You are on page 1of 44

02.05.

2004 07:56:00 20234x dibaca


PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA TENTANG PENDIDIKAN
Oleh Br. Theo Riyanto, FIC

Pada jaman kemajuan teknologi sekarang ini, sebagian besar manusia dipengaruhi perilakunya
oleh pesatnya perkembangan dan kecanggihan teknologi (teknologi informasi). Banyak orang
terbuai dengan teknologi yang canggih, sehingga melupakan aspek-aspek lain dalam
kehidupannya, seperti pentingnya membangun relasi dengan orang lain, perlunya melakukan
aktivitas sosial di dalam masyarakat, pentingnya menghargai sesama lebih daripada apa yang
berhasil dibuatnya, dan lain-lain.

Seringkali teknologi yang dibuat manusia untuk membantu manusia tidak lagi dikuasai oleh
manusia tetapi sebaliknya manusia yang terkuasai oleh kemajuan teknologi. Manusia tidak lagi
bebas menumbuhkembangkan dirinya menjadi manusia seutuhnya dengan segala aspeknya.
Keberadaan manusia pada zaman ini seringkali diukur dari “to have” (apa saja materi yang
dimilikinya) dan “to do” (apa saja yang telah berhasil/tidak berhasil dilakukannya) daripada
keberadaan pribadi yang bersangkutan (“to be” atau “being”nya). Dalam pendidikan perlu
ditanamkan sejak dini bahwa keberadaan seorang pribadi, jauh lebih penting dan tentu tidak
persis sama dengan apa yang menjadi miliknya dan apa yang telah dilakukannya. Sebab manusia
tidak sekedar pemilik kekayaan dan juga menjalankan suatu fungsi tertentu. Pendidikan yang
humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia
lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar
Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)).
Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !”

Di tengah-tengah maraknya globalisasi komunikasi dan teknologi, manusia makin bersikap


individualis. Mereka “gandrung teknologi”, asyik dan terpesona dengan penemuan-
penemuan/barang-barang baru dalam bidang iptek yang serba canggih, sehingga cenderung
melupakan kesejahteraan dirinya sendiri sebagai pribadi manusia dan semakin melupakan aspek
sosialitas dirinya. Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga
memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan
kebersamaan sebagai masyarakat manusia. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga
dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri
peserta didik.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan
ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari
masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada
pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika
berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan
makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.
Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri.
Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan
budaya masyarakat yang melingkupinya.

Ki Hajar Dewantara sendiri dengan mengubah namanya ingin menunjukkan perubahan sikapnya
dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari
pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar
Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan
kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para
peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru
kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri
memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan. Pendidik atau
Sang Hajar adalah seseorang yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan keimanan,
sekaligus masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai
pendidik yang merupakan perantara Tuhan maka guru sejati sebenarnya adalah berwatak pandita
juga, yaitu mampu menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa keselamatan.

Manusia merdeka adalah tujuan pendidikan Taman Siswa. Merdeka baik secara fisik, mental dan
kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibatasi oleh tertib damainya kehidupan bersama
dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan, kekeluargaan, musyawarah, toleransi,
kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan disiplin. Sedangkan maksud pendirian Taman
Siswa adalah membangun budayanya sendiri, jalan hidup sendiri dengan mengembangkan rasa
merdeka dalam hati setiap orang melalui media pendidikan yang berlandaskan pada aspek-aspek
nasional. Landasan filosofisnya adalah nasionalistik dan universalistik. Nasionalistik maksudnya
adalah budaya nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik secara politis, ekonomis,
maupun spiritual. Universal artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law), segala sesuatu
merupakan perwujudan dari kehendak Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka
dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan kedamaian tumbuh dalam diri (hati)
manusia. Suasana yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah suasana yang berprinsip pada
kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing
anggotanya. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu
peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual;
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan aspek intelektual sebab akan memisahkan
dari orang kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu tetapi perbedaan
antara masing-masing pribadi harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya memperkuat
rasa percaya diri, mengembangkan hara diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru
hendaknya rela mengorbankan kepentingan-kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para
peserta didiknya. Peserta didik yang dihasilkan adalah peserta didik yang berkepribadian
merdeka, sehat fisik, sehat mental, cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan kesejahteraan orang lain. Metode yang yang
sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan
pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang
dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan
selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati
kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat
yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.

Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan
komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi
sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain:
keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka
penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan;
menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat.
Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif
demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.

Akhirnya kita perlu menyadari bahwa tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia muda.
Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna dan
berpengaruh di masyarakatnya, yang bertanggungjawab atas hidup sendiri dan orang lain, yang
berwatak luhur dan berkeahlian. Semoga!

Theo Riyanto, FIC

17 KOMENTAR
01.05.2007 18:40:25
Saya terkesan dengan hidup Ki Hajar Dewantara untuk Pendidikan Bangsa Indonesia

BENEDICTA FELICIA P D http://www.yahoo.com


19.10.2007 00:36:46
Ki Hajar Dewantara dalam pola pendidikan nasional. cukup bagus namun dalam pelaksanaan
masih kurang

ADYPRIYANTO
22.10.2007 01:16:18
saya sedang mencari kurikulum yang tepat utk bangsa indonesia. Kira2 apakah international
curiculum sudah tepat? kalau ada ide mohon balas di email saya.kalau bisa cepat.
AYU N R
15.11.2007 04:16:49
Seberapa dalam kita mempelajari sistem pendidikan yang ditawarkan beliau? Seberapa buruk
sistem pendidikan yang kita adopsi dari barat??
dan seberapa sering kita mempelajari, mengkaji, dan memikirkan sebuah konsep pendidikan
yang paling sesuai dengan Indonesia??
bahkan saya mempertanyakan seberapa sering, banyak, artikel ini di baca.
LUQMAN
27.02.2008 21:19:42
bagaimana kalau UN ditiadakan,menurut pemikiran saya itu kurang efektif
ARIE NURDIANSYAH
25.03.2008 03:39:48
terima kasih atas artikel ini..!!!!!
karena telah dapat membantu saya dalam membuat rubrik profil untuk mading kelompok saya
yang akan dikompetisikan untuk tngkat provinsi..
ekali lagi terima kasih dan doakan agar kami dapat meraih juara #1 tentunya..!!=)
AULIA
27.03.2008 03:54:13
menurut saya jika kemajuan teknologi diselaraskan/digabungkan dengan pemikiran ki hajar
dewantara maka pendidikan akan berjalan cukup bagus
NEEYA
09.04.2008 04:31:27
saya berharap bangsa indonesia sekarang terlahir kembali setelah membaca artikel ini.Mari kita
menjadi kihajar dewantara yang baru yang selain berpikir untuk memajukan pendidikan di
indonesia tapi juga merealisasikannya secara nyata.

RIRIS
02.05.2008 10:00:06
Terima kasih telah menyusun artikel ini. karena sebagai generasi muda, saya merasa pendidikan
terlalu mengutamakan pada teori. hal ini menciptakan manusia robot tanpa perasaan,dan kurang
moralitasnya. Kami mengalami kejenuhan dalam belajar, belajar seharusnya menyenangkan, dan
bisa diterapakan dimana saja. mutu pendidikan dapat dinilai dari tingkat perkembangan
kepribadian pelajarnya. karena dalam pendidikan, kami juga dididik, selain diajarkan.
Pendidikan sekarang menjadi sangat mahal, hanya yang mampu saja. hal Ini telah melenceng
dari makna dan tujuan pendidikan itu sendiri.
LIA
28.08.2008 08:12:02
ahahhahahah makasih ya setidaknya mempermudah untuk nyelesain tugas ku ^0^
ELZ
05.12.2008 01:26:00
hehehehehehehheheheh, mksih ya tlah mmpermudah tgas2 q
TIYA
10.03.2009 21:44:41
huhuhu..
ada g ya, ki hajar dewantara milenium..
CANTIK
02.04.2009 08:09:43
gw rasa ada benernya juga tapi yang namanya manusia memang selalu ingin tahu dan ingin tahu
jadi wajar lah ......
yaa yang pasti tori lebih banyak dari pada praktek ^__^
THREELION http://www.yahoo.com
08.04.2009 09:22:19
Saya bangga terhadap Ki Hajar Dewantara tapi apakah telah di buktikan dalam pendidikan?
RENI
20.05.2009 00:13:47
setelah membaca artikel di atas, saya pikir memang benar, proses pendidikan kita sudah
melenceng jauh dari cita cita KHD.. pendidikan kita sudah carut marut, sarat kepentingan, dan
sangat mekanistik dan tidak INDONESIAWI..

saya pikir ada satu model pembelajaran yang bisa menggantikan proses pendidikan kita saat ini.

kami sudah menerapkannya di tempat kami..


Qaryah Thayyibah

di sini kami mengusung kurikulum KBK (Kurikulam Berbasis Kebutuhan)

anak2 di bebaskan untuk berekspresi. tidak ada aturan aturan yang membelenggu. komunitas
kami sangat memerdekaan otak. kembali ke KBK kami..

KBK adalah kurikulum yang sangat fleksibel. belajar berbasis pada kebutuhan masing masing.

bagaimana agar yang dipelajari bisa bermanfaat seraca langsung terhadap lingkungan..

komunitas kami bukan jasa persekolahan, melainkan tempat dimana orang2 yang ingin belajar
berkumpul.

---------------------
rasih_hilmi@yahoo.com
HILMIY
27.05.2009 22:35:16
thanks for ki hajar dewantara,tas prjuangan ma pengorbanaanmu mu
UMI
18.06.2009 23:21:01
inilah tujuan pendidikan yang sebenarnya yaitu menjadikan manusia sebagai mahkluk merdeka
bukannya menjadikan manusia sebagai robot atau budak seperti yang terjadi dewasa ini.
ONI
Ki Hajar Dewantara
By safegoreti
Ki Hajar Dewantara

Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-
anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu
agar mereka sebaggai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan
kebahagiaan setinggi-tingginya(Suwarno, 1985 : 2 – 3). Batasan atau rumusan di atas adaah
batasan atau rumusan menurut ahli ilmu pengetahuan yang membahas perilaku manusia terhadap
manusia. Pada dasarnya rumusan-rumusan itu ada yang member tekanan pada kegiatan orang
dewasa dan ada yang member tekanan pada kehidupan setiap orang dewasa, dan ada yang
member tekanan pada kehidupan setia orang. Namun dengan berkembangnya Teori Pendidikan
Seumur Hidup (sejak tahun 1960-an), dan pemahaman akan kegiatann fundamental manusia
dalam mengembangkan dirinya, maka arti atau makna pendidikan terikat pada ‘waktu sekarang’
dan dapat dilihat dari tiga sudut. Adapun ketiga sudut itu adalah :

1. Sudut orang dewasa susila: “Pendidikan adalah bantuan, pengaruhh orang dewasa
susila kepada orang belum dewasa susila tertuju ke pendewasaan diri orang belum
dewasa susila”.
2. Sudut orang belumm dewasa susila: “Pendidikan adalah penggunaan bantuan dari
orang dewasa susila oleh belum dewasa susila demi pendewasan dirinya”
3. Sudut interaksi keduanya : “Pendidikan adalah kegiatan interaksi orang dewasa susila
dan orang belum dewasa susila demi pendewasaan orang yang belum dewasa susila”
(Hand out ‘Pengantar Pendidikan’ Drs. Wens Tanlain, M. Pd.,hlm. 18-19).
Tujuan pepndidikan adalah membangun anak didik menjadi manusia merdeka
lahir-batin, luhur akal budinya,, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air
serta manusia pada umumnya (hand out Tamansiswa).
Asas-asas Menurut Ki Hajar Dewantara (pidato peresmian berdirinya Tamansiswa,1922):
1. Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan mengingat terbitnya persatuan
dalam perikehidupan umum. Tertib dan damai itulah tujuan yang sesungguh-
sungguhnya. Tidak ada ketertiban jika tidak bersandar pada kedamaian. Bertumbuh
menurut kodrat adalah tujuan sesungguhnya.
2. Pendidikan berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka secara
batinnya, merdeka pikiran dan merdeka tenaga. Guru jangan hanya memberi
pengetahuan yang perlu dan baik saja, tetapi mengajar murid supaya dapat mencari
sendiri pengatahuan guna beramal kepada kepentingan umum. Pengetahuan yang baik
dan perlu yaitu pengetahuanyang bermanfaat untuk keperluan lahir dan batin dalam
hidup bersama.
3. Tentang zaman yang akan dating, rakyat kita ada dalam kebingungan. Sering kali kita
tertipu oleh keadaan yang kita pandang perlu cocok untuk hidup kita, padahal itu itu
keperluan bangsa asing yang dengan kehidupan bangsa kita sendiri. Demikian sering
kali kita merusak kedamaian diri kita sendiri.
4. Pengajaran yang hanya dapat dijangkau oleh sebagaian kecil rakyat, tidak berfaedah
untuk bangsa kita. Oleh karena itu semua golongan dari bangsa kita harus mendapat
pelajaran secukupnya. Oleh karena itu lebih baik memajukan pengajaran untuk rakyat
umum dari pada mempertinggi pengajaran, karena mempertinggi pengajaran seolah-
olah mengurangi tersebarnya pengajaran.
5. Untuk dapat berusaha dengan asas bebas yang leluasa, maka kita harus bekerja
menurut kekuatan sendiri. Walaupun kita tidak menolak bantuan dari orang lain, akan
tetapi jika bantuan itu mengurangi kemerdekaan k ita lahir dan batin harus ditolak
6. Oleh karena kita bersandar pada kekuatan kita sendiri, maka haruslah seggala belanja
dari usaha kita itu dipakai sendiri denganuang pendapat biasa. Ini yang dinamakan
dengan ‘Zelf beruiping system’. Yang menjadi alatnya adalah semua perusahaan yang
tetap berdiri sendiri.
7. Dengan tidak terikat lahir batin serta kesucian hati berniatlah kita untuk berdekatan
dengan sang anak. Kita tidak meminta suatu hak, akan tetapi menyerahkan diri untuk
berhamba kepada sang anak (hand out Taman Siswa)
Yang dimaksud dengan sistem ‘among’ oleh Ki Hajar Dewantara:
Sistem “Among” adalah sebagai realisasi dan asas kemerdekaan diri, tertib dan damai
dalam masyarakat, pimpinan kebijaksanaan dengan laku ‘Tutwuri Handayani. ‘Among’
(mengemong) berarti memberi kebebasan kepada anak didik dan guru akan bertindak bila
tindakan anak didik membahayakan keselamatan dirinya. Dalam keadaan biasa pimpinan harus
tegas, anak didik harus tunduk pada pimpinan yang berlaku, kedudukan pimpinan diatas
peraturan yang berlaku. Sistem ‘among’ adalah cara pendidikan yang dilakukan Tamansiswa
yaitu mewajibkan para pamong agar mengikuti dan mementingkan kodrat pribadi anak didik
dengan tidak melupakan pengaruh-pengaruh yang melingkunginya (hand out Taman Siswa)
Metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and
dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang
mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu
menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar
Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “Educatethe head, the heart, and the hand”.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan
(relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan
komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi
sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain:
keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Maka
penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu: menjunjung tinggi pekerjaan;
menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat.
Dalam kaitan dengan ini penting juga performance/penampilan seorang profesional: secara fisik,
intelektual, relasi sosial, kepribadian, nilai-nilai dan kerohanian serta mampu menjadi motivator.
Singkatnya perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif
demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.)
Oleh karena itu boleh dapat disimpulkan bahwa sistem ‘among’ adalah suatu sistem
yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan dua asas yaitu:
a. Kodrat alam, sebagai syarat mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan
sebaik-baiknya.
b. Kemerdekaan, sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan
kekuatan lahir-batin anak, agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat
berpikir dan bertindak merdeka (hand out Tamansiswa).
Pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan yang disebut “Tri pusat Pendidikan”
yaitu :
1. Lingkungan keluarga: terutama mengenai budi pekerti, keagamaan dan kemasyarakatan
secara informal.
2. Lingkungan sekolah: mengenai ilmu pengetahuan, kecerdasan dan pengembangan budi
pekerti secara formal.
3. Lingkungan masyarakat: pengembangan keterampilan, latihan kecakapan, dan
pengembangan bakat secara non formal. (hand out Tamansiswa)
Tri pusat itu diwujudkan dalam sistem :
1. Menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk perguruan, dari tingkat dasar sampai tingkat
tinggi
2. Menyebarluaskan ajaran hidup ketamansiswaan
Jadi, menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang humanis menekankan pentingnya
pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya,
sebagai manusia yang utuh berkembang (menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta
(kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the
heart, and the hand!”

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologisnya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya.
Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang.
Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan
ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang
menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari
masyarakatnya.

Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan


makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya.
Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan
mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya, budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda.

Sr. Ety

Tag: Tokoh

Tulisan ini dikirim pada pada April 19, 2008 1:00 am dan di isikan dibawah Tokoh. Anda dapat meneruskan melihat
respon dari tulisan ini melalui RSS 2.0 feed. Anda dapat merespon, or trackback dari website anda.
Elaborasi Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Tentang Pendidikan
Oleh: Noverius Laoli

Pengantar

Mendidik menurut KHD selalu berada dalam konteks mendidik rakyat[1]. Artinya mendidik
rakyat adalah mendidik anak.[2] Maka keadaan yang kita alami sekarang ini adalah hasil dari
pendidikan zaman dulu. Kalau di zaman lampau orang tua mendidik anaknya dengan baik dan
menanamkan nilai-nilai moral, maka kita sekarang akan menikmati dan memetik hasilnya, tapi
kalau terjadi sebaliknya maka kita juga yang akan menanggung akibatnya.

Melihat sistem pendidikan sekarang ini seperti sistem UN; kekerasan di IPDN, yang secara
langsung mereduksikan arti pendidikan itu sendiri, patutlah kalau kita mulai melihat kembali
apa arti dan tujuan dari pendidikan, sebagaimana telah dicetuskan oleh bapak pendidikan kita Ki
Hadjar Dewantara. Mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusia-kan
manusia, pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalamnya, pembelajaran merupakan
komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan
disempurnakan.[3] Artinya, pendidikan adalah usaha membawa manusia keluar dari kebodohan,
dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humannes).

1. Pendidikan di Indonesia Sekarang Ini.

Melihat perkembangan pendidikan di negara ini, kita tidak bisa berharap banyak. Ketidak
menentuan sistem pendidikan, buku paket yang digunakan selalu berubah tiap tahun, pendidikan
guru yang minim, dan perhatian pemerintah yang kurang serius terhadap anggaran pendidikan
adalah fakta yang tidak dapat disembunyikan. Belum lagi budaya kekerasan yang terjadi di IPDN
akhir-akhir ini, yang banyak menyita perhatian dan keprihatinan kita sebagai bangsa Indonesia.

Ujian nasional atau UN hingga tahun 2007 ini masih jadi polemik. Namun UN jalan terus. Pada
tahun 2008 akan diterapkan di tingkat sekolah dasar.[4] Sistem ini di satu sisi menjadi salah satu
cara menaikan mutu pendidikan di Indonesia. Secara khusus mata pelajaran yang di-UN-kan
adalah mata pelajaran yang memberi motivasi belajar (incentive learning). Tindakan ini di sisi
lain adalah memandulkan arti pendidikan. Yang dikembangkan di sini adalah pengajaran yang
identik dengan pengetahuan. Sistem pendidikan-nya dihilangkan sebab pendidikan tidak hanya
sebatas pengetahuan tapi juga menyangkut nilai-nilai yang lebih tinggi dari pengetahuan.

Penolakan sebagian besar kalangan masyarakat terhadap sistem pendidikan yang diterapkan
pemerintah sekarang ini, tidak diindahkan oleh pembuat kebijakan sendiri. Ada berbagai alasan
yang kuat mengapa sistem UN ini ditolak. Pertama, sistem UN belum bisa diterapkan pada
waktu yang singkat, seperti sekarang ini sebab masih ada ribuan gedung-gedung sekolah yang
tidak layak dihuni lagi. Minimnya guru pengajar di berbagai pelosok di Indonesia adalah sesuatu
yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Kedua, sistem UN ini menjadikan siswa tidak
menghargai lagi arti pendidikan. Berbagai kecurangan terjadi secara terang-terangan di berbagai
lembaga pendidikan selama UN, seperti pengaduan dari komunitas “Air mata guru” di Medan.
Ini pertanda bahwa sekolah-sekolah di Indonesia belum siap menerapkan program ini. Akhirnya
dalam konteks sekarang, pendidikan hanya dilihat sebatas angka, lulus atau tidak lulus,
sementara nilai-nilai luhur pendidikan dilupakan. Maka pantaslah kalau kita bertanya mau jadi
apa bangsa ini ke depan?

2. Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara.

Ki Hadjar Dewantara membedakan antara sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan”. Menurutnya


pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan
kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin
(otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).[5] Manusia
merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang
lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya sistem
pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri atau
memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah
bagaimana memerdekakan manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat).[6]
Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi
nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus menyadari bahwa
setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya yang juga berhak menuntut
kemerdekaanya.

Hal ini senada dengan apa yang dituliskan oleh Iman Setyawan dalam harian kompas, bahwa
tujuan pendidikan adalah “aktualisasi diri yang merupakan pemanfaatan bakat, kapasitas, dan
potensi sehingga dapat memenuhi diri dan melakukan yang terbaik.”[7] Orang yang
mengaktulisasikan diri terlebih dahulu harus merasa merdeka. Tanpa ini, mustahil seseorang
dapat mengaktualisasikan dirinya. Merdeka dari segala metode yang membuat kita kaku dalam
mengekspresikan diri. Manusia tenggelam dalam metode, sementara lupa bahwa metode
hanyalah salah satu cara untuk mendidik.

Sistem pendidikan yang sebenarnya adalah bersifat mengasuh, melindungi, dan meneladani.
Maka untuk dapat mencapai ini perlulah ketetapan pikiran dan batin yang akan menentukan
kualitas seseorang sehingga rasa mantap tadi dapat tercapai. “Sifat umum pendidikan yang
beliau canangkan adalah segala daya-upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran, (intelect), dan tubuh anak: dalam pengertian taman siswa
tidak boleh dipisah-pisahkan bagian-bagian itu, agar supaya kita memajukan kesempurnaan
hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunia-
nya.”[8] Dari pernyataan ini dapat kita menyimpulkan bahwa makna kata pendidikan jauh lebih
luas daripada pengajaran. Pendidikan mencakup manusia seutuhnya, baik itu pendidikan
intelektual, moralitas (nilai-nilai), dan budi pekerti. Pendidikan menurut paham ini adalah
pendidikan yang beralaskan garis-hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan
prikehidupan yang dapat mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja bersama-
sama dengan bangsa lain demi kemuliaan segenap manusia di seluruh dunia.[9] Pemikiran ini
sejalan dengan pendapat Aritoteles tentang pendidikan yaitu segala usaha dan upaya untuk
memanusiawikan manusia. mengangkat harkat manusia agar semakin beradab dan
berpengetahuan. Dapat disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah
menyangkut jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di sini
termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan kemanusiaan dan
selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap peserta didik.

3. Redefinisi Arti Pendidikan

Kalau selama ini pendidikan hanya dimengerti sebatas pembentukan intektual, sementara
pembentukan budi pekerti hanya sebatas kata-kata belaka. Maka perlulah kita kembali melihat
tujuan pendidikan yang sebenarnya. Menurut KHD tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri”
sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia atau menjadikan manusia/peserta didik
kian beradab dan memiliki keadaban (humanisasi).[10] Penguasaan diri merupakan langkah yang
harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta
didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan
demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.

Selain itu pendidikan juga merupakan sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita
akan terperangkap hidup pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De
Vries mencatat, salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena
selalu merupakan produksi masa lalu.[11] Jika hingga saat ini pendidikan hanya dimengerti
sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita juga tidak akan pernah
berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa lalu yang tidak beruntung.
Dari dua pandangan ini yaitu pendidikan adalah proses penguasaan diri dan proses pembaharuan
diri. Maka saya dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan adalah sarana manusia untuk
berkreativitas. Maksudnya melalui pendidikan manusia dapat mengaktulisasikan kreativitasnya
tanpa terhalang oleh sistem-sistem yang kaku. Pendidikan menjadi tempat manusia
mengungkapkan dirinya secara lahir dan batin. Proses pendidikan ini akan memperbaharui diri
manusia untuk mencapai nilai-nilai luhur yang ada dalam dirinya, dan menjunjung tinggi nilai-
nilai luhur pendidikan serta peradaban dunia.

Penutup

Pengajaran dan pendidikan adalah dua hal yang saling melengkapi. Pengajaran membentuk
peserta didik berpikir secara intelektual dan empiris. Sementara pendidikan adalah mendidik
peserta didik untuk menjadi manusia yang mampu mandiri baik itu secara intelektual maupun
secara moral. Kedua hal ini tidak dapat diabaikan salah satunya. Tetapi pendidikan yang
berkualitas adalah pendidikan yang membentuk manusia yang mampu membimbing dirinya dan
mengambil sikap yang otonom.

Pendidikan bersifat mamanusiawikan manusia. Di mana manusia mampu menggunakan seluruh


talenta yang ada dalam dirinya, baik itu pikiran maupun hatinya. Yang sifatnya menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Daftar Pustaka

Dewantara. Ki Hadjar. 1962. Karja Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta: Percetakan Taman Siswa

Iman Setiawan, Pendidikan Humanistik, Kompas, 19 April 2007

Kompas (Tajuk Rencana), Sesudah Ujian Nasional, 18 April 2007

Kompas, 19 April 2007

Slamet Purwadi, Perkembangan Pemikiran Filosofis Indonesia (diktat)


[1] Slamet Purwadi, Perkembangan Pemikiran Filosofis Indonesia (diktat), hlm. 1.
[2] Ki Hadjar Dewantara, Karja Ki Hadjar Dewantara (bagian pertama), Jogjakarta: Percetakan Taman Siswa.
1962), hlm. 3.
[3] Iman Setiawan, Pendidikan Humanistik, Kompas, 19 April 2007.
[4] Kompas (Tajuk Rencana), Sesudah Ujian Nasional, 18 April 2007.
[5] Slamet. Op. Cit., hlm. 1.
[6] Dewantara. Op. Cit., hlm. 3.
[7] Kompas, 19 April 2007.
[8] Dewantara, Op. Cit., hlm. 15.
[9] Bandingkan dengan Ki Hadjar Dewantara, hlm. 15.
[10] Slamet. Op. Cit., hlm. 4.
[11] Kompas 20 April 2007.

~ oleh noveonline di/pada Nopember 28, 2007.

Ditulis dalam Filsafat

Ki Hadjar Dewantara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari

Ki Hadjar Dewantara.
Kredit foto: tokohindonesia.com

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat, sejak 1922 menjadi Ki
Hadjar Dewantara, EYD: Ki Hajar Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya
dengan Ki Hajar Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – wafat di Yogyakarta, 26 April
1959 pada umur 69 tahun[1]; selanjutnya disingkat sebagai "Soewardi" atau "KHD") adalah
aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum
pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa
memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.

Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.


Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan
Nasional. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar
Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Masa muda dan awal karier


• 2 Aktivitas pergerakan
• 3 Als ik eens Nederlander was
• 4 Dalam pengasingan
• 5 Taman Siswa
• 6 Pengabdian di masa Indonesia
merdeka
• 7 Catatan kaki

• 8 Pranala luar

[sunting] Masa muda dan awal karier


Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan
dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah
Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis
dan wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan
Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis
handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

[sunting] Aktivitas pergerakan


Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu
itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.

Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.

[sunting] Als ik eens Nederlander was


Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk
pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi
kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun kolom
KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda" (judul asli: "Als ik eens
Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, tahun 1913. Isi artikel ini
terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut antara lain
sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-
pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri
kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil,
tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan
untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja
sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo
teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal
yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan
yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena
gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang
menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.

Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan
ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto
Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913).
Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

[sunting] Dalam pengasingan


Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam organisasi para pelajar asal Indonesia,
Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia).

Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu
pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte, suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang
kelak menjadi pijakan dalam mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya
ini Soewardi terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan
Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga Tagore. Pengaruh-
pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.

[sunting] Taman Siswa


Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919. Segera kemudian ia bergabung
dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman mengajar ini kemudian digunakannya untuk
mengembangkan konsep mengajar bagi sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922:
Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap
berusia 40 tahun menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini
dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat dikenal di kalangan pendidikan
Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam bahasa Jawa berbunyi ing ngarsa sung tulada, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan menjadi teladan, di tengah membangun
semangat, dari belakang mendukung"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.

[sunting] Pengabdian di masa Indonesia merdeka


Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat menjadi Menteri Pengajaran
Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang
pertama. Pada tahun 1957 ia mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.)
dari universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam merintis
pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari
kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun
1959, tanggal 28 November 1959).

Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959.

[sunting] Catatan kaki


1. ^ Ini adalah versi Perguruan Tamansiswa, tokohindonesia.com menyebutkan
28 April 1959 sebagai tanggal wafat.
Wednesday, 16 April 2008
Ki Hajar Dewantara, Profil dan Pemikirannya (1)

Sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebutan pahlawan atau bukan bisa dilihat dari mana
memandangnya. Bangsa Indonesia selalu menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan
yang berhak mendapatkan bintang mahaputera, tetapi bagi Belanda mungkin dianggap
pengganggu stabilitas pemerintahan Hindia Belanda saat itu. Dan itu terjadi di sudut mana saja.

Bicara tentang pahlawan, kita memiliki ratusan tokoh besar yang berjasa untuk Indonesia.
Banyak di antara mereka yang kebetulan berasal atau pernah ditempa di kawah candradimuka
Yogyakarta, antara lain adalah Ki Hajar Dewantoro, Dr. Wahidin Sudirohusodo, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pangeran Diponegoro, Sri Sultan
Hamengkubuwono I, dan lain-lainnya.

Ki Hajar Dewantoro merupakan tokoh nasional, tokoh kemerdekaan, dan


tokoh pendidikan nasional. Kita akan mengenal Ki Hajar Dewantara melalui
karangan-karangan beliau yang terangkum dalam buku Karya K.H.
Dewantara : Bagian pertama, Pendidikan.

Sekilas tentang perjalanan hidup Ki Hajar Dewantoro

Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Jogjakarta, wafat


pada tanggal 26 April 1959. Pada tanggal 6 September 1913 sampai 5
September 1919 dibuang oleh Pemerintah Belanda di negeri Belanda.

Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa dan sampai saat wafatnya
terus memimpin perguruan tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 1932 memimpin perlawanan
menentang “ordonansi sekolah liar” sampai dicabutnya ordonansi tersebut, didukung oleh
segenap lapisan masyarakat dan semua partai politik serta organisasi rakyat Indonesia. Pada
tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan Pemerintah sebagai Perintis Kemerdekaan nasional Indonesia.

Pada tanggal 19 Desember 1956 beliau mendapat gelar doktor kehormatan (honoris causa) dalam
ilmu Kebudayaan dari Universitas Negeri Gadjah Mada. Pada waktu wafat beliau diangkat
sebagai Perwira Tinggi dengan pemakaman negara secara militer, tepatnya tanggal 26 April
1959.

Pada tanggal 28 Nopember 1959 diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Pada tanggal 16
Desember 1959 pemerintah RI menetapkan hari lahirnya sebagai hari Pendidikan nasional. Baru
pada ranggal 17 Agustus 1960 beliau dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
perang RI Bintang mahaputra I. Prestasi Ki Hajar Dewantoro lebih lengkap dengan tanda
kehormatan Satya Lancana Kemerdekaan, 20 Mei 1961.
Ki Hajar Dewantoro sudah mulai dan terus menulis sejak hampir setengah abad yang lampau di
berbagai surat kabar, majalah, dan brosur-brosur serta penerbitan lain-lain, tersebar di Indonesia
dan di Nederland, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan karya-karya beliau.

Ki Hajar tentang Pendidikan dan pengajaran nasional

Menurut Ki Hajar Dewantara, upaya menjunjung derajad bangsa akan berhasil, apabila dimulai
dari bawah. Rakyat sebagai sumber kekuatan, harus mendapatkan pengajaran agar pandai
melakukan upaya bagi kemakmuran negeri. Pendidikan anak-anak berarti pendidikan rakyat.
Pendidikan harus disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat agar lebih berfaedah bagi
perikehidupan bersama. Pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan
kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri. Pendidikan merupakan tuntunan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Berarti pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan hanyalah suatu
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di
luar kecakapan atau kehendak kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia,
sebagai benda hidup, tentu saja hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. kekuatan kodrati
yang ada pada anak-anak itu ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir anak-
anak itu yang ada karena kodrat. Para pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya
kekuatan-kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya, (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya.

Misalnya : Seorang petani, dia tidak bisa merubah sifat-sifat dasar padi. Seorang petani hanya
dapat menumbuhkan padi dengan memperbaiki tanahnya, memelihara tanamannya, memberi
rabuk atau air, memusnahkan hama-hamanya. Ia tidak dapat mengubah kodrat tanaman. Ia tidak
dapat merubah tanaman padi menjadi jagung dalam tempo tiga bulan. Pak tani harus takhluk
pada kodrat padi. Seorang petani hanya dapat menjadikan padi tersebut tumbuh berkembang dan
menghasilkan panen yang besar.

Tugas seorang petani hampir sama dengan seorang guru. Pendidikan hanya
bisa menuntun pertumbuhan anak didiknya. Pertumbuhan anak-nak
tergantung kodrat dan keadaan masing-masing. Anak yang tak baik dasar
jiwanya dan tidak mendapat tuntunan pendidikan, dikhawatirkan akan
menjadi orang jahat kalau tidak ada tuntunan. Dengan tuntunan tersebut
seorang anak akan mendapat kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan menjauhnya dirinya
dari pengaruh jahat, buruk.

Pengaruh-pengaruh tidak baik yang datang kepada anak-anak boleh jadi bersal dari keluarganya.
Anak-anak yang serba kekurangan tentu akan menghalangi ambisinya untuk mendapatkan
pendidikan, sehingga kecerdasannya tidak bisa tumbuh seperti yang diharapkan. Mungkin juga
mungkin perangai dari anggota keluarganya yang kurang menunjukkan keluhuran budi pekerti.

Mengenai perlu tidaknya tuntunan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya dengan
soal perlu tidaknya pemeliharaan dalam pertumbuhan tanaman. Misalnya, kalau jagung yang
baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak airnya, dan dapat sinar matahari, maka
pemeliharaan-pemeliharaan dari Pak Tani akan menambah pertumbuhan dan hasil panen menjadi
lebih baik. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat
jatuhnya biji jagung itu tidak baik, kurang sinar matahari, maka tetap saja jagung itu tidak bisa
tumbuh dengan baik. Sebaliknya apabila jagung itu bibitnya tidak baik, tetapi selalu dipelihara
dengan baik oleh Pak Tani tentu saja hasilnya akan lebih baik daripada biji jagung yang tidak
baik lainnya. (hlm 22)

Posted by Eko Suryanti at 6:25:00 PM

Labels: pengetahuan
• Home

Hari-hari bersama Ki Hajar Dewantara (1)


June 16, 2007 – 3:41 am

Sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebutan


pahlawan atau bukan bisa dilihat dari mana memandangnya.
Bangsa Indonesia selalu menganggap Pangeran Diponegoro
sebagai pahlawan yang berhak mendapatkan bintang
mahaputera, tetapi bagi Belanda mungkin dianggap
pengganggu stabilitas pemerintahan Hindia Belanda saat itu.
Dan itu terjadi di sudut mana saja.

Bicara tentang pahlawan, kita memiliki ratusan tokoh besar


yang berjasa untuk Indonesia. Banyak di antara mereka yang
kebetulan berasal atau pernah ditempa di kawah candradimuka
Yogyakarta, antara lain adalah Ki Hajar Dewantoro, Dr. Wahidin Sudirohusodo, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pangeran Diponegoro, Sri Sultan
Hamengkubuwono I, dan lain-lainnya.

Ki Hajar Dewantoro merupakan tokoh nasional, tokoh kemerdekaan,


dan tokoh pendidikan nasional. Kita akan mengenal Ki Hajar Dewantara
melalui karangan-karangan beliau yang terangkum dalam buku Karya K.H.
Dewantara : Bagian pertama, Pendidikan.

Sekilas tentang perjalanan hidup Ki Hajar Dewantoro

Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Jogjakarta,


wafat pada tanggal 26 April 1959. Pada tanggal 6 September 1913 sampai 5
September 1919 dibuang oleh Pemerintah Belanda di negeri Belanda.

Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan Perguruan Taman Siswa dan sampai saat
wafatnya terus memimpin perguruan tersebut. Pada tanggal 1 Oktober 1932 memimpin
perlawanan menentang "ordonansi sekolah liar" sampai dicabutnya ordonansi tersebut, didukung
oleh segenap lapisan masyarakat dan semua partai politik serta organisasi rakyat Indonesia. Pada
tanggal 8 Maret 1955 ditetapkan Pemerintah sebagai Perintis Kemerdekaan nasional Indonesia.

Pada tanggal 19 Desember 1956 beliau mendapat gelar doktor kehormatan (honoris causa)
dalam ilmu Kebudayaan dari Universitas Negeri Gadjah Mada. Pada waktu wafat beliau
diangkat sebagai Perwira Tinggi dengan pemakaman negara secara militer, tepatnya tanggal 26
April 1959.
Pada tanggal 28 Nopember 1959 diangkat menjadi Pahlawan Nasional. Pada tanggal 16
Desember 1959 pemerintah RI menetapkan hari lahirnya sebagai hari Pendidikan nasional. Baru
pada ranggal 17 Agustus 1960 beliau dianugerahi oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan
perang RI Bintang mahaputra I. Prestasi Ki Hajar Dewantoro lebih lengkap dengan tanda
kehormatan Satya Lancana Kemerdekaan, 20 Mei 1961.

Ki Hajar Dewantoro sudah mulai dan terus menulis sejak hampir setengah abad yang lampau
di berbagai surat kabar, majalah, dan brosur-brosur serta penerbitan lain-lain, tersebar di
Indonesia dan di Nederland, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengumpulkan karya-
karya beliau.

Ki Hajar tentang Pendidikan dan pengajaran nasional

Menurut Ki Hajar Dewantara, upaya menjunjung derajad bangsa akan berhasil, apabila
dimulai dari bawah. Rakyat sebagai sumber kekuatan, harus mendapatkan pengajaran agar
pandai melakukan upaya bagi kemakmuran negeri. Pendidikan anak-anak berarti pendidikan
rakyat. Pendidikan harus disesuaikan dengan hidup dan penghidupan rakyat agar lebih berfaedah
bagi perikehidupan bersama. Pendidikan harus bisa memerdekakan manusia dari ketergantungan
kepada orang lain dan bersandar pada kekuatan sendiri. Pendidikan merupakan tuntunan di
dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Berarti pendidikan menuntun segala kekuatan kodrat yang
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Pendidikan hanyalah suatu
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Hidup tumbuhnya anak-anak itu terletak di
luar kecakapan atau kehendak kaum pendidik. Anak-anak itu sebagai makhluk, sebagai manusia,
sebagai benda hidup, tentu saja hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri. kekuatan kodrati
yang ada pada anak-anak itu ialah segala kekuatan di dalam hidup batin dan hidup lahir anak-
anak itu yang ada karena kodrat. Para pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya
kekuatan-kekuatan itu agar dapat memperbaiki lakunya, (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya.

Misalnya : Seorang petani, dia tidak bisa merubah sifat-sifat dasar padi. Seorang petani
hanya dapat menumbuhkan padi dengan memperbaiki tanahnya, memelihara tanamannya,
memberi rabuk atau air, memusnahkan hama-hamanya. Ia tidak dapat mengubah kodrat tanaman.
Ia tidak dapat merubah tanaman padi menjadi jagung dalam tempo tiga bulan. Pak tani harus
takhluk pada kodrat padi. Seorang petani hanya dapat menjadikan padi tersebut tumbuh
berkembang dan menghasilkan panen yang besar.

Tugas seorang petani hampir sama dengan seorang guru. Pendidikan


hanya bisa menuntun pertumbuhan anak didiknya. Pertumbuhan anak-nak
tergantung kodrat dan keadaan masing-masing. Anak yang tak baik dasar
jiwanya dan tidak mendapat tuntunan pendidikan, dikhawatirkan akan
menjadi orang jahat kalau tidak ada tuntunan. Dengan tuntunan tersebut
seorang anak akan mendapat kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan menjauhnya dirinya
dari pengaruh jahat, buruk.
Pengaruh-pengaruh tidak baik yang datang kepada anak-anak boleh jadi bersal dari
keluarganya. Anak-anak yang serba kekurangan tentu akan menghalangi ambisinya untuk
mendapatkan pendidikan, sehingga kecerdasannya tidak bisa tumbuh seperti yang diharapkan.
Mungkin juga mungkin perangai dari anggota keluarganya yang kurang menunjukkan keluhuran
budipekerti.

Mengenai perlu tidaknya tuntunan di dalam tumbuhnya manusia, samalah keadaannya


dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan dalam pertumbuhan tanaman. Misalnya kalau jangung
yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak airnya, dan dapat sinar matahari, maka
pemeliharaan-pemeliharaan dari Pak Tani akan menambah pertumbuhan dan hasil panen menjadi
lebih baik. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat
jatuhnya biji jagung itu tidak baik, kurang sinar matahari, maka tetap saja jagung itu tidak bisa
tumbuh dengan baik. Sebaliknya apabila jagung itu bibitnya tidak baik, tetapi selalu dipelihara
dengan baik oleh Pak Tani tentu saja hasilnya akan lebih baik daripada biji jagung yang tidak
baik lainnya. (hlm 22)
Obrolan Ki Hajar Dewantoro-Paulo Freire, -Sebuah Cengkerama Khayali-
Oleh mahendrattunggadewa - 14 Mei 2009 - Dibaca 203 Kali -

Di sebuah kedai kopi pojok jalan di sudut perkampungan kumuh kota Jelata, seperti
biasanya, beberapa orang asyik berbincang sambil menikmati setiap sruputan kopinya
masing-masing. Dua orang berjalan memasuki kedai kopi lalu duduk mengambil tempat
di sudut. Setelah selesai memesan kopi, seorang dari mereka mulai membuka percakapan.

Paulo Freire : Ki, sudah dengar kabar tentang pemangkasan anggaran pendidikan
nasional 2010 sebesar 4 triliun?

Ki Hajar Dewantoro : Sudah, kemarin aku mendengarnya seusai upacara Hari Pendidikan
Nasional. Kenapa memangnya?

Paulo Freire : Pendidikan kembali menjadi korban.

Ki Hajar Dewantoro : Bukankah sudah sejak dulu begitu. Sudahlah, toch kita memang
tidak bisa berharap dari pemerintah untuk bisa mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kau lihat sendiri bagaimana konsep pendidikan bikinan pemerintah yang kau namakan
‘gaya bank’. Bisanya cuma menginstall sejumlah dalil dan rumus ke dalam kepala anak
didik untuk kemudian digunakan saat diperlukan. Konsep pendidikan yang menempatkan
manusia tak ubahnya seperti seperangkat mesin komputer.

Paulo Freire : Konsep pendidikan yang hanya bisa menciptakan manusia-manusia robot
yang diprogram untuk mengejar sukses dan keberhasilan dengan simbol-simbol
kemegahan harta dan kebendaan. Manusia-manusia ini tidak mengenal lagi konsep
pemahaman Trihayu seperti yang kau kembangkan. Tolong jelaskan, aku tak pernah
bosan mendengar penjelasanmu tentang Trihayu.

Ki Hajar Dewantoro : Aku heran denganmu, setiap kali kita ketemu setiap kali itu juga
kau tak pernah bosan minta penjelasan tentang Trihayu. Herannya…, akupun tak pernah
bosan menjelaskannya padamu. Wakakakak…

Tapi baiklah, Konsep Trihayu terdiri dari tiga tataran, yaitu pertama hamemayu hayuning
sarira, kedua hamemayu hayuning bangsa, dan ketiga hamemayu hayuning bawana. Arti
hamemayu hayuning adalah menghiasi keindahan. Sarira adalah diri, sebagai manusia.
Hamemayu hayuning sarira adalah menghiasi keindahan diri sebagai manusia. Bukan
keindahan rupa diri, tapi keindahan rasa, cipta dan karsa.

Menghiasi keindahan diri dengan ilmu dan elmu, dengan sinau -learning- dan laku
-doing- yang membawa pada kesadaran tertinggi akan hidup dan kehidupan, tentang apa
itu hidup, untuk apa hidup dan apa tujuan hidup.
Hamemayu ayuning bangsa, adalah menghiasi keindahan bangsa. Bangsa sebagai sebuah
keluarga besar yang menyatu bersinergi seperti tubuh dengan seluruh kelengkapan
anggota tubuh sebagai satu kesatuan gerak hidup yang terkoordinasi. Saling tolong
menolong, saling melengkapi, saling berkarya dengan tugas, peran dan fungsi
kemanusiaannya dalam satu ikatan kepribadian budaya.

Hamemayu hayuning bawana. Adalah menghiasi keindahan dunia. Dunia dengan alam
beserta segala isinya dimana setiap manusia yang berbangsa-bangsa tinggal dan hidup
bersama. Kesadaran untuk membangun hubungan saling menghargai antara manusia
dengan alam semesta, baik makhluk hidup maupun benda mati. Memanfaatkan alam
dengan tetap melestarikan alam dengan segala ekosistemnya.

Oleh karena itu setiap manusia harus menjadi manusia yang merdeka. Merdeka baik
secara fisik, mental dan kerohanian. Namun kemerdekaan pribadi ini dibingkai oleh tertib
damainya kehidupan bersama dan ini mendukung sikap-sikap seperti keselarasan,
kekeluargaan, musyawarah, toleransi, kebersamaan, demokrasi, tanggungjawab dan
disiplin dalam berkemanusiaan.

Paulo Freire : Sebentar Ki.., dengan konsep Trihayu tersebut sesungguhnya setiap
manusia bisa menjadi manusia utuh yang memiliki kesadaran kritis –critical
consciousness- untuk bangkit melakukan pembebasan diri dan merdeka dari
ketertindasan.

Ki Hajar Dewantoro : Benar kawan.., seperti apa yang pernah kau katakan, selama setiap
manusia masih memiliki kesadaran magis -magical consciousness- dan kesadaran naif
-naival consciousness-, mereka tidak akan pernah bisa menjadi manusia merdeka,
manusia yang utuh terbebas dari ketertindasan.

Kesadaran magis….

Paulo Freire : Maaf Ki.., aku potong dulu pembicaraan sebelum kita lanjutkan. Sebaiknya
kita pesan kopi lagi. Selain kopiku habis, nampaknya kopimu pun tak bisa diminum
karena ada seekor lalat yang sedang berenang di dalamnya. Hehehe…

Ki Hajar Dewantoro : Lalat itu sempat untuk berenang di dalam gelas kopiku karena dari
tadi aku tak sempat meminumnya sibuk memenuhi permintaanmu untuk menjelaskan
tentang Trihayu…

Paulo Freire : Baik Ki.., supaya kau sempat meminum kopimu, aku ingin menyambung
sedikit tentang apa yang kau sampaikan tadi soal kesadaran magis dan kesadaran naif.
Dua hal yang menghambat manusia untuk bisa membebaskan diri dari ketertindasan
sebuah sistem.

Kesadaran Magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan
antara satu faktor dengan faktor lain. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu
melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran
Magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai
penyebab ketidakberdayaan.

Dengan kata lain, apa yang mereka alami adalah sesuatu yang sudah given sebagai garis
nasib suratan takdir.

Sementara keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran naïf, adalah lebih melihat pada
aspek manusianya sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Manusia bersoal dengan
etika, kreativitas, kompetensi, kepedulian dan motivasi diri. Penyebab dari adanya
ketertindasan terletak pada masyarakat sendiri.

Dan seperti yang kau singgung sedikit di awal, bahwa untuk bisa merdeka dan terbebas
dari ketertindasan, setiap manusia harus memiliki kesadaran kritis -critical
consciousness-. Kesadaran untuk lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber
masalah.

Dengan begitu siapapun bisa terhindar dari kecenderungan untuk mempersalahkan


korban -blaming the victims- dengan lebih melihat persoalan secara sistemik dan
structural, baik sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya berikut dengan berbagai akibat
yang ditimbulkan terhadap keadaan masyarakat.

Ki Hajar Dewantoro : Ya.., memang begitulah seharusnya. Manusia tidak lagi hanya
menjadi korban dari sebuah sistem dan struktur yang barbarian dan despotis, melainkan
menjadi penuntas masalah -problem solver- atas hidup mereka; baik sebagai diri pribadi,
warga bangsa maupun sebagai warga dunia.

Lalu untuk apalagi perlu dipermasalahkan soal pemangkasan anggaran pendidikan yang 4
triliun dilakukan pemerintah jika konsep pendidikan yang ada memang sudah salah sejak
awal? Masalahnya bukan lagi hanya masalah anggaran ataupun janji politik tentang
pendidikan gratis, lebih parah dari itu adalah negara sudah mengkhianati amanat
Pembukaan UUD’45 alinea ke-empat yang jelas-jelas menyatakan, “….. Kemudian dari
pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, …….”

Paulo Freire : Entahlah Ki.., ketika title dan gelar kesarjanaan menciptakan feodalisme
baru maka selama itu pula manusia tidak bisa bangkit dari ketertindasan.

Belum kering bibir Paulo selesai berucap, tiba-tiba saja dari arah barat ramai orang
berlarian tunggang langgang dengan panik sambil mendorong gerobak dan pikulan.

“Satpol PP !!!…… Satpol PP !!!…….. Pembersihan !!!…….. Pembersihan !!!…….”

Tags: anggaran pendidikan nasional, critical consciousness, Ekonomi, HARDIKNAS,


hari pendidikan nasional, Kebudayaan, Ki Hajar Dewantara, Ki Hajar Dewantoro,
magical consciousness, naival consciousness, Paulo Freire, Pembukaan UUD'45, Politik,
problem solver, Satpol PP, sistem pendidikan, Sosial, Trihayu, warga bangsa

Share on Facebook Share on Twitter


3 tanggapan untuk “Obrolan Ki Hajar Dewantoro-Paulo Freire, -Sebuah Cengkerama
Khayali-”

1. bambang p.s.,

— 14 Mei 2009 jam 8:59 am

Yah memang pendidikan selalu jadi korban. Kenaikan anggaran 20 % bagus, namun juga
penuh ‘akal’ yaitu di dalam yang 20 % itu terletak gaji dan honor. Jadinya yah masih
banyak sekolah yang ambruk, sarana yang belum memadai, mutu pendidikan yang
timpang, dll. Yang lebih memilukan adalah masalah honorpun menimbulkan
kesenjangan. Disatu sisi guru-dosen digenjot untuk memperoleh sertifikasi dengan ujung-
ujungnya memperoleh tunjangan tambahan namun disisi lain guru honorer yang sudah
bertahun tahun dengan gaji di bawah UMR pun tidak terperhatikan. Sungguh ironis
memang, dan ini membutuhkan pembenahan yang menyeluruh dengan konsep
pendidikan yang jelas dan bukan sekedar tambal sulam saja, yang kadang kala malah
bersifat reaktif sesaat saja.

Dalam hal mengevaluasipun kadang kala kita dihadapkan kepada sesuatu yang lebih
glamour saja, misalnya UN yang menggelegar namun penilaian terhadap siswa hanya
dalam hitungan jam saja untuk menentukan kelulusannya dibanding menilainya secara
proses selama siswa tersebut mengikuti jenjang pendidikan yang dia lakoni.

Hal lain yang sudah hilang adalah empati, bagaimana mungkin ditengah tengah
kesengsaraan sebagian siswa untuk berjuang demi masa depannya, sementara banyak
sekolah mengijinkan siswa-siswinya menyelenggarakan pesta prom-night (yang sangat
berbau asing) yang biasanya menghabiskan biaya ratusan juta. Kita selalu teriak kepada
para pejabat dan politisi yang suka berbau neo-liberalis, namun kadang kita lupa diri
untuk melarang anak-anak kita melakukan perbuatan yang ‘membuang duit’ dan berbau
neo-liberalis. Mungkin Ki Hajar Dewantara akan menangis jikalau mengetahui siswa-
siswi saat ini bergaya aneh-aneh di prom-night tanpa jelas tujuannya. Diknas harusnya
bisa mengeluarkan aturan yang tegas dengan melarang kegiatan seperti ini, itulah
sebabnya (sedikit menyimpang ) saya masih memimpikan kembalinya Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan karena mendidik dengan berbudaya bukan pekerjaan main-
main dan sembarangan. Salam

2. mahendrattunggadewa,

— 15 Mei 2009 jam 3:01 am


Sangat setuju dengan anda.

Bukan hanya strukturnya yang diperbaiki dengan mengembalikan kepada Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan, namun juga dasar filosofi pendidikan harus direorientasi
dan direvitalisasi agar mampu mengembalikan jati diri menjadi bangsa yang
berkepribadian di bidang budaya.

Bukan bangsa photo copy, plagiator, imitator dan pembebek seperti yang terjadi sekarang
ini.

Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya.

3. Public Blog Kompasiana» Blog Archive » Stop Iklan SMK,

— 15 Mei 2009 jam 7:07 am

[...] Dalam imajinasinya yang syarat akan pesan, Sdr mahendrattunggadewa dalam
postingannya kemarin (baca:Obrolan Ki Hajar Dewantoro-Paulo Freire, -Sebuah
Cengkerama Khayali-) menyinggung tentang makna pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara. Pendidikan menurut Ki Hajar [...]
Memaknai Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang Pendidikan
Ki Gunawan

BANGSA kita adalah bangsa pemimpi, kata Totok Amin Soefijanto (Kompas, 26/5), dan telah tidur sejak
1913 sambil memimpikan pendidikan sebagai obat mujarab untuk semua penyakit yang ada di
masyarakat. Setidak-tidaknya Totok Amin Soefijanto benar saat menyebut kelalaian (atau malah
kemahiran kita?) dalam memilih obat yang salah dalam memecahkan masalah bangsa.

Namun, saat mengurai persoalan bangsa dengan fokus pemikiran Ki Hadjar Dewantara (KHD),
sekurangnya ada tiga hal yang memerlukan koreksi. Pertama, kesimpulannya terhadap KHD pada 1913
Als ik eens Nederlander was (bukan Is Ik Nederlander was) yang dimuat dalam brosur yang diterbitkan
Comite tot herdenking van Nederlandsch Honderdjarige Vrijheid atau "Komite Bumiputera" dan buku
Onze Verbanning (bukan media Belanda De Express-mungkin maksudnya De Expres, media berbahasa
Belanda yang amat kritis terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yang diasuh di antaranya oleh kaum
nasionalis seperti dr EFE Douwes Dekker, seorang Indo Belanda yang sangat bersimpati kepada kaum
nasionalis, dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Surjaningrat/KHD) sebagai tonggak dimulainya "masa
tidur panjang" bangsa kita.

Kedua, merangkaikan begitu saja pemikiran KHD pada masa aktif dalam bidang politik melalui Boedi
Oetomo dan terutama melalui kegiatan jurnalistik, pada 1908-1922 dengan pemikiran KHD setelah itu
yang mulai beralih ke bidang pendidikan. Ketiga, kekeliruannya menafsirkan konsepsi KHD tentang
pendidikan karena hanya menyorot secara sepotong-sepotong, khususnya tentang "metode Among"
dengan trilogi kepemimpinannya (Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani)
sehingga justru mengaburkan gagasan awalnya sendiri tentang rekonstruksi pemikiran KHD.

TULISAN KHD dalam brosur walaupun berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda (Als ik eens
Nederlander was) bukanlah cermin dari angan-angan atau mimpi KHD. Tulisan itu justru merupakan
sindiran halus yang nyelekit terhadap Pemerintah Kolonial Belanda yang tengah merancang perayaan
satu abad kemerdekaan negerinya secara besar-besaran di negara yang dijajahnya dengan memungut
biaya dari rakyat bangsa yang dijajahnya.

Coba simak penggalan dari tulisan itu yang diterjemahkan KHD sendiri: ... Andai aku seorang
Nederlander, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita
besar kemerdekaan.... Dengan tidak sadar seolah-olah kita berteriak-teriak: 'lihatlah hai orang-orang,
bagaimana kita memperingati kemerdekaan kita; cintailah kemerdekaan, karena sungguh bahagialah
rakyat yang merdeka, lepas dari penjajahan!'.... kemudian... Sungguh, seandainya aku seorang
Nederlander, tidaklah aku akan merayakan peringatan kemerdekaan di negeri yang masih terjajah. Lebih
dahulu berilah kemerdekaan kepada rakyat yang masih kita kuasai, barulah boleh orang memperingati
kemerdekaannya sendiri. Penggalan itu sama sekali tidak menunjukkan KHD sedang berandai-andai
sebagai seorang Belanda yang berniat memberikan kemerdekaan kepada tanah jajahannya. Yang
tampak justru sebuah sindiran halus yang tajam dan nyelekit tentang ketidakpantasan sikap orang-orang
Belanda yang berniat merayakan kemerdekaannya dengan melibatkan rakyat Hindia Belanda (baca:
Indonesia) bahkan dengan memungut sumbangan dari rakyat.

Tentang tulisan itu, Prof Dr Sardjito, dalam pidato pemberian gelar doktor honoris causa kepada KHD
menilai, karya itu merupakan wujud ketangkasan menulis dalam menyerang pihak Belanda. Menurut Prof
Dr Sardjito, tamparan yang amat hebat itu dilakukan secara tidak kasar, tidak dengan memaki-maki,
senantiasa tetap sebagai ksatria, memberi kata-kata yang tepat, jitu, indah susunannya, ada humornya,
ada sinisnya, tercampur dengan ejekan yang pedas yang dilemparkan kepada si penjajah, tetapi
selanjutnya juga memberikan pandangan-pandangan yang dapat direnungkan untuk pihak sana, dan
juga untuk pihak kita.

Dari tulisan-tulisan KHD yang terhimpun di berbagai literatur, dengan mudah kita dapat menangkap gaya
KHD dalam mengekspresikan pemikirannya yang sama sekali jauh dari sikap seorang pemimpi yang
putus asa. Als ik eens Nederlander was yang menyebabkan KHD dibuang ke Belanda pada 1913 itu
rasanya tidak tepat disebut sebagai awal bangsa kita tidur.

SISTEM Among dengan trilogi kepemimpinannya sebagai salah satu konsepsi pendidikan KHD bukanlah
konsepsi yang muncul tiba-tiba dan dipasarkan melalui Boedi Oetomo (KHD menjadi anggota Boedi
Oetomo hanya pada 1908) pada masa KHD aktif di dunia politik (1908-1922) karena KHD baru secara
intens menggeluti pemikiran tentang pendidikan justru dalam masa pembuangannya di negeri Belanda
(1913-1919). Di Belanda, selain tetap aktif dalam bidang politik, KHD menambah pengetahuannya dalam
bidang pendidikan dan mendapat akta guru pada 1915.

Di Belanda pula KHD mulai berkenalan dengan gagasan- gagasan tokoh-tokoh pendidikan dunia seperti
JJ Rousseau, Dr Frobel, dr Montessori, Rabindranath Tagore, John Dewey, dan Kerschensteiner. Tokoh
yang pemikirannya tampak sangat mempengaruhi KHD adalah Frobel dengan pendidikan anak-anaknya
yang menekankan pengembangan angan-angan anak-anak untuk mengajarkan anak-anak berpikir
melalui permainan, kemudian Montessori yang mengutamakan pelatihan pancaindra untuk
mengembangkan tabiat dan kekuatan jiwa anak dan Rabindranath Tagore yang mengutamakan
pengembangan kepribadian anak. Gagasan-gagasannya tentang pendidikan mulai berkembang dan baru
mulai 1922 dipraktikkan KHD di Tamansiswa.

Dengan tegas KHD menolak penerapan konsepsi regeering, tucht, en orde (paksaan, hukuman, dan
ketertiban) dalam pendidikan yang menempatkan guru sebagai figur sentral dan siswa sebagai obyek.
KHD mengenalkan konsepsi orde en vrede (tertib dan damai) sebagai dasar pendidikan dengan
bertumpu kepada prinsip bertumbuh menurut kodrat. Menurut KHD, yang dipakai sebagai alat pendidikan
adalah pemeliharaan dengan sebesar-besarnya perhatian untuk memperoleh tumbuhnya hidup anak lahir
dan batin menurut kodratnya sendiri. Dan, inilah yang disebut sebagai metode Among dengan Ing ngarsa
sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tutwuri Handayani yang diterapkan di Tamansiswa sejak 1922.

MENEMPELKAN anak sebagai figur sentral dalam pendidikan dengan memberikan kemerdekaan
sepenuh-penuhnya untuk berkembang itulah ide dasar pengembangan konsepsi KHD. Guru hanya
membimbing dari belakang dan baru mengingatkan anak kalau sekiranya mengarah kepada suatu
tindakan yang membahayakan (tutwuri handayani) sambil terus membangkitkan semangat dan
memberikan motivasi (ing madya mangun karsa) dan selalu menjadi contoh dalam perilaku dan
ucapannya (ing ngarsa sung tuladha).

Persoalannya, sekarang ini sering kali guru menjadikan dirinya otoritas yang paling berkuasa dalam
proses pendidikan sehingga alih-alih membangkitkan semangat malah justru memasung kreativitas.
Sangat banyak guru, baik dalam arti sempit/sebenarnya maupun dalam arti luas, justru berperilaku yang
tak pantas untuk diteladani.

Berbeda dengan pandangan Totok AS yang menyebut bahwa yang sekarang dipakai hanyalah Ing
ngarsa sung tuladha, menurut hemat saya sekarang ini justru tidak satu pun dari konsepsi KHD yang
diterapkan di lapangan. Kerja guru sekarang ini tampak semakin mekanis dan hampir tak berjiwa lagi
karena diburu target kurikulum dan target kehidupan yang semakin tinggi tuntutannya. Pendidikan pun
sudah secara pasti berganti baju menjadi sekadar pengajaran yang bersifat intelektualistik.

Bagaimanapun saya setuju bila terhadap konsepsi-konsepsi KHD perlu dilakukan kajian ilmiah agar
dengan mudah dipelajari dan dipahami. Akan tetapi, betapa indahnya pun sebuah konsepsi, tanpa praktik
yang benar dan sungguh-sungguh, hasilnya pasti akan mengecewakan. Dan, memang pada akhirnya kita
hanya akan menjadi bangsa pemimpi dengan segudang persoalan yang tak pernah terselesaikan.
Ki Gunawan Panitera Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa, Tinggal di Yogyakarta.

atest Post

Friday, May 15, 2009


lima asas pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara

Menurut Ki Hadjar Dewantara terdapat lima asas dalam pendidikan yaitu :

1. Asas kemerdekaan; Memberikan kemerdekaan kepada anak didik, tetapi bukan kebebasan
yang leluasa, terbuka (semau gue), melainkan kebebasan yang dituntun oleh kodrat alam, baik
dalam kehidupan individu maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Asas kodrat Alam; Pada dasarnya manusia itu sebagai makhluk yang menjadi satu dengan
kodrat alam, tidak dapat lepas dari aturan main (Sunatullah), tiap orang diberi keleluasaan,
dibiarkan, dibimbing untuk berkembang secara wajar menurut kodratnya.
3. Asas kebudayaan; Berakar dari kebudayaan bangsa, namun mengikuti kebudyaan luar yang
telah maju sesuai dengan jaman. Kemajuan dunia terus diikuti, namun kebudayaan sendiri tetap
menjadi acauan utama (jati diri).

4. Asas kebangsaan; Membina kesatuan kebangsaan, perasaan satu dalam suka


dan duka, perjuangan bangsa, dengan tetap menghargai bangsa lain, menciptakan
keserasian dengan bangsa lain.
5. Asas kemanusiaan; Mendidik anak menjadi manusia yang manusiawi sesuai
dengan kodratnya sebagai makhluk Tuhan.

Menurut Tilaar (2000 : 16) ada tiga hal yang perlu di kaji kembali dalam pendidikan.
Pertama, pendidikan tidak dapat dibatasi hanya sebagai schooling belaka. Dengan
membatasi pendidikan sebagai schooling maka pendidikan terasing dari kehidupan
yang nyata dan masyarakat terlempar dari tanggung jawabnya dalam pendidikan.
Oleh sebab itu, rumusan mengenai pendidikan dan kurikulumnya yang hanya
membedakan antara pendidikan formal dan non formal perlu disempurnakan lagi
dengan menempatkan pendidikan informal yang justru akan semakin memegang
peranan penting didalam pembentukan tingkah laku manusia dalam kehidupan
global yang terbuka. Kedua, pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan
intelegensi akademik peserta didik. Pengembangan seluruh spektrum intelegensi
manusia baik jasmaniah maupun rohaniyahnya perlu diberikan kesempatan didalam
program kurikulum yang luas dan fleksibel, baik didalam pendidikan formal, non
formal dan informal. Ketiga, pendidikan ternyata bukan hanya membuat manusia
pintar tetapi yang lebih penting ialah manusia yang berbudaya dan menyadari
hakikat tujuan penciptaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sindhunata (2000 :
14) bahwa tujuan pendidikan bukan hanya manusia yang terpelajar tetapi manusia
yang berbudaya (educated and Civized human being).

Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi
dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung
baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan
masa depan.

Untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat madani yang


diridhoi Allah swt. tentunya memerlukan paradigma baru. Paradigma lama tidak
memadai lagi bahkan mungkin sudah tidak layak lagi digunakan. Suatu masyarakat
yang religius dan demokratis tentunya memerlukan berbagai praksis pendidikan
yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang religius dan demokratis
pula. Masyarakat yang tertutup, yang sentralistik, yang mematikan inisiatif berfikir
manusia dan jauh dari nilai-nilai moral dan agama Islam bukanlah merupakan
pendidikan yang kita inginkan. Pada dasarnya paradigma pendidikan nasional yang
baru harus dapat mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal
dan global dengan tetap memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah dan
Syariatnya. Paradigma tersebut haruslah mengarah kepada lahirnya suatu bangsa
Indonesia yang bersatu, demokratis dan religius yang sesuai dengan kehendaknya
sebagai wujud nyata fungsi kekhalifahan manusia dimuka bumi.

Oleh sebab itu, penyelenggaraan pendidikan yang sentralistik dan sekurelistik baik
didalam manajemen maupun didalam penyusunan kurikulum yang kering dari nilai-
nilai moral dan agama harus diubah dan disesuaikan kepada tuntutan pendidikan
yang demokratis dan religius. Demikian pula di dalam menghadapi kehidupan
global yang kompetitif dan inovatif, maka proses pendidikan haruslah mampu
mengembangkan kemampuan untuk berkompetensi didalam kerja sama,
mengembangkan sikap inovatif dan ingin selalu meningkatkan kualitas. Demikian
pula paradigma pendidikan baru bukanlah mematikan kebhinekaan malahan
mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat
Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan mayarakat dan bangsa
Indonesia.
Catatan Bagus Takwin
HomeBlogPhotosMusicReviewsLinks
tinggi. Perumusan metode pengajaran yang didasari pemikiran Ki Hadjar perlu
dilakukan secara lebih sistematis lagi agar dapat diterapkan di kalangan lebih luas dan
menjadi satu metode dapat diandalkan.

Orisinalitas dan Progresivitas Ki Hadjar: Menempatkan Pendidikan dalam


Konteks Indonesia

Pada dasarnya, secara formal pendidikan yang dijalani oleh Ki Hadjar adalah pendidikan
Barat. Dasar pemahaman tentang pendidikan diperolehnya dari teori-teori yang dikembangkan
oleh para pemikir Barat, di antaranya filsuf Yunani Sokrates dan Plato, tokoh pendidikan
Friederich Fröbel dan Maria Montessori, Rudolf Steiner, Karl Groos, serta ahli ilmu jiwa Herber
Spencer. Itu bisa kita lihat dari tulisan-tulisan Ki Hadjar yang banyak merujuk mereka, juga
merujuk ke banyak lagi tokoh lainnya.

Dari banyaknya rujukan yang digunakan, Ki Hadjar tampak jelas merupakan orang yang
giat belajar dan berwawasan luas. Pemikiran-pemikiran yang dirujuknya adalah pemikiran-
pemikiran mutakhir di jamannya. Ia tampak sebagai orang yang terus menambah dan
mengembangkan pemahamannya tentang pendidikan. Saya menilainya sebagai tokoh yang
progresif dan berorientasi ke depan dalam bidang pendidikan Indonesia. Tetapi yang
menjadikan pemikiran Ki Hadjar berharga bagi Indonesia, khususnya dalam bidang pendidikan
adalah kemampuannya menempatkan pemikiran-pemikiran mutakhir itu dalam konteks
Indonesia. Ki Hadjar tidak hanya menyerap atau meniru pemikiran para ahli, tetapi memodifikasi
dan mengembangkannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Ia bukan hanya
mengembangkan pemikiran pendidikan dalam konteks Jawa, melainkan juga dalam konteks
pendidikan di Indonesia.

Dalam karya-karyanya, dapat dicermati bagaimana Ki Hadjar mengembangkan teori dan


sistem pendidikan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Ia menganjurkan pelibatan keluarga
sebagai agen utama dalam pendidikan. Sebagai contoh, dalam tulisannya “Mobilisasi
Intelektual nasional untuk mengadakan wajib belajar” dalam Keluarga edisi Desember 1936 th.
1 no.2, Ki Hadjar mengajukan “Asas Kultural dan Sosial” dalam proses pembelajaran rakyat
Indonesia, khususnya pembelajaran membaca dan menulis. Di situ ia mengemukakan
‘Methode-Keluarga’ sebagai “laku pengajaran, yang karena praktisnya, mudah dilakukan oleh
tiap-tiap orang yang sudah pandai membaca untuk dipakai bagi tiap-tiap orang di dalam
Semangat Ki Hadjar Dewantara

March 21, 2009 by admin


Filed under Artikel

Comments

Ki hajar dewantara, sosok tokoh yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan yang memajukan
pendidikan di Indonesia. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Lahir dengan nama
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari keluarga keraton Yogyakarta. Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat juga aktif dalam Organisasi sosial dan politik. Organisasi ini didirikan
bersama Douwes Dekker dan dr.Cipto Mangoenkoesoemo.

Ajaran kepemimpinan Ki Hajar dewantoro yang sangat populer di kalangan masyarakat adalah
Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya
bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi
bawahan atau anak buahnya.

Ing Ngarso Sun Tulodo artinya : ing ngarso itu terdepan/dimuka, sun berasal dari kata Ingsun
yang artinya saya, Tulodo artinya tauladan. jadi makna Ing Narso Sun Tulodo adalah menjadi
seorang pemimpin harus memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahanya.

Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan
handayani berarti memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. dorongan ini sangat di
butuhan oleh bawahan, karena paling tidak hal ini dapat membutuhkan motifasi dan semangat
kerja.

Beliau meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan disana.
Sebagaiwujud melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara oleh pihak
penerus perguruan Taman siswa didirikan Museum Dewantara Kirty Griya, Yogyakarta.

Ketika Masa orde lama beliau menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ki
Hajar Dewantara dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya
sendiri. Tindakan Ki Hadjar Dewant iti dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat.

Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak lepas dari
“strategi” melepaskan diri dari belenggu penjajah. kita sebagai generasi muda selayaknya
menyambut perjuangan beliau dan melanjutkan cita-citanya untuk mamajukan pendidikan
diindinesia.

Melihat semakain hari realitas pendidikan kita semakin tidak merakyat menurut Ki Hadjar
Dewantara, tak selayaknya kita berdiam diri, apalagi dizaman yang serba ada ini, mesti
sepertinya generasi muda mampu selangkah lebih maju dari tokoh-tokoh yang telah
mendahuluainya seperti Ki Hadjar Dewantara sehinga di masa yang akan datang akan mampu
memperbaiki dan menyempurnakanya.

polos ‘n apa adanya

May 2, 2007
Ki Hadjar Dewantara dan Hari pendidikan Nasional
Filed under: wajah-wajah — khuclukz @ 7:55 pm

“TANAH air kita meminta korban. Dari di sinilah kita, siap sedia memberi korban
yang sesuci-sucinya… sungguh, korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang
paling ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan
tetapi percayalah di baliknya masih ada matahari yang bersembunyi… kapan hujan
turun dan udara menjadi bersih karenanya?”

(Ki Hadjar Dewantara).

Siapa yang gak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar


Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Ki
Hadjar yang bernama asli R.M. Suwardi Suryaningrat merupakan tokoh
pendidikan nasional. Aktivitasnya dimulai sebagai jurnalis pada
beberapa surat kabar dan bersama EFE Douwes Dekker, mengelola De
Expres. Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat
Islam. Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes
Dekker — dijuluki ”Tiga Serangkai” — ia mendirikan Indische Partij, sebuah
organisasi politik pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut Indonesia
merdeka. Pada zaman Jepang, peran Ki Hadjar tetap menonjol. Bersama Soekarno,
Hatta, dan Mas Mansur, mereka dijuluki “Empat Serangkai”, memimpin organisasi
Putera. Ketika merdeka, Ki Hadjar menjadi Menteri Pengajaran Pertama.

Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan


masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut
Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki
ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya.

Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari
kata Ingsun yang aratinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun
Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan
bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh
seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau
komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan
tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Banyak
pimpinan saat ini yang sikap dan perilakunya kurang mencerminkan sebagai figur
seorang pemimpin, sehingga tidak dapat digunakan sebagai panutan bagi anak
buahnya. Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di
tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso
diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah
seorang peminpin ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau
menggugah semangat kerja anggota bawahanya. Karena itu seorang pemimpin
juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan
menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan
kerja. Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti
dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan
semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau
pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang.
Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh bawahan, karena paling tidak hal ini
dapat menumbuhkan motivasi dan semangat kerja.

Untuk mengenang jasa beliau, maka PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional 2 Mei
tidak bisa dipisahkan dari sosok Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa
memajukan pendidikan di Indonesia. Semoga kita sebagai generasi muda bisa
melanjutkan cita-cita beliau, dan dapat mengamalkan ajaran yang telah diberikan.
(Amin)

sumber : pikiran-rakyat, Jay, TNI

Comments (10)

10 Comments »

1.

info yang di tampilkan cukup bagus,akan tetapi lebih bagus lagi jika profil tokoh ikut di
cantumkan. kritis,idealis dan peduli pendidikan.

ttd

Mahasiswa FIP UNESA

Comment by shin — August 29, 2007 @ 9:21 pm | Reply


2.

untuk nambahin profilnya ki hajar gw bisa sedikit bantu…:

Nama:
Ki Hajar Dewantara
Nama Asli:
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat
Lahir:
Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat:
Yogyakarta, 28 April 1959

Pendidikan:
= Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)
= STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat
= Europeesche Akte, Belanda
= Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957

Karir:
= Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer dan Poesara
= Pendiri Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa)
pada 3 Juli 1922
= Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.

Organisasi:
= Boedi Oetomo 1908
= Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia)
25 Desember 1912

Penghargaan:
Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional
Pahlawan Pergerakan Nasional (surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959)

Comment by andydoanx — April 18, 2008 @ 8:41 am | Reply

3.

oh iya sori gw waktu ninggal komen belum perkenalan…


nama gw Andy, mahasiswa FIS UNESA (SURABAYA)
terima kasih….
kurang lebihnya saya minta maaf

Comment by andydoanx — April 18, 2008 @ 8:43 am | Reply

4.

TENGKYU YA DEKKKK…

Comment by OnYa — May 7, 2008 @ 1:11 pm | Reply

5.

Thanks zaw….t0ek bntuan u…


Q kan ckrang lgi bkin mading t0ek pondhokq, n temax penddkan, so paz bgt kan???
n nice t0 meet u b0y…..

Comment by vieta — October 30, 2008 @ 9:19 am | Reply

6.

Thanks zaw…toek bntuan u..


Q kan lgi bwat mading toek pondhokq, n temax penddikan, so klop deh q bca blog u…
Btw lam knal drq…
Nice to meet u boy…..

Comment by vieta — October 30, 2008 @ 10:32 am | Reply

7.

hebat sangat polos n’ apa adnya

Comment by febe_uw — April 28, 2009 @ 4:24 pm | Reply

8.

Sangat membantu guna menambah referensi kami. salam dan sukses selalu serta diberkati
Allah.

Comment by stefanus/giovanni/ntt/kupang — May 1, 2009 @ 7:13 am | Reply

9.
Trimakasih info sejarah perjuangannya,sebagai acuanku untuk memberikan presentasi di
depan peserta upacara Hardiknas bsk pagi.

Comment by yang-kung — May 1, 2009 @ 10:32 pm | Reply

10.

Informasi yang bagus. Tersirat bahwa pola pendidikan ideal adalah penanaman motivasi
belajar, bukannya penanaman ilmu pengetahuan itu sendiri. Jika badan termotivasi maka
belajar terjadi dengan sendirinya.

Comment by Iwan — May 2, 2009 @ 7:28 am | Reply

You might also like