, semakin kecilnya ukuran ikan yang tertangkap, semakin jauhnya

daerah penangkapan (fishing ground). Hal ini mendorong meningkatnya biaya produksi sehingga mengurangi rente sumberdaya (resource rent) yang menyebabkan rendahnya pendapatan nelayan khususnya nelayan skala kecil. Jika hal ini terus terjadi maka kesejahteraan masyarakat nelayan akan terancam. Tentu saja pihak yang paling dirugikan oleh aktivitas pertambangan lepas pantai adalah nelayan. Karenanya, banyak nelayan yang mengajukan protes terhadap pertambangan lepas pantai yang terjadi di sekitar daerahnya. Hal ini wajar terjadi karena aktivitas pertambangan membuat hasil tangkapan nelayan berkurang yang berakibat menurunnya pendapatan nelayan. Perairan pantai menjadi keruh dan ekosistem terumbu karang rusak parah.

Foto/Gambar Kerusakan Lingkungan akibat Akitivitas Penambangan Timah di Bangka Belitung Parahnya, tidak seperti kerusakan di darat, kerusakan di laut sulit dikontrol karena lobang-lobang bekas galian tersembunyi di dasar perairan. Namun, kerusakan alam terutama ekosistem terumbu karang akibat pertambangan lepas pantai sangat mudah dijelaskan secara ilmiah. Jika hal ini terus dibiarkan, pada titik klimaksnya, bukan mustahil akan terjadi pertikaian atau penjarahan yang dilakukan oleh nelayan yang merasa dirugikan kepada pihak penambang. Dibutuhkan win-win solution untuk masalah ini dimana kedua belah pihak akan merasa saling diuntungkan minimal tidak saling merugi, sayangnya alam akhirnya selalu menjadi pihak yang dirugikan. Ternyata bukan hanya PT Timah Tbk yang mulai memindahkan prioritas penambangannya ke daerah lepas pantai Pulau Bangka. Beberapa perusahaan swasta skala menengah yang telah membuka smelternya di Pulau Bangka atau di Pulau Belitung pun mulai jenuh dengan carut marut penambangan timah di darat. Mereka pun mulai membidik potensi timah di laut Pulau Bangka. Beberapa perusahaan smelter mulai mengadakan kapal hisap untuk mengeruk timah di Propinsi ini. Kapal hisap yang dioperasikan hanya berjarak kurang dari 4 mil laut dari bibir pantai dan kedalaman 5 20 meter.

Foto/Gambar Akitivitas Tambang Inkonvensional (TI) Apung di perairan laut Bangka Belitung

Semakin bergairahnya harga timah di dunia membuat perusahaan-perusahaan swasta berpacu mengeruk timah di Propinsi ini. Dapat diramalkan beberapa tahun ke depan, kegiatan penambangan timah di pantai akan semakin marak dilakukan mulai dari PT Timah Tbk (kapal keruk dan kapal hisap), perusahaan-perusahaan swasta skala menengah (kapal hisap) dan masyarakat (TI Apung). Memang setiap kegiatan pertambangan skala menengah hingga besar di daerah lepas pantai harus melalui tahap analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), namun sayangnya kontrol terhadap aktivitas pertambangan di lapangan sangat lemah oleh pihak terkait.

Foto/Gambar Akitivitas Tambang Inkonvensional (TI) Apung di perairan laut Bangka Belitung

Terbukti!!! Dari hasil pantauan satelit yang dimiliki Badan koordinasi Keamanan Laut

(Bakorkamla) 100% kapal hisap yang beroperasi di perairan Babel beroperasi diluar wilayah yang sudah ditentukan (Bangkapos, 9 November 2008). Tak dapat dipungkiri, yang menjadi acuan dalam pertambangan adalah ada tidaknya "timah" di lokasi tersebut, bukan karena ada tidaknya "ekosistem terumbu karang". Jika di suatu lokasi ditemukan banyak bijih timahnya dan banyak karangnya pemanambangan tetap dilakukan. Jika tidak ada ketegasan dari pemerintah daerah kita untuk mengatur sumberdaya alam ini dengan bijaksana, propinsi ini akan menunggu detik-detik kehancuran ekosistem pesisirnya setelah ekosistem di darat kita luluh lantak oleh penambangan timah darat. Laut kita kini menunggu gilirannya. Tulisan ini telah di Publish di Rubrik "Opini" Harian Bangka Pos

Selamatkan Bumi dan Lingkungan Kita

Berhentilah menyakiti aku, jika tidak ingin menderita

Mungkin kalimat diatas tadi yang akan diucapkan oleh Bumi seandainya ia bisa bicara. Ini disebabkan oleh lingkungan yang semakin rusak. Kerusakan tidak hanya terjadi di darat tapi juga laut dan udara. Kerusakan lingkungan semakin hari semakin bertambah kompleks sehingga kita pun merasakan bumi semakin panas. Ini disebabkan berkurangnya ruang yang ditumbuhi oleh pepohonan. Kerusakan ini disebabkan oleh penambangan, perkebunan dan aktivitas penduduk. Kerusakan alam di Provinsi kepulauan Bangka Belitung lebih banyak disebabkan oleh kegiatan pertambangan. Kegiatan pertambangan dapat berdampak pada perubahan/rusaknya ekosistem. Ekosistem yang rusak diartikan sebagai suatu ekosistem yang tidak dapat lagi menjalankan fungsinya secara optimal, seperti perlindungan tanah, tata air, pengatur cuaca, dan fungsi-fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan. Kegiatan penambangan timah di Bangka Belitung menyebabkan timbulnya lobang-lobang besar. Lobang-lobang ini dengan mudah ditemukan disetiap sudut daerah ini. Kerusakan alam yang terjadi di Provinsi kepulauan Bangka Belitung sangat parah. Kerusakan ini tidak hanya terjadi di darat tetapi juga dilaut. Aktivitas penambangan di darat menyebabkan hilangnya vegetasi tumbuhan yang bisa menyerap air. Sedangkan penambangan di laut menyebabkan rusaknya terumbu karang serta kekeruhan meningkat. Meningkatnya kekeruhan akan menghalangi sinar matahari masuk kedalam laut sehingga proses fotosintesis terganggu, hingga pada akhirnya juga akan mengganggu keseimbangan ekosistem di laut. Gangguan ekosistem akibat penambangan ini dikategorikan dalam gangguan yang mempunyai intensitas berat. Hal ini dikarenakan struktur hutan rusak berat/hancur yang menyebabkan produkfitas tanahnya menurun (http://dim.esdm.go.id). Dampak lain yang timbul akibat penambangan timah adalah lahan yang terdegradasi. Degradasi pada lahan bekas tambang meliputi perubahan sifat fisik dan kimia tanah, penurunan drastis jumlah spesies baik flora, fauna serta mikroorganisme tanah. Dengan kata lain, lahan yang terdegradasi memiliki tingkat kesuburan yang rendah dan struktur tanah yang kurang baik untuk pertumbuhan tanaman (http://agarica.wordpress.c0m, 2009). Untuk memperbaiki kondisi lahan yang rusak akibat kegiatan pertambanga dapat dilakukan berbagai cara, salah satunya dengan reklamasi. Reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki lahan pasca penambangan, yang kemudian dilanjutkan dengan kegiatan revegetasi. Revegetasi sendiri bertujuan untuk memulihkan kondisi fisik, kimia dan biologis tanah tersebut. Namun upaya perbaikan dengan cara ini masih dirasakan kurang efektif, hal ini karena tanaman secara umum kurang bisa beradaptasi dengan lingkungan ekstrim, termasuk bekas lahan tambang. Oleh karena itu aplikasi lain untuk memperbaiki lahan bekas tambang perlu dilakukan, salah satunya dengan mikroorganisme. Perbaikan kondisi tanah meliputi perbaikan ruang tubuh, pemberian tanah pucuk dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Kendala yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas tambang yaitu masalah fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur tanah.

Masalah kimia tanah berhubungan dengan reaksi tanah (pH), kekurangan unsur hara, dan mineral toxicity. Untuk mengatasi pH yang rendah dapat dilakukan dengan cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis pohon, dan pemanfaatan mikroriza. Oleh karena itu diperlukan pemilihan spesies yang cocok dengan kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti adaptif untuk tambang. Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas tambang tersebut. Untuk menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka dilakukan langkah-langkah seperti perbaikan lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, dan penggunaan pupuk. Untuk mengevaluasi tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang, dapat ditentukan dari persentasi daya tumbuhnya, persentasi penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan tersebut, peningkatan humus, pengurangan erosi, dan fungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat keberhasilan yang dicapai dalam merestorasi lahan bekas tambang (http://dim.esdm.go.id). Jika bumi tetap dibiarkan seperti saat ini maka bukan tidak mungkin bencana akan melanda negri ini dan Bangka Belitung khususnya. Dengan semakin langkanya tumbuhan maka cadangan air juga berkurang. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama untuk menjaga bumi ini agar kehidupan tetap berlangsung dengan baik. Serta melaksanakan pepatah muda menanam, tua menuai untuk membuat bumi tersenyum pada kita. Sehingga kita tidak kepanasan lagi, tidak lagi dilanda kekeringan yang berkepanjangan serta generasi mendatang tetap bisa merasakan keindahan dan kekayaan alam Indonesia ini. Kesadaran pribadi turut mendukung keberhasilan program yang dicanangkan pemerintah untuk menjadikan Indonesia Hijau kembali.

PENULIS : Heliani

You might also like