You are on page 1of 7

1

Komunikasi Efektif Dokter Gigi vs Pasien


oleh Agus Rusmana, Drs., M.A.
Dosen Fakultas Ilmu KomunikasiUniversitas Padjadjaran

In order to provide competent and responsible dental care, the dental team must
develop a connected and supportive relationship with each patient. Successful
relationships provide the basis for greater patient satisfaction for the services
received from the dentist and in turn, offer significant personal and financial
rewards for the dentist. Some of the benefits of successful relationships are
decreased dentist and patient anxiety, increased new patient referrals, improved
patient retention, and more successful treatment acceptance needed for private fee-
for-service practice growth.( Dr. Marvin Mansky The Relationship Factor: A
Practical Guide to Successful Relationships)

Kutipan di atas memperlihatkan bahwa komunikasi yang efektif


antara dokter gigi dan pasien merupakan komponen yang sangat penting
agar dapat menumbuhkan kepercayaan pasien. Komunikasi yang efektif
dapat mengurangi keraguan pasien, menambah rujukan pasien baru,
meningkatkan loyalitas pasien dan tumbuhnya praktek layanan dokter gigi
pribadi.
Pasien dan penyedia layanan kesehatan sama-sama memperoleh
manfaat dari saling berbagi dalam hubungan yang erat. Setiap pihak merasa
dimengerti. Pasien merasa saman dan terlindung. Dokter profesional yang
menanganinya ingin melakukan yang terbaik untuk pasiennya. Ketika saling
terhubung, sang dokter dapat mengerti dan bereaksi lebih baik pada
perubahan perilaku dan perhatiannya pada pasien setiap saat. Lebih lagi,
sang dokter gigi dan stafnya dapat menyediakan layanan yang lebih
kompeten yang mencerminkan kepribadian setiap pasien yang berbeda-
beda.
Pengamat masalah hubungan antara dokter gigi dan pasiennya
menyebutkan ada empat keinginan pasien yang harus dipenuhi untuk
membangun hubungan yang baik antara dokter gigi dan pasien. Pasien
ingin:

• Merasa ada jalinan dengan dokter giginya dan mengetahui bahwa ia


memperoleh perhatian penuh dari sang dokter
• Mengetahui bahwa sang dokter dapat fokus pada setiap tindakan pengobatan
dan interaksinya.
• Merasa rileks dan bebas dari kekhawatiran pada suasana ruang praktek.
• Mengetahui bahwa dokternya dapat diandalkan.

Semakin mampu sang dokter dan stafnya dalam memuaskan harapannya,


semakin tinggi hubungan yang dapat dibina. Adanya tugas rangkap antara fungsi
teknis, administrasi dan bisnis berlomba dengan waktu yang dimiliki dokter gigi.
Oleh karena itu, syarat untuk membangun hubungan haruslah sederhana, cara
yang mudah diulang dan secara konsisten dapat dilakukan dengan efektif.

Dari sudut pandang pasien, hubungan yang terjalin akan meningkatkan


kepercayaan dan komunikasi yang efektif. Dokter gigi akan tanggap pada
respon pasien atas informasi yang disampaikannya. Pasien akan lebih
2

terbuka dalam mendengar dan belajar. Pertukaran pandangan yang sama


akan mudah dikembangkan dan pasien lebih bersedia untuk melakukan
tindakan yang sesuai harapannya. Pasien menjadi lebih siap menerima
tindakan pengobatan (atau pemeliharaan) dan akan menyarankan orang lain
ke dokter yang memiliki hubungan baik dengannya.

Mengapa sulit sekali bagi dokter gigi untuk membina


hubungan?

Mengerti apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain (empati) dapat
memperkuat hubungan. Menurut para ahli tentang komunikasi dokter dan
pasien, ada dua hambatan utama untuk mengerti apa yang dipikirkan dan
dirasakan orang lain. Pertama adalah bahwa orang itu tidak pernah berpikir
untuk bertanya. Kedua adalah karena dia tidak tahu bagaimana caranya
bertanya. Kemudian para ahli juga menyebutkan tentang bagaimana
kurikulum kedokteran gigi sangat sedikit memberikan pelajaran tentang
komunikasi:

Kurikulum kedokteran gigi berorientasi secara intensif pada tehnik. Kebetulan,


mahasiswa tidak mendapatkan latihan yang cukup untuk mengerti hubungan
yang kompleks yang memberi karakter pada pertukaran dokter gigi dengan
pasien karena waktu kuliah yang padat dan kurangnya minat fakultas pada hal
ini. Setelah lulus, percakapan dokter gigi dengan pasien pada umumnya satu
arah, dimana sang dokter bicara pada pasien yang ‘mulutnya penuh’ sehingga
tidak mungkin merespon secara positif; artinya dokter saja yang bisa bicara.
Karena hal ini, sang dokter umumnya tidak mempelajari bagaimana pikiran dan
perasaan pasien.
Akibatnya, dokter gigi sering bicara pada pasiennya berdasarkan asumsi dan
kerangka pikirannya saja. Akhirnya sang dokter berpikir bahwa pasien selalu
akan mengerti, setuju dan mengikuti apa yang dipikirkan oleh sang dokter.
Pendekatan melalui tindakan mendengar dan berkomunikasi secara empatik
dan efektif untuk mengetahui respon pasien tidak menjadi bagian dari latihan
seorang dokter gigi. Karena itu, sang dokter umumnya menerima jawaban ‘ya’
atau anggukan sebagai penerimaan pada rekomendasi dan idenya.
Lebih lagi ketika sang dokter kemudian mengetahui bahwa pasiennya tidak
mengikuti rekomendasinya, dia lalu kecewa, curiga, merasa disalah
mengertikan, menjadi otoriter dan akhirnya “hangus (burnout)”.

Tehnik Komunikasi Efektif

Untuk meningkatkan efektifitas komunikasi antar pribadi (interpersonal


communication) antara dokter dan pasien , inisiatif harus diambil oleh dokter
gigi karena menurut para ahli, dokterlah yang dituntut untuk menciptakan
suasana yang medukung. Akan tetapi seperti juga disebutkan sebelumnya,
waktu kerja dokter sangat sempit dengan pekerjaaan yang banyak, sehingga
tehnik yang dapat diterapkan harus bersifat sederhana, mudah digunakan
dan efektif.
Terdapat banyak cara untuk dapat melakukan komunikasi secara
efektif. Tetapi dari sekian banyak cara, terdapat cara yang bisa dianggap
mudah untuk menciptakan komunikasi yang efektif yaiu dari teori yang dibuat
3

oleh DeVito. Untuk dapat menciptakan komunikasi antara persona, terdapat


syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

Positiveness (sikap positif)


Empathy (merasakan perasaan orang lain)
Supportiveness (sikap mendukung)
Equality (keseimbangan antar pelaku komunikasi)
Openess (sikap dan keinginan untuk terbuka)

Dalam tindakan praktisnya, kondisi komunikasi antara dokter gigi dengan


pasiennya diharapkan terjadi seperti berikut:

Positiveness

Dokter diharapkan mau menunjukkan sikap positif pada pesan yang


disampaikan oleh pasien (keluhan, usulan, pendapat, pertanyaan). Tidak
boleh seorang dokter selalu menyanggah apapun yang sampaikan
pasiennya, sesederhana bahkan seaneh apapun pesan yang disampaikan,
(karena mungkin menurut pasien, pesan itu merupakan gagasan hebat).
Dengan demikian pasien akan lebih berani menyampaikan pesannya, bukan
kemudian menyimpannya dalam hati dan menyampaikannya, bahkan
mengadukan pada orang lain.

Empathy

Dari pengalaman sendiri dan hasil pengamatan serta cerita-cerita para


pasien, diketahui bahwa hampir semua pasien yang harus ditangani/ diobati
oleh dokter memiliki rasa takut yang besar. Yang terutama adalah ketakutan
pada rasa sakit yang ditimbulkan oleh alat-alat yang digunakan. Rasa takut itu
sudah muncul hanya dengan melihat alat-alat yang sudah siap di meja
sebelah kursi, bahkan jika alat itu tidak menimbulkan kesakitan (cermin,
misalnya). Seorang dokter gigi diharapkan menyadari dan peduli pada
perasaan ini (empati) dan menunjukkan pada pasien bahwa ia perduli.
Kejujuran seorang dokter yang mengatakan “Anda akan merasakan sakit
sebentar…” justru akan menenangkan pasien karena pasien merasa tidak
sendirian dalam merasakan sakit. Ada orang lain yang perduli.

Supportiveness

Ketika seorang pasien nampak ragu untuk memutuskan sebuah pilihan


tindakan, dokter diharapkan memberikan dukungan agar keraguan itu
berkurang atau bahkan hilang, sehingga si pasien menjadi percaya diri dan
berani saat memilih keputusan itu. Walaupun akibat keputusan itu akan
menimbulkan ‘derita’, dengan dukungan dokter, derita akan dianggap
konsekuensi oleh pasien, bukan resiko (posisi sebagai ‘korban’). Akan lebih
baik jika dokter mencontohkan (walaupun hanya karangan) bahwa dia juga
akan mengambil keputusan yang sama dengan pasien jika dia memiliki
masalah seperti itu.

Equality
4

Yang dimaksud dengan kesamaan/ kesetaraan adalah bahwa diantara


dokter gigi dan pasien tidak boleh ada ‘kedudukan’ yang sangat berbeda
seperti misalnya dokter yang menguasai semua keadaan dan pasien yang
tidak berdaya. Walaupun dalam relasi ini dokter diakui lebih tahu dan lebih
bisa, dia tidak boleh lalu memperlakukan pasiennya hanya sebagai objek
yang ‘bodoh’ dan tidak boleh berpendapat atau bahkan bertanya. Lebih lagi
pasien tidak boleh diperlakukan sebagai benda mati yang tidak pernah
ditanyai kabar atau kesiapannya menjalani pemeriksaan/ penanganan/
pengobatan. Jika memungkinkan, pasien sebaiknya merasa bahwa dokter
giginya adalah teman, bukan orang asing yang tidak boleh ditanyai apapun.

Openess

So, the question remains, “How can you develop such a healthy dentist-patient
relationship?” The key word is trust. Trust is what a good dentist-patient relationship
is built on. The best way to establish trust between you and your dentist is to have
good communications.
Dengan menciptakan suasana yang santai (dengan musik instrumental
lembut di latar belakang) di ruang praktek, keakraban dapat dibangun dan
diharapkan pasien mau menyampaikan apa yang dikhawatirkannya, tindakan
apa yang sebenarnya diinginkan dilakukan oleh dokternya. Sebaliknya adalah
bahwa dokter diharapkan juga lebih bersedia bercerita tentang apa yang
sedang dilakukannya saat demi saat. Jika perlu, dokter dapat mengatakan
kesulitan yang dihadapinya saat menangani masalah pasien, masalah yang
bakal dihadapi pasien, dan sebagainya. Dengan keterbukaan komunikasi ini
maka akan terbangun kepercayaan (trust) dari pasien pada dokternya. Para
pengamat mengatakan:

Salah satu elemen yang akan membawa hubungan ini adalah komunikasi yang
baik. Dengan menempatkan penanganan pasien lebih dulu, dokter gigi akan
memeriksa si pasien, mendiskusikan semua opsi yang berhubungan dengan
perawatan, membuat rekomendasi perawatan dan menjelaskan hasil yang
berhubungan dengan penanganan yang potensial. Di lain pihak, si pasien, ingin
mungkin ingin mengetahui tentang penanganan padanya dan akibat perawatan
jangka panjang atau jangka pendek, berapa biaya yang harus dikeluarkan, apa
yang akan atau tidak akan tercakup dalam perawatan gigi dan setiap tanggung
jawab pembayaran yang harus ditanggung pasien.

Lebih Mudah Dikatakan Daripada Dilakukan

Kebiasaan umum yang sudah berjalan lama sekali memang sulit


diubah. Hubungan dokter dengan pasien seolah memang ‘ditakdirkan’ seperti
itu. Garis antara dokter sebagai penentu, pengambil keputusan, dan pasien
sebagai ‘objek penderita’ digambar dengan sangat tebal, hampir menyerupai
dinding yang tidak bisa dirobohkan. Nyaris tidak pernah terjadi komunikasi
yang sesungguhnya. Yang ada hanyalah kalimat pendek, atau bahkan hanya
kata yang dianggap perlu saja. Masing-masing memperlakukan lawannya
5

sebagai mahluk asing (bahkan dalam topik seminar ini kata dengan diganti
menjadi versus yang artinya lawan).
Namun seperti sudah disampaikan pada awal tulisan, buruknya
kualitas komunikasi antara dokter dan pasien tidak bisa lagi dibiarkan atau
tidak diperdulikan oleh dokter gigi yang diharapkan dapat mengambil inisiatif
sebagai pihak yang ‘berkompeten’ dalam hubungan dokter dengan pasien.
Ini berarti bahwa dokter yang harus belajar lebih dahulu untuk mampu
berkomunikasi secara efektif, sesibuk apapun sang dokter dalam
menjalankan profesinya.

How to Start?

Suasana
Hal pertama yang dapat dilakukan adalah dengan mulai
memperhatikan suasana ruang praktek. Selama ini ruang praktek dokter gigi
(menurut pengalaman) sangat bernuansa ‘gigi’ dengan gambar model gigi
dalam berbagai bentuk,dan biasanya model gigi yang buruk. Dalam ruang
praktek tidak ada benda lain yang kecuali peralatan yang siap digunakan
untuk ‘menangani’ pasien. Dan biasanya sepi, tanpa musik! Suasana ini
selalu menumbuhkan suasana menegangkan untuk pasien. Bukan hanya
pada anak kecil.
Gantilah suasana ini dengan mulai menambahkan dekorasi lain,
seperti misalnya lukisan berwarna cerah. Sementara gambar gigi bisa
ditempatkan di tempat lain dan hanya digunakan jika memang perlu
diperlihatkan sebagai contoh pada pasien. Kemudian hadirkanlah musik
lembut hanya sebagai latar belakang. Instrumental akan lebih baik sehingga
tidak mengganggu obrolan antara dokter dan pasiennya.

Sambutan
Walaupun sekedar basa basi, sapalah pasien layaknya seorang tamu
yang berkunjung ke rumah (memang tidak perlu disuguhi minum atau
penganan kerena malah merepotkan kerja dokter). Tanyailah pasien sedikit
tentang hal lain sebelum mulai pada pembicaraan inti. Topiknya bisa apapun,
karena memang peran komunikasi pembukaan ini lebih untuk mencairkan
suasana kaku. Tunjukkan kepedulian pada ‘diri’ pasien, bukan hanya pada
‘gigi’nya. Cobalah untuk merasakan kekhawatiran yang ada dalam diri pasien
saat pertama bertemu.

Berbicaralah
Hal paling menegangkan, yang pada pasien dewasa biasanya mampu
disembunyikan, adalah saat duduk di kursi periksa, dengan ‘benda-benda
tajam’ di dekatnya. Dan pada saat itu biasanya dokter tidak langsung
mendekati tapi membiarkannya dulu karena ia harus menyiapkan hal lain.
Ketegangan meningkat karena pasien tidak pernah mengetahui apa yang
sedang dilakukan dokternya dan apa yang akan terjadi selanjutnya
(sepertinya lebih menegangkan dibanding nonton film horor, karena ini
kejadian betulan!)
Pada saat seperti inilah komunikasi sudah harus dimulai dengan dokter
sebagai inisiator. Katakan pada pasien apa yang sedang dilakukan dokter dan
6

apa yang akan terjadi selanjutnya. Sesederhana apapun penjelasannya


(walaupun misalnya sekedar mengatakan: “Kotoran yang nyelip di gigi seperti
ini memang sulit dibersikan dengan sikat gigi. Saya harus membersihkannya
supaya tidak menghalangi perawatan.” Ini penting karena pasien tidak pernah
mengerti, walaupun sudah sikat gigi, dokter selalu juga mencungkili sesuatu
di gigi depan, padahal yang bermasalah adalah gigi geraham!).

Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh dokter tentu saja bahasa umum yang
dikenal pasien. Bukan bahasa medis yang makin membuat pasien merasa
bodoh dan tidak berdaya serta tambah ketakutan. Akan sangat baik sekali
kalau dokter juga belajar bercanda. Bukan mengumpulkan cerita lucu, dan
bukan ‘mengorbankan’ pasien untuk ditertawai. Atau jika pasien kebetulan
menawarkan sebuah canda, tanggapilan dengan seimbang. Jika belum
mungkin juga, sang dokter perlu bercermin dan melihat apakah memiliki
wajah ramah (garis bibir tengah lebih rendah atau sama dengan garis bibir
pinggir). Kalau belum, berlatihlah! Akan baik juga kalau dokter berpenampilan
modis dan tidak kaku (model kacamata, misalnya).

Terus terang
Jika dokter menemukan bahwa ada masalah besar pada gigi pasien
dan perlu perawatan khusus berbiaya tinggi, katakan langsung pada pasien
dengan menggunakan kalimat yang tidak menimbulkan ketakutan (pasien
memang gampang takut). Sertakan alternatif jika langkah pertama sulit dan
biaya tidak terjangkau.Jika memungkinkan, bantulah pasien menemukan
jalan keluarnya, misalnya dengan membuatkan surat keterangan atau
rekomendasi yang bisa digunakan pasien.
Dengan cara-cara berkomunikasi seperti itu, kepercayaan bahwa
dokter memperhatikan keadaan pasien akan memberikan ketenangan pada
pasien. Pasien seperti ini kemudian akan menjadi promotor karena ia akan
menceritakan pada orang lain dan merekomendasikan orang lain (saudara
atau temannya) untuk hanya dirawat oleh sang dokter yang baik hati ini.
7

Penutup

Patients come to us with unique personalities and histories. They often feel vulnerable and
anxious. They frequently express frustration because they do not feel understood. When new
patients are queried about previous dental experiences they frequently recount experiences
of not being heard, being talked at, and of being ignored: (Dr. Marvin Mansky)

Untuk membina komunikasi yang baik, dokter gigi harus menyadari bahwa
pasiennya bukanlah sekedar kumpulan gigi melainkan keseluruhan pribadi
manusia yang sangat ingin diperlakukan seperti seharusnya yaitu
didengarkan, diperhatikan dan diperdulikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ruth Freeman , 2005, Reflections on professional and lay perspectives of the dentist-
patient interaction, , School of Clinical Dentistry, The Queen's University of Belfast, Belfast
BT12 6BP

Watson, James, 1985, What is Communication Studies?, London: Edward Arnold

Joseph A DeVito,1998, Essentials Of Human Communication , Essentials Of Human


Communication 4ed, http ://www.howtotalkwithconfidence.com/ newreport.htm

You might also like