You are on page 1of 6

TANTANGAN KELUARGA KRISTEN DI ABAD XXI

Kristus: Tuhan atas Keluarga


Efesus 5:23 – 6:9
Deky H. Y. Nggadas, M. Div.

Struktur kitab Efesus:


Psl. 1 : Salam dan berkat
Psl. 2 : Union with Christ yang dideskripsikan sebagai tindakan Allah yang menghidupkan
manusia berdosa dari kematian
Psl. 3 : Penjelasan Paulus tentang pelayanannya kepada orang-orang non-
Yahudi/gentiles
Psl. 4 : Pola hidup baru dalam kesatuan tubuh Kristus
Psl. 5 : Penyembahan berhala dan hubungan suami-istri sebagai representasi hubungan
Kristus dengan jemaat-Nya.
Psl. 6 : sikap dan peran masing-masing anggota keluarga dan perlengkapan rohani

Pendahuluan
Tema ini: “Tantangan Keluarga Kristen Abad ke-21”, merupakan tema yang sulit. Mengapa
sulit? Dalam penyelidikan saya berkenaan dengan topik ini, saya menemukan beberapa
kesulitan:
1. Tema ini memiliki cakupan yang sangat luas. Karena ketika berbicara mengenai
tantangan-tantangan apa yang mesti diwaspadai keluarga-keluarga Kristen,
terutama di abad ini, maka kita akan segera melihat bahwa tantangan-tantangan itu
bersifat multi-dimensional. Dimensi ekonomi, sosial-sosial budaya, filosofi hidup,
politik, psikologis, pendidikan, relasi antar-pribadi di dalam keluarga, dsb. Itu berarti
bahwa membicarakan topic ini dalam satu kesempatan yang singkat ini tentu tidak
mungkin.
2. Mungkin kita berkata, oke topik ini memang seluas kehidupan keluarga itu sendiri,
tetapi mengapa tidak memilih salah satu topic spesifik yang kira-kira menjadi ciri
khas/karakteristik abad ini yang kalau tidak dikenali, diwaspadai, dan disikapi
secara serius, maka itu sama dengan membiarkan keluarga-keluarga Kristen
berada dalam bahaya besar. Justru ini juga masalah besar. Mengapa? Karena
ketika kita berbicara mengenai tantangan-tantangan apa yang menjadi ciri
khas/karakteristik Abad ini kita harus mengakui bahwa sebenarnya tidak ada
sesuatu tantangan apa pun yang benar-benar baru. Misalnya:
a. Hari ini para teolog yang masih setia kepada Alkitab sepakat bahwa abad ini
merupakan abad di mana Post-Modernisme adalah bahaya yang harus
diwaspadai. Itulah sebabnya, tidak heran beberapa kali diadakan seminar
tentang Post-Modernisme: apa, bagaimana cara penyebaran, dan bahaya-
bahaya yang mengguncangkan yang ditimbulkan oleh Post-Modernisme. Juga
saya mengenal dengan baik beberapa literatur yang dengan tajam dan kritis
menganalisis serta menunjukkan bahaya dari Post-Modernisme. Misalnya:
Douglas Groothuis, Pudarnya Kebenaran; David Well, No Place for Truth/Tiada
Tempat bagi Kebenaran. Dalam analisis-analisis tersebut ditunjukkan bahwa
bagi Post-Modernisme tidak ada kebenaran yang sifatnya absolute sehingga
kebenaran yang absolute itu mengikat semua orang. Menurut Post-Modernisme,
kebenaran itu sifatnya relative. Jika kebenaran itu relatif apakah tidak ada suatu
kesepakatan bersama atau kebenaran bersama yang boleh dijadikan
pegangan? Mereka menjawab ada! Tetapi kebenaran/kesepakatan itu bukan
bersifat universal atau absolute melainkan bersifat kolektif. Apa maksudnya?
Maksudnya bahwa sebenarnya yang kita sebut kebenaran adalah kebenaran
yang diakui oleh suatu komunitas tertentu. Jadi kebenaran itu adalah
kebenarannya orang Kristen, kebenarannya orang Hindu, Kebenarannya orang
Budha, kebenarannya orang Muslim. Dengan kata lain, ketika kita menyebut
sesuatu sebagai benar, sebenarnya yang kita sebut benar itu adalah benar yang
dianggap benar oleh suatu kelompok tertentu. Karena kebenaran itu bersifat
kelompok atau komunitas maka tidak boleh ada satu kelompok yang boleh
menyebut bahwa kebenaran yang diakui kelompoknya itu lebih superior
dibandingkan dengan kebenaran yang diakui kelompok yang lain. Implikasinya,
kalau orang Kristen percaya bahwa hanya maut yang memisahkan suatu
hubungan suami-istri, maka itu tidak berarti bahwa yang kita percaya itu lebih
benar dari yang dipercaya orang-orang di luar kekristenan. Tidak ada nilai-nilai
keluarga yang kita bisa yakini sebagai nilai-nilai yang kekal yang asalnya dari
Tuhan.
Jika ini yang ditawarkan Post-Modernisme sebagai sesuatu yang baru di abad
ini, maka saya katakan ini bukanlah sesuatu yang baru. Karena relativitas
kebenaran seperti ini sudah dikemukakan ribuan tahun yang lalu. Misalnya oleh
seorang filsuf Yunani yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Kristus
bernama Protagoras. Protagoras berkata, “Angin yang sama dirasa berbeda
oleh dua orang. Bagi yang sakit, hembusan angin itu terasa dingin, sementara
yang sehat merasakan sejuk”.
Adakah sesuatu yang baru yang benar-benar menjadi ciri khas abad ini yang
harus diwaspadai oleh keluarga-keluarga Kristen? Saya tegaskan tidak!
Mungkin “bungkusannya” baru (sehingga diberi nama Post-Modernisme) tetapi
isinya tidak!
- Kalau saudara melihat TV menyiarkan tentang perceraian demi perceraian,
apakah itu sesuatu yang baru?
- Kalau saudara melihat atau mungkin ada di antara anak-anak kita yang
terjerat narkoba, seks bebas dsb, apakah itu sesuatu yang baru?
- Kalau ada di antara suami-suami atau istri-istri yang tidak lagi setia kepada
pasangannya, apakah itu sesuatu yang baru?
- Kalau ada suami-istri yang tidak lagi berbicara satu sama lain berbula-bulan
bahkan bertahun-tahun, kekerasan dalam rumah tangga, kekurangan demi
kekurangan, masalah demi masalah dalam rumah tangga, apakah itu
sesuatu yang baru?
Tidak! Ini adalah masalah-masalah keseharian dalam keluarga yang juga
sudah dihadapi berabad-abad lamanya sejak Adam dan Hawa jatuh ke
dalam dosa.
Tepat sekali jika Pengkhotbah berkata: “Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah,
ini baru!"? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada” (Pkh. 1:10)

Apakah kita berhenti di sini saja? Tidak!


Jika tidak ada sesuatu yang baru yang boleh kita sebut sebagai tantangan khas abad 21,
apakah kita berhenti saja di sini? Lagi pula, bukankah khotbah tentang keluarga Kristen
juga bukan sesuatu yang baru? Berabad-abad telah dikhotbahkan tetapi toh keluarga-
keluarga Kristen tetap bermasalah. Seolah-olah, masalah dalam keluarga itu seperti kulit
dengan daging kita: tidak bisa dipisahkan. Kalau begitu tidak usah khotbah lagi, karena
toh setelah khotbah ini pun kita pasti masih akan menghadapi masalah. Apakah begitu?

Justru ini merupakan fokus dari khotbah saya hari ini tentang “tantangan keluarga Kristen
di abad 21”. Kita mungkin tidak kaget melihat pertengkaran, kebencian, perselingkuhan,
anak-anak yang sulit di atur, perceraian tetapi saya cukup kaget ketika seseorang itu
berkata bahwa karena masalah keluarga itu sepertinya tidak mungkin diselesaikan dalam
kehidupan fana ini maka saya tidak membutuhkan Tuhan lagi. Toh kelihatannya khotbah-
khotbah yang mengingatkan saya tentang Tuhan tidak cukup untuk membuat keluarga
saya tidak bermasalah.

Saya gentar kalau pesimisme seperti ini kemudian mendorong kita untuk mencari
kebenaran-kebenaran yang baru. Karena kita merasa bahwa mungkin apa yang kita yakini
selama ini sudah ketinggalan zaman; mungkin kita membutuhkan suatu kebenaran yang
baru yang benar-benar cocok dengan kita yang hidup di abad 21 ini.

Untuk sikap seperti ini, adalah baik kita mendengarkan sebuah nasihat yang bijak dari C.
S. Lewis:

Kristus tidak datang untuk mengajarkan moralitas yang baru…. Pengajar-pengajar


moral yang benar-benar agung tidak pernah memperkenalkan ajaran moral yang
baru: yang melakukan itu berarti ia seperti penjual obat…. Pekerjaan yang
sesungguhnya dari seorang pengajar moral adalah membawa kita kembali kepada
prinsip-prinsip lama dari waktu ke waktu yang mana prinsip itu sebenarnya tidak
ingin kita lihat lagi.

Tentu saja Kristus bukan sekadar Pengajar moral. Dia adalah Tuhan. Dan saya juga tidak
berdiri di sini sebagai pengajar moral. Saya mengkhotbahkan firman Tuhan bukan
moralitas. Namun ada penekanan yang baik dari kalimat Lewis bahwa kebenaran yang
kita butuhkan sebenarnya juga bukan kebenaran yang sama sekali baru. Dan kebenaran
lama inilah yang akan saya sampaikan untuk mengingatkan kita yang hidup di abad 21 ini:

Penjelasan Teks: Kristus adalah kebenaran!


Teks yang kita baca tadi memang biasanya dikhotbahkan waktu acara pernikahan.
Teks ini dijadikan dasar untuk membekali dua orang yang berjanji untuk memulai
kehidupan rumah tangga Kristen. Ini tidak salah. Tetapi kita perlu tahu bahwa Paulus tidak
menuliskan teks ini bagi jemaat di Efesus yang sedang melangsungkan acara pernikahan.
Bahkan sebenarnya surat ini pun tidak secara spesifik ditujukan kepada jemaat di Efesus.
Ini adalah surat edaran yang dibacakan kepada beberapa jemaat di Asia Kecil. Artinya
bahwa tulisan Paulus dalam bagian ini dapat memberikan manfaat kepada keluarga-
keluarga Kristen di mana saja mereka berada.
Menarik untuk diceramati bahwa urutan atau ordo nasihat Paulus mulai dari:
hubungan suami – istri, orang tua – anak, dan hubungan para budak dengan tuan mereka,
sebenarnya juga bukan merupakan sesuatu yang baru pada waktu itu. Artinya bahwa
bukan Paulus yang pertama kali menemukan urutan-urutan seperti ini. Dalam Dictionary
of NT Background, dikatakan bahwa urutan hierarkis ini merupakan kutipan dari ajaran
Aristotel. Paulus berhutang kepada Household Codes yang diajarkan Aristotel yang
memang pandangannya sangat popular dalam kebudayaan Greco-Roman pada waktu itu.
Berbicara tentang seorang anak yang harus menaati orang tuanya (ay. 1), juga
bukan merupakan suatu ajaran yang baru pada waktu itu. Oleh karena ternyata keharusan
menaati orang tua merupakan suatu ajaran yang umum baik yang dicetuskan oleh para
filsuf moralis, maupun oleh para rabi Yahudi. Bahkan seorang filsuf Skeptik bernama
Sextus Empiricus menganjurkan agar hormat kepada orang tua harus dijadikan sebagai
suatu ciri kebudayaan yang positif.
Dengan memperlihatkan informasi-informasi seperti ini, saya ingin mengungkapkan
bahwa bahkan apa yang ditulis oleh Paulus pada waktu itu pun ada hal-hal yang bukan
merupakan hal baru.
Jika demikian apakah yang menjadikan bagian ini unik atau istimewa dibandingkan
dengan anjuran-anjuran filosofis dari berbagai cendekiawan pada waktu itu?

1. Kristus sebagai fondasi


Kristus sebagai fondasi kehidupan rumah tangga yang mengendalikan dan
menguasai hubungan sebuah keluarga Kristiani . Itulah sebabnya semua bentuk imperatif
selalu dikaitkan dengan Tuhan - Kristus (hupakuete yang berarti obey, be subject to;
respond to, accept, adhere to; answer [the door]; tima yang berarti honor, regard,
reverence; set a price on (Mt 27.9a; midd. Mt 27.9b); acknowledge edge the status of or
give financial aid to (1 Tm 5:3); parorgijete yang berarti make angry, make resentful).
Semua kata imperative dalam bagian ini ditulis dalam tense present yang menandai
progesivitas atau kontinuitas penerapannya karena demikianlah yang dikehendaki Tuhan.
Oleh karena Kristus adalah Sang Kepala rumah tangga, maka ketaatan, penghargaan,
penghormatan, tidak membangkitkan kemarahan anak, dstnya menjadi sebuah imperatif
yang kontinue. Artinya, seseorang tidak boleh memunculkan suatu alasan apapun untuk
mengabaikan perintah-perintah tersebut. Tentu saja penerapannya harus selalu terkait
dengan Kristus.

2. Kristus sebagai pemersatu perbedaan


Paulus memang ”mengadopsi” hierarki yang digagas Aristotel, namun ia memberikan
suatu emphasis (penekanan) pada substansi yang sama sekali baru. Paulus
menempatkan Kristus pada poros paraenesis-nya (nasihat). Perhatikan bahwa Paulus
tidak berusaha menghapuskan perbedaan-perbedaan dalam relasi sebuah keluarga.
Paulus justru menunjukkan bahwa perbedaan itu sendiri bukanlah suatu masalah yang
harus dibuang. Bagi Paulus, perbedaan dapat ditempatkan pada konteks kebersamaan,
jika Kristus ada di dalam relasi sebuah keluarga.
a. Perbedaan peran. Dalam perikop 5:22-33 dan 6:1-9 dijelaskan tentang kewajiban
dari masing-masing anggota keluarga dalam memelihara kelangsungan sebuah
keluarga. Peran itu berbeda satu sama lain (peran suami, istri, anak-anak, budak).
Tetapi setiap kali seorang anggota keluarga dituntut melakukan sesuatu, maka itu
selalu diarahkan kepada Tuhan/Kristus. Peran dari masing-masing anggota
keluarga menjadi sama-sama penting karena pada hakikatnya, arah dan tujuan
adalah demi dan untuk Tuhan.
b. Perbedaan status. Perhatikan bahwa dalam kultur Greco-Roman yang menganut
sistem kekerabatan paternalistik mutlak (ayah/suami sebagai pengendali mutlak
seluruh anggota keluarga) namun Paulus menunjukkan bahwa istri, anak-anak, dan
budak patut diperlakukan sebagai pribadi yang berharga. Perlakuan terhadap
budak, misalnya, harus dipandang dalam perspektif jangkauan pandangan Allah
(ay. 9). Memang hierariki sebuah keluarga tetap terlihat dalam perikop ini (Kristus –
suami – istri – anak-anak & budak) namun sikap terhadap mereka tidak semata-
mata berdasarkan hierarki tersebut, tetapi berdasarkan apa yang Tuhan pandang
baik. Itulah sebabnya Paulus kemudian mengajak para budak itu melihat
ketaatannya kepada tuan mereka sebagai sebuah pelayanan (ay.7). Jadi memang
Paulus tidak mengatakan apa-apa untuk menghapuskan sistem perbudakan yang
lumrah pada waktu itu. Memang itu bukan fokus Paulus. Namun dapat dikatakan
bahwa dari aspek relasi, tulisan Paulus dalam perikop ini merupakan sebuah
terobosan yang sangat luar biasa. Seorang budak, dalam tulisan Paulus tidak lagi
melihat dirinya semata-mata sebagai seorang budak (slave/doulos), tetapi juga
seorang yang sedang melayani Tuhan dalam ketaatan dan pelayanan kepada
tuannya.

Jadi perikop ini bukan semata-mata berbicara tentang apa yang harus dilakukan oleh
masing-masing anggota keluarga terhadap Tuhan tetapi juga tentang apa yang Tuhan
sudah lakukan bagi setiap anggota keluarga. Itulah sebabnya beberapa prinsip penting
yang perlu kita perhatikan dalam menata kehidupan rumah tangga Kristen, antara lain:
1. Keluarga yang dapat merealisasikan apa yang Paulus nasihatkan di sini
adalah keluarga yang menempatkan hubungannya dengan Kristus itu di
atas segala-galanya. Orang tua, anak, atau seluruh anggota keluarga yang
tinggal dalam sebuah rumah tangga haruslah orang-orang yang sudah
ditaklukkan hati dan hidupnya oleh Tuhan Yesus. Mereka yang sudah
berdamai dengan Tuhan, yang dari waktu ke waktu mempercayakan
seluruh hidup mereka di tangan Tuhan yang maha kuat itu. Ini
kedengarannya terlalu ideal, tetapi bukankah hubungan yang intim dengan
Tuhan merupakan faktor fundamental yang mempengaruhi aspek
psikomotorik seseorang?
Saya membaca beberapa buku mengenai gaya hidup abad 21. Dan cukup
mengejutkan saya bahwa semua buku-buku tersebut memberikan sorotan yang kritis
terhadap pengaruh TV. Dalam analisis mereka, yang juga meyakinkan saya,
dikatakan bahwa hari ini salah satu alat propaganda perlawanan terhadap nilai-nilai
Kristiani adalah TV. Lihat saja acara-acara yang ditawarkan oleh stasiun-stasiun TV:
semua yang menonton TV diarahkan kepada satu tujuan dan tujuan itu adalah
mencari hiburan. Kita berkata kepada diri kita ”Saya butuh hiburan sewaktu-waktu”.
Tetapi segera sesudah saudara menghadap TV, saudara langsung diindoktrinasi:
”Anda butuh hiburan senantiasa”. TV membuat anda merasa bahwa di mana-mana
anda harus terhibur. Jika tidak terhibur saudara boleh memindahkan chanelnya untuk
menemukan hiburan. Tidak heran, hari ini orang Kristen pergi ke gereja bukan untuk
bersekutu dan semakin mengenal Kristus, tetapi mereka pergi ke gereja untuk
mencari hiburan. Saya sedang susah, mungkin pendeta bisa menghibur saya. Jika
tidak, saya cari pendeta atau gereja yang lain. Keinginan yang sama juga terlihat
dalam tutur kata mereka yang akan menikah, ”Saya mau menikahi dia karena dia
cocok dengan saya. Saya kalau ketemu dia, ketawa melulu.” Alhasil, beberapa bulan
atau beberapa tahun kemudian mereka sudah saling melukai lalu akhirnya
pernikahan mereka berakhir. Ketika ditanya, mengapa bercerai? Karena kami sudah
tidak cocok lagi. Dia sudah tidak menyenangkan lagi seperti pertama kali saya jumpa
dengannya. Mengapa? Karena kehidupan keluarga itu tidak pernah diciptakan Tuhan
atas dasar kecocokan atau atas dasar pencarian kebahagiaan. Kehidupan keluarga
Kristen itu didirikan atas dasar Kristus dan tujuannya adalah kemuliaan Kristus.
2. Kristus bukan hanya menjadi dasar atau fondasi atau kepala dari rumah
tangga Kristen, tetapi Kristus juga yang mengerjakan kemampuan dan
kerelaan untuk menghargai perbedaan peran dan status masing-masing
anggota keluarga. Jika hari ini kita sedang terluka oleh kebiasaan atau
perangai salah satu anggota keluarga, yang terus menerus menyakiti kita;
atau kita sendiri sedang sadar bahwa kita bukanlah orang yang mampu
mengaplikasikan sikap hormat terhadap pasangan, anak-anak, atau siapa
saja. Kita ingin sekali melakukannya tetapi setiap kali kita justru
mempraktikan yang sebaliknya. Hanya satu, datanglah kepada Kristus.
Hanya Dia yang dapat mengubah hati dan karakter seseorang. Pentingnya
kehadiran seorang anggota keluarga bukan semata-mata ditentukan oleh
status dan perannya, melainkan juga karena karya Tuhan yang dinyatakan
melaluinya. Peran masing-masing anggota keluarga menjadi imperatif
yang kontinue karena terlebih dahulu Tuhan sudah berkarya bagi mereka.

Mendengarkan penjelasan ini mungkin kita berkata, ”Ah, yang begini saya sudah
pernah dengar; bukan hal baru.” Tepat, ini bukan hal baru! Dan memang seharusnya terus
dikhotbahkan. Tetapi apakah karena bukan hal baru lalu tidak penting untuk kita yang
hidup di abad 21 ini? Saya ganti pertanyaannya: Siapa di antara kita yang berani berkata
bahwa prinsip-prinsip yang baru saja kita dengarkan tidak relevan lagi saat ini? Siapa di
antara kita yang hari ini masih boleh menyebut dirinya keluarga Kristen tetapi boleh hidup
tanpa Kristus? Mungkin kita dapat mengabaikan Kristus dalam keluarga kita dan keluarga
kita baik-baik saja. Tetapi ingat, pada waktu Kristus tidak lagi menjadi fondasi dan pusat
sebuah keluarga Kristen, maka keluarga itu tidak layak disebut sebagai keluarga Kristen.
Tidak peduli kita hidup di abad apa pun termasuk di abad 21 ini.

Ingat, Iblis sudah berpengalaman menipu sejak manusia pertama diciptakan. Dan di
abad 21 ini tepatnya tahun 2008 ini, tentu saja Iblis sudah semakin ahli dalam hal menipu.
Ia bisa hadir untuk menipu dengan berbagai macam cara. Ia bisa dengan mudahnya
menceraiberaikan keluarga saudara dan saya. Tetapi, hari ini kita belajar dari firman
Tuhan bahwa seberapa pun besar dan hebatnya pengalaman Iblis dalam hal menipu dan
memperdaya kita, Ia tidak akan tahan berdiri di hadapan keluarga-keluarga yang di
dalamnya Kristus memerintah sebagai Kepala dan Tuhan. Maka Tepat sekali jika
seseorang itu berkata, ”Kristus sebagai Tuhan atas keluarga, memang merupakan sebuah
kebenaran klasik yang hari ini hampir-hampir tidak ingin didengar lagi. Tetapi ketika
saudara duduk dalam penyesalan karena saudara telah mengacaukan keluarga saudara
dengan menuruti kemauan Iblis, saudara akan mengakui tanpa halangan bahwa memang
seharusnya Kristuslah yang terutama dalam kehidupan keluarga kita.” Amin!

You might also like