You are on page 1of 32

TUGAS PRESENTASI KASUS SUSPEK TB PARU DENGAN RONTGEN POSITIF

Tutor : dr. Indah Rahmawati, Sp. P

Disusun oleh :

Hafidh Riza Perdana Winda Tryani Auzia Tania Utami Yohan Parulian Heriyanto Edy I

G1A009127 G1A009128 G1A009129 G1A009130 G1A009131

JURUSAN KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2012

BAB I STATUS PASIEN A. Subyektif 1. Identitas Pasien Nama Usia Status Pekerjaan Alamat Tanggal masuk Tanggal anamnesis : Ny. Toyibah : 28 tahun : Menikah : Ibu Rumah Tangga : Cilacap : 10 Desember 2012 : 13 Desember 2012

2. RPS (Riwayat Penyakit Sekarang) Keluhan utama : batuk berdahak

a) Onset: 1 bulan yang lalu b) Kualitas: batuk berdahak kuning kehijauan tanpa disertai darah c) Kuantitas: terus menerus selama 1 bulan d) Faktor memperberat: saat udara dingin e) Faktor memperingan: mengkonsumsi obat batuk f) Keluhan tambahan: nyeri dada (+), keringat pada malam hari (+), nafsu makan dan berat badan menurun (+), sesak nafas (+), g) Kronologis: 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk berdahak, disertai dengan pilek, keringat malam, nafsu makan menurun dan berat badan menurun. Kemudian pasien datang ke Puskesmas dan dari Puskesmas pasien diberi OBH, tetapi keluhan tidak membaik. Beberapa hari kemudian pasien datang ke salah satu RS yang ada di Cilacap dengan keluhan batuk berdahak kuning kehijauan dan kental, selain itu pasien juga mengeluh sesak nafas, nyeri dada, keringat malam, demam, nafsu makan menurun dan berat badan pun menurun. Di RS tersebut pasien di rawat selama 1 malam, kemudian pasien di rujuk ke RSMS. Hari ini adalah hari perawatan kedua dibangsal Cendana RSMS, pasien masih

mengeluh batuk berdahak, tetapi keluhan nyeri dada, demam dan sesak nafas sudah membaik. 3. RPD (Riwayat Penyakit Dahulu) a. Riwayat sakit yang sama sebelumnya (-) b. Riwayat keluhan serupa : disangkal c. Riwayat penyakit TB d. Riwayat Hipertensi : disangkal : disangkal

e. Riwayat penyakit jantung : disangkal f. Riwayat diabetes mellitus : disangkal g. Riwayat opname h. Riwayat trauma : disangkal : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) a) Riwayat keluhan serupa : disangkal b) Riwayat Hipertensi : disangkal

c) Riwayat penyakit jantung : disangkal d) Riwayat diabetes mellitus : disangkal e) Riwayat opname f) Riwayat trauma g) Riwayat penyakit TB 5. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien tinggal bersama suami, mertua dan 2 saudara dari suami, tempat tinggal pasien baik, ventilasi cukup, pencahayaan cukup, kebersihan baik, tetapi ada tetangga dekat pasien yang menderita batuk terus menerus dan orang tersebut sering berinteraksi dengan pasien. B. Obyektif 1. Status Present a. Pemeriksaan Umum & Tanda Vital 1) Kesadaran 2) Keadaan umum 3) Kesadaran 4) Tekanan darah 5) Nadi : compos mentis : baik : Compos Mentis GCS: E4M6V5 : 110/70 mmHg : 20 x/menit : disangkal : disangkal : disangkal

6) RR 7) Suhu 8) Berat Badan (BB) 9) Tinggi Badan (TB) 10) Postur Tubuh b. Status Lokalis 1. Kepala dan Leher a) Kepala b) Mata

: 25x/menit : 36,50C : 43 kg : 160 cm : baik

: simetris : pupil isokor (+), diameter 3mm/3mm, sclera

ikterik -/-, konjuktiva anemis -/-, RC +N/+N c) Hidung d) Leher 2. Paru Depan Inspeksi Dinding dada simetris Retraksi -/Tertinggal gerak -/Palpasi Fremitus D=S Tertinggal gerak -/Perkusi Sonor diseluruh lapang paru SD vesikuler Auskultasi Rbh -/Rbk +/+ Wh -/belakang Dinding dada simetris Retraksi -/Tertinggal gerak -/Fremitus D=S Tertinggal gerak -/Sonor diseluruh lapang paru SD vesikuler Rbh -/Rbk +/+ Wh -/: deviasi (-), discharge (-) : pembesaran KGB nnll submandibula dextra

c. Pemeriksaan Penunjang a) Rontgen Thorax : gambaran bercak tipis (infiltrat berawan

tipis) di seluruh lapang paru

C. ASSESMENT 1. Diagnosis : Suspek TB Paru dengan Rontgen Positif

2. Alasan Diagnosis a) Anamnesis : Batuk 1 bulan yang lalu, keringat pada malam hari ,

pusing (+), nyeri dada (+), lemah, berat badan menurun b) Pemeriksaan Fisik: penurunan BB, pembesaran KGB nnll

submandibula dextra, auskultasi paru: ronki basah kasar (+) di dextra & sinistra c) Pemeriksaan penunjang: Rontgen Foto Thorax (+) TB, perlu pemeriksaan BTA terbaru untuk penegakkan diagnosis TB 3. Diagnosis Banding: PPOK, Asma, Bronkiolitis, Bronkopneumonia 4. Pemeriksaan Penunjang : a) Darah rutin b) Rontgen Thorax c) Pemeriksaan BTA dari sputum

D. PLAN 1. Terapi a) Istirahat b) Infus RL loading 500 cc 10-20 tpm c) Antibiotik spektrum luas : ceftazidime 1-2 gr IV 2x1 d) Diet tinggi kalori tinggi protein, cukup gizi 2. Monitoring a) Keadaan umum, tanda vital dan keluhan pasien, membaik atau tidak dengan terapi sementara yang diberikan b) Pemeriksaan BTA dan Foto Rontgen Thorax 3. Edukasi a) Penjelasan tentang TB terhadap pasien dan keluarganya, termasuk cara penularan TB dan pentingnya kepatuhan terapi OAT dalam eradikasi kuman TB b) Biasakan buka jendela rumah saat pagi hari c) Jemur kasur dan bantal agar tidak lembab d) Makan dan olahraga teratur

BAB II PENDAHULUAN

TB atau tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini umumnya menyerang pada paru, namun apabila tidak ditangani dengan baik, bakteri tuberkulosis dapat menyerang ke organ-organ tubuh ekstra paru, seperti ginjal, tulang, dan otak, dimana manifestasi klinisnya akan lebih berat dari manifestasi klinis yang muncul pada paru dan dapat berakibat fatal (CDC, 2011). TB sendiri merupakan penyakit infeksi dengan angka insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya. Tahun 2011, 1/3 populasi di belahan dunia ini terjangkit TB, dimana sekitar 9 juta orang di dunia positif menderita TB dimana sebagian besar diantaranya berada dalam usia produktif (15-55 tahun), dan sekitar 1,4 juta diantaranya meninggal akibat TB. (CDC, 2011). Indonesia sendiri berada di urutan ketiga di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China, dimana setiap tahunnya terdapat sekitar 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB, dan TB merupakan pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia di Indonesia (PDPI, 2007). Penyebaran penyakit melalui udara mempercepat proses penularan dan meningginya insidensi dari TB paru ini. Selain itu, kepatuhan yang rendah dalam pengobatan TB mengakibatkan munculnya resistensi pada obat-obat TB. Data dari WHO menunjukkan bahwa proporsi MDR-TB pada pasien kasus baru sebesar 2,9%, pada pasien dengan riwayat pengobatan OAT sebelumnya 15,3%, dan 5,3% dari kasus TB lainnya, seperti TB ekstra paru. Resistensi dari OAT akan mengakibatkan terhambatnya proses penyembuhan yang berisiko tinggi akan terjadi komplikasi yang berbahaya, seperti abses paru, empiema, spondilitis, atau meningitis TB (Herchline, 2012; CDC, 2011; Amin, 2006). Oleh karena itu, penting bagi tenaga medis mendapatkan pelatihan dalam mendiagnosis TB, termasuk dalam proses imaging dan pembacaannya, serta memberikan penatalaksanaan yang tepat serta mampu mencegah terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi

Mycobacterium tuberculosis complex (PDPI, 2002).

B. ETIOLOGI Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complexwaxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang dihubungkan dengan

arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu

komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain (PDPI, 2002).

C. KLASIFIKASI 1. Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas (PDPI, 2002): a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: 1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. 2) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak positif dan kelainan radiologik menunjukkan BTA gambaran

menunjukkan

tuberkulosis aktif 3) Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak positif dan biakan positif (PDPI, 2002). b. Tuberkulosis paru BTA (-) 1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan menunjukkan BTA

tuberkulosis aktif. 2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif (PDPI, 2002). TB Paru dapat diklasifikasikan pula berdasarkan tipe pasien, dimana tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (PDPI, 2002). b. Kasus kambuh (relaps) Kasus kambuh adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : 1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. 2) Infeksi jamur 3) TB paru kambuh Bila meragukan harap konsul ke ahlinya (PDPI, 2002). c. Kasus defaulted atau drop out Kasus drop out adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai (PDPI, 2002). d. Kasus gagal Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan), yaitu pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan (PDPI, 2002). e. Kasus kronik / persisten Kasus kronik adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik (PDPI, 2002). f. Kasus pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu

kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (PDPI, 2002). g. Kasus Bekas TB, yaitu: 1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap, dan ada riwayat pengobatan OAT adekuat, atau

2) Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik (PDPI, 2002). 2. Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif (PDPI, 2002).

D. PATOFISIOLOGI Tuberculosis paru dapat terjadi oleh karena penyebaran kuman yang dibersinkan atau dibatukkan keluar dalam bentuk droplet nuclei. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat bartahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikro milimeter. Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit ( biasanya sel T) merupakan imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas tipe lambat (Werdhani, 2002). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus sehingga tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan

memfagosit bakteria namun tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul geja pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari. Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel. Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon (Werdhani, 2002). Respon lain yang dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus. Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini disebut limfohematogen yang biasabya

sembuh sendiri. Penyebaran hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya (Werdhani, 2002).

Gambar 1. Jalur Patofisiologi TB Paru

E. PENEGAKKAN DIAGNOSIS Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya. 1. Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat). a. Gejala respiratorik 1) batuk 2 minggu 2) batuk darah 3) sesak napas 4) nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. b. Gejala Sistemik 1) Demam 2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun c. Gejala tuberkulosis ekstra paru. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. 2. Pemeriksaan Jasmani/Fisik Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan

kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess. 3. Pemeriksaan Bakteriologik Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) yaitu: 1) Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) 2) Pagi ( keesokan harinya ) 3) Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) 4) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen dalam pot yang yang berbentuk bermulut cairan lebar,

dikumpulkan/ditampung

berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara : 1) 2) Mikroskopik Biakan

Pemeriksaan mikroskopik: 1) 2) Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin

(khususnya untuk screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 1) 2) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif 3) bila 3 kali negatif BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) adalah : 1) Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif 2) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan

3)

Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

4) 5)

Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst Skala Bronkhorst (BR), yaitu : 1) 2) 3) 4) 5) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang

4. Pemeriksaan biakan kuman Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : 1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh 2) Agar base media : Middle brook Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul. 5. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif antara lain:

a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular c. Bayangan bercak milier d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang) Sementara gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif adalah: a. Fibrotik b. Kalsifikasi c. Schwarte atau penebalan pleura 6. Pemeriksaan Penunjang lain Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. a. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan. b. Polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan

cara yang benar dan sesuai standar internasional.Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB. Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun ekstra paru sesuai dengan organ yang terlibat. c. Pemeriksaan Serologi 1) Enzym linked immunosorbent assay (ELISA) Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses

antigenantibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. 2) ICT Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M. tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran.

3) Mycodot Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah 4) Uji peroksidase anti peroksidase (PAP) Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. d. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. e. Pemeriksaan histopatologi jaringan Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu : 1) Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB) 2) Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen Silverman)

3) Biopsi

jaringan

paru dengan

(trans

bronchial

lung trans

biopsy/TBLB) thoracal

bronkoskopi,

biopsy/TTB, biopsi paru terbuka).

Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi. f. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik. g. Uji tuberkulin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif. Gambar 2. Alur Penegakkan Diagnosis TB Paru (PDPI, 2002).

F. TERAPI Penggunaan OAT dalam Terapi pada pasien TB dimulai apabila diagnosis TB telah ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA SPS. Apabila pasien diduga suspek BTA atau BTA (-) sebelum ada pemeriksaan rontgen thorax, maka berikan terlebih dahulu antibiotik spektrum luas selama 1 minggu, dan dievaluasi dengan memeriksa sputum dan keadaan umum pasien, sesuai algoritma penegakkan diagnosa yang dijelaskan diatas. Pengobatan tuberkulosis dengan menggunakan OAT sendiri terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. OAT sendiri terdiri dari lini pertama yang merupakan terapi standar dan lini kedua, Obat lini pertama yaitu: a. Rifampisin (R) b. INH (H) c. Pirazinamid (Z) d. Etambutol (E)

e. Streptomisin (S) (Setiabudi, 2007) Sementara obat Lini kedua antara lain: a. suntikan ( kanamisin, kapreomisin, amikasin ) b. fuorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin) c. tionamid ( etionamid, protionamid ) d. sikloserin e. paraaminosalisilat (Setiabudi, 2007) Setiap obat pada lini pertama, memiliki dosis efektif yang berbeda-beda, dan dosis maksimal yang juga berbeda. Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT Lini Pertama (PDPI, 2007)

Penggunaan obat tunggal memiliki kelemahan dimana membuka peluang terjadinya resistensi pada obat atau bahkan beberapa obat yang dikenal

dengan multi drug resistence atau extensive drug resistence. Untuk meminimalisir hal tersebut, IUATLD (International Union Against

Tuberculosis and Lung Disease) dan WHO menyarankan untuk mengganti obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap (KDT) sebagai pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis OAT KDT berdasarkan WHO adalah sebagai berikut: Tabel 2. Dosis OAT KDT (PDPI, 2007).

Regimen standar dalam penggunaan OAT sebagai terapi TB yang digunakan di Indonesia sendiri mengacu dari panduan OAT dari WHO dan IUATLD antara lain sebagai berikut: a) Kategori I: 1. 2HRZE/4H3R3 2. 2HRZE/4HR 3. 2HRZE/6HE Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus: 1. TB Paru BTA (+) kasus baru 2. TB Paru BTA (-), R (+) lesi luas / sakit berat 3. TB ekstra paru (Depkes RI, 2007) b) Kategori II: 1. 2HRZES/HRZE/5H3R3E3 2. 2HRZES/HRZE/5HRE (Depkes RI, 2007) Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus pasien BTA (+) yang telah diobati sebelumnya, seperti: 1. Pasien kambuh 2. Pasien gagal 3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (Depkes RI, 2007) c) Kategori III: 1. 2HRZ/4H3R3 2. 2HRZ/4HR 3. 2HRZ/6HE Kategori tersebut untuk pasien dengan kasus: 1. Penderita baru BTA (-), Ro (+) sakit ringan 2. TB ekstra paru sakit ringan (KGB, pleuritis unilateral, kulit, tulang, sendi, kelenjar adrenal ) (DEPKES RI, 2007) d) Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Penanggulangan TB di Indonesia: 1. Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3. 2. Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3

Panduan OAT Sisipan : HRZE OAT Anak : 2HRZ/4HR Berikut merupakan ringkasan dari paduan OAT untuk pasien TB: Tabel 3. Ringkasan Panduan Obat

Pada pasien dengan OAT, maka perlu dilakukan pengecekan sputum dan radiologis berkala, yaitu pada akhir fase intensif, bulan ke 5, dan akhir pengobatan. Hal ini penting untuk mengetahui kemajuan terapi pasien berdasarkan regimennya. Apabila tidak ada perbaikan, maka regimen terapi yang diberikan dapat ditingkatkan dengan merubah kategorinya, misal dari pasien dengan kategori 1 menjadi kategori 2. Selain itu, pemeriksaan fungsi hepar seperti SGOT dan SGPT perlu dilakukan secara berkala untuk evaluasi efek samping dari OAT, dimana semua OAT memiliki sifat hepatotoksik. Pemeriksaan lain seperti visus, uji buta warna, audiometri, dan pemeriksaan lain dapat dilakukan apabila ada indikasi efek samping dari OAT. Informasi tentang efek samping dari OAT perlu diberitahukan kepada pasien agar pasien paham dan dapat menghubungi dokter apabila terjadi intoksikasi dari OAT. Berikut adalah penjelasan singkat tentang efek samping yang sering muncul dari pemberian OAT.

Tabel 4. Efek Samping Minor & Mayor OAT (PDPI, 2007).

Pada beberapa keadaan, pemberian OAT perlu diperhatikan secara khusus. a. TB Milier 1. Rawat inap 2. Paduan obat: 2 RHZE/ 4 RH

3. Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang 4. Kortikosteroid: prednison 30-40 mg/hari, dosis diturunkan 5-10 mg setiap 5-7 hari, lama pemberian 4 6 minggu. Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan: a) Tanda / gejala meningitis b) Sesak napas c) Tanda / gejala toksik d) Demam tinggi

b. Pleuritis Eksudativa TB (TB dengan Efusi Pleura) a) Paduan obat: 2RHZE/4RH. b) Evakuasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan pasien dan berikan kortikosteroid, dengan dosis steroid : prednison 3 x 10 mg selama 3 minggu c) Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. d) Evakuasi cairan dapat diulang bila diperlukan c. TB Ekstra Paru (selain TB Milier dan Pleuritis TB) a) Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH. b) Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS, misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB kelenjar. c) Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis) d) Pemberian kortikosteroid pada perikarditis TB untuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 mg/kg /hari selama 3-6 minggu d. TB Paru dengan DM a) Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan gula darah terkontrol b) Bila gula darah tidak terkontrol, atau pada evaluasi akhir pengobatan dianggap belum cukup, maka pengobatan dapat dilanjutkan (bila perlu konsult ke ahli paru) dan selanjutnya gula darah harus dikontrol secara rutin. c) Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi retinopati. d) Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin karena akan

mengurangi efektivitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan perlu kontrol / pengawasan

sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan e. TB Paru dengan HIV / AIDS a) Paduan obat sesuai kategori seperti tanpa HIV / AIDS b) Jangan berikan Thiacetazon, sebab Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit c) Obat suntikan sebaiknya dihindari , Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril d) Jangan lakukan desentisasi OAT, karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati e) INH diberikan terus menerus seumur hidup f) Jika MDR, pengobatan sesuai uji resistensi f. TB Paru pada Kehamilan & Menyusui a) Tidak ada indikasi pengguguran b) OAT dapat terus diberikan kecuali Streptomisin karena memiliki efek samping ototoksisitas pad ajanin c) Tetap menyusui, d) Dianjurkan tidak menggunakan KB hormonal, karena akan menurunkan efektivitas rifampisin e) Ibu menyusui menderita TB dan bayi yang juga mendapatkan OAT, sebaiknya tidak menyusui agar bayi tidak mendapatkan dosis berlebihan. g. TB paru dengan gagal ginjal a) Jangan menggunakan Streptomisin, Kanamisin dan Capreomisin b) Sebaiknya hindari pengguan etambutol. karena waktu paruhnya memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan pengawasan kreatinin c) Perhatikan fungsi ginjal (CCT, ureum, creatinin) dan sesuaikan dosis obat dengan faal ginjal h. TB Paru dengan kelainan hati

a) Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan b) Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh diberikan c) Paduan obat yang dianjurkan (rekomendasi WHO) ialah 2 SHRE/6 RH atau 2 SHE/10 HE d) Pada pasien hepatitis akut dan atau klinik ikterik , sebaiknya OAT ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH i. Hepatitis Imbas Obat a) Bila klinis (+) ( Ikterik + mual / muntah) OAT stop b) Bila klinis (-) laboratorium terdapat kelainan, seperti; 1) Bilirubin > 2 OAT stop 2) SGOT, SGPT > 5x OAT stop 3) SGOT, SGPT > 3x, gejala (+) OAT stop 4) SGOT, SGPT > 3x, gejala (-) dengan pengawasan c) Paduan yang Dianjurkan : 1) Stop OAT hepatotoksik ( RHZ) 2) Bila fungsi hati telah normal lakukan desentisasi teruskan pengobatan

G. KOMPLIKASI Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah : 1) Batuk darah 2) Pneumotoraks 3) Luluh paru 4) Gagal napas 5) Gagal jantung 6) Efusi pleura

H. PROGNOSIS Dubia : Tergantung derajat berat, kepatuhan pasien, sensitivitas bakteri, gizi, status imun, komorbiditas.

BAB IV KESIMPULAN 1. TB atau tuberkulosis merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Manifestasi bakteri ini umumnya ke paru, namun dapat menyebar ke organ ekstra paru. 2. Klasifikasi TB paru terbagi jadi dua, berdasarkan pemeriksaan dahak, yaitu BTA (+) dan BTA (-), dan berdasarkan kasusnya, yaitu kasus baru, kasus kambuh, kasus pindah, kasus default / gagal, kasus putus obat, dan kasus kronik. 3. Pemeriksaan sputum SPS untuk menilai BTA merupakan gold standard dari diagnosis TB paru. Acuan diagnosis mengacu algoritma yang dibuat PPDI. Foto rontgen thorax hanya bersifat pemeriksaan penunjang setelah pemeriksaan sputum. 4. Terapi OAT (Obat Anti Tuberkulosis) terbagi dari dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan, dan terbagi dari 3 kategori, kategori I, II, dan III dengan indikasi yang berbeda serta cara pemberian yang berbeda pada setiap individu. Perlu diperhatikan pula efek samping dari OAT.

DAFTAR PUSTAKA CDC. 2012. Tuberculosis. Centers for Disease Control and Prevention. DEPKES RI. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Herchline, Thomas. 2012. Tuberculosis. Medscape Reference. PPDI. 2002. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Setiabudi, Riyanto dkk. 2007. Farmakologi dan Terapi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI; Hal. 613-620. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002 WHO. 2003. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes. 3 rd edition. Geneva: WHO; Hal.28-35

You might also like