You are on page 1of 11

HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH

HAK ASASI MANUSIA

Tugas Akhir

Disusun Guna Memenuhi Tugas Formatif


Pada Mata Kuliah Pengantar Ilmu Hukum
Dengan Dosen Pengajar Ria Safitri SH M.Hum
Pada Jurusan Muamalah Perbankan Syariah

Oleh
Saumi Rizqiyanto
105046101570

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2007
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

BAB I
LATAR BELAKANG

Sudah menjadi rumor bahwa sistem pelayanan dalam rumah tahanan


negara atau yang lazim disebut LP (lembaga Pemasyarakatan) adalah jauh dari
standar hidup yang telah ditetapkan berdasarkan UU No 12 Tahun 1995.
Undang-undang itu dengan jelas mengamanatkan kepada pemerintah yang
secara tidak langsung menunjuk pengelola Lapas untuk membina para napi,
seperti memberikan edukasi, ketrampilan hidup, dan standar hidup yang layak.
Namun cita-cita itu nampaknya hanya sebatas pada idealisme semata. Tidak
ada tindakan konkret dari pemerintah.
Rumor dan idealisme itu tidak hanya sebatas isu atau wacana belaka, tapi
sudah dibuktikan bahkan dibenarkan oleh salah satu anggota dewan
pertimbangan pemasyarakatan itu sendiri. Farida Syamsi Chadaria, salah satu
anggota dewan tersebut mengatakan “memang kondisi LP kita masih jauh dari
fungsi pemasyarakatan, Memang Tidak mungkin bagi pengelola LP atau rutan
untuk mempedulikan fungsi menyiapkan dan membina warga binaan sehingga
bisa kembali kepada masyarakat dengan baik, termasuk tidak mengulangi tindak
pidananya lagi”1
Lebih jauh, Susana Rita mengemukakan dalam serial yang sama bahwa,
sekarang kondisi Lapas atau Rutan layaknya tempat penantian ajal. “bagaimana
mau menghirup udara bersih, mau menghirup udara saja berebut”2 begitu
ujarnya. Dia memaparkan lebih gamblang masalah ini dengan membongkar
bobroknya sistem perawatan kesehatan narapidana. “menurut Rahardi Ramelan,
Ketua Persatuan Napi Seluruh Indonesia, ribuan napi menderita penyakit kulit.
Sekitar 1.000 orang di antaranya menderita penyakit kulit akut. Air yang kurang
bersih, napi yang tak pernah berganti pakaian, dan napi pencandu narkotika
yang takut air menjadi faktor munculnya penyakit kulit.” Tulis Susan. Bahkan
digambarkan oleh susan mengenai masalah ini dengan anekdot yang cukup

1
Kompas “melupakan hak di tempat pembinasaan” edisi 21 April 2007
2
Kompas “Mereka Hanya Menjemput Kematian di Lembaga Pemasyarakatan...” edisi 13 April 2007

Page 1
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

menggelitik “Rahardi bercerita, saat ia masih di LP Cipinang, ada seorang napi


yang mengeluh gatal akibat penyakit kulit yang dideritanya. "Jawaban petugas
apa? Ya, digaruk saja," katanya.
Ini belum termasuk dengan masalah krusial lainnya yang kini
mengemuka, yakni meledaknya jumlah penderita HIV. Saat ini, penyebab
kematian ketiga terbesar adalah di akibatkan oleh HIV, hal ini seperti dituturkan
oleh Beby Jim Aditya, salah seorang aktivis penanggulangan HIV. Ia
mengemukakan bahwasannya akan ada ledakan kematian para narapidana
akibat HIV3.
Dari sini sudah bisa ditarik kesimpulan bahwa, cita-cita dari pada UU No
12 tahun 1995 untuk memasyarakatkan narapidana serasa berat sebelah.
Regulasi yang mengatur sudah jelas namun tidak ada tindakan konkretnya. Lalu
apatah kata, benar juga apa yang dikemukakan oleh Susan. “Di penjara, mereka
bukan dimasyarakatkan. Bagaimana mau dimasyarakatkan? Mereka bahkan
merasa tak dimanusiakan. Di penjara, mereka menanti kematian” 4.

3
Ibid
4
Ibid

Page 2
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

BAB II
PEMBAHASAN

Sistem Pemasyarakatan sudah lahir sejak zaman dahulu. Jika menengok


jejak sejarah, maka dapat diketahui bahwa sistem peradilanlah yang
menciptakan penjara ketika di abad 12, Raja Henry II dari Inggris membangun
ruang-ruang khusus bagi tahanan yang hendak dihadapkan pada pengadilan.
Saat itu baru sebatas kurungan badan belaka. Baru pada abad ke-16 penjara
sebagai lembaga pemasyarakatan mewujud berupa London’s Bridewell dan
Ghent House of Correction serta sejumlah LP di tanah koloni di Amerika Serikat.
Pada Awal abad ke-18, Penjara Eastern State Penitentiary di Philadephia
merintis pembinaan para narapidana dengan bekal keterampilan menganyam,
bertukang dan membuat sepatu. Para pengelola LP saat itu sudah meyakini:
dalam kesunyian dan kesendirian, para napi akan merenungi kesalahan masa
lalu mereka dan bertobat.
Di tahun 1840, Kapten Alexander Maconochie di Kepulauan Norfolk,
sebelah timur Australia memperkenalkan sistem penilaian seperti pada anak
sekolah. Para napi dinilai pekerjaan dan sikapnya dan kemudian dicantumkan
dalam “rapor” yang bisa mempengaruhi masa hukumannya. Sistem ini kemudian
diterapkan di berbagai penjara di dunia -- juga di negeri kita -- yang berimbas
pada pengurangan masa hukuman.
Itu sebabnya para narapidana kita sebut sebagai warga binaan. Seusai
masa hukuman, mereka akan kembali berintegrasi secara sehat dengan
masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat
yang bebas dan bertanggung jawab 5.
Sistem ini seakan sudah menjadi standar umum dalam hal
penyelenggaraan pemasyarakatan. Dalam perkembangan selanjutnya,
bermunculanlah peraturan-peraturan baik local, regional maupun internasional
yang mengatur secara lebih spesifik masalah pemasyarakatan. Hal itu tentu saja

5
Sejarah ini penulis dapat dari pidato tahunan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awwaludin dalam rangka
memperingati hari bhakti pemasyarakatan ke 47 pada tgl 27 April 2007

Page 3
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

sangat terkait dengan pelaksanaan penegakan HAM dalam pemasyarakatan itu


sendiri.

A. HAK DAN KEWAJIBAN NARAPIDANA


Penegakkan HAM tentu sangat berkait erat dengan Hak dan Kewajiban
para warga binaan. Didalamnya terdapat banyak pembahasan masalah
bagaimana para napi itu dperlakukan, pelayanan pada kesehatan, akses kepada
public goods seperti air, sanitasi, udara bersih dan sandang. UU No 12 Tahun
1995 menyatakan dengan jelas bahwa pada hakikatnya warga binaan
pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan
dengan baik yang manusiawi dengan satu sistem pembinaan yang terpadu.
Selain itu UU ini juga dengan jelas menyebutkan tujuan daripada adanya sistem
pemasyarakatan adalah agar warga binaan pemasyarakatan menyadari
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
bisa diterima kembali masyarakat.
Dengan gamblang disebutkan, bahwasannya tujuan diadakannya sistem
adalah memasyarakatkan para narapidana, yang berarti menyiapkan mereka
agar siap terjun kembali ke masyarakat dengan kesadaran penuh untuk tidak
melakukan kembali kesalahannya.
Selaras dengan hal itu, pasal 5 UU Pemasyarakatan menegaskan sistem
pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas (a) pengayoman (b)
persamaan perlakuan dan pelayanan (c) pendidikan (d) pembimbingan (e)
penghormatan harkat dan martabat manusia (f) kehilangan kemerdekaan
merupakan satu-satunya penderitaan dan (g) terjaminnya hak untuk
berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Dari sini bisa dijelaskan bahwasannya, para narapidana itu sebenarnya
memiliki hak-hak mendasar yang harus di penuhi oleh Negara. Napi layaknya
warga Negara biasa yang hanya saja menjalani hukuman yang berimplikasi pada
keterbatasan ruang gerak. Ia bisa berjumpa dengan siapapun dan kapanpun.
Mendapatkan makanan yang memenuhi standar nutrisi. Dalam hal perlakuan ia

Page 4
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

selayaknya harus dimanusiakan, bukan kemudian dicampakkan bak sampah


yang tidak beguna.
Pasal lain yang menyatakan hak dan kewajiban para napi adalah Pasal 14
UU No 12 Tahun 1995, disana disebutkan diberikan hak mendapat perawatan
rohani atau jasmani; mendapatkan pendidikan dan pengajaran; mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makan yang layak; menyampaikan keluhan;
mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang; mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); mendapatkan kesempatan
berasimilasi, termasuk cuti mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan
bersyarat; mendapatkan cuti menjelang bebas; dan mendapatkan hak lain sesuai
dengan UU yang berlaku.
Interpretasi dari pasal ini adalah bahwasannya para napi berhak
mendapatkan layanan kesehatan, mendapatkan pendidikan dan pengajaran dan
lain sebagainya. Yang ingin penulis tekankan disini adalah masalah kesehatan
yang sepetinya diabaikan begitu saja oleh banyak kalangan. Apa karena ada
anggapan bahwa para napi adalah orang yang memang layak dihukum sehingga
tidak perlu mendapat perlakuan khusus dalam kesehatan. Tidak heran jika
akhirnya LP menjadi sarang beragam penyakit, mulai dari tuberkulosis, infeksi
saluran pernapasan dan pencernaan, hingga HIV/AIDS. Ditjen Pemasyarakatan
mencatat, sebanyak 813 napi meninggal pada 2006. Sebanyak 614 di antaranya
adalah penghuni LP di DKI Jakarta, Banten, dan Jabar dengan konsentrasi
paling tinggi di LP Cipinang, Rumah Tahanan (Rutan) Salemba, dan LP Pemuda
Tangerang.
Pasal ini juga dengan jelas mengemukakan, para napi berhak
sepenuhnya atas ketersediaan informasi dan pendidikan ketrampilan yang
memadai. Perlu ditekankan berkal-kali, bahwa sistem pemasyarakatan adalah
sistem yang berupaya membina para napi agar bisa kembali terjun ke
masyarakat. Pendidikan ketrampilan akan memungkinkan para napi selepas
penjara bisa bekerja dan memenuhi hajat hidupnya.

Page 5
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

Pembahasan masalah hak dan kewajiban memang selalu berkait dengan


dengan masalah kewajiban. Dalam konteks pemasyarakatan hanya ada satu
kewajiban bagi para napi yakni diwajibkan mengikuti program pembinaan dan
kegiatan-kegiatan lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku6

B. REFORM LEMBAGA PEMASYARAKATAN


Setelah dengan panjang lebarnya penulis mengemukakan hak dan
kewajiban bagi warga binaan, yang mana merepresentasikan yang seharusnya,
maka langkah selanjutnya adalah untuk mewujudkan bagaimana kelayakan
hidup para warga binaan terwujud. Hal itu tentu perlu waktu yang lama. Dan
tulisan ini sedikit akan menyinggung bagaimana seharusnya lembaga
pemasyarakatan itu, selain didasari pada hak dan kewajiban yang sudah tertera
pada tulisan diatas, juga didasarkan pada standar PBB yang dikenal dengan
sebutan Standard Minimum Rules for The Treatment of Offenders.
Secara garis besar Standard Minimum Rules for The Treatment Of
Offenders adalah mengatur setiap napi seharusnya memiliki ruang sel sendiri
yang memenuhi standar kesehatan. Hak itu meliputi volume udara, luas lantai,
penerangan, pemanasan, dan ventilasi. SMR juga mengatur akomodasi napi
harus memerhatikan bagian untuk membuang hajat dan mandi yang bersih serta
dapat digunakan setiap saat.
SMR juga mengatur tentang hak napi memperoleh perawatan dan
pelayanan kesehatan jasmani dan rohani. Standar pelayanan meliputi kesehatan
jiwa, pengobatan yang tepat, serta penyembuhan kelainan mental. Ketersediaan
dokter spesialis pun dijamin.
Menurut ketua Dirjen Pemasyarakatan Drs. Mardjaman Bc. IP,
menjelaskan bahwa saat ini, pemerintah tengah menggodok RUU
Pemasyarakatan yang lebih mengakomodir dari pada SMR tersebut. Contoh dari
pada perubahan yang diusulkan adalah Pengaturan penggunaan uang dalam
Rutan atau Lapas, adalah dimaksudkan untuk pencegahan penggunaan dan

6
BPHN Departemen Kehakiman. Pertemuan Ilmiah tentang pola pembinaan, penerimaan bekas nara
pidana dan pemberian santunan terhadap korban tindak pidana. 1994. Jakarta; Dep Keh.

Page 6
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

peredaran uang yang dapat menimbulkan permasalahan tersendiri di Lembaga


Pemasyarakatan. Di dalam instrument internasional pengaturan penyimpanan
uang ditetapkan dalam Standard Minimum Rules for The Treatment of Offenders
pasal 43, bahwa semua uang, barang-barang berharga, pakaian dan lain-lain,
harta milik seorang terpenjara, yang menurut peraturan lembaga tidak boleh
dipegang sendiri, hendaknya pada saat mereka masuk disimpan ditempat yang
aman. Suatu daftar tentang barang-barang itu hendaknya ditandatangani oleh
orang terpenjara tersebut. Hendaknya diambil langkah-langkah untuk menjamin
barang-barang itu tetap dalam keadaan baik;
Contoh yang lainnya adalah perlakuan atau pembinaan khusus terhadap
narapidana dengan kondisi atau keadaan tertentu, seperti telah berusia lanjut
atau jompo, penyakit yang tidak kunjung sembuh, wanita melahirkan, termasuk
perlakuan terhadap bayi yang dilahirkan di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Hal ini didasari pada pertimbangan kemanusiaan dan efektifitas pembinaan di
dalam Lembaga Pemasyarakatan. pemisahaan dalam rangka pembinaan
berdasarkan golongan pada lembaga pemasyarakatan tertentu juga diatur di
dalam Standard Minimum Rules for The Treatment of Offenders pasal 8, bahwa
berbagai golongan orang terpenjara tersebut hendaknya ditempatkan dalam
lembaga tersendiri atau dalam bagian-bagian dari lembaga, dengan
memperhatikan kelamin, umur, riwayat kejahatan, dasar-dasar hukum yang
menjadikan alasan penahanan dan kebutuhan-kebutuhan bagi pembinaannya7;
Pengejawantahan sistem SMR juga diamini oleh Reza Indragiri Amriel
menurutnya memang harus ada pemisahan. Berdasarkan literatur-literatur Barat
memilah pandangan tentang penghukuman. Pertama, just deserts, yakni
hukuman dijatuhkan berdasarkan jenis pelanggaran yang dilakukan seorang
individu. Kedua, republican, kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs)
individu menjadi dasar dalam menentukan jenis hukuman (tepatnya, perlakuan)
bagi pelaku kejahatan. Contoh riil-nya adalah langkah Kapolri yang tidak
memenjarakan mantan sejawatnya, Komisaris Jenderal Polisi Suyitno Landung,

7
Drs Mardjiman Bc. IP. beberapa catatan rancangan undang-undang tentang sistem pemasyarakatan.
Departemen Hukum dan HAM.

Page 7
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang agar tidak menjadi korban


kebrutalan para narapidana8
Yang terpenting dari pada fomasi baru lembaga pemasyarakatan adalah
adanya pemuliaan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sesuai ICCPR
(International Covenant on Civil and Political Right) pasal 10 “semua orang yang
dicabut kebebasannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan
menghormati martabat yang menjadi sifat pribadi manusiawi mereka” 9

8
Reza Indragiri Amriel. Memformat Ulang Sistem Pemasyarakatan. Suara Pembaruan edisi 25 April.
9
de Rover, To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, hal : 274

Page 8
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Bahwasannya, melihat kondisi Lembaga Pemasyarakatan pada saat ini
hak-hak para napi cenderung diabaikan, bahkan dinistakan adanya. Anggapan
yang berkembang adalah “biarkan saja para napi itu hidup apa adanya, mereka
pantas hidup sepserti itu” anggapan itu menjadikan sistem pelayanan
pemasyarakatan mengabaikan hak-hak para napi.
Pengabaian ini, ternyata berdampak pada cita-cita atau tujuan daripada
sistem pemsyarakatan itu sendiri. Adanya sistem rumah tahanan adalah agar
para warga binaan setelah menjalani masa tahanan, bisa kembali kepada
masyarakat dengan bekal ketrampilan hidup. Tapi akibat daripada pengabaian
hak-hak itu, adalah visi atau cita-cita itu menjadi absurd.

B. SARAN
Agar pihak-pihak yang selama ini membidangi masalah ini, entah itu dirjen
pemasyarakatan, dewan pertimbangan pemasyarakatan, maupun LSM yang
peduli, untuk terus berkonsentrasi pada pemenuhan hak-hak para warga binaan.
Tepat kiranya jikalau pada saat ini, suara-suara yang menyampaikan hak-
hak para warga binaan disuarakan di tengah penggodokan RUU
Pemasyarakatan. Agar para tahanan memperoleh hak yang layak, kelayaknnya
distandarisasi dengan SMR, kelayakan adalah menjadi hal penting. Karena hak
hidup layak adalah hak asasi manusia.

Page 9
HIDUP LAYAK DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN ADALAH HAK ASASI MANUSIA

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Pertemuan


Ilmiah Tentang Pola Pembinaan, Penerimaan bekas Narapidana dan pemberian
Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana
Rover, C. de, TO SERVE AND TO PROTECT Acuan Universal
Penegakan HAM, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2000.
Drs Mardjiman Bc. IP. beberapa catatan rancangan undang-undang
tentang sistem pemasyarakatan. 2006. Jakarta ; Departemen Hukum dan HAM.
Reza Indragiri Amriel. Memformat Ulang Sistem Pemasyarakatan. Suara
Pembaruan edisi 25 April.
Kompas. Melupakan Hak di Tempat Pembinasaan” Jakarta; Edisi 21 April
2007
Kompas. Mereka Hanya Menjemput Kematian di Lembaga
Pemasyarakatan...” Jakarta: edisi 13 April 2007

Page 10

You might also like