You are on page 1of 10

TUGAS DAN WEWENANG KEJAKSAAN DALAM UU NO.

16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DAN PROSES PENUNTUTAN


(Oleh: SOEDIBYO, SH. Kepala Kejaksaan Negeri Semarang)

I. Pendahuluan
Indonesia adalah suatu negara hukum, maka seharusnya hukumlah yang mempunyai supremasi dan yang memerintah, sehingga dalam setiap gerak, tindakan dan pola penguasa serta warga negaranya baik secara individu maupun secara bersama harus mendapatkan legalisasi hukum. Prinsip legalitas ini memang sangat diperlukan dan merupakan prasyarat yang hakiki untuk adanya tertib hukum dalam negara hukum, sehingga secara otomatis dalam negara hukum apabila bermaksud untuk menyelenggarakan negara hukum secara bersungguh-sungguh, legalitas harus ada dalam setiap tindakan dari alat perlengkapan negara. 1 GBHN 1998 mengamanatkan bahwa dalam rangka memantapkan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, pembangunan hukum diarahkan untuk menghasilkan produk hukum nasional yang mampu mengatur tugas umum pemerintahan dan penyelenggaran pembangunan nasional, didukung oleh aparatur hukum yang bersih, berwibawa, penuh pengabdian, sadar dan taat hukum, mempunyai rasa keadilan yang sesuai dengan kemanusiaan dan profesional, efisien dan efektif, dilengkapi dengan sarana dan prasarana hukum yang memadai, serta mengembangkan masyarakat yang sadar dan taat hukum. GBHN 1998 juga menggariskan bahwa sebagai salah satu prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam penyelenggaraan pembangunan nasional adalah Azas Hukum yaitu: bahwa setiap warga negara dan penyelenggara negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.

1 Ramdlon Naning, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme LembagaLembaga Negara Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1982, hal 100.

II. Tugas dan Wewenang Kejaksaan dalam UU NO. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI.
Kejaksaan sebagai salah satu unsur penegak hukum selain dari Kehakiman dan Kepolisian, wajib untuk turut serta mengambil bagian demi suksesnya pembangunan hukum dan pembangunan nasional pada umumnya sesuai amanah dalam GBHN. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan hukum, penegakan hak azasi, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan yang makin berkembang dewasa ini. Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang, hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU Kejaksaan RI).2 Sebagaimana disebutkan dalam Keppres nomor 55 tahun 1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI dalam Pasal 2 dikatakan: Tugas pokok Kejaksaan adalah melaksanakan kekuasaan negara di bidang Penuntutan dan tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundangundangan serta turut menyelenggarakan sebagian tugas umum pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum. 3 Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan bahwa kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara Independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat merumuskan dan

2 3

Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, hal. 3. Mastra Liba, 14 Kendala Penegakan Hukum, Yayasan Annisa, Jakarta 2002, hal 62.

mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.4 Dalam melaksanakan tugas, fungsi dan wewenangnya, Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagaman, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan Penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan Penyidikan, misalnya undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia, undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001, dan undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (3) UU Kejaksaan, hal ini terkandung maksud adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya dibidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan. Oleh karena itu kegiatan penuntutan di Pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti oleh karena Jaksa yang bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung sekalipun untuk itu dilakukan oleh Jaksa lainnya sebagai pengganti.5 Adapun Tugas dan wewenang Kejaksaan berdasarkan UU Kejaksaan RI dan peraturan-peraturan lainnya dapat diperinci sebagai berikut: 1. Dibidang Pidana Umum (Pidum) dan Pidana Khusus (Pidsus) diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan RI. a. Melakukan penuntutan;

Penjelasan Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, hal Ibid, hal 5.

3.
5

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Penyidik. 2. Dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan RI. Dengan kuasa khusus atau karena Jabatan, Kejaksaan dapat bertindak di dalam atau di luar Pengadilan dan atas nama negara dan Pemerintah (Pasal 30 ayat (2)). Dengan surat MENPAN tertanggal 27 Mei 1991 ditujukan pada semua Departemen bahwa, dengan PP nomor 7 tahun 1991 sejak tanggal 14 januari 1991 undang-undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara telah dinyatakan berlaku diseluruh Indonesia. Untuk mencegah timbulnya gugatan Tata Usaha ini agar para pimpinan unit kerja pada masing-masing Departemen lebih menjabarkan isi kandungan UU nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan tata Usaha Negara, khusunya Pasal 53 Bab IV sebagai berikut: a. Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dang atau rehabilitasi; b. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah: 4

(1). Keputusan TUN yang digugat itu bertentangan dengan peraturan yang berlaku; (2). Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut; (3) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak mengambil keputusan tersebut. 3. Dibidang Ketertiban dan Ketentraman Umum diatur dalam Pasal 30 ayat (3) UU Kejaksaan RI. Upaya-upaya yang ditempuh adalah sebagai berikut: a. Peningkatan kesadaran hukum bermasyarakat; b. Pengamanan kebijaksanaan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan; d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara; e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal. Dalam perundang-undangan yang ada masih disebutkan pula wilayah tugas dan wewenang Kejaksaan dalam hal penegakan hukum, yaitu: S. 1847 23 S. 1847 52 Jo. 1849 63 S. 1848 57 S. 1849 25 S. 1860 3 S. 1870 64 tentang Reglemen Acara Perdata (Reglemen op de Rechtes Yorgering). tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (R.O). tentang Reglemen Catatan Sipil untuk gol. Eropah. tentang Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia. tentang Perkumpulan Badan Hukum. 5 dibidang Keperdataan.

S. 1917 130 1920 751

tentang Peraturan Penyelenggaraan. tentang Daftar Catatan Sipil untuk gol. tiong hoa dan beberapa gol. Indonesia. tentang Ordonansi Perkawinan. tentang Cacatan Sipil mengenai Kelahiran/ Kematian. tentang Agama/ Adat Istiadat China. tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian bagi anggota MPR/ DPR.

S. 1933 74 S. 1944 137 Inpres 14 Th 1967 UU 13 Th 1970

UU 1 Th 1974 Inpres 9 Th 1974 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Pimpinan/ Anggota DPR I dan II. tentang Perkawinan.

UU I Th 1985 Jo PP. 34 Th 1986 tentang Panwaslak Pemilu.

Keppres 10 Th 1986 UU I Th 1995 tentang Perseroan Terbatas. tentang MUSPIDA.

III. Proses Penuntutan.


Dalam melakukan penuntutan, Jaksa dapat melakukan Prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dari Penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari Penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh Penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

a. Penyerahan Berkas Tahap Pertama. Pada tahap pertama, penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kepada penuntut umum, dan penuntut umum secara nyata dan fisik menerima dari tangan penyidik. Sekalipun telah terjadi penyerahan secara nyata dan fisik kepada penuntut umum, undang-undang belum menganggap penyidikan telah selesai. Dengan kata lain, penyerahan berkas perkara secara nyata dan fisik belum merupakan kepastian penyelesaian pemeriksaan penyidik, sebab kemungkinan besar hasil penyidik yang diserahkan, dikembalikan oleh Penuntut Umum kepada Penyidik melakukan tambahan pemeriksaan penyidikan.6 Oleh karena itu, maka perkara masih kepada terbuka penyidik, kemungkinan hasil untuk mengembalikan berkas pemeriksaan

penyidikan masih dianggap belum lengkap dan menganggap pemeriksaan penyidikan belum mencapai titik penyelesaian. Oleh karena itu penyerahan berkas perkara tahap pertama disebut Prapenuntutan. Menurut Pasal 110 dan 138 KUHAP menyebutkan bahwa: 1. Apabila penyidik telah selesai melakukan penyidikan, wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Apabila berkas perkara belum lengkap, maka diatur dalam Pasal 110 ayat (2) KUHAP yaitu: Apabila Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, Penuntut Umum segera mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi. 2. a. Penuntut Apabila Penuntut Umum mengembalikan hasil penyidikan berkas perkara untuk dilengkapi: Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan. Dalam waktu 14 hari sesudah penerimaan pengembalian bekas dari Umum, Penyidik harus menyelesaikan pemeriksaan tambahan dan mengembalikan berkas pada Penuntut Umum. Pasal 138 ayat (2) KUHAP.
6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2002, hal 357.

b. c.

Penyidikan tambahan harus dilakukan Penyidik sesuai dengan petunjuk yang digariskan Penuntut Umum. Dalam waktu tujuh hari setelah penerimaan berkas perkara, Penuntut Umum telah menyampaikan pemberitahuan kepada Penyidik, bahwa hasil penyidikan yang terdapat dalam berkas sudah lengkap diatur dalam Pasal 138 ayat (1) KUHAP.

d.

Penyidikan dengan sendirinya secara hukum dianggap lengkap dan selesai apabila tenggang waktu 14 hari dari tanggal penerimaan berkas perkara, apabila Penuntut Umum: Tidak menyampaikan pemberitahuan tentang kekurangan lengkapan hasil penyidikan; Atau selama waktu 14 hari tersebut Penuntut Umum tidak ada mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik. Dengan demikian setelah jangka waktu tersebut dilampaui, ternyata

Penuntut Umum tidak ada menyampaikan pemberitahuan tentang kekurang lengkapan penyidikan atau apabila dalam tenggang waktu 14 hari, penuntut Umum tidak ada mengembalikan berkas perkara, sah dan lengkap serta selesailah fungsi penyidikan, dan saat itulah terjadi penyerahan berkas perkara tahap kedua, serta sejak saat itu berakhir tenggang waktu Prapenuntutan dan beralih ke tahap Penuntutan. b. Penyerahan Berkas Tahap Kedua. Seperti telah dijelaskan penyerahan berkas tahap pertama, penyidikan dianggap lengkap dan selesai apabila telah ada pemberitahuan dari Penuntut Umum yang menyatakan berkas perkara telah lengkap (Formulir P-21). Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara dari tangan Penyidik kepada Penuntut Umum, meliputi: Berkas Perkaranya sendiri, tanggung jawab hukum atasTersangka dan Barang Bukti atau Benda Sitaan. Akan tetapi perlu diperhatikan, bahwa peralihan dan penyerahan itu titik beratnya adalah penyerahan dan peralihan tanggung jawab yuridis, sekalipun hal ini tidak mengurangi peralihan dan penyerahan secara fisik Tersangka dan Barang Bukti.

Apabila Penuntut Umum tidak mempunyai Ruang Tahanan, maka biarlah Tersangka tetap pada tempat semula atau dititipkan di Rumah Tahanan sebagai tahanan titipan Kejaksaan, walaupun secara fisik tersangka tetap pada tempat semula tetapi tanggung jawab telah beralih kepada Penuntut Umum. Kecuali mengenai Barang Bukti yang sederhana seperti. Pistol, Pisau, Ganja satu paket, dan sebaginya, dapat diserahkan secara langsung kepada Penuntut Umum.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta 2002. Liba Mastra, 14 Kendala Penegakan Hukum, Yayasan Annisa, Jakarta 2002. Naning Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi dan Mekanisme Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Liberty, Yogyakarta, 1982.

Peraturan Perundang-undangan. Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

10

You might also like