Professional Documents
Culture Documents
hidup manusia, sehingga menafikan eksistensi dari makhluk lainnya. lihat saja
misalnya dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, bagaimana eksploitasi terhadap
alam dilakukan tanpa mengindahkan stabilitas dan susunan alam itu sendiri. Lihat
juga dalam perkembangan ilmu-ilmu social, bagaiman prinsip-prinsip hidup
bersama hanya untuk menaikkan satu golongan dan mendeskreditkan golongan
lainnya. Pada dasarnya ini berawal dari persoalan epistemology yang mendasar
wujud bangun dan rancang dari ilmu pengetahuan.
Akan tetapi di awal abad ini muncul seorang Filosof, Karl Raimund
Popper yang mengajukan kritik terhadap arus neo-positivisme yang bercorak
deduktif-verifikatif. Dia mengemukakan solusi ilmu dengan epistemology yang
dikenal dengan Konjektur dan Falsifikasi. Penulisan ini bertujuan untuk
menjawab: (a) Bagaimanakah pandangan Popper terhadap pembentukan
pengetahuan manusia (b) Bagaimanakah teori Konjektur dan Falsifikasi
mengkritisi budaya induksi dan neo-positivisme dan (c) Bagaimana relevansi
epistemology Konjektur dan Falsifkasi terhadap ilmu-ilmu keagamaan.
B. Biografi Popper
Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Seorang filosof
sains keturunan Inggris-Austria. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal Juli 1902 dan
kemudian meninggal pada Agustus 1994. Dia anak ketiga dan kedua kakaknya
adalah perempuan, Bapaknya Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor
hukum dari University of Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff
adalah seorang ahli musik.2 Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar
belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang yang anti
terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu; Pertama,
pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena
pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi
pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima
sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah
2
Sumedi, Ibn Taymiyah (1262-1328) dan Karl Raimund Popper (1902-1994): Analisis
Perbandingan Epistimologi dan Implikasinya pada Pendidikan Islam, Disertasi, (Yogyakarta: UIN
Sunan Kalijaga, 2007), h.43-44 (tidak diterbitkan)
3
3
Diunduh dari Priyanto, Falsificationism Karl Popper, http://insancita.4t.com pada
17/04/2009.
4
Wiliam Berkson & Jhon Wettersten, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper,
terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), h. 30.
5
Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 105.
4
Meski pun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari
anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna
Circle)6. Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan
tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia
banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor
Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam
terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita
lihat selanjutnya.
Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak
menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia.
Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain : Logic der Forschung (logika
penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris
pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di
Selandia Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun
1957, dan The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada
tahun 1966. Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures
and Refutation; The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi
tentang problematika pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang
menyertainya. Kemudian buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu
Objective Knowledge; An Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam
buku ini dijabarkan pula teorinya tentang “Dunia 3”, dunia ojektif, yaitu dunia
yang secara historis merupakan asal ilmu pengetahuan7.
bantahan dan sanggahan dari induksi dan verifikasi yang banyak dikembangkan
oleh para filsuf sebelumnya. Sebut saja Francis Bacon (1561-1626), yang disebut
sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan, sangat mengandalkan metode induksi dalam
menerima kebenaran sebuah teori, kemudian metode ini dikemas ulang oleh Jhon
Stuart Mill (1806-1873). Teori apa saja akan dianggap benar dengan cara
penarikan kesimpulan berdasarkan kepada metode induksi. Metode induksi berarti
juga metode 'proses generalisasi'. Induksi dipahami dengan metode pengetahuan
yang bertitik pangkal pada pemeriksaan (eksperimen) yang teliti dan telaten
mengenai data-data partikular, selanjutnya rasio bergerak menuju suatu penafsiran
atas alam.
Kemudian metode induksi terus menjadi asas oleh para ilmuan dan hampir
tidak pernah diperdebatkan. Metode ini menjadi karakter dalam ilmu-ilmu
pengetahuan dengan melakukan generalisasi dari hal-hal yang partikular, atau
dikatakan juga metode induksi berangkat dari beberapa kasus partikular kemudian
dipakai untuk menciptakan hukum umum dan mutlak perlu. Misalnya berdasarkan
pengamatan terhadap beberapa angsa yang ternyata berwarna putih, maka dengan
melakukan induksi dapat dibuat teori yang lebih umum bahwa semua angsa
berwarna putih. Metode induksi ini terus mengalami perkuatan oleh para filsuf
diantaranya Jhon. S. Mill yang lebih khusus menyusun kerangka berpikir induktif
sebagai metode ilmiah yang valid8.
Selanjutnya Popper juga dihadapkan oleh metode verifikasi, baik yang
dikembangkan oleh Filsuf dalam lingkaran Wina mau pun di luar Wina sendiri.
Verifikasi telah memproklamirkan diri sebagai satu-satunya metode untuk
menguji ilmiah atau tidaknya sebuah teori. Atau dikatakan juga apakah sesuatu itu
meaningfull (memiliki arti) atau bersifat meaningless (tidak berarti). juga untuk
menilai apakah suatu ilmu dapat disebut dengan ilmu sejati (true science) atau
ilmu semu (pseudo science). Artinya jika suatu pernyataan atau dugaan dapat
diverifikasi, maka ia berarti bermakna, sebaliknya apabila tidak dapat diverifikasi
maka berarti ia tidak bermakna.
8
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme
(Yogyakarta: Rakesarasin, 2001), h. 174.
6
prinsip penggabungan antara dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam
(bold conjecture and severe critic)9.
Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan
kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. Menurut Popper perkembangan
ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight
individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi
tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk menentukan
layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah10.
Teori pra-konsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang
peneliti akan terlepas dari sikap objektifitasnya. Dikarenka dia telah terikat oleh
teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil
penelitian yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karl Popper mengatakan
bahwa objektifitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari pra-konsepsi. Malah
sebaliknya objektifitas justru diperoleh dengan membuat jelas pra-konsepsi dan
secara kritis membandingkan dengan teori lain.
Pra-konsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian yaitu
sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi
persolaan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi
dan membangun kemapanan teori baru.
Ringkasnya, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara
menduga dan melakukan penolakan. Proses menduga adalah upaya untuk
memunculkan jawanban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha
penolakan terhadap pra-konsepsi/dugaan (konjektur). Apa bila dugaan tersebut
tidak tertolak maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara yang
tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya
menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran11.
9
Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar …, h. 33.
10
Muhadjir, Filsafat Ilmu…, h. 136.
11
Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 34.
8
E. Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo
Scince)
Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-
metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Disatu pihak ia
bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode
ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi
yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang
ditebar oleh para filsuf di linkaran Wina.
Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat focus
bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung
makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau
antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan
tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa
sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui
observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya
berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta12.
Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah
demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami
dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan. (Muslih, 108).
Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi
pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang
dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa
ungkapan yang tidak bersifat ilmiah – tidak dapat dibukitkan dengan observasi
dan eksprimen – memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa
banyak munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam mau
pun sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan
eksprimen terhadapnya.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight
individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian
berujung kepada proses generalisasi – induksi. Sebagai contoh, kemampuan
12
Berkson & Wettersten, Psikologi Belajar…, h. 30.
9
13
Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 108.
10
16
Prinsip-prinsip ini diikenalkan dengan istilah substansi, Rene Descartes menyebutnya
dengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat-pusat kesadaran (monade).
13
dalam bidang kedokteran, al-Khawarizmi dengan teori aljabar, dan lainnya. Juga
dalam bidang tasauf, memunculkan tokoh yang akan terus harum dalam sejarah,
seperti Rabi'ah al-Adawiyah dengan konsep mah}abbah, al-Ghazali dengan
wih}dah as-syuh}u>d, Ibn ‘Arabi dengan wih}dah al-wuju>d, al-
Busthami dengan al-Ittih}a>d, al-Hallaj dengan al-H{ulu>l, dan lainnya18.
Akan tetapi, secara perlahan seiring berjalannya putaran sejarah dunia
Islam terjadi kekakuan dan berhentinya perkembangan ilmu pengetahuan.
Setidaknya kemacetan ini berawal dari hilangnya semangat kritis dalam
menyikapi ilmu pengetahua. Sehingga terbangun taqdi>s (menanggap sesuatu
suci) terhadap ilmu pengetahuan. Paradigma dan mainsheet umat telah
menganggap bahwa ilmu tersebut telah sempurna dan tindakan yang bodoh dan
gila apabila melakukan kritikan dan perubahan terhadapnya.
Sikap seperti ini tentunya mengakibatkan ilmu bukan hanya terhenti
mendadak akan tetapi membuat jurang pemisah dari kebenaran sejati. Sehingga
kajian fiqh terbelenggu dalam fiqh oriented, pendekatan kalam menjadi kalam
minded, pendekatan sufistik menjadi tasauf oriented, dan seterusnya. Sebagai
akibat lebih jauh mengarah pada terjadinya disintegrasi di dalam tubuh umat
Islam itu sendiri, karena masing-masing membawa isu mainstream atau standar
hidup keislaman masing-masing19.
Keadaan ini didasari oleh persoalan epistemology dalam tubuh khazanah
pengetahuan Islam. Setidaknya semangat epistemology Popper, Konjektur dan
Falsfikasi dapat dijadikan langkah awal untuk menyadarkan dan membangkitkan
kembali gairah dan semangat ilmiah pada umat Islam. Keberanian untuk
melahirkan hipotesa (konjektur) harus dibangkitkan. Serta kemauan untuk
melakukan kritik bahkan penyanggahan terhadap teori-teori terdahulu juga harus
dilakukan.
Disadari atau tidak, keengganan dan ketakutan untuk mengkritisi
pandangan-pandangan ulama terdahulu dengan dalih 'takut kualat' atau bahwa
18
Lihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono,
dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), h. 339-470. lihat juga A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam
(Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 90-96. lihat juga Simuh, Tasauf dan Perkembangannya dalam
Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), h. 80-88.
19
Muslih, Filsafat Ilmu…, h, 19.
15
H. Penutup
Dari tulisan di atas dapat dsimpulkan hal-hal berikut:
1. Konjektur merupakan langkah memunculkan ide imajinatif yang menjadi
awalsebuah hipotesa dalam ilmu pengetahuan.
2. Persoalan demarkasi dijawab oleh Popper dengan mengetengahkan criteria
demarkasi yaitu: kebisaujian (testability), kebisasanggahan (refutability)
dan kebisakeliruan (falsibility)
3. Metode falsifikasi berorientasi menguji suatu hipotesa dengan
membantahnya, sehingga terbukti bahwa teori tersebut benar. Apabila
lulus dalam falsifikasi maka ia kembali menjadi hipotesa yang dikokohkan
(corroborated) dan masih membuka peluang untuk terus difalsifikasi.
4. Falsifikasi merupakan langlah penting untuk merekonstruksi epistemology
keilmuan Islam, sehingga terhindar dari kemacetan dan pengkultusan teori.
16
Daftar Pustaka
Berkson, Wiliam & Wettersten, Jhon, Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl
Popper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003).
Muslih, Mohamad, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar,
2005)
Schimmel, Anemarie, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono,
dkk, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).