Professional Documents
Culture Documents
MAKALAH
Disusun Oleh :
KELOMPOK 3
Epi Erpina S.Si
Erik Nurdiana Nurkholik, S.E
Evi Nurfiriyanti, S.P
Gita Hanum Purnamasari, S.Pi
Hasbullah, S.SosI
Imas Masriyah, S.Si
BAB II
REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A. Latarbelakang Reformasi Sistem Pendidikan Nasional
Dalam proses perjalanan UU No.2/l989 tentang Sisdiknas sekitar l3 tahun Sisdiknas
dirasakan menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Sisdiknas telah menjadi alat politik pemerintah untuk memperkuat kekuasaannya.
2. Pendidikan terlalu diatur secara sentralistik oleh pemerintah, dan masyarakat kurang
diberi peran dalam penyelenggaraan pendidikan; inisiatif, kreativitas dan inovasi
masyarakat kurang mendapat kesempatan berkembang.
3. Pendidikan tidak dapat menjadi pranata sosial untuk pembudayaan dan transformasi
masyarakat
4. Pendidikan tidak mampu menjawab tantangan lingkungan strategis, yaitu
perkembangan politik-ekonomi-sosial-budaya, baik di daerah, nasional, maupun
internasional yang berubah secara cepat.
5. Sisdiknas belum menerapkan prinsip-prinsip pendidikan: Pendidikan Untuk Semua,
Pendidikan Seumur Hidup, dan Pendidikan Terbuka.
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di
segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni
2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu Undang-
Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2
Tahun 1989.
Adapun perbedaan dan Persamaan dari Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 dengan Undang-
Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, antara lain:
a. Persamaan
Keduanya masih menempatkan Pendidikan sebagai kerja “non akademik”,dan
pendidikan diselenggarakan dibawah otorita kekuasaan administratif-birokratis, dan
belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik”, dan penyelenggaraannya
dibawah otorita keilmuan (Gambar 1 dan Gambar 2 di lampiran)
Kerja Non Akademik: Loyalitas, “Yudical Hierarchy” , Esselonisasi, dan Senioritas
didasarkan masa kerja dan kepatuhan.
Kerja Akademik: Reputasi Akademik, bersaing dalam Kreativitas & Inovasi, tidak
mengenal “Yudical Hierarchy”, hanya mengenal perbedaan bobot Mutu Akademik,
dan tidak mengenal esselonisasi.
b. Perbedaan
1. Sentralisasi – Desentralisasi
2. Pemerintah Pusat / Daerah: BertanggungJawab pada pelayanan, Dana, Rambu-rambu
Nasional dan Standard Mutu Nasional.
3. Masyarakat: Bertanggungjawab pada Unit Pendidikan [Sekolah-Madrasah] dan Mutu
Pendidikan.
4. Sisiknas (No.20/2003) lebih demokratis, terbuka,memberikan otonomitas &
tanggungjawab pada masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu.
Paradigma Keberagaman
Pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah,
masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi,
universitas, dsb). Namun hakikatnya satu, yaitu memanusiakan manusia. Hakikatnya
pendidikan mengembangkan :
1. Human Dignity = harkat dan martabat manusia
2. Manizing Human = memanusiakan manusia benar-benar mampu menjadi khalifah.
Manusia mampu memilih, menetapkan dan membangun model kehidupannya dalam hidup
bersama; bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini ada 3 jenis manusia:
1. Sepenuhnya pasrah apa kata Hukum Alam dan Sosial.
2. Sepenuhnya berontak mematahkan belenggu Hukum Alam dan Sosial.
3. Kombinasi keduanya, memiliki kecerdasan, kata hati dan keahlian serta kesadaran bahwa
tidak akan mampu melampaui Hukum Alam.
Ilmu merupakan bagian essensial isi ajaran agama (Islam). Ilmu terus mengalir &
bergulir,tanpa dapat dicegah. Tidak ada monopoli dlm mengasuh dan mengklaim
kebenaran ilmu.Tidak ada lagi pohon ilmu, telah berubah menjadi jaringan ilmu.
Hubungan antara agama dan ilmu adalah sebagai berikut:
1. Agama adalah Puncak Pencapaian, sedangkan Ilmu adalah Alat Pencapaian.
2. Agama adalah Kebenarannya Mutlak, sedangkan Ilmu Kebenarannya Relatif.
3. Ketika agama bertemu ilmu terjadi 4 model: Konflik, Inter Independensi, Dialog,
Integrasi.
Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Paradigma Pendidikan Nasional dapat dilihat dari visi, misi, tujuan, orientasi dan strategi
sistem pendidikan.
Visi : Menjadi Sistem Pendidikan yang unik/khas Indonesia dalam rangka mengembangkan
kecerdasan kehidupan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang
utuh, agar bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan terhormat dalam tata kehidupan
internal modern “ Menjadi modern dengan tetap pada jati dirinya”.
Misi :
1. Menemukan, Mengamalkan dan Mengembangkan IPTEK dalam bingkai nilai-nilai /
ajaran agama.
2. Menjadi IPTEK sebagai alat untuk mencapai puncak kebenaran agama.
3. Memberantas “kebodohan bangsa”.
4. Kebodohan:Sumber Segala Malapetaka,meskipun Kebodohan bukan Dosa
5. Mengembangkan Pendidikan Multikultural.
Tujuan:
1. Mengembangkan Potensi kemampuan peserta didik dalam menguasai IPTEK untuk
kemaslahatan kehidupan bersama dan memelihara lingkungan kehidupan.
2. Mengembangkan budaya belajar: “Sekolah boleh selesai, belajar tidak kenal
berhenti”
Orientasi Pendidikan :
• Pendidikan untuk semua, secara merata dan adil
• Kebutuhan, kenyataan dan “life skill” dalam tata kehidupan bersama.
• Kebutuhan “duniawiyah” tanpa melepaskan diri dari bayang-bayang kehidupan
surgawi-ukrowiyah.
Strategi penyelenggaraan pendidikan nasional (sekolah) :
Berfokus pada mutu, untuk itu diperlukan: otonomi, akreditasi, evaluasi dan
dalam meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik melalui peningkatan SDM dan
Manajemen atau Pengelolaan Sekolah
Pendidikan adalah kerja akademik
Dosen, Guru, Pustakawan, Laboran, Peneliti, adalah Tenaga Akademik, & bukan Tenaga
Administrasi Birokrasi. Para pakar akademisi berdiri paling depan dalam pemberdayaan
mutu akademik unit pendidikan (sekolah); Tenaga Non Akademik “mem-Back Up” &
menfasilitasi kerja akademik. Diperlukan “Academic Bill of Right” dalam dunia
pendidikan.
Materi Ajar/Kurikulum
Kurikulum bertolak dari kebutuhan, IPTEK, pasar, nilai luhut budaya/tradisi/agama.
Metodologi Pembelajaran
1. Learning to Know
2. Learning to Do
3. Learning to Be
4. Learning to Live Together
5. Learning throughout Life
6. Learn How to Learn
Belajar “Menjadi” bukan sekedar “Memiliki”. Menguasai “Metodologi” bukan sekedar
“Materi”. Tidak ada “Keterpisahan”antara ilmuan dan ilmunya atau keahliannya.
Dewasa ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan kekuasan menjadi
tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan kekayaan materi dan atau kekuasaan,
membuat orang menjadi terhormat. Untuk memberikan perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan
pendidikan yang memberikan keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan
kecerdasan spiritual.
Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan
Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad
mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal
semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus
sebagai satu kesatuan utuh.
Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah. Madrasah telah
memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia secara utuh di mana pendidikan yang
mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan ilmu agama yang di dalamnya sudah tercakup
kecerdasan emosi dan moral sudah diterapkan.
Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi oleh
sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan secara apik antara
pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan pengelolaan telah membuahkan output
yang mampu bersaing, sehingga mendapat tempat di masyarakat.
Model pendidikan Madrasah jika dianalisis (SWOT) memiliki :
Strength (Kekuatan) : > 80 % Swasta, percaya dan hormat pada Kiai/Ulama dan
percaya bahwa Kiai atau Guru mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan Agama,
Murah dan Merakyat.
Weakness (Kelemahan) : Lemah dan tidak Profesional hampir disemua
komponennya, STRESS:Terombang-ambing antara “Jati Diri”dan “Ikut Model
Sekolah Umum”. antaraikut “DIKNAS dan DEPAG”, belum ada sistem yang mantap
dalam pengembangan model “Pendidikan Agama” dan “Pendidikan
Keagamaan”.
Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun
satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah
abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi
pembangun
masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak
generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi
justru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar.
2. Faktor pendidikan.
Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Sekurang-kurangnya ada
sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini, meliputi:
[1] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek
kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi
yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[2] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa
memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu
melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[3] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang
berdisiplin.
[4] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[5] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi
manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan
Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru
negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU
negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya
Rp.4.000,-/anak/tahun.
[6] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan
oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan
pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[7] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan
otonomi daerah.
[8] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan
semangat bhinneka Tunggal Ika.
[9] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui
P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang
telah mengakibatkan:
• Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
• Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
• Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
• Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
• Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
• Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
• Cendekiawan yang hipokrit,
• Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
• Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
• Pemimpin-pemimpin daerah yang kurang bijak dalam peggunaan dana daerah.
BAB III
KESIMPULAN
Upaya memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan
dana saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem Pendidikan Nasional perlu
direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan sebagai arena utama
aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada
anak bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak
bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat
menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai
tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk
bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban
amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
http:///erik12127.wordpress.com. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL DALAM
UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003.