You are on page 1of 6

PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL.

AKIBAT HUKUM DI DALAM NEGERI PENGESAHAN PERJANJIAN INTERNASIONAL


(TINJAUAN HUKUM TATA NEGARA)

Pengertian-pengertian

Dalam tulisan ini yang diartikan dengan :

“Perjanjian Internasional” adalah perjanjian


sebagaimana dimaksud Pasal 11 UUD.1
“Pengesahan” adalah pengesahan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.

Bentuk Hukum
“Pengesahan Perjanjian Internasional”

Pasal 11 UUD tidak menyebut bentuk


hukum (Undang-Undang atau bentuk lain).
Yang disebut adalah “persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”, bukan produk hukumnya. Focus Group Discussion tentang Status Perjanjian
Internasional dalam Sistem Hukum Indonesia
Berbeda dengan UUDS ’50 menyebutkan: (kerjasama Departemen Luar Negeri dengan
“Kecuali jika ditentukan lain dengan Undang- Unpad, Bandung, 29 November 2008).
Undang, perjanjian atau persetujuan lain tidak
disahkan, melainkan sesudah disetujui dengan kesepakatan antara dua Negara atau lebih
Undang-Undang”. Ketentuan UUDS ’50, Pasal untuk melahirkan hukum atau persetujuan
120 ayat (1), serupa dengan Konstitusi RIS, mengikatkan diri pada suatu hukum yang
Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua.2 berlaku lintas Negara (Pasal 1 angka 1,
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000).3 Kalau
Walaupun Pasal 11 UUD hanya menyebut pengertian Perjanjian Internasional tersebut
“dengan persetujuan Dewan Perwakilan dikaitkan dengan fungsi DPR, akan termasuk
Rakyat”, dalam praktek ketatanegaraan fungsi membuat Undang-Undang, karena
sebelum Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 menciptakan hukum atau menyetujui suatu
(Perjanjian Internasional), setiap perjanjian hukum yang berlaku lintas Negara. Telah
yang memerlukan persetujuan DPR diberi menjadi kesepahaman umum, bentuk hukum
bentuk Undang-Undang. Mengapa? yang dibuat DPR dalam menjalankan fungsi
legislatif adalah Undang-Undang. Karena tidak
Pertama: berkaitan dengan makna ada bentuk peraturan perundang-undangan
“persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. yang bersifat atau berlaku umum yang dapat
dibuat DPR, kecuali Undang-Undang. Undang-
Baik berdasarkan praktek kelaziman, maupun Undang adalah produk fungsi legislatif DPR,
ketentuan-ketentuan yang berlaku, dalam karena itu, setiap Perjanjian Internasional yang
sistem perwakilan demokrasi, ada tiga fungsi memerlukan persetujuan DPR akan diberi
yang melekat (dilekatkan) pada DPR yaitu bentuk Undang-Undang.
fungsi legislatif (legislative function), fungsi
pengesahan anggaran (budget function), dan Kedua: berdasarkan praktek ketatanegaraan.
fungsi pengawasan atau kendali (control
function). Perjanjian Internasional adalah
1
UUD 1945, Pasal 11: “Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat…membuat…perjanjian dengan Negara lain.
2 3
Konstitusi RIS Pasal 175 ayat (1) kalimat kedua: “kecuali jika Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 1 angka 1: “Perjanjian
ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang
lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dalam bentuk Undang- diatur dalam Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis serta
Undang”. menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
8
Telah menjadi praktek ketatanegaraan sekaligus mengandung makna “bentuk
(konvensi) setiap Perjanjian Internasional yang Undang-Undang”.
memerlukan persetujuan DPR diberi bentuk
Undang-Undang. Di masa sebelum Undang- Sejak tahun 2000, argumen-argumen di
Undang No. 24 Tahun 2000, berlaku pedoman atas telah dikukuhkan Undang-Undang No. 24
atas dasar Surat Presiden No. 2826/HK/60. Tahun 2000 sebagaimana diatur dalam Pasal 9
Surat ini dikeluarkan sebagai jawaban atas ayat (2), dan Pasal 10.5
surat Ketua DPR meminta ketegasan
Pemerintah mengenai bentuk hukum Perjanjian Kedudukan dan kekuatan mengikat
Internasional, baik yang memerlukan Undang-Undang Perjanjian
persetujuan DPR, maupun yang tidak Internasional
memerlukan persetujuan DPR (executive
agreement). Surat Ketua DPR, karena UUD Ilmu Hukum Indonesia atau Ilmu Tata
1945 tidak memuat “Jadi ada semacam kontradiksi Hukum Indonesia,
ketentuan seperti diatur keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian mengajukan berbagai
UUDS ’50, Pasal 120 Internasional ditempatkan sebagai sumber hukum formal
ayat (1). Dalam Ilmu sumber hukum yang berdiri – antara lain –
Hukum Tata Negara, sendiri, dipihak lain Perjanjian peraturan perundang-
surat semacam ini – Internasional diberi bentuk undangan dan
demikian pula peraturan perundang-undangan.” Perjanjian
memorandum tertulis – (Undang-Undang atau Keputusan Internasional (traktat,
dikategorikan sebagai Presiden/Peraturan Presiden)”. treaty). Dua sumber
menciptakan Konvensi tersebut terpisah
Ketatanegaraan – walaupun tertulis – bukan masing-masing berdiri sendiri. Tetapi dipihak
hukum. Hal ini sesuai dengan pengertian lain, setiap Perjanjian Internasional yang
konvensi sebagai ketentuan (rule) yang tidak dibuat atau dimasuki diberi bentuk Hukum
dapat ditegakkan melalui pengadilan, karena Nasional yaitu Undang-Undang atau
bersifat etik belaka (constitutional ethic).4 Keputusan Presiden (sekarang, lebih tepat
Dalam Ilmu Hukum Administrasi Negara, surat Peraturan Presiden).6 Undang-Undang dan
semacam ini digolongkan sebagai peraturan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur
kebijakan (policy rules, beleidsregel), yang (Peraturan Presiden), adalah peraturan
didasarkan pada asas manfaat (doelmatigheid), perundang-undangan. Dengan demikian
bukan berdasarkan hukum (rechtmatigheid). ditinjau dari sumber hukum, Perjanjian
Internasional (traktat, treaty), bukan sumber
Ketiga: setelah UUD 1945 berlaku kembali (5 hukum yang berdiri sendiri, melainkan masuk
Juli 1959), melalui Pasal II (sekarang Pasal I) sebagai salah satu sumber peraturan
Aturan Peralihan, dapat diterapkan ketentuan perundang-undangan. Jadi ada semacam
UUDS ’50, Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua. kontradiksi keilmuan. Disatu pihak, Perjanjian
Internasional ditempatkan sebagai sumber
Ketentuan Pasal 120 ayat (1) kalimat kedua hukum yang berdiri sendiri, dipihak lain
tetap dapat diterapkan, karena tidak Perjanjian Internasional diberi bentuk
bertentangan dengan UUD 1945, bahkan peraturan perundang-undangan (Undang-
tersirat dalam Pasal 11 yang menyebut “dengan Undang atau Keputusan Presiden/Peraturan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”, Presiden).
5
Undang-Undang No. 24 Tahun 2000, Pasal 9 ayat (2): “Pengesahan
Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dengan Undang-Undang atau Keputusan Presiden. Undang-Undang No.
24 Tahun 2000, Pasal 10 “Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan
dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan Negara.
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik
Indonesia.
c. Kedaulatan atau hak berdaulat Negara.
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
e. Pembentukan kaidah hukum baru.
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
6
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
4
Lihat, KC. Wheare, Modern Constitutions…. Perundang-undangan.
9
khusus sebagai kekuasaan administrasi Negara.
Sistematik keilmuan ini berbeda dengan Hal semacam ini dapat diperluas pada yang
misalnya pada Negara-Negara Uni Eropa (27 dalam ilmu hukum disebut “Undang-Undang
Negara). Semua anggota Uni Eropa tidak formil” (formeel wet)7 lain, seperti Undang-
memberi bentuk peraturan perundang- Undang pembentukan daerah otonom,
undangan nasional (seperti Undang-Undang). pembentukan pengadilan tinggi, semestinya
Perjanjian antar anggota Uni Eropa dan inisiatif hanya pada Presiden. Dalam praktek
peraturan-peraturan yang ditetapkan Uni Eropa, dijumpai pembentukan Kabupaten, Kota,
berkedudukan lebih tinggi dari semua peraturan Propinsi atas inisiatif DPR.
perundang-undangan nasional. Bahkan UUD
harus menyesuaikan dengan traktat Uni Eropa. Kedua, DPR tidak mempunyai Hak
Perjanjian Internasional, khususnya perjanjian Amandemen dalam pengesahan Perjanjian
antar anggota, berada pada urutan teratas Internasional. DPR hanya berwenang
sumber hukum. Dengan demikian, Perjanjian menyetujui atau tidak menyetujui, menerima
Internasional (traktat, treaty), memang atau menolak mengesahkan suatu Perjanjian
mempunyai bentuk hukum tersendiri terpisah Internasional. Rancangan Undang-Undang
dari peraturan perundang-undangan nasional, suatu Perjanjian Internasional adalah hasil
seperti Undang-Undang. kesepakatan yang sudah diparaf oleh masing-
masing Pemerintah. Dalam hal memasuki
Kembali kepada memberi bentuk Undang- Perjanjian Internasional, DPR hanya setuju
Undang Perjanjian Internasional. Sebagai atau tidak setuju mengikatkan diri pada
konsekuensi diberi bentuk Undang-Undang, Perjanjian Internasional yang sudah ada. Jadi,
maka segala tata cara membentuk Undang- kalau DPR, baik di dalam atau di luar sidang
Undang berlaku pada peraturan perundang- berpendapat agar ada perubahan isi suatu
undangan Perjanjian “DPR tidak mempunyai hak Perjanjian
Internasional, kecuali: amandemen dalam pengesahan Internasional, sebagai
Perjanjian Internasional. DPR syarat pengesahan,
Pertama, hak inisiatif hanya berwenang menyetujui atau merupakan sesuatu
membuat atau tidak menyetujui, menerima atau ucapan atau tindakan
memasuki suatu menolak mengesahkan suatu tanpa wewenang.
Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional.”
semata-mata ada pada Setiap Undang-
Presiden. DPR tidak Undang akan serta
mempunyai hak merta mengikat setelah
inisiatif membuat atau memasuki suatu segala tata cara melahirkan Undang - Undang
Perjanjian Internasional. Mengapa? dipenuhi, kecuali :
Berdasarkan sistem pembagian kekuasaan (1) Undang-Undang itu sendiri menyatakan
Negara, apalagi pemisahan kekuasaan, saat (waktu) mulai berlaku.
hubungan luar negeri termasuk membuat atau (2) Undang-Undang itu sendiri menyatakan
memasuki Perjanjian Internasional masuk ke akan berlaku setelah ada peraturan
dalam lingkungan kekuasaan eksekutif bahkan pelaksana (implementing regulation).
sebagai kekuasaan eksklusif (exclusive power)
eksekutif (dhi. Presiden atau Pemerintah yang Suatu contoh, Undang-Undang tentang
bertindak atas kuasa atau atas nama Presiden). Peradilan Tata Usaha Negara (Undang-Undang
Jadi, kalau pernah ada pengesahan suatu No. 5 Tahun 1986). Undang-undang ini
Perjanjian Internasional atas inisiatif DPR menegaskan akan berlaku setelah lima tahun
merupakan suatu penyimpangan atas Asas dan ada peraturan pelaksana (Peraturan
Pembagian Kekuasaan sebagai kekuasaan Pemerintah).
eksklusif Presiden (Pemerintah). Hal ini serupa 7
dengan hak budget. Meskipun DPR UndangUndang-undang formil (formeel wet) berbeda dengan Undang-
dalam arti formil (wet in formeel zijn). Undang-undang formil
mempunyai hak budget, tetapi tidak adalah Undang-Undang yang dinamakan Undang-Undang karena cara
pembentukannya sehingga diberi nama Undang-Undang. Undang-undang
mempunyai hak inisiatif mengajukan RUU formil tidak memenuhi kriteria mengikat (secara ) umum, bahkan isinya
APBN. Membuat dan melaksanakan APBN lebih merupakan sebuah “beschikking”. Berbeda dengan Undang-Undang
dalam arti formil. Selain berbentuk Undang-Undang, juga mengikat
adalah kekuasaan eksekutif, bahkan lebih (secara) umum.
10
serupa dalam Konstitusi RIS. Demikian pula
Kasus yang sama berlaku juga pada dalam AB dan IS.8
Undang-Undang Perjanjian Internasional.
Undang-Undang Perjanjian Internasional akan Bagaimana praktek ketatanegaraan yang
serta merta berlaku sebagaimana Undang- berlaku. Ketentuan wajib memuat dalam
Undang pada umumnya, sepanjang tidak ada Lembaran Negara dimuat dalam Undang-
ketentuan pengecualian di atas. Khusus untuk Undang yang bersangkutan dengan
Undang-Undang Perjanjian Internasional dapat menyebutkan: “Agar setiap orang dapat
ditambahkan klausula lain sehingga tidak serta mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
merta berlaku. Undang-Undang ini melalui Lembaran Negara
(1) Syarat jumlah Negara penandatangan. Republik Indonesia”.
Misalnya setelah ditandatangani lebih dari
separoh anggota PBB. Secara kebahasaan, ketentuan di atas
(2) Mencantumkan syarat peraturan seolah-olah hanya bersifat pengumuman (agar
pelaksanaan (implementing regulation) baik setiap orang mengetahui). Apakah sekedar
untuk seluruh atau pasal-pasal tertentu. pengumuman?
Misalnya, terhadap ketentuan yang
menimbulkan kewajiban pada warga negara Ketentuan “agar setiap orang
(kewajiban individual). mengetahui...” merupakan pengejawantahan
(3) Memerlukan penyesuaian hukum nasional, fiksi hukum: “setiap orang dianggap
seperti penyesuaian UUD yang memuat mengetahui Undang-Undang”. Setiap Undang-
ketentuan berbeda dengan Perjanjian Undang atau peraturan yang telah dimuat
Internasional yang bersangkutan. dalam Lembaran Negara, tidak ada lagi alasan
(4) Praktek ketatanegaraan yang senantiasa mengatakan tidak mengetahui, karena itu tidak
memerlukan peraturan pelaksana sebagai terikat. Dengan perkataan lain, memuat dalam
syarat Perjanjian Internasional berlaku Lembaran Negara yang secara kebahasaan
efektif. Praktek ini seyogyanya tidak seolah-olah sekedar untuk diketahui
berlaku bagi Negara yang memberi bentuk (mengetahui), secara substantif mengandung
Undang-Undang “Harus diakui ada kemungkinan suatu arti dengan dimuat
pada Perjanjian Undang-Undang Perjanjian Internasional, dalam Lembaran
Internasional. seperti juga Undang-Undang lain, Negara berarti setiap
mengatur sesuatu sangat umum, lebih- orang terikat. Karena
Di atas telah lebih kalau akan berlaku pada individu, itu Undang-Undang
sehingga memerlukan peraturan
dikemukakan, pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan
tentang suatu
sepanjang Undang- dibuat karena kebutuhan penerapan, Perjanjian
Undang Perjanjian bukan sebagai syarat berlaku efektif.” Internasional dimuat
Internasional telah dalam Lembaran
dibuat dengan tata cara Negara, maka dengan
yang diatur Undang- sendirinya mempunyai
Undang (Undang- kekuatan mengikat,
Undang No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Tata kecuali kalau ada klausula yang sudah
Tertib DPR), Undang-Undang tersebut akan diuraikan di atas.
serta merta mengikat, kecuali Undang-Undang
tersebut menentukan lain.

Salah satu tata cara yang perlu dicatat 8


UUDS’ 50, Pasal 100 ayat (2), menggunakan kata “pengundangan”,
adalah “memuat dalam Lembaran Negara”. Konstitusi RIS, Pasal 143 ayat (2) menggunakan kata “pengumuman”
dengan maksud yang sama yaitu “pengundangan”. Dalam terjemahan
UUD 1945 (termasuk setelah perubahan), tidak bahasa Belanda, baik UUDS’ 50 Pasal 100 ayat (2) maupun Konstitusi
memuat fungsi hukum “memuat dalam RIS Pasal 143 ayat (2), sama-sama diterjemahkan “afkondiging” yang
secara baku diartikan ”pengundangan”.
Lembaran Negara”. Berbeda dengan UUDS ’50 AB, Pasal 1: “De bepalingen door de Koning, of, in zijnen noam, door
yang menegaskan: “Pengundangan, terjadi den Gouverneur General vosgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van
wet door hare afkondiging, in de vorm bebuald bij het reglement op het
dalam bentuk menurut Undang-Undang, adalah beleid der regering”.
syarat tunggal untuk kekuatan mengikat”. Hal IS, Pasal 95 ayat (2): “Die afkondiging wordt gerekend geschied te zijn
door plaatsing in het Staatsblad van wed-indie. Zij is, in geldigen vorm
geschied, de eenige voorwaarde der verbindbaarheid”.
11
Persoalannya, mungkin ditinjau dari bentuk Ditinjau dari teori dan tata cara
hukum dan prinsip-prinsip pembentukan pembentukkan Undang-Undang, suatu
Undang-Undang, sudah semestinya Undang- Undang-Undang yang materi muatannya
Undang Perjanjian Internasional mengikat, berasal dari Perjanjian Internasional akan serta
tetapi Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 merta mengikat seperti Undang-Undang
sebagai Undang-Undang yang mengatur tata lainnya.
cara membuat atau memasuki Perjanjian
Internasional, tidak mencantumkan ketentuan Agar suatu Undang-Undang yang materi
mengikat tersebut. Lebih-lebih lagi jika muatannya bersumber dari Perjanjian
dihubungkan dengan praktek ketatanegaraan Internasional tidak perlu memerlukan Undang-
yang selalu menyediakan peraturan Undang atau peraturan pelaksanaan
pelaksanaan agar Perjanjian Internasional (implementing regulation), kecuali Undang-
berlaku efektif. Bukankah dalam keadaan Undang tersebut menentukan sendiri peraturan
semacam itu, praktek ketatanegaraan yang telah pelaksanaan.
menjadi konvensi mempunyai kedudukan kuat,
bahkan lebih kuat? PROF. DR. BAGIR MANAN, SH., M.CL.
Bagir Manan adalah Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung,
Acap kali ada kekeliruan (misleading) kelahiran Lampung, 6 Oktober 1941. Pada
mengartikan hubungan antara hukum atau tahun 2001, beliau diangkat menjadi Ketua
peraturan perundang-undangan yang umum Mahkamah Agung Republik Indonesia.
dengan yang khusus. Seolah-olah yang khusus Kariernya di bidang hukum tergolong panjang.
harus atau pasti mengesampingkan yang Ia pernah menjabat sebagai Dirjen Hukum
dan Perundang-undangan Departemen
umum. Semestinya tidak demikian. Prinsip Kehakiman. Sebelumnya, ia menjabat Direktur
yang benar adalah, ketentuan-ketentuan yang Perundang-undangan Ditjen Hukum dan
bersifat umum tetap berlaku pada peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman
khusus yang bersangkutan. Mari simak bunyi (1990-1995), serta dosen luar biasa di UI,
Pasal 1 KUH Dagang: “Ketentuan-ketentuan UGM dan sejumlah perguruan tinggi lain. Ia
alumnus FH Unpad (1967), Master of
KUH Perdata, sepanjang tidak diatur khusus Comparative Law Southern Methodist di
dalam Kitab Undang-Undang ini (maksudnya University Law School Dallas Texas AS (1981),
KUH Dagang) tetap berlaku (diterapkan). Hal dan doktor ilmu hukum tata negara lulusan
serupa dengan Undang-Undang No. 24 Tahun Unpad tahun 1990.
2000 yang tidak mengatur berbagai akibat
hukum Perjanjian Internasional yang berbentuk
Undang-Undang, maka berlaku asas dan
ketentuan berlakunya suatu Undang-Undang.
Karena sudah ada Undang-Undang (Undang-
Undang No. 24 Tahun 2000) yang mengatur
Perjanjian Internasional dalam bentuk Undang-
Undang, maka segala sesuatu harus
diselesaikan dengan bentuk Undang-Undang
termasuk tata cara berlaku suatu Undang-
Undang.

Harus diakui ada kemungkinan suatu


Undang-Undang Perjanjian Internasional,
seperti juga Undang-Undang lain, mengatur
sesuatu sangat umum, lebih-lebih kalau akan
berlaku pada individu, sehingga memerlukan
peraturan pelaksanaan. Peraturan pelaksanaan
dibuat karena kebutuhan penerapan, bukan
sebagai syarat berlaku efektif.

Penutup

12
13

You might also like