You are on page 1of 23

2.2. Diare 2.2.1. Diare Pada Dewasa 2.2.1.1.

Definisi Diare atau mencret didefinisikan sebagai buang air besar dengan feses yang tidak berbentuk (unformed stools) atau cair dengan frekwensi lebih dari 3 kali dalam 24 jam. Bila diare berlangsung kurang dari 2 minggu, di sebut sebagai Diare Akut. Apabila diare berlangsung 2 minggu atau lebih, maka digolongkan pada Diare Kronik. Pada feses dapat dengan atau tanpa lendir, darah, atau pus. Gejala ikutan dapat berupa mual, muntah, nyeri abdominal, mulas, tenesmus, demam dan tanda-tanda dehidrasi. ( Braunwald, E, 2011) 2.2.1.2. Epidemiologi Diare akut merupakan masalah umum ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktek dokter, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat peringkat pertama s/d ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit. Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5-2 episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di USA dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terjadi setiap tahunnya.5 WHO memperkirakan ada sekitar 4 miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortalitas 3-4 juta pertahun. Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per tahun.10 Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05 % pasien rawat jalan. Penyebab utama disentri di Indonesia adalah Shigella, Salmonela, Campylobacter jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh Shigella dysentery, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Shigella flexneri, Salmonella dan Enteroinvasive E.coli ( EIEC) Beberapa faktor epidemiologis penting dipandang untuk mendekati pasien diare akut yang disebabkan oleh infeksi. Makanan atau minuman terkontaminasi, berpergian, penggunaan antibiotik, HIV positif atau AIDS, merupakan petunjuk penting dalam mengidentifikasi pasien beresiko tinggi untuk diare infeksi. 2.2.1.3. Etiologi

1. Virus Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 80%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut : (Braunwald,E, 2000) Rotavirus serotype 1,2,8,dan 9 : pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, dan 7 didapati hanya pada hewan. Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akibat food borne atau water borne transmisi, dan dapat juga terjadi penularan person to person. Astrovirus, didapati pada anak dan dewasa Adenovirus (type 40, 41) Small bowel structured virus Cytomegalovirus

2. Bakteri : Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktor virulensi yang penting yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada usus halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasilkan watery diarrhea. ETEC tidak menyebabkan kerusakan brush border atau menginvasi mukosa. Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan dari membrane mikro vili yang akan mengganggu permukaan absorbsi dan aktifitas disakaridase. Enteroaggregative E.coli (EAggEC). Bakteri ini melekat kuat pada mukosa usus halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme timbulnya diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan. Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan Shigella. Seperti Shigella, EIEC melakukan penetrasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon. Enterohemorrhagic E.coli (EHEC). EHEC memproduksi verocytotoxin (VT) 1 dan 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan edema dan perdarahan diffuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menjadi hemolytic-uremic syndrome. Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk : smooth lipopolysaccharide cell-wall

antigen yang mempunyai aktifitas endotoksin serta membantu proses invasi dan toksin (Shiga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watery diarrhea Campylobacter jejuni (helicobacter jejuni). Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperti daging ayam dan air. Kadangkadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person. C.jejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis. Vibrio cholerae 01 dan V.choleare 0139. Air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person to person jarang terjadi. V.cholerae melekat dan berkembang biak pada mukosa usus halus dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heatlabile toxin (LT) dari ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang mempunyai karakteristik tersendiri, seperti accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxin (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan sekresi cairan kedalam lumen usus. Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi sel epitel usus. Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa yang menimbulkan ulkus, akan terjadi bloody diarrhea 3. Protozoa : Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus. Mekanisme patogensis masih belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam empedu. Transmisi melalui fecal-oral route. Interaksi host-parasite dipengaruhi oleh umur, status nutrisi,endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai malabsorbsi dengan faty stools,nyeri perut dan gembung. Entamoeba histolytica. Prevalensi Disentri amoeba ini bervariasi,namun

penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnya

umur,dan teranak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica non patogenik (E.dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant. Cryptosporidium. Dinegara yang berkembang, cryptosporidiosis 5 15% dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya siomtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watery diarrhea, ringan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan gangguan sistim kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik. Microsporidium spp Isospora belli Cyclospora cayatanensis

4. Helminths : Strongyloides stercoralis. Kelainan pada mucosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare. Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan perdarahan usus.. Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunu, menyebabkan inflamasi dan atrofi vili dengan gejala klinis watery diarrhea dan nyeri abdomen. Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, caecum, dan appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan bloody diarrhea dan nyeri abdomen. 2.2.1.4. Patofisiologi Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare non inflamasi dan Diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.

Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit. Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat dibagi menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif dan gangguan motilitas. Diare osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium. Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik. Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau akibat radiasi. Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus. Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan atau adanya leukosit dalam feses. Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus. 1. Adhesi Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria terdiri atas

lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai colonization factor antigen (CFA) yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC) Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi Enteropatogenic E.coli (EPEC), yang melibatkan gen EPEC adherence factor (EAF), menyebabkan perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi EPEC ini dan diare terjadi akibat shiga like toksin. Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau EHEC. 2. Invasi Kuman Shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus. Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraselluler menimbulkan reaksi inflamasi serta kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman Shigella juga memproduksi toksin shiga yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya Salmonella. 3. Sitotoksin Prototipe kelompok toksin ini adalah toksin shiga yang dihasilkan oleh Shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin adalah Enterohemorrhagic E. Coli (EHEC) serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus. 4. Enterotoksin Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera toxin (CT) yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3 pada sel kripta mukosa usus. ETEC menghasilkan heat labile toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama dengan CT serta heat Stabile toxin (ST).ST akan meningkatkan kadar cGMP selular, mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal dan mengaktifkan sekresi klorida. 5. Peranan Enteric Nervous System (ENS)

Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik. Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit. 2.2.1.5. Manifestasi Klinis Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut. Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang isotonik. Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang, yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul). Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi, bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat negatif. Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung. Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan

pemusatan yang lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena tanpa alkali. 2.2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Evaluasi laboratorium pasien tersangka diare infeksi dimulai dari pemeriksaan feses adanya leukosit. Kotoran biasanya tidak mengandung leukosit, jika ada itu dianggap sebagai penanda inflamasi kolon baik infeksi maupun non infeksi. Karena netrofil akan berubah, sampel harus diperiksa sesegera mungkin. Sensitifitas lekosit feses terhadap inflamasi patogen (Salmonella, Shigella dan Campylobacter) yang dideteksi dengan kultur feses bervariasi dari 45% - 95% tergantung dari jenis patogennya.3 Penanda yang lebih stabil untuk inflamasi intestinal adalah laktoferin. Laktoferin adalah glikoprotein bersalut besi yang dilepaskan netrofil, keberadaannya dalam feses menunjukkan inflamasi kolon. Positip palsu dapat terjadi pada bayi yang minum ASI. Pada suatu studi, laktoferin feses, dideteksi dengan menggunakan uji agglutinasi lateks yang tersedia secara komersial, sensitifitas 83 93 % dan spesifisitas 61 100 % terhadap pasien dengan Salmonella,Campilobakter, atau Shigella spp, yang dideteksi dengan biakan kotoran. Biakan kotoran harus dilakukan setiap pasien tersangka atau menderita diare inflammasi berdasarkan klinis dan epidemiologis, test lekosit feses atau latoferin positip, atau keduanya. Pasien dengan diare berdarah yang nyata harus dilakukan kultur feses untuk EHEC O157 : H7.1 Pasien dengan diare berat, demam, nyeri abdomen, atau kehilangan cairan harus diperiksa kimia darah, natrium, kalium, klorida, ureum, kreatinin, analisa gas darah dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan radiologis seperti sigmoidoskopi, kolonoskopi dan lainnya biasanya tidak membantu untuk evaluasi diare akut infeksi. 2.2.1.7. Penatalaksanaan Diare akut pada orang dewasa selalu terjadinya singkat bila tanpa komplikasi, dan kadang-kadang sembuh sendiri meskipun tanpa pengobatan. Tidak jarang penderita mencari pengobatan sendiri atau mengobati sendiri dengan obat-obatan anti diare yang dijual bebas. (Wingate D, 2001) Biasanya penderita baru mencari pertolongan medis bila diare akut sudah lebih dari 24 jam belum ada perbaikan dalam frekwensi buang air besar ataupun jumlah feses yang dikeluarkan.Prinsip pengobatan adalah menghilangkan kausa diare dengan memberikan antimikroba yang sesuai dengan etiologi, terapi supportive atau fluid replacement dengan intake cairan yang cukup atau dengan Oral Rehidration Solution (ORS) yang dikenal sebagai

oralit, dan tidak jarang pula diperlukan obat simtomatik untuk menyetop atau mengurangi frekwensi diare. Untuk mengetahui mikroorganisme penyebab diare akut dilakukan pemeriksaan feses rutin dan pada keadaan dimana feses rutin tidak menunjukkan adanya miroorganisme atau ova, maka diperlukan pemeriksaan kultur feses dengan medium tertentu sesuai dengan mikroorganisme yang dicurigai secara klinis dan pemeriksaan laboratorium rutin. Indikasi pemeriksaan kultur feses antara lain, diare berat, suhu tubuh > 38,50C, adanya darah dan/atau lender pada feses, ditemukan leukosit pada feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat antibiotik. ( Braunwald E, 2011) Dalam praktek sehari-hari acapkali dokter langsung memberikan antibiotik/antimikroba secara empiris. Terapi Supportif/Simtomatik : Selama periode diare, dibutuhkan intake kalori yang cukup bagi penderita yang berguna untuk energi dan membantu pemulihan enterosit yang rusak. (Wingate D, 2001) Obat-obatan yang bersifat antimotiliti tidak dianjurkan pada diare dengan sindroma disentri yang disertai demam. Beberapa golongan obat yang bersifat simtomatik pada diare akut dapat diberikan dengan pertimbangan klinis yang matang terhadap cost-effective. Kontroversial seputar obat simtomatik tetap ada, meskipun uji klinis telah banyak dilakukan dengan hasil yang beragam pula, tergantung jenis diarenya dan terapi kombinasi yang diberikan. Pada prinsipnya, obat simtomatik bekerja dengan mengurangi volume feses dan frekwensi diare ataupun menyerap air. Beberapa obat seperti Loperamid, Difenoksilat, Kaolin, Pektin, Tannin albuminat, Aluminium silikat, Attapulgite, dan Diosmectite banyak beredar bahkan dijual bebas. (Wingate D, 2001) Obat-obat Probiotik yang merupakan suplemen bakteri atau yeast banyak digunakan untuk mengatasi diare dengan menjaga atau menormalkan flora usus. Namun berbagai hasil uji klinis belum dapat merekomendasikan obat ini untuk diare akut secara umum. Probiotik meliputi Laktobasilus, Bifidobakterium, Streptokokus spp, yeast (Saccaromyces boulardi),dan lainnya. 2.2.2. Diare Pada Anak 2.2.2.1. Definisi a. Diare adalah kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang abnormal (lebih 3X/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gram/24 jam atau lebih dari 10 gr/kgbb/24 jam) dan konsistensi feses cair. (Suzanne C.Smeltzer, 2001).

b.

Menurut Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD RSHS (2005) maka yang dimaksud dengan diare akut adalah buang air besar dengan konsistensi lebih encer/cair dari biasanya, tiga kali atau lebih dalam satu hari, dapat/tidak disertai dengan lendir/darah yang timbul secara mendadak dan berlangsung kurang dari 2 minggu (14 hari).

c.

American Academy of Pediatrics (AAP) mendefinisikan diare akut dengan karakteristik peningkatan frekuensi dan/atau perubahan konsistensi defekasi, dapat disertai atau tanpa gejala dan tanda seperti mual, muntah, demam atau sakit perut yang berlangsung selama 3 7 hari.

d.

Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005, diare akut didefinisikan sebagai pasase tinja yang cair/lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal, berlangsung kurang dari 14 hari.

2.2.2.2. Epidemiologi Diare merupakan penyakit yang umum terjadi pada hampir semua kelompok usia dan merupakan penyakit kedua tersering setelah influenza (common cold) / ISPA. Penyakit diare adalah salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di seluruh dunia termasuk Negara berkembang seperti Indonesia yang menyebabkan satu juta kejadian sakit dan 3-5 juta kematian setiap tahunnya. Pada tahun 2003, diperkirakan 1,87 juta anak di bawah 5 tahun meninggal karena diare. 8 dari 10 kematian ini terjadi pada dua tahun pertama kehidupan. Rata-rata, anak-anak di bawah 3 tahun pada negara berkembang mengalami tiga episode diare setiap tahunnya. Cara penularan diare pada umumnya adalah secara oro-fecal melalui 1) makanan dan minuman yang telah terkontaminasi oleh enteropatogen, 2) kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita, atau tidak langsung melalui lalat. Di dalam bahasa Inggris maka terdapat 5 F di dalam cara penularan diare ini yaitu food (makanan), feces (tinja), finger (jari tangan), fluid (cairan), and fly (lalat). (Sunoto, 1991). Faktor risiko terjadinya diare adalah faktor risiko yang dapat meningkatkan transmisi enteropatogen, diantaranya adalah 1) tidak cukup tersedianya air bersih, 2) tercemarnya air oleh tinja, 3) tidak ada/kurangnya sarana MCK, 4) higiene perorangan dan sanitasi lingkungan yang buruk, 5) cara penyimpanan dan penyediaan makan yang tidak higienis, dan 6) cara penyapihan bayi yang tidak baik (terlalu cepat disapih, terlalu cepat diberi susu botol, dan terlalu cepat diberi makanan padat) diakibatkan kurangnya pengetahuan tentang higienitas. Selain itu terdapat pula beberapa faktor risiko pada pejamu (host) yang dapat

meningkatkan kerentanan pejamu terhadap enteropatogen diantaranya adalah malnutrisi dan bayi berat badan lahir rendah (BBLR), imunodefisiensi atau imunodepresi, rendahnya kadar asam lambung, dan peningkatan motilitas usus. Menurut Depkes RI (2005), epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut : a. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar. b. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun, kurang gizi, campak, imunodefisiensi atau imunosupresi dan secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita. c. Faktor lingkungan dan perilaku Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare. 2.2.2.3. Etiologi Menurut Widjaja (2002), diare disebabkan oleh: 1. Faktor infeksi a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Infeksi enteral ini meliputi: - Infeksi bakteri: vibrio, E.coli, salmonella, shigella, campylobacter, yersinia, aeromonas dan sebagainya.

- Infeksi virus: enteoovirus (virus ECHO, coxsackie, poliomyelitis), adenovirus, rotavirus, astrovirus, dan lain-lain. - Infeksi parasit: cacing (ascaris, trichiuris, oxyuris, strongyloides), protozoa (entamoeba hystolitica, giardia lamblia, trichomonas hominis), jamur (candida albicans). Penyebab utama diare pada anak adalah rotavirus. Rotavirus diperkirakan sebagai penyebab diare cair akut pada 20% - 80 % anak di dunia, sedangkan di Indonesia rotavirus merupakan penyebab sebanyak 55 % kasus diare akut. b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti otitis media akut (OMA), tonsilofaringitis, bronkopneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada anak dan bayi berumur dibawah 2 tahun. 2. Faktor malabsorbsi a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa, dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fruktosa, dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktosa. b. Malabsorbsi lemak terutama trigliserida rantai panjang c. Malabsorbsi protein 3. 4. 5. Faktor makanan: makanan basi, makanan beracun, alergi susu, alergi makanan, CMPSE (cows milk protein sensitive enteropathy) Imunodefisiensi: sering terjadi pada penderita AIDS. Defek anatomis a. Malrotasi b. Duplikasi intestinal c. Penyakit Hirschprung d. Impaksi fekal e. Short bowel syndrome f. Atrofi mikrovili g. Striktur

6.

Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.

2.2.2.4. Patofisiologi 1. Diare Sekretorik Diare sekretorik adalah diare yang diakibatkan aktifnya enzim adenil siklase. Enzim ini akan mengubah ATP menjadi cAMP. Akumulasi cAMP intrasel akan menyebabkan sekresi aktif air, ion Cl, Na, K dan HCO3- ke dalam lumen usus dan selanjutnya terjadi diare serta muntah yang timbul karena terjadi peningkatan isi rongga usus, sehingga penderita cepat jatuh ke dalam keadaan dehidrasi. Adenil siklase ini diaktifkan atau dirangsang oleh toksin dari mikroorganisme sebagai berikut: Vibrio (paling kuat) ETEC Shigella Clostridium Salmonella dan

2.

Campylobacter Diare Osmotik Diare osmotik adalah diare yang disebabkan karena tingginya tekanan osmotik pada

lumen usus sehingga akan menarik cairan dari intra sel ke dalam lumen usus, sehingga terjadi diare berupa watery diarrhea. Paling sering terjadinya diare osmotik ini disebabkan oleh malabsorpsi karbohidrat. Monosakarida biasanya diabsorpsi baik oleh usus secara pasif maupun transpor aktif dengan ion Natrium. Sedangkan disakarida harus dihidrolisa dahulu menjadi monosakarida oleh enzim disakaridase yang dihasilkan oleh sel mukosa. Bila terjadi defisiensi enzim ini maka disakarida tersebut tidak dapat diabsorpsi sehingga menimbulkan osmotic load dan terjadi diare. Disakarida atau karbohidrat yang tidak dapat diabsorpsi tersebut akan difermentasikan di flora usus sehingga akan terjadi asam laktat dan gas hidrogen sehingga tekanan osmotik di lumen usus meningkat yang akan menyebabkan pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare. Adanya gas hidrogen terlihat pada perut penderita yang kembung (abdominal distention), pH tinja asam, dan pada pemeriksaan dengan klinites terlihat positif. Perlu diingat bahwa enzim amilase pada bayi, baru akan terbentuk sempurna setelah bayi berusia 3-4 bulan. Oleh sebab itu pemberian makanan tambahan yang mengandung karbohidrat kompleks tidak diberikan sebelum usia 4 bulan, karena dapat menimbulkan diare osmotik. Bentuk yang paling sering dari diare osmotik ini adalah intoleransi laktosa akibat defisiensi enzim laktase yang dapat terjadi karena adanya kerusakan mukosa usus. Dilaporkan kurang lebih sekitar 25-30% dari diare oleh rotavirus terjadi intoleransi laktosa. 3. Diare Invasif Diare invasif adalah diare yang terjadi akibat invasi mikroorganisme dalam mukosa usus sehingga menimbulkan kerusakan pada mukosa usus. Diare invasif ini disebabkan oleh Rotavirus, bakteri (Shigella, Salmonella, Campylobacter, EIEC, Yersinia), parasit (amoeba). Diare invasif yang disebabkan oleh bakteri dan amoeba menyebabkan tinja berlendir dan sering disebut sebagai dysentriform diarrhea. Shigella

Di dalam usus pada shigella, setelah kuman melewati barier asam lambung, kuman masuk ke dalam usus halus dan berkembang biak sambil mengeluarkan enterotoksin. Toksin ini akan merangsang enzim adenil siklase untuk mengubah ATP menjadi cAMP sehingga terjadi diare sekretorik. Selanjutnya kuman ini dengan bantuan peristaltik usus sampai di usus besar/kolon. Di kolon, kuman ini bisa keluar bersama tinja atau melakukan invasi ke dalam mukosa kolon sehingga terjadi kerusakan mukosa berupa mikro-mikro ulkus yang disertai dengan serbukan sel-sel radang PMN dan menimbulkan gejala tinja berlendir dan berdarah. Rotavirus Mekanisme diare oleh rotavirus berbeda dengan bakteri yang invasif dimana diare oleh rotavirus tidak berdarah. Setelah rotavirus masuk ke dalam traktus digestivus bersama makanan/minuman tentunya harus mengatasi barier asam lambung, kemudian berkembang biak dan masuk ke dalam bagian apikal vili usus halus. Kemudian sel-sel bagian apikal tersebut akan diganti dengan sel dari bagian kripta yang belum matang/imatur berbentuk kuboid atau gepeng. Karna imatur, sel-sel ini tidak dapat berfungsi untuk menyerap air dan makanan sehingga terjadi gangguan absorpsi dan terjadi diare. Kemudian vili usus memendek dan kemampuan absorpsi akan bertambah terganggu lagi dan diare akan bertambah hebat. Selain itu sel-sel yang imatur tersebut tidak dapat menghasilkan enzim disakaridase. Bila daerah usus halus yang terkena cukup luas, maka akan terjadi defisiensi enzim disakaridase tersebut sehingga akan terjadilah diare osmotik. 4. Gangguan motilitas intestinal Penyebab gangguan motilitas usus adalah malnutrisi, scleroderma, intestinal pseudoobstruction syndrome, dan diabetes mellitus (gangguan control otonomic). Malnutrisi dapat menyebabkan hipomotilitas, mengakibatkan bakteri dapat tumbuh sehingga garam empedu mengalami dekonyugasi dan menyebabkan peningkatan mediator intraselular siklikAMP sehingga menyebabkan diare sekretorik. 3 Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. 5. Penurunan area permukaan anatomis Short bowel syndrome diakibatkan karena reseksi usus sekunder akibat indikasi pembedahan seperti pada enterokolitis nekrotikans, volvulus, atau atresia usus. Penyakit Celiac menyebabkan pendataran pada ares usus proksimal dengan penurunan kemampuan

absorbsi pada epitel vili usus. Diare dikarakteristikkan dengan kehilangan cairan, elektrolit, makronutrien dan mikronutrien.3 6. Malabsorbsi lemak Gangguan LCT (Long Chain Triglycerides) dapat terjadi karena: 1) Lipase tidak ada / kurang 2) Conjugated bile salts tidak ada / kurang 3) Mukosa usus halus atau vili rusak 4) Gangguan system limfe usus Keadaan ini akan menyebabkan diare dengan tinja berlemak (steatorea) dan malabsorbsi lemak.

Sebagai akibat dari diare akut tersebut diatas maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut : 1) Dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa. Sebagai akibat diare adalah tubuh akan kehilangan cairan dan elektrolit yang dikenal dengan nama dehidrasi. Dehidrasi ini terjadi karena 1) hilangnya cairan melalui tinja atau muntah (concomitant water losses) selama diare/muntah berlangsung. CWL ini banyaknya bervariasi tergantung dari berat ringannya penyakit. Diperkirakan jumlahnya sekitar 25-30 ml/kgBB/24 jam, 2) kehilangan cairan melalui pernafasan, keringat, dan urin (insensible water losses), 3) besarnya jumlah kehilangan cairan (previous water losses). Gangguan keseimbangan elektrolit. Tonisitas dari plasma sebagian besar ditentukan oleh natrium. Dehidrasi dapat dibagi menjadi 3 menurut tonisitas plasma yaitu : 1) Dehidrasi isotonik/isonatremik bila kadar Na plasma 130-150 mEq/L. Dalam praktek di klinik dehidrasi inilah yang terbanyak. 2) Dehidrasi hipotonik, bila Na plasma < 130 mEq/L. 3) Dehidrasi hipertonik, bila Na plasma > 150 mEq/L. Kalium dapat mengalami perubahan karena kalium banyak keluar pada tinja. Pada diare biasa sebesar 26 mEq/L dan pada kolera 96 mEq/L sehingga dapat terjadi hipokalemia, namun penurunan kalium pada plasma ini biasanya akan diganti dengan kalium yang terdapat pada cairan intraseluler, dengan tentunya kadar kalium intraseluler akan menurun. Gangguan asam basa. Akibat kehilangan cairan yang banyak pada diare tersebut diatas maka akan terjadi hemokonsentrasi/hipoksia. Akibat hipoksia maka jaringan akan terjadi metabolisme secara anaerobik yang akan menghasilkan produk asam laktat yang selanjutnya akan menyebabkan keadaan asidosis respiratorik/metabolik. Tanda-tanda asidosis tersebut dapat terlihat berupa pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul). Akibat lain dari keadaan diare adalah keluarnya bikarbonat melalui tinja, akibatnya pH darah akan menurun bila badan tidak mengadakan koreksi dengan jalan mengeluarkan CO2 melalui paru-paru. Sebagai akibat diare yang hebat dan tubuh tidak sanggup mengadakan kompensasi lagi, maka terjadilah asidosis metabolik, dan mungkin akan diperberat lagi bila terjadi ketosis, oliguria atau anuria dan penimbunan asam laktat karena terjadinya hipoksia pada jaringan tubuh. 2) Gangguan sirkulasi

Sebagai akibat kehilangan cairan tubuh lebih dari 10% berat badan (dehidrasi berat) akan terjadi gangguan sirkulasi dan dapat terjadi syok. Hal ini disebabkan cairan ekstraseluler banyak berkurang (hipovolemik) sehingga perfusi darah ke jaringan berkurang, dengan akibat hipoksia yang akan menambah beratnya asidosis metabolik, penurunan kesadaran, dan dapat menimbulkan kematian bila tidak segera ditangani dengan baik. 3) Hipoglikemia Hipoglikemia biasanya dapat terjadi pada anak yang menderita diare dan lebih sering lagi bila sebelumnya menderita gangguan gizi (KEP). Sebab yang pasti belum diketahui tapi kemungkinanya adalah 1) gangguan proses glikogenolisis, 2) gangguan penyimpanan glikogen pada hati, 3) gangguan absorpsi dan digesti karbohidrat terutama pada KEP di mana terjadi atropi jonjor usus. Akibat dari hipoglikemia ini cairan ekstraseluler akan menjadi hipotonik dengan kompensasi air akan masuk ke dalam cairan intraseluler sehingga terjadi edema sel-sel otak yang dapat memberikan gejala penurunan kesadaran, kejang-kejang. 4) Gangguan gizi Gangguan gizi biasanya terjadi akibat diare dimana pemberian makanan selama sakit dihentikan. Selain itu akibat infeksi usus terjadi gangguan absorpsi terutama laktosa karena terjadinya defisiensi enzim laktase, akibatnya pemberian susu dengan laktosa tinggi akan menambah beratnya diare. Pada anak yang sebelumnya sudah menderita KEP akan memperberat keadaan KEP nya, yang dalam fase selanjutnya akan memperberat pula diarenya. 2.2.2.5. Manifestasi Klinis Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut : a. Tinja encer, berlendir atau berdarah dengan frekuensi tiga kali. b. Pada bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah c. Suhu badan meninggi d. Lecet pada anus khususnya pada bayi/anak e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang f. Muntah sebelum dan sesudah diare g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah) h. Dehidrasi (kekurangan cairan).

Dehidrasi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan, dehidrasi sedang dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang 5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat, volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah, tekanan darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita sangat pucat (Widjaja, 2000). 2.2.2.6. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan tinja Makroskopis: konsistensi, warna, lender, darah, bau Mikroskopik: leukosit, eritrosit, parasit dan bakteri Kimia: pH dengan kertas lakmus dan tablet clinitest (bila diduga terdapat intolerance gula), elektrolit (Na,K,HCO3) Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi (jaramg untuk diare akut) Selalu lakukan kultur tinja untuk organisme organisme Salmonella, Shigella, dan Campylobacter serta Yersinia enterocolitica, terutama pada tampilan gejala klinis. Karakteristik Tinja dan Menentukan Asalnya Karakteristik Tinja Tampilan Volume Frekuensi Darah pH Substansi Pereduksi WBC Serum WBC Organisme Usus Kecil Watery Banyak Meningkat Kemungkinan positif tetapi tidak pernah darah segar Kemungkinan <5,5 Kemungkinan positif <5 /LPK Normal Virus (rotavirus, Adenovirus, Calicivirus, Astrovirus, Norwalk virus) Tokisn bakteri (E.Coli, C.perfringens, Vibrio spesies) Parasit (Giardia sp, Cryptosporidium sp) Usus Besar Mukoid Sedikit Meningkat Kemungkinan darah segar >5,5 Negatif Kemungkinan > 10 LPK Kemungkinan leukositosis Bakteri Invasif (E.coli, Shigella sp, Campylobacter sp, yersinia sp, Aeromonas sp, Plesiomonas sp) Toksin Bakteri (Clostriduim difficile) Parasit (Entamoeba Histolytica)

2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan pemeriksaan gas darah menurut ASTRUP (bila memungkinkan). 3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal. 4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium, dan fosfor dalam serum ( terutama yang disertai kejang) 2.2.2.7. Penatalaksanaan 1. Pemberian cairan/ORALIT a. Tanpa dehidrasi - Cairan rehidrasi oralit dengan menggunakan new oralit diberikan 5-10 ml/kgBB setiap diare cair atau berdasarkan usia, yaitu umur <1 tahun sebanyak 50-100 ml, umur 1-5 tahun sebanyak 100-200 ml, dan umur di atas 5 tahun semaunya. Dapat diberikan cairan rumah tangga sesuai kemauan anak. ASI harus terus diberikan. - Pasien dapat dirawat di rumah, kecuali apabila terdapat komplikasi lain (tidak mau minum, muntah terus menerus, dan diare frekuen). b. Dehidrasi ringan-sedang - Cairan rehidrasi (CRO) hipoosmolar diberikan sebanyak 75 ml/kgBB dalam 3 jam untuk mengganti kehilangan cairan yang telah terjadi dan sebanyak 5-10 ml/kgBB setiap diare cair. - Pasien dibawa dan dipantau di puskesmas / Rumah Sakit selama proses rehidrasi sambil memberi edukasi tentang melakukan rehidrasi kepada orangtua bila saat rehidrasi dengan oral tidak bisa sehingga harus diberi cairan lewat pembuluh darah. c. Dehidrasi berat Diberikan cairan rehidrasi parenteral dengan ringer laktat atau ringer asetat 100 ml/kgBB dengan cara pemberian : o Umur kurang dari 12 bulan : 30 ml/kgBB dalam 1 jam pertama, 70 ml/kgBB dalam 5 jam berikutnya. o Umur di atas 12 bulan : 30 ml/kgBB dalam setengah jam pertama, 70 ml/kgBB dalam 2,5 jam berikutnya. o Masukan cairan peroral diberikan bila pasien sudah mau dan dapat minum, dimulai dengan 5 ml/kgBB selama proses rehidrasi.

2. Pemberian seng Seng terbukti secara ilmiah terpercaya dapat menurunkan frekuensi buang air besar dan volume tinja sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Zinc elemental diberikan selama 10-14 hari meskipun anak telah tidak mengalami diare dengan dosis : Umur di bawah 6 bulan : 10 mg per hari Umur di atas 6 bulan: 20 mg per hari

3. Pemberian nutrisi ASI dan makanan dengan menu yang sama saat anak sehat sesuai umur tetap diberikan untuk mencegah kehilangan berat badan dan sebagai pengganti nutrisi yang hilang. Danya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan. Anak tidak boleh dipuasakan, makanan diberikan sedikit-sedikit tapi sering (lebih kurang 6 kali sehari), rendah serat. 4. Medikamentosa Tidak boleh diberikan obat anti diare pada anak-anak Antibiotik Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena 40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik di indikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda diare infeksi seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses, mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian antibiotik secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman. Antibiotik digunakan secara selektif pada kasus : Diare berdarah, sebagai obat pilihan pertama adalah kotrimoksazole dengan dosis 50 Kolera, dengan menggunakan tetrasiklin, dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis, Amuba atau Giardia, dengan menggunakan metronidazole, dosis 30-50 mg/kgBB/hari mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, selama 5 hari. selama 3 hari. dibagi 3 dosis, selama 5-7 hari. 3. Probiotik Probiotik adalah bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen yang mempunyai pengaruh menguntungkan terhadap kesehatan, baik pada manusia dan binatang dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal.

Jenis-jenis probiotik : - Lactobasili : L. acidophilus, L. casei, L delbruckii subsp bulgaris, L reuter, L brevis, L celobious, L curvatus, L fermentum, L plantarum. - Kokus gram positif : lactococcus lactis subsp Cremoris, Streptococcus salvrius subsp thermophylus, Enterococcus faecium, S diaacetylactis, S intermedius - Bifidobakteria : B bifidum, B adolescentis, B animalis, B infantis, B longum, B thermophylum Lactobacillus GG adalah suatu strain bakteri probiotik yang resisten terhadap asam lambung dan asam empadu, digunakan untuk pencegahan diare pada anak dengan risiko tinggi di negara berkembang, secara signifikan dapat menurunkan insiden diare pada bayi yang minum susu botol, tetapi tidak banyak pengaruhnya pada kelompok yang minum ASI. Mekanisme kerja probiotik pada diare antara lain : - Menurunkan pH usus melalui stimulasi bakteri penghasil laktat sehingga menciptakan suasana yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan bakteri patogen. - Efek antagonis langsung terhadap bakteri patogen - Kompetisi perlekatan pada reseptor bakteri patogen oleh bakteri probiotik - Memperbaiki fungsi imun dan stimulasi sel imunomodulator dengan cara meningkatkan produksi antibodi dan memobilisasi makrofag, limfosit dan sel imun lain - Kompetisi nutrien dan faktor pertumbuhan - Meningkatkan produksi musin mukosa usus sehingga sehingga meningkatkan respon imun alami

You might also like