Professional Documents
Culture Documents
1
Dalam tulisan ini, penulis tidak memperdebatkan lagi perbedaan
hadis dan Sunnah sebagai verbal tradition, practical tradition, atau living
tradition, melainkan menganggapnya sebagai dua hal yang identik, yaitu
sebagai informasi yang dinisbatkan pada Nabi saw. baik yang berbentuk
ucapan, perbuatan, sifat, dan penetapan (pengakuan).
2
Rumpun disiplin ilmu hadis antara lain: Ilmu jarh} wa ta‘di>l, ma’rifah
as}-s}ah}a>bah, ilmu ta>ri>kh ar-ruwwa>h (sejarah para perawi), ilmu
ma’rifah al-asma>’ wa al-kuna> wa al-alqa>b, ilmu ta’wi>l musykil al-
h}adi>s\, ma’rifah ghari>b al-h}adi>s, ilmu ‘ilal al-h}adi>s, al-masyikhat
(para guru), at}-t{abaqa>t, riwa>yah al-aka>bir ‘an al-as}a>ghi>r wa al-
aba>’ ‘an al-abna>’. Lihat Dr. Ah}mad Umar Hasyi>m, Qawa>‘id Us\u>l al-
H{adi>s\, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), hlm. 28-34.
T{a>hir ibnu S{alih} ibnu Ah}mad al-Jaza>’iri ad-Dimasyqi>, Tauji>h
3
(1)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
sebelumnya sejak awal isnad hingga akhir sampai pada Rasulullah saw. tanpa
ada yang digugurkan dari mata rantai tersebut.
9
Maksudnya si perawi merupakan orang yang bisa dipercaya komitmen
agamanya, dalam artian ia seorang muslim, akil baligh, dan bebas dari unsur-
unsur fasik dan penoda muruah.
Maksudnya si perawi bisa dipercaya riwayatnya, dalam artian ia
10
(2)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
‘illah di dalamnya, serta periwayatan hadis dari jalur lain selama di dalam
rangkaian sanadnya ada perawi mastu>r (kurang popular) yang tidak terstigma
suka bohong dan banyak melakukan kekeliruan.11 Dengan bahasa lain, setiap
hadis yang tidak memenuhi satu atau beberapa syarat di atas, maka ia disebut
hadis d}a‘i>f.
Berdasarkan definisi di atas, hadis d}a‘i>f, meminjam kategorisasi Prof.
Dr. Ahmad Umar Hasyim –Guru Besar Hadis di Universitas al-Azhar Cairo-, bisa
dielaborasikan berdasarkan ketiadaan syarat-syarat hadis s}ah}i>h} dan
h}asan di dalamnya sebagai berikut:12
a- Berdasarkan ketiadaan syarat ketersambungan sanad: Al-mu‘allaq, al-
munqat}i‘,al-mu‘d}al, al-mursal, dan al-mudallas.
b- Berdasarkan ketiadaan syarat keadilan perawi: Al-maud}u>‘, al-
matru>k, al-munkar, al-mat}ru>h}, al-mud}a‘‘af, dan al-
majhu>l.
c- Berdasarkan ketiadaan syarat keadilan ke-d}a>bit}-an perawi: Al-
mudraj, al-maqlu>b, al-mud}t}arib, al-mus}ah}h}af, dan al-
muh}arraf.
d- Berdasarkan ketiadaan syarat bebas dari syuz\u>z\: Asy-sya>z\z.
e- Berdasarkan ketiadaan syarat bebas dari ‘illah: Al-mu‘all.
Kategorisasi lainnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Mah}mu>d at}-
T{ah}h}a>n, Guru Besar Hadis di Universitas Kuwait, bahwa faktor pelemah
yang menyebabkan tertolaknya suatu hadis secara garis besar bisa dipetakan
menjadi dua kategori: Pertama, distorsi pada sanad (saqt} fi as-sanad)13; dan
kedua, kecaman terhadap perawi (t}a‘n fi ar-ra>wi)14. Distorsi dalam sanad
satu perawi atau lebih secara sengaja maupun tidak sengaja, pada awal
sanad, akhir, atau di sela-sela keduanya, baik jelas maupun samar-samar.
14
Yaitu kecaman terhadap perawi dan pemersalahan personalitas
dirinya dari segi keadilan dan komitmen agamanya, dan dari segi
ked}abit}an, hapalan, dan kesadarannya.
(3)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
ada kalanya bersifat jelas (bisa diketahui oleh kalangan imam ahli hadis maupun
kalangan lain yang menekuni ‘ulu>m al-hadis\) dan samar (hanya bisa
diidentifikasi oleh kalangan ahli yang biasa meneliti jalur-jalur periwayatan dan
‘illah-’illah sanad. Hadis mardu>d akibat dirtorsi yang jelas dalam
sanadnya antara lain: Al-mu‘allaq, al-mursal, al-mu‘d}al, dan al-
munqat}i‘. Sedangkan hadis mardud akibat distorsi yang samar
antara lain: Al-mudallas dan al-mursal al-khafiy.15
Sementara itu, kecaman terhadap personalitas diri perawi yang bisa me-
mardu>d-kan suatu hadis setidaknya ada sepuluh item; Lima item berkaitan
dengan keadilan diri perawi dan lima item sisanya berkaitan dengan ke-
d}abit}-an dirinya. Kesepuluh faktor tersebut antara lain: Dusta, tertuding
bohong, fasik, bid’ah, kemisteriusan status/jati diri, kekeliruan fatal, keburukan
hapalan, kelalaian, kebanyakan waham (berilusi), dan penyelisihian para perawi
lain yang s\iqah.16 Adapun hadis-hadis yang termasuk dalam kategori ini
(menjadi d}a‘i>f dan tertolak karena adanya satu atau beberapa faktor dari
kesepuluh item kecaman tersebut) antara lain: Al-maud}u>‘, al-matru>k,
al-munkar, al-mukha>lifah li as\-s\iqa>t, al-mudraj, al-maqlu>b,
al-mazi>d fi muttashal al-asa>ni>d, al-mud}t}arib, al-
mus}ah}h}af, al-mu’allal, dan asy-sya>z\z\.17
Kedua hadis yang disebut terakhir inilah yang akan menjadi bahasan
utama dalam tulisan ini. Perlu diisyaratkan bahwa sebagian ulama menyamakan
antara ‘illah dan syuz\u>z\ sebagai faktor yang menciderai kemaqbu>lan
suatu hadis.18 Namun dalam tulisan ini, penulis mengikuti pandangan jumhur yang
mendikotomi keduanya sebagai faktor pe-mardu>d yang berdiri sendiri, meski
saling terkait; sehingga pembahasan dalam makalah ini secara garis besar terbagi
(4)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
dalam dua pembahasan besar: Fenomena ‘illah dan syuz\u>z; dengan elaborasi
pembahasan: Apa itu ‘illah dan syuz\u>z\? Jenis-jenis dan pola-
polanya? Metode para ahli hadis dalam mengidentifikasinya?
Status hadis yang terinfeksi ‘illah dan syuz\u>z\? Fenomena dan
contoh-contoh hadis yang terinfeksi ‘illah dan syuz\u>z\?
(II)
TEORI ‘ILLAH DAN FENOMENA HADIS MA‘LU<L
Kalangan ahli hadis setidaknya memiliki tiga istilah untuk menyebut hadis
yang tidak memenuhi syarat bebas dari 'illah ( )العلّةdengan alasan masing-
masing:19
ُّ ِل يَع
a. Ma‘lu>l ( ;)المعلولAdalah isim maf'ul dari akar kata “ل َّ َ”ع. Istilah ini
terkenal di kalangan ahli hadis dan dipakai antara lain oleh al-Bukha>ri,
at-Tirmiz\i, ad-Da>ruqut}ni, Ibnu ‘Addi, al-H{a>kim, dan Abu>
Ya‘la> al-Khali>li. Secara kebahasaan, meski ada yang memandangnya
rendah, namun Ibnu Sayyidihi dan Abu> Ish}a>q, bahkan Sibawaih dan
al-Jauhari membenarkan penggunaan istilah ini secara kebahasaan. Adapun
kalangan ahli hadis modern yang menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr.
H{amzah ‘Abdulla>h al-Mali>ba>ri>, Guru Besar Hadis di al-
Jami’ah al-Islamiyyah Qasnat}i>nah.20
ُّ ِل يُع
ُ ;)الAdalah versi lain dari isim maf’u>l “ل
ّ َمع
b. Mu'all (ل َّ َ”أع. Istilah ini
diunggulkan oleh Ibnu H{ajar dan al-H{afiz} al-‘Ira>qi, serta banyak juga
digunakan oleh kalangan ahli bahasa dan hadis. Pakar hadis modern yang
menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr. Ah}mad ‘Umar Hasyi>m –
Guru Besar Hadis di Universitas al-Azhar Cairo.21
َ ُ ِّ ل يُعَل
َ ّ ”عَل. Ini adalah
c. Mu'allal ( ;)المعل ّلAdalah isim maf’u>l dari “ل تَعْلِيْل
versi yang kurang popular di kalangan ahli hadis dan bahasa; serta merupakan
19
Lihat T{a>hir ad-Dimasyqi>, Tauji>h an-Naz}ar, hlm. 264-267.
20
H{amzah al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l, hlm. 9-10.
21
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 132.
(5)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
22
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 83.
23
Al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l, hlm. 9.
24
Rid}a> Ah}mad S{amadi, Naz}ariyyah al-‘Illah ‘inda al-
Muh}addis\i>n, (Makalah tidak diterbitkan), hlm. 2.
25
Al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l, hlm. 10.
(6)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
Us}u>l al-H{adi>s\ asy-Syari>f, cet. IV, (T.t.t: Mat}a>bi‘ Sah}ar, 1982), hlm.
136.
27
Al-Qa>simi, Qawa>'id at-Tah}di>s\, hlm. 130.
28
Dr. S{ubh}i as}-S{a>lih}, Ulu>m al-Hadi>s\ wa Mus}t}alah}uhu,
(Beirut: Da>r al-'Ilm li al-Mala>yi>n, 1977), hlm. 185.
Al-H{a>kim an-Naisaburi, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\, tahqiq as-
29
(7)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
Sebagai sebuah istilah, ‘illah tentu saja memiliki awal mula, namun tidak
diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakannya, meskipun ia
sudah dikenal luas di kalangan ahli hadis sejak masa Syu’bah, Yah}ya> ibnu
Sa’i>d al-Qat}t}a>n (w. 198 H) dan ‘Abdurrah}ma>n ibnu Mahdi.30
Hal ini bisa dipahami mengingat pengetahuan tentang ‘illah-’illah hadis hanya
dikuasai oleh segilintir kalangan yang memiliki pemahaman yang brilian, hapalan
yang kuat, dan wawasan yang luas mengenai kondisi-kondisi sanad, matan, dan
status para perawi.31
Identifikasi ‘illah hadis membutuhkan penelaahan yang luas, memori
ingatan yang bagus, dan pemahaman yang njlimet (akurat), karena ‘illah sendiri
merupakan virus laten (sabab gha>mid}) yang bersifat samar-samar, baik di
mata kalangan yang intens mengkaji disiplin ilmu-ilmu hadis sekalipun. Sehingga
muncul satu disipin varian dari ulum al-hadis yang disebut "Ilm ‘ilal al-
h}adi>s\"; yaitu ilmu yang membahas mengenai sebab-sebab laten dan samar
dari segi implikasinya dalam menciderai kesahihan hadis.32 Ia berbeda dengan
ilmu jarh} wa ta‘di>l yang membahas tentang perawi dari segi data empirik
yang memuji mereka atau mengecam mereka.33 Dengan perangkat disiplin ilmu
‘ilal al-h}adi>s\, kita bisa mengetahui mana hadis yang sah}i>h} dan saqim
(tidak s}ah}i>h}), serta mana yang ter-jarh} dan yang ter-ta‘di>l
sekaligus.34
Ibnu H{ajar mengatakan bahwa ia merupakan jenis disiplin ilmu hadis
yang paling kabur (samar) dan paling njlimet, dan tidak ada yang mengaksesnya
kecuali orang yang dianugerahi oleh Allah pemahaman yang tajam, kapabilitas
yang luas, dan pengetahuan yang sempurna mengenai tingkatan-tingkatan perawi
dan kompetensi yang mumpuni mengenai sanad-sanad dan matan-matan.35
30
S{amadi, Naz}ariyyah al-‘Illah, hlm. 3.
31
T{a>hir, Tauji>h an-Naz}ar, hlm. 264.
32
Al-Qa>simi, Qawa>'id at-Tah}di>s, hlm. 112.
33
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id Us\u>l hlm. 28.
34
Al-H{a>kim, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\, hlm. 112.
35
S{ubh}i as}-S{a>lih}, Ulu>m al-Hadi>s\, hlm. 180.
(8)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
36
Ibid., hlm. 181. Lihat juga At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 85.
(9)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
37
T{a>hir, Tauji>h, hlm. 265. Lihat juga Al-Qa>simi, Qawa>'id, hlm.
131, dan At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r\, hlm. 84.
38
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 183.
39
Al-Qa>simi, Qawa>'id, hlm. 131. Lihat juga Ibnu Kas\i>r, Al-Ba>'is\
al-H{as\i>s\, hlm. 48.
40
Al-H{a>kim, Ma‘rifah, hlm. 113.
(10)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
singkat, melainkan setelah melalui proses interaksi yang cukup lama dan
pengalaman yang sangat panjang.41
(11)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
(12)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
Misalnya, riwayat Umar yang bercerita bahwa pada masa Jahiliyyah dulu
ia pernah bernaz\ar untuk melakukan i’tikaf selama sehari di Masjidil Haram,
maka dalam satu versi Nabi saw. bersabda: “Pergi dan i’tikaflah sehari!” Namun
dalam versi lain, Nabi saw. bersabda, “Pergi dan i’tikaflah semalam!” Perbedaan
redaksi matan “sehari” dan “semalam” menurut Imam an-Nawawi tidak sampai
menciderai matan maupun sanad, karena barangkali Umar bertanya pada Nabi
tentang i’tikaf sehari dan ia ditanya tentang i’tikaf semalam.46
Kelima, ‘illah yang ada dalam matan dan menciderai matan maupun
sanadnya. Contoh, hadis yang diriwayatkan bi al-ma‘na> oleh seorang perawi,
namun spekulasinya salah, sebab yang dimaksud oleh lafal hadis bukan seperti
yang ia tulis. Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kecacatan matan maupun
sanad riwayat tersebut.
Misalnya, hadis dari Jari>r ibnu Yazi>d dari Anas ibnu Ma>lik,
dan Ibnu Abi> Laila> dari Abdul Kari>m dari Anas ibnu M>alik
bahwa Rasulullah saw. berwudhu dengan menggunakan dua liter air. Ini adalah
riwayat bi al-ma‘na yang salah dan d}a’i>f sanadnya, sebab yang shahih dari
Anas adalah Rasulullah saw. berwudhu dengan satu mud.47
Keenam, ‘illah yang ada dalam matan dan hanya menciderai matannya
minus sanadnya. Contoh, hadis yang diriwayatkan tunggal oleh Muslim dari
narasi Anas dengan redaksi lugas yang menafikan
“Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m”. 48
46
Bâzmal, Ahmad ibnu Umar ibnu Salim, Al-Muqtarib fi> Baya>n al-Mud}t}arib,
I/110.
Lihat al-Baihaqi, Ah}mad ibnu al-H{usain, Sunan al-Baihaqi al-Kubra>,
47
(13)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
49
Lihat Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 134.
Al-H{a>kim, Ma‘rifah, hlm. 113-119. Lihat juga S{ubh}i}, Ulu>m al-
50
(14)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
ن أَبِي ِ ْل بِ ْ هي َ سُ ن ْ ع َ ة َ َ قبْ عُ ن ُ ْ سى ب َ مو ُ خبََرنِي ْ َ جَريٍْج أ ُ
َ ُ َ ن أَبِي هَُريَْرةَ قَا َ َ صال ِح ع
ِل الل ّه سو ُ ل َر َ ل قَا ْ َ ن أبِيهِ ع ْ ٍ َ
َ َ َ
ِس فَكَثَُر فِيه ٍ ِ جل ْ م َ س فِي َ َ جل َ نْ م َ م َ ّ سل َ َه عَلَيْهِ و ُ ّ صل ّى الل َ
َ َ ل قَب
َ َ حان
ك َ ْ سبُ ك َ ِ سهِ ذَل ِ ِ جلْ م َ ن ْ مِ مَ ن يَقُو ْ لأ ْ َ ه فَقَا ُ ُ لَغَط
َ َ شهد أ َن َل إل َه إَّل أَنت أ َستغْفر َ َ م وبحمد َ
بُ ك وَأتُو ُ ِ َ ْ َ ْ ِ َ ِ ْ ُ َ ْ كأ ِ ْ َ ِ َ َّ ُالل ّه
َ َ َ
َ ما كَا ُ َ ك إ ِ ّل غُ ِفَر ل
51 َ
سهِ ذَل ِك ِ ِ جل ْ م َ ن فِي َ ه ْ إِلي
Di dalam rangkaian sanad hadis ini, Musa ibnu ‘Uqbah seolah-olah mendapat
hadis langsung dari Suhail ibnu Abi S{a>lih}, meski tanpa menyebut
“Sami‘tu” atau “h}addas\ana>” dan sejenisnya, padahal ia tidak pernah
mendengarkannya langsung dari Suhail.
2) Hadis diriwayatkan secara mursal52 dari jalur para perawi yang s\iqah dan
h}a>fiz\, namun disanadkan dengan gaya yang kelihatannya s}ah}i>h}.
Contoh, hadis Qubais}ah ibnu ‘Uqbah dari Sufya>n dari Kha>lid
al-H{az\z\a>’ dan ‘A<s}im dari Abu> Qila>bah secara marfu>’:
َ َ متِي أَبو بكْر وأ ُ متي بأ ُ أ َرح
َ ُن الل ّهِ ع
مُر ِ يِ د يِ ف م
ْ ُ هُ ّ د َ
ش َ ٍ َ ُ َ ّ ِ ِ َّ م أ
ُ َ ْ
Andai kata sanad hadis ini s}ah}i>h}, tentu ia akan dimasukkan dalam
S{ah}i>h} al-Bukha>ri> atau Muslim. Namun nyatanya tidak, karena
Kha>lid al-H{az\z\a> meriwayatkannya dari Abu> Qila>bah secara
mursal.
3) Hadis diriwayatkan secara mahfu>z}53 dari seorang sahabat
(s}ah}a>bi>), namun kemudian diriwayatkan dari selain
s}ah}a>bi> -yang lebih rendah tingkat kesiqahannya,
berdasarkan perbedaan domisili para perawinya, misalnya
riwayat orang-orang Madinah lebih unggul daripada riwayat orang-orang
Kufah.
Sunan at-Tirmi>z\i>, (Kitab ad-Da’awa>t, Bab Ma> Yaqu>lu Iz\a>
51
(15)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
(16)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
ٌ ب لَئِي
م ٌّ خ ِ م وَالْفَا
ِ جُر ٌ ن ِغٌّر كَرِي ُ ْ ال
ِ ْمؤ
ُ م
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu> Syiha>b dari as\-S|auri> dari
H{ajja>j ibnu Fara>fisah dari Yah}ya> ibnu Abi Kas\i>r dari
Abu> Salamah dari Abu> Hurairah secara marfu>‘. Dalam versi lain,
Muh}ammad ibnu Kas\i>r meriwayatkannya dengan sanad berbeda, yakni
dengan meng-anonim-kan Yah}ya> ibnu Abi Kas\i>r dan menyebutnya
dengan “seorang laki-laki”. Hadis dengan riwayat Muh}ammad ibnu
Kas\i>r ini dengan demikian ma‘lu>l.
8) Perawi menjumpai seseorang dan mendengarkan hadis darinya, namun ia
tidak mendengar beberapa hadis tertentu darinya. Jika ia mengklaim
meriwayatkan hadis-hadis yang tidak didengarnya tersebut tanpa perantara
orang lain, maka hadis tersebut ma‘lu>l. Contoh hadis:
حيَى
ْ َن ي
ْ َى ع ْ َّ م الد
ُّ ِ ستَوَائ ٌ شا َ ِخبََرنَا ه ْ َن أ َ ن هَاُرو ُ ْ خبََرنَا يَزِيد ُ بْ َأ
صلى الله عليه- ى َّ ِ ن النَّب َّ َ ك أ
ٍ ِ مال َ ن ِ ْس ب
َ َ بن أَبى كَثِير ع
ِ َ ن أن ْ ٍ ِ ِ ْ
مُ ُ عنْدَك ِ أَفْطََر:ل َ س قَا ُ
ٍ عنْد َ أنَا ِ ن إِذ َا أَفْطََر َ كَا-وسلم
ُ ُ ت ع َلَيْك
م َ
ْ َ وَتَنََّزل،م البَْراُر ُ ُ مك َ ل طَعَا َ َ وَأَك،ن َ مو َّ ال
ُ ِ صائ
َ ْ ال
ُ َ ملَئِك
ة
Hadis ini dinyatakan shahih sanadnya oleh ad-Darimi54, namun jika diteliti
lebih lanjut, Yahya ibnu Abi Kasir ternyata tidak pernah mendengar langsung
hadis ini dari Anas ibnu Malik, meskipun ia pernah berinteraksi dengannya.
Hal ini dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dari
Hisyam dari Yahya, ia berkata: “H|uddis\tu ‘an Anas” (Aku diberi hadis
dari Anas), dan seterusnya.
54
Ad-Da>rimi, Abdullah ibnu Abdurrah}ma>n, Sunan ad-Da>rimi,
tahqiq Fu’ad Ahmad Zumarli dkk, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), II/40,
hadis no. 1772.
(17)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
9) Suatu hadis sudah memiliki jalur periwayatan yang makruf, lalu seorang
perawi dalam sanad tersebut meriwayatkannya dari jalur lain, sehingga ia
terjebak dalam waham. Misalnya, hadis al-Munz\ir ibnu Abdulla>h al-
H{iza>mi dari Abdul Aziz ibnu al-Majisyu>n dari Abdulla>h
ibnu Di>na>r dari Ibnu Umar:
َ صلَة َ قَا
ل َّ ح ال َ كَا-صلى الله عليه وسلم- ى
َ َ ن إِذ َا افْتَت َّ ِ ن النَّب َّ َ أ
…م َّ ُك اللَّه َ َ حان َ ْ سب ُ
Al-Hakim mengatakan: Hadis ini memiliki ‘illah, karena al-Munz\ir
sebenarnya mendapatkan hadis ini dari Abdul Aziz ibnu al-
Majisyu>n dari Abdullah ibnu al-Fad}l dari al-A‘raj dari
‘Ubaidillah ibnu Abi Ra>fi‘ dari Ali.
10) Suatu hadis di satu sisi diriwayatkan secara marfu>‘ dan di sisi lain
diriwayatkan secara mauqu>f. Misalnya hadis pengulangan shalat karena
tertawa tanpa perlu berwudhu lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Farwah
ar-Ra>ha>wi> dari ayahnya dari kakeknya dari al-A‘masy dari Abu>
Sufya>n dari Ja>bir dari Rasulullah saw. secara marfu‘. Sementara
Waki>‘ meriwayatkannya secara mauquf (berhenti pada Ja>bir).55
Perlu diingat, bahwa kesepuluh fenomena yang dipaparkan al-H{a>kim
di atas hanyalah sampel belaka, dan masih banyak lagi fenomena hadis ma‘lu>l
yang hanya diketahui oleh kalangan ahli hadis yang benar-benar pakar di
bidangnya.
(III)
TEORI SYUZ|UZ| DAN FENOMENA HADIS SYA<Z|Z|
Kajian disiplin ilmu hadis lainnya yang tak kalah penting adalah kajian
tentang fenomena syuz\u>z\. Ia bahkan lebih utama untuk diberi perhatian
khusus, karena ia berhubungan erat dengan teori ‘illah dan proses pen-ta‘li>l-an
hadis. Mengkaji fenomena ini berarti kita juga mengkaji fenomena hadis-hadis
55
Lebih lanjut mengenai contoh item 8-10, silakan rujuk: Al-H{a>kim,
Ma‘rifah, hlm. 113-119; S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 183-185; dan Umar
Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 134-137..
(18)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
Definisi Sya>z\z\
Menurut arti bahasa, sya>z\z\ adalah isim fa’il dari akar kata “ ُّشذ
ُ َ شذ َّ ي
َ
ُ ” berarti infarad (menyendiri). Sehingga sya>z\z\ berarti oknum yang
شذ ُوْذ
menyebal dari mayoritas (al-munfarid ‘an al-jumhu>r).57
Sementara itu, dari sisi terminologis, para ulama hadis berbeda pandangan
dalam mendefinisikan hadis sya>z\z58, namun ada dua unsur penting
yang menjiwai keseluruhan definisi yang dikemukakan oleh para
ahli hadis; yaitu al-infira>d (kesendirian) dan al-mukha>lafah
(penyimpangan).
Dalam pengertian umum yang selama ini dijadikan pegangan, hadis
sya>z\z\ didefinisikan sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
s\iqah yang berbeda dengan riwayat para perawi s\iqah lainnya.” Namun al-
H{afiz\ Ibnu H{ajar meragukan efektifitas definisi ini dalam mendekatkan
jurang perbedaan antara dua istilah sya>z\z\ yang dinisbatkan pada asy-
Sya>fi'i dan al-H{a>kim.59 Ia pun mengajukan definisi yang
menurutnya paling otoritatif berdasarkan istilah, bahwa hadis
sya>z\z\ adalah “hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbu>l
yang berbeda dengan orang yang lebih otoritatif dari dirinya.”60
Terkait dengan definisi sya>z\z\, Imam asy-Syafi'i sebagaimana lansir
Ibnu Abu> Hatim dalam kitab “Adab asy-Sya>fi‘i”, mengatakan: “Hadis
sya>z\z\ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi s\iqah yang
berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang.” Ia
56
Syaikh Muh}ammad ِAbd al-‘Azi>z ibnu Muh}ammad as-Sa‘i>d,
Silsilah Ta‘li>m Mus}t}alah} al-H{adi>s\, (Kumpulan makalah ulumul hadis
tidak diterbitkan), Pembahasan: Definisi asy-Sya>z\z\ dan al-Munkar.
57
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r al-Mus}t}alah} \, hlm. 97.
58
Lihat perdebatan lebih lanjut pada Al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-
Ma’lu>l, hlm. 52-54.
59
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 196.
60
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r al-Mus}t}alah} \, hlm. 97.
(19)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
(20)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
Mu'a>z\ ibnu Jabal bahwasanya sewaktu Perang Tabuk jika Nabi saw. pergi
sebelum condong matahari, maka beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan
menjamaknya dengan Asar, lalu melaksanakan keduanya sekaligus, sementara jika
beliau berangkat setelah matahari condong, beliau shalat Dhuhur dan Ashar
bersama-sama (di waktu Dhuhur), lalu berangkat. Begitu juga jika beliau
berangkat sebelum maghrib, maka beliau mengakhirkan shalat maghrib dan
melaksanakannya bersama Isya`, sementara jika berangkat setelah maghrib, beliau
mendahulukan shalat Isya` dan melaksanakannya bersama-sama shalat maghrib."
Hadis ini menurut al-H{a>kim berstatus sya>z\z\ dari segi sanad maupun
matan. Ia mengatakan: "Kami tidak menjumpai matan seperti ini dalam sahabat-
sahabat/murid-murid Ibnu at}-T{ufail atau pada seorangpun dari
orang-orang yang meriwayatkannya dari Mu'a>z\ ibnu Jabal dari
Ibnu at}-T{ufail, sehingga kami menyatakannya sebagai hadis
sya>z\z\."64
Definisi al-H{a>kim ini dinyatakan lemah oleh Ibnu as}-S{ala>h}
dan dibantahnya dengan mengemukakan hadis "Innama> al-a'ma>l bi an-
niya>t". Hadis ini diriwayatkan seorang diri oleh ‘Umar, kemudian
diceritakannya pada ‘Alqamah, lalu pada Muh}ammad ibnu Ibrahim at-Taimi,
lalu Yah\ya> ibnu Sa'ad al-Ans}a>ri. Meski diriwayatkan tunggal
(sendirian) oleh ‘Umar, hadis ini tetap dinyatakan shahih, dan hadis s}ah}i>h}
tentu saja bebas dari syuz\u>z\.65
Di samping dua definisi di atas, para kritikus hadis juga menyebutkan
sebuah definisi lagi yang dikemukakan oleh Abu> Ya'la al-Khalili, bahwa hadis
sya>z\z\ adalah “hadis yang hanya memiliki satu isna>d, baik perawinya
s\iqah maupun tidak; dengan pengertian bahwa jika perawinya tidak s\iqah,
maka hadis tersebut adalah hadis matru>k yang tidak diterima, sementara jika
diriwayatkan perawi s\iqah hadis tersebut di-pending (tawaqquf) status
kesahihannya dan tidak bisa dijadikan h}ujjah.”66 Jika definisi sya>z\z\ versi
Abu> Ya'la> al-Khali>li> ini diterima, maka ia akan memberikan implikasi
64
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s\, hlm. 197-198.
65
Ibid., hlm. 199-200.
66
Ibnu as}-S{ala>h, Muqaddimah Ibn as}-S{ala>h, I/14.
(21)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
67
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 201.
68
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 130.
Ibid. Lihat juga Muh}ammad ibnu ‘Alawi, Al-Manhal al-Lat}i>f, hlm.
69
(22)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
ُّ ِ ه فَأَعْطَا هُ النَّب َ َ َ
ي ُ َ عَبْدًا هُوَ أعْتَق م يَد َع ْ وَارِث ًا إ ِ ّل
ْ َ م وَل
َ ّ سل َ َ عَلَي ْهِ و
َ َ َ
ُ َ ميَراث َ ّ سلَ َه عَلَيْهِ و ُ ّ صل ّى الل
70
ه ِ م َ
Hadis ini diriwayatkan secara maus}u>l oleh Ibnu ‘Uyainah dengan
menyebut Ibnu ‘Abba>s. Langkah ini diikuti oleh Ibnu Juraij dan para perawi
lain. Namun H{amma>d ibnu Zaid mengambil langkah berbeda dengan
meriwayatkannya secara mursal dari ‘Amru> ibnu Di>na>r dari ‘Ausajah
tanpa menyebut Ibnu ‘Abba>s.
Hammad ibnu Zaid adalah perawi yang s\iqah dan d}abit}, namun
karena sanadnya berbeda dengan sanad para perawi lain yang meriwayatkan hadis
ini, maka hadis disebut “hadis sya>z\z\ al-isna>d” (hadis yang sanadnya
sya>z\z\) dan tidak bisa diterima sebagai dalil, sementara riwayat Ibnu
‘Uyainah adalah hadis yang mah}fu>z} dan menurut at-Tirmizi ia merupakan
hadis hasan yang bisa diterima.
Juz IV/Hlm. 207, hadis no. 1263; dan Sunan at-Tirmi>z\i>, Kitab as}-S{ala>h,
Bab Ma Ja>’a fi al-Id}t}ija‘, Juz II/Hlm. 235, hadis no. 422.
(23)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
(24)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
selain Ibrahim ibnu T{ahman saja, sehingga sanad as\-S|auri> dari Abu>
Zubair dinilai sya>z\z\.75
(IV)
PENUTUP
Sebagai penutup, secara obyetif perlu penulis kemukakan
bahwa sulit sekali membedakan antara sya>z\z\ dan ma‘lu>l,
sebab ‘illah adalah perbedaan riwayat seorang perawi s\iqah
dengan riwayat para perawi s\iqah lainnya, begitu juga dengan
sya>z\z\? Lalu apa perbedaan mendasar antara keduanya?
Al-H{a>kim an-Naisaburi menjawab dengan tegas bahwa
hadis sya>z\z\ berbeda dengan hadis ma‘lul. Hadis ma‘lu>l
menurutnya bisa ditelusuri ‘illahnya melalui indikasi masuknya
suatu hadis dalam hadis lain, adanya waham seorang perawi di
dalamnya, atau pemaus>u>lan perawi wa>him atas hadis yang
dimursalkan perawi lain, dan indikasi-indikasi lain. Sementara
sya>z\z\ adalah hadis yang diriwayatkan sendirian oleh seorang
perawi siqah yang berbeda dengan riwayat para perawi s\iqah
lainnya dan ia tidak memiliki “as}l bi muta>bi’ li z\alika as\-
s\iqah”.76
Diferensiasi ini didukung oleh al-H{a>fiz} Ibnu H{ajar.
Dalam Nuzhah an-Naz}ar, ia berkomentar: “Berdasarkan hal ini,
hadis sya>z\z\ jauh lebih njlimet (rumit) daripada ma’lu>l,
sehingga ia tidak bisa ditetapkan statusnya kecuali oleh praktisi
hadis yang telah piawai menggeluti bidang ini, memiliki
pemahaman kelas tinggi, dan memiliki kredibilitas.”77 Hal senada
dikemukakan oleh as-Sakhawi.78
75
Ibid., hlm. 121.
76
Dikutip dari Rid}a>, Naz}ariyyah, hlm. 7.
77
Ibid.
78
Lihat As-Sakhawi, Fath al-Mughi>s\, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali,
(India: Ida>rah al-Buh}u>s\ al-Islamiyyah, 1407 H), I/232.
(25)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
***
DAFTAR PUSTAKA
(26)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
Software Program:
- Harf IT Company, Mausu’ah al-Hadith asy-Syarif, Versi 2.1.
(27)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis
79
Rujukan dalam catatan kaki tanpa keterangan penulis maupun nama kota, penerbit, dan
tahun terbit, semuanya diambil dari al-Maktabah asy-Syamilah.
(28)