Professional Documents
Culture Documents
Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa
mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang.
Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat
menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula.
Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis,
‘Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-
kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam
perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum
wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
Atas kesadaran tersebut, Kartini berniat melanjutkan sekolah ke Belanda, Aku mau meneruskan
pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar
yang telah kupilih” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Waktu itu, Kartini beranggapan
bahwa Eropa adalah tempat peradaban tertinggi dan paling sempurna di muka bumi. Namun,
rencana itu tak pernah berhasil. Kartini hanya mendapat kesempatan menempuh sekolah guru di
Betawi. Kesempatann ini pun batal dijalaninya karena dia harus menikah dengan R.M.A.A.
Singgih Djojo Adhiningrat.
Walaupun awalnya banyak menentang adat Jawa yang kaku dan kebiasaan bangsawannya
berpoligami, Kartini menerima pernikahan tersebut. Ada sebuah kesadaran di benaknya, dengan
menikah dia akan berkesempatan untuk mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Alasan
ini masuk akal karena suaminya adalah seorang bupati yang berkuasa dan mengizinkan bahkan
mendukungnya untuk mendirikan sekolah. Keputusan yang luar biasa dari seorang pahlawan
sejati.
Pada hari pernikahannya, seorang ustad dari Semarang, Haji Mohammad Sholeh bin Umar,
menghadiahkan beberapa juz al-Quran berbahasa Jawa. Kegelisahan Kartini terhadap agama
Islam pun terjawab. Sebelumnya, dalam kehidupan sehari-harinya Kartini hanya diajarkan
membaca al-Quran tanpa diizinkan untuk mengetahui artinya.
Setelah mempelajari al-Quran, pandangan Kartini terhadap beberapa hal pun berubah. Di
antaranya, pandangannya terhadap peradaban Eropa, “…, tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami,
tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu
menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang
sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27
Oktober 1902). Pandangan Kartini terhadap poligami pun berganti, jika awalnya menentang,
setelah mengenal ajaran Islam dia menerimanya.
13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada usia yang masih muda, 25 tahun dan dimakamkan di
Rembang. Untuk menghormatinya, Van Deventer, seorang tokoh politik Etis, mendirikan
Yayasan Kartini (1912). Yayasan tersebut bertugas mengelola “Sekolah Kartini” yang didirikan
di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
Ki Hajar Dewantara
Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia. Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan
Nasional. Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai
oleh Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun
karsa, ing ngarsa sungtulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang
untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).
Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda).
Kemudian, ia melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah
itu, dia bekerja sebagai wartawan di Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya sangat tajam dan patriotik
sehingga membangkitkan semangat antipenjajahan.
Selain menjadi wartawan, RM Soerwardi Soeryaningrat juga aktif di organisasi sosial dan
politik. Tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Kemudian, bersama Douwes
Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912)
yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Namun partai ini ditolak oleh pemerintah Belanda.
Akibat tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Pulau Bangka
oleh Gubernur Jenderal Idenburg tanpa proses pengadilan. Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan
untuk membela Soewardi. Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk
memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya, keduanya pun terkena hukuman buang,
Douwes Dekker ke Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo ke Banda.
Hukuman itu ditolak, mereka meminta untuk dibuang ke Negeri Belanda agar bisa belajar.
Keinginan tersebut diterima dan mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari pelaksanaan hukuman. Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan kembali ke tanah air pada 1918.
Aktivitas Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui Ordonasi Sekolah Liar
pada 1932. Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat pun berjuang hingga ordonansi itu
dicabut. Sambil mengelola Tamansiswa, RM Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis. Namun
bukan lagi soal politik, melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi
bangsa Indonesia.
Tahun 1943, ketika Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara bergabung ke Pusat
Tenaga Rakyat (Putera). Di organisasi tersebut, dia menjadi salah seorang pimpinan bersama
Soekarno, Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Setelah Indonesia merdeka, ia pun
dipercaya menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai
aktivitasnya dalam memperjuangkan pendidikan di tanah air sebelum hingga Indonesia merdeka
tersebut, membuatnya dianugerahui gelar doktor kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada
(1957).
Ki Hajar Dewantara meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Kampung
Celeban (Yogyakarta). Kemudian, atas jasa-jasanya, pendiri Tamansiswa itu ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional. Ki Hajar Dewantara pun mendapat gelar Bapak Pendidikan
Nasional dan tanggal kelahirannya, 02 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Itulah dia, R.A. Kartini dan Ki Hajar Dewantara. Bangsa ini perlu mewarisi semangat mereka
dalam memajukan manusia Indonesia dengan sepenuh hati dan tanpa membeda-bedakan agama,
etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan jenis kelamin.***
Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia
Masa Pengasingan
Di Usia nya yang genap 40 tahun, Ki Hajar Dewantara mencabut gelar kebangsawanannya dan
mengganti nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara. Hal
ini dimaksudkan agar beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hati.
Pada masa pendudukan Jepang, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai salah satu pimpinan pada
organisasi Putera bersama-sama dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas
Mansur. Dimasa kemerdekaan Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Perjuangan Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan
Indonesia membuat beliau layak di anugerahi gelar pahlawan pendidikan Indonesia. Tak
berlebihan pula jika tanggal lahir beliau, 2 Mei diperingati sebagai hari pendidikan nasional
untuk mengenang dan sebagai penyemangat bagi kita untuk meneruskan prakarsa dan pemikiran-
pemikiran beliau terhadap pendidikan Indonesia.
(Dilihat 19 kali)
oleh admin
Lahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar Dewantara terlahir dalam
keluarga kraton Yogyakarta. Sebagai golongan ningrat, Ki Hajar Dewantara memperoleh hak
untuk mengenyam pendidikan yang layak dari kolonial Belanda. Setelah menamatkan ELS
(Sekolah Dasar Belanda), beliau meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), sayang sekali lantaran menderita sakit, ia tidak bisa meneruskan pendidikannya di
STOVIA.
Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman
Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tulisan Ki Hajar Dewantara yang terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli:
Als ik eens Nederlander was), dimuat dalam surat kabar de Expres milik Dr. Douwes Dekker,
tahun 1913. Artikel ini ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk mengumpulkan
sumbangan dari Hindia Belanda (Indonesia), yang saat itu masih belum merdeka, untuk perayaan
kemerdekaan Belanda dari Perancis. Kutipan tulisan tersebut antara lain:
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya,
2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak
Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000.
Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar
Dewantara. Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada dan
telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah: tut wuri handayani. Semboyan ini
berasal dari ungkapan aslinya ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani. Hanya ungkapan tut wuri handayani saja yang banyak dikenal dalam masyarakat
umum. Arti dari semboyan ini secara lengkap adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang
guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di
antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tulada (di depan,
seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan baik). Semboyan ini masih tetap
dipakai dalam dunia pendidikan kita, terutama di sekolah-sekolah Taman Siswa.
Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga
kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut
hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak
lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan
menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran
nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia
merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut
membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite
tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite
Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat
jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang
Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain
berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita
garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda.
Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan
bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk
bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak
adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda
menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah
kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di
Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa
memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di
bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun
1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad
Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan
sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal
kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan
Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28
November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28
April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti
Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara.
Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri
Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya
tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam
mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan,
status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi. ► crs, dari berbagai sumber
Raden Mas Suwardi Suryaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara,
dilahirkan pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta.
Setelah menamatkan ELS (Sekolah Dasar Belanda), ia meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Ia kemudian menulis untuk berbagai surat
kabar seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express dan Utusan Hindia.
Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat
antikolonial bagi pembacanya. Selain menjadi seorang wartawan muda RM Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Budi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda.
Perkenalannya dengan Dr. Danudirdja Setyabudhi (F.F.E Douwes Dekker), dr. Cipto Mangunkusumo dan Abdul Muis melahirkan
gagasan baru untuk mendirikan partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia, yakni Indische Partij. Partai yang
berdiri pada tahun 1912 ini memiliki keyakinan bahwa nasib masa depan penduduk Indonesia terletak di tangan mereka sendiri,
karena itu kolonialisme harus dihapuskan. Namun sayang, status badan hukumnya ditolak oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Mereka bertiga kemudian membentuk Komite Bumiputera, sebuah organisasi tandingan dari komite yang dibentuk oleh
Pemerintah Belanda. Bersamaan dengan itu, RM Suwardi kemudian membuat sebuah tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander
Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang menyindir ketumpulan perasaan Belanda ketika menyuruh rakyat Indonesia untuk
Tulisan yang dimuat dalam koran de Express milik Dr. Douwes Dekker ini dianggap menghina oleh Pemerintah Belanda
sehingga keluar keputusan hukuman bagi beliau untuk diasingkan ke Pulau Bangka. Usaha pembelaan yang dilakukan Dr.
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo tidak membawa hasil, bahkan mereka berdua terkena hukuman pengasingan juga.
Karena menganggap pengasingan di pulau terpencil tidak membawa manfaat banyak, mereka bertiga meminta kepada
Pemerintah Belanda untuk diasingkan ke negeri Belanda. Pada masa inilah kemudian RM Suwardi banyak mendalami masalah
Setelah pulang dari pengasingan, RM Suwardi bersama rekan-rekan seperjuangan mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut atau
Perguruan Nasional Taman Siswa pada tanggal 3 Juli 1922. Perguruan itu bercorak nasional dan berusaha menanamkan rasa
kebangsaan dalam jiwa anak didik. Pernyataan asas dari Taman Siswa berisi 7 pasal yang memperlihatkan bagaimana pendidikan
itu diberikan, yaitu untuk menyiapkan rasa kebebasan dan tanggung jawab, agar anak-anak berkembang merdeka dan menjadi
serasi, terikat erat kepada milik budaya sendiri sehingga terhindar dari pengaruh yang tidak baik dan tekanan dalam hubungan
kolonial, seperti rasa rendah diri, ketakutan, keseganan dan peniruan yang membuta. Selain itu anak-anak dididik menjadi putra
tanah air yang setia dan bersemangat, untuk menanamkan rasa pengabdian kepada bangsa dan negara. Dalam pendidikan ini nilai
Pada tahun 1930 asas-asas ini dijadikan konsepsi aliran budaya, terutama berhubungan dengan polemik budaya dengan Pujangga
Baru. Selain mencurahkan dalam dunia pendidikan secara nyata di Tamansiswa, RM Suwardi juga tetap rajin menulis. Namun
tema tulisan-tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan. Tulisannya yang berisi konsep-konsep
pendidikan dan kebudayaan yang berwawasan kebangsaan jumlahnya mencapai ratusan buah. Melalui konsep-konsep itulah dia
Pemerintah Belanda merintangi perjuangannya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi beliau
dengan gigih memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu dapat dicabut. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan
Tahun Caka, Raden Mas Suwardi Suyaningrat berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara, dan semenjak saat itu beliau tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya beliau dapat bebas dekat dengan rakyat, baik
secara fisik maupun hatinya. Dalam zaman Pendudukan Jepang, kegiatannya di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan.
Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) di tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang
pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki Hajar pernah
menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Pada tahun 1957, Ki Hajar menerima gelar Doctor Honoris
Causa dari Universitas Gajah Mada. Beliau meninggal dunia pada 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Guna menghormati nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam bidang pendidikan nasional, Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1959 menetapkan beliau sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dan tanggal kelahirannya kemudian
dijadikan Hari Pendidikan Nasional. Pihak penerus Perguruan Taman Siswa, sebagai usaha untuk melestarikan warisan pemikiran
beliau, mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya di Yogyakarta. Dalam museum terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hajar sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau
konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan
sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Ki Hajar Dewantara memang tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan. Namun
telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil
"" KI HADJAR DEWANTARA mengawali kiprahnya sebagai seorang wartawan muda yang ulet.
Tulisannya tajam, komunikatif sekaligus provokatif. ... ""
KI HADJAR DEWANTARA mengawali kiprahnya sebagai seorang wartawan muda yang ulet.
Tulisannya tajam, komunikatif sekaligus provokatif. Setiap orang yang membawa tulisannya,
semangat patriotiknya akan membuncah untuk mengisir penjajah. Ki Hadjar Dewantara pun
menjelma menjadi punulis handal pada zamannya Begitu memasuki bulan Mei, kita seperti
diajak bersua dengan orang tua kita yang telah menjadi klasik ini. Seorang pejuang sejati yang
mendedikasikan hidup untuk bangsanya.
Ki Hadjar Dewantara telahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari
lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Saat genap
berberusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Sejak itu, ia tidak menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Dia mengalir seperti air. Kiprahnya berlanjut. Dia mendirikan Taman Siswa. Dedikasinya yang
luar biasa pada pendidikan menyebabkan dia dinobatkan sebagai Bapak Pendidikan Nasional.
Lahir di Yogyakarta 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang
memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk
berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di
Yogyakarta 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.
Pada 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan
dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes
Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische
Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember
1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada
pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral
Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada
tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang
pemerintah kolonial Belanda.
Menusul ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk
Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari
Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu
melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun
bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis
dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik
Douwes Dekker itu antara lain berbunyi: Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan
menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas
untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk
menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula
kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang
menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa
inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya
sedikitpun.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang)
yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk
bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak
adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda
menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah
kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di
Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun mereka menghendaki
dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada di
daerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai
bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Dia kembali ke
tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai
bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan
sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan
Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa
kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk
memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial
Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian
dicabut.
Di zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan.
Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar
duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir.Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H.
Mas Mansur. Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja
diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang
tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai
Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959.
Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah
Mada pada tahun 1957. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia
meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Pihak
penerus perguruan Taman Siswa, mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta.
Tujuannya untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam
museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan
kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data suratmenyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis,
pendidik, budayawan dan seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan
Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya. Dalam pandangan Ki Hadjar Dewantara tujuan
pendidikan adalah memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis,
suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial serta didasarkan kepada nilai-nilai
kemerdekaan yang asasi.
Ki Hadjar Dewantara
From Ghabopedia
BIODATA
Pendidikan :
Karir :
Organisasi :
Penghargaan :
BIOGRAFI
Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889 – 26 April 1959) adalah seorang tokoh
pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda.
Lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, Ki Hajar mendirikan perguruan
Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh
pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tulisan Ki Hajar yang terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli : Als ik
eens Nederlander was) yang pernah dimuat dalam surat kabar de Expres milik Douwes Dekker
tahun 1913. Artikel tersebut ditulis dalam konteks rencana pemerintah Belanda untuk
mengumpulkan sumbangan dari Indonesia.
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata,
Yogyakarta. Tanggal lahirnya, (2 Mei) dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia dan
menjadi Bapak Pendidikan Indonesia. Nama Ki Hajar juga diabadikan sebagai nama kapal
perang Indonesia "KRI Ki Hajar Dewantara". Selain itu, perguruan Taman Siswa yang ia dirikan
telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Semboyan dalam pendidikan yang beliau pakai adalah "tut wuri handayani". Semboyan ini
berasal dari ungkapan aslinya "ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani". Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan kita.
Air Mata Ki Hajar Dewantara
Dokumentasi
Hermawan Aksan
Selasa, 5 Mei 2009 | 03:17 WIB
DULU Hari Pendidikan Nasional, yang kita peringati setiap 2 Mei, disingkat Harpenas. Kini kita
mengenalnya sebagai Hardiknas, dengan kepanjangan yang sama. Kalau tidak salah, perubahan
itu terjadi seiring dengan perubahan Departemen P & K, sebagai kepanjangan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, menjadi Depdikbud—sekarang menjadi Depdiknas, dan pasti tak
ada hubungannya dengan pelesetan "departemen dikebut".
Tanggal 2 Mei diambil dari tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889), seorang
pahlawan nasional yang juga merupakan Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Lelaki bernama
asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat ini pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia. Ia tokoh pendiri Taman Siswa, sebuah sekolah kerakyatan di
Yogyakarta, dan gambarnya bisa dilihat pada uang kertas lama Rp 20.000.
Pekan lalu, saya bertemu dan berbincang hangat dengan seorang sepupu yang sudah lama
menjadi guru PNS. Kami sudah lama tidak bertemu. Mungkin karena kami bertemu ketika anak-
anak SMP menghadapi UN, pembicaraan pun bergulir juga ke soal UN dan sistem pendidikan
yang lebih luas.
"Pendidikan di Indonesia adalah pendidikan tipu-menipu," katanya.
Astaga, saya tentu saja kaget.
Tapi ia mengabaikan kekagetan saya. "Satu contohnya, ya, UN ini. Coba lihat nanti kalau sudah
diumumkan. Hampir semua sekolah akan mengumumkan kelulusan yang angkanya 99-100
persen. Semua akan menyambut gembira. Menteri Pendidikan akan bilang bahwa kualitas
pendidikan kita meningkat.
Betulkah demikian? Omong kosong besar!
Siapa pun yang bisa berpikir dengan logika sederhana pun tak akan percaya bahwa sebuah
sekolah bisa meluluskan seratus persen peserta UN."
"Tapi memang banyak sekolah yang siswanya lulus seratus persen, seperti tahun-tahun lalu,"
kata saya.
"Karena apa? Karena selalu terjadi pembocoran jawaban soal-soal!"
"Apa benar begitu? Bukankah pengawas UN SMA berasal dari perguruan tinggi?"
"Bullshit! Mereka akan menjadi bagian dari kecurangan secara menyeluruh. Kecurangan
sistemik yang rapi dan apik."
"Bagaimana terjadinya kecurangan?"
"Banyak cara. Salah satunya, contekan biasa seperti anak-anak dulu, cuma bedanya sekarang
lebih vulgar. Dulu hanya antar-anak, sekarang antarkelas, dengan pengawasan yang tidak ketat,
dan terkesan mempersilakan."
"Adakah kemungkinan guru dan sekolah sengaja memberikan jawaban?"
"Kemungkinan itu ada. Dulu empat tahun lalu aku sempat ribut dengan kepala sekolah karena
jawaban didikte di depan kami tanpa izin dulu. Dia anggap aku juga gampangan. Ya, mungkin
ada anggapan bahwa pengawas bisa diatur. Dan entah gimana, mereka hampir dikatakan lulus
semua. Sayang sekali pembuktian terhadap kecurangan itu sulit sekali. Kamu lihat juga para
siswa yang menyalin jawaban sebelum UN dimulai. Lalu juga beredarnya SMS jawaban. Siapa
yang menyebarkan?"
"Siapa sebenarnya yang diuntungkan dengan semua kecurangan itu?" tanya saya.
Wajah saudara saya itu seperti gemas melihat ketololan saya. "Kan Depdiknas ingin dana 20%
APBN. Sebaliknya, pemerintah otomatis menuntut prestasi anak. Pemerintah tahunya secarik
kertas dengan angka-angka. Biar cepat terealisasi. Kan tidak mudah anak jadi pintar begitu saja.
Maka dibuatlah sistem yang saling menguntungkan. Siswa untung, dinas pendidikan ke depan
untung, guru juga untung karena prestasi anak. Dapat uangnya bukan hari ini tapi ke depan. Bisa
dibayangkan berapa tambahan guru jika 20% APBN untuk pendidikan terealisasi."
Saya diam, mencoba memahami jalan pikirannya.
"Sudahlah," katanya. "Pendidikan di Indonesia itu penuh kebohongan. Memang susah
dibuktikan, tapi semuanya seperti gajah di pelupuk mata."
Saya masih diam, membayangkan air mata di wajah Ki Hajar Dewantara. (hermawan aksan)
KI HADJAR DEWANTARABy alasketu
Kamis, Juni 07, 2007 17:45:14 Clicks: 2418
Semboyan atau asas tersebut memiliki arti masing-masing sebagai berikut: tut wuri handayani
mempunyai arti dari belakang memberikan dorongan dan arahan, ing madya mangun karsa
berarti di depan memberi teladan dan ing ngarsa sung tulada diartikan ditengah menciptakan
peluang untuk berprakarsa. Buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan
bangsa secara keseluruhan yang di dalamnya banyak terdapat perbedaan-perbedaan dan dalam
pelaksanaan pendidikan tersebut tidak boleh membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat,
kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-
nilai kemerdekaan yang asasi. Karena Tuhan memberi manusia kemerdekaan untuk
mengembangkan diri dari ikatan alamiah menuju tingkatan budaya.
Jadi kemerdekaan mengembangkan diri adalah hakikat dari sebuah pendidikan sehingga
pendidikan itu tidak dapat dibatasi oleh tirani kekuasaan, politik atau kepentingan tertentu. Ini
dibuktikan dengan sejarah dimana tidak pernah ada pendidikan yang berhasil kalau tumbuh di
dalam alam keterkungkungan atau penjajahan. Pada masa pergerakan dan perjuangan mencapai
kemerdekaan, dia memiliki dasar pemikiran yang sangat tepat, bagaimana cara sebuah bangsa
dapat mencapai kemerdekaan yaitu dengan memajukan pedidikan bagi rakyatnya secara
menyeluruh. Sebenarnya pandangannya itu bukan hanya diterapkan pada masa perjuangan
mencapai kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan akan tetapi bisa juga diterapkan pada
konteks saat ini dalam mengisi kemerdekaan dengan hasil karya yang lebih gemilang bagi
bangsa dan negara. Karena bukan saja kemerdekaan secara politik yang diproklamasikan tahun
45 akan tetapi dengan pendidikan juga untuk memerdekakan bangsa dari penjajahan dalam
bidang budaya, ekonomi, sosial, teknologi, pendidikan, lingkungan, keamanan, dan sebagainya
dari pihak lain.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar dan setelah lulus ia
meneruskan ke Stovia di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai
wartawan dibeberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada
masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat
antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda RM Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan
politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup
menantang di seksi propaganda.
Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran
masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam
berbangsa dan bernegara Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische
Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr.
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status
badan hukumnya pada pemerintah kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, ,
dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara
jajahan. Alasan penolakkannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat
membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk
menentangpemerintah kolonial Belanda!.
Ada sebuah tulisannya yang bertujuan mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya Negeri
Belanda dari penjajahan Perancis pada bulan November 1913, dan dirayakan juga di tanah
jajahan Indonesia dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan
tersebut. Judul tulisannya adalah Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang
Belanda) dan petikannya sebagai berikut:
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di
negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan
saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina
mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.
Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda Apa yang menyinggung
perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander
diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya
sedikitpun.
Tulisan tersebut dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwess Dekker, dan tulisan lain
yang bernada protes pada pemerintah kolonial Belanda adalah Een voor Allen maar Ook Allen
voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Protes ini berkaitan dibentuknya
Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda, selain karya tulis sebenarnya
dibentuk juga sebuah orgarnisasi bernama Komite Boemipoetra sebagai komite tandingan dari
komite yang dibentuk oleh Idenburg. Komite Boemipoetra juga merupakan organisasi yang
dibentuk setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij.
Karena tulisan yang bernada menyindir secara keras terhadap pemerintah kolonial Belanda,
maka dalam hal ini Gubernur Jendral Idenburg memberikan hukuman -walau tanpa proses
pengadilan- pada Soewardi berupa hukuman internering yaitu sebuah hukuman dengan
menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal atau lebih
sering disebut hukum buang. Pulau Bangka sebagai tempat pembuangan Soewardi.
Merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil, dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto
Mangoenkoesoemo membuat tulisan yang bernada membela Soewardi, akan tetapi oleh pihak
Belanda dianggap menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah
kolonial pada saat itu. Akibatnya keduanya juag terkena hukuman internering, dr. Douwes
Dekker dibuang di Kupang dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda. Namun
mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena dianggap akan lebih bermanfaat yaitu
mereka bisa lebih banyak memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil, dan akhirnya
mereka diijinkan untuk menetap di Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari
pelaksanaan hukuman.
Dalam masa pembuangan itu tidak dia sia-siakan untuk mendalami masalah pendidikan dan
pengajaran, sehingga berhasil memperoleh Europeesche Akte. Setelah kembali ke tanah air di
tahun 1918, ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan
meraih kemerdekaan. Diwujudnyatakan bersama rekan-rekan seperjuangan dengan mendirikan
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau lebih dikenal dengan Perguruan Nasional
Tamansiswa pada 3 Juli 1922, sebuah perguruan yang bercorak nasional.
Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, dan semenjak saat itu Ki Hadjar tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat
bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Dalam zaman Pendudukan Jepang,
kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang
membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah
seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Jabatan yang pernah dipegang setelah Indonesia merdeka ialah sebagai Menteri Pendidikan,
Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.
Banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hadjar dengan Rabindranath Tagore, seorang pemikir,
pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional India, karena mereka bersahabat dan memang memiliki kesamaan visi dan misi dalam
perjuangannya memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan. Tagore dan Ki Hadjar sama-
sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore
pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas
keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi
kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan
(Raden Mas) oleh Ki Hadjar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan
rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hadjar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-
sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan
kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari strategi untuk melepaskan diri dari
belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan
yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa
dan raganya tentu akan semakin tinggi.
Sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan pendiri Tamansiswa, Ki Hadjar memang
tidak sendirian berjuang menanamkan jiwa merdeka bagi rakyat melalui bidang pendidikan.
Namun telah diakui dunia bahwa kecerdasan, keteladanan dan kepemimpinannya telah
menghantarkan dia sebagai seorang yang berhasil meletakkan dasar pendidikan nasional
Indonesia. Ki Hadjar bukan saja seorang tokoh dan pahlawan pendidikan ini tanggal
kelahirannya 2 Mei oleh bangsa Indonesia dijadikan hari Pendidikan Nasional, selain itu melalui
surat keputusan Presiden RI no. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959 Ki Hadjar
ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Penghargaan lainnya yang diterima oleh Ki
Hadjar Dewantara adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada di tahun
1957.
Dia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Sebagai wujud melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara oleh pihak
penerus perguruan Tamansiswa didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta. Dalam
museum terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan
kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis,
pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan
dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Uraian diatas adalah sekilas potongan sejarah
perjuangan Ki Hadjar dan terlihat jelas jiwa kebangsaannya telah tertanam sejak muda. Dan jiwa
kebangsaannya itu memberikan kontribusi dan dorongan kuat pada dirinya untuk melahirkan
konsep-konsep pendidikan yang berwawasan kebangsaan.
Sumber : http://www.bangfauzi.com
POKOK-POKOK GAGASAN KI HAJAR DEWANTARA DALAM MAJALAH WASITA
1928—1929
post info
By jangan-bungkamhendaru
Categories: Uncategorized
1. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah jembatan emas menuju perubahan. Melalui pendidikan, seseorang diajarkan
untuk jangan mau didikte keadaan, ia juga diajari bagaimana cara merubah keadaan sehingga
dapat merubah keadaannya dan keadaan orang lain. Dalam lintasan sejarah Indonesia,
pendidikan telah terbukti berperan dalam proses kelahiran sebuah bangsa dan negara bernama
Indonesia. Pendidikan berperan dalam menghasilkan elit-elit pribumi baru yang sadar akan
ketertinggalan dan ketertindasan yang dialami oleh pribumi. Oleh karena itu, mereka bertekad
untuk mengubah keadaan, dari ketertinggalan dan ketertindasan menuju kemajuan dan
kebebasan. Hal ini terwujud dalam sebuah cita-cita yang bernama kemerdekaan Indonesia.
Kebijakan pemerintah kolonial dalam bidang pendidikan mulai mendapat kritikan dari elit-elit
pribumi yang lebih dulu mencicipi pendidikan sebelum diterapkannya politik etis. Salah satu
kebijakan yang dikritik adalah kurikulum pendidikan bagi pribumi. Kurikulum pendidikan bagi
pribumi dianggap hanya menekankan aspek kognitif intelektual semata yang berorientasi pada
nilai-nilai Barat dan pragmatisme. Salah satu tokoh pribumi yang mengajukan kritik itu adalah
Ki Hajar Dewantara. Melihat sistem dan kurikulum pendidikan yang tidak sesuai dengan jiwa
ke-Timur-an itu, membuat Ki Hajar Dewantara berinisiatif mendirikan sekolah yang bernama
Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Untuk mendukung diseminasi gagasannya dan misi Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara
memutuskan untuk menulis di beberapa media massa di Hindia Belanda. Pada Oktober 1928 di
Yogyakarta, terbit sebuah majalah pendidikan bernama Wasita. Majalah itu diterbitkan oleh
Taman Siswa Yogyakarta. Dalam majalah itu, Ki Hajar Dewantara—juga sebagai pengarang
majalah Wasita—banyak menuliskan gagasannya tentang pengajaran dan pendidikan. Beberapa
pokok gagasan Ki Hajar Dewantara di majalah Wasita telah menarik saya untuk mengkajinya.
Dalam tulisan ini saya mencoba menyajikan pokok-pokok gagasan Ki Hajar Dewantara di
majalah Wasita dari 1928—1929. Tidak lupa pula saya sertakan informasi tentang majalah
Wasita sebagai sarana penyebar utama gagasan Ki Hajar Dewantara.
2. TENTANG WASITA
Majalah pendidikan Wasita pertama kali terbit pada tahun 1928 di bulan yang sama dengan
deklarasi para pemuda pribumi tentang bangsa, bahasa, dan tanah air yang satu, yaitu bulan
Oktober. Wasita diterbitkan oleh Sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara
pada 3 Juli 1922. Artinya, Wasita terbit enam tahun setelah didirikan Taman Siswa. Wasita terbit
pertama kali di Yogyakarta dan terbit sedikitnya sekali dalam sebulan. Dengan mengusung citra
sebagai majalah untuk kaum pendidik dan ibu-bapak, Wasita memang bertujuan memberikan
informasi kepada orang-orang yang bergelut di bidang pendidikan dan orang tua yang memiliki
anak-anak usia sekolah. Dalam Wasita edisi pertama, redaksi majalah ini jelas sekali menuliskan
tujuan diterbitkannya majalah ini.
“Adapoen Wasita itoe berkehendak mendjadi balai soeara dan panggoeng tamasja
(balairoeng=siti inggil) oentoek segala kaoem pendidik dan pengadjar, kaoem iboe-bapa dan
sekalian orang, jang ingin mengetahoei atau toeroet memperhatikan roepa-roepa daja oepaja
goena kesehatan roh dan toeboeh anak, ialah anak-anak kita, jang kelak akan mengganti kita
djadi ra’iat Indonesia.”
Dengan demikian, jelaslah tujuan diterbitkannya Wasita adalah sebagai referensi atau sumber
informasi pendidikan dan pengajaran bagi pihak-pihak yang berkepentingan terhadap kemajuan
pendidikan dan pengajaran anak-anak pribumi.
Seperti pers sezaman pada umumnya, Wasita mengundang khalayak umum untuk ikut
menyumbangkan gagasan. Sebab, Wasita sendiri juga menginginkan tersebarnya pengetahuan
pada khalayak umum. Hal ini jelas sejalan dengan tujuan Wasita seperti yang disebutkan di atas.
Akan tetapi, Wasita juga membuat definisi ilmu dan pengetahuan apa yang layak dikonsumsi
pembacanya. Menurut redaksi Wasita, pada dasarnya segala ilmu dan pengetahuan itu berguna
dan wajib diketahui oleh para pembacanya. Hal ini berkaitan dengan rasa ingin tahu anak-anak
pribumi. Jika ada anak-anak pribumi yang menanyakan sesuatu kepada orang tuanya, namun jika
orang tua si anak tersebut tidak dapat menjawabnya maka akan berkuranglah rasa hormat si anak
terhadap orang tuanya. Oleh karena itulah, redaksi Wasita berpendapat semua ilmu dan
pengetahuan itu berguna dan pembaca diharapkan memiliki banyak ilmu dan pengetahuan dari
membaca Wasita.
Dari pemahaman itulah kemudian redaksi Wasita membagi majalahnya kedalam beberapa rubrik,
yaitu ;
3. Pengetahoean Oemoem,
4. Archief Nasional,
7. Feuilleton
Rubrik pertama akan membicarakan hal yang menyangkut pendidikan dan pengajaran, termasuk
agama dan gambaran pendidikan dan pengajaran di luar negeri seperti di Eropa, Amerika, dan
Asia. Rubrik ini juga menyertakan tulisan-tulisan dari tokoh-tokoh yang ahli di bidang
pendidikan dan pengajaran. Rubrik kedua jelas merupakan rubrik yang membicarakan sejarah
dan cerita, terutama sejarah dan cerita yang berkembang di masyarakat Jawa. Rubrik ketiga
merupakan rubrik yang membicarakan rupa-rupa pengetahuan umum seperti staatrecht
(pengetahuan negara), falak, hukum, dan pengetahuan lainnya yang berguna bagi perkembangan
anak-anak.
Rubrik keempat merupakan rubrik yang berisi informasi tentang sekolah-sekolah di Hindia
Belanda. Rubrik kelima jelas membicarakan olahraga dan kesehatan. Rubrik keenam merupakan
rubrik yang berisi tulisan-tulisan tentang bahasa, lagu, seni, dan kehalusan budi pekerti. Rubrik
terakhir yang namanya diambil dari bahasa Perancis, merupakan rubrik yang berisi tulisan yang
berkonsentrasi kepada kajian buku-buku atau kitab nasional yang dianggap cukup berpengaruh
bagi perkembangan masyarakat di Hindia Belanda.
Dalam menyampaikan informasi kepada pembacanya, Wasita menggunakan dua bahasa, yaitu
bahasa Melayu dan bahasa Jawa. Bahasa Melayu digunakan untuk menyampaikan gagasan yang
dianggap berguna dan disukai segenap bangsa di seluruh Indonesia. Sementara bahasa Jawa,
digunakan untuk menyampaikan gagasan yang dianggap hanya untuk kepentingan dan keperluan
bangsa Jawa. Meskipun begitu, jika dianggap perlu, Wasita juga menerjemahkan tulisan dalam
bahasa Jawa ke dalam bahasa Melayu ataupun sebaliknya, dalam bahasa Melayu ke dalam
bahasa Jawa.
Secara keseluruhan, Wasita jelas merupakan majalah yang mengkhususkan liputannya di bidang
pendidikan dan pengajaran. Dan seperti halnya pers pribumi sezaman, Wasita juga menjadi
corong pergerakan kaum nasionalis. Hal ini tampak dalam pilihan kata yang digunakan redaksi
Wasita. Misalnya, dalam pemilihan kata Indonesia daripada Hindia Belanda. Apalagi dengan
misi yang diusung Wasita, yaitu penyebaran pengetahuan untuk masyarakat pribumi. Dengan
tersebarnya pengetahuan diharapkan masyarakat pribumi akan semakin tercerahkan dan mampu
lepas dari belenggu ketertinggalan dan ketertindasan. Hal ini jelas menunjukan adanya cita-cita
kemerdekaan atau pemerintahan sendiri dari redaksinya yang salah satunya adalah Ki Hajar
Dewantara, seorang tokoh pergerakan nasional melalui bidang pendidikan. Sayangnya, saya
tidak mendapat informasi siapa saja redaksi lengkap Wasita, berapa harga Wasita, dan seberapa
besar oplah Wasita pada waktu 1928—1929. Saya baru menemui dewan redaksi Wasita, harga,
dan oplahnya pada saat wilden scholen ordonantie diterapkan (1932). Hal ini tentu tidak dapat
menjadi acuan untuk informasi redaksi, harga, dan oplah Wasita di masa 1928—1929.
3. TENTANG KI HAJAR DEWANTARA
Untuk memahami gagasan Ki Hajar Dewantara di Wasita sudah tentu saya harus mengetahui
siapa Ki Hajar Dewantara terlebih dahulu. Karena itulah bagian ini saya buat untuk menganalisis
tulisannya. Ki Hajar Dewantara adalah cucu Sri Paku Alam III. Ia awalnya memiliki nama R.M.
Suwardi Suryaningrat. Akan tetapi, setelah menjalani hukuman pengasingan di negeri Belanda ia
mengubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan meninggalkan nama lama dan gelar
kebangsawanannya. Hal ini menurutnya karena ia tidak ingin merasa terpisah dari rakyat banyak
dan selalu ingin berada bersama rakyat banyak berjuang bersama-sama. Pemahaman seperti ini
ia dapatkan dari dua kultur pendidikan yang berbeda yaitu Jawa dan Barat. Sejak kecil ia sudah
menerima dua kultur pendidikan tersebut. Ia bersekolah di sekolah Belanda, tetapi tetap
mendapatkan pendidikan nasional Jawa. Ki Hajar tampak seperti sosok yang mampu
memadukan unsur-unsur baik dari dua kultur tersebut.
Oleh karena persentuhan dua kultur itu, perjuangan Ki Hajar Dewantara dalam Pergerakan
Nasional menjadi unik. Awalnya, ia berjuang dengan masuk organisasi gaya Barat. Ia melihat
organisasi sebagai bentuk perlawanan rakyat terhadap penjajahan yang paling mungkin pada
awal 1910-an. Akan tetapi, setelah ia di asingkan ke negeri Belanda, ia belajar banyak bahwa
organisasi tanpa pencerdasan dan kesadaran rakyat adalah makna kosong. Dari sinilah arah
perjuangan Ki Hajar Dewantara berubah. Perubahan itu secara radikal ditunjukkan dengan
mendirikan sekolah bernama Taman Siswa pada 1922. Baginya, pendidikan lah yang dapat
membuat rakyat sadar akan adanya sebuah penindasan yang menimpa mereka. Dari periode
1920-an inilah kita dapat melihat gagasan Ki Hajar Dewantara tentang pentingnya pendidikan.
Dalam majalah Wasita terdapat rubrik pendidikan dan pengajaran. Rubrik ini merupakan rubrik
utama majalah Wasita karena di rubrik ini kita dapat menemukan tujuan dan misi yang diusung
Wasita. Dalam rubrik ini terdapat beberapa tulisan dari tokoh yang ahli di bidang pendidikan dan
pengajaran seperti Ki Hajar Dewantara. Rubrik inilah yang saya ambil sebagai bahan kajian
dalam makalah ini. Sementara tulisan yang saya ambil dalam rubrik ini adalah tulisan Ki Hajar
Dewantara. Adapun rentang waktu yang saya ambil berkaitan dengan masa-masa pergerakan
nasional memasuki masa baru, yaitu masa terobosan baru dengan adanya Sumpah Pemuda dan
Kongres Perempuan Indonesia di tahun 1928. Bahkan Ki Hajar Dewantara pun menyempatkan
menulis tulisan berkenaan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia pada
Desember 1928. Masa ini juga menjadi masa awal tersebarnya gagasan Ki Hajar Dewantara
tentang pendidikan dan pengajaran ke-Timur-an yang lebih dulu diwujudkan dalam bentuk
Sekolah Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara memiliki konsep pendidikan yang benar-benar bersifat pribumi (yakni yang
nonpemerintah dan non-Islam). Konsep pendidikan seperti itu berarti pendidikan yang
memadukan pendidikan gaya Eropa yang modern dengan seni-seni Jawa tradisional.[1] Ia
dengan tegas menolak pendidikan yang terlalu mengutamakan intelektualisme dan
mengorbankan aspek kerohanian atau jiwa para siswa. Menurutnya, pendidikan yang ditawarkan
oleh pemerintah kolonial hanya akan membuat pribumi lupa akan kebudayaannya dan membuat
pribumi menjadi tenaga terampil bagi kepentingan pemerintah kolonial. Berkaitan dengan itulah,
ia akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah sekolah yang menawarkan pendidikan
berorientasi kepada kebudayaan timur dan mengedepankan nilai-nilai kerohanian yang dibarengi
dengan kekuatan intelektual. Sekolah yang ia dirikan bernama Taman Siswa. Sekolah itu berdiri
pada Juli 1922. Enam tahun setelah sekolah itu berdiri, terbit majalah bernama Wasita. Majalah
ini merupakan majalah yang diterbitkan Taman Siswa. Ki Hajar Dewantara berperan sebagai
pengarang dan salah satu dewan redaksinya. Di majalah inilah kita dapat menemukan gagasan Ki
Hajar Dewantara tentang pendidikan dan pengajaran yang ia coba terapkan di Taman Siswa dan
coba disebarkan kepada khalayak umum, khususnya masyarakat pribumi sebagai sarana
pencerahan pikiran.
Dalam Wasita jilid kesatu nomor dua edisi November 1928, Ki Hajar Dewantara menyumbang
sebuah artikel yang berjudul “Azas Taman Siswo”. Artikel ini sebenarnya merupakan pidato Ki
Hajar Dewantara dalam kongres Taman Siswa yang pertama di Yogyakarta pada 20 Oktober
1923. Dalam artikelnya itu, Ki Hajar Dewantara menyebutkan tujuh azas Taman Siswa. Azas
pertama adalah mengatur diri sendiri (Zelfbeschikkingsrecht). Hak mengatur diri sendiri berdiri
bersama dengan tertib dan damai (orde en vrede) dan bertumbuh menurut kodrat (natuurlijke
groei). Ketiga hal ini merupakan dasar alat pendidikan bagi anak-anak yang disebut among
metode.
Azas kedua adalah kemerdekaan batin, pikiran, dan tenaga bagi anak-anak. Maka pengajaran
berarti mendidik anak untuk mencari sendiri ilmu pengetahuan yang perlu dan baik untuk lahir,
batin, dan umum. Oleh karena itu, guru tidak dibenarkan untuk selalu memberi ilmu
pengetahuan, tetapi juga harus diusahakan bahwa guru mampu mendidik anak-anak untuk
mandiri dan merdeka. Azas ketiga adalah kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri dimaksudkan
sebagai penunjuk jalan untuk mencari penghidupan baru yang selaras dengan kodrat bangsa dan
yang akan dapat memberi kedamaian dalam hidup bangsa. Pada azas ketiga juga terkandung
makna pendidikan yang tidak boleh memisahkan orang-orang terpelajar dari rakyatnya. Azas
keempat adalah pendidikan yang merakyat. Pendidikan dan pengajaran harus mengena rakyat
secara luas. Sebab, hanya dengan cara itu ketertinggalan masyarakat pribumi dapat dihilangkan.
Azas kelima adalah percaya pada kekuatan sendiri. Ini adalah azas yang penting bagi semua
orang yang ingin mengejar ketertinggalannya dan meraih kemerdekaan hidup. Dan itu dapat
terwujud melalui kerja yang berasal dari kekuatan sendiri. Azas keenam adalah
zelfbedruipingssysteem atau membelanjai diri sendiri. Azas ini sangat dekat dengan azas kelima.
Pada azas ini segala usaha untuk perubahan harus menggunakan biaya sendiri. Sementara azas
terakhir adalah keikhlasan dari para pendidik dan pengajar dalam mendidik anak-anak. Hanya
dengan kesucian hati dan keterikatan lahir dan batinlah usaha pendidikan dan pengajaran dapat
berhasil.
Dalam Wasita jilid satu nomor tiga edisi Desember 1928, Ki Hajar Dewantara menulis artikel
yang semuanya mengulas perempuan. Dari enam artikelnya pada edisi Desember 1928 ini, Ki
Hajar membahas persoalan perempuan terutama peran perempuan dalam pendidikan dan
pengajaran. Mengapa Ki Hajar Dewantara sampai perlu membuat enam artikel yang semuanya
membahas perempuan? Rupanya pada Desember 1928 diselenggarakan Kongres Perempuan
Indonesia di Yogyakarta. Berkaitan dengan itulah Ki Hajar Dewantara memberi perhatian khusus
pada masalah perempuan di edisi Wasita bulan Desember 1928. Dalam artikelnya yang berjudul
“Chodrat Perempuan”, Ki Hajar Dewantara mengutarakan ketidaksetujuannya pada jenis
persamaan hak perempuan yang berkembang di Eropa. Menurutnya, persamaan hak hendaknya
tidak melupakan kodrat perempuan yang berbeda dengan laki-laki baik dari fisik maupun
psikologis. Sekilas pandangannya ini terkesan diskriminatif, akan tetapi kita akan kaget jika
membaca artikel selanjutnya yang berjudul “Pematah Isteri” dan “Perempoean dan Sport”.
Rupanya perbedaan perlakuan ditujukan untuk melindungi perempuan dari penjajahan dan
penindasan laki-laki.
Ki Hajar sendiri sangat mendukung partisipasi perempuan dalam pendidikan dan pengajaran. Ia
juga mendukung perempuan yang melakukan olahraga. Asalkan dalam berolahraga perempuan
tidak melupakan kodratnya berdasarkan fisik dan psikologisnya. Dalam artikel selanjutnya,
“Perempoean dalam doenia Pendidikan”, Ki Hajar Dewantara mengajak kaum perempuan untuk
turut serta dalam usaha mencerdaskan anak-anak bangsa. Ia menganggap guru perempuan adalah
guru yang tepat untuk dijadikan pendidik bagi anak-anak karena ikatan emosional anak dengan
ibu lebih kuat daripada anak dengan bapak. Oleh karena itu, lebih mudah mendidik anak pada
usia dini melalui guru perempuan daripada guru laki-laki. Ia juga tidak lupa menekankan
pentingnya pendidikan bagi anak-anak perempuan. Akan tetapi, dalam mendidik dan mengajar
anak perempuan ada beberapa petunjuk khusus. Hal ini terungkap dalam artikelnya yang
berjudul “Co-educatie dan Co-instructie atau mendidik dan mengadjar anak-anak perempoean
dan laki-laki bersama-sama”. Dalam artikel ini, ia melihat laki-laki dan perempuan adalah dua
makhluk yang tarik menarik. Keduanya sama-sama mempunyai ketertarikan pada lawan
jenisnya. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan harus dipisah dalam kelas ketika mereka
memasuki masa birahi atau masa pubertas. Namun, itu tidak berarti bentuk diskriminasi
perlakuan terhadap perempuan. Sebab, perempuan tetap dapat bergaul dengan teman laki-laki
sekolahnya dan begitu pula sebaliknya.
Ki Hajar Dewantara melihat perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pendidikan.
Ia mencontohkan suatu kelas yang sedikit atau bahkan tidak ada murid perempuannya dan
didominasi oleh murid laki-laki akan berakibat kelas itu memiliki murid yang berperilaku kasar
dan tidak sopan. Tetapi sebaliknya, jika dalam sebuah kelas murid perempuannya memadai,
maka besar kemungkinan murid-murid kelas itu dapat berperilaku halus, sopan, dan baik.
Menurutnya, hal ini karena kehadiran perempuan yang membawa suasana berbeda di dalam
kelas. Oleh karena itu, ia tidak setuju pemisahan kelas dan sekolah khusus perempuan. Selain
mengakibatkan sempitnya pandangan dan pengetahuan murid perempuan, sistem itu juga
mengecilkan peran perempuan dalam pendidikan. Akan tetapi, jika sudah sampai pendidikan
tingkat menengah dan lanjut, pemisahan kelas dapat saja dilakukan untuk meningkatkan
konsentrasi murid dalam belajar. Gagasan ini dapat kita temukan dalam artikelnya yang berjudul
“Pengaroeh Perempoean pada barang dan tempat koelilingnja”. Di akhir artikel itu, Ki Hajar
Dewantara menyerukan kaum perempuan untuk memahami hak dan kewajibannya sebagai
perempuan. Hal ini ia utarakan untuk memompa semangat kaum perempuan dalam perjuangan
demi kemuliaan rakyat dan keselamatan dunia.
Kekecewaan Ki Hajar Dewantara terhadap sistem pendidikan dan cara pengajaran yang ada di
Hindia Belanda dapat kita temukan dalam artikelnya yang berjudul “Koerangnja dan Ketjewanja
Onderwijs bagi Ra’jat kita” pada Wasita jilid satu nomor lima edisi Februari 1929. Dalam artikel
itu, terlihat jelas kekecewaan Ki Hajar Dewantara terhadap sistem pendidikan dan cara
pengajaran yang dijalankan pemerintah kolonial. Oleh karena itu, ia mengkritiknya. Ia
mengkritik pelaksanaan pendidikan dan pengajaran pemerintah yang ternyata tidak dapat
mengangkat derajat masyarakat pribumi. Bahkan ternyata, apa yang telah dilakukan pemerintah
justru makin menenggelamkan masyarakat pribumi menjadi budak bangsa lain. Ia melihat
masyarakat pribumi hanya memberikan manfaat dari pendidikan dan pengajaran untuk bangsa
lain, bukan untuk bangsanya sendiri. Kebijakan pemerintah kolonial yang hanya memberikan
pendidikan rendah juga tak luput dari kritik Ki Hajar Dewantara. Baginya, masyarakat pribumi
hanya mendapat pendidikan yang sangat rendah dan karena itu ia menilai pendidikan yang
diberikan amatlah kurang.
Akan tetapi di sisi lain, ia sebenarnya mendukung usaha perluasan sekolah bagi masyarakat
pribumi yang salah satunya dilakukan dengan membuka HIS. Walaupun memang ia tidak setuju
dengan sistem pendidikan dan cara pengajaran yang diterapkan HIS, ia tetap menganggap HIS
juga mempunyai manfaat yang cukup besar untuk masa itu. Sebab, masyarakat pribumi sendiri
masih memerlukan banyak sekolah. Oleh karena itu, ketika ada rencana dari pemerintah kolonial
untuk menghentikan pertambahan HIS, Ki Hajar Dewantara secara tegas menolaknya. Hal ini
terlihat pada artikelnya yang berjudul “H.I.S.” pada Wasita di edisi yang sama. Satu hal yang
cukup menarik dari artikel ini adalah kalimat penutupnya. Kalimat penutupnya berbunyi
“Hidoeplah Ra’jat Indonesia!”. Menjadi menarik karena kalimat ini berarti semakin menandakan
watak dari majalah Wasita yang memiliki cita-cita kemerdekaan Indonesia.
4.4 TENTANG PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN NASIONAL
Gagasan Ki Hajar Dewantara tentang sistem pendidikan dan cara pengajaran semakin terlihat
jelas dalam artikel-artikelnya yang terbit di majalah Wasita setelah Februari 1929. Dalam
artikelnya di Wasita jilid satu nomor enam edisi Maret 1929, Ki Hajar Dewantara mengajukan
konsep pendidikan dan pengajaran yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan
kebangsaan. Dalam artikelnya tersebut, Ki Hajar membagi pendidikan kedalam dua hubungan,
yaitu pendidikan dan penghidupan rakyat dan pendidikan dan kebangsaan. Dalam hubungan
yang pertama, antara pendidikan dan penghidupan rakyat, terdapat sembilan poin penting yang ia
ajukan. Kesembilan poin penting itu antara lain, kekuatan rakyat, mendidik anak adalah
mendidik rakyat, sistem pengajaran kerakyatan, penerimaan perbedaan, kemerdekaan manusia,
bersandar pada kekuatan sendiri, tugas sebagai rakyat, tidak diperintah, dan persatuan
pengajaran.
Sementara itu, dalam hubungan yang kedua, yaitu antara pendidikan dan kebangsaan, ia
mengajukan tujuh poin penting yang antara lain, pendidikan nasional yang selaras dengan
kehidupan dan penghidupan bangsa, pendidikan nasional adalah hak dan kewajiban bangsa, tidak
menerima subsidi pemerintah, tidak terikat lahir dan batin, sistem mengongkosi diri sendiri,
adanya badan pembantu umum, dan adanya Steunfonds umum. Dengan demikian, Ki Hajar
Dewantara telah merumuskan konsep dan arah pendidikan nasional. Dalam artikel-artikel
selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mengajukan usul-usul yang lebih praktis. Hal itu dapat terlihat
di beberapa artikel selanjutnya. Dalam artikel yang berjudul “Orde, Regering dan Tucht, Faham
Toea dan Baharoe”. Ki Hajar Dewantara menulis tentang bagaimana cara menjatuhkan hukuman
bagi anak-anak. Dalam menjatuhkan hukuman itu hendaknya tidaklah dilupakan makna
hukuman sebagai salah satu alat untuk mendidik. Di sini Ki Hajar menghendaki tidak hilangnya
makna mendidik dengan hukuman yang diberikan kepada anak-anak.
Selain di artikel tersebut, Ki Hajar Dewantara juga mengajukan beberapa panduan praktis dalam
mendidik anak. Seperti yang terlihat pada dua artikelnya pada Wasita jilid satu nomor delapan
edisi Mei 1929 dan Wasita jilid satu nomor sembilan dan sepulu edisi Juni—Juli 1929. Dalam
artikelnya yang pertama yang berjudul “Excursie”, Ki Hajar Dewantara menulis tentang panduan
melaksanakan perjalanan wisata dan studi para murid yang ditemani dengan gurunya. Ia
menamakan hal tersebut sebagai excursie. Menurutnya, pendidikan dan pengajaran itu tidak
melulu harus di kelas. Para murid juga harus dikenalkan terhadap lingkungan nyata dan pada
akhirnya dapat bergaul dengan masyarakat. Dalam artikel yang kedua yang berjudul “Nationale
Frobelschool. Cursus oentoek mempeladjari permainan dan njanjian anak”, Ki Hajar Dewantara
melihat pentingnya pelajaran permainan dan nyanyian bagi para murid. Menurutnya, perlu
beberapa langkah dalam mengajarkan permainan dan nyanyian bagi para murid. Oleh karena
itulah, Ki Hajar Dewantara menulis hal ini. Dengan langkah yang tepat, ia mengharapkan
kegunaan pelajaran permainan dan nyanyian seperti mendidik kebatinan murid, dapat terwujud.
Ki Hajar Dewantara tampil kembali sebagai teoritikus pendidikan dalam artikel berikutnya yang
berjudul “Pergoroean Ra’jat di Betawi dan tentang mendirikan Mulo-Kweekschool”. Dalam
artikelnya ini, ia mengajukan saran kepada pemerintah kolonial untuk memperbanyak sekolah
guru menengah pertama di Betawi (Batavia). Menurutnya, sekolah seperti itu sangatlah kurang
jika dibandingkan dengan luas kota dan minat penduduknya dalam pendidikan. Sebelumnya, di
awal tulisan ia dengan tegas menyatakan azas pengajaran yang bersifat nasional Indonesia. Di
sini pengajaran dimaksudkan untuk menanamkan bibit kecintaan dalam hati murid kepada
bangsa dan tanah airnya. Dapatlah kita simpulkan, Ki Hajar Dewantara mencoba
membangkitkan rasa nasionalisme Indonesia di kalangan rakyat banyak melalui pendidikan dan
pengajaran.
5. KESIMPULAN
Pendidikan telah merubah arah sejarah bangsa dan negeri ini. Hal itu terlihat dalam perjalanan
sejarah bangsa dan negeri ini. Pendidikan melahirkan elit-elit yang sadar akan adanya sebuah
bangsa dan negara yang merdeka. Elit-elit ini pun sadar bahwa pendidikan juga mampu
mengangkat bangsa ini menuju kebahagiaan. Salah satu elit pribumi yang menyadari hal itu
adalah Ki Hajar Dewantara. Ia melihat pendidikan mampu mengubah watak dan sikap bangsa ini
untuk menjadi bangsa yang mempunyai derajat yang tinggi dan sejajar dengan bangsa lain.
Namun, untuk mewujudkan itu pendidikan yang dijalankan haruslah pendidikan yang
berorientasi kepada kepentingan bangsa dan berjiwa Timur. Ia menolak pendidikan yang hanya
mengajarkan masyarakat pribumi menjadi masyarakat mekanis yang lupa akan tujuan hidup.
Oleh karena itu, ia berusaha mengenalkan konsep pendidikan dan pengajaran yang mampu
membuat masyarakat pribumi menjadi manusia seutuhnya.
Gagasannya itu ia perkenalkan melalui majalah Wasita. Sebelumnya, ia telah mendirikan Taman
Siswa di Yogyakarta pada 1922. Namun, ia memandang hal itu tidaklah cukup. Ia ingin
gagasannya diketahui masyarakat luas untuk kemudian dapat mencerahkan masyarakat yang
membacanya. Lewat beberapa pokok penting gagasannya yang terdiri dari perempuan dan
pendidikan, HIS, dan pendidikan dan pengajaran nasional, ia merumuskan konsep, makna, dan
arah pendidikan dan pengajaran untuk bangsa Indonesia. Lebih penting lagi, ia juga berusaha
menanamkan kesadaran akan rasa kebanggaan sebagai sebuah bangsa. Disini ia mencoba
menanamkan nasionalisme. Akan tetapi, hal itu hanyalah menjadi angin lalu tanpa diketahui
orang banyak. Maka, Wasita tampil sebagai media penyampai gagasan Ki Hajar Dewantara. Dan
itulah arti penting media massa bagi penyebaran ide-ide kebangsaan kaum nasionalis. Di sini,
kita juga dapat melihat hubungan antara kaum terpelajar pribumi dengan kelahiran pers-pers
pribumi.
DAFTAR PUSTAKA
Ingleson, John. (1988). Road to Exiles (Terj. Zamakhsyari Dhofier). (Ed. Ke-2). Jakarta : LP3ES
Kahin, George Mc Turnan. (1995). Nationalism and Revolution in Indonesia (Terj. Nin Bakdi
Soemanto). (Ed. Ke-2). Jakarta : Sinar Harapan
—————–. (1984). Sejarah Nasional Indonesia VI. (Ed. Ke-4). Jakarta Balai Pustaka.
Pringgodigdo, A.K. (1994). Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. (Ed. Ke-14). Jakarta : Dian
Rakyat.
Ricklefs, M.C. (2005). A History of Modern Indonesia since 1200 (Terj. Tim Serambi). Jakarta :
Serambi.
Koran
————————-. Orde, Regeering dan Tucht, Faham toea dan faham baharoe. (1929, Mei).
Wasita.
[1] Lihat M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200—2004, hal 367, Jakarta :
Serambi, 2005.
Merekonstruksi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Totok Amin Soefijanto
BANGSA Indonesia selalu tidur. Dalam mimpi yang seperti berulang- ulang terjadi itu, mereka melihat
persoalan yang nyaris sama. Setiap bertemu masalah, mereka berpikir kalau jalan keluarnya juga
ditemukan di tempat yang sama, yaitu pendidikan. Pada awal perjuangan kemerdekaan di awal abad ke-
20, tokoh masyarakat seperti dokter Wahidin Sudirohusodo menyebut pendidikan sebagai cara ampuh
untuk mengentaskan bangsa Indonesia dari keterbelakangan dan kemelaratan.
Apakah benar pendidikan bisa menjadi obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di masyarakat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama yang harus dilakukan sebagai bangsa Indonesia adalah
membuka mata dan bangun dari tidur yang panjang. Kita tidur sejak tahun 1913, ketika seorang pemuda
terdidik dan dari lingkungan keraton Jawa bernama Soewardi Soerjaningrat dengan lugas menulis di
media Belanda De Express berjudul "ls Ik Nederlander was".
Dalam tulisan yang menggegerkan negeri penjajah itu, pemuda yang lalu lebih dikenal dengan Ki Hajar
Dewantara itu berandai-andai menjadi orang Belanda dan berniat memberikan kemerdekaan kepada
tanah jajahannya: Hindia Belanda alias Indonesia.
Kita dengan takjub mendengarkan petuah Ki Hajar tentang pendidikan yang seolah dengan rapi dikemas
ke dalam konsep sederhana "Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani".
Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi. Amat
disayangkan bila konsep ini tidak pernah dijabarkan dengan lebih rinci, meski kemudian ajarannya
dijadikan dasar gerakan pendidikan Taman Siswa yang memiliki jaringan sekolah di Tanah Air. Ki Hajar
sendiri lalu disebut Bapak Pendidikan. Lebih jauh lagi bahkan pemerintah menggunakan semboyannya
untuk logo departemen yang mengurusi pendidikan. Kita kian lelap tertidur. Persoalan masyarakat,
khususnya pendidikan, pasti beres.
YANG salah di sini bukan Ki Hajar yang dengan susah payah berpikir, menulis, dan pertama kali
mengampanyekan idenya di depan rekan-rekan sejawat dalam gerakan Boedi Oetomo. Yang salah
adalah kita yang cepat terkesima dengan jalan keluar yang tampak siap pakai dan siap berhasil. Karena
Indonesia adalah bangsa majemuk, maka sistem pendidikan Ki Hajar yang "netral" terhadap semua
perbedaan mestinya yang paling cocok.
Padahal, persoalannya tidak sesederhana itu. Bagaimana dengan pendidikan tradisional pesantren di
desa-desa, sekolah-sekolah yang mengadopsi sistem pendidikan Belanda yang didirikan tokoh Islam
perkotaan, sekolah-sekolah swasta yang berangkat dari inisiatif kelompok masyarakat Kristen dan agama
non-Islam lain, dan sekolah yang dimulai dari inisiatif lokal kedaerahan? Konsep Ki Hajar tentu tidak bisa
begitu saja mewadahi atau menyapu semangat masyarakat untuk mengembangkan pendidikan sesuai
aspirasi masing-masing.
Setelah triliunan rupiah, miliaran dollar AS, jutaan murid lulus, dan empat presiden, kita masih juga
berkutat dengan persoalan sama. Konsep Ki Hajar tetap ada, meski terasa seperti buah simalakama. Apa
pun yang kita lakukan terhadap konsep ini akan menghasilkan malapetaka. Bila ditinggalkan, konsepnya
masih relevan untuk bangsa Indonesia yang majemuk dan sedang dalam proses transisi menuju negara
demokrasi di tengah era globalisasi.
Kita merasa bila rasa nasionalisme diperlukan untuk membendung pengaruh luar, misalnya Barat dan ide
terorisme yang menggunakan jargon keagamaan. Repotnya, bila mau diterapkan, konsep Ki Hajar ini
harus digali lebih dalam dan diuji secara ilmiah lewat berbagai penelitian agar jelas sosoknya dan
memudahkan penerapan di lapangan.
Salah satu masalah dari konsep Ki Hajar adalah terpusatnya proses pendidikan di tangan guru. Seolah,
bila gurunya baik semuanya akan berjalan baik. Kata guru, dalam bahasa Jawa bisa dijabarkan menjadi
digugu lan ditiru (didengar dan dijadikan contoh).
Penerapan ide di lapangan bisa dilihat di banyak tempat, misalnya kenaikan gaji guru, anggaran
pendidikan ditambah, dan manajemen berbasis sekolah (MBS). Padahal, pendidikan bukan cuma berisi
guru. Kita bisa lihat banyaknya unsur selain guru, seperti murid (anak didik), kurikulum, dan lingkungan.
SISTEM pendidikan kita hingga kini memperlakukan anak didik sebagai penampung atau meminjam
istilah Freire, depositor, yang menampung semua ucapan dan ajaran guru di depan kelas. Umpan balik
dari murid amat jarang terjadi. Seringkali ini bukan karena gurunya yang gagal merangsang anak didik
untuk bertanya, tetapi karena itulah kebiasaan sejak lama (lingkungan), dan guru harus mengejar target
setiap mata pelajaran (kurikulum) seperti sopir bus kota yang mengejar setoran yang dalam beberapa
kesempatan mesti mengabaikan rambu-rambu lalu-lintas dan kadang-kadang keselamatan dirinya dan
penumpang.
Yang mengenaskan, proses pendidikan semacam ini tidak hanya terjadi di SD, tetapi juga di perguruan
tinggi yang muridnya lebih dewasa dan gurunya lebih terdidik. Soalnya, bahan baku atau calon
mahasiswanya sejak TK sudah dibiasakan menjadi penampung.
Barulah bila mereka keluar negeri dan bersekolah di universitas Barat yang maju, terasalah betapa
mahasiswa Indonesia terkenal dengan "duduk, diam, dan mendengarkan dengan baik". Seorang profesor
dengan bercanda bilang, “Sit, relax, and enjoy the ride" (duduk, santai, dan nikmatilah perjalanan ini).
Kita harus mulai melihat persoalan pendidikan secara sistematis dan menyeluruh. Tidak hanya
berkonsentrasi ke satu guru, cuma melihat kurikulum, atau berfokus ke lingkungan saja.
Yang terlibat juga bukan hanya para pejabat, mantan pejabat, atau "orang-orang penting" saja, tetapi
seluruh lapisan masyarakat termasuk orangtua dan dunia usaha. Sebagai contoh, Rancangan Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional yang ramai dibicarakan kelak akan berujung ke penyusunan
kurikulum nasional dan daerah.
Bila saat penyusunan undang-undangnya begitu ramai dan banyak pihak terlibat, banyak pihak pesimistis
bila pemerintah bersedia mendengarkan kritik dan usul masyarakat saat penyusunan kurikulum nanti.
Sebab, berbeda dengan undang-undang yang mesti melibatkan DPR, penyusunan kurikulum sudah
sepenuhnya menjadi porsi pemerintah.
Penyusunan kurikulum pendidikan kita selama ini tidak merangsang adanya umpan balik. Jangankan dari
murid, dari masyarakat dan orangtua pun, pemerintah yang secara legal memiliki wewenang
menciptakan kurikulum nasional tak pernah sekalipun membuka kesempatan untuk itu.
Kita sudah merdeka 58 tahun, tetapi mentalitas penyelenggara dan birokrasi pemerintahan yang
mengurusi pendidikan masih mengandalkan pendekatan formal, seolah merekalah yang paling tahu. Kita
bisa melihatnya dari penempatan pikiran Ki Hajar Dewantara yang nyaris tanpa koreksi. Yang terus
dipakai hanyalah ’ing ngarso sung tulodho’ (di depan memberi contoh, memimpin), bukan ’ing madyo
mangun karso’, apalagi ’tut wuri handayani’.
Saya mempunyai keyakinan, Saudara Ketua, bahwa seandainya bangsa kita tidak keputusan
naluri atau tradisi, tidak kehilangan “garis kontinu” dengan zaman yang lampau, maka sistem
pendidikan dan pengajaran di negeri kita… pasti akan mempunyai bentuk serta isi dan irama,
yang lain daripada yang kita lihat sekarang… (Ki Hadjar Dewantara).
Tulisan di atas adalah pendapat Ki Hadjar Dewantara yang disampaikan dalam Pidato
Penerimaan Gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada pada 7 November 1956.
Tulisan ini secara jelas memperlihatkan refleksi Ki Hadjar Dewantara tentang keadaan bangsa
Indonesia yang mengalami distorsi atau penyimpangan jalannya sejarah peradaban pada masa
silam selama 350-an tahun sebagai akibat penjajahan Belanda. Situasi penjajahan ini membawa
akibat terputusnya tradisi dan budaya, termasuk di dalamnya sistem pendidikan bangsa
Indonesia. Akibatnya, bangsa Indonesia sangat lama mengalami kevakuman dan “terpaksa”
harus berkiblat ke Barat dalam bentuk, isi, dan irama sistem pendidikan dan pengajaran.
Seandainya tidak ada penjajahan, bangsa Indonesia pasti akan mempunyai sistem pendidikan
yang bentuk, isi, dan iramanya lain.
Ki Hadjar Dewantara melihat bahwa pendidikan ala Belanda yang muncul sebagai Ethische
Politiek pada permulaan abad ke-20 tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia karena hanya
mementingkan aspek intelektual, individual, material, dan kepentingan kolonial serta tidak
mengandung cita-cita kebudayaan nasional. Sistem pendidikan yang berkembang sesudah era itu
masih memperlihatkan pengaruh yang kuat sistem pendidikan ala Belanda. Padahal dalam tradisi
bangsa Indonesia, menurut Ki Hadjar, kita mengenal istilah pendidik seperti pujangga, dalang,
dwidjawara, hadjar, pendita, wiku, begawan, wali, kyai, dan juga istilah anak didik seperti
mentrik, sontrang, dahyang, cantrik, dan santri. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah
memiliki sejarah pendidikan yang panjang, yang berakar dari budaya bangsa sendiri, namun
terputus karena penjajahan Belanda yang berlangsung selama 350 tahun.
Masa penjajahan Belanda adalah masa terdistorsinya tradisi, budaya, dan pendidikan bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan dalam berbagai ilmu,
misalnya ketatanegaraan, sastra, budaya, teknologi, pelayaran, pertanian, seperti yang terlhat
pada masa Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur (abad IV), Kerajaan Tarumanegara di Jawa
Barat (abad V), Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (abad VI), Kerajaan Sriwijaya di Sumatra
(abad VII), dan Kerajaan Majapahit (abad XIV); mengalami masa-masa pembodohan,
pemiskinan, dan pengkerdilan sebagai bangsa terjajah pada era sesudahnya. Berbagai ilmu khas
yang ada di Nusantara banyak yang diambil dan dipelajari oleh kaum penjajah sehingga di
Belanda berkembang apa yang disebut Indology, yakni studi tentang budaya, bahasa, dan
kesusasteraan nusantara. Sementara itu, bangsa Indonesia sebagai kaum terjajah selama beberapa
generasi mengalami titik nadir dalam berbagai aspek itu. Faktanya adalah tidak ada upaya untuk
mengembangkan pendidikan. Kalau akhirnya ada, itupun terbatas bagi kalangan priyayi dan
tidak untuk rakyat kebanyakan atau demi memenuhi kebutuhan pemerintahan kolonial di bumi
nusantara pada waktu itu.
Masa generasi yang hilang pernah dialami bangsa Indonesia. Masa sulit itu terjadi pada waktu
Kerajaan Mataram di era pasca Sultan Agung hingga era Kebangkitan Nasional. Dalam kurun
waktu selama itu, bangsa Indonesia mengalami penetrasi dalam segala hal, seperti politik,
ekonomi, sosial, dan budaya oleh Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan pemerintah
Hindia Belanda. Masa-masa itu terjadi pembodohan, pemiskinan, dan pengkerdilan yang luar
biasa yang mengakibatkan hilangnya harkat dan martabat sebagai bangsa besar.
Banyak upaya fisik dan non-fisik yang telah dilakukan oleh putera-puteri terbaik bangsa mulai
dari perlawanan Sultan Agung, Amangkurat, Raden Mas Said atau Pangeran Samber Nyawa,
Pangeran Mangkubumi, Pattimura, Pangeran Diponegoro, Cut Nyak Dien, RA Kartini, dan
sebagainya, hingga perlawanan dengan jalur politik seperti Indische Partij, Budi Utomo, Sarekat
Dagang Islam (SDI), serta perlawanan melalui jalur pendidikan dengan munculnya sekolah
keagamaan dan kebangsaan seperti Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs
Instituut.
Adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, putera dari Pakualaman
Yogyakarta, yang secara intens berupaya menyambung kembali garis tradisi bangsa Indonesia
yang terputus dengan kejayaan masa lampau melalui jalur pendidikan. Ki Hadjar dengan
perguruan Taman Siswa, yang didirikannya pada tahun 1922, berupaya meletakkan dasar-dasar
kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di
Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku. Semua itu didedikasikan untuk
memulihkan harkat dan martabat bangsa dan menghilangkan kebodohan, kekerdilan, dan
feodalisme sebagai akibat nyata dari penjajahan. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara adalah
salah satu di antara sekian putera-puteri terbaik bangsa Indonesia yang telah berupaya
menyambung benang merah peradaban bangsa Indonesia yang sempat terputus sekian lama.
Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan memberikan harapan baru untuk kemajuan
bangsa Indonesia, bukan hanya pada masa awal kemerdekaan, masa kemerdekaan, dan masa
pasca kemerdekaan; tetapi juga ketika bangsa ini mengalami carut-marut pendidikan pada masa
reformasi dan globalisasi.
Pertama, Ki Hadjar Dewantara melihat pendidikan dengan perspektif antropologis, yaitu
bagaimana warga masyarakat meneruskan warisan budaya kepada generasi berikutnya dan
mempertahankan tatanan sosial. Tentang hal ini Ki Hadjar menyatakan bahwa “pendidikan
adalah tempat persemaian segala benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarakat
kebangsaan”. Dengan demikian, segala unsur peradaban dan kebudayaan tadi dapat tumbuh
dengan sebaik-baiknya dan dapat diteruskan kepada anak cucu yang akan datang.
Ki Hadjar Dewantara bukanlah seorang yang terjebak dalam romantisme kejayaan masa lalu
yang hanya memikirkan pewarisan budaya melalui pendidikan. Kalaupun aspek ini ditekankan
oleh Ki Hadjar, penyebabnya adalah anak-anak bangsa ini pernah mengalami dan merasakan
sebagai generasi yang hilang. Ki Hadjar memandang penting pewarisan budaya ini sebagai cara
menyambung kembali peradaban bangsa yang pernah terdistorsi.
Ki Hadjar juga nemikirkan kemajuan budaya bangsa yang harus selalu bertumbuh. Menurut Ki
Hadjar, pendidikan merupakan proses akulturasi, dalam oengertian, masyarakat tidak hanya
menyerap warisan budaya tetapi juga memadu-kan berbagai unsur budaya tanpa menghancurkan
unsur inti atau tema utama kebudayaan, dalam hal ini kebudayaan nasional (Cultureel
Nationalisme). Ki Hadjar Dewantara (1964:19) memunculkan Asas Tri-Kon, bahwa pertukaran
kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara Kontinuitet dengan alam kebudayaannya
sendiri, lalu Konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada, dan akhirnya, jika
sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia
yang Konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia,
tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri. Inilah suatu bentuk dari sifat
Bhinneka Tunggal Ika.
Ki Hadjar Dewantara sangat arif dalam menyikapi pengaruh budaya Barat, dia menganjurkan
untuk bersikap selektif terhadap unsur budaya Barat. Dia menyadari bahwa dia pernah
mengenyam pendidikan Barat, baik ketika di ELS (Sekolah Dasar untuk orang Eropa) maupun
ketika mengalami masa pembuangan di Belanda bersama dua sahabat karibnya, Dr. Douwes
Dekker dan dr. Cipto Mangunkusumo. Bahkan menurut kesaksian Bambang Sukawati
Dewantara, dalam bukunya yang berjudul “Mereka yang Selalu Hidup: Ki Hadjar Dewantara
dan Nyi Hadjar Dewantara”, dituliskan bahwa Ki Hadjar Dewantara, yang pada waktu itu
bernama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, sangat senang ketika mendengar kabar dari ayahnya,
Suryaningrat, bahwa dia diperbolehkan masuk ELS atas ijin dari Meester Abendanon.
Kedua, Ki Hadjar Dewantara memiliki pemikiran bahwa pendidikan nasional harus berdasarkan
pada garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupan, yang dapat
mengangkat derajat negeri dan rakyatnya, sehingga bersamaan kedudukan dan pantas
bekerjasama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa Ki Hadjar Dewantara adalah seorang yang sangat menghargai
pluralisme atau kemajemukan. Dia juga seorang yang berpikiran futuristik.
Sistem pendidikan nasional yang digagas Ki Hadjar Dewantara 50-an tahun yang lalu adalah
sistem pendidikan yang tanggap dan mampu menjawab tatanan dunia yang mengglobal, yang
dipacu oleh proses pemisahan waktu dari ruang. Pembebasan waktu dan ruang yang oleh
Giddens (1990) dan Sastrapratedja (2001) disebut sebagai disembedding merupakan faktor dari
proses modernisasi dan membawa implikasi pada universalisasi yang memungkinkan jaringan
global berbagai hubungan antarbangsa melintasi ruang dan waktu.
Apa yang terjadi pada masa sekarang ini tampaknya sudah diprediksikan oleh Ki Hadjar
Dewantara sehingga dalam konsep pendidikan nasional yang digagasnya diusulkan asas Tri-Kon,
yakni kontinuitet, konvergensi, dan konsentris. Asas ini dimaksudkan sebagai cara untuk
mengubah paradigma dan pola berpikir dalam menyikapi kemajemukan budaya nasional maupun
internasional melalui pendidikan dan pengajaran. Wawasan kemajemukan ini membuka peluang
bagi berkembangnya sikap toleran, inklusivisme, dan non-sektarianisme yang merupakan wujud
konkret dari Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga, Ki Hadjar Dewantara juga memandang penting pendidikan budi pekerti. Menurut dia,
pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan
materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia.
Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dihidupi dan
dijadikan pedoman hidup keluarga-keluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam
dunia pendidikan. Nilai-nilai luhur tersebut memperlihatkan kearifan budi pekerti yang
memperlihatkan harkat dan martabat bangsa.
Pendidikan dalam konteks pemikiran Ki Hadjar tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar
atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi
yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif).
Pendidikan juga harus mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki
rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan
akan mampu membawa anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia memiliki sejarah yang sangat tua, bahkan lebih tua dari bangsa
adi daya seperti Amerika dan Australia. Peradaban bangsa Indonesia telah mulai bertumbuh
semenjak pada Abad ke-4 sesudah Masehi. Bangsa Indonesia dalam perspektif historis pernah
mengalami distorsi peradaban selama 350 tahun akibat penjajahan Belanda sehingga mengalami
kemunduran dalam berbagai segi.
Ki Hadjar Dewantara atau Raden Mas Suwardi Suryaningrat, putra dari Pangeran Suryaningrat,
cucu dari KGPAA Paku Alam III, adalah satu di antara putera terbaik bangsa yang berupaya
menjalin dan menyambung kembali peradaban bangsa Indonesia melalui gerakan pendidikan
dengan Perguruan Nasional Taman Siswa atau Nationaal Onderwijs Instituut. Ki Hadjar
Dewantara melalui pemikiran-pemikirannya, meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang
bercirikan kebangsaan dan kebudayaan nasional. Dia berupaya membangun kembali kesadaran
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bermartabat, dan berperadaban tinggi setara
dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dialah Bapak Pendidikan Nasional yang pemikiran-
pemikirannya patut dipertimbangkan kembali untuk mengatasi carut-marut pendidikan nasional
pada era reformasi dan globaklisasi sekarang ini. (***)
-o0o-
Tulisan ini adalah karya KGPAA Sri Paku Alam IX yang dimuat dalam rubrik Opini harian
Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Kamis Wage 5 Juni 2008 (1 Jumadilakir 1941 S).
Termuat atas kerjasama Panitia Bedah Buku Nasional Pura Pakualaman dengan PT BP
Kedaulatan Rakyat menyambut 202 Taun Adeging Negari Pakualaman.
16 Komentar
hahaha dan selama ini yang banyak kita ketahui adalah devide et impera…
Kang Nur:
dan mem-besar2kan bahwa kita menjadi terjajah adalah akibat ‘devide et impera’-nya penjajah,
adalah seperti melemparkan kesalahan semata kepada pihak penjajah.. padahal kebanyakan
karena kebodohan kita sendiri.. pelajaran sejarah semestinya mampu mmbangkitkan semangat,
bukannya me-nyalah2kan nasib.. he..he bukan hapalan kosong dan olok-olok
Pendidikan haruslah mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta
(kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif).
Biasanya banyak yang dikenal di dunia pendidikan adalah kognitif, afektif, dan motorik.
Ketiganya harus seimbang agar sukses di dunia akhirat.
salam superhangat.
Kang Nur:
gak tahu ya? nyatanya seperti itu kok yg saya kutip. ..tapi ‘kemauan’ itu mmg ‘kan juga sangat
penting, jadi bukan sekedar fisik
Kang Nur:
Kang Nurr:
yes
suwe g mampir nang kang nur..heuehue tak polow wes biar ndak ketinggalan..yup…idealnya
memang seperti itu konsep nya..hennah trus prakteknya?
Kang Nur:
ya, konsep Ki Hadjar memang juga lebih menonjolkan kearifan lokal, ..lha di jaman sekarang
(globalisasi katanya ini) model2 bahkan institusi pendidikan malah banyak yg dari luar
di-”cangkok” di sini.. katanya itu ‘unggulan’, qta perlu meng-adopsi-nya, biar maju gak
ketinggalan.. saya gak tahu dech lha kalo globalisasi ini juga ‘menyerbu’ bidang pendidikan, apa
ya nilai-nilai budaya yg mau dimiliki anak2 kita itu juga nilai2 budaya dari luar?
Kang Nur:
legendaris ya?, tapi jarang dikaji serius
top
Kang Nur:
mar ko Topp
Masih adakah semangat Ki Hajar Dewantara pada pendidikan kita sekarang ini di mana guru dan
murid sama2 ingin meraih tujuan dengan cara sesingkat2nya namun tidak terpuji seperti
membocorkan soal2 ujian nasional?? Walahualam….
Kang Nur:
wah gak tahu lah Bang.. kebanyakan orang mmg ingin cari untung dg cara se-singkat2nya ya?
trmasuk bidang pendidikan pun begitu.. he..
Kang Nur:
apa juga iingin mendapat Penataran P4 lagii? boleh
Salam kenal, salam persahabatan, dan salam persaudaraan dari saya mas, Upasaka Ratana
Kumaro…
Kang Nur:
Terima kasih kembali. Sama-sama, pak.
Kang Nur:
gak tau tu.. pendidikan sekarang, acuan n rujukannya apa ya? ;(
Pendidikan itu jangan hanya agar manusia menjadi kaya, atau makmur dunianya, bukan agar
manusia bisa senang-senang di dunia foya-foya.
Tapi pendidikan itu agar manusia itu menjadi baik, tau tujuan hidupnya, tabah menjalani
hidupnya, bahagia dunia dan akhiratnya, bagaimanapun kondisi fisik/ekonomi/dsb dunianya.
Kang Nur:
tul. stuju
jadi tahu maksud kakekku kenapa kasih nama belakangku sama dengan nama belakangnya
Beliau…
Kang Nur :
Berarti nama belakang situ = Dewantara? Bagus lho, semoga sesuai memenuhi harapan kakek.
Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani… *halah, mung menika
ingkang kula apal*
Kang Nur :
ya sudah lumayan ada yg dihapal
Kang Nur:
Sekarang ini masih ada yg ikhlas ataukah tidak ya Tengku? Jangan2 kebanyakan minta imbalan
saat-ini-juga?
Jakarta, Kompas, 25 Agustus 2006 - Kerinduan untuk membicarakan ide-ide pendidikan Ki Hajar
Dewantara dari Tamansiswa dan Muhammad Sjafei dari INS Kayutanam muncul kembali setelah sekian
lama ditinggalkan.
Seminar tentang gagasan pendidikan Tamansiswa dan INS Kayutanam yang diselengggarakan
Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis (24/8), mendapat sambutan antusias dari berbagai
kalangan.
Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal mengemukakan, selama ini
banyak pihak sibuk mencari perbandingan ke negara-negara lain untuk mencari ide-ide pendidikan.
Padahal ada berbagai ide pendidikan monumental yang lahir dalam sejarah pendidikan nasional. Bahkan
ide-ide pendidikan yang disampaikan oleh UNESCO sekalipun, ada yang merujuk pada gagasan
pendidikan yang dikembangkan di Indonesia sejak 85 tahun silam.
Menurut Fasli, Tamansiswa dan INS Kayutanam merupakan dua pilar pemikiran pendidikan di Indonesia
yang bisa dikembangkan untuk menciptakan pendidikan yang bermutu dan kompetitif sekaligus berbasis
pada kultur Indonesia.
Ketua III Majelis Luhur Perguruan Tamansiswa Ki Supriyoko mengemukakan, pendidikan Tamansiswa
tidak hanya mengagung-agungkan kecerdasan. Tamansiswa mengajarkan keseimbangan antara
pengembangan pribadi dan kecerdasan. Pendidikan Tamansiswa tidak hanya bertujuan mengembangkan
kecerdasan dan keterampilan, tetapi juga bertujuan membangun anak didik menjadi manusia yang
beriman, berakal budi luhur, dan bertanggug jawab atas bangsa, tanah air, dan manusia pada umumnya.
Gagasan pendidikan Tamansiswa saling mengisi dengan pemikiran pendidikan Muhammad Syafei yang
mendirikan INS Kayutanam. Mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek mengatakan, Muhammad
Sjafei mengajarkan pendidikan merupakan alat untuk menjadi diri sendiri. Salah satu pepatah-petitih yang
disampaikan Sjafei adalah jangan minta buah mangga kepada pohon rambutan, tetapi jadikanlah tiap
pohon menghasilkan buah yang manis.
"Kalau jadi dokter jadilah dokter yang baik. Kalau jadi pedagang jadilah pedagang yang baik. Akan tetapi
jangan dokter jadi pedagang," kata Moeloek.
Pengamat pendidikan HAR Tilaar menambahkan, gagasan pendidikan Tamansiswa maupun INS
Kayutanam memiliki unsur- unsur penting yang dikenal dalam ilmu pendidikan modern. INS Kayutanam
tumbuh dalam konteks kebudayaan Indonesia-Minang. Ini sesuai pemikiran pendidikan modern yang
selalu melihat pendidikan dalam konteks pendidikan. Pendidikan INS Kayutanam juga sangat kental
dengan nasionalisme. Roh semacam ini, kata Tilaar, hilang dalam pendidikan Indonesia saat ini.
Mantan Rektor IKIP Jakarta Winarno Surakhmad mengatakan, bila gagasan pendidikan Tamansiswa dan
Kayutanam hidup pada zaman Belanda, gagasan mereka justru mati dalam zaman republik.(wis)
Ki Hadjar Dewantara
Diposting oleh Rudianto pada 6/18/2009 10:54:00 AM
Thursday,Jun
Mengapa saya ingin mempostingkan tentang tokoh ini? Karena saya merasa sangat kagum pada
perjuangan beliau dan juga karena jasa beliaulah bangsa kita dapat mengenyam pendidikan lebih
baik dan lebih mudah daripada di zaman penjajahan Belanda. Yang ingin saya ceritakan tentang
beliau dari Ensiklopedia Bebas, Wikipedia.
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya
dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – wafat di Yogyakarta, 26 April
1959 pada umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah
aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum
pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial
dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi
propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat
Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan
kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres pertama BO di Yogyakarta juga
diorganisasi olehnya.
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi
sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.
Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam
memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan
akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua
rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka
bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga
Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal
Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).
Taman Siswa
Catatan kaki
1.^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa, tokohindonesia.com menyebutkan 28 April 1959 sebagai tanggal wafat.