You are on page 1of 20

ARTIKEL IPTEK

PR Pascakebijakan Baru Kedelai


Senin,21 Januari 2008 14:24
Carunia Mulya Firdausy
Deputi Menristek Bidang Dinamika Masyarakat

Belum lagi selesai mengatasi masalah kenaikan harga minyak


bumi yang pernah menembus di atas US0 per barel awal 2008,
kita kembali didera masalah meroketnya harga kedelai. Harga
kedelai eceran yang tadinya Rp3.450 perkilogram, kini dua kali
lipat menjadi Rp7.500 per kilogramnya.

Di pasaran dunia, harga kedelai di awal 2007 hanya US0 per ton,
namun kemudian meningkat 100% menjadi US0 per ton di awal 2008. Akibatnya, ratusan
pembuat tahu dan tempe, tidak jelas siapa komandonya, berunjuk rasa di depan lstana
Merdeka, Jakarta, untuk mengadukan masalah itu dan meminta perlindungan kepada
pemerintah.

Lebih parah lagi, harian ini dalam editorialnya, 15 Januari lalu, bukan memberikan solusi
atas krisis ini, melainkan memanas-manasi keadaan itu dengan menyatakan antara lain
republik ini adalah negara agraris yang memble. Bahkan lebih tajam lagi, negara ini
dikatakan tidak memiliki politik pertanian yang jelas dan tidak punya arah ke mana
negara hendak dibawa sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan pokok.

Bukti sederhananya yang dikatakan dalam editorial tersebut dapat dilihat dari kenyataan
negara membiarkan dan merestui sawah yang terbaik untuk padi digusur oleh realestat
dan kawasan industri. Negara kita juga dinyatakan lebih memilih mengekspor gas dengan
mengorbankan pabrik pupuk dalam negeri sehingga kelengar dan mampus.

Singkat kata, pernyataan dan analisis dalam editorial ini sungguh sangat lugas dan tegas
tanpa tedeng aling-aling dalam menyikapi krisis tempe ini. Mungkin itulah yang disebut
bad news is a good news.

Tidak sederhana?

Lantas, sudah seburuk itukah pemerintah negeri ini? Tentu jawabnya tidak, bukan?
Argumentasinya, karena krisis kedelai tidak sesederhana untuk disamakan dengan krisis
beras atau krisis minyak bumi.

Pasalnya, karena kedelai bukan komoditas yang dapat dengan mudah ditanam di negeri
ini. Komoditas tersebut dapat tumbuh subur di negara subtropis sehingga tidak mudah
untuk ditanam di negeri ini yang memiliki iklim tropis.

Dengan demikian, penetapan kebijakan pemerintah dalam kedelai tidak semudah seperti
halnya menetapkan kebijakan perberasan nasional yang bisa ditanam di daerah kering
sekalipun. Karena sifat komoditas yang seperti itulah, lonjakan harga yang terjadi di
pasar dunia tidak mudah untuk dikendalikan seperti yang diharapkan.

Argumentasi lain, komoditas kedelai, walaupun dapat ditanam di negeri ini secara
terbatas, tingkat produksinya sangat dipengaruhi faktor musim atau cuaca. Artinya,
secanggih dan sebaik apa pun kebijakan atau upaya yang dilakukan dalam menetapkan
produksi kedelai dalam negeri, tapi jika musim atau cuaca tidak mengizinkan, akan sulit
mencapai produksi yang ditargetkan. Barang kali itu sebabnya pemerintah selama ini
tidak terlalu ambisius untuk menetapkan besaran produksi kedelai nasional setiap tahun.

Pada 2008, misalnya, pemerintah dalam hal ini Departemen Pertanian hanya menargetkan
produksi kedelai nasional hanya naik sebesar 20 per sen dan produksi 2007 sebanyak
608.263 ton. Capaian produksi kedelai pada 2007 tersebut sebenarnya jauh di bawah
capaian produksi pada 2006 sebesar 747.611 ton.

Jika membaca statistik capaian produksi tahun 2007 yang lebih rendah 18,6% daripada
capaian produksi 2006 tersebut, tidak mustahil capaian produksi kedelai nasional tahun
2008 akan lebih kecil daripada tahun-tahun sebelumnya dan meleset dari target yang dite-
tapkan. Apalagi mengingat ketidakpastian musim yang bakal terus terjadi kini dan
mendatang.

Pekerjaan rumah

Dengan mempertimbangkan keterbatasan lokasi tanam dan sensitivitas kedelai terhadap


faktor musim tersebut, solusi krisis kedelai yang baru-baru ini ditetapkan melalui kebijak-
an penurunan bea masuk impor 0% merupakan salah satu kebijakan yang tidak dapat
dihindari. Namun agar tujuan stabilisasi harga kedelai tersebut dapat berhasil, beberapa
catatan di bawah ini mutlak diperhatikan.

Pertama, kebijakan itu sangat dipengaruhi besarnya jumlah pasokan kedelai baik yang
berasal dari impor maupun dari dalam negeri. Jika ternyata jumlah pasokan kedelai di
pasar dunia dan kemampuan pasokan kedelai di dalam negeri lebih rendah daripada
jumlah permintaan kedelai dalam negeri pasca kebijakan penurunan bea masuk impor
0%, upaya stabilisasi harga kedelai dalam negeri tidak akan tercapai.

Untuk itu, pemerintah harus yakin kondisi pasokan kedelai yang tersedia di pasar dunia
memadai. Jika tidak, kebijakan 0% kedelai impor akan menjadi tak bernyawa (ceteris
paribus). Kedua, keberhasilan kebijakan penurunan bea masuk impor 0% juga bergantung
pada besar kecilnya permintaan kedelai dari pasar dunia. Artinya, jika permintaan kedelai
di pasar global tinggi, kebijakan penurunan 0% bea masuk yang pemerintah tetapkan
akan kehilangan daya tarik.

Hal itu karena pemasok kedelai dunia tidak akan mengimpor ke Indonesia, tetapi akan
mengimpor kedelainya ke negara-negara yang menawarkan harga lebih tinggi. Semakin
tinggi permintaan kedelai dunia maka kebijakan penurunan bea masuk 0% dalam
stabilisasi harga kedelai domestik akan kehilangan daya tarik
Faktor ketiga yakni pengaruh struktur pasar. Jika struktur pasar kedelai dunia sifatnya
oligopolistik, upaya stabilisasi harga kedelai di pasar nasional nyaris sulit dilakukan. Hal
tersebut karena struktur pasar oligopolistik bersifat penentu harga (price maker) dan
bukan price takers (pengikut harga). Dengan kata lain, tingkat persaingan pasar penting
diketahui secara memadai.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas dan dinamika keekonomian kedelai tersebut,


berbagai pekerjaan rumah masih perlu diselesaikan pasca penurunan bea masuk impor
0% ini. Beberapa pekerjaan rumah itu antara lain, pertama, pemerintah harus terus
menerus mencari/ menambah lokasi potensial penanaman kedelai lain dalam menjaga
pasokan kedelai dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor kedelai.

Kedua, melakukan kerja sama perdagangan dan investasi dengan negara pemasok kedelai
dunia. Ketiga, menerapkan teknologi yang mampu mempercepat dan meningkatkan
produksi kedelai dalam negeri. Tanpa itu, nyaris mustahil kebijakan pemerintah
menurunkan bea masuk impor kedelai 0% berhasil menjamin stabilisasi harga kedelai
dipasar domestik dalam jangka pendek. Semoga (MEDIA INDONESIA, 21 Januari 2008/
humasristek)
http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News&conf=v&id=2774

Senin, 2008 Oktober 13


Politik Ketahanan Pangan

Oleh: Ellyasa KH Darwis

ADA yang salah dalam politik ketahanan pangan kita tampaknya. Khususnya dalam
struktur pasar pertanian. Komoditi pangan yang menjadi hajat hidup orang banyak, sering
mengalami kelangkaan dan tentu saja harganya mahal. Sementara pada saat musim
panen, harga di tingkat petani sangat murah. Petani hanya menikmati marjin terkecil
dalam mata rantai distribusi produk pertanan. Sayangnya, pemerintah tidak memiliki
inisiatif politik untuk merubah struktur pasar yang tidak sehat ini dan selalu
menyelesaikan dengan ad hoc melalui subsidi dan intensive.

Setelah kelangkaan kedelai, kini masyarakat sangat susah untuk mendapatkan minyak
goreng di pasaran. Pedagang dan masyarakat menjerit, sampai kini pemerintah belum
memiliki formulasi yang tepat bagaimana mengatasi masalah ini selain dengan kebijakan
operasi pasar yang sampai kini efektifitasnya belum kelihatan. Minyak goreng masih saja
susah dicari di pasaran dan harganya tak kunjung normal.
...Sudah bukan rahasia lagi, selama ini struktur pasar pangan memang ada yang
bermasalah. Kenaikan bahan komoditi pangan pada tingkat pasar, tidak dengan
sendirinya memiliki implikasi terhadap kesejahteraan petani. Petani hanya mendapatkan
margin terkecil dalam rantai distribusi.
...

Lagi-lagi, masalah ini terkait dengan masalah ketahanan pangan. Struktur pasar produk
pertanian, harus segera dipikirkan untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.

Sudah bukan rahasia lagi, selama ini struktur pasar pangan memang ada yang
bermasalah. Kenaikan bahan komoditi pangan pada tingkat pasar, tidak dengan
sendirinya memiliki implikasi terhadap kesejahteraan petani. Petani hanya mendapatkan
margin terkecil dalam rantai distribusi.

Sebaliknya, harga produk pertanian ditentukan oleh segelintir pembeli. Terjadi praktik
oligopsoni pada tingkat hulu. Para pembeli membeli produk hasil kepada petani saat
panen. Petani tidak memiliki daya tawar untuk menentukan harga dan menjadi wajar
kemudian apabila harga hanya ditentukan oleh pembeli.

Pada tingkat konsumen, produk hasil pertanian juga mengalami hal yang sama. Produk
untuk konsumen hanya dilayani oleh hanya beberapa distributor besar. Oleh karena itu,
menjadi tidak terhindarkan apabila pada bagian hilir pasar produk pertanian bersikap
oligopolistik.

*****

Tidak menjadi rahasia lagi, apabila mata rantai pasar selama ini dikuasai oleh segelintir
pembeli. Para pembeli yang jumlah sedikit itu, tentu saja akan dengan leluasa
menentukan harga produk komoditi pertanian kepada petani pada musim panen. Situasi
seperti ini sudah berjalan sangat lama dan menjadi wajar pula apabila tingkat
kesejahteraan petani, semakin lama semakin menurun. Sebab petani hanya memikmati
margin keuntungan yang sedikit bahkan tidak jarang, hanya impas saja untuk menutup
ongkos produksinya.

Praktik oligopsoni seperti ini menandakan bahwa ada yang salah dalam mata rantai pasar
pertanian. Mata rantai pasar komoditi pertanian selama ini memang hanya dikuasai oleh
segelintir pengusaha besar. Demikian juga pada produksi hasil pertanian, produsen dan
distributor kepada konsumen, juga hanya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan besar.
Semua produk pertanan diserap oleh industri dan pararitel.

Dengan struktur pasar seperti ini, menjadi wajar dan niscaya adanya jika terjadi situasi
seperti sekarang ini. Pada saat panen harga murah dan pada saat paceklik, harga mahal
dan langka di pasaran.

Sudah pasti, selagi struktur pasar produk pertanian seperti sekarang ini, maka tidak aka
ada perubahan. Masalah pangan dan harga-harga komoditi pertanian lainnya, hanya akan
ditentukan oleh segelintir perusahaan besar yang jumlahnya segelintir.

Di sini, menjadi penting untuk memperkuat lembaga pemasaran produk-produk


pertanian. Lembaga ini harus diperkuat agar mampu menjalan fungsi dan peran sebagai
penyangga kesetabilan distribusi dan harga pangan. Dengan demikian, harga produk
pertanian tidak bisa dengan leluasa ditentukan oleh segelintir pengusaha. Optimalisasi
lembaga pemasaran, dengan sendirinya akan mencegah praktik oligopolitik sehingga
struktur pasar produk pertanian bisa lebih adil.

*****

Sayangnya, meski masalah demikian jelas, akan tetapi tidak ada kebijakan politik yang
tegas dan jelas mengenai masalah struktur pasar produk pertanian yang pincang dan tidak
adil ini.

Kebijakan menteri pertanian hanya terpokus kepada masalah intensive dan proteksi
sebagai cara untuk menyelesaikan masalah kelangkaan produk pertanian ini. Kelangkaan
kedelai dan kelangkaan minyok goreng misalnya, memang akarnya berpangkal dari
menurunnya produksi pertanian. Petani enggan dan ogah untuk menanam kedelai karena
hasilnya tidak menguntungkan dilihat dari sudut apapun.

Sepintas memang dengan insentive dan subsidi akan menolong petani untuk bisa
meningkatkan margin keuntungannya. Akan tetapi apabila dilihat lebih jauh, yang
dibutuhkan bukan hanya kebijakan intensive dan atau subsidi semata. Jangan harap pula
dengan kebijakan ini maka dengan sendirinya akan mendongkrak produk pertanian.
Sebab subsidi satu masalah yang bisa menyelesaikan persoalan yang melilit petani
sekarang ini.

Masalah yang terbesar yang kemudian berimplikasi kepada menurunnya produksi


pertanian adalah masalah struktur pasar yang pincang. Harga hanya ditentukan oleh
segelintir pengusaha besar, sementara petani hanya menikmati margin keuntungan yang
tipis dan tak jarang hanya impas saja untuk menutup ongkos produksi.

Jadi memang diperlukan kebijakan yang radikal. Diperlukan keberanian untuk merombak
struktur pasar pincang.
http://yusufdul.blogspot.com/2008/10/politik-ketahanan-pangan.html

Krisis Kedelai, Mentan Anton Menyalahkan


Pasar
KESRA--21 JANUARI: Departemen Pertanian membantah kinerjanya gagal karena
melonjaknya harga kedelai. Minimnya produksi kedelai lokal disebabkan
ketidakberpihakan pasar pada petani kedelai.

"Untuk komoditas seperti kedelai pemerintah tidak bisa memaksakan petani untuk
menanamnya. Pasalnya, petani mempunyai kebebasan dalam bercocok tanam. Mereka
akan menanam kedelai selama komoditas ini memberikan keuntungan," jelas Menteri
Pertanian Anton Apriyantono di sela rapat kerja dengan komosi IV DPR RI di Jakarta,
Senin (21/1).

Pernyataan ini disampaikan menanggapi keluhan dan kegeraman anggota Komisi IV yang
menganggap kinerja Deptan sangat mengecewakan. Sebagian besar anggota menyatakan
Deptan telah gagal meningkatkan produksi komoditas pertanian khususnya kedelai.
Padahal, komoditas ini sangat penting bagi masyarakat khususnya tempe sebagai sumber
protein masyarakat kecil.

Ketergantungan Indonesia pada produk impor menurut anggota Komisi IV merupakan


kegagalan Mentan dalam menggenjot produksi lokal. Padahal, mereka mengaku pihaknya
telah menyetujui berbagai insentif termasuk anggaran subsidi ataupun bantuan petani
yang jumlahnya triliunan rupiah.

Akan tetapi, kenyataannya Indonesia masih bergantung pada produk-produk pertanian


impor seperti kedelai, terigu, daging, gula, dan bahkan beras. Mereka mengancam akan
menggalang hak angket ataupun interpelasi bahkan menuntut mundur Menteri jika kondisi
ini berlanjut.

Menanggapi hal ini, Anton mengelak jika dikatakan kinerjanya gagal. Menurutnya,
ketergantungan sejumlah komoditas seperti gandum dan kedelai lebih disebabkan kondisi
yang tidak menguntungkan petani. Perdagangan bebas komoditas itu membuat produk
lokal kalah bersaing dengan impor.

Hal itu disebabkan kebijakan subsidi pertanian negara maju yang mendistorsi pasar
komoditas pertanian. Alhasil petani meninggalkan komoditas tersebut.

Meski begitu, di sisi lain komoditas yang menguntungkan petani seperti jagung dan beras
justru mengalami pertumbuhan. Produksi beras tahun lalu tumbuh hampir 5%, jagung
juga tumbuh sampai 20%.

Artinya peningkatan produksi tidak bisa lepas dari perbaikan pasar. "Selama harga tidak
menguntungkan petani kita tidak bisa berbuat apa-apa," tandasnya Anton.

Lebih jauh, Anton menjelaskan persoalan kecukupan produksi harus menggunakan


perhitungan ekonomi. Saat ini petani sudah pintar dalam memilih komoditas. Perubahan
harga dunia menjadi salah satu aspek penentu pilihan petani. Dengan harga saat ini dia
yakin petani akan mulai menanam kedelai. Namun, dengan harga sebelum ini petani
praktis meninggalkan karena hitungan ekonominya merugikan.

Untuk mengatasi hal itu, Anton menyatakan petani membutuhkan kepastian pasar dan
juga harga. Untuk itu, saat ini pemerintah akan menggalang kemitraan dengan pengusaha
dan pemilik modal khususnya industri tahu tempe.
Dengan kemitraan ini, petani akan mendapat kepastian pembelian dan juga harga. "Ini
sudah kita usahakan, mereka (pengusaha besar) juga menyatakan berminat," katanya.

Selain kedelai, Anton mengatakan pihaknya juga melakukan antisipasi pada lonjakan
harga komoditas pertanian dunia.

Selain komoditas pangan, komoditas sandangpun masih bergantung pada impor. Hampir
100% bahan baku sandang itu diimpor. Padahal, dengan kondisi dunia saat ini bukan tidak
mungkin harga kapas dunia juga akan bergolak.

"Siapa bilang kita tidak antisipasi. Untuk kapas kita mencanangkan pertumbuhan
produksi. Diharapkan dengan pertumbuhan ini ketergantungan impor bisa dikurangi 5%,"
jelas Anton.

Meski begitu, Anton kembali mengingatkan bahwa program itu tidak bisa terlepas dari
peran pengguna kapas seperti industri tekstil. Hal itu untuk menjamin ketersediaan pasar
dan jaminan harga.

Namun, untuk komoditas gandum Mentan mengaku pasrah. Komoditas ini tidak bisa
dikembangkan dengan baik di daerah tropis. Meski begitu, Deptan tetap menyediakan
bahan pengganti bagi gandum sebagai bahan baku tepung terigu. (mo/pd)
http://www.menkokesra.go.id/content/view/6931/39/

KPPU Panggil Importir Kedelai


Oleh : Dedi Irawan (25/01/2008)
Kategori : Sekretariat | Rating :

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) makin serius mengusut dugaan kartel dalam
pengadaan barang kedelai impor. Lembaga Pengawas ini telah memanggil tiga importir kelas
kakap kedelai.

Pada awal pekan ini KPPU berancana memanggil tiga importer kedelai antara lain, PT. Cargill
Indonesia, PT. Teluk Intan, dan PT. Gunung Sewu. Sedangkan pekan berikutnya importir yang
sudah masuk dalam pengawasan KPPU bersiap untuk dipanggil.

Anggota KPPU Muahmmad Iqbal meyakini para importer tersebut melakukan praktek kartel. Hal
ini diperkuat dengan beberapa bukti yang kini sudah dipegang KPPU. Bukti tersebut diantaranya
yakni, tentang struktur pasar impor kedelai yang membentuk pasar oligopoli. Kedua, bukti adanya
permainan harga impor dikalangan importir. Dan yang ketiga, KKPU hanya menemukan segelintir
pemain impor, sehingga mereka dapat membuat kesepakatan harga kedelai dengan para
produsen tempe tahu. “Pemainnya hanya itu-itu saja.� Ujar Iqbal.

Langkah ini dikatakan Iqbal sebagai kelanjutan KPPU mengungkap kartel kedelai. Pekan lalu
lembaga pengawas ini telah membantu tim penelisik dugaan pelanggaran UU Nomor 5/1999
tentang larangan antimonopoli dalam impor kedelai. KPPU yakin, harga kedelai akan turun jika
nerhasil menyetop kartel kedelai impor. “Kalau dugaan kami terbukti, dampak langsung ke
produsen tempe tahu,� Yakin kepada Kontan Iqbal. (KNT/ded)
http://www.dekopin.coop/publikasi.asp?modul=0&id=21&sort=0&filter=5&kategori=-1
Senin, 21 Januari 2008 17:01 WIB
Pemerintah Siapkan Program Stabilitas Harga Pangan
Reporter : Heni Rahayu

JAKARTA--MEDIA: Pemerintah siapkan tiga program jangka pendek dan dua program
jangka panjang untuk stabilitas harga pangan serta peningkatan produksi pangan dalam
negeri. Program tersebut akan difokuskan untuk sembilan bahan pangan strategis.

Sembilan bahan yang dicermati yaitu, beras, gula, minyak goreng, jagung, kedelai,
daging, susu, terigu, dan bumbu-bumbuan, khususnya cabe dan bawang merah.

Demikian dikatakan oleh Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan
Bayu Krisnamurthi di Jakarta, Senin (21/1).

Menurutnya, kebijakan ini dikeluarkan karena hampir seluruh komiditas pangan


mengalami gejolak. Hal itu merupakan fenomena yang relatif menyeluruh dan
sepenuhnya faktor yang paling besar berasal dari faktor eksternal yang ada di pasar
internasional.

Namun, pengaruh itu tidak berasal dari perdagangan saja. Muncul fenomena baru, yakni
makin menariknya perdagangan future berjangka dari produk pertanian. "Itu
menyebabkan peran investor dan broker di dalamnya. Akibatnya, harga-harga cepat
bergejolak. Karena itu, pemerintah merancangkan kebijakan yang berlaku hampir di
semua komoditas pangan," kata Bayu.

Menurutnya, kebijakan jangka pendek terdiri dari tiga program. Pertama, melakukan
intervensi pengelolaan perdagangan dan biaya-biaya produksi yang sebagian besar dalam
bentuk pengelolaan pajak atau bea masuk. "Misalnya, kedelai kita bebaskan bea
masuknya, untuk kelapa sawit kita terapkan pajak ekspor, kita lakukan intervensi bea
masuk dan pajak," ujarnya.

Namun, untuk pengelolaan perdagangan, Bayu mengatakan pemerintah sedang mengkaji


kebijakan apa yang bisa dihilangkan atau disederhanakan. "Di kedelai, tidak ada
hambatan perdagangan, yang mungkin dicermati adalah terigu. Kita coba lihat apa bisa
dihilangkan atau disederhanakan," paparnya.

Langkah jangka pendek lainnya yaitu dengan melakukan operasi pasar yang bisa
dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Swasta, teutama melalui corporate social
misalnya untuk minyak goreng.

Upaya lain yang dilakukan dalam jangka pendek adalah memberikan dukungan langsung
kepada masyarakat yang terkena gejolak harga pangan. ''Ini biasanya dikombinasikan
dengan operasi pasar,'' singkatnya.
Sedangkan program jangka menengah dan panjang, kebijakan yang diambil pemerintah
adalah peningkatan produksi pangan dengan memberikan subsidi serta dukungan-
dukungan lain dalam upaya meningkatkan produksi pangan. Program jangka panjang
lainnya yaitu dengan mengembangkan pembangunan infrastruktur.

Pemerintah juga berupaya untuk menyeimbangkan dan menyehatkan struktur pasar


dalam negeri. Untuk kasus kedelai, lanjut Bayu, terjadinya pasar dengan pelaku impor
yang hanya 4-5 perusahaan adalah kondisi natural. Karena, agar bisa bidding di pasar
internasional harus membeli minimal 50 ribu ton kedelai.

"Kalau lebih kecil, tidak efisien untuk biaya transportasi dan L/C. Kalau beli kedelai
lebih kecil, penjualnya juga enggak mau. Untuk itu, ke depan ada seleksi terhadap
perusahaan itu. Kalau itu terjadi, dampak terbentuk suatu pasar yang tidak sehat. Kita
ingin menyeimbangkan struktur pasar itu, itu pekerjaan jangka menengah,'' ujar dia.

Bayu mengatakan, kenaikan harga-harga komoditas pangan terjadi pada seluruh bahan
pangan, baik yang diimpor maupun yang diekspor. Untuk komoditas pangan yang
sebagian besar impor, yakni kedelai, jagung, gandum, mengalami kenaikan. Demikian
juga untuk komoditas lain seperti beras, maupun komoditas pangan yang produksinya
surplus seperti CPO.

"Jadi, tekanan harga tidak hanya pada produk yang kita impor, tapi juga yang kita
ekspor," katanya.

Selain menyiapkan program jangka pendek dan jangka menengah, pemerintah juga
mencermati dampak kenaikan harga pangan terhadap daya beli dan konsumsi masyarakat.
Selain itu, pengaruh kenaikan terhada usaha mikro kecil yang menggunakan bahan baku
dari produk-produk pangan juga tengah dikaji.

"Khususnya, dua yang penting, kedelai dan terigu. Dalam konteks ini, kita cermati juga
dampak linkage-nya, seperti pabrik pakan. Kalau pabrik pakan yang besar, dia bisa
sesuaikan. Nah, bagaimana dengan penggunanya. Itu yang jadi masalah," ujarnya.

Dampak kenaikan harga-harga komoditas pangan itu dipastikan akan berpengaruh


terhadap inflasi. Kedelai tidak memberikan dampak inflasi secara langsung, bobotnya
kecil sekali. "Tapi, tahu tempenya berikan dampak pada inflasi. Ada yang diuntungkan
dengan kenaikan harga ini, yaitu petani. Petani menikmati tambahan pendapatan, dari
pengkajian sekitar 13%-18%,'' jelas Bayu.(Ray/OL-03)

http://www.mediaindo.co.id/berita.asp?id=156265

BERITA
PENGAMANAN PANGAN
Kompas (24/01/2008, 09:27:29)
Jakarta, Kompas - Pemerintah memerintahkan Perusahaan Umum Bulog untuk mempersiapkan diri jika sewaktu-
waktu diminta mengimpor kedelai dalam jumlah besar untuk mengamankan pasokan domestik. Pemerintah juga
memperhitungkan kemungkinan pemberian subsidi kedelai sebesar Rp 200 miliar.

”Ini merupakan hasil pembahasan bersama antara Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian,
Departemen Keuangan, Kementerian Negara Koperasi dan UKM, serta Kantor Menko Perekonomian,” ujar Deputi
Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kehutanan Bayu Krisnamukti dalam konferensi pers mengenai
kebijakan pengamanan pangan yang telah disusun pemerintah untuk jangka pendek, menengah, hingga panjang,
Senin (21/1) di Jakarta.

Menurut Bayu, Bulog memerlukan waktu sedikitnya enam bulan untuk mempersiapkan diri. ”Bagaimanapun ini
harus dipersiapkan karena pasokan komoditas pangan masih akan tetap tertekan akibat kenaikan harga dalam
empat hingga enam bulan ke depan. Harga komoditas pangan diperkirakan akan terus naik hingga bulan Juni
2008 dan setelah itu akan bergerak landai,” ujar Bayu.

Atas dasar itu, pemerintah mengarahkan seluruh perhatiannya pada tiga hal. Pertama, pemulihan daya beli dan
konsumsi masyarakat.

Kedua, memperkuat usaha mikro dan kecil, terutama pengusaha yang menggunakan bahan baku berupa
komoditas makanan yang tengah meningkat harganya, yakni kedelai dan terigu.

Ketiga, mengendalikan inflasi karena sembilan dari 20 komoditas yang berdampak besar terhadap inflasi adalah
makanan.

Kesembilan produk itu adalah beras, terigu, kedelai, jagung, susu, gula, minyak goreng, daging, dan bumbu-
bumbuan, terutama bawang merah dan cabai.

Untuk merealisasikan ketiga tujuan itu, pemerintah telah merancang kerangka kebijakan pengamanan pangan
yang belaku bagi semua jenis komoditas makanan.

Struktur produksi

Kebijakan itu dibagi atas dua bagian, yakni kebijakan segera atau jangka pendek dan kebijakan menengah serta
jangka panjang.

Kebijakan jangka pendek dilakukan dengan tiga langkah. Pertama, mengintervensi proses pengelolaan,
perdagangan, dan produksi komoditas makanan.

Langkah itu sebagian sudah dilakukan, antara lain pembebasan bea masuk impor kedelai dari 10 persen menjadi
nol persen. Kebijakan ini hanya sementara mengikuti kondisi harga di pasar dan tingkat petani.

Kedua, operasi pasar dengan menggunakan mekanisme gabungan antara pemerintah dan swasta atau swasta
saja melalui program tanggung jawab sosialnya.

Ketiga, memberikan dukungan langsung kepada masyarakat yang terkena dampak langsung fluktuasi harga
komoditas makanan.

Adapun untuk jangka panjang, pemerintah menetapkan dua langkah penting. Pertama, menyehatkan struktur
produksi, antara lain dengan memberikan subsidi hingga pengembangan infrastruktur.

Kedua, menyeimbangkan struktur pasar. Ini ditetapkan karena dalam kasus kedelai hanya ada empat hingga lima
importir, karena untuk mencapai efisiensi biaya perlu dana besar.

Itu disebabkan unit terkecil dalam penawaran lelang kedelai, minimal 50.000 ton, sehingga hanya sedikit
pengusaha yang sanggup menanggung biaya itu plus ongkos transportasi.

”Impor kedelai terakhir yang dilakukan Bulog adalah pada tahun 1996-1997 sehingga perlu membangun jaringan
lagi. Apalagi stok kedelai di pasar internasional sangat tipis akibat China yang menyedot kedelai dari pasar,” ujar
Bayu.
Bayu menegaskan, kebutuhan dana untuk memberikan subsidi kedelai sebesar Rp 1.000 per kilogram selama
dua bulan mencapai Rp 200 miliar.

Berdasarkan catatan pemerintah, produksi kedelai pada 2007 mencapai 608.000 ton dan tahun 2006 sebesar
748.000 ton. Sedangkan impor kedelai 983.000 ton atau lebih rendah dibanding tahun 2006 sebesar 1,132 juta
ton. Target produksi kedelai tahun ini sebesar 900.000 ton. (OIN)

http://indobic.or.id/berita_detail.php?id_berita=4672

Rawannya Struktur Pasar

Dalam pelajaran ekonomi industri, ada sebuah topik soal


struktur industri. Struktur yang dimaksud adalah struktur
pasar dengan persaingan sempurna. Dalam struktur ini,
pelaku produksi sangat merata dan dilakukan banyak
orang dan massal sifatnya.

Dalam konteks pasar dengan persaingan sempurna, atau katakanlah mendekati sempurna,
maka akan sulit terjadi kenaikan harga akibat permainan produsen. Malah yang akan
terjadi adalah menurunkan harga jual serendah mungkin, atau setidaknya hanya sedikit di
atas biaya produksi.

Struktur pasar kedua adalah oligopoli, di mana pemain utama terdiri dari empat orang
atau empat perusahaan, atau paling maksimum delapan orang atau delapan perusahaan,
yang menguasai 80 persen pangsa pasar. Dengan struktur pasar seperti ini, maka harga
jelas mudah dikendalikan produsen.

Satu jenis lagi struktur pasar adalah monopoli, dimana pemainnya hanya seorang atau
tunggal. Dalam konteks ini, kendali harga jelas hanya ada di perusahaan si pemilik
monopoli itu.
Struktur pasar yang monopoli, oligopoli atau persaingan
sempurna juga bisa terjadi di dalam tingkat distribusi.
Artinya, sebuah aktivitas distribusi bisa monopolistik
atau oligopolistik sifatnya. Dengan struktur pasar di
bidang distribusi dengan status oligopoli atau monopoli,
jelas permainan harga sangat dimungkinkan.

Karena itulah berbagai negara mencoba menghapus barrier to entry, hambatan masuk
bagi pemain baru, agar pelakunya banyak dan pasar tidak didikte oleh segelintir pemain.

Tidak jelas apa persisnya struktur pasar komoditas primer yang dimiliki Indonesia
sekarang ini. Namun juga tidak tertutup kemungkinan bahwa struktur pasar komoditas
primer di Indonesia memang bersifat monopolistik atau oligopolistik.

Dalam hal perdagangan beras misalnya, jelas pemainnya tidak banyak. Diduga kuat, hal
seperti itu juga terjadi dalam sistem distribusi komoditas lainnya. Karena itu, tidak heran
jika harga-harga mudah bergejolak. Itulah hasil dari struktur pasar yang rawan, terutama
jika strukturnya oligopolistik atau bahkan monopolistik.
http://caninews.com/hot_issues/article.php?article_id=346

Kamis, 24/01/2008

Harga ideal kedelai Rp6.000/kg


• Cetak

JAKARTA: Rapat Gabungan Komisi VI DPR dengan sejumlah menteri dan para
produsen tahu tempe hanya menjadikan batasan harga stabil kedelai Rp5.500-Rp6.000
per kg sebagai catatan yang tidak masuk dalam simpulan.

Rapat Gabungan Komisi VI DPR, yang berakhir Rabu pukul 00.20 WIB melibatkan
Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, dan Menteri Negara
Koperasi dan UKM, serta Ketua Induk Koperasi Tahu Tempe (Inkopti).

Penetapan batas harga eceran kedelai di tingkat produsen tempe tahu ini sempat
disampaikan sebagai draf kesimpulan rapat, yang dipimpin Toto Daryanto (F-PAN).

Namun, Menteri Perindustrian Fahmi Idris tidak sependapat dengan poin draf kesimpulan
itu, meski dia setuju dua poin draf lainnya yang menyangkut solusi jangka panjang.

"Minggu lalu, sudah dilakukan berbagai pembicaraan termasuk exercise harga, termasuk
mekanisme subsidi, yang mengacu pola raskin," ujar Fahmi.

Saat itu, lanjut dia, Dirut Bulog menyampaikan bahwa sudah ada bupati yang memberi
subsidi Rp1.000 per kg. Angka ini kemudian sebagai acuan.

Kalau harga kedelai yang terbentuk setelah penghapusan bea masuk adalah Rp7.000 per
kg, maka dibutuhkan subsidi Rp1.000 per kg. "Ini menyangkut dana. Dananya dari
mana?"

Sikap pemerintah ini, berlanjut pro-kontra penetapan harga batas sebagai kesimpulan
rapat yang sempat alot dan memanas hingga Zulkifli Halim, legislator F-PAN, melakukan
aksi walk-out.

Zulkifli menuntut agar batas harga itu ditetapkan dengan pertimbangan daya beli
masyarakat terhadap tahu tempe berada di kisaran harga kedelai Rp5.500 - Rp6.000.

Pentingnya penetapan batas harga kedelai juga disampaikan Aria Bima dan sejumlah
legislator lainnya dari PDIP. Tapi, legislator lain, seperti Nusron Wahid (F-PG), dan
Azam Azman Natawijana (FPD), tidak sependapat.

�"Soal bagaimana menurunkan itu tugas pemerintah. Kalau harga pasar, ditambah
pembebasan bea masuk dan pajak, ketemu angka Rp7.200 per kg. Tinggal subsidi," ujar
Zulkifli.

Dia mengkritik sikap pemerintah dan anggota dewan lainnya yang tidak mau menetapkan
batasan harga stabil jangka pendek selama tiga bulan mendatang.

Nusron Wahid, legislator F-Partai Golkar, penentuan batasan harga harus ditetapkan
berdasarkan pertimbangan tiga pihak, yakni konsumen, produsen, dan� petani.

"Kita kan baru dengar dari Induk Koperasi Tahu Tempe. Kalau mau fair [adil] dan
objektif berapa angka harga normal itu, ya, harus dari tiga pihak. Kita juga perlu hitung
tingkat efisiensi produksi tahu tempe kita," ujar Nusron.

Pembebasan BM

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan harga kedelai di pasaran lokal
sekarang Rp7.200 per kg. Dengan pembebasan bea masuk impor 10%, harga akan turun
di kisaran Rp6.500.

Pernyataan Mendag didasarkan pada harga kedelai di pasar dunia saat ini US$600 per ton
dengan asumsi kurs dolar AS senilai Rp9.000. "Bila harga tidak turun ke Rp6.500,� ada
gejala tidak normal dalam struktur pasar domestik."

Di Makassar, Dirjen Tanaman Pangan Deptan Sutarto Alimuso juga mengatakan batasan
harga eceran kedelai Rp5.500-Rp6.000 per kg di tingkat produsen tempe tahu merupakan
win win solution bagi petani, perajin, ataupun konsumen komoditas tersebut.

"Harga minimum kedelai harus ada supaya menarik bagi petani. Selama ini kan tidak.
Masa harga kedelai lebih murah dari beras? Pertengahan 2007 pun baru di sekitar
Rp3.500, beras sudah Rp4.000 lebih. Ini yang terjadi dan harus dirasionalisasi," ujarnya
di sela-sela menghadiri rapat koordinasi penyaluran pupuk bersubsidi di Makassar
kemarin.

Dia membantah penilaian bahwa pembebasan BM kedelai hanya menguntungkan


importir dan merugikan petani yang tengah menikmati kenaikan harga komoditas itu.
(11/Kwan Men Yon) (fatkhul.maskur@ bisnis.co.id)

Oleh Moh. Fatkhul Maskur


Bisnis Indonesia

http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/ritel-ukm-mikro/1id40248.html
Insentif Fiskal Tidak Tepat
Harian Seputar Indonesia, 27 Februari 2008

JAKARTA(SINDO) – Pemberian insentif fiskal,seperti penurunan tarif bea masuk, untuk


berbagai komoditas pangan merupakan kebijakan yang tidak tepat.

Selain menekan penerimaan bea masuk dan pajak, pemberian insentif fiskal tidak
menjamin penurunan harga komoditas pangan di tingkat masyarakat. “Yang perlu kita
reviuapakah pembebasan (bea masuk) memang bermanfaat atau tidak. Contohnya bea
masuk kedelai dibebaskan pemerintah.Pertanyaannya, apakah harga kedelai menjadi
normal,”ujar Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan, inti persoalan lonjakan harga komoditas pangan di dalam negeri bukan
semata-mata akibat adanya tarif bea masuk dan pajak pertambahan nilai (PPN)
impor.Namun, pada struktur pasar di dalam negeri yang perlu ditata ulang oleh
Departemen Perdagangan.

“Menurut saya,pasar tidak sempurna karena kedelai hanya ada empat importir. Itu yang
harusnya diatasi, yaitu ketidaksempurnaan pasar.Itu sangat penting karena penetapan
harga tergantung pada posisi pasar,”kata Anwar. Untuk itu, Anwar mengharapkan
kebijakan pembebasan bea masuk sejumlah komoditas pangan tidak terlalu lama
diterapkan.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR, Rabu (20/2) lalu,Anwar
memperkirakan potensi penerimaan bea masuk yang hilang tahun ini mencapai Rp2,325
triliun. Hal ini disebabkan penurunan hingga penghapusan tarif bea masuk impor, terkait
kebijakan pangan dan industri. Bila ditambahkan penghapusan tarif bea masuk importasi
di kawasan perdagangan bebas, jumlah kerugian negara bisa bertambah.

“ Ini belum termasuk perjanjian EPA (perjanjian kemitraan ekonomi) dengan Jepang dan
perjanjian kerja sama dengan Korea Selatan,” ujarnya. Kerugian negara sebesar Rp2,325
triliun itu bersumber antara lain dari penurunan tarif bea masuk beras dari Rp550 menjadi
Rp450 per kg.

Nilai kerugian penurunan tarif bea masuk impor beras ini sebesar Rp109,38 miliar.
Pembebasan tarif bea masuk tepung terigu menjadi 0% mengakibatkan kerugian Rp77,16
miliar, dan pada kedelai Rp496,01 miliar. Lalu,pembebasan bea masuk dalam rangka
Peraturan Menteri Keuangan No 135/ KM/2005 tentang Impor Mesin, Barang terkait
kebijakan industri menyedot Rp1,642 triliun.

“Penerimaan dari Batam Bintan Karimun nilainya Rp68,6 miliar. Di luar potensi
penyelundupan sebagai akibat belum ditetapkannya pelabuhanresmi,”kata Anwar.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan,efektivitas
instrumen fiskal bergantung pada komitmen pengusaha menurunkan harga jual produk
pangannya. Jaminan pemerintah adalah memantau realisasi komitmen tersebut.
“Kalau jaminan pemerintah bakal memonitor tingkah laku dari perusahaan itu, di dalam
men-charge apakah yang menerima fasilitas itu memang akan dipercepat atau diteruskan
kepada masyarakat, tetap kita lakukan,” ujar Sri Mulyani. Menkeu menjelaskan,ada nilai
ekonomis dari kerugian negara yang hilang.

Selain penulisannya dalam APBN membuat kebijakan ini akuntabel dan transparan,
pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat adalah adanya pengorbanan yang harus
dibayar pemerintah untuk menurunkan harga. “Jadi, itu supaya masyarakat tahu kalau
kebijakan ini ada artinya.Pada akhirnya bisa memengaruhi putusan tingkah laku pada
sektor riil, pada produknya," kata Sri Mulyani.

Dia menambahkan, seluruh aturan pelaksanaan keringanan instrumen fiskal komoditas


pangan pada bulan ini sudah diterbitkan.Kebijakan itu antara lain berupa Peraturan
Menteri Keuangan, Surat Edaran Menteri Keuangan hingga Keputusan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai.

“Ini mulai berlaku dengan tarif kepabeanan,yang impor sudah masuk setelah 1 Februari
kemarin. Kalau untuk pajak, setiap transaksi terjadi setelah keputusan itu otomatis turun
10% kan PPNnya," katanya.

Muhammad Ma'ruf

http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&id=1520&q=terigu&hlm=4

Produktivitas Kedelai, Bagaimana?


Januari 15, 2008 oleh Mila

“Pak Ndut, biasa. Bakso semangkok.”

“Pakai telor? Maaf tahunya tak ada.”

“Hmmmpf… tidak. Eh, Pak Ndut tidak ikut demo tahu-tempe?”

“Ah, kagak ada yang dengerin.”

Dialog ini bukan imajinasi saya, tapi berlangsung tadi sore di dekat rumah. Senyum kecut
saya mungkin tak banyak membawa arti. Saya pulang ke rumah setelah makan bakso,
kenyang tapi penasaran.

Google sana, google sini. Saya alt-tab beberapa bacaan, multitasking. Hasilnya sebuah
pemikiran ini:

Bayangkan saja Brazil (kuantitas 19.247.690 metrik ton per tahun 2004), yang juga
berada di garis khatulistiwa sejajar dengan negeri ini, adalah pengekspor biji kedelai
nomor dua dunia dilanjutkan Argentina (6.519.806 metrik ton), negara yang agak sejuk
karena berada di selatan khatulistiwa. Amerika Serikat masih nomor satu (25.602.609
metrik ton). Paraguay, Belanda, Kanada, China, Uruguay, Belgia dan Bolivia berada di
urutan setelah itu (sepuluh pengekspor terbesar dunia). Indonesia tidak berada dalam 20
besar sekalipun, tapi masuk dalam 10 besar pengimpor dunia. Baca selengkapnya di situs
Food and Agriculture Organization (klik di sini). Ada gambar yang salah lagi di sini,
bukan?

***

Setiap tanaman pangan pasti memiliki masalah di pasar input hulu tanaman (petani
kedelai ke pembeli untuk distribusi ke daerah-daerah), hingga di pasar output (antara
pengrajin tahu tempe atau susu kedelai ke konsumer akhir). Tanaman pangan juga
memiliki masalah internal produksi tanaman itu sendiri, mulai dari hama hingga struktur
tanah.

Produktivitas kedelai adalah masalah terutama negeri ini, juga masalah yang nyaris
terlupakan hingga para pengrajin tahu tempe bergerak kemarin. Saya menemukan sebuah
tulisan lengkap tentang kedelai di Indonesia yang dimuat di situs UNCAPSA atau United
Nations’ Centre for the Alleviation of Poverty through Secondary Crops’ Development in
Asia and the Pacific. Tulisan ini adalah laporan dari Shiro Okabe (Direktur Pusat
Palawija) dan Ibrahim Manwan (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan).
Klik situs Pusat Penelitian dan Pengembangan Pangan di sini yang membahasa kedelai,
dan klik tulisan Okabe-Manwan di sini yang membahas Sistem Komoditas Kedelai di
Indonesia.

Sungguh suatu usaha yang sepertinya bagus di atas kertas. Saya harus yakin tulisan
Okabe-Manwan ini telah dibagikan ke seluruh pemerintah provinsi di Indonesia sebagai
panduan untuk meningkatkan produktivitas kedelai di negeri ini. Saya juga punya tulisan
bagus dari Brazil tentang produktivitas kedelai yang ditulis Fabio Trigueirinho (2007)
Sustainable Soy Production - Strategic Action (klik sini). Pemerintah Brazil
memberlakukan moratorium kedelai selain pengaturan terhadap konservasi hutan
Amazon untuk pengembangan produksi tanaman kedelai di negeri itu.

***

Dua hari ke depan (ini gosip Si Mbok tukang sayur di pasar tadi pagi) pasokan tahu
tempe sudah bisa ditemui secara normal. Harga? “Tidak janji,” katanya.

Mahal, it’s okay; this is just supply-demand thing.

http://ameliaday.wordpress.com/2008/01/15/produktivitas-kedelai-bagaimana/
Pasar Monopoli v. Oligopolistik v. Monopolistik v.
Persaingan Sempurna
Desember 24, 2007 oleh Mila

Ada pernyataan seorang kawan akhir-akhir ini, saat bertemu dengan pelaku pasar televisi
berlangganan di Indonesia. Sebelum sering-sering bermain ke Gorontalo dan Balikpapan
untuk melihat dan mendaftar pemain-pemain kecil spanyol*, ada baiknya konsepsi dasar
tentang struktur pasar harus dipahami secara mendalam. Saya jadi tersenyum sekaligus
menggeleng, “Kenapa juga pasar oligopolistik jadi merugikan masyarakat?” Pak, jangan
memberikan pernyataan sebelum melakukan riset dan pendalaman pemahaman, ya.

***

Pasar monopoli pun bisa terjadi secara alamiah, karena penguasaan teknologi atau modal
kapital yang besar. Saat sang pemain monopoli ini mulai melakukan tindakan merugikan
masyarakat (dan ada hitungannya), di saat ini pula kebijakan persaingan usaha berperan.

Secara singkat ada sedikit perbedaan antara persaingan sempurna dengan monopolistik:

Pasar persaingan sempurna:

• banyak pembeli dan banyak penjual


• produk yang homogen
• informasi produk cukup
• free entry

Pasar persaingan monopolistik:

• banyak pembeli dan banyak penjual


• produk yang terdiferensiasi
• informasi produk cukup
• free entry

Produk yang mirip bisa terdiferensiasi karena geografi (lokasi Alfamart di dekat rumah
saya lebih nyaman ditempuh daripada Indomaret lima rumah di sebelahnya). Alfamart itu
berada di daerah yang tidak terlalu ramai untuk diseberangi dibanding Indomaret. Produk
yang mirip juga bisa terdiferensiasi karena iklan yang terus-menerus. Cairan pencuci
rambut (shampoo) merek Sunsilk yang berbotol hijau adalah untuk pengguna jilbab. Apa
isinya berbeda dengan yang botol kuning, merah muda ataupun biru? Mungkin hanya
wewangian dan pewarna yang berbeda, tetapi semuanya tetap cairan pencuci rambut dari
bahan kimia sama.
Lalu apa oligopolistik? Di pasar ini, keputusan harga berada di segelintir pemain,
walaupun berada di banyak pemain. Sebagai price leaders, segelintir pemain ini bisa
membuat skema sebagai berikut:

• Perusahaan oligopoli berkonspirasi dan berkolaborasi untuk membuat harga


monopoli dan mendapatkan keuntungan dari harga monopoli ini
• Pemain oligopoli akan berkompetisi dalam harga, sehingga harga dan keuntungan
menjadi sama dengan pasar kompetitif
• Harga dan keuntungan oligopoli akan berada antara harga di pasar monopoli dan
pasar kompetitif
• Harga dan keuntungan oligopoli tak dapat ditentukan, indeterminate.

Di sini, barulah kita bermain dalam sebuah teori permainan. Game theory. Ada tata cara
bermain dan penaltinya juga! Dilanjutkan nanti ya…

* Catatan: spanyol = separuh nyolong, sebuah istilah yang dikemukakan oleh seorang
filantropis pemilik satelit negeri ini, “Sesungguhnya inilah Indonesia Raya, negara
kepulauan yang tak mampu diurus semuanya di pusat.”

http://ameliaday.wordpress.com/2007/12/24/pasar-monopoli-v-oligopolistik-v-
monopolistik-v-persaingan-sempurna/

Butuh 6.000 Hektar Lahan untuk Kedelai


Harga Masih Meningkat Mencapai Rp 7.500 Per Kilogram

Sumedang, Kompas - Pemerintah Kabupaten Sumedang diminta menyediakan lahan minimal


seluas 6.000 hektar untuk ditanami kedelai. Penambahan lahan itu diyakini bisa meningkatkan
produksi komoditas tersebut sedikitnya 7.402 ton per tahun.

Jumlah itu bisa memenuhi kebutuhan kedelai di Kabupaten Sumedang yang rata-rata sebanyak
600 ton per bulan atau 7.200 ton per tahun.

Demikian dikatakan Ketua Primer Koperasi Pengusaha Tahu dan Tempe Indonesia (Primkopti)
Sumedang Nono Sungkono, Rabu (16/1) di Sumedang. Menurut dia, dalam beberapa tahun
terakhir ketergantungan pengusaha setempat terhadap kedelai impor sangat tinggi. Kebutuhan
berkisar 600-650 ton per bulan. Sebaliknya, produksi lokal tahun 2005 hanya 1.316 ton,
sedangkan pada 2006 sebanyak 882 ton. Bahkan, pada 2007, target produksi sebanyak 2.170
ton hanya terealisasi 740 ton.

Untuk memenuhi kekurangan sebanyak 6.318 ton pada tahun 2006, misalnya, terpaksa
bergantung pada kedelai impor. "Jadi, penyediaan lahan minimal 6.000 hektar di Kabupaten
Sumedang itu sudah sangat mendesak sebagai salah satu solusi menghentikan ketergantungan
pada kedelai impor," kata Sekretaris Primkopti Sumedang Rachmat Iriana.

Untungkan importir

Sejak awal Desember 2007, Primkopti Sumedang bersama Puskopti Jawa Barat telah
mengusulkan kepada Dinas Pertanian; Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Investasi
(Disperindagves); serta Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah untuk mengadakan
kampanye pembukaan lahan di setiap kabupaten seluas 6.000 hektar.

Namun, menurut Rachmat, sejauh ini Pemerintah Kabupaten Sumedang baru menyanggupi
lahan seluas 1.000 hektar di wilayah Sumedang timur. Di sana iklim dan struktur tanahnya
menunjang untuk budidaya kedelai. Kesanggupan pemerintah kabupaten itu, lanjut Rachmat,
diputuskan dalam rapat dengan instansi terkait, Senin lalu. Namun, menurut Kepala Seksi
Perdagangan Menengah Kecil Disperindagves Kabupaten Sumedang Wawan Hudawan, lahan
yang akan disediakan pemerintah untuk penanaman kedelai sekitar 1.500 hektar.

Nono juga mengatakan, kebijakan bea masuk impor nol persen tidak memengaruhi harga kedelai
di tingkat pengolah (perajin) tahu dan tempe. Terbukti di pasaran harga komoditas tersebut,
kemarin, meningkat lagi mencapai Rp 7.500 per kilogram. Sehari sebelumnya harga kedelai Rp
7.350 per kilogram. Kebijakan pemerintah itu dinilai hanya dapat dirasakan di tingkat pengimpor
kedelai.

Importir beralasan harga kedelai di pasar dunia sedang naik sehingga harga untuk pasar
domestik perlu ditingkatkan. Argumentasi ini, menurut Nono, tidak logis.

Ia mencontohkan, saat ini harga kedelai ialah 360 dollar AS per ton. Jika satu dollar AS setara
dengan Rp 9.000, seharusnya harga kedelai di pasar domestik di Indonesia sekitar Rp 3.600.000
per ton atau Rp 3.600 per kilogram. "Jadi, kalau kedelai di pasar Indonesia masih dijual seharga
Rp 7.500 per kilogram, sulit diterima. Apalagi, kini bea masuk impor sudah nol persen," Nono
menegaskan. (A15/A01/A04)

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0801/17/Jabar/31280.htm

Tiga Rahasia Pasar Tradisional


Desember 20, 2007 oleh Mila

Setiap pagi saya naik sepeda menuju pasar tradisional, yang jaraknya lumayan jauh.
Sengaja saya pilih pasar ini dengan dua alasan, pertama saya bisa berolahraga, dan kedua
pasar ini “seperti” Passer Baroe (kiosnya berada di sepanjang jalan, tidak masuk ke dalam
los-los sehingga saya hanya duduk di atas sepeda untuk bertransaksi). Anak saya selalu
bertanya saat saya tiba di rumah, “Ibu dari pasar bau, ya?”

Alasan saya sebenarnya ada tiga. Dengan uang yang sama, saya mendapatkan lebih
banyak jika berbelanja di pasar tradisional. Bisa saja saya tinggal duduk di rumah
menunggu Bang Hasan, tukang sayur gerobak lewat setiap pukul 7.30 pagi. Saya
menyukai tawar-menawar di pasar tradisional, walau hanya sekadar limaratus rupiah.

Kebiasaan ini saya lakukan mulai Idul Fitri tempo hari, saat ditinggal pulang “asisten
rumah tangga”. Saya mulai menyukai kegiatan rutin ini, karena secara nyata saya tahu
bagaimana harga bawang bergerak naik, daging sapi dan ayam bergerak turun lalu naik
lagi. “Seribu cabe merah,’Yu” akan berbeda jumlah cabenya jika kita membeli di tempat
langganan. Ada rasa “trust” di antara pembeli dan pelanggan yang terbangun baik.
Hari ini saya banyak men-download tulisan jurnal di luar negeri dengan kata kunci
“traditional market”. Saya mampir di www.traditionalmarket.co.uk. dengan konsep pasar
tradisional yang berbeda dengan pasar tradisional di Indonesia. Tapi tiga rahasia mereka
adalah: kualitas, suasana dan profesionalisme. Menarik…

Kualitas: tentu pembeli menginginkan ikan yang masih segar (lihat insang masih
berwarna cerah atau tidak) atau tempe yang sempurna (seluruh pori-pori terbalur sebagai
hasil fermentasi yang baik).

Suasana: pasar tradisional yang saya datangi di musim hujan begini menjadi kubangan
lumpur yang membuat saya yang bersepeda diuntungkan (tidak sering-sering
menjejakkan kaki ke tanah becek). Sungguh suasana becek bukan halangan, karena
dengan penjual “serba-ada” langganan, saya selalu disapa “Tuku opo, ‘Yang? Tempe’ne
apik…” Terkadang gelak tawa terdengar di kios tukang kelapa di sela-sela lamunan
nenek penjual ikan asin.

Profesionalisme: pedagang ikan langganan mengerti bahwa saya tak suka membersihkan
sisik ikan, jadi otomatis dibersihkan. Penjual tahu juga selalu memberi lebih jika saya
membeli lima ribu rupiah. Saya juga tidak akan diberikan sayuran yang layu oleh ‘Yu
Pon langganan saya.

Intinya adalah ada kenikmatan berbelanja di pasar tradisional juga. Saya bisa mengetahui
harga atau kuantitas di kios ini lebih menguntungkan dibandingkan di kios ujung sebelah
sana. Saya juga suka dengan kualitas tahu di dekat tukang ayam langganan, sehingga tak
ingin pindah ke tukang tahu lain. Inilah konsep-konsep dasar ekonomi yang saya pelajari
di pasar tradisional. Sekarang adalah masalah waktu dan itikad pemerintah daerah untuk
meremajakan pasar tradisional tanpa harus mengubah nilai dari tiga rahasia pasar
tradisional.

http://ameliaday.wordpress.com/2007/12/20/tiga-rahasia-pasar-tradisional/

You might also like