You are on page 1of 28

Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

FENOMENA ‘ILLAH DAN SYUZ|U<Z| DALAM HADIS


(Klasifikasi Hadis Berdasarkan Teori al-‘Illah dan asy-Syuz\u>z)
Oleh: Kamran As’at Irsyady, Lc
(I)
PENDAHULUAN
Masalah otentisitas hadis1 menjadi perhatian dan kajian utama para ulama
hadis, bahkan sejak zaman Nabi saw. dan shahabat. Mereka tidak serta-merta
menerima suatu berita, informasi, atau pernyataan yang dinisbatkan kepada
Rasulullah saw., melainkan melalui proses verifikasi yang cukup ketat dan
berliku-liku. Mereka berangkat dari asumsi bahwa tidak semua hadis yang
diriwayatkan memenuhi unsur-unsur ‘ada>lah dan d}abt}}, dan bisa
diambil, sebab dalam proses periwayatan dan tranmisi sangat
dimungkinkan adanya human error (lupa, lalai, atau waham), baik yang
disengaja maupun tidak sengaja. Sejumlah perangkat ilmu hadis2 pun disusun dan
dibukukan guna keperluan tersebut, sehingga mereka bisa mengetahui tingkat
keabsahan setiap hadis.3
Secara garis besar, hadis berdasarkan tranmisi; kesampaiannya ke tangan
kita dan kwantitas perawinya bisa dibedakan menjadi hadis mutawa>tir dan
hadis ah}ad.4 Karena diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin
melakukan kesepakatan konspiratif untuk berbohong, maka hadis mutawatir

1
Dalam tulisan ini, penulis tidak memperdebatkan lagi perbedaan
hadis dan Sunnah sebagai verbal tradition, practical tradition, atau living
tradition, melainkan menganggapnya sebagai dua hal yang identik, yaitu
sebagai informasi yang dinisbatkan pada Nabi saw. baik yang berbentuk
ucapan, perbuatan, sifat, dan penetapan (pengakuan).
2
Rumpun disiplin ilmu hadis antara lain: Ilmu jarh} wa ta‘di>l, ma’rifah
as}-s}ah}a>bah, ilmu ta>ri>kh ar-ruwwa>h (sejarah para perawi), ilmu
ma’rifah al-asma>’ wa al-kuna> wa al-alqa>b, ilmu ta’wi>l musykil al-
h}adi>s\, ma’rifah ghari>b al-h}adi>s, ilmu ‘ilal al-h}adi>s, al-masyikhat
(para guru), at}-t{abaqa>t, riwa>yah al-aka>bir ‘an al-as}a>ghi>r wa al-
aba>’ ‘an al-abna>’. Lihat Dr. Ah}mad Umar Hasyi>m, Qawa>‘id Us\u>l al-
H{adi>s\, (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), hlm. 28-34.
T{a>hir ibnu S{alih} ibnu Ah}mad al-Jaza>’iri ad-Dimasyqi>, Tauji>h
3

an-Naz}ar ila Us}u>l al-As\ar, Madinah: Al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, hlm. 19-20.


4
Lihat pengertian hadis mutawa>tir dan ah}a>d dalam Dr. Mah}mu>d
at}-T{ah}h}a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-H{adi>s\, cet. VII, (Riya>d}:
Maktabah al-Ma'a>rif li an-Nasyr wa at-Tauzi>', 1985), hlm. 19-27.

(1)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

bersifat "qat}‘i> al-wuru>d" (bisa dipastikan penisbatannya pada Rasulullah


saw.), namun jumlah hadis seperti relatif sedikit. Kebalikannya adalah hadis
ah}ad yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang yang tidak mencapai
tingkat mutawatir. Hadis ini bersifat "z\anni> al-wuru>d" (penisbatannya
kepada Rasulullah saw. masih spekulatif) dan ini menjadi ciri umum sebagian
besar hadis nabawi.5
Lebih lanjut dari segi kualitasnya, hadis ah}a>d bisa dikelompokkan
menjadi dua: Maqbu>l (diterima) dan mardu>d (ditolak). Maqbu>l
adalah hadis yang diunggulkan kebenaran dan kejujuran orang yang
menginformasikannya; sehingga bisa dijadikan sebagai h}ujjah (dasar hukum)
dan wajib diberlakukan. Hadis s}ah}i>h} dan h}asan merupakan kategori
hadis ini.6 Sedangkan mardu>d adalah hadis yang tidak diunggulkan kebenaran
informannya; sehingga tidak bisa dijadikan h}ujjah (dasar hukum) dan tidak
wajib diberlakukan. Para ulama menginventarisir deretan hadis yang termasuk
dalam khabar mardu>d, bahkan sebagian kalangan di antara mereka
menghitungnya hingga 43 jenis. Beberapa di antaranya mereka beri istilah khusus,
meski banyak pula yang masih tanpa nama, namun secara umum hadis-hadis
mardu>d terpayungi dalam satu nama besar: hadis d}a‘i>f, 7 yaitu hadis yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadis shahih maupun hasan, yaitu sanadnya
bersambunug8, perawinya adil9 dan d}a>bit}10, bebas dari syuz\u>z\ dan
5
Prof. Dr. S{ala>h} ad-Di>n ibnu Ah}mad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-
Matan 'inda ‘Ulama>’ al-H{adis\ an-Nabawi>, (Beirut: Da>r al-Afa>q al-
Jadi>d, 1983), hlm. 9.
6
Masing-masing hadis s}ah}i>h} dan h}asan lebih lanjut terbagi
menjadi dua: Li z\a>tihi dan li ghairihi. Mengenai definisi hadis s}ah}i>h} dan
h}asan dengan segala rinciannya, silakan rujuk At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r
Mus}t}alah}, hlm. 30-50. Lihat juga Al-H{a>fiz\ Ibnu Kas\i>r, Al-Ba>'is\ al-
H{as\i>s\ Syarh} Ikhtis}a>r 'Ulu>m al-H{adi>s\, tah}qi>q Ah}mad
Muh}ammad Sya>kir, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1996), hlm. 17-33.
7
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 52.
Maksudnya setiap perawi atau rijal al-isnad meriwayatkan dari perawi
8

sebelumnya sejak awal isnad hingga akhir sampai pada Rasulullah saw. tanpa
ada yang digugurkan dari mata rantai tersebut.
9
Maksudnya si perawi merupakan orang yang bisa dipercaya komitmen
agamanya, dalam artian ia seorang muslim, akil baligh, dan bebas dari unsur-
unsur fasik dan penoda muruah.
Maksudnya si perawi bisa dipercaya riwayatnya, dalam artian ia
10

seorang yang kuat hapalannya (jika hadis tersebut dihapalnya), akurat

(2)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

‘illah di dalamnya, serta periwayatan hadis dari jalur lain selama di dalam
rangkaian sanadnya ada perawi mastu>r (kurang popular) yang tidak terstigma
suka bohong dan banyak melakukan kekeliruan.11 Dengan bahasa lain, setiap
hadis yang tidak memenuhi satu atau beberapa syarat di atas, maka ia disebut
hadis d}a‘i>f.
Berdasarkan definisi di atas, hadis d}a‘i>f, meminjam kategorisasi Prof.
Dr. Ahmad Umar Hasyim –Guru Besar Hadis di Universitas al-Azhar Cairo-, bisa
dielaborasikan berdasarkan ketiadaan syarat-syarat hadis s}ah}i>h} dan
h}asan di dalamnya sebagai berikut:12
a- Berdasarkan ketiadaan syarat ketersambungan sanad: Al-mu‘allaq, al-
munqat}i‘,al-mu‘d}al, al-mursal, dan al-mudallas.
b- Berdasarkan ketiadaan syarat keadilan perawi: Al-maud}u>‘, al-
matru>k, al-munkar, al-mat}ru>h}, al-mud}a‘‘af, dan al-
majhu>l.
c- Berdasarkan ketiadaan syarat keadilan ke-d}a>bit}-an perawi: Al-
mudraj, al-maqlu>b, al-mud}t}arib, al-mus}ah}h}af, dan al-
muh}arraf.
d- Berdasarkan ketiadaan syarat bebas dari syuz\u>z\: Asy-sya>z\z.
e- Berdasarkan ketiadaan syarat bebas dari ‘illah: Al-mu‘all.
Kategorisasi lainnya dikemukakan oleh Prof. Dr. Mah}mu>d at}-
T{ah}h}a>n, Guru Besar Hadis di Universitas Kuwait, bahwa faktor pelemah
yang menyebabkan tertolaknya suatu hadis secara garis besar bisa dipetakan
menjadi dua kategori: Pertama, distorsi pada sanad (saqt} fi as-sanad)13; dan
kedua, kecaman terhadap perawi (t}a‘n fi ar-ra>wi)14. Distorsi dalam sanad

tulisannya (jika ditulisnya), dan sadar saat meriwayatkan, memahami


maknanya.
11
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id Us\u>l al-H{adi>s\, hlm. 86.
12
Ibid., hlm. 97-137.
Yaitu adanya keterputusan mata rantai sanad dengan menghilangkan
13

satu perawi atau lebih secara sengaja maupun tidak sengaja, pada awal
sanad, akhir, atau di sela-sela keduanya, baik jelas maupun samar-samar.
14
Yaitu kecaman terhadap perawi dan pemersalahan personalitas
dirinya dari segi keadilan dan komitmen agamanya, dan dari segi
ked}abit}an, hapalan, dan kesadarannya.

(3)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

ada kalanya bersifat jelas (bisa diketahui oleh kalangan imam ahli hadis maupun
kalangan lain yang menekuni ‘ulu>m al-hadis\) dan samar (hanya bisa
diidentifikasi oleh kalangan ahli yang biasa meneliti jalur-jalur periwayatan dan
‘illah-’illah sanad. Hadis mardu>d akibat dirtorsi yang jelas dalam
sanadnya antara lain: Al-mu‘allaq, al-mursal, al-mu‘d}al, dan al-
munqat}i‘. Sedangkan hadis mardud akibat distorsi yang samar
antara lain: Al-mudallas dan al-mursal al-khafiy.15
Sementara itu, kecaman terhadap personalitas diri perawi yang bisa me-
mardu>d-kan suatu hadis setidaknya ada sepuluh item; Lima item berkaitan
dengan keadilan diri perawi dan lima item sisanya berkaitan dengan ke-
d}abit}-an dirinya. Kesepuluh faktor tersebut antara lain: Dusta, tertuding
bohong, fasik, bid’ah, kemisteriusan status/jati diri, kekeliruan fatal, keburukan
hapalan, kelalaian, kebanyakan waham (berilusi), dan penyelisihian para perawi
lain yang s\iqah.16 Adapun hadis-hadis yang termasuk dalam kategori ini
(menjadi d}a‘i>f dan tertolak karena adanya satu atau beberapa faktor dari
kesepuluh item kecaman tersebut) antara lain: Al-maud}u>‘, al-matru>k,
al-munkar, al-mukha>lifah li as\-s\iqa>t, al-mudraj, al-maqlu>b,
al-mazi>d fi muttashal al-asa>ni>d, al-mud}t}arib, al-
mus}ah}h}af, al-mu’allal, dan asy-sya>z\z\.17
Kedua hadis yang disebut terakhir inilah yang akan menjadi bahasan
utama dalam tulisan ini. Perlu diisyaratkan bahwa sebagian ulama menyamakan
antara ‘illah dan syuz\u>z\ sebagai faktor yang menciderai kemaqbu>lan
suatu hadis.18 Namun dalam tulisan ini, penulis mengikuti pandangan jumhur yang
mendikotomi keduanya sebagai faktor pe-mardu>d yang berdiri sendiri, meski
saling terkait; sehingga pembahasan dalam makalah ini secara garis besar terbagi

Lihat At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r al-Mus}t}alah} \, hlm. 55-73. Lihat


15

juga Muh}ammad Jama>l ad-Di>n al-Qa>simi, Qawa>'id at-Tah}di>s\ min


Funu>n Must}alah} al-H{adi>s\, (t.t.t.: Isa al-Haji, t.t.), hlm. 129.
16
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 73-74.
17
Mengenai definisi masing-masing hadis ini, lihat At}-T{ah}h}a>n,
Taisi>r, hlm. 75-102.
Dr. H{amzah ‘Abdulla>h al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l:
18

Qawa>’id wa D{awa>bit}, (Beirut: Da>r Ibnu H{azm dan Makkah: Al-


Maktabah al-Makkiyyah, 1996), hlm. 7.

(4)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

dalam dua pembahasan besar: Fenomena ‘illah dan syuz\u>z; dengan elaborasi
pembahasan: Apa itu ‘illah dan syuz\u>z\? Jenis-jenis dan pola-
polanya? Metode para ahli hadis dalam mengidentifikasinya?
Status hadis yang terinfeksi ‘illah dan syuz\u>z\? Fenomena dan
contoh-contoh hadis yang terinfeksi ‘illah dan syuz\u>z\?

(II)
TEORI ‘ILLAH DAN FENOMENA HADIS MA‘LU<L
Kalangan ahli hadis setidaknya memiliki tiga istilah untuk menyebut hadis
yang tidak memenuhi syarat bebas dari 'illah (‫ )العلّة‬dengan alasan masing-
masing:19
ُّ ِ‫ل يَع‬
a. Ma‘lu>l (‫ ;)المعلول‬Adalah isim maf'ul dari akar kata “‫ل‬ َّ َ‫”ع‬. Istilah ini
terkenal di kalangan ahli hadis dan dipakai antara lain oleh al-Bukha>ri,
at-Tirmiz\i, ad-Da>ruqut}ni, Ibnu ‘Addi, al-H{a>kim, dan Abu>
Ya‘la> al-Khali>li. Secara kebahasaan, meski ada yang memandangnya
rendah, namun Ibnu Sayyidihi dan Abu> Ish}a>q, bahkan Sibawaih dan
al-Jauhari membenarkan penggunaan istilah ini secara kebahasaan. Adapun
kalangan ahli hadis modern yang menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr.
H{amzah ‘Abdulla>h al-Mali>ba>ri>, Guru Besar Hadis di al-
Jami’ah al-Islamiyyah Qasnat}i>nah.20
ُّ ِ‫ل يُع‬
ُ ‫ ;)ال‬Adalah versi lain dari isim maf’u>l “‫ل‬
ّ َ‫مع‬
b. Mu'all (‫ل‬ َّ َ‫”أع‬. Istilah ini
diunggulkan oleh Ibnu H{ajar dan al-H{afiz} al-‘Ira>qi, serta banyak juga
digunakan oleh kalangan ahli bahasa dan hadis. Pakar hadis modern yang
menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr. Ah}mad ‘Umar Hasyi>m –
Guru Besar Hadis di Universitas al-Azhar Cairo.21
َ ُ ِّ ‫ل يُعَل‬
َ ّ ‫”عَل‬. Ini adalah
c. Mu'allal (‫ ;)المعل ّل‬Adalah isim maf’u>l dari “‫ل تَعْلِيْل‬
versi yang kurang popular di kalangan ahli hadis dan bahasa; serta merupakan

19
Lihat T{a>hir ad-Dimasyqi>, Tauji>h an-Naz}ar, hlm. 264-267.
20
H{amzah al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l, hlm. 9-10.
21
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 132.

(5)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

isti’arah, karena artinya adalah melenakan seseorang dengan sesuatu. Di


antara pakar hadis modern yang menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr.
Mah}mu>d at}-T{ah}h}a>n, Guru Besar Hadis di Universitas
Kuwait.22
Dalam tulisan ini, penulis lebih cenderung menggunakan istilah “al-
ma‘lu>l” mengingat kepopuleran istilah ini di kalangan ahli hadis.

Definisi 'Illah dan Hadis Ma’lu>l:


‘Illah (‫ )العلّة‬secara bahasa memiliki banyak makna, antara lain: Sakit,
melenakan seseorang dengan sesuatu, dan meminumi lagi dan lagi.23
Sedangkan dari segi terminologis, 'illah digunakan oleh kalangan ahli
hadis (al-muh}addis\u>n) dengan sejumlah pengertian berikut:24
1- Pengertian yang dominan; yaitu sebab laten dan indistingtif (gha>mid})
yang menginfiltrasi hadis, lalu menciderai kesahihannya, padahal secara zahir
ia tampak bersih.
2- Faktor yang men-d}a‘if-kan hadis akibat adanya tudingan cacat terhadap
diri salah satu perawinya, antara lain tudingan kebohongan, kelalaian,
keburukan hapalan, dan sejenisnya. Dari sini, pendukung pengertian ini
mengatakan: Hadis ini ma‘lu>l karena si Fulan.
3- Sebab yang mencegah pemberlakuan hadis. Definisi ini dikemukakan oleh at-
Tirmi>z\i.
4- Al-Mali>ba>ri> mengemukakan terminologi yang lebih lengkap, bahwa
‘illah adalah “sebab laten yang menunjukkan waham si perawi, baik perawi
tersebut s\iqah maupun d}a‘i>f, lepas dari apakah waham tersebut
berhubungan dengan sanad atau matan.”25

22
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 83.
23
Al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l, hlm. 9.
24
Rid}a> Ah}mad S{amadi, Naz}ariyyah al-‘Illah ‘inda al-
Muh}addis\i>n, (Makalah tidak diterbitkan), hlm. 2.
25
Al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-Ma’lu>l, hlm. 10.

(6)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

5- Istilah ‘illah juga kadang digunakan untuk menyebut kebohongan perawi,


kelalaiannya, keburukan hapalannya, dan sebab-sebab minor lain yang
kentara.26
Dalam hal ini, penulis lebih cenderung pada pendapat jumhur ahli hadis
yang mendefinisikan hadis ma‘lu>l sebagai “hadis yang secara kasat mata bebas
dari ‘illah, namun setelah diteliti ternyata ditemukan cacat yang menciderai
kesahihannya (al-qa>dih}).”27
Merujuk definisi ini, ‘illah dalam hadis ma’lu>l haruslah cacat yang
bersifat laten (khafi), bukan cacat z}a>hir yang membuat perawi ter-jarh},
misalnya kelemahan hapalannya atau kebohongannya. Dengan bahasa lain,
adanya sebab zhahir yang melemahkan hadis menghalangi penyebutannya sebagai
hadis ma’lu>l, sebab ‘illah dalam hadis ma’lu>l musti bersifat laten dan
indistingtif (kabur).28
Hadis ma’lu>l dengan demikian tidak meliputi semua hadis yang
tertolak (mardu>d). Hadis munqat}i‘ misalnya bukanlah hadis ma’lu>l.
Hadis yang di dalam rangkaian sanadnya ada perawi yang majhul atau
did}a'i>fkan juga tidak bisa disebut secara serampangan sebagai hadis
ma’lu>l. Akan tetapi suatu hadis disebut ma’lu>l jika statusnya di luar hal
tersebut. Al-H{a>kim mengatakan: Suatu hadis dianggap ma’lu>l jika
dipandang dari segi yang tidak ada kesempatan melakukan jarh} di dalamnya,
sebab hadis perawi majru>h} merupakan hadis yang sudah jelas-jelas lemah
dan gugur, sementara ‘illah hadis banyak ditemukan dalam hadis-hadis para
perawi s\iqah yang meriwayatkan hadis ber-’illah yang masih samar dalam
pengetahuan mereka, sehinggga hadis tersebut disebut ma’lu>l.29

Perkembangan Teori dan Disiplin Ilmu ‘Illah Hadis:


Muhammad ibnu ‘Alawi al-Maliki al-Hasani, Al-Manhal al-Lat}i>f fi
26

Us}u>l al-H{adi>s\ asy-Syari>f, cet. IV, (T.t.t: Mat}a>bi‘ Sah}ar, 1982), hlm.
136.
27
Al-Qa>simi, Qawa>'id at-Tah}di>s\, hlm. 130.
28
Dr. S{ubh}i as}-S{a>lih}, Ulu>m al-Hadi>s\ wa Mus}t}alah}uhu,
(Beirut: Da>r al-'Ilm li al-Mala>yi>n, 1977), hlm. 185.
Al-H{a>kim an-Naisaburi, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\, tahqiq as-
29

Sayyid Mu’az}z}am H{usain, (Cairo: Maktabah al-Mutanabbi, t.t.), hlm. 112.

(7)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Sebagai sebuah istilah, ‘illah tentu saja memiliki awal mula, namun tidak
diketahui secara pasti siapa yang pertama kali menggunakannya, meskipun ia
sudah dikenal luas di kalangan ahli hadis sejak masa Syu’bah, Yah}ya> ibnu
Sa’i>d al-Qat}t}a>n (w. 198 H) dan ‘Abdurrah}ma>n ibnu Mahdi.30
Hal ini bisa dipahami mengingat pengetahuan tentang ‘illah-’illah hadis hanya
dikuasai oleh segilintir kalangan yang memiliki pemahaman yang brilian, hapalan
yang kuat, dan wawasan yang luas mengenai kondisi-kondisi sanad, matan, dan
status para perawi.31
Identifikasi ‘illah hadis membutuhkan penelaahan yang luas, memori
ingatan yang bagus, dan pemahaman yang njlimet (akurat), karena ‘illah sendiri
merupakan virus laten (sabab gha>mid}) yang bersifat samar-samar, baik di
mata kalangan yang intens mengkaji disiplin ilmu-ilmu hadis sekalipun. Sehingga
muncul satu disipin varian dari ulum al-hadis yang disebut "Ilm ‘ilal al-
h}adi>s\"; yaitu ilmu yang membahas mengenai sebab-sebab laten dan samar
dari segi implikasinya dalam menciderai kesahihan hadis.32 Ia berbeda dengan
ilmu jarh} wa ta‘di>l yang membahas tentang perawi dari segi data empirik
yang memuji mereka atau mengecam mereka.33 Dengan perangkat disiplin ilmu
‘ilal al-h}adi>s\, kita bisa mengetahui mana hadis yang sah}i>h} dan saqim
(tidak s}ah}i>h}), serta mana yang ter-jarh} dan yang ter-ta‘di>l
sekaligus.34
Ibnu H{ajar mengatakan bahwa ia merupakan jenis disiplin ilmu hadis
yang paling kabur (samar) dan paling njlimet, dan tidak ada yang mengaksesnya
kecuali orang yang dianugerahi oleh Allah pemahaman yang tajam, kapabilitas
yang luas, dan pengetahuan yang sempurna mengenai tingkatan-tingkatan perawi
dan kompetensi yang mumpuni mengenai sanad-sanad dan matan-matan.35

30
S{amadi, Naz}ariyyah al-‘Illah, hlm. 3.
31
T{a>hir, Tauji>h an-Naz}ar, hlm. 264.
32
Al-Qa>simi, Qawa>'id at-Tah}di>s, hlm. 112.
33
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id Us\u>l hlm. 28.
34
Al-H{a>kim, Ma‘rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\, hlm. 112.
35
S{ubh}i as}-S{a>lih}, Ulu>m al-Hadi>s\, hlm. 180.

(8)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Ke-njlimetan disiplin ilmu ini dan kesulitannya serta peniscayaannya akan


proses penelitian yang panjang (lama) merupakan salah satu faktor terpenting
minimnya karya tulis dalam bidang ini. Adapun karya tulis (kitab) yang paling
monumental dalam disiplin ini adalah:
- "Kitab al-‘Ilal" karya 'Ali ibnu al-Madini, syaikh atau guru Imam al-
Bukha>ri>, disusul kemudian oleh kitab dengan judul serupa karya al-
Khallal.
- “‘Ilal al-H{adi>s\” karya Ibnu Abi H{a>tim. Kitab yang terakhir
dicetak di Mesir dan diberi syarah oleh Ibnu Rajab al-H{anbali>.
- Konon, Ibnu H{anbal memiliki sebuah kitab mengenai illat-illat yang masih
berupa manuskrip dengan judul “Al-‘Ilal wa Ma‘rifah ar-Rija>l”.
- “Al-‘Ilal al-Kubra>” dan “al-‘Ilal as}-S{aghir” karya at-
Tirmi>z\i.
- “Al-‘Ilal al-Wa>ridah fi al-Ah}a>di>s\ an-Nabawiyyah” karya Ad-
Da>ruqut}ni>. Ini merupakan kitab ‘ilal yang paling lengkap dan luas
pembahasannya, namun kitab tersebut bukan karya pribadinya, melainkan
disunting dan dibukukan oleh muridnya, al-H{a>fiz} Abu> Bakr al-
Barqa>ni.
- Sejumlah kitab ‘illah juga dinisbatkan masing-masing pada al-Bukha>ri,
Imam Muslim, Ibnu Abi> Syaibah, as-Sa>ji, Ibnu al-Jauzi, dan
Ibnu H{ajar.36

Metode Pengidentifikasian ‘Illah


‘Illah hadis dapat diidentifikasi dengan mengamati indikator-indikator
berikut dalam suatu hadis:
a. Kesendirian perawi dalam meriwayatkan suatu hadis (yang tidak diikuti oleh
perawi lain).
b. Perbedaan riwayatnya dengan riwayat perawi lain yang lebih h}afiz} dan
lebih d}a>bit}, atau lebih banyak jumlahnya.

36
Ibid., hlm. 181. Lihat juga At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 85.

(9)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

c. Qari>nah-qari>nah (bukti indikatif) lain yang mengindikasikan


pemursalan hadis maus}u>l, pemauqu>fan hadis marfu>‘, penyusupan
hadis dalam hadis lain, pelibatan waham perawi dengan selain hal tersebut,
misalnya penggantian rawi yang d}a'i>f dengan yang s\iqah dan lain-lain.37
Adapun metode dan langkah-langkah yang ditempuh kalangan ahli hadis
dalam mengetahui ‘illah-’illah hadis adalah:
1) Menghimpun seluruh jalur periwayatan.
2) Meneliti keragamaan para perawi dan menimbang-nimbang tingkat
ked}abit}an dan akurasi mereka. Dari sini bisa diketahui kesendirian
perawi dalam meriwayatkan suatu hadis dan perbedaannya dengan versi
perawi lain yang lebih h}a>fiz} dan lebih d}a>bit}, atau adanya
qari>nah-qari>nah lain.
3) Baru kemudian menjatuhkan penilaian berdasarkan tiga indikator di atas
bahwa hadis yang diteliti adalah hadis ma‘lu>l.38 Jika peneliti ragu-ragu,
maka ia bisa mengambil sikap abstain (tidak memberikan vonis atas shahih
tidaknya hadis tersebut), meskipun zhahirnya bersih dari ‘illah.39
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa kalangan ahli hadis sudah
mengenai metodologi kritik sejak lama. Namun ada metode lain yang digunakan
dalam men-ta‘li>l hadis, yaitu dengan menggunakan pendekatan intuitif yang
didasarkan pada insting atau ilham. ‘Abdurrah}ma>n ibnu Mahdi,
sebagaimana kutip al-H{a>kim, mengatakan: “Pengetahuan hadis merupakan
ilham. Jika Anda bilang pada orang ‘alim yang menta‘li>l suatu hadis; darimana
ia bisa mengatakan demikian, maka ia tidak memiliki h}ujjah (dasar hukum).”40
Hal ini kemudian disalah-pahami oleh banyak kalangan bahwa penilaian kalangan
ahli hadis atas para perawi dan riwayat tidak didasari sebuah metode ilmiah
maupun studi dan penelitian. Padahal ilham demikian tidak mereka peroleh secara

37
T{a>hir, Tauji>h, hlm. 265. Lihat juga Al-Qa>simi, Qawa>'id, hlm.
131, dan At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r\, hlm. 84.
38
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 183.
39
Al-Qa>simi, Qawa>'id, hlm. 131. Lihat juga Ibnu Kas\i>r, Al-Ba>'is\
al-H{as\i>s\, hlm. 48.
40
Al-H{a>kim, Ma‘rifah, hlm. 113.

(10)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

singkat, melainkan setelah melalui proses interaksi yang cukup lama dan
pengalaman yang sangat panjang.41

Posisi ‘Illah dalam Hadis dan Pengaruhnya


Kalangan ulama must}alah} al-h}adi>s\ menyebutkan bahwa ‘illah
pada umumnya menyusup dalam rangkaian sanad yang orang-orang kelihatannya
s\iqah dan memenuhi syarat-syarat s}ah}i>h}.42 Namun tidak jarang pula, ia
ditemukan dalam matan. ‘illah yang menyusup ke dalam isna>d kadang
menciderai kesahihan sanad dan matan sekaligus, atau hanya menciderai
kesahihan sanad tanpa mempengaruhi matan. Sedangkan ‘illah yang ditemukan
dalam matan bisa menciderai sanad dan matan sekaligus.43
Dengan demikian, ‘illah bisa diklasifikasikan menjadi enam macam
menurut tempat identifikasi dan pengaruhnya, sebagai berikut:44
Pertama, ‘illah yang ada dalam sanad dan tidak berefek sama sekali, baik
terhadap sanad maupun matan. Contoh, hadis yang diriwayatkan seorang
mudallis45 dengan model perwayatan ‘an‘anah (menggunakan kata ‘an dalam
periwayatannya). Hadis seperti ini wajib di-pending status kemaqbu>lannya;
dan jika ditemukan riwayat yang sama dari jalur lain dengan menggunakan model
periwayatan sima>‘ (menggunakan kata sami‘tu dalam periwayatannya), maka
semakin jelaslah bahwa ‘illah yang ada dalam hadis pertama bersifat tidak
menciderai.
Kedua, ‘illah yang ada dalam sanad dan menciderai sanad saja, tanpa
menciderai matannya. Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh Ya’la> ibnu ‘Ubaid
41
S{amadi, Naz}ariyyah, hlm. 4.
42
Mah}mu>d At}-T{ah}h}a>n, Us}u>l at-Takhri>j wa Dira>sah al-
Asa>ni>d, cet. II, (Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1991), hlm. 197.
43
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id Us\u>l, hlm. 133.
S{amadi, Naz}ariyyah, hlm. 8. Lihat juga az-Zarka>syi, Badruddi>n,
44

an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn as}-S{ala>h}, Riya>d}:Ad}wa> as-Salaf,


1419 H/1988 M), II/214-215, dan as-Suyu>t}i>, Tadri>b ar-Ra>wi, I/254.
45
Perawi meriwayatkan hadis dari orang yang sebenarnya tidak ia
dengar langsung riwayatnya, namun ia berlagak seolah-olah mendengar hadis
tersebut darinya, dengan redaksi yang mengandung unsur sima’ dan lainnya,
misalnya: “Qa>la” atau “‘an” untuk memberikan kesan bahwa ia
mendengarnya langsung dari orang tersebut. Lihat At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r,
hlm. 66.

(11)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

dari at}-T{ana>fisi dari as\-S|aur dari ‘Amru> ibnu Di>na>r dari

Ibnu ‘Umar dari Rasulullah saw.; beliau bersabda: “ْ‫ار‬ ِ ْ ‫ن بِال‬


ِ َ ‫خي‬ ِ ‫( ” بَيِّعَا‬Penjual dan
pembeli memiliki hak khiyar). Di sini, Ya’la keliru dalam menyebut ‘Amru ibnu
Dinar, sebab yang tepat adalah ‘Abdullah ibnu Dinar. Ralat ini merujuk pada
riwayat yang dilansir oleh para imam yang merupakan sahabat/murid as\-S|
auri>, seperti al-Fad}l ibnu Dukain, Muh}ammad ibnu Yu>suf al-
Firya>ni, dan lain-lain.
Ketiga, ‘illah yang ada dalam sanad dan menciderai sanad sekaligus
matannya. Contoh, apa yang menimpa Abu> Usa>mah H{amma>d ibnu
Usa>mah al-Ku>fi>, salah seorang perawi s\iqah dari ‘Abdurrah}ma>n
ibnu Yazi>d ibnu Ja>bir –salah seorang perawi s\iqah dari Syam-. Konon
‘Abdurrah}ma>n ibnu Yazi>d ibnu Ja>bir datang ke Kufah dan
menyampaikan hadis di sana, namun Abu> Usa>mah tidak mendengar hadis
ini langsung dari ‘Abdurrah}ma>n ibnu Yazi>d ibnu Ja>bir. Beberapa
waktu kemudian, datang ‘Abdurrah}ma>n ibnu Yazi>d ibnu Tami>m –
salah seorang perawi da‘if dari Syam juga. Abu> Usa>mah mendengarkan
hadis darinya, lalu ia bertanya tentang namanya, dan dijawab:
‘Abdurrah}ma>n ibnu Yazi>d (saja tanpa menyebutkan nama belakangnya
lagi). Abu> Usa>mah mengira bahwa ia adalah ‘Abdurrah}ma>n ibnu
Yazi>d ibnu Ja>bir, maka ia menyatakan diri mendapat hadis darinya dan
menisbatkannya apa yang disampaikan ‘Abdurrah}ma>n ibnu Yazi>d
ibnu Tami>m pada ‘Abdurrah}ma>n ibnu Yazi>d ibnu Ja>bir.
Sehingga terdapat banyak kemunkaran pada riwayat Usa>mah dari Ibnu Jabir,
padahal keduanya s\iqah. Hal seperti ini hanya bisa diketahui oleh kalangan
kritikus hadis yang kemudian melakukan pemilahan dan menjelaskannya,
misalnya al-Bukha>ri>, Ibnu Abi Hatim, dan lainnya.
Keempat, ‘illah yang ada dalam matan dan tidak menciderai matan
maupun sanadnya. Contoh, perbedaan redaksi dalam hadis-hadis S{ah}i>h}
al-Bukha>ri> dan S{ah}i>h} Muslim. Jika semuanya bisa dikembalikan
pada satu makna (pengertian), maka unsur pencideranya menjadi hilang.

(12)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Misalnya, riwayat Umar yang bercerita bahwa pada masa Jahiliyyah dulu
ia pernah bernaz\ar untuk melakukan i’tikaf selama sehari di Masjidil Haram,
maka dalam satu versi Nabi saw. bersabda: “Pergi dan i’tikaflah sehari!” Namun
dalam versi lain, Nabi saw. bersabda, “Pergi dan i’tikaflah semalam!” Perbedaan
redaksi matan “sehari” dan “semalam” menurut Imam an-Nawawi tidak sampai
menciderai matan maupun sanad, karena barangkali Umar bertanya pada Nabi
tentang i’tikaf sehari dan ia ditanya tentang i’tikaf semalam.46
Kelima, ‘illah yang ada dalam matan dan menciderai matan maupun
sanadnya. Contoh, hadis yang diriwayatkan bi al-ma‘na> oleh seorang perawi,
namun spekulasinya salah, sebab yang dimaksud oleh lafal hadis bukan seperti
yang ia tulis. Hal tersebut tentu saja berimplikasi pada kecacatan matan maupun
sanad riwayat tersebut.
Misalnya, hadis dari Jari>r ibnu Yazi>d dari Anas ibnu Ma>lik,
dan Ibnu Abi> Laila> dari Abdul Kari>m dari Anas ibnu M>alik
bahwa Rasulullah saw. berwudhu dengan menggunakan dua liter air. Ini adalah
riwayat bi al-ma‘na yang salah dan d}a’i>f sanadnya, sebab yang shahih dari
Anas adalah Rasulullah saw. berwudhu dengan satu mud.47
Keenam, ‘illah yang ada dalam matan dan hanya menciderai matannya
minus sanadnya. Contoh, hadis yang diriwayatkan tunggal oleh Muslim dari
narasi Anas dengan redaksi lugas yang menafikan
“Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m”. 48

46
Bâzmal, Ahmad ibnu Umar ibnu Salim, Al-Muqtarib fi> Baya>n al-Mud}t}arib,
I/110.
Lihat al-Baihaqi, Ah}mad ibnu al-H{usain, Sunan al-Baihaqi al-Kubra>,
47

tahqiq Muh}ammad ‘Abdul Qa>dir ‘At}a>, (Makkah: Maktabah Da>r al-Ba>z,


1414 H/1994 H), IV/171, hadis no. 7513.
48
Redaksi lengkap hadis tersebut adalah:
َ َ َ َ
‫م وَأَب ِي‬ َ ّ ‫سل‬ َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬ ُ َ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ‫ي‬ ّ ِ ِ ‫ف النَّب‬
َ ْ ‫خل‬َ ‫ت‬ ُ ْ ‫صل ّي‬ َ ‫ل‬ َ ‫ك قَا‬ ٍ ِ ‫مال‬ َ ‫ن‬ ِ ْ‫س ب‬
ِ َ ‫ن أن‬
َ َ‫ع‬
ْ
‫ن َل‬
ََ ‫مي‬
ِ َ ‫ال‬ ‫ع‬
َ ْ ‫ال‬ ‫ب‬َ ّ
ِ َ ‫ر‬ ِ ‫ه‬ َ ّ ‫ل‬ِ ‫ل‬ ‫مد‬
َ ْ ‫ح‬َ ْ ‫ال‬ ‫ب‬
َِ ‫ن‬
َ ‫حو‬
ُ ِ ‫ْت‬ ‫ف‬َ ‫ست‬
ْ َ َ ‫ي‬ ‫وا‬ ُ ‫ان‬َ ‫ك‬ َ ‫ف‬ ‫ن‬
َ َ ‫ما‬
َ ْ ‫ُث‬ ‫ع‬ ‫و‬
َ َ‫ر‬ ‫م‬
َ ُ ‫ع‬َ ٍ ْ ‫بَك‬
‫و‬ ‫ر‬
َ َ
‫خرِهَا‬ ِ ‫ل قَِراءَةٍ وََل فِي آ‬ ِ ‫حيم ِ فِي أ َّو‬ ِ ‫ن الَّر‬ ِ ‫م‬
َ ‫ح‬ ْ ‫سم ِ الل ّهِ الَّر‬ ْ ِ‫ن ب‬َ ‫يَذ ْكُُرو‬
“Dari Anas ibnu Malik, ia berkata: Aku shalat di belakang Nabi saw.,
Abu Bakar, Umar, dan Utsman; dan mereka langsung mengawali bacaan
dengan “Alhamdulillahi rabbi al-‘alamin” tanpa membaca
“Bismillahirrahmanirrahim” di awal bacaan maupun di akhirnya.” (Shahih
Muslim, Kitab as}-S{ala>h, Bab H{ujjah Man Qa>la La> Yajhar bi al-
Basmalah, hadis nomor 606).

(13)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Para kritikus hadis menilai hadis dengan redaksi tersebut ma‘lu>l


mengingat mayoritas ulama’ menyatakan keabsahan membaca basmalah di awal
surah al-Fatihah. Menurut mereka, Muslim atau salah seorang perawi dalam
sanadnya memahami hadis yang sudah menjadi kesepakatan bersama al-
َ
Bukha>ri> dan Muslim: “‫ن‬ ِ َ ‫ب ال ْ َعال‬
َ ‫مي‬ ِّ ‫مد لِل ّهِ َر‬ َ ْ ‫ب ال‬
ْ ‫ح‬ ِ ‫ن‬ ْ َ ‫”فَكَانُوا ي‬
ُ ِ ‫ستَفْت‬
َ ‫حو‬
ini dengan pemahaman bahwa mereka tidak membaca basmalah, lalu ia
meriwayatkannya menurut pemahamannya, dan salah, sebab arti sebenarnya hadis
tersebut adalah bahwa surah yang mereka baca pertama adalah surah al-Fatihah
dan tidak ada hubungannya dengan dibaca tidaknya basmalah.49
Dari paparan di atas, bisa kita catat satu kebiasaan penting yang berlaku
luas di kalangan ahli hadis, bahwa mereka kadang menta‘li>l hadis berdasarkan
‘illah yang tidak menciderai (‘illah ghair qa>dih}ah), sehingga sebagian
kalangan menyangka bahwa semua hadis yang dinyatakan ma‘lu>l oleh
kalangan ahli hadis pasti d}a‘i>f, padahal kenyataannya tidak musti demikian.

Fenomena-Fenomena Hadis Ma‘lu>l


Al-H{a>kim an-Naisabu>ri> menginventarisir fenomena-fenomena
hadis yang terinfeksi ‘illah ke dalam sepuluh kategori dalam kitabnya, Ma'rifah
'Ulu>m al-H{adi>s\, sebagai berikut:50
1) Sanad hadis kelihatan s}ah}i>h}, namun di dalamnnya ada orang yang
diketahui tidak pernah mendengar langsung dari orang yang ia riwayatkan
hadisnya. Contoh: Hadis doa kaffarah al-majlis:
َ ‫ي واسم‬ َّ ‫ن أَبِي ال‬ َ
‫ن‬
ُ ْ ‫مد ُ ب‬ َ ‫ح‬
ْ ‫هأ‬ ُ ُ ْ َ ُّ ِ‫سفَرِ الْكُوف‬ ُ ْ ‫حدَّثَنَا أبُو عُبَيْدَةَ ب‬ َ
َ َ َ َ َ َ ْ َ َ ُ ْ َّ
‫ن‬
ُ ْ ‫اب‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ق‬ ٍ ‫د‬ ‫م‬ ّ ‫ح‬
َ ‫م‬
ُ ‫ن‬
ُ ْ ‫ب‬ ‫ج‬
ُ ‫جا‬ ّ ‫ح‬
َ ‫ال‬ ‫ا‬َ ‫ن‬ ‫ث‬ ّ ‫د‬ ‫ح‬
َ ‫ي‬ ّ ِ ‫ان‬َ ‫د‬ ‫م‬
ْ َ ‫ه‬ ‫ال‬ ِ ‫ه‬ ‫عَبْد ِ الل‬

49
Lihat Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 134.
Al-H{a>kim, Ma‘rifah, hlm. 113-119. Lihat juga S{ubh}i}, Ulu>m al-
50

Hadi>s, hlm. 183-185, dan Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 134-137.

(14)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

‫ن أَبِي‬ ِ ْ‫ل ب‬ِ ْ ‫هي‬ َ ‫س‬ُ ‫ن‬ ْ ‫ع‬ َ ‫ة‬ َ َ ‫قب‬ْ ‫ع‬ُ ‫ن‬ ُ ْ ‫سى ب‬ َ ‫مو‬ ُ ‫خبََرنِي‬ ْ َ ‫جَريٍْج أ‬ ُ
َ ُ َ ‫ن أَبِي هَُريَْرةَ قَا‬ َ َ ‫صال ِح ع‬
ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ل َر‬ َ ‫ل قَا‬ ْ َ ‫ن أبِيهِ ع‬ ْ ٍ َ
َ َ َ
ِ‫س فَكَثَُر فِيه‬ ٍ ِ ‫جل‬ ْ ‫م‬ َ ‫س فِي‬ َ َ ‫جل‬ َ ‫ن‬ْ ‫م‬ َ ‫م‬ َ ّ ‫سل‬ َ َ‫ه عَلَيْهِ و‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ
َ َ ‫ل قَب‬
َ َ ‫حان‬
‫ك‬ َ ْ ‫سب‬ُ ‫ك‬ َ ِ ‫سهِ ذَل‬ ِ ِ ‫جل‬ْ ‫م‬ َ ‫ن‬ ْ ‫م‬ِ ‫م‬َ ‫ن يَقُو‬ ْ ‫لأ‬ ْ َ ‫ه فَقَا‬ ُ ُ ‫لَغَط‬
َ َ ‫شهد أ َن َل إل َه إَّل أَنت أ َستغْفر‬ َ َ ‫م وبحمد‬ َ
‫ب‬ُ ‫ك وَأتُو‬ ُ ِ َ ْ َ ْ ِ َ ِ ْ ُ َ ْ ‫كأ‬ ِ ْ َ ِ َ َّ ُ‫الل ّه‬
َ َ َ
َ ‫ما كَا‬ ُ َ ‫ك إ ِ ّل غُ ِفَر ل‬
51 َ
‫سهِ ذَل ِك‬ ِ ِ ‫جل‬ ْ ‫م‬ َ ‫ن فِي‬ َ ‫ه‬ ْ ‫إِلي‬
Di dalam rangkaian sanad hadis ini, Musa ibnu ‘Uqbah seolah-olah mendapat
hadis langsung dari Suhail ibnu Abi S{a>lih}, meski tanpa menyebut
“Sami‘tu” atau “h}addas\ana>” dan sejenisnya, padahal ia tidak pernah
mendengarkannya langsung dari Suhail.
2) Hadis diriwayatkan secara mursal52 dari jalur para perawi yang s\iqah dan
h}a>fiz\, namun disanadkan dengan gaya yang kelihatannya s}ah}i>h}.
Contoh, hadis Qubais}ah ibnu ‘Uqbah dari Sufya>n dari Kha>lid
al-H{az\z\a>’ dan ‘A<s}im dari Abu> Qila>bah secara marfu>’:
َ َ ‫متِي أَبو بكْر وأ‬ ُ ‫متي بأ‬ ُ ‫أ َرح‬
َ ُ‫ن الل ّهِ ع‬
‫مُر‬ ِ ‫ي‬ِ ‫د‬ ‫ي‬ِ ‫ف‬ ‫م‬
ْ ُ ‫ه‬ُ ّ ‫د‬ َ
‫ش‬ َ ٍ َ ُ َ ّ ِ ِ َّ ‫م أ‬
ُ َ ْ
Andai kata sanad hadis ini s}ah}i>h}, tentu ia akan dimasukkan dalam
S{ah}i>h} al-Bukha>ri> atau Muslim. Namun nyatanya tidak, karena
Kha>lid al-H{az\z\a> meriwayatkannya dari Abu> Qila>bah secara
mursal.
3) Hadis diriwayatkan secara mahfu>z}53 dari seorang sahabat
(s}ah}a>bi>), namun kemudian diriwayatkan dari selain
s}ah}a>bi> -yang lebih rendah tingkat kesiqahannya,
berdasarkan perbedaan domisili para perawinya, misalnya
riwayat orang-orang Madinah lebih unggul daripada riwayat orang-orang
Kufah.
Sunan at-Tirmi>z\i>, (Kitab ad-Da’awa>t, Bab Ma> Yaqu>lu Iz\a>
51

Qa>ma min al-Majlis, Hadis nomor 3355).


52
Para perawi setelah tabi’i dalam rangkaian sanadnya dihilangkan.
Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih s\iqah berbeda
53

dengan riwayat perawi lain yang s\iqah.

(15)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Contoh, hadis Mu>sa> ibnu ‘Uqbah dari Abu> Ish}a>q dari


ayahnya secara marfu>’:
َ َ َ َ َ َ َّ َ ‫أ‬
ْ ‫ل إِنِّي َل‬
‫ستَغْفُِر‬ َ ّ ‫سل‬
َ ‫م قَا‬ َ َ‫ه عَلَيْهِ و‬ُ ّ ‫صل ّى الل‬
َ ِ‫ل الل ّه‬ ‫سو‬ ُ ‫ن َر‬
َ َ
ٍ‫مَّرة‬ ِ ِ ‫ب إِلَيْهِ فِي الْيَوْم‬
َ َ ‫مائ‬
َ ‫ة‬ ُ ْ‫ه وَأتُو‬ َ ّ ‫الل‬
Hadis ini ma’lu>l, karena ada versi lain yang diriwayatkan secara
mah}fu>z} dari jalur Abu> Burdah dari al-Agharr al-Muzani al-Madani.
4) Suatu hadis sudah mah}fu>z} dari seorang sahabi, namun kemudian
diriwayatkan dari seorang tabi’i yang terjerembab waham dengan memberikan
pernyataan lugas yang mengesankan kesahihan riwayatnya, padahal hadis
tersebut tidak dikenal dari jalurnya. Contoh, hadis Zuhair ibnu
Muh}ammad dari ‘Usman ibnu Sulaiman dari ayahnya, bahwasanya ia
mendengar Rasulullah saw. membaca surah at}-T{u>r saat shalat maghrib.
Hadis ini ma‘lu>l, karena ayah ‘Us\ma>n tidak pernah mendengar
maupun melihat langsung Rasulullah saw., akan tetapi ia meriwayatkannya
dari Na>fi‘ ibnu Jubair dari Mut}‘im dari ayahnya.
5) Suatu hadis diriwayatkan dengan model “‘an‘anah” namun ada satu perawi
yang digugurkan. Hal ini ditunjukkan oleh riwayat hadis tersebut dari jalur
lain yang mah}fu>z}. Contoh, hadis Yu>nus dari Syiha>b dari ‘Ali
ibnu al-H{usain dari beberapa orang Ans}a>r bahwa mereka pernah
bersama Rasulullah saw., lalu beliau menunjuk sebuah bintang, dan bintang
tersebut langsung bersinar terang. Hadis ini ma‘lu>l karena Yu>nus
meringkas sanadnya, sebab hadis tersebut sebenarnya dari Ibnu ‘Abba>s:
“Saya diceritai oleh beberapa orang…” Versi terakhir ini diriwayatkan oleh
Ibnu ‘Uyainah, Syu’aib dan lain-lain dari az-Zuhairi.
6) Adanya perbedaan versi dalam menyebut seseorang pada rangkaian sanad,
sementara dalam versi lain ia sudah diriwayatkan secara mah}fu>z}
darinya. Contoh, hadis Ali ibnu al-H{usain ibnu al-Wa>qid dari
ayahnya dari ‘Abdullah ibnu Buraidah dari ayahnya dari ‘Umar, bahwasanya
ia berkata… (dan seterusnya). Hadis ini ma‘lu>l, karena adanya riwayat
mah}fu>z}ah yang bersanad dari ‘Ali ibnu Khasyram: Kami diberi hadis

(16)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

oleh Ali ibnu al-H{usain ibnu al-Wa>qid: Aku mendapat informasi


bahwa Umar berkata…(dan seterusnya).
7) Adanya perbedaan versi dalam menyebut nama guru atau meng-anonim-
kannya. Contoh, hadis:

ٌ ‫ب لَئِي‬
‫م‬ ٌّ ‫خ‬ ِ ‫م وَالْفَا‬
ِ ‫جُر‬ ٌ ‫ن ِغٌّر كَرِي‬ ُ ْ ‫ال‬
ِ ْ‫مؤ‬
ُ ‫م‬
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu> Syiha>b dari as\-S|auri> dari
H{ajja>j ibnu Fara>fisah dari Yah}ya> ibnu Abi Kas\i>r dari
Abu> Salamah dari Abu> Hurairah secara marfu>‘. Dalam versi lain,
Muh}ammad ibnu Kas\i>r meriwayatkannya dengan sanad berbeda, yakni
dengan meng-anonim-kan Yah}ya> ibnu Abi Kas\i>r dan menyebutnya
dengan “seorang laki-laki”. Hadis dengan riwayat Muh}ammad ibnu
Kas\i>r ini dengan demikian ma‘lu>l.
8) Perawi menjumpai seseorang dan mendengarkan hadis darinya, namun ia
tidak mendengar beberapa hadis tertentu darinya. Jika ia mengklaim
meriwayatkan hadis-hadis yang tidak didengarnya tersebut tanpa perantara
orang lain, maka hadis tersebut ma‘lu>l. Contoh hadis:

‫حيَى‬
ْ َ‫ن ي‬
ْ َ‫ى ع‬ ْ َّ ‫م الد‬
ُّ ِ ‫ستَوَائ‬ ٌ ‫شا‬ َ ِ‫خبََرنَا ه‬ ْ َ‫ن أ‬ َ ‫ن هَاُرو‬ ُ ْ ‫خبََرنَا يَزِيد ُ ب‬ْ َ‫أ‬
‫صلى الله عليه‬- ‫ى‬ َّ ِ ‫ن النَّب‬ َّ َ ‫ك أ‬
ٍ ِ ‫مال‬ َ ‫ن‬ ِ ْ‫س ب‬
َ َ ‫بن أَبى كَثِير ع‬
ِ َ ‫ن أن‬ ْ ٍ ِ ِ ْ
‫م‬ُ ُ ‫عنْدَك‬ ِ ‫ أَفْطََر‬:‫ل‬ َ ‫س قَا‬ ُ
ٍ ‫عنْد َ أنَا‬ ِ ‫ن إِذ َا أَفْطََر‬ َ ‫ كَا‬-‫وسلم‬
ُ ُ ‫ت ع َلَيْك‬
‫م‬ َ
ْ َ ‫ وَتَنََّزل‬،‫م البَْراُر‬ ُ ُ ‫مك‬ َ ‫ل طَعَا‬ َ َ ‫ وَأَك‬،‫ن‬ َ ‫مو‬ َّ ‫ال‬
ُ ِ ‫صائ‬
َ ْ ‫ال‬
ُ َ ‫ملَئِك‬
‫ة‬
Hadis ini dinyatakan shahih sanadnya oleh ad-Darimi54, namun jika diteliti
lebih lanjut, Yahya ibnu Abi Kasir ternyata tidak pernah mendengar langsung
hadis ini dari Anas ibnu Malik, meskipun ia pernah berinteraksi dengannya.
Hal ini dibuktikan dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mubarak dari
Hisyam dari Yahya, ia berkata: “H|uddis\tu ‘an Anas” (Aku diberi hadis
dari Anas), dan seterusnya.
54
Ad-Da>rimi, Abdullah ibnu Abdurrah}ma>n, Sunan ad-Da>rimi,
tahqiq Fu’ad Ahmad Zumarli dkk, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1407 H), II/40,
hadis no. 1772.

(17)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

9) Suatu hadis sudah memiliki jalur periwayatan yang makruf, lalu seorang
perawi dalam sanad tersebut meriwayatkannya dari jalur lain, sehingga ia
terjebak dalam waham. Misalnya, hadis al-Munz\ir ibnu Abdulla>h al-
H{iza>mi dari Abdul Aziz ibnu al-Majisyu>n dari Abdulla>h
ibnu Di>na>r dari Ibnu Umar:

َ ‫صلَة َ قَا‬
‫ل‬ َّ ‫ح ال‬ َ ‫ كَا‬-‫صلى الله عليه وسلم‬- ‫ى‬
َ َ ‫ن إِذ َا افْتَت‬ َّ ِ ‫ن النَّب‬ َّ َ ‫أ‬
…‫م‬ َّ ُ‫ك اللَّه‬ َ َ ‫حان‬ َ ْ ‫سب‬ ُ
Al-Hakim mengatakan: Hadis ini memiliki ‘illah, karena al-Munz\ir
sebenarnya mendapatkan hadis ini dari Abdul Aziz ibnu al-
Majisyu>n dari Abdullah ibnu al-Fad}l dari al-A‘raj dari
‘Ubaidillah ibnu Abi Ra>fi‘ dari Ali.
10) Suatu hadis di satu sisi diriwayatkan secara marfu>‘ dan di sisi lain
diriwayatkan secara mauqu>f. Misalnya hadis pengulangan shalat karena
tertawa tanpa perlu berwudhu lagi. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Farwah
ar-Ra>ha>wi> dari ayahnya dari kakeknya dari al-A‘masy dari Abu>
Sufya>n dari Ja>bir dari Rasulullah saw. secara marfu‘. Sementara
Waki>‘ meriwayatkannya secara mauquf (berhenti pada Ja>bir).55
Perlu diingat, bahwa kesepuluh fenomena yang dipaparkan al-H{a>kim
di atas hanyalah sampel belaka, dan masih banyak lagi fenomena hadis ma‘lu>l
yang hanya diketahui oleh kalangan ahli hadis yang benar-benar pakar di
bidangnya.

(III)
TEORI SYUZ|UZ| DAN FENOMENA HADIS SYA<Z|Z|
Kajian disiplin ilmu hadis lainnya yang tak kalah penting adalah kajian
tentang fenomena syuz\u>z\. Ia bahkan lebih utama untuk diberi perhatian
khusus, karena ia berhubungan erat dengan teori ‘illah dan proses pen-ta‘li>l-an
hadis. Mengkaji fenomena ini berarti kita juga mengkaji fenomena hadis-hadis

55
Lebih lanjut mengenai contoh item 8-10, silakan rujuk: Al-H{a>kim,
Ma‘rifah, hlm. 113-119; S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 183-185; dan Umar
Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 134-137..

(18)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

munkar, mursal khafiy, mud}t}arib, dan ma‘lu>l. Sehingga bisa dikatakan


bahwa ia merupakan “inti” ilmu hadis atau must}alah} al-hadi>s\.56

Definisi Sya>z\z\
Menurut arti bahasa, sya>z\z\ adalah isim fa’il dari akar kata “ ُّ‫شذ‬
ُ َ ‫شذ َّ ي‬
َ
ُ ” berarti infarad (menyendiri). Sehingga sya>z\z\ berarti oknum yang
‫شذ ُوْذ‬
menyebal dari mayoritas (al-munfarid ‘an al-jumhu>r).57
Sementara itu, dari sisi terminologis, para ulama hadis berbeda pandangan
dalam mendefinisikan hadis sya>z\z58, namun ada dua unsur penting
yang menjiwai keseluruhan definisi yang dikemukakan oleh para
ahli hadis; yaitu al-infira>d (kesendirian) dan al-mukha>lafah
(penyimpangan).
Dalam pengertian umum yang selama ini dijadikan pegangan, hadis
sya>z\z\ didefinisikan sebagai “hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
s\iqah yang berbeda dengan riwayat para perawi s\iqah lainnya.” Namun al-
H{afiz\ Ibnu H{ajar meragukan efektifitas definisi ini dalam mendekatkan
jurang perbedaan antara dua istilah sya>z\z\ yang dinisbatkan pada asy-
Sya>fi'i dan al-H{a>kim.59 Ia pun mengajukan definisi yang
menurutnya paling otoritatif berdasarkan istilah, bahwa hadis
sya>z\z\ adalah “hadis yang diriwayatkan oleh perawi maqbu>l
yang berbeda dengan orang yang lebih otoritatif dari dirinya.”60
Terkait dengan definisi sya>z\z\, Imam asy-Syafi'i sebagaimana lansir
Ibnu Abu> Hatim dalam kitab “Adab asy-Sya>fi‘i”, mengatakan: “Hadis
sya>z\z\ adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi s\iqah yang
berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh orang-orang.” Ia

56
Syaikh Muh}ammad ِAbd al-‘Azi>z ibnu Muh}ammad as-Sa‘i>d,
Silsilah Ta‘li>m Mus}t}alah} al-H{adi>s\, (Kumpulan makalah ulumul hadis
tidak diterbitkan), Pembahasan: Definisi asy-Sya>z\z\ dan al-Munkar.
57
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r al-Mus}t}alah} \, hlm. 97.
58
Lihat perdebatan lebih lanjut pada Al-Mali>ba>ri>, al-H{adi>s\ al-
Ma’lu>l, hlm. 52-54.
59
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 196.
60
At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r al-Mus}t}alah} \, hlm. 97.

(19)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

lebih lanjut menjelaskan: "Sya>z\z\ dalam hadis bukanlah hadis yang


diriwayatkan oleh perawi s\iqah yang bertentangan dengan apa yang tidak
diriwayatkan oleh selainnya, akan tetapi hadis sya>z\z\ adalah jika seorang
perawi s\iqah meriwayatkan hadis yang berbeda dengan apa yang diriwayatkan
oleh para perawi lain."61
Dalam hal ini, asy-Sya>fi'i tidak menekankan unsur infira>d
(kesendirian), melainkan juga menekankan unsur infira>d dan mukha>lafah
sekaligus. Definisi ini dipegang oleh jumhur ulama dan diunggulkan oleh Ibnu
as}-S{ala>h}. Dari sini, Ibnu Kas\i>r mengambil konklusi bahwa jika
seorang perawi s\iqah meriwayatkan hadis yang tidak diriwayatkan oleh perawi
lain, maka hadisnya tetap bisa diterima selama ia meang a>dil, d}a>bit},
dan h}a>fiz\. Sebab jika hadis seperti ini ditolak, maka akan banyak sekali
hadis model demikian yang tertolak, dan konsekuensinya akan muncul banyak
sekali permasalahan yang terlepas dari dalil-dalilnya (baca: tidak memiliki dasar
hukum). Hal ini dipertegas lagi oleh Ibnu al-Qayyim bahwa syuz\u>z\ adalah
jika para perawi s\iqah meriwayatkan hadis yang berbeda dengan yang lain,
sementara jika ia meriwayatkan hadis sendirian dan tidak ada perawi s\iqah lain
yang meriwayatkan hadis sebaliknya, maka hadis demikian tidak bisa disebut
sya>z\z\.62
Sementara itu, al-H{a>kim berpandangan bahwa sya>z\z\ adalah
“hadis yang diriwayatkan sendirian oleh seorang s\iqah dan hadis tersebut tidak
memiliki dasar (al-as}l) yang bisa dirunut pada perawi s\iqah tersebut.”63 Bisa
dilihat di sini, al-H{a>kim lebih menekankan unsur kesendirian daripada unsur
penyimpangan, meskipun ia menyebutkannya secara ekplisit dengan ungkapan:
"dan hadis tersebut tidak memiliki dasar (al-as}l) yang bisa dirunut pada perawi
s\iqah tersebut".
Al-H{a>kim kemudian memberikan contoh hadis Abu> Bakr
Muh}ammad ibnu Ahmad ibnu Baluwaih dari al-Lais\ ibnu Sa'ad
dari Yazi>d ibnu Abu> H{abi>b, dari Abu> at}-T{ufail dari
61
S{ubh}i }, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 196.
62
Ibid., hlm. 197.
63
Al-H{a>kim, Ma‘rifah, hlm. 119.

(20)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Mu'a>z\ ibnu Jabal bahwasanya sewaktu Perang Tabuk jika Nabi saw. pergi
sebelum condong matahari, maka beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan
menjamaknya dengan Asar, lalu melaksanakan keduanya sekaligus, sementara jika
beliau berangkat setelah matahari condong, beliau shalat Dhuhur dan Ashar
bersama-sama (di waktu Dhuhur), lalu berangkat. Begitu juga jika beliau
berangkat sebelum maghrib, maka beliau mengakhirkan shalat maghrib dan
melaksanakannya bersama Isya`, sementara jika berangkat setelah maghrib, beliau
mendahulukan shalat Isya` dan melaksanakannya bersama-sama shalat maghrib."
Hadis ini menurut al-H{a>kim berstatus sya>z\z\ dari segi sanad maupun
matan. Ia mengatakan: "Kami tidak menjumpai matan seperti ini dalam sahabat-
sahabat/murid-murid Ibnu at}-T{ufail atau pada seorangpun dari
orang-orang yang meriwayatkannya dari Mu'a>z\ ibnu Jabal dari
Ibnu at}-T{ufail, sehingga kami menyatakannya sebagai hadis
sya>z\z\."64
Definisi al-H{a>kim ini dinyatakan lemah oleh Ibnu as}-S{ala>h}
dan dibantahnya dengan mengemukakan hadis "Innama> al-a'ma>l bi an-
niya>t". Hadis ini diriwayatkan seorang diri oleh ‘Umar, kemudian
diceritakannya pada ‘Alqamah, lalu pada Muh}ammad ibnu Ibrahim at-Taimi,
lalu Yah\ya> ibnu Sa'ad al-Ans}a>ri. Meski diriwayatkan tunggal
(sendirian) oleh ‘Umar, hadis ini tetap dinyatakan shahih, dan hadis s}ah}i>h}
tentu saja bebas dari syuz\u>z\.65
Di samping dua definisi di atas, para kritikus hadis juga menyebutkan
sebuah definisi lagi yang dikemukakan oleh Abu> Ya'la al-Khalili, bahwa hadis
sya>z\z\ adalah “hadis yang hanya memiliki satu isna>d, baik perawinya
s\iqah maupun tidak; dengan pengertian bahwa jika perawinya tidak s\iqah,
maka hadis tersebut adalah hadis matru>k yang tidak diterima, sementara jika
diriwayatkan perawi s\iqah hadis tersebut di-pending (tawaqquf) status
kesahihannya dan tidak bisa dijadikan h}ujjah.”66 Jika definisi sya>z\z\ versi
Abu> Ya'la> al-Khali>li> ini diterima, maka ia akan memberikan implikasi
64
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s\, hlm. 197-198.
65
Ibid., hlm. 199-200.
66
Ibnu as}-S{ala>h, Muqaddimah Ibn as}-S{ala>h, I/14.

(21)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

yang membahayakan dalam disiplin must}alah} al-h}adi>s\, sebab definisi


ini dalam beberapa kondisi mentolerir penyematan syuz\u>z\ pada hadis-hadis
s}ah}i>h}.67
Dari paparan di atas, pendapat yang rajih menurut penulis adalah pendapat
jumhur yang membatasi sya>z\z\ dengan unsur kesendirian perawi s\iqah dan
unsur perbedaannya dengan para perawi s\iqah lainnya. Dengan bahasa simpul,
sya>z\z\ adalah apa yang diriwayatkan sendirian oleh seorang perawi s\iqah
yang berbeda dengan riwayat para perawi s\iqah yang lain. Riwayat pertama
yang menyimpang dan marju>h}ah disebut “sya>z\z\”, sementara riwayat
kedua yang rajih disebut “mah}fu>z}}”.68

Fenomena Syuz\u>z\ dalam Hadis dan Hukumnya


Sebagaimana halnya ‘illah, kasus syuz\u>z\ juga bisa terjadi pada
sanad maupun matan hadis.69 Jika matan atau sanad suatu hadis terinfeksi
syuz\u>z\, maka hadis tersebut mardu>d dan tidak bisa
dijadikan h}ujjah. Sebagai gantinya, kita bisa menggunakan
hadis yang sama yang diriwayatkan dengan matan atau sanad
versi lain yang bebas dari syuz\u>z\, atau yang sering disebut
dengan hadis mah}fu>z}.

a) Fenomena syuz\u>z\ dalam sanad:


Contoh, hadis yang yang diriwayatkan oleh at-Tirmi>z\i, an-Nasa>’i,
dan Ibnu Ma>jah dari jalur Ibnu ‘Uyainah dari ‘Amru> ibnu Di>na>r dari
‘Ausajah –maula Ibnu ‘Abba>s- dari Ibnu ‘Abba>s ra.:

‫ن‬ْ َ‫ة ع‬ َ ‫ج‬


َ ‫س‬ َ ْ‫ن عَو‬ ْ َ ‫ن دِينَارٍ ع‬
ِ ْ ‫مرِو ب‬
ْ َ‫ن ع‬
ْ َ ‫ن عُيَيْنَة ع‬ ُ ‫نب‬ ُ ‫حدَّثَنَا‬
ُ ‫سفْيَا‬ َ
َ َ َ َّ ََ ‫ن عَبَّا سٍَ أ‬
ُ َّ ‫صل ّى الل‬
‫ه‬ ََ ِ‫ل الل َّه‬ِ ‫سو‬َُ ‫ت ع َلَى عَهْد ِ َر‬ َ ‫جًل‬
ََ ‫ما‬ ُ ‫ن َر‬ ِ َْ ‫اب‬

67
S{ubh}i, Ulu>m al-Hadi>s, hlm. 201.
68
Umar Hasyi>m, Qawa>‘id, hlm. 130.
Ibid. Lihat juga Muh}ammad ibnu ‘Alawi, Al-Manhal al-Lat}i>f, hlm.
69

124 dan At}-T{ah}h}a>n, Taisi>r, hlm. 97.

(22)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

ُّ ِ ‫ه فَأَعْطَا هُ النَّب‬ َ َ َ
‫ي‬ ُ َ ‫عَبْدًا هُوَ أعْتَق‬ ‫م يَد َع ْ وَارِث ًا إ ِ ّل‬
ْ َ ‫م وَل‬
َ ّ ‫سل‬ َ َ ‫عَلَي ْهِ و‬
َ َ َ
ُ َ ‫ميَراث‬ َ ّ ‫سل‬َ َ‫ه عَلَيْهِ و‬ ُ ّ ‫صل ّى الل‬
70
‫ه‬ ِ ‫م‬ َ
Hadis ini diriwayatkan secara maus}u>l oleh Ibnu ‘Uyainah dengan
menyebut Ibnu ‘Abba>s. Langkah ini diikuti oleh Ibnu Juraij dan para perawi
lain. Namun H{amma>d ibnu Zaid mengambil langkah berbeda dengan
meriwayatkannya secara mursal dari ‘Amru> ibnu Di>na>r dari ‘Ausajah
tanpa menyebut Ibnu ‘Abba>s.
Hammad ibnu Zaid adalah perawi yang s\iqah dan d}abit}, namun
karena sanadnya berbeda dengan sanad para perawi lain yang meriwayatkan hadis
ini, maka hadis disebut “hadis sya>z\z\ al-isna>d” (hadis yang sanadnya
sya>z\z\) dan tidak bisa diterima sebagai dalil, sementara riwayat Ibnu
‘Uyainah adalah hadis yang mah}fu>z} dan menurut at-Tirmizi ia merupakan
hadis hasan yang bisa diterima.

b) Fenomena syuz\u>z\ dalam matan:


Contoh, hadis yang diriwayatkan oleh Abu> Dawud dan at-Tirmizi dari
hadis ‘Abd al-Wa>h}id ibnu Ziyad dari al-A‘masy dari Abu> S{a>lih} dari
Abu> Hurairah ra. secara marfu>‘:
َ َ ‫حد بن زياد حدَثَنا اْلَعْمش ع‬
‫ن‬
ْ َ ‫صالٍِح ع‬ َ ‫ن أبِي‬ ْ ُ َ َ ّ َ ٍ َ ِ ُ ْ ِ ِ ‫حدَّثَنَا عَبْد ُ الْوَا‬ َ
َ َ َ َ ُ َ ‫أَب َِي هَُريَْرةَ قَا‬
َ ّ ‫سل‬
‫م إِذ َا‬ َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬ ُ َّ ‫صل ّى الل‬
ََ ِ‫ل الل َّه‬ ‫سو‬َُ ‫ل َر‬ َ ‫ل قَا‬
َ ‫صلَّى أ‬
.71ِ‫مينِه‬ ِ َ ‫جعْ عَلَى ي‬ ِ َ ‫ضط‬
ْ َ ‫جرِ فَلْي‬
ْ ‫ي ال ْ َف‬ْ َ ‫ت‬َ ‫ع‬ْ ‫رك‬َ ‫م‬
ْ ُ ‫ك‬ُ ‫د‬ ‫ح‬
َ َ
Di sini, Abd al-Wa>h}id meriwayatkan hadis tersebut sebagai sabda
dan anjuran Nabi saw., padahal para perawi lain melansirnya sebagai perbuatan
Nabi saw. misalnya riwayat Sufya>n ibnu ‘Uyainah dari ‘A<’isyah yang
dilansir oleh al-Bukha>ri> dan diisyaratkan oleh at-Tirmi>z\i> setelah
meriwayatkan hadis di atas:

Sunan at-Tirmi>z\i> (Kitab al-Fara>’id}, Bab Fi Mi>ra>s\ al-Maula>


70

al-Asfal, Hadis no. 2252, Juz VIII/hlm. 209.


Sunan Abi Dawud, Kitab at-Tat}awwu‘, Bab Id}t}ija‘ ba‘daha Sunnah,
71

Juz IV/Hlm. 207, hadis no. 1263; dan Sunan at-Tirmi>z\i>, Kitab as}-S{ala>h,
Bab Ma Ja>’a fi al-Id}t}ija‘, Juz II/Hlm. 235, hadis no. 422.

(23)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

َ ََ ‫ل حدَثَن َِى سال ِم أَب و الن َضر ع‬


‫ن‬
ْ ََ ‫ة ع‬ َ َ ‫سل‬
َ ‫م‬ ََ ‫ن أب َِى‬ ْ ِ ْ ّ َُ ٌ ََ ّ َ َ ‫ن قَا‬ ُ ‫سفْيَا‬ َُ ‫حدَّثَن ََا‬ َ
َ َ َ َّ َ ‫ أ‬- ‫ رضى الله عنها‬- ‫ة‬
‫ن إِذ َا‬َ ‫م كَا‬ َ ّ ‫سل‬
َ َ ‫ه عَلَي ْهِ و‬
ُ ّ ‫صل ّى الل‬ َ ‫ى‬ َّ ِ ‫ن النَّب‬ َ ِ ‫ع َائ‬
َ ‫ش‬
َ َ
‫حت ََّى‬َ ََ ‫جع‬ َ َ ‫ضط‬ ْ ‫حدَّثَن َِى وَإِل ّ ا‬ ً َ ‫ستَيْقِظ‬
َ ‫ة‬ َْ ‫م‬ ُ ‫ت‬ ُ َْ ‫ن كُن‬ ْ ‫ة ال ْ َف‬
ْ َِ ‫جرِ فَإ‬ َُ ‫صل ّى‬
َ َّ ‫سن‬ ََ
72
ِ‫صلَة‬
َّ ‫ن بِال‬
َ َ ‫يُؤْذ‬
Dengan demikian, hadis Abd al-Wa>h}id merupakan “hadis sya>z\z\
al-matan” (hadis yang matannya sya>z\z\), sehingga tidak bisa diambil sebagai
h}ujjah. Dalam hal ini, kita tetap bisa menggunakan hadis ini sebagai dalil
dengan memakai riwayat versi para perawi lain, misalnya riwayat Sufya>n ibnu
‘Uyainah di atas.

c) Fenomena syuz\u>z\ dalam matan sekaligus sanad:


Al-H{a>kim an-Naisaburi menyebutkan sederet fenomena syuz\u>z\
lainnya yang terjadi dalam matan sekaligus sanad73, di antaranya:

‫حدثنَا أبَو العباس محمَد بَن أحمَد المحبوبَي بمرو الثقَة‬


‫المأمون مَن أصَل كتابَه قال حدثنَا أبَو الحسَن أحمَد بَن‬
‫سيار قال ثنا محمد بن كثير العبدي قال ثنا سفيان الثوري‬
‫ت‬ َ
ُ ََْ ‫ َرأي‬: ‫قال حدثنََي أبََو الزبيََر عََن جابر النصََاري قال‬
ُ َ َ
ُ‫صََلةِ الظ ّهْرِ يَْرفََع‬ َ ‫ي‬ َ ّ ‫سل‬
ْ َِ‫م ف‬ َ ََ‫ه عَلَي َْهِ و‬
ُ َّ ‫صل ّى الل‬
ََ ِ‫ل الل َّه‬ َ ْ‫سو‬َُ ‫َر‬
ْ
‫ن الُّركُوِْع‬َ ‫م‬
ِ ‫ه‬
ُ ‫س‬َ ‫يَدَيْهِ إِذ َا كَبََّر وَإِذ َا َركِعَ وَإِذ َا َرفَعَ َرأ‬
Hadis ini menurut al-H{a>kim “sya>z\z\ al-isna>d wa matn” (sanad
dan matannya sama-sama sya>z\z\), sebab para perawi lain yang meriwayatkan
soal mengangkat tangan saat takbir tidak menyebut kata-kata “dalam shalat
Dhuhur”, melainkan menyebutnya secara umum dalam keseluruhan shalat.74
Kemudian tidak ada seorangpun yang meriwayatkan hadis dari Abu> az-Zubair
S{ah}i>h} al-Bukha>ri, Kitab at-Tahajjud, Bab Man Tah}addas\a
72

Ba‘da Rak‘atain, IV/448, Hadis no. 1141.


Lebih lanjut mengenai contoh-contoh hadis sya>z\z\, lihat al-
73

H{a>kim, Ma‘rifah, hlm. 119-122.


Hadis mengenai masalah ini tanpa penyebutan salat Z}uhu>r antara
74

lain ditemukan dalam: Sunan Abi Da>wud: III/11/745, Sunan an-Nasa>’i:


III/6/1181, Sunan Ibn Ma>jah: III/160/905.

(24)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

selain Ibrahim ibnu T{ahman saja, sehingga sanad as\-S|auri> dari Abu>
Zubair dinilai sya>z\z\.75

(IV)
PENUTUP
Sebagai penutup, secara obyetif perlu penulis kemukakan
bahwa sulit sekali membedakan antara sya>z\z\ dan ma‘lu>l,
sebab ‘illah adalah perbedaan riwayat seorang perawi s\iqah
dengan riwayat para perawi s\iqah lainnya, begitu juga dengan
sya>z\z\? Lalu apa perbedaan mendasar antara keduanya?
Al-H{a>kim an-Naisaburi menjawab dengan tegas bahwa
hadis sya>z\z\ berbeda dengan hadis ma‘lul. Hadis ma‘lu>l
menurutnya bisa ditelusuri ‘illahnya melalui indikasi masuknya
suatu hadis dalam hadis lain, adanya waham seorang perawi di
dalamnya, atau pemaus>u>lan perawi wa>him atas hadis yang
dimursalkan perawi lain, dan indikasi-indikasi lain. Sementara
sya>z\z\ adalah hadis yang diriwayatkan sendirian oleh seorang
perawi siqah yang berbeda dengan riwayat para perawi s\iqah
lainnya dan ia tidak memiliki “as}l bi muta>bi’ li z\alika as\-
s\iqah”.76
Diferensiasi ini didukung oleh al-H{a>fiz} Ibnu H{ajar.
Dalam Nuzhah an-Naz}ar, ia berkomentar: “Berdasarkan hal ini,
hadis sya>z\z\ jauh lebih njlimet (rumit) daripada ma’lu>l,
sehingga ia tidak bisa ditetapkan statusnya kecuali oleh praktisi
hadis yang telah piawai menggeluti bidang ini, memiliki
pemahaman kelas tinggi, dan memiliki kredibilitas.”77 Hal senada
dikemukakan oleh as-Sakhawi.78

75
Ibid., hlm. 121.
76
Dikutip dari Rid}a>, Naz}ariyyah, hlm. 7.
77
Ibid.
78
Lihat As-Sakhawi, Fath al-Mughi>s\, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali,
(India: Ida>rah al-Buh}u>s\ al-Islamiyyah, 1407 H), I/232.

(25)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Dari sini, penulis berkesimpulan bahwa kedua istilah ini


sebenarnya memiliki unsur pertautan dan tidak mengandung
perbedaan yang signifikan. Pembedaan dilakukan oleh para
teoretisi ilmu hadis, karena menghormati vonis para kritikus
hadis bahwa ini adalah hadis ma‘lu>l dan ini hadis sya>z\z\.
Karena itu, hemat penulis, keduanya sama-sama bisa
dikerucutkan sebagai bentuk kesalahan pada diri perawi, karena
kesendirian perawi dalam meriwayatkan hadis dan perbedaan
riwayatnya dengan riwayat perawi lain, baik yang s\iqah maupun
tidak, merupakan jenis ‘illah yang membuat hadis yang
diriwayatkannya menjadi rancu dan tidak bisa dipastikan
statusnya kecuali melalui penelitian yang mendalam. Walla>hu
a‘lam bi as}-s}awa>b.
Sekarsuli, 12 Januari 2009

***

DAFTAR PUSTAKA

Ah}mad ‘Umar Hasyi>m, Prof. Dr., Qawa>‘id Us\u>l al-H{adi>s\,


Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.

al-Baihaqi, Ah}mad ibnu al-H{usain, Sunan al-Baihaqi al-Kubra>,


tahqiq Muh}ammad ‘Abdul Qa>dir ‘At}a>, (Makkah:
Maktabah Da>r al-Ba>z, 1414 H.

H{amzah ‘Abdulla>h al-Mali>ba>ri>, Prof. Dr., al-H{adi>s\ al-


Ma’lu>l: Qawa>’id wa D{awa>bit}, Beirut: Da>r Ibnu
H{azm dan Makkah: Al-Maktabah al-Makkiyyah, 1996.

Ibnu Kas\i>r, Al-H{a>fiz\, Al-Ba>'is\ al-H{as\i>s\ Syarh}


Ikhtis}a>r 'Ulu>m al-H{adi>s\, tah}qi>q Ah}mad
Muh}ammad Sya>kir, Beirut: Da>r al-Fikr, 1996.

(26)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

Mah}mu>d at}-T{ah}h}a>n, Prof. Dr., Taisi>r Mus}t}alah} al-


H{adi>s\, cet. VII, Riya>d}: Maktabah al-Ma'arif li an-Nasyr
wa at-Tauzi>', 1985.

_____, Us}u>l at-Takhri>j wa Dira>sah al-Asa>ni>d, cet. II,


Riya>d}: Maktabah al-Ma’a>rif, 1991.

Muh}ammad ِAbd al-‘Azi>z ibnu Muh}ammad as-Sa‘i>d, asy-


Syaikh, Silsilah Ta‘li>m Mus}t}alah} al-H{adi>s\,
(Kumpulan makalah ulumul hadis tidak diterbitkan).

Muh}ammad ibnu ‘Alawi al-Maliki al-H{asani, Al-Manhal al-


Lat}i>f fi Us}u>l al-H{adi>s\ asy-Syari>f, cet. IV, T.t.t:
Mat}a>bi‘ Sah}ar, 1982.

Muh}ammad Jama>l ad-Di>n al-Qa>simi, Qawa>'id at-Tah}di>s\


min Funu>n Must}alah} al-H{adi>s\, T.t.t.: Isa al-Haji, t.t..

Rid}a> Ah}mad S{amadi, Naz}ariyyah al-’illah ‘inda al-


Muh}addis\i>n, (Makalah tidak diterbitkan).

as-Sakhawi, Fath} al-Mughi>s\, tahqiq Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali,


India: Ida>rah al-Buh}u>s\ al-Isla>miyyah, 1407 H, I/232.

S}ala>h} ad-Di>n ibnu Ahmad al-Adlabi, Prof. Dr., Manhaj Naqd


al-Matan 'inda 'Ulama>’ al-H{adis\ an-Nabawi>, Beirut:
Da>r al-Afa>q al-Jadi>d, 1983.

T{a>hir ibnu S{alih} ibnu Ah}mad al-Jaza>’iri ad-Dimasyqi>,


Tauji>h an-Naz}ar ila Us}u>l al-As\ar, Madinah: Al-
Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.t.

az-Zarka>syi, Badruddi>n, an-Nukat ‘ala Muqaddimah Ibn as}-


S{ala>h}, Riya>d}:Ad}wa> as-Salaf, 1419 H/1988 M

Software Program:
- Harf IT Company, Mausu’ah al-Hadith asy-Syarif, Versi 2.1.

(27)
Fenomena ‘Illah dan Syuz\u>z\ dalam Hadis

- Website www.shamela.ws, Al-Maktabah asy-Sya>milah, Versi. 3.15.79

79
Rujukan dalam catatan kaki tanpa keterangan penulis maupun nama kota, penerbit, dan
tahun terbit, semuanya diambil dari al-Maktabah asy-Syamilah.

(28)

You might also like