You are on page 1of 13

Tinjauan Yuridis Atas Berlakunya Peraturan Daerah Provinsi Sumatera

Barat Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaatannya

Oleh:
Septria Yanto
05 193 039

Program Studi Ilmu Administrasi Negara


Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Andalas
Padang
2009
BAB I

PENDAHULUAN

Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 22 juli 2008
Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menetapkan Peraturan Daerah No. 6 Tahun
2008 tentang Tanah Ulayat Dan Pemanfaataannya. Secara eksplisit Perda No. 6
Tahun 2008 menyatakan bahwa, tujuan pengaturan tanah ulayat dan
pemanfaatannya adalah untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut
hukum adat minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termasuk sumber
daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun temurun
dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang
bersangkutan1. Kemudian, sasaran utama pemanfaatannya tanah ulayat adalah
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatt adat2. Lebih
lanjut dinyatakan juga bahwa untuk menjamin kepastian hukum dan keperluan
penyedian data/ informasi pertanahan, tanah ulayat dapat didaftarkan pada kantor
Pertanahan Kabupaten/ Kota3.

Pengaturan tanah ulayat dan pemanfaatannya dalam Perda Provinsi, tentu


menimbulkan dampak terhadap eksistensi hak ulayat di Sumatera Barat pada masa
mendatang. Apakah penyertipikatannya oleh Perda No.6 Tahun 2008 akan
menjamin eksisitensi tanah ulayat di Sumatera Barat? Pertanyaan ini tentu perlu
ditelaah lagi lebih mendalam, sehingga dapat menjadi salah satu referensi bagi
stakeholder yang ada dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan tentang tanah
ulayat.

1
Pasal 4 Perda No. 6 tahun 2008
2
Pasal 3 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008
3
Pasal 8 Perda No. 6 tahun 2008
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Status Tanah Dalam Konsepsi hukum Pertanahan Indonesia

Menurut Maria SW Sumrdjono, secara konseptual status tanah dapat


dibedakan 3 entitas, yakni tanah negara, tanah hak, dan tanah (hak) ulayat4.Tanah
Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak. Tanah Hak adalah
tanah yang dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Sedankan tanah (hak) ulayat
pada prinsipnya berkenan dengan hubungan hukum adatdengan hubungan hukum
antar masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Dalam
hal ini, pembicaraan mengenai hak ulayat tidak hanya mengenai tanahnya saja,
melainkan juga meliputi segala isinya.

Tanah negara mengandung aspek publik. Artinya, aspek yang menonjol


disini adalah aspek kewenangan mengatur dan mengusai tanah oleh negara.
Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi (a) tanah-tanah yang yang
diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya; (b) tanah-tanah yang berakhir jangka
waktunya dan tidak diperpanjang lagi; (c) tanah-tanah yang pemegangnya haknya
meningal dunia tanpa ahli waris; (d) tanah yang telantar; (e) tanah-tanah yang
diambil untuk kepentingan umum5.

Tanah hak mengandung unsur keperdataan. Aspek yang menonjol adalah


aspek hubungan hukum orang dengan tanah. Berdasarkan Undang-undang Pokok
Agraria (UUPA), yang termasuk hak atas tanah tanah meliputi hak milik, hak
guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai(HP), hak sewa, hak
membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Menurut Maria SW Sumardjono,
secara implisit UUPA membedakan dua kelompok hak atas tanah. Kelompok
pertama adalah hak milik, sedangkan kedua adalah HGU, HGB, HP6. Berikut
adalah perbedaan kedua kelompok tersebut.7

4
Maria SW Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak ekonomi, Sosial Dan Budaya,
Jakarta: Kompas. Hal. 172.
5
Maria SW Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan Implementasi,
Jakarta: Kompas. Hal. 62.
6
Ibid. Hal.146.
7
Maria SW Sumardjono, op. cit. Hal. 147.
1. Ciri/sifat  Hak milik adalah hak yang terkuat, terpenuh,
turun temurun
 HGU, HGB, HP secara a contrario hak yang
kurang kuat dan kurang

2. Jangka waktu  Hak milik tidak dibatasi


 HGU 25 tahun, HGB 30 tahun, HP 25 tahun atau
selama dipergunakan

3. Pemanfaatan  Hak milik tidak tidak rinci


 HGU untuk usaha pertanian, perikanan,
perkebunan atau perternakan
HGB untuk bangunan
HP tidak dirinci

4. Hubungan  Hak milik : hubungan pemilikan


dengan tanah
 HGU, HGB, HP : hubungan pemanfaatan yakni
menggunakan tanah yang bukan milik sendiri

Tanah (hak) ulayat berakses publik dan perdata. Aspek publik tersebut
mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin penguasa,
pemeliharaan, peruntukan dan penggunan tanah ulayat oleh kepala adat8.
Sedangkan aspek perdatanya mengandung arti bahwa hak ulayat merupakan hak
ulayat untuk itu bukan hak milik dalam arti yuridis, melainkan hak punya
bersama9. UUPA tidak memberikan penjelasan tentang hak ulayat. UUPA hanya
menyatakan bahwa yang dimaksud denan “hak ulayat dan hak-hak serupa itu”
ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut beschikkingsrecht. Terhadap
tidak adanya pengaturan lebih lanjut hak ulayat dalam UUPA, Boedi Harsono
berpendapat;

Sengaja UUPA tidak mengadakan penaturan dalam bentuk peraturan perundang-


undangan mengenai hak ulayat, dan membiarkan pengaturnnya tetap berlaku
berlangsung menurut hukum adat setempat. Mengatur hak ulayat menurut para
perancang dan pembentuk UUPA akan berakibat menghambat perkembanan alamiah
10
hak ulayat, yang pada kenyataan cenderung melemah .

8
Boedi Harono, 2005, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanannya, Jakarta: Djambatan. Hal. 182.
9
Ibid. Hal.183.
10
Ibid, Hal 193.
Disamping tiga jenis status tanah tersebut diatas, dikenal juga tanah hak
pengelolaan (HPL). HPL secara implisit pengertiannya diturunkan dari pasal 2
ayat (2) UUPA dan Penjelasan umum II (2) UUPA. Istilah HPL muncul pertama
kali dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang
Kebijakan selanjutnya. Menurut Maria SW Sumardjono, HPL merupakan bagian
dari hak menguasai negara yang (sebagian) kewenanganya dilimpahkan kepada
pemegang HPL11. Bagian-bagian tanah HPL tersebut dapat diberikan kepada
pihak lain dengan hak milik, HGB, atau hak pakai12.

2.2 Tinjauan singkat Pendaftaran Tanah menurut PP No. 24 tahun 1997


tentang Pendaftaran Tanah

Dalam PP no. 24 tahun 1997 dinyatkan bahwa tujuan pendaftaran


tanah adalah :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum


kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah
susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah
dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang


berkepentingan termasuk Pmerintah agar dengan mudah dapat
memperoleh data ayng diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

c. Untuk terselengarnya tertib administrai pertanahan13

Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hal yang


bersangkutan diberikan sertipikat hak atas tanah14. Adapun yang menjadi objek
pendaftaran tanah menurut pasal 9 ayat (1) PP no.24 tahun 1997, meliputi:

11
Maria SW Sumardjono, Tanah dalam Perspektfi.....,op.cit. Hal. 204.
12
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia…..,op.cit. Hal. 277.
13
Pasal 3 PP No. 24 tahun 1997
14
Pasal 4 PP No. 24 tahun 1997
a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, HGU,
HGB, dan hak pakai

b. Tanah HPL

c. Tanah wakaf

d. Hak milik atas satuan rumah susun

e. Hak tanggunan

f. Tanah negara

Dari ketentuan Pasal 9 ayat(1) diatas, tanah ulayat tidak termasuk ke


dalam objek pendaftaran tanah. Terhadap tidak dimasukanya tanah ulayat sebagai
objek pendaftaran tanah, Boedi harsono berpendapat :

Hak ulayat tidak akan didaftar. UUPA tidak memerintah pendaftaranya, dan dalam
PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, hak ulayat secara sadar tidak
dimasukkan dalam objek pendaftaran tanah. Secara teknis tidak mungkin, karena
batas-batas tanahnya tidak mungkin dipastikan tanpa menimbulkan sengketa antar
masyarakat hukum yang berbatas.

UUPA menakui adanya keberadaan hak ulayat. Hal ini menjadi dasar
dikeluarkannya Peraturan menteri Agraria/ Kepala BPN No. 5 tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan Menteri
Agraria tersebut mengatur mengenai kriteria dan atau tidak adanya keberadaan
hak ulayat masyarakat hukum adat. Setelah melalui penelitian yang melibatkan
stakeholders, keberadaan hak ulayat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila
memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar
tanah15. Dalam hal ini, tanah ulayat tersebut tidak diterbitkan sertipikat.

2.3 Pendaftaran Tanah Ulayat Dalam Perda No. 6 Tahun 2008

Perda No. 6 Tahun 2008 mengklasifikasikan tanah ulayat di Sumatera


Barat atas 4 jenis tanah ulayat, yakni tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, tanah
ulayat kaum dan tanah ulayat rajo16. Tanah-tanah ulayat tersebut dapat
didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Bila didaftarkan, tanah

15
lihat Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999
16
Pasal 5 Perda no. 6 tahun 2008
ulayat nagari diberi status Hak Guna Usaha (HGU), hak pakai atau hak
pegelolaan (HPL). Tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum diberi status hak
milik. Sedangkan tanah ulayat rajo diberi status hak pakai dan hak kelola.

Dari ketentuan tersebut diatas, dipahami jika tanah ulayat didaftarkan pada
Kantor Pertanahan, maka statusnya diubah menjadi HGU, hak pakai, HPL, hak
milik dan hak kelola. HGU, hak pakai, HPL dan hak merupakan status tanah yang
dikenal dalam hukum pertanahan Indonesia. Sedangkan hak kelola merupakan
istilah baru.

HGU adalah hak untuk menguasakan tanah yang dikuasai oleh negara
guna perusahaan pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan17. Bila
tanah ulayat nagari didaftarkan di Kantor Pertanahan dan pemegang haknya
diberikan HGU, maka status hak ulayat tersebut dapat menjadi tanah negara.
Dalam hal ini, pemegang HGU tidak begitu leluasa memanfaatkan tanah yang
dikuasainya. Peruntukannya dibatasi pada bidang pertanian, perkebunan,
perikanan dan/atau peternakan. Pemanfaatannya pun juga dibatasi untuk jangka
waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun18. Selain itu, pemegamg HGU diwajibkan membayar uang
pemasukan pada negara19.

Hak pakai adalah hak untuk mengunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah negara, tanah hak milik atau HPL20. Artinya, hak pakai dapat diberikan atas
tanah negara, tanah hak milik atau tanah HPL. Bila tanah ulayat didaftarkan, tentu
status hukumnya berubah menjadi salah satu diantara 3 jenis tanah tersebut.
Kemungkinan terbesarnya, tanah ulayat itu menjadi tanah negara. Hak pakai
diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun atau dapat diberikan jangka
waktu yang tidak ditentukan selama tanah dipergunakan untuk keperluan
tertentu21.

17
Pasal 28 ayat(1) UUPA jo Pasal ayat (1) PP No. 40 tahun 1996
18
Pasal 8 PP No. 40 tahun 1996
19
Pasal 12 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996
20
Pasal 41 ayat (1) UUPA jo Pasal 41 PP No. 40 tahun 1996
21
Pasal 41 ayat (2) UUPA jo Pasal 45 ayat (1) PP No. 40 tahun 1996
HPL adalah hak mengusai negara yang kewenanganya pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan pada pemegangnya. Pemegang HPL dapat memberi hak
atas tanah pada pihak lain. Berdasarkan Pasal 67 ayat (1) Peraturan Menteri
Agraria/Kepala BPN No. 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Penglolaan, yang dapat menjadi
pemegang HPL adalah: (1) Instansi Pemerintahan termasuk Pemerintahan
Daerah; (2) BUMN; (3) PT. Persero; (4) BUMD; (5) Badan Otorita; (6) Badan-
badan hukum pemerintahan lainnya yang ditunjuk pemerintah. Dalam prakteknay,
terdapat berbagai jenis HPL, yakni : (a) HPL Pelabuhan, (b) HPL Otorita, (c)
HPL Perumnas, (d) HPL Pemerintah Daerah, (e) HPL Transmigrasi, (f) HPL
Instansi Pemerintahan, (g) HPL Industri/pertanian/pariwisata/ perkerataapian.

Hak milik dalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapatv
dipunyai oleh orang atas tanah22. Terkuat dan terpenuh maksudnya adalah
pemegang hak milik itu dapat berbuat apa saja terhadap miliknya itu, misalnya
memakai/menguasainya sendiri maupun menjual, menyewakan, meminjam hak
miliknya kepada pihak lain. Secar teoritis, hak milik dengan hak menguasai
berbeda. Pemegang hak milik atas suatu benda pastilah pemilik dari benda
tersebut sedangkan pemegang hak menguasai belum tentu pemilik benda itu23.
Bila dikaitkan dengan hak ulayat, maka hak ulayat termasuk kategori hak
menguasai. Karena hak ulayat merupakan kepunyaan bersama masyarakat
hukum adat dimana penguasanya dipimpin oleh penguasa adat.

2.4 Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Kepentingan Investasi dan


Pembangunan

Lahirnya Perda No. 6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan untuk
melindungi eksistensi tanah ulayat di Sumatera Barat, namun juga hadir untuk
kepentingan investasi dan pembangunan24. Untuk itu, melalui pasal 3 ayat (3),
Perda No.6 tahun 2008 membuka ruang bagi dimanfaatkannya tanah ukayat oleh

22
Pasal 20 ayat (1) UUPA
23
Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, Hak Milik Keadilan dan Kemakmuran: Tinjauan
Falsafat Hukum, (Jakarta: Penerbit Balai Aksara, 1986) Hal. 52
24
Dalam penjelasan umum Perda No. 6 tahun 2008 dinyatakan, tanah ulayat, yang dapat diteriam
oleh masyarakat hokum adapt, sehingga tanah ulayat tersebut semakin dapat menunjang
pelaksanaan pembangunan berskala nasional maupun regional dan lokal.
pihak lain dengan kaedah ”adat diisi limbago dituang” melalui musyawarah
mufakat25.

Secara eksplisit, Perda No. 6 tahun 2008 menyatakan bahwa pemanfaatan


tanah ulayat untuk kepentngan Badan Hukum dan perorangan dapat dilakukan
berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan pengelolaan tanah ulayat dalam
jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan modal, bagi hasil dan/atau bentuk
lain yang telah disepakati26. Kemudian Perda No. 6 tahun 2008 juga
memungkinkan investor memanfaatkan tanah ulayat sebagai pemeang saham,
bagi hasil dan dengan cara lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian27. Apabila perjanjian penyerahan hak pengusaan dan/atau hak milik
untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan berakhir, maka
status pengusahaan dan/atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula28.

Pemanfaatan tanah ulayat oleh pihak lain tersebut, dimungkinkan tidak


hanya berdasarkan perjanjian saja. Perda No. 6 tahun 2008 juga memberi peluang
untuk didaftarkan tanah ulayat tersebut dengan hak-hak tertentu29. Jika tanah
ulayat didaftarkan, mekanismenya harus sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Perda
No. 6 tahun 2008. bila, dilaksanakan, status hukum tanah ulayat akan berubah.
Sebab, dalam hukum tanah Indonesia tidak ada pemberian HGU, HGB, dan hak
pakai di atas tanah ulayat.

Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008 mengatur bahwa
bila perjanjian tanah ulayat yang terdaftar tersebut berakhir, maka pengaturan
pemanfaatan tanah selanjtnya dlaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
untuk diserahkan kepada penguasa dan/atau pemilik tanah ulayat semula. Bila
perjanjian berakhir, mengapa tanah ulayat tersebut tidak langsung diserahkan
kepada masyarakat hukum adat dan harus melalui perantara Pemerintah

25
Maksud ”adat diisi limbago dituang” adalah suatu pemberian berupa uang oleh pihak ketiga
yang mengelola dan menguasai tanah ulayat kepada penguasa dan/atau pemilik ulayat
berdasarkan kesepakatan masyarakat adatnya
26
Pasal 9 ayat (3) Perda No. 6 tahun 2008
27
Pasal 10 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008
28
Pasal 11 Perda No. 6 tahun 2008
29
Pasal 14 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008 menyatakan, terhadap tanah uklayat yang terdaftar
dengan hak tertentu berakhir masa berlakunya dapat diperpanjang, berdasarkan persetujuan
dari penguasa dan/atau pemlik tanah ulayat semula
Kabupaten/Kota? Tidak mungkin ketentuan ini dibuat tanpa ada pertimbangan
tertentu yang melatarbelakanginya.

2.5 Ekses Perda No. 6 tahun 2008

Mekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur Perda no. 6 tahun 2008
berimplikasi terhadap berrubahnya satus hukum tanah ulayat. Kondisi ini jelas
bertolak belakang dengan asas utama tanah ulayat sebagaimana diusung oleh
Pasal 2 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008, yaitu ”jua ndak dimakan bali, gadai
ndak makan sando”30. Hal ini merupakan kerugian besar bagi keberlangsungan
tanah ulayat di Sumatera Barat.

Di samping itu, pengaturan pemanfaatan maupun pendaftaran tanah ulayat


tersebut, ditenggari dapat pula memicu konflik antara Pemerintah Nagari dengan
KAN. Dalam Perda Provinsi No. 2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari
dinyatakan bahwa tanha ulayat nagari merupakan harta kekayaan nagari.
Pengaturan pemafaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari dilaksanakan oleh
Pemerintah Nagari berdasarkan peraturan nagari31.

Lebih lanjut, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan, sebelum peraturan nagari


untuk menatur pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari ditetapkan,
Pemerintahan Nagari melakukan konsultasi/koordinasi dengan KAN. Jadi yan
bertidak mengatur dan mengelola tanah ulayat nagari adalah Pemerintah Nagari,
sedangkan KAN merupakan mitra dari pemerintah nagari, yaitu sebatas lembaga
konsultasi/koordinasi. Berbeda dengan Perda No. 2 tahun 2007, Perda no. 2\6
tahun 2008 menyatakan bahwa penguasa dan pemilik tanha ulayat nagari adalah
ninik mamak KAN32. Pengaturan dari dua Perda saling berbenturan dan bertolak
belakang.

Dalam rangka menjamin eksistensi tanah ulayat, pemetaan tanah ulayat


merupakan keniscayaan. Penentuan batas-batas ulayat tidak cukup hanya
berdasarkan ”peta ingatan” dari penguasa-penguasa adat. Perlu kejelasan siapa

30
“jua ndak dimakan bali, gadai ndak makan sando” maksudnya adalah tanah ulayat tersebut
tidak dapat dijual dan digadaikan. Lebih jauh, tanah ulayat tidak dapat dialihkan pada pihak
lain untuk selama-lamanya
31
Pasal 17 ayat (1) Perda No. 2 tahun 2007
32
Pasal 6 ayat (1) Perda No. 6 tahun 2008
pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan batas-batas yang melingkupinya.
Ketidakjelasan tersebut, cenderung akan menjadi sumber konflik dan sengketa di
kemidian hari. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan dalam memetakan tana
ulayat. Pertama, menempuh mekanisme sebagaimana diatur oleh Peraturan
Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5 tahun 1999. Kedua, mendaftarkan tanah
ulayat kepada Kantor Pertanahan dengan cara membukukan bidang tanah ulayat
dalam daftar tanah.
BAB III

PENUTUP

Dari pembahasan diatas, dapat dipahami bahwa pendaftaran tanah ulayat


sebagaimana diatur oleh Perda No. 6 tahun 2008 pada hakekatnya mengancam
eksistensi tanah ulayat di Sumatera Barat. Terlihat tidak ada korelasi antara tujuan
dengan subtansi pengaturan dalam Perda No. 6 tahun 2008.

Tanah ulayat bukan merupakan momok untuk masuknya investasi jika


keberdaan tanah ulayat diakui dan dihormati eksistensinya. Merupakan suatu
realitas bahwa HGU, HGB, dan hak pakai yang notabene adalah pintu masuknya
investasi tidak bisa diberikan diatas tanah ulayat. Perlu kiranya Pemerintah
Provinsi Sumatera Barat bersama Pemerintah Kabupaten/Kota maupun BPN
melakukan langkah progresif denagn menyataka bahwa HGU, HGB dan hak
pakai dapat diberikan diatas tanah ulayat. Disadari hal ini merupakan
penyimpangan dari ketentuan UUPA, namun demi menjaga keberadaan tanah
ulayat dan masuknya investasi tidak ada salahnya langkah ini dilakukan.
Sebetulnya, penyimpangan ketentuan UUPA secara sadar telah terjadi di
Sumatera Barat. Dari hasil penelitian Kurnia Warman, hak ganggam baruntuak
tidak lantas menjadi hak pakaib sebagaimana dirumuskan UUPA, tapi ia
cenderung menjadi hak milik33. Penyimpangan tersebut secara formal dibenarkan
oleh BPN dengan terbitnya sertipikat hak milik.

33
Kurnia Warman, Hak Atas Tanah Ganggam Baruntuak Menurut UUPA di Sumatera Barat,
Tesis S2, (Yogyakarta: UGM, 1998)
DAFTAR PUSTAKA

Boedi Harono, 2005, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi
dan Pelaksanannya, Penerbit Djambatan, Jakarta

Kurnia Warman, 1998, Hak Atas Tanah Ganggam Baruntuak Menurut UUPA di
Sumatera Barat, Tesis S2, UGM, Yogyakarta

Maria SW Sumardjono, 2008, Tanah dalam Perspektif Hak ekonomi, Sosial Dan
Budaya, Kompas, Jakarta

---------------,2005, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan Implementasi


Kompas, Jakarta

Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1986, Hak Milik Keadilan dan
Kemakmuran: Tinjauan Falsafat Hukum, Balai Aksara, Jakarta

You might also like