You are on page 1of 9

1) Perjanjian Internasional Secara umum Perjanjian Internasional didefinisikan sebagai perjanjian antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan

hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional. Sementara Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan Perjanjian Internasional ini sebagai perjanjian yang diadakan antara masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Suatu hal yang harus menjadi catatan, bahwa dalam konteks Perjanjian Internasional ini ada banyaknya istilah yang digunakan. Ada kalanya dinamakan traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention), piagam (charter), statuta (statute), deklarasi (declaration), protokol (protocol), arrangement, accord, modus vivendi, covenant, dan sebagainya. Dilihat dari segi yuridis semua istilah ini tidak mempunyai arti khusus, sehingga perjanjian internasional dirujuk sebagai padanan dari kata-kata yang dimaksud di atas. Macam-macam Perjanjian Internasional Ditinjau dari pelbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4 (empat) segi, yaitu: a. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya. Secara garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional dibagi lagi ke dalam: a.1 Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut. a.2 Perjanjian Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan masalah yang

khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut, tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja. Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara umum atau universal. b. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang dilahirkannya. Penggolongan Perjanjian Internasional dari segi kaidah yang dilahirkan sesungguhnya berkaitan erat dengan pengolongan sebagaimana dikemukakan pada poin (a), yaitu terbagi dalam 2 (dua) kelompok: b.1 Treaty Contract Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajibankewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja, maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut serta di dalamnya. b.2 Law Making Treaty Sebagai perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjianperjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itulah dalam konteks subjek

hukumnya adalah negara, biasanya negara-negara perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. Law making treaty ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi: b.2.1 Perjanjian terbuka atau perjanjian umum, yang isi atau masalah yang diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja. b.2.2 Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia. b.2.3 Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu saja. c. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau tahap pembentukannya. Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: c.1 Pejanjian Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Pada tahap perundingan wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat yang secara khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang dirundingkan itu. Perumusan itu nantinya merupakan hasil kata sepakat antara pihak yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua tahap, mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu. c.2 Perjanjian Internsional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian.

Agar perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi. Dengan dilalui tahap pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu baru berlaku atau mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut isi maupun materi dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi para pihak yang bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak pentingnya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan. d. Perjanjian Internasional ditinjau dari jangka waktu berlakunya. Pembedaan atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat, maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya, maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya. Ada memang perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya karena dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang dan selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri. Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang bersangkutan. 2) Hukum Kebiasaan Internasional Costum and Usage Istilah kebiasaan (custom) dan adat-istiadat (usage) sering digunakan secara bergantian. Persamaan keduanya adalah sebagai praktik kebiasaan, pola tingkah laku masyarakat internasional (internasional habit of action). Tetapi sesungguhnya ada perbedaan teknis yang tegas di antara kedua istilah tersebut. Adat-istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Kebiasaan dimulai apabila adat-istiadat berakhir. Adat-istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang tidak mengikat atau tidak memiliki kekuatan hukum (unreceived full legal attestation). Adat-istiadat mungkin bertentangan satu sama lain, sementara kebiasaan harus terunifikasi dan bersesuaian (self-consistent). Viners Abrigement, yang berkenaan dengan

kebiasaan dalam Hukum Inggris, mengemukakan bahwa, Kebiasaan, sebagaimana dimaksudkan oleh hukum, adalah suatu adat-istiadat yang telah memperoleh kekuatan hukum. Kebiasaan sebagai Hukum Untuk dapat dikategorikan sebagai sumber hukum, maka kebiasaan internasional tersebut harus memenuhi 2 unsur yang dikenal dengan the two elements theory: a. Unsur Material, yaitu harus terdapat kebiasaan yang bersifat umum yang diwujudkan dalam praktik kehidupan bernegara oleh masyarakat internasional (the evidence of material fact), dan b. Unsur Psikologis, yaitu kebiasaan itu harus telah diterima atau ditaati sebagai perilaku yang memiliki nilai sebagai hukum, dalam kaidah Latin dikenal opinio juris sive necessitatis . Poin terakhir diadopsi oleh ICJ: not only must the acts concerned amount to a settled practice, they must also be such, or be carried out in such a way, as to be evidence of a believe that this practice is rendered obligatory by existence of a rule of law requiring it. Mengenai opini juris inilah yang menjadi problema, karena tiadanya parameter konkret yang menetapkan setelah berapa lama praktik masyarakat internasional dapat dikategorikan sebagai sebuah kebiasaan. Ada kalanya diperlukan waktu yang lama sekali, tetapi banyak pula contoh bahwa masyarakat internasional telah menerima satu pola tindakan sebagai hukum kebiasaan dalam waktu yang tidak begitu lama. Berbeda halnya dengan Perjanjian Internasional, yang secara jelas dan tegas dapat diketahui isi dan maksudnya, karena bentuknya yang tertulis, maka dalam hal kebiasaan maupun hukum kebiasaan internasional, satusatunya upaya untuk mengetahuinya adalah dengan memperhatikan perilaku atau praktek negara-negara. Menurut Michael Akheurst , hukum kebiasaan internasional dapat dilihat dan diamati serta dibuktikan eksistensinya, sedikitnya dalam bentuk: a. Perilaku atau tindakan pejabat-pejabat negara, b. Perjanjian-perjanjian internasional, c. Perundang-undangan nasional negara-negara, d. Keputusan-keputusan pengadilan internasional maupun nasional, dan e. Tulisan-tulisan atau karya-karya yuridis para sarjana. Kebiasaan dan Traktat atau Perjanjian Sebagaimana sedikit disinggung di atas, perilaku atau praktik negaranegara dalam membuat perjanjian internasional dapat dipandang sebagai petunjuk adanya hukum kebiasaan internasional. Sebenarnya, perjanjianperjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional sendiri, namun perjanjian-perjanjian pada umumnya dan perjanjian bilateral

pada khususnya, hanyalah mengikat para pihak yang bersangkutan saja. Jika kemudian negara-negara lain meniru dan mengikutinya dengan jalan membuat perjanjian yang serupa, maka pokok masalah yang dituangkan dan dirumuskan dalam perjanjian-perjanjian yang jumlahnya semakin banyak dan menyebar luas itu, sudah dapat dijadikan sebagai petunjuk tentang adanya atau terbentuk hukum kebiasaan melalui perjanjian multilateral atau perjanjian-perjanjian bilateral. Dalam hal ini patut ditekankan bahwa, bukanlah perjanjian itu yang dipandang sebagai hukum kebiasaan internasional, melainkan isi atau pokok masalah yang dituangkan di dalamnya. Jadi perjanjian itu hanya berfungsi sebagai wadah atau sarana untuk memudahkan mengetahui perilaku atau praktik negara-negara berkenaan dengan masalah yang diatur di dalam perjanjian tersebut. 3) Prinsip-prinsip Umum tentang Hukum Prinsip-prinsip umum tentang hukum adalah sekumpulan peraturan hukum dari pelbagai bangsa dan negara yang secara universal mengandung kesamaan. Adanya prinsip-prinsip umum tentang hukum sebagai sumber hukum tersendiri di samping perjanjian dan kebiasaan internasional, sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Karena dengan adanya ini, Mahkamah Internasional tidak dapat menyatakan non liquest menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur persoalan yang diajukan , sehingga memperkuat kedudukan Mahkamah Internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum baru. Starke berpendapat bahwa prinsip-prinsip umum hukum ini dimasukkan ke dalam Statuta Mahkamah (Pasal 38 (1) Statuta ICJ) untuk memberikan suatu dasar tambahan bagi keputusan dalam hal bahan-bahan lain, dua sumber hukum internasional yang telah dibahas di atas , tidak dapat membantu Mahkamah, yang harus digunakan secara analogi dengan menyeleksi konsep-konsep yang diakui oleh semua sistem hukum nasional. Secara hirarkis macam dan tingkatan dari prinsip-prinsip umum tentang hukum ini terdiri: a. Prinsip-prinsip hukum pada umumnya. Hukum positif dari pelbagai bangsa dan negara maupun hukum internasional, walaupun dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya, namun secara universal mengandung kesamaan, bukan mengenai isinya , dalam asas atau prinsip yang mendasarinya. Contoh dari prinsip umum tentang hukum adalah prinsip keadilan, prinsip kepatutan dan kelaikan, prinsip kesamaan derajat antara sesama manusia, prinsip itikad baik, dan sebagainya. b. Prinsip-prinsip hukum dari pelbagai sistem hukum.

Menurut sejarahnya, sistem hukum yang sudah secara klasik dikenal dan berpengaruh luas adalah sistem hukum Anglo-Saxon dan sistem hukum Eropa Kontinental. Namun di samping kedua sistem hukum ini, masih ada beberapa sistem lain yang juga dianut secara luas, antara lain sistem hukum Islam, sistem hukum Sosialis, sistem hukum Hindu, dan sistem hukum Magribi. Tentu saja semua sistem hukum ini kalau diteliti lebih mendalam, dapat ditemukan pula asas-asas atau prinsip-prinsip hukum yang sama antara satu dengan lainnya,, walaupun contoh khusus yang konkrit sulit untuk diberikan. Karena sistem hukum ini berlaku dan berpengaruh pada pelbagai negara atau pelbagai kawasan, tentunya identik dengan prinsip-prinsip hukum dari hukum nasional negara-negara. c. Prinsip-prinsip hukum nasional pada umumnya. Dari prinsip-prinsip hukum nasional negara-negara di dunia pada umumnya, walaupun berbeda-beda, tentu tidak sedikit pula kesamaannya dengan jalan mendeduksikannya. Kesamaan inilah yang dapat disimpulkan sebagai prinsip umum tentang hukum. Sebagai contoh, setiap hukum nasional negara-negara mengenal prinsip non bis in idem, dan prinsip nullum delictum dalam hukum pidana; prinsip pacta sunt servanda dalam hukum perjanjian atau perikatan; prinsip ius soli dan ius sanguinis dalam hukum kewarganegaraan, dan sebagainya. d. Prinsip-prinsip hukum internasional pada umumnya. Hukum internasional pun mengenal prinsip-prinsip hukum, yang melandasi berlakunya kaidah hukum internasional positif. Sebagai contoh, prinsip kesamaan derajat negara-negara, prinsip penentuan nasib sendiri dari setiap negara, prinsip non intervensi, prinsip internasional yang terkandung di dalam Piagam PBB, dan sebagainya. e. Prinsip-prinsip hukum dari pelbagai pelbagai cabang hukum internasional. Tentunya paling banyak dijumpai adalah prinsip-prinsip hukum internasional dalam perlbagai bidang hukum internasional itu sendiri. Misalnya, dalam bidang hukum laut internasional dikenal prinsip kebebasan laut lepas (freedom of the high seas) , prinsip dasar samudera sebagai warisan bersama umat manusia (seabed and ocean floor beyond national jurisdiction as common heritage of mankind) ; dalam bidang hukum perjanjian internasional dikenal prinsip itikad baik (good faith) , prinsip pacta tertiis nec nocent nec prosunt, prinsip pacta van survanda; dalam bidang hukum humaniter dikenal prinsip pembelaan dan prinsip kekesatriaan; dalam bidang hukum ekonomi internasional dikenal prinsip non-diskriminasi, prinsip national treatment, prinsip resiprositas atau prinsip timbal balik ; dan sebagainya. Hubungan Prinsip-prinsip Umum tentang Hukum dengan Perjanjian Internasional dan Hukum Kebiasan Internasional

Jika sudah dirumuskan dalam bentuk Perjanjian Internasional ataupun sudah menjadi bagian dari Hukum Kebiasaan Internasional, maka prinsipprinsip umum tentang hukum yang seperti itu, dapat disamakan atau disejajarkan dengan hukum internasional positif yang mempunyai kekuatan mengikat yang sama. Namun, tidaklah menghilangkan hakikatnya sebagai prinsip-prinsip umum hukum sebab daripadanya masih dapat diturunkan atau ditarik norma hukum (internasional) yang lain. Dengan kata lain, tetap dapat dijadikan sebagai dasar bagi norma-norma hukum (internasional) positif lainnya, baik yang sudah ada sebelumnya maupun yang akan muncul pada masa yang akan datang. 4) Keputusan Badan-badan Peradilan dan Pendapat Para Ahli (Doktrin) Meski keputusan badan-badan peradilan itu hanya berlaku dan mengikat bagi para pihak yang berperkara, namun kerap nilai hukum yang dikandung di dalamnya dapat berlaku menjadi hukum yang berlaku umum. Demikian pula halnya dengan doktrin, yang sesungguhnya bukanlah norma hukum positif karena hanyalah berupa pendapat perorangan saja , tidak dapat disangkal seringkali memiliki wibawa yang demikian tinggi sehingga dapat mempengaruhi kecenderungan dan perkembangan hukum internasional itu sendiri. Keputusan Badan-badan Peradilan Keputusan badan-badan peradilan atau yurisprudensi mencakup seluruh keputusan badan peradilan, meliputi keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah Internasional Permanen (the Pemanent Court of International Justice), badan-badan arbitrase internasional, Mahkamah Hak-hak Asasi Manusia, dan keputusan badanbadan peradilan internasional lainnya. Termasuk pula di dalamnya keputusan badan-badan peradilan nasional negara-negara, badan arbitrase nasional maupun badan-badan peradilan nasional lainnya yang ada dalan suatu negara. Isi, jiwa, dan semangat yang terkandung di dalam keputusan itu kemudian diikuti oleh negara-negara dalam praktik dan ada pula yang diundangkan di dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Dengan demikian, keputusan badan peradilan internasional yang semula hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara saja, lama kelamaan berkembang menjadi norma hukum internasional yang berlaku umum. Keputusan badan-badan peradilan nasional seperti Mahkamah Agung suatu negara, terutama yang mengandung aspek-aspek hukum internasional, juga dapat berpengaruh besar terhadap hukum internasional. Hal ini menunjukkan betapa suatu badan peradilan nasional pun memberikan sumbangan positif bagi pembentukan hukum internasional. Pendapat Para Ahli (Doktrin) Pendapat para ahli mengenai suatu masalah tertentu, walaupun bukan

merupakan hukum positif, seringkali dikutip untuk memperkuat argumentasi tentang adanya kebenaran dari suatu norma hukum. Bahkan pendapat para ahli tersebut, karena wibawa dan pengaruhnya yang demikian luas, seringkali berkembang menjadi norma hukum positif. Sebagai gambaran, pandangan seorang ahli yang dikemukakan di dalam karya tulisannya mengenai masalah tertentu yang kemudian dikutip dan disetujui oleh penulis atau sarjana lain maupun oleh hakim-hakim dalam penyusunan keputusan atas suatu perkara yang sedang diperiksanya, lama kelamaan pandangan ini dapat berkembang menjadi suatu kesamaan pandangan para ahli lain maupun anggota masyarakat luas tentang masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa yang semula berasal dari pendapat perorangan kini melahirkan suatu kesamaan pandangan dan sikap atau perilaku anggota masyarakat, maka dapat dipandang sebagai telah terbentuknya suatu norma hukum. Pendapat para ahli akan lebih cepat berpengaruh dan berkembang menjadi norma hukum positif, apabila dikemukakan oleh badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan professional sebagai wadah profesi, terutama yang bersifat internasional. Seperti misalnya, Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) sebagai komisi ahli yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB, International Law Association, dan International Law Institute yang masing-masing sebagai organisasi independen yang terdiri dari para ahli hukum internasional. Walaupun keputusan atau resolusinya itu hanyalah pendapat atau pandangan organisasi dan atau para anggotanya, namun karena pada hakikatnya merupakan kesepakatan para anggotanya, tentu saja nilai hukum yang dikandungnya menjadi lebih berbobot. 5) Sumber-sumber Hukum lainnya a. Putusan Organisasi Internasional Putusan-putusan organisasi internasional dapat menjadi sumber hukum internasional. Organisasi internasional sebagai suatu lembaga, memiliki organ-organ yang terstruktur menurut kebutuhan organisasi itu sendiri dalam rangka mencapai tujuannya. Supaya semua organ tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan demi terjalinnya hubungan antar organ-organnya itu, dibutuhkan adanya peraturan yang berfungsi sebagai aturan permainan (rule of procedure) yang berlaku interen bagi organisasi internasional itu sendiri. Di samping itu ada pula yang berupa kesepakatankesepakatan yang mengikat sebagai norma hukum terhadap negara-negara anggotanya.

You might also like