You are on page 1of 65

STRATEGI PENGORGANISASIAN

BURUH
(Panduan Bagi Organiser Buruh Perkebunan dan Buruh
Industri)

Based on true experiences


Organizers from:
Kelompok Pelita Sejahtera &
Lentera Rakyat

By: Tua Hasiholan Hutabarat, M.Si


Medan
North Sumatera
2007

1

Pengantar
Semua orang bicara tentang kemiskinan, penindasan dan penyakit-penyakit
sosial lainnya. Semua juga mengklaim berusaha merubah kondisi sosial yang
semakin menghimpit kaum terpinggir. Berbagai strategipun kemudian
dijalankan dengan harapan dapat mengubah situasi menjadi lebih baik.
Tentu saja tiap orang berhak mengatasnamakan penderitaan yang dialami
oleh orang-orang miskin yang ada di seluruh dunia. Atas nama
kemanusiaan, keberpihakan, bahkan cinta kasih banyak orang yang terketuk
dan kemudian bergerak memerangi kemiskinan, kelaparan, penindasan dan
ketidakadilan. Banyak cara yang kemudian dilakukan orang, mulai dari yang
berlandaskan ideologis, cinta kasih atau keperdulian sesama, ataupun
sekedar motivasi filantropis.

Namun dari begitu banyaknya orang yang berbuat untuk merubah


kemiskinan dan ketidakadilan menuju keadaan yang lebih baik, tidaklah
sebanyak orang yang memahami bahwasannya situasi yang terjadi saat ini
adalah situasi yang dikondisikan secara struktural. Masih banyak dari kita
yang beranggapan, kemiskinan, kemelaratan, dan penyakit sosial lainnya
disebabkan oleh kemalasan, budaya dan sistem ekonomi subsisten,
rendahnya need of achievement (kebutuhan akan pembaharuan), sistem sosial
yang tidak mendukung pembangunan dan sebagainya. Wajar saja jika
kemudian sebahagian dari kita, seperti ORNOP, pemerintah, para pekerja
sosial, dan relawan-relawan yang berjuang mengatasi kemiskinan lebih
banyak menggunakan cara-cara yang tidak menyentuh akar dari kemiskinan,
seperti; upaya menumbuhkembangkan kewirausahaan, membangun budaya
membangun, upaya-upaya kuratif, dan sebagainya. Intinya, strategi yang
dikerjakan adalah seputaran membangkitkan fungsi-fungsi sub sistem sosial
ekonomi, politik, budaya, teknologi dan sebagainya. Fungsi-fungsi dari sub
sistem yang sedang terganggu dan tidak berperan sebagaimana mestinya
tersebutlah yang diperbaiki.

Untuk itulah kita sering mendengar beberapa kebijakan dan tindakan, baik
itu dari pemerintah dan pekerja sosial yang menyentuh institusi-institusi
tertentu, dengan harapan menjadi lebih berdaya, berfungsi dan mampu
bekerjasama dengan institusi atau pranata sosial lainnya. Saat ini malah
kebijakan tersebut lebih menyentuh kepentingan-kepentingan sesaat
(emergency), seperti Sumbangan Tunai Langsung atau Bantuan Tunai
Langsung (BLT) kepada masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

2
Kemudian ada juga kebijakan subsidi untuk petani, jaring pengaman sosial
untuk warga miskin, dan sebagainya.

Hal itu sangat berbeda dengan pandangan yang menyatakan kemiskinan


timbul diakibatkan oleh terjadinya penghisapan dan penindasan yang
dilakukan oleh modal dan kekuasaan. Untuk melanggengkan penghisapan
dan penindasan tersebut, kemudian modal dan kekuasan membangun
sebuah sistem yang mampu meninabobokkan masyarakat, melegitimasi
seluruh kebijakan dan aturan yang disusun, dan bisa menutupi segala
kekurangan yang muncul akibat dijalankannya sebuah sistem.

Dengan demikian, upaya perubahan yang dilakukan adalah yang bisa


membongkar dan membuka kedok disebalik sistem yang dibangun oleh
kekuasan dan modal. Pembongkaran tersebut terutama ditargetkan pada
bangunan sistem nilai yang secara permanen telah ditanamkan kekuasaan
kepada masyarakat. Mau tidak mau perubahan yang dibangun haruslah
ditujukan pada sistem nilai palsu yang dianut oleh masyarakat. Sistem nilai
tersebut ada di mana-mana. Di dalam lingkungan keluarga, komunitas,
institusi pemerintah, industri, sekolah, bahkan institusi agama.

Semakin dalamnya kualitas kemiskinan tentu harus dihadapi dengan


kualitas strategi perubahan yang akan dilakukan. Perubahan harus
menyentuh sendi-sendi masyarakat yang paling dasar, untuk itu strategi
yang digunakan haruslah berkenaan pada nilai-nilai yang paling diyakini
benar oleh masyarakat. Pendekatan tambal sulam, karitatif, sekedar dilandasi
motif humanistik hanya mampu menyelesaikan masalah secara parsial dan
tidak berdampak jangka panjang. Untuk itu, strategi yang dibangun dan
digunakan tidaklah kompromistis, karena cara-cara kompromistis
mensyaratkan perubahan terjadi di dalam sistem, sedangkan sistem yang ada
dibangun bagi kepentingan kekuasaan dan modal.

Hampir sama dengan negara-negara miskin lainnya, demokratisasi politik


dan ekonomi di Indonesia berjalan secara cepat. Perubahan kebijakan politik,
demokratisasi akses ekonomi menjadi jargon utama pemerintah. Mulai dari
pemerintahan pusat sampai daerah beramai-ramai mengeluarkan undang-
undang dan peraturan dengan harapan akan menciptakan situasi yang lebih
demokratis. Namun tetap saja realita di masyarakat adalah kebalikannya.
Jika dahulu pemerintah melakukan corporatisme lembaga-lembaga sosial,
ekonomi dan politik, maka kini pemerintah sendiri yang berinisiatif
membangun institusi demokratis tersebut, seperti Dewan Pengupahan,
Komisi Pemilihan Umum, lembaga arbitrase, dan sebagainya. Seluruh

3
institusi tersebut dibangun dengan satu tujuan, yakni memapankan
perbudakan dan penghisapan.

Beratnya situasi penindasan inilah yang kemudian dianggap Herbert


Mercuse merupakan hasil kerja kapitalisme. Secara cerdik kapitalisme
mengkondisikan secara sistematis kebutuhan, konsumsi, pemikiran dan
sebagainya dengan tujuan membangun keterasingan. Keterasingan tersebut
diupayakan agar tidak disadari oleh masyarakat. Namun dalamnya
penindasan tersebut ternyata tidak dijawab dengan strategi yang
revolusioner. Malah penggerak perubahan terjebak pada perubahan
kuantitatif semata, seperti peningkatan upah, tunjang, perbaikan jaminan
sosial dan sebagainya. Strategi seperti itu tidak akan ada artinya, karena
malah sebenarnya semakin memperkuat sistem kapitalis, karena kapitalisme
sendiri cenderung mampu memenuhi tuntutan-tuntutan kuantitatif. Apalagi
kapitalisme sendiri memiliki kemampuan menutupi keretakan-keretakan
yang ada di tubuh kapitalisme sehingga tidak menjadi tidak terlihat.

Dengan kata lain, perubahan adalah bersifat kualitatif, yakni perubahan pada
watak dan sifat dasar dari kapitalisme. Merubah kondisi yang menindas
bukanlah menaikkan angka-angka, namun membongkar keterasingan yang
telah diciptakan oleh kekuasaan dan diyakini oleh masyarakat. Inilah yang
menjadi dasar seorang organiser dalam mendorong kekuatan masyarakat
melakukan perubahan.

4

Apa yang Dimaksud Dengan Pengorganisasian?

”...Jangan Kerjakan Apa yang Sebenarnya Mampu Dilakukan Oleh Rakyat...”

Pengorganisasian dilakukan pada situasi dimana orang tidak mengerti


akan situasi yang sedang dihadapi, dikarenakan dalam realitas sosial banyak
orang yang tidak bisa keluar dari kondisi yang mengikat dan menindas.
Namun pengorganisasian tidaklah semata-mata membuat orang-orang bisa
dan mampu keluar dari kondisi tersebut. Tugas pengorganisasian tidaklah
semerta-merta mendorong masyarakat untuk berubah dan meninggalkan
kondisi penindasan, namun yang paling utama adalah memberi penjelasan
dan alasan-alasan mengapa rakyat harus keluar dan lepas dari situasi yang
dirasakan merugikan kepentingan masyarakat.

Untuk itu, tugas pengorganisasian yang pertama adalah bagaimana bisa


membuka atau mengungkap kondisi sebenarnya yang terjadi dalam
masyarakat. Kemudian setelah terungkap, seharusnya muncul keinginan
untuk menyatu, bergerak dan berjuang untuk terjadinya perubahan. Namun
gerakan yang dibangun bukanlah inisiatif dari orang luar atau organiser
melainkan dari komunitas atau masyarakat sendiri. Perubahan yang di impor
dari luar tidak banyak berguna bagi masyarakat karena seharusnya
kepentingan akan perubahan harus dibangun dan dibesarkan di dalam
sebuah komunitas. Se jernih apapun ide dan pemikiran dari luar, tetap saja
bukan kepentingan masyarakat, sehingga pengorganisasian mensyaratkan
kemunculan kepentingan, landasan dan dasar perubahan dari masyarakat itu
sendiri.

Pengorganisasian tidaklah juga sama dengan kerja-kerja kepeloporan,


karena tugas organiser adalah membuka kondisi yang ada dan bukan secara
langsung melakukan perubahan atas kondisi tersebut. Organiser bukanlah
pemimpin, tokoh, atau elit rakyat yang mempelopori perubahan, karena
peran itu mutlak menjadi milik rakyat dan harus dilakukan oleh rakyat itu
sendiri. Oleh sebab itu, tugas pengorganisasian adalah membangun
pemimpin, kader, orang-orang yang berfikiran maju dan mau bertindak
untuk terjadinya perubahan. Orang-orang itulah yang kemudian akan terus
menerus bekerja di masyarakat, memimpin, memotivasi, merencanakan dan
menggerakkan massa.

5
Dengan demikian, tugas organiser adalah membangun kesadaran dan
membangkitkan orang-orang sehingga merasa terganggu dengan kondisi
yang terjadi di sekitarnya. Tugas seperti itu sangat berat karena dari semua
sisi masyarakat sudah terlalu dikuasai (hegemoni) oleh kekuatan negara dan
modal. Masyarakat sudah sangat percaya dan yakin dengan sistem yang ada
sehingga cenderung menghindari perubahan-perubahan yang menyentuh
sisi-sisi mendasar masyarakat. Ketakutan-ketakutan seperti itu awam terjadi
di masyarakat sehingga mempengaruhi sendi-sendi yang harus dirubah oleh
masyarakat.

Dapat dikatakan, masyarakat hidup dari nilai-nilai sosial dan budaya


yang diyakininya. Nilai-nilai tersebut dilahirkan dan dibangun dari dan oleh
masyarakat, bahkan secara terus menerus direproduksi oleh masyarakat.
Lama-kelamaan nilai tersebut mendarahdaging dan menjadi pedoman hidup
masyarakat. Dengan pengertian seperti itu, organiser memiliki penilaian,
bahwasannya nilai dan keyakinan tersebut lah yang harus dirubah, sebab
nilai dan keyakinan tersebut bukan milik masyarakat, namun milik
kekuasaan yang di masyarakat selama ini telah menikmati keadaan tersebut
sehingga tidak menyadari bahwasannya lingkungan dimana dia hidup
merupakan sistem yang korup dan menindas mereka. Intinya,
pengorganisasian adalah tugas-tugas perubahan dengan cara membuka
permasalahan atau persoalan yang tidak dianggap masalah oleh masyarakat.
Untuk itulah seorang organiser pertama kali harus melakukan pengenalan
yang pertama kali harus dilakukan seorang organiser adalah melakukan
pengenalan terlebih dahulu terhadap kondisi sosial tertentu untuk kemudian
beranjak lebih dalam untuk melakukan perubahan terhadap situasi yang ada.
Singkatnya, pengorganisasian adalah mempermasalahkan yang sebelumnya
dirasakan bukan masalah.

Sering sekali pengorganisasian dilakukan oleh orang-orang yang berasal


dari luar komunitas yang sedang membangun gerakan perubahan.
Pengalaman menunjukkan kegiatan pengorganisasian acap kali dijalankan
oleh agen atau individu dari luar sebuah komunitas. Namun sebenarnya
tidak harus demikian. Individu atau pihak yang berasal dari dalam juga
dapat melakukan tugas-tugas pengorganisiran, namun dengan catatan harus
didasari dengan pemahaman yang cukup tentang makna dari gerakan dan
perjuangan perubahan. Dengan kata lain, darimanapun agen atau orang
yang berusaha membangkitkan perjuangan, maka nilai-nilai keadilan,
kemerdekaan, lepas dari penghisapan dan penindasan dan visi tentang dunia
yang lebih baik menjadi keutamaan.

6
Untuk bisa merubah keadaan sebuah masyarakat maka pengenalan
terhadap situasi setempat adalah keharusan. Pengenalan tersebut harus
didasari keinginan untuk merubah keadaan. Agen yang berasal dari dalam
komunitas tidak akan bisa merubah keadaan jika pemikiran atau
pemahamannya tentang perubahan tidak ada. Demikian juga dengan agen
yang berasal dari luar. Ia hanya akan dapat mengorganisir sepanjang
memiliki prinsip untuk membongkar permasalahan dan mendorong
terjadinya perubahan. Kondisi masyarakat, khususnya di Indonesia pada
umumnya adalah sudah tertindas, dan penindasan tersebut sudah mengakar.
Community Organiser, apakah itu yang berlatarbelakang dari dalam maupun
dari dalam sebuah komunitas bertugas merubah keadaan yang menindas
tersebut.

Pengorganisasian juga merupakan kerja-kerja yang sarat dengan ideologi


dan nilai-nilai. Mengapa demikian? Membangun kelompok yang akan
menjadi sebuah kekuatan perjuangan bukanlah sekedar sebuah tugas
ataupun kerja-kerja teknis semata, namun merupakan peran yang harus
dijalankan dengan latar ideologi yang kental. Dengan kata lain, kerja
pengorganisasian adalah kerja-kerja ideologis, bukan sekedar menjalankan
fungsi-fungsi pelaksanaan program. Untuk itu seorang organiser harus
memiliki gambaran perubahan yang diharapkan. Tidaklah mungkin
pengorganisasian tidak memiliki nilai, karena di dalam nilai tersebutlah
tersusun sebuah tatanan masyarakat yang akan dicapai.

Namun ideologi yang dipahami oleh seorang organiser tidak dapat secara
langsung dipaksakan untuk dipahami masyarakat, dengan kata lain,
organiser tidak dapat secara membabi buta menggunakan ideologi pada
pendekatan awal pada komunitas. Pada tahap awal, pengorganisasian tidak
bisa menggunakan nilai-nilai prinsipil seorang organiser, namun harus
menggunakan cara-cara yang lebih bisa diterima dan tidak menimbulkan
konflik kepentingan dan nilai dengan komunitas.

Membangun kekuatan rakyat berarti membongkar hegemoni dan


penindasan yang dilakukan kekuasaan dan modal. Namun membongkar dan
mengganti ideologi yang menindas tersebut juga harus dibarengi atau
ditindaklanjuti dengan menawarkan ideologi yang membebaskan. Namun
penawaran ideologi baru tersebut tidaklah dengan cara memaksakan
ataupun menerapkan strategi hegemoni. Pengorganisasian adalah membuat
masyarakat bisa menerima ideologi atau nilai tersebut tanpa harus membuat
provokasi kepada masyarakat. Jadi tugas pengorganisasian adalah membuat
masyarakat sadar dan menerima ideologi perubahan yang ditawarkan.

7
Memaksakan ideologi atau nilai berarti anti dialog, sedangkan
pengorganisasian sendiri sebenarnya adalah membangun dialog untuk
perubahan.

Pengorganisasian juga bukanlah kerja-kerja megalomania dengan


menggunakan cara-cara seremonial dan kolosal. Pengorganisasian berarti
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil sehingga mampu berjuang melawan
pihak-pihak yang menindas dan keluar dari kondisi yang mengisolasi dan
menghisap. Dengan demikian, pengorganisasian tidak bekerja dengan semua
orang, namun kepada beberapa orang yang berfikiran maju dan

8

Bagaimana Seorang Organiser Memandang Realitas?

Seorang organiser harus bisa melihat keadaan yang dialaminya dengan


cara keluar terlebih dahulu dari kondisi yang ada. Maksudnya, seorang
organiser harus keluar dari cara pandang masyarakat atau komunitas dalam
melihat persoalan. Sepanjang ia tidak berusaha keluar dari situasi yang ada
dan memandang permasalahan dari sisi yang berbeda, maka ia tidak akan
bisa menemukan permasalahan yang sebenarnya ataupun melihat persoalan
yang ada dalam masyarakat dari perspektif lain. Ada kasus yang pernah
terjadi, dimana seseorang tidak bisa dan tidak mau diajak ngobrol. Untuk
mengatasi keadaan tersebut, seorang Oganiser harus keluar dari cara
pandang yang selama ini terfikirkan oleh orang atau komunitas tersebut.
Organiser dapat bergerak dari sisi lain yang tidak terfikirkan dalam melihat
kondisi ketidakmampuan bicara tersebut. Salah satunya adalah
mengungkapkan pengaruh tingkat ketergantungan kepada pabrik dan waktu
yang dihabiskan oleh buruh tersebut bekerja di pabrik. Besarnya
ketergantungan dan waktu yang dihabiskan untuk bekerja telah membuat
buruh takut untuk bicara dan ngobrol dengan orang lain. Organiser harus
yakin dengan pandangan tersebut sehingga buruh mau terbuka dan bicara
dengan organiser.

Seorang organiser hanya dapat melihat sebuah keadaan jika ika bisa keluar
dari masalah yang ada. Dengan keluar dari keadaan yang ada, maka
organiser dapat lebih jelas melihat persoalan yang dihadapi oleh masyarakat,
dan terlebih lagi akan mampu memberi penilaian tentang persoalan
mendasar yang menjadikan kondisi masyarakat tertindas. Ada kasus, dimana
orang batak tidak bisa ngobrol. Tidak bisa ngobrol sebenarnya merupakan
sebuah masalah. Untuk itu perlu dilihat lebih ke dalam lagi sehingga
diperoleh informasi yang yang sebenarnya membuat seseorang menjadi diam
dan sulit mengungkapkan permasalahan yang dihadapi.

Agar bisa keluar dari masalah, atau kondisi yang mengungkung, tugas
seorang organiser untuk turun ke masyarakat dan mengalami kondisi yang
dialami oleh masyarakat. Menjadi seorang organiser bukanlah sebagai sebuah
bakat, ada proses yang dapat membentuk menjadi seseorang organiser untuk
dapat bekerja di komunitas dan membuka persoalan-persoalan yang
dihadapi masyarakat.

9
Bagaimana masa lalu seseorang berpengaruh dalam membentuk sikap
sebagai seorang organiser, dan bagaimana sikap seseorang dimasa lalu dapat
mempengaruhi sikap seseorang untuk bisa menyelesaikan persoalan-
persoalan hidupnya? Masalah tidak selalu dihubungkan dengan masalah-
masalah normatif. Intinya bagaimana merubah keadaan menjadi lebih baik.
Yang lebih baik itu bisa dalam bentuk aturan-aturan yang lebih adil dan
berpihak kepada masyarakat kecil, nilai-nilai atau ideologi yang
membebaskan dan sebagainya. Yang harus dikembangkan adalah bagaimana
bisa memunculkan obat pemecahan masalah dari mereka sendiri. Setiap
orang punya cara dan kemampuan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri
sebab merekalah yang terlibat dan berhadapan secara langsung dengan
persoalan-persoalan hidup. Untuk itu tugas seorang organiser bukan mengajari
masyarakat tentang apa yang harus dikerjakan, namun mengeksplorasi apa yang
dimiliki oleh sebuah komunitas untuk kemudian diperkuat dan dijadikan alat untuk
memecahkan persoalan mereka.

Persoalan selalu muncul dari lingkungan, ataupun dari individu


berdasarkan cara pandang dan penilaiannya terhadap lingkungan sosial.
Persoalan hidup akan memaksa individu untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu. Seseorang bisa bereaksi ketika realitas hidup memaksanya untuk
bertindak, namun yang lebih sering adalah, realitas yang memaksa seseorang
untuk diam dan tidak berbuat apa-apa. Seseorang yang berada dalam
lingkungan sosial tertentu akan dikondisikan oleh lingkungan tersebut,
bahkan larut dalam rumitnya permasalahan. Begitu njelimet nya persoalan,
sehingga seseorang menjadi bingung bagaimana caranya ia bisa
menyelesaikan persoalan. Jangankan menyelesaikan persoalan, untuk bisa
melihat persoalan secara jernih saja pun seseorang tidak mampu.

Untuk itu, pertama yang harus dilakukan oleh organiser adalah keluar
dari lingkaran permasalahan yang membingungkan tersebut. tindakan ini
dilakukan agar ia bisa melihat secara jernih tentang apa yang sebenarnya
dialami atau dihadapinya. Selain itu, tindakan untuk keluar dari lingkaran
persoalan tersebut dilakukan agar seseorang tidak dipengaruhi oleh besarnya
tekanan yang terjadi di dalam lingkingan sekitarnya. Setelah keluar dari
lingkaran persoalan dan pengaruh tersebut, tindakan selanjutnya adalah
memberi keyakinan bahwasannya setiap orang punya pemecahan atas
masalahannya. Satu hal yang juga penting dilakukan oleh Organiser adalah,
ia harus memberi keyakinan kepada orang lain bahwa perubahan harus
dilakukan. Namun keyakinan ini juga sering sudah dipahami oleh
masyarakat. Kebanyakan masyarakat sudah memahami tentang kemiskinan,
kemelaratan dan ketidakadilan yang dialaminya.

10
Bahkan, ia sudah punya cara-cara tersendiri yang telah difikirkannya.
Masyarakat malah sering Membongak dengan mengatakan ia sudah tau
pemecahan masalahnya, bahkan menganggap persoalan tersebut adalah
gampang. Ketika hal itu terjadi, maka organiser harus lebih dalam lagi saat
menjelaskan atau memberi keyakinan terhadap perubahan yang harus
dilakukan. Apalagi jika organiser melihat adanya ketidaksesuaian antara
ungkapan dengan tindakan seseorang atau masyarakat. Pada posisi ini
organiser bukan hanya memberi keyakinan, namun juga melakukan agitasi
tentang pentingnya perubahan. Organiser harus membongkar dan mengikis
pemahaman yang salah antara tindakan dan pemikiran. Pemikiran dan
tindakan harus selaras sehingga masyarakat menjadi yakin bahwasannya ia
harus bertindak atas apa yang terjadi. Namun yang harus dijaga oleh
organiser adalah, jangan sampai ia menjadi sumber obat atas permasalahan-
permasalahan masyarakat.

Organiser harus menjaga jangan sampai pemikirannya kemudian


langsung pada solusi atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Upaya
ini tentunya sulit, terutama bagi organiser yang sudah memiliki pengalaman.
Pengalaman tersebut sering sekali langsung ingin di cangkokkan ke
komunitas lain untuk digunakan dalam mengatasu atau menyelesaikan
persoalan. Organiser sering sekali tidak sabar atas lambatnya pola fikir
komunitas yang tidak langsung mengarah pada solusi persoalan. Untuk itu
diperlukan kesabaran dan ketenangan organiser untuk menunggu proses
sampai orang-orang menemukan solusinya sendiri.

Seorang organiser juga sering memanipulasi proses dengan membuat


seakan-akan solusi muncul dari komuntas ataupun kelompok. Walaupun
bukanlah tindakan yang haram, namun pola seperti ini harus menjadi
prioritas terakhir yang harus dilakukan. Pengalaman dan kepintaran seorang
organiser kerap dilakukan pada kondisi ini. Organiser merasa sudah
memahami atau mengetahui apa yang difikirkan oleh kelompok sehingga
memandu atau mengarahkan diskusi pada solusi yang telah difikirkannya.
Tindakan ini sangat mudah dilakukan oleh organiser. Namun pola seperti ini
jelas membodohi dan membutakan diri terhadap realitas yang dihadapi
kelompok ataupun masyarakat. Logikanya, realitas adalah materi yang
dihadapi oleh masyarakat. Realitas juga memuat solusi, walaupun belum
ditemukan ataupun terumuskan. Ketika organiser mengadopsi solusai dari
tempat lain untuk diterapkan, maka solusi atau pemecahan yang dijalankan
bukanlah jawaban dari permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

11
Organiser bukan harus orang yang dikagumi, namun jangan sampai ia
menjadi orang yang dibenci. Untuk mengukur keberhasilan kerja organiser
bukan dari kemampuannya menyelesaikan masalah ataupun ketika ia
menjadi orang yang dihormati. Ada beberapa akibat jika ia menjadi sosok
yang dihormati. Pertama, orang yang dihormati cenderung akan
mendapatkan perlakuan khusus. Di komunitas buruh hal ini sering sekali
terjadi. Ketika organiser menempati posisi sebagai orang yang lebih
dibandingkan orang lain di komunitas tersebut, maka ia dianggap telah
merusak tatanan kepemimpinan lokal ataupun kelompok.

Suatu masyarakat, atau sebuah komunitas selalu memiliki sistem


kepemimpinan yang khas dan memang bersumber dari budaya dan struktur
sosial setempat. Baik atau buruk, dipercaya atau tidak, negatif atau positif
kepemimpinannya tidak menjadi persoalan. Yang pasti, organiser harus
melihat bahwasannya kepemimpinan lokal di sebuah komunitas memang
harus dijaga. Pola dan sistem kepemimpinan komunitas tersebut biasanya
tercermin dalam pola kepemimpinan organisasi atau kelompok yang
dibangun organiser. Menggantikan posisi pemimpin atau orang yang
dihormati di dalam komunitas bukanlah langkah tepat bagi organiser. Yang
harus dilakukan olehnya adalah memberi pemahaman kepada komunitas
tentang nilai-nilai dan prinsip kepemimpinan yang benar.

Organiser juga sering menjadi tandingan pemimpin lokal. Kepercayaan


dan penghormatan masyarakat atau kelompok terhadap organiser bisa
mengalahkan kepemimpinan dan penghorgamatan kelompok. Jika dilihat
dari sisi tujuan pengorganisasian, maka gejala seperti ini tidak akan bisa
memperkuat organisasi rakyat. Nantinya, kelompok akan selalu tergantung
dengan organiser, karena pemimpin atau orang-orang maju di kelompok
tidak didengar atau dianggap penting oleh kelompok.

Walaupun bukan harus sosok yang dihormati, organiser harus dipandang


sebagai orang baik di masyarakat. Pandangan ini akan membantu kerja-kerja
organiser, karena dalam pengorganisasian komunikasi dan kerja-kerja sangat
tergantung pada pandangan atau penilaian kelompok atau masyarakat
terhadap organiser. Ketika pandangan kelompok sangat negatif terhadap
organiser, maka ucapan-ucapan atau masukan dari organiser akan ditolak,
tidak dilaksanakan, didiamkan, atau dianggap angin lalu oleh kelompok
masyarakat.

Organiser memiliki kerja utama untuk membuka permasalahan/kondisi


dalam sebuah komunias. Kemudian orang akan berkumpul, dan bersama-

12
sama memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Pemecahan tersebut
tentunya membutuhkan orang lain yang memiliki pemikiran pada
perubahan, karena lingkungan yang dibentuk adalah lingkungan dimana
masyarakat sulit memecahkan persoalannya sendiri. Namun perubahan
tersebut hanya bisa dilakukan dengan catatan, yakni orang tersebut harus
memiliki kesadaran yang lebih dibandingkan dengan orang lain yang ada di
lingkungannya.

Satu sisi, ideologi yang dipegang oleh organiser berusaha disampaikan


kepada masyarakat. Ideologi atau nilai tersebut mau-tidak mau akan
mempengaruhi organiser dalam bertindak dan memandang sebuah realitas.
Padahal realitas yang ada saat ini dianggap sebagai realitas semu bentukan
hegemoni (kekuasaan secara halus) kekuasaan. Organiser yang memandang
realitas secara struktural konflik cenderung akan memandang masyarakat
penuh dengan persoalan-persoalan, bahkan cenderung menganggap tidak
ada yang benar dari sebuah masyarakat. Namun organiser tidaklah langsung
memandang realitas secara negatif. Sebagai langkah awal pengenalan dan
membangun kepercayaan, seorang organiser harus memandang secara
positif nilai-nilai atau kebiasaan yang berlangsung dalam masyarakat.
Namun pandangan tersebut harus segera dirubah ketika kepercayaan dan
keyakinan masyarakat terhadap organiser sudah tumbuh.

Yang menjadi catatan penting dari sikap tersebut adalah, tetap saja
organiser harus memegang prinsip-prinsip atau nilai yang ada dalam
ideologi yang diyakininya. Memandang realitas secara positif hanya sebuah
taktik agar dapat memahami perilaku dan nilai lokal dan membangun
kepercayaan dengan komunitas. Realitas yang diungkapkan oleh individu-
individu dalam komunitas harus dipandang sebagai taktik untuk masuk ke
alam fikiran orang lain. Mengikuti alur pemikiran individu tersebut hanya
sekedar teknik membuka dialog sehingga diperoleh pemahaman tentang
alam pemikiran orang lain.

Nilai atau ideologi yang dipegang oleh organiser tentunya berpengaruh


terhadap cara cara pandangnya terhadap realitas. Bagi organiser yang
memandang masyarakat dari perspektif struktural konflik, masyarakat
adalah sebuah tatanan yang dikondisikan oleh kekuasaan, sehingga nilai,
norma, perilaku, tindakan, aturan-aturan dan sikap-sikapnya adalah demi
kepentingan kekuasaan. Dengan demikian, realitas dipandang sebagai
sesuatu yang semu dan tidak bebas nilai karena dibentuk dan dipaksakan
oleh kekuasaan kepada masyarakat.

13
Dengan pandangan menganggap masyarakat bukanlah sebuah tatanan
yang bebas nilai, maka sikap organiser adalah bersikap kritis terhadap nilai
yang berlaku di masyarakat. Hal ini tentunya berbeda dengan pandangan
dari masyarakat perdesaan yang masih sangat yakin dengan nilai dan norma
yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi struktur sosial di
komunitas buruh, dapat dikatakan tidak ada satupun sistem sosial yang
bebas nilai. Nilai, norma, budaya maupun sistem sosial lainnya adalah yang
dibentuk oleh dan untuk kepentingan penguasa, yang kemudian
direproduksi oleh masyarakat sendiri. Bahkan, masyarakat sering sekali
meyakini bahwasannya tindakan dan nilai yang dijalankannya adalah hasil
dari bentukan dari mereka sendiri. Sejarah, kebutuhan dan realitas lah yang
memunculkan sistem sosial. Masyarakat adalah bagian dari realitas sosial,
sehingga apa diyakini dan dipercaya oleh masyarakat adalah produk
keseharian mereka sendiri.

Padahal, tidaklah seluruh realitas merupakan produk dari masyarakat,


walaupun dibentuk oleh masyarakat, masyarakat sendiri merupakan buatan
dari kekuasaan. Tugas organiser adalah membuka dan menguak bagaimana
kekuasaan berperan dalam membentuk masyarakat. Untuk itu ia harus
memandang masyarakat dari sisi terbalik. Artinya, sudut pandang organiser
tidaklah sekedar sudut pandangan masyarakat. Ia harus memandang dari
sisi lain yang berbeda dengan yang selama ini diyakini oleh masyarakat.

Realitas kehidupan buruh maupun komunitas buruh tidak jauh berbeda


dengan apa yang diungkapkan di atas. Kondisi tersebut paling parah terjadi
di komunitas buruh perkebunan yang hidup dalam sebuah kawasan
terisolasi. Dengan bebas tanpa hambatan pengusaha membentuk aturan, nilai
dan kepercayaan yang ditanamkan ke buruh selama puluhan tahun. Jika itu
yang terjadi, ruang gerak buruh, baik itu tindakan maupun pikirannya selalu
akan dapat dikontrol dan ditekan oleh pengusaha. Tidaklah mungkin buruh
akan melakukan perlawanan jika nilai yang dianut oleh buruh sama persis
dengan yang ditawarkan pengusaha.

Agar dapat memahami realitas yang sebenarnya maka organiser harus


selalu memandang dari sisi terbalik. Hal ini tentunya berbeda dengan sudut
pandang normatif yang memandang realitas dari sisi menguntungkan atau
tidak, baik atau buruk, damai atau kacau, dan sebagainya.

Jika cara pandang terbalik digunakan, maka konsekuensinya, organiser


selalu akan tidak percaya dengan realitas yang dilihatnya. Semua yang
dilihat dan didengar tidak serta-merta diterima kebenarannya. Misalnya

14
ketika memandang kondisi buruh perkebunan. Tenang dan stabilnya kondisi
perkebunan, puasnya buruh dengan pemenuhan hak, tidak adanya
perlawanan di perkebunan tersebut harus dipandang secara kritis dan
terbalik. Bahkan kondisi seperti itu lah sebenarnya kecurigaan organiser
harus dipupuk. Kekritisan dan kecurigaan itulah yang kemudian akan
ditindaklanjuti oleh organiser.

Namun yang harus dipahami oleh organiser adalah tidak sekedari


mencari tahu sesuatu yang diungkapkan oleh individu atau komunitas.
Seorang organiser sering sekali mendapatkan atau mendengar beberapa isu
yang tersebar di masyarakat. Isu, fenomena, kejadian atau gejala yang
muncul di masyarakat tidak hanya ditanggapi dengan cara mencari tahu
ataupun menyelelidikinya, namun juga harus memperdalamnya. Maksud
dari memperdalam gejala ataupun isu tersebut bukan berusaha
membuktikan, namun mendapatkan informasi disebalik itu, yakni yang
punya kaitan dengan penindasan.

Seorang buruh pernah menceritakan kepada organiser, bahwasannya di


suatu tempat yang berdekatan dengan lingkungan tempat tinggal mereka
terdapat seorang anak yang dikutuk menjadi putri duyung oleh ibunya. Saat
mendengar cerita ini seorang organiser tidak menanggapinya dengan
pemikiran apakah isu tersebut benar atau tidak, namun yang ada dalam
fikiran organiser adalah apa maksud dari berkembangnya isu tersebut.
dengan kata lain, benar atau tidaknya mitos atau cerita tersebut bukan
menjadi urusan organiser. Tugasnya adalah mencaritau apa sebenarnya
makna dan dampak isu atau cerita tersebut terhadap buruh.

Bisa saja, penyebaran cerita tersebut dapat dikaitkan dengan upaya


membentuk sikap hormat, patuh dan taat seorang buruh kepada pengusaha.
Cerita tentang anak yang dikutuk oleh ibunya menjadi putri duyung tersebut
dapat disamakan dengan arti seorang buruh yang akan dikutuk oleh
pengusaha jika melakukan perlawanan. Tentunya pemikiran seperti inilah
yang harus digali untuk kemudian disampaikan kepada buruh. Organiser
bukan larut dan berusaha menelusuri cerita tersebut, namun mencari makna
disebalik cerita tersebut. Mitos, cerita-cerita, isu ataupun rumor selalu
muncul dalam sebuah masyarakat dan mampu mempengaruhi realitas.
Setiap hari organiser akan menemukan cerita-cerita seperti itu. Tugas seorang
organiser memperdalam dan mencari makna dari cerita tersebut dan
kemudian mengkaitkannya dengan nasib dan kehidupan buruh. Itulah
kekritisan yang harus dimiliki oleh organiser.

15
Realitas kehidupan buruh (sama dengan realitas masyarakat secara
umum) adalah realitas semu yang harus diperdalam dan dipertanyakan oleh
seorang organiser. Tidak ada yang sungguh-sungguh benar tentang realitas,
yang ada adalah realitas dari dan untuk kepentingan kekuasaan.
Memandang sebuah realitas haruslah secara kritis dan menganalisis secara
dialektis, menyangkut materi dan kesejarahan dari sebuah gejala. Berfikir
secara dialektis dalam memandang realitas adalah keharusan dari seorang
organiser sehingga ia akan mendapatkan keterkaitannya dengan penindasan
dan perlawanan buruh.

Sikap Seorang Organiser

Apakah ada bakat menjadi seorang organiser..? Apakah menjadi organiser


merupakan bakat atau bentukan dari proses belajar, melakukan dan
pengembangan? Ada orang yang lari ketika bermasalah dan kecewa, namun
ada juga orang yang melupakan namun ada juga yang memelihara
kekecewaan itu sehingga berkembang menjadi bakat seorang organiser.
Akarnya adalah masalah, kemudian ia termotivasi dengan permasalahan
tersebut dan ia pelihara menjadi semangat menjadi seorang organiser.

Seorang organiser harus bisa membangkitkan rasa marah pada masyarakat


yang terkungkung dengan kondisinya. Organiser harus bisa mengganggu
keadaan psikologis dan keadaan sosial orang. Mengarahkan orang lain untuk
mengetahui apa yang menjadi masalah yang sesungguhnya.

Bagi seorang organiser, harus ada transfer pengetahuan yang ia dapat.


Organiser harus punya pemahaman dasar, ataupun ideologi yang jelas.
Sehingga pada saat trasfer pengetahuan harus ada basic pemikiran yang ia
sampaikan. Untuk itu seorang organiser harus terus belajar dan membaca.
Seorang organiser yang tidak memiliki dasar berfikir maka menjadi orang
yang peragu. Ia harus total, karena ia harus bisa membuat orang lain tau
tentang masalahnya dan marah dengan keadaan yang ia hadapi.

Apa yang dikatakan harus yakin ada dampaknya. Kalau mampu


membangkitkan suatu hal menjadi sebuah masalah, maka akan ada
perubahannya. Harus ada keyakinan dan kepastian akan ada perubahan
sehingga ia yakin menyampaikannya ke orang lain. Percaya diri bukan
disebabkan oleh persoalan psikologis namun karena seseorang tidak yakin
dengan apa yang dia katakan atau dengan kata lain ia tidak memahami apa
yang ia pikirkan dan ingin sampaikan. Jika ingin percaya diri, maka seorang
harus menguasai apa yang akan dia katakan. Jika ia sudah kuasai dan yakin,

16
maka ia akan dengan mudah dan meyakinkan mengatakannya ke orang lain,
dengan kata lain ia percaya diri.

Bagaimana membuat orang yakin dengan apa yang dimilikinya dalam


menyelesaikan permasalahannya? Seorang organiser tidak terlalu perduli
dengan nilai lokal yang dianggap menindas, ia harus berani membongkar
kondisi yang ada, walaupun nilai tersebut sudah sangat lama berlangsung. Ia
harus yakin bahwasannya tidak ada yang bebas nilai di dalam masyarakat.
Namun harus dipilah-pilah juga. Unsur-unsur nilai yang harus
dikembangkan oleh seorang organiser adalah nilai kerja, kolektivitas agar
dapat dikembangkan. Nilai-nilai lain yang bertentangan harus ditolak.

Seorang organiser sering sekali harus kasar, namun itu perlu dilakukan
untuk dapat mengganggu dan membongkar pikiran orang lain. Organiser
tidak harus seperti aktivis yang kesana-kemari untuk menangani masalah.
Pelan-pelan dengan keyakinan seorang organiser harus bekerja tanpa melihat
hasilnya terlebih dahulu. Ia harus benar-benar yakin akan ada perobahan.
Namun perobahan terebut harus lebih baik, dan tidak harus melihat seperti
apa proses perobahan dan hasilnya. Ia harus memasukkan unsur doktrinasi
dari seorang organiser. Tidak harus partisipatif terus menerus.

Seorang organiser juga adalah orang yang terus menerus belajar dan tidak
pernah berhenti menambah pengetahuan, keahlian dan pengalamannya. Atas
semua yang ia kerjakan dan dimiliki, seorang organiser juga adalah orang
yang bertanggungjawab. Tanggung jawab disini bukanlah sekedar akan
tanggung jawab atas kerja ataupun sebuah kegiatan, namun juga yang lebih
penting adalah bertanggungjawab atas perubahan yang sedang terjadi.
Implementasi dari tanggungjawab tersebut salah satunya diwujudkan
dengan cara memberi keyakinan kepada masyarakat bahwasannya
perubahan adalah sesuatu yang pasti dan harus didorong dapat terwujud.

Seorang organiser juga adalah orang yang memiliki keyakinan yang kuat
akan terjadinya perubahan. Untuk itu ia juga harus mewujudkannya dalam
memotivasi orang lain dalam rangka perubahan tersebut. Seorang organiser
yang kurang atau tidak yakin dengan perubahan yang ditawarkan, maka ia
akan menjadi seorang yang peragu dalam segala hal. Keyakinan tersebut
tidak dapat diabaikan, namun secara terus-menerus dipelihara agar selalu
konsisten. Konsistensi tersebut salah satunya dapat dibentuk dengan cara
terus belajar dan menimba ilmu pengetahuan, baik dalam melalui teori
maupun pengalaman langsung di masyarakat.

17
Seorang organiser juga bukanlah orang yang kikir dan penakut. Sepanjang
segala sumberdaya dapat digunakan untuk perubahan harus
didayagunakan. Namun bukan berarti ia adalah individu yang royal dalam
banyak hal. Demikian juga dengan rasa takut. Sebagai sebuah hal yang
normal dan bersifat manusiawi, rasa takut tentunya tidak dapat dihilangkan
sama sekali, namun bagaimana rasa takut tersebut tidak berkepanjangan.

Bagaimana mengatasi ketakutan? Ketakutan sebenarnya hal yang sangat


wajar, namun bagaimana supaya tidak berkepanjangan. Harus ada juga cara
mengatasi rasa takut tersebut dengan cara menghukum diri dan memotivasi
diri. Terkadang perlu juga melakukan hal yang terbalik dari yang ia takuti
ataupun ditakuti oleh orang lain. Perlu juga melihat ke sumber ketakutan
secara langsung, karena dengan demikian akan terbuka sebenarnya apakah
memang benar hal yang menakutkan tersebut harus ditakuti. Dengan
demikian rasa takut tersebut akan pelan-pelan hilang.

18

Perencanaan Bagi Organiser

Bicara strategi maka bicara keadaan. Jadi seorang organiser harus bisa
bermain di keadaan itu, sehingga sangat sulit jika seorang organiser ingin
membakukan keadaan. Jika seorang organiser ingin melakukan improvisasi
ataupun fleksibel menerapkan strategi, maka tidak boleh keluar dari keadaan
ataupun permasalahan di wilayah pengorganisasian. Misalnya, pernah KPS
melakukan pengorganisasian kepada buruh, kemudian muncul strategi ingin
membangun kelompok buruh yang beragama kristen. Strategi ini jelas tidak
nyambung dengan tujuan awalnya. Fleksibelitas bisa dilakukan namun tetap
dalam koridor yang ada. Jika tidak bertujuan merubah keadaan, maka
strategi yang dijalankan tidak dapat dijalankan. Jika strategi tersebut
dipaksakan untuk dijalankan, walaupun tetap masih sesuai dengan keadaan
maka akan membuyarkan tujuan perubahan yang sebenarnya. Dengan kata
lain, fleksibilitas hanya dapat dilakukan sepanjang dalam rangka membuka
keadaan yang mendukung terjadinya perubahan. Jika malah strategi yang
dijalankan membawa kemunduran, maka strategi tersebut jangan dijalankan.

Tentunya fleksibilitas juga tidak boleh melanggar nilai-nilai yang berbeda


dengan tujuan perubahan. Untuk itulah, organiser harus menghindari strategi
yang bertolak belakang dengan nilai-nilai gerakan, seperti mengembangkan
tema-tema yang berbau rasialisme, sekteranisme dan sebagainya. Nilai-nilai
yang ditegakkan adalah yang berakar dari nilai-nilai gerakan buruh dan
tidak memunculkan atau mengembangkan nilai atau isu yang bertentangan
dengan kelas pekerja. Bicara buruh maka bicara tentang kelas buruh.

Beberapa orang menyatakan bahwasannya fleksibilitas juga terkait


dengan taktik sehingga beberapa cara bisa dilakukan walaupun terkesan
tidak berhubungan dengan tujuan awal. Namun sering sekali taktik yang
dijalankan dijadikan sebagai pembenaran atas ketidakmampuannya
melakukan strategi pengorganisasian. Mau tidak mau seorang organiser harus
tetap berkonstrasi pada strategi yang akan dijalankan. Dengan menjalankan
strategi tersebut maka proses perubahan tetap dalam koridor yang ada, dan
tidak keluar dari esensi perubahan kondisi yang menindas buruh. Walaupun
seorang organiser harus fleksibel dalam menjalankan strategi di lapangan,
tetap saja harus berada di dalam koridor perubahan, dan itu harus benar-
benar disepakati.

19
Kaitannya dengannya dengan perencanaan, maka ada kecenderungan
fleksibilitas memaksa organiser sehingga tidak memiliki perencanaan yang
matang dalam melakukan pengorganisasian. Namun sebenarnya tidak harus
seperti itu. Fleksibilitas tidak selalu bertolakbelakang dengan perencanaan.
Contohnya, jika akan mengorganisir perkebunan lama dan perkebunan yang
masih baru. Ada beberapa karakteristik yang membedakan antar dua
perkebunan tersebut. Karakteristik yang berbeda tersebut tentunya
berdampak pada penggunaan strategi di lapangan.

Perbedaan karakteristik tersebutlah yang kemudian dianalisis sehingga


melahirkan perbedaan strategi. Namun pengembangan dan penerapan
strategi tersebut dapat berbeda dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya. Selama di lapangan, perbedaan karakteristik tersebut memaksa
organiser untuk membuat variasi strategi sehingga mendukung tujuan
pengorganisasian. Seperti yang terjadi di perkebunan. Di lapangan, terdapat
berbedaan yang cukup kontras antara perkebunan lama dengan perkebunan
yang masih baru. Di perkebunan lama, nilai dan budaya yang terbentuk
merupakan proses sejarah yang panjang. Nilai-nilai tersebut sudah
terinternalisasi di kalangan buruh, bahkan sudah menjadi keyakinan yang
mengental. Namun berbeda dengan kondisi perkebunan yang masih baru.

Di perkebunan lama, nilai dan budaya yang dibentuk memang sudah


turun temurun dan mengakar kepada buruh. Untuk menyerang kondisi
tersebut maka harus dilakukan cara-cara yang lebih halus lagi dan tidak
menyentuh secara langsung persoalan-persoalan yang sensitif dalam
komunitas buruh. Namun jika di perkebunan baru strategi yang bersifat
langsung dapat segera diterapkan. Di perkebunan baru, nilai-nilai yang
sudah melekat dan mengental di belumlah sekuat yang terjadi di perkebunan
lama, sehingga strategi atau taktik yang dijalankan sudah bisa menyentuh
persoalan-persoalan pokok dan yang dihadapi secara langsung oleh
komunitas buruh.

Perencanaan bagi seorang organiser bukanlah seperti dalam gambaran kita


seperti rencana atau panduan baku. Yang harus dimiliki oleh seorang
organiser adalah kepercayaan dan keyakinan bahwasannya yang ia lakukan
akan berdampak pada perubahan. Untuk itu seorang organiser harus juga
mengenal wilayah kerjanya. Perpaduan antara keyakinan, kepercayaan dan
pengenalan tersebutlah yang kemudian sebenarnya dijadikan panduan
seorang organiser dalam melakukan pengorganisasian. Dalam perencanaan,
organiser harus benar-benar mengetahui atau mengenal sebuah komunitas.
Pengenalan tersebut dapat dilakukan melalui proses need assasment. Namun

20
dari hasil need assasement tersebut tetap saja ada proses pertimbangan lebih
lanjut untuk memilih wilayah atau komunitas yang pertama kali akan
diorganisir. Dapat saja pilihan jatuh pada komunitas atau wilayah yang
dianggap paling sulit ataupun paling dalam terjadi penindasannya. Dengan
memasuki wilayah yang paling sulit tersebutlah sebenarnya dapat
mempermudah proses pengorganisiran.

Begitu pentingnya proses perencanaan sehingga tidaklah mungkin


dilakukan sebelum mengenali wilayah atau komunitas terlebih dahulu.
Memasuki wilayah yang paling sulit merupakan pilihan yang lebih tepat bagi
seorang organiser. Dengan demikian ia sudah mengetahui tantangan dan
kendala yang paling besar, sehingga jika menemukan kendala lainnya akan
lebih mudah untuk diatasi. Dengan memilih wilayah yang lebih mudah
tentunya akan tidak lebih membantu seorang organiser, karena kemungkinan
munculnya persoalan yang lebih sulit dan besar terbuka lebar sehingga
organiser tidak akan punya pengalaman untuk mengatasinya.

Dalam perencanaan, tentunya ada beberapa sub kegiatan yang harus


disusun oleh seorang organiser. Pada saat mengenali lapangan/komunitas
tertentu harus ada proses analisis terlebih dahulu tentang keadaan basis.
Analisis berisi hal-hal utama yang terlebih dahulu harus dimasuki dan
dirubah untuk kemudian beranjak ke hal-hal lainnya. Persoalan-persoalan
besar dan paling sulit yang dihadapi oleh komunitas tersebutlah yang
kemudian harus dirubah pertama kali. Setelah persoalan pokok tersebut
dapat dirubah, maka nantinya akan muncul keinginan dari komunitas
tersebut untuk membentuk kelompok ataupun menggunakan cara-cara lain
yang bisa merubah keadaan. Intinya, bagaimana memunculkan keinginan
untuk berubah. Persoalan kelompok harus dibuat menjadi kebutuhan mereka
dan tidak harus didorong-dorong oleh seorang organiser.

21

Mulailah dari Pengenalan Lapangan

Tahapan pertama yang harus dilakukan seorang organiser adalah


mengenali kondisi lapangan atau komunitas yang dimasuki. Namun
tentunya organiser harus memilih permasalahan yang paling sulit dan
terberat yang dihadapi oleh komunitas. Tugas organiser adalah memilih
permasalahan yang paling sulit dan dianggap paling berat untuk dilakukan
perubahan pada masyarakat. Tahapan selanjutnya, seorang organiser akan
menganalisis kondisi yang dia temui di lapangan, dan kemudian
mendistribusikan permasalahan tersebut ke masyarakat. Setelah
didistribusikan, nantinya masyarakat akan merasa kecarian, dan kemudian
pasti akan merasa membutuhkan untuk membentuk kelompok.

Pada saat pengenalan lapangan, seorang organiser belum melakukan


agitasi ataupun membangun sebuah isu. Yang dilakukan hanyalah
pengenalan tentang masyarakat maupun kontak yang ditemui oleh organiser.
Upaya mendapatkan informasi ataupun lebih mengenali keadaan lapangan
ataupun sebuah komunitas tidak dapat berlangsung secara cepat. Seorang
organiser harus dengan sabar terlebih dahulu mengenali kondisi lapangan
sehingga benar-benar diketahui cara memasuki ataupun memberi pengaruh
yang paling tepat kepada masyarakat. Pendekatan seperti inilah yang sering
kali dianggap paling sulit, karena seorang organiser dibebani dengan data-
data dan informasi yang menyeluruh tentang kondisi wilayah maupun
komunitas tertentu. Padahal tidaklah harus demikian, karena dengan
mengenali sebahagian kecil saja dari masyarakat, maka akan dapat diperoleh
data dan informasi yang dibutuhkan untuk dijadikan panduan tindakan
organiser yang selanjutnya.
Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan ”menempel”
atau mendekati secara terus menerus seorang kontak nantinya bukan hanya
bermanfaat untuk mendapatkan data dan informasi, namun juga dapat
membangun saling kepercayaan. Saat seorang organiser sudah menemukan
kontak yang berfikiran maju, dikenal secara baik di komunitas dan memiliki
pandangan yang cukup luas, maka kegiatan menempel akan lebih efektif.
Berdasarkan pengalaman yang dilakukan, ada beberapa manfaat yang dapat
diperoleh dengan kegiatan menempel ini, yakni;

1. terbangun tingkat kepercayaan yang tinggi antara organiser dengan


kontak yang ditempel, karena dari kegiatan tersebut terjalin

22
komunikasi yang terus-menerus dan menyangkut hal-hal yang sangat
pribadi
2. organiser dapat mengenali wilayah-wilayah baru di sekitar komunitas
yang sulit untuk dimasuki oleh organiser. Pengenalan kontak
terhadap wilayah-wilayah baru ataupun kontak-kontak baru dari
kontak yang ditempel tersebut dapat memperluas pengenalan
organiser terhadap wilayah pengorganisiran
3. organiser dapat memperbesar dan memperdalam informasi yang
diperoleh dari kunjungan-kunjungan organiser bersama dengan
kontak.

Ada beberapa teknik yang bisa digunakan untuk menempel kontak,


diantaranya adalah dengan mengikuti aktivitas seorang kontak. Kegiatan
menempel juga dapat dilakukan organiser pada pengurus serikat, baik itu
pengurus pusat maupun yang ada di basis. Tentunya strategi ini memiliki
kelemahan, karena biasanya pengurus akan menggunakan pendekatan yang
formal di basis-basis buruh. Pendekatan formal dalam kerja
pengorganisasian cenderung kurang efektif dikarenakan terlalu birokratis,
sehingga membuat komunikasi menjadi lambat.

Kegiatan menempel juga harus dilihat sebagai salah satu media penguatan
kader. Dalam kerja-kerja pengorganisasian, kegiatan menempel merupakan
salah satu tugas paling penting yang harus dilakukan oleh organiser. Hal ini
dilatarbelakangi oleh beberapa hal, antara lain; organiser memiliki
keterbatasan untuk melakukan kunjungan ke seluruh wilayah
pengorganisasian dan menemui kader dan anggota kelompok. Lagipula,
prinsip pengorganisasian tidak bekerja untuk kelompok besar. Kerja
penguatan organiser difokuskan pada kelompok-kelompok kecil yang maju
dan militan dalam berjuang untuk perubahan.

Tidaklah mungkin organiser dapat melakukan pengorganisasian tanpa ada


peran dari kader ataupun anggota-anggota komunitas yang berfikiran maju
dan mau bekerja. Telah terbukti bahwasannya kerja-kerja pengorganisasian
yang dilakukan oleh kader cukup efektif membangun basis. Yang menjadi
persoalan hanyalah kapasitas dari kader. Di buruh perkebunan, persoalan
kapasitas sangat penting mengingat selama ini buruh memang dikondisikan
untuk tidak memahami aturan perburuhan dan hak-hak normatif. Selama
puluhan tahun perkebunan dijadikan wilayah floating mass atau massa
mengambang bagi kekuasaan. Kepentingan politik disatukan dalam satu
jalur oleh sebuah partai milik pemerintah. Efek dari strategi tersebut

23
sangatlah besar terhadap buruh perkebunan. Buruh kebun menjadi anti
politik dan pergerakan sosial.

Tugas organiser pada saat menempel kader adalah membongkar ketakutan


tersebut, menambah kepercayaan diri, mendorong kemampuan analisis,
membangun militansi, keberanian dan menawarkan cita-cita perjuangan.
Setiap perjumpaan, pembicaraan, jalan bersama bahkan pada saat kerja
bersama dan tinggal bersama dengan buruh, peran penguatan harus terus
dijalankan oleh organiser. Satu hal yang sering kali ditemui adalah tentang
kepercayaan diri kader atau buruh. Rata-rata rasa percaya diri buruh
perkebunan sudah habis terkikis oleh hegemoni sistem sosial perkebunan.
Bentuk-bentuk ketidakpercayaan diri tersebut terlihat dalam bentuk, sulit
mengemukakan pendapat, diam, pasif dalam diskusi, enggan berbeda
pendapat, merasa tidak paham, merasa terus-menerus tidak layak, dan lain-
lain. Apalagi jika buruh atau kader tersebut bekerja di bagian yang paling
rendah, seperti buruh boyan (kebersihan lahan dan pemupukan), annemeer
(buruh kontrak), buruh deres atau eggrek/dodos, dan lainnya. Mereka sering
merasa tidak layak untuk bicara dan bergabung dengan buruh lainnya.

Kondisi seperti ini sering kali dimanfaatkan oleh buruh lain yang merasa
sudah berpengalaman dan memiliki pengetahuan lebih. Pada saat diskusi,
orang-orang seperti ini akan lebih menonjol dibandingkan buruh lainnya,
sehingga kata-kata yang diungkapkan akan membuat buruh lainnya lebih
tidak percaya diri. Tugas organiser adalah menguatkan orang-orang yang
masih kurang percaya diri tersebut. Tentu saja proses penguatan tersebut
tidak akan secara cepat dapat terlihat. Dengan sabar seorang organiser harus
memberi pemahaman kepada buruh tentang banyak hal, mulai dari yang
paling sederhana, seperti kebiasan-kebiasaan hidup, pandangannya terhadap
sesuatu, sikap dan tindakan yang ia pilih, sampai yang paling besar, yakni
tentang nilai hidup, kepercayaan dan pandangannya terhadap perjuangan
buruh.

Memberi pemahaman kader tidak dapat dilakukan hanya dengan diskusi-


diskusi informal saja. Pada saat-saat tertentu organiser juga harus bisa
melakukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan pribadi kader.
Jika hanya diskusi, maka pandangan dan kepercayaan kader tidak akan bisa
penuh. Sekecil apapun persoalan yang dihadapi oleh kader, upayakan
organiser punya peran dalam penyelesaiannya. Misalnya, persoalan
keluarga, pacar, kesehatan, sampai hal-hal terkecil sekalipun. Ini jelas penting
bagi organiser.

24
Proses menempel atau pendampingan tersebut tentu hanya dapat efektif jika
sudah ada kepercayaan antara organiser dengan buruh. Namun kepercayaan
antara buruh dan organiser tersebut juga dapat dibangun bersamaan pada
proses menempel. Tetap saja, mengganggu kemapanan orang menjadi teknik
yang dapat digunakan. Kemudian, setelah kemapanan tercerabut, barulah
nilai kepercayaan, militansi, keberanian, dan segala nilai-nilai perjuangan
dapat internalisasi oleh buruh. Harus juga diingat oleh organiser, kedekatan
dengan buruh akan berdampak pada hal-hal lainnya. Semakin dekat
hubungan organiser dengan kader, maka akan semakin besar tingkat imitasi
atau mencontoh. Segala tindak-tanduk organiser akan mendapat penilaian
dari buruh. Untuk itu, organiser harus hati-hati melakukan tindakan, dan
jikapun suatu saat terjadi hal-hal yang berbeda dengan yang pernah
diungkapkan organiser, secara cepat organiser menjelaskan alasan tindakan,
pemikiran tersebut kepada buruh.

Orang yang ditempel seorang organiser satu saat memang pelan-pelan harus
dikurangi ketika organiser merasa seorang kader sudah mampu. Untuk itu,
tingkat ketergantungan buruh haruslah ketergantungan pada pemikiran-
pemikiran, bukan pada personal organiser. Cara paling efektif melepaskan
ketergantungan tersebut adalah dengan memberi latihan-latihan untuk
melakukan kerja-kerja pengorganisasian tanpa melibatkan peran organiser.
Misalnya dalam memimpin diskusi. Organiser harus membuat kondisi
dimana buru bisa memfasilitasi diskusi. Dapat saja pengkondisian tersebut
bersifat memaksa dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Misalnya,
seorang organiser sudah berjanji dengan kader untuk memfasilitasi diskusi.
Pada waktu yang sudah ditentukan, organiser dengan sengaja tidak datang
dan menugaskan kader untuk memimpin atau memfasilitasi diskusi tersebut.
Kondisi-kondisi yang memaksa tersebut sangat positif memecahkan
ketakutan dan rasa percaya diri buruh atau kader.

Sebagai langkah awal, menempel pengurus turun ke lapangan dapat


digunakan untuk mengenali lapangan terlebih dahulu. Tentunya taktik ini
punya efek negatif juga, salah satunya adalah terlalu formalnya pertemuan
dengan basis. Formalitas sering sekali tidak dapat diandalkan untuk
mendapatkan informasi yang sebenarnya. Pengurus atau enggota serikat
buruh di tingkat basis sering menutup-nutupi kondisi yang sebenarnya. Apa
yang diungkapkan pengurus basis maupun anggota lebih banyak positif
dibandingkan dengan realitas yang sebenarnya.

Apalagi jika pengurus sebuah serikat sebelumnya sangat jarang turun ke


lapangan. Banyak serikat buruh saat ini beranggapan salah satu tugas

25
penting pengurus adalah menjadi pelayan anggota dalam menyelesaikan
kasus-kasus yang dihadapi oleh anggota. Pengurus serikat malah sangat
jarang turun ke basis untuk melakukan pengorganisasian, dan jikapun turun,
pengurus hanya mengutip iuran ataupun mensosialisasikan kebijakan baru
dan memberikan undangan untuk pertemuan-pertemuan resmi.

Kedatangan organiser bersama pengurus serikat tersebut tentunya dianggap


oleh basis memiliki tujuan yang sama dengan pengurus serikat tersebut.
Citra seorang pengurus serikat akan digambarkan sama dengan organiser
oleh anggota di basis-basis serikat. Jika citra yang selama ini jelek, maka
organiser pasti akan dianggap jelek juga untuk sementara bagi kalangan
anggota di basis. Beruntung jika selama ini pengurus serikat dipandang
positif oleh basis, sehingga organiser juga dinilai positif oleh basis.

Salah satu hal yang sangat sulit diantisipasi organiser saat turun ke basis-
basis serikat adalah adanya pandangan bahwasannya pengurus serikat
adalah agen penyelesaian kasus. Ketika organiser turun bersama pengurus,
maka akan banyak menerima laporan-laporan kasus yang dihadapi oleh
anggota. Ungkapan-ungkapan ataupun laporan tentang kasus ini biasanya
akan berlanjut dengan keinginan anggota agar pengurus dapat
menyelesaikannya. Harapan tersebut tentunya wajar saja, mengingat
pengurus serikat yang ada saat ini sangat jarang memberi pemahaman
tentang fungsi-fungsi serikat yang sebenarnya, sehingga banyak muncul
pandangan bahwasannya pengurus serikat adalah pelayan bagi perselisihan
buruh dengan perusahaan.

Organiser tentunya dapat mengambil sisi positif dari realitas yang


ditangkapnya saat melakukan
Menempel seorang pedagang kunjungan bersama pengurus serikat.
jagung bakar dan jagung rebus Biasanya pengurus serikat adalah orang
menjadi strategi efektif bagi yang sangat sibuk, sehingga tidak
seorang organiser untuk mengenali memiliki waktu untuk menyelesaikan
wilayah pengorganisasian. Kontak seluruh persoalan yang dihadapi oleh
tersebut setelah bekerja berkeliling buruh di basis. Untuk itu, seorang
di sekitar wilayah komunitas, organiser (jika merasa mampu) juga
bahkan juga ke luar wilayah. dapat menggunakan kesempatan itu
Organiser membantu kontak untuk membangun kepercayaan dan
berjualan sehingga menghindari keyakinan buruh terhadap organiser.
kecurigaan dan dianggap asing Namun tindakan ini harus secara
oleh orang lain. matang diperhitungkan, karena jika
nantinya harapan buruh tersebut tidak

26
tercapai maka akan berdampak munculnya ketidakpercayaan dan kebencian
buruh terhadap organiser.

Tahapan perencanaan bagi seorang


organiser, membentuk kelompok dalam
level aksi tidak harus menjadi target
penting. Membentuk kelompok boleh-
boleh saja dicantumkan dalam
perencanaan program atau kegiatan,
namun di level aksi tidaklah wajib
untuk dimasukkan. Itulah yang sering
kali membuat kelompok tidak aktif atau
kemudian mati setelah dibentuk. Hal itu
dikarenakan masyarakat sebenarnya
belum mengerti tentang kebutuhan
sebuah kelompok. Bahkan bisa saja
orang-orang di komunitas menghadiri
diskusi kelompok tanpa tahu apa manfaat ataupun tujuan melakukan
diskusi. Mereka hanya sekedar ikut dengan teman-temannya yang juga
mengikuti diskusi. Artinya, organiser harus benar-benar membentuk
kesadaran terlebih dahulu di dalam masyarakat sehingga kelompok yang
terbentuk benar-benar memahami fungsi dan manfaat pentingnya
membentuk kelompok. Jika seseorang sudah memahami tantangan yang
dihadapi sehingga membutuhkan perubahan, maka ia sendiri akan
mengusulkan pentingnya sebuah kelompok. Dalam pengorganisasian hal ini
sering muncul. Ketika seseorang mengerti bahwasannya perjuangan
perubahan tidak dapat dilakukan secara sendiri, maka sudah pasti ia akan
berkeinginan membentuk ataupun ikut dalam sebuah kelompok yang
dirasakan bisa melakukan perubahan.

Teknik Mengidentifikasi Kader


Mengorganisir buruh, baik itu industri maupun perkebunan berarti
memasuki sebuah sistem sosial yang tertutup dan alergi dengan perubahan.
Kondisi paling parah adalah di komunitas perkebunan. Walaupun sudah
tidak terlalu parah dibandingkan perkebunan di masa kolonial, namun
kondisi saat ini tidaklah lebih baik dari sebelumnya. Kondisi sosial yang
tertutup dan dalam sebuah teritorial tersebut bahkan layaknya sebuah negara
di dalam negara. Segala hal yang terjadi di dalam perkebunan dengan cepat
tersebar. Sepertinya, dinding pun punya telinga sehingga sehingga apapun
yang dibicarakan oleh buruh dapat diketahui oleh buruh maupun petinggi-
petinggi perkebunan.

27
Masuknya organiser dalam sebuah komunitas buruh ataupun masyarakat di
sekitar industri tentu dengan cepat dapat tercium oleh pimpinan perusahaan,
maupun elit-elit desa. Di perkebunan, organiser akan dengan cepat dikenali,
apalagi jika organiser berpenampilan berbeda dengan penduduk atau buruh
setempat. Walaupun organiser berusaha berpenampilan sederhana dan mirip
dengan buruh, tetap saja dengan mudah dikenali, karena mobilitas warga
cukup rendah. Adanya wajah baru akan mudah teridentifikasi sehingga
langsung akan memunculkan penilaian dari penduduk lokal. Tingkat migrasi
masuk dan keluar di perkebunan sangat rendah, sehingga orang dengan
cepat dapat mengenali kehadiran orang lain. Walaupun tekanan dan
ancaman terhadap organiser tidak langsung terjadi, namun punya dampak
terhadap buruh yang menjadi kontak ataupun yang mengikuti diskusi-
diskusi bersama organiser.

Bagaimanapun juga, organiser punya keterbatasan untuk dapat memasuki


kawasan perkebunan. Di malam hari, jalur masuk ke perkebunan-
perkebunan di tutup dengan portal. Wajah-wajah baru yang memasuki
perkebunan selalu akan dipandang asing. Tatapan-tatapan curiga selalu akan
dirasakan oleh organiser. Untuk itu, jalan satu-satunya yang dapat dilakukan
oleh organiser adalah dengan membangun kader-kader yang dapat
melakukan peran pengorganisasian di komunias buruh.

Namun yang menjadi persoalan, cukup sulit untuk menemukan sekaligus


membangun kader. Dikatakan sulit, karena dibutuhkan kriteria-kriteria
tertentu bagi seorang kader. Seorang kader bukan hanya orang yang
berfikiran maju, memahami banyak hal, dan punya pengalaman kasus-kasus
perburuhan. Seorang kader adalah yang memiliki pandangan kritis terhadap
struktur sosial, ia adalah sosok yang mampu melihat bahwasannya
penindasan bukanlah persoalan tidak ditegakkannya aturan-aturan atau
tidak dipenuhinya hak-hak normatif buruh. Ia juga bukanlah orang yang
sekedar dipandang populis oleh masyarakat dan sekedar menonjol di
komunitas.

Berdasarkan pengalaman, tugas utama dari seorang organiser adalah


menemukan dan membangun kader-kader di komunitas. Para kader
tersebutlah kemudian sebenarnya yang paling banyak berperan membangun
basis perjuangan. Tanpa mereka, kader akan mengalami kesulitan
dikarenakan kondisi sosial komunitas yang tertutup tersebut.

28
Ada beberapa pertimbangan yang dapat digunakan oleh organiser dalam
menemukan kader.

Pertama, gunakan diskusi sebagai salah satu media identifikasi kader.


Seorang calon kader bukanlah orang yang dipandang populis ataupun
berusaha untuk menjadi populis. Artinya, jika terdapat orang yang cukup
menonjol berbicara, memberi pandangan, ataupun memberi komentar pada
setiap hal, maka ia bukanlah orang yang dicari oleh organiser. Biasanya, apa
yang diuangkapkan orang seperti itu terus saja berulang-ulang tentang setiap
topik pembicaraan. Walaupun gaya bahasanya lebut dan cukup meyakinkan,
namun pengalaman menunjukkan, ia bukan orang yang dicari oleh
organiser.

Dengan kata lain, orang-orang populis cenderung asal bunyi waktu bicara,
karena ia punya motif untuk menonjol dibandingkan orang lain. Apalagi
dalam sebuah forum diskusi yang dihadiri oleh banyak orang. Keinginannya
untuk menonjol akan semakin besar, sehingga bicaranya pun akan semakin
tidak menentu dan cenderung asal bicara. Orang seperti itu juga sulit
mendengarkan orang lain. Ia cenderung ingin didengarkan, kurang
menghargai pendapat orang lain, selalu membetulkan pandangan orang lain
dan terkesan suka berdebat.

Dalam proses diskusi, calon kader biasanya bukan orang yang terlalu banyak
bicara, dan selalu berapi-api dalam berkomunikasi. Ini penting bagi seorang
organiser untuk mengidentifikasi seorang calon kader. Organiser sering kali
terkesima melihat buruh yang pintar dan aktif bicara. Buruh tersebut sering
menggunakan istilah-istilah yang ilmiah pada saat berdiskusi. Terkesan
buruh seperti itu sudah punya banyak pengalaman, karena menceritakan
hal-hal baru yang membuat kawan-kawannya sesama buruh tidak mengerti.

Organiser yang bertemu dengan kontak seperti ini sering kali terjebak
dengan kepintaran berbicara buruh. Kata-kata yang diungkapkannya pun
malah sering tidak dapat dimengerti oleh organiser. Buruh seperti itu sangat
menonjol dan aktif dalam berbicara dan mengemukakan pendapat. Ia selalu
memiliki jawaban dan komentar atas semua pembicaraan. Namun ia jarang
sekali mengungkapkan sesuatu yang ia lakukan sendiri. Yang diceritakannya
selalu tentang pengalaman dan apa yang dilakukan oleh orang lain, bukan
tentang pengalaman dan tindakannya sendiri.

Jika orang seperti itu dijadikan kader, maka ada kemungkinan kerja-kerja
pengorganisasian akan tidak berjalan. Kader seperti itu hanya pandai di

29
komunikasi, karena manis berbicara dan bisa terkesan banyak tau tentang
segala hal. Namun seorang kader bukanlah yang sekedar pintar bicara dan
enak didengar. Ia juga harus mau melakukan kerja-kerja, rajin mengunjungi
buruh, mampu mempengaruhi orang lain dan selalu ingin belajar. Orang
yang pandai bicara biasanya selalu ingin menang sendiri dan sudah tau
segala hal, sedangkan calon kader yang tepat adalah orang yang selalu tidak
puas dengan apa yang diketahuinya. Ia malah banyak mendengar dari orang
lain dan selalu ingin memperbaiki kesalahan yang ia lakukan.

Seorang calon kader juga adalah orang yang bisa menahan diri dan tidak asal
bicara. Setiap apa yang akan dikatakannya selalu terkait dengan apa yang
pernah dilakukannya, dan bukan dilakukan oleh orang lain. Pengalaman
yang ia ceritakan selalu pengalaman tentang kelompok dan organisasinya,
dan bukan pengalaman maupun apa yang dimiliki oleh organisasi atau
kelompok lain. Ketika bercerita tentang orang ataupun organisasi lain, ia
sering sekali bangga, padahal ia sendiri tidak pernah melakukan hal yang
serupa.

Calon kader bukanlah orang yang mudah kecewa atau sentimentil.


Walaupun calon kader tersebut punya pengalaman segudang tentang
perjuangan atau pergerakan, hal itu tidaklah menentukan ia dapat bertahan.
Banyak buruh yang punya pengalaman panjang bergabung dalam organisasi.
Malah beberapa buruh pernah menjadi perintis terbentuknya serikat buruh.
Namun pengalaman tersebut tidak menjamin apakah ia bisa bertahan dalam
jangka waktu lama.

Ada beberapa hal yang kerap menjadi dasar seorang buruh cepat kecewa,
antara lain, penghianatan oleh kawan-kawannya, kekecewaan tidak
mendapatkan keuntungan, kecewa karena organisasi tidak konsisten
ataupun di kecewakan oleh pengurus atau pimpinan organisasi.
Berkomunikasi atau berdiskusi dengan orang seperti itu sangatlah sulit. Ia
akan selalu menceritakan kekecewaan dan rasa frustasinya terhadap
organisasi sehingga ia tidak mau lagi terjun dalam dunia perjuangan. Calon
kader seperti ini sangat sulit untuk dibangkitkan kembali. Ia selalu akan
punya jawaban untuk menolak ajakan ataupun dorongan agar bangkit
kembali.

Seorang calon kader juga adalah bukan yang terlalu mudah untuk
menyatakan dirinya rela berkorban dan rela mati untuk perjuangan. Banyak
ditemukan calon kader yang pada awalnya sudah berani mengambil resiko.
Ia tidak takut di PHK dan mau mengorbankan apapun untuk organisasi dan

30
perjuangan. Namun di perjalanan, ia segera berubah menjadi orang yang
penakut. Namun ketakutannya tersebut ditutup-tutupi dengan berbagai
alasan, misalnya disebabkan kendala keluarga, kesehatan, sulitnya kondisi,
tidak adanya teman, tidak becus nya pemimpin dan sebagainya. Padahal,
semua itu hanya alasan agar ia tidak lagi ikut dalam organisasi perjuangan.

Seorang organiser juga kerap melupakan atau tidak memperdulikan buruh


yang sebelumnya kurang akfit. Organiser terlalu terfokus pada orang-orang
yang sering hadir dalam diskusi. Padahal, diantara yang tidak atau jarang
hadir terdapat buruh yang sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi
seorang kader. Mereka enggan hadir atau mengikuti diskusi disebabkan
tidak suka dengan buruh lain yang dirasakannya hanya pintar cakap saja. Ia
lebih suka melakukan kerja-kerja secara langsung dibandingkan ngobrol dan
berdiskusi. Orang seperti ini harus dengan cepat dirangkul oleh organiser
sehingga dapat didorong menjadi orang-orang berfikir maju di dalam
organisasi.

31

Ubah Kualitas, Bukan Kuantitas

Kerja pengorganisasian selalu diidentikkan dengan pembentukan


kelompok. Tujuan seperti itu wajar saja, mengingat kelompok adalah media
perjuangan yang paling penting. Namun membangun kelompok hanyalah
sebuah media perjuangan dan tidak dijadikan sebagai sebuah target
pengorganisasian. Jika kelompok menjadi target utama dan didorong-dorong
oleh organiser maka ada kemungkinan kelompok tersebut tidak akan kuat
karena tidak menyentuh kebutuhan kelompok.

Menjadikan kelompok sebagai target utama ukuran kerja


pengorganisasian tidaklah begitu tepat. Hal itulah yang sering sekali
menyebabkan kelompok menjadi tidak kuat, karena kelompok belum
menjadi kebutuhan komunitas tertentu. Jikapun kelompok telah terbentuk,
tidak ada jaminan kelompok tersebut akan bertahan, namun cenderung akan
cepat hancur karena terkesan dipaksakan oleh organiser.

Wajar saja agar pengorganisasian menjadi terarah, seorang organiser


mentargetkan pembentukan kelompok dalam sebuah komunitas. Namun
yang harus jelas adalah kualitas kelompok tersebut. Tidak ada artinya
membentuk kelompok jika kelompok yang dibentuk sebenarnya sangat
rapuh. Ukuran yang paling tepat untuk menilai kerja pengorganisasian
adalah aksi yang dilakukan orang-orang di dalam sebuah komunitas. Dengan
demikian, tidaklah menjadi masalah jika seorang organiser hanya bisa
membentuk sedikit kelompok dalam jangka waktu lama.

Ukuran kedua menilai pengorganisasian adalah proses. Proses


tersebutlah yang berisi dinamika berlangsungnya pengorganisasian. Tugas
seorang organiser dalam proses ini adalah melihat terus menerus
perkembangan kualitas kelompok dan bertindak sesuai dengan tuntutan
keadaan. Berdasarkan dua pertimbangan tersebut maka pembentukan
kelompok hanya dalam rangka dua hal, yakni sebagai panduan target di
perencanaan dan mengukur kuantitas kerja-kerja pengorganisasian. Itulah
sebabnya, sebuah lembaga memang menetapkan salah satu tujuan utamanya
dalam membangun kelompok, dan target-target kelompok tersebut dijadikan
panduan umum dan bukan dasar pengorganisasian secara teknis di
lapangan.

32
Seorang organiser harus benar-benar bisa mengukur kualitas kelompok
yang telah terbentuk. Pengalaman KPS, kelompok tidak pernah menjadi
ukuran. Yang dibentuk pada saat itu adalah kumpulan orang-orang yang
sadar tanpa menamakan diri sebagai sebuah kelompok yang kaku. Pada saat
itu organiser KPS terus-menerus melakukan pengukuran tentang perjalanan
proses dan aksi-aksi organiser ang dilakukan oleh kumpulan orang-orang
tersebut. Bisa saja seorang organiser turun ke basis, seperti ke salah satu
afdeling di sebuah perkebunan. Dalam jangka waktu cepat dapat terbentuk
satu kelompok. Namun proses yang cepat tersebut sudah pasti akan
melewati banyak proses pengorganisasian yang seharusnya dijalankan oleh
seorang organiser. Secara terus-menerus organiser melakukan pendekatan-
pendekatan walaupun dalam jangka waktu yang sangat panjang sampai
munculnya kesadaran dari komunitas tersebut berdasarkan kebutuhannya
membentuk sebuah kelompok.

Dikarenakan tidak dijadikannya kelompok sebagai ukuran tunggal atas


kerja-kerja pengorganisasian, dan menempatkan proses dan kualitas aksi
sebagai tujuan utama, maka seorang organiser harus mampu membuat
ukuran kemajuan atas kerja-kerjannya. Ada satu teknik yang bisa disusun
dan dijalankan oleh organiser. Salah satunya adalah dengan mencatat nama-
nama kontak di komunitas yang ditemuinya dalam melakukan
pengorganisasian. Dalam teknik ini, seorang organiser terus menerus
melakukan pencatatan atas proses perkembangan dari waktu ke waktu
tentang perkembangan kontak-kontak tersebut. Pencatatan dilakukan
terhadap aktivitas yang dilakukan oleh kontak, perubahan kegiatannya, apa
yang dibicarakan kontak dengan orang lain, maupun peningkatan pemikiran,
kesadaran dan keinginan untuk melakukan perubahan.

Agar seorang organiser bisa membentuk kesadaran untuk melakukan


perubahan dan menjadikan proses pengorganisasian sebagai tujuan utama,
maka frekuensi kunjungan lapangannya harus tinggi. Karena dalam proses
tersebut seorang organiser harus membangun hubungan emosional dan
kepercayaan dan harus yakin dengan tujuan-tujuan maupun strategi yang
dijalankannya. Keyakinan dan kemampuan inilah yang kemudian akan terus
menerus ditransfer oleh organiser dalam membentuk kader. Kerja-kerja
membentuk kader ini dilakukan secara konsisten, karena jika tidak nantinya
akan membawa kekecewaan kepada calon kader.

Agar tidak abstrak dalam melihat perubahan tersebut, maka seorang


organiser tetap berpedoman pada ideologi atau nilai perubahan yang
dimilikinya. Menggunakan nilai atau ideologi yang diyakini oleh seorang

33
organiser tersebut harus dijadikan dasar. Sebagai contoh, suatu saat seorang
organiser bertemu dengan seorang kontak. Pertemuan tersebut harus dicatat
oleh seorang organiser. Kemudian pada saat pertemuan selanjutnya, harus
diketahui oleh seorang organiser, dengan siapa kontak tersebut bertemu dan
apa yang dibicarakannya. Penilaian juga dapat dilihat dari penyebaran
fikiran seorang kontak ke orang lain yang ada di lingkungannya. Kemudian
dapat dilihat juga proses meluasnya interaksi atau komunikasi kontak
dengan orang lain yang ada di lingkungannya. Apakah seorang kontak
semakin dikenal atau tidak di komunitasnya, ataupun kemampuan kontak
tersebut menyebarkan pemikiran-pemikiran kritis bagi perubahan ke orang
lain. Kemudian dilihat juga pengenalan orang lain terhadap kontak tersebut.
Apakah pengenalan orang lain terhadap kontak tersebut memiliki hubungan
terhadap tujuan pengorganisasian atau malah dikenal dalam bentuk lain.
Dari perbincangan dan aktivitas yang dilakukan kontak tersebut dapat
tergambar perkembangan dari hari-hari ataupun dari pertemuan ke
pertemuan. Untuk itu seorang organiser harus rajin membuat catatan. Apa
yang dicatatkan oleh seorang organiser tersebutlah yang kemudian menjadi
dasar penilaian perkembangan seorang kontak.

Selain tidak sekedar dapat diukur dari target-target pembentukan


kelompok, kerja seorang organiser juga tidak hanya terkait dengan
penerimaan komunitas ataupun kemudahannya mendapatkan akses
informasi di dalam masyarakat. Hal itulah yang sering sekali menjebak
seorang pada romantisme belaka, namun ternyata sama sekali tidak
membawa perubahan pada komunitas yang dimasukinya. Bisa saja seorang
organiser telah dipercayai dalam sebuah komunitas, bahkan sudah menjadi
bagian dari masyarakat itu. Namun jika dinilai dari sisi perubahan, seorang
organiser telah gagal jika penerimaan komuntas tersebut tidak menunjukkan
adanya perubahan ataupun peningkatan kesadaran dan bentuk-bentuk aksi
menuju perubahan. Pembauran seorang organiser di komunitas tersebut tidak
akan berarti apa-apa jika tidak ada kemajuan pemikiran dan aksi di
komunitas tersebut.

Salah satu indikasi perubahan yang terjadi pada seorang kontak tidaklah
harus menggunakan ukuran yang besar-besar. Perubahan tersebut dapat
dilihat secara sederhana. Misalnya tentang apa yang dibicarakan seorang
buruh kebon kepada mandornya. Perlawanan-perlawanan kecil tersebut
menjadi catatan penting yang harus dijadikan pertimbangan oleh seorang
organiser untuk melihat perkembangan pengorganisasian. Demikian juga
dengan aksi-aksi yang besar. Walaupun sering sekali aksi tersebut tidak
berhubungan langsung dengan permasalahan utama buruh, namun tetap

34
kemajuan bisa terlihat, antara lain merebut ketua SPSI, merebut pimpinan
lokal, tuntutan ketersediaan air dan sebagainya. Namun aksi-aksi yang sudah
dilakukan oleh kelompok dapat dijadikan indikator kemajuan sebuah
kelompok yang diorganisir.

Begitu pentingnya apa yang dikerjakan oleh seorang organiser untuk


melihat kemajuan kontak, sehingga tingkat kemajuan tersebutlahyang
kemudian menjadi ukuran perkembangan maupun perubahan. Selama ini
organiser sering sekali melupakan pencatatan dan pengukuran kemajuan
kontak ataupun perubahan yang terjadi di lapangan.

Mekanisme Pengembangan Kelompok

I I
D
C
A
E

F
B

G
C
H
I

Gambar di atas menunjukkan bagaimana kerja pengorganisasian dalam


membangun kontak yang nantinya akan bermuara pada pembentukan
kelompok. Seorang organiser pertama kali harus melakukan kunjungan
kepada beberapa orang yang dianggap berpotensi melakukan perubahan.
Jumlah orang yang dikunjungi secara terus-menerus dengan frekuensi yang
tinggi tidaklah harus banyak. Kepada tiga orang (A, B dan C) seorang
organiser harus melakukan pengorganisasian dengan tingkat kunjungan dan
pertemuan yang tinggi. Untuk ketiga orang inilah organiser menetapkan
ukuran tentang perubahan kualitas pemikiran dalam setiap pertemuan.
Perubahan pertama yang sebaiknya dinilai organiser adalah perkembangan
pemikiran dan kekritisan tiga orang tersebut. Mulai dari aktivitas,

35
pembicaraan yang dilakukan dengan orang lain di komunitasnya, sikap-
sikapnya di keluarga, ataupun aksi-aksi individualnya, baik itu saat bekerja
maupun di luar pekerjaan.

Ketika kontak person A sudah menunjukkan perubahan pemikiran, kritis


dan melakukan aksi-aksi yang merubah keadaan, maka hal itu juga akan
terlihat dari hubungannya dengan orang lain, yakni D dan E. Penyebaran
pemikiran, kekritisan dan aksi yang merubah keadaan tersebut kemudian
juga nantinya akan dimiliki oleh D dan E, sehingga aksi yang ditunjukkan
akan semakin meluas dalam komunitas tersebut.

Untuk mengukur hasil kerja seorang organiser, tidak hanya dapat dilihat
dari kontak person yang sering ia kunjungi. Seorang kader yang telah
mengalami perubahan akibat proses pengorganisasian tidak boleh menjadi
orang yang eksklusif. Artinya, kekritisan dan terbukanya pemikiran seorang
kader akan dianggap sebagai kegagalan jika kader tersebut tidak mampu
menyebarkan ”virus” perubahan yang telah diperolehnya. Ia harus
menyebarkannya ke orang lain. Itulah inti dari pengorganisasian, yakni
bagaimana dari seseorang yang berada dalam komunitas tersebut mampu
memperluas ataupun memperlebar pemahaman dan aksi yang dimilikinya
ke orang lain, sehingga aksi perubahan akan semakin membesar.

Seorang organiser juga harus bisa membedakan antara kualitas yang


ditunjukkan seorang kader dalam konteks individual maupun kolektif. Di
beberapa serikat buruh, baik itu industri perkotaan maupun perkebunan,
selalu ditemui beberapa buruh yang militan dan memiliki keberanian lebih
dibandingkan dengan buruh lainnya. Sering sekali ia dijadikan rujukan
ataupun pelaksana penyelesaian kasus-kasus yang dihadapi oleh buruh.
Mereka adalah orang-orang yang pernah melawan perusahaan ataupun
punya pengalaman penyelesaikan masalah ataupun pernah bersentuhan
dengan orang-orang luar, seperti parti, LSM, tentara dan polisi ataupun
wartawan.

Pengalaman dan pengetahuan tersebutlah yang selalu menjadi acuan


buruh lainnya, sehingga orang tersebut sering diminta nasehat dan
pertolongan menyelesaikan persoalan. Dalam kerja pengorganisasian, baik
itu dalam diskusi kelompok, diskusi lepas maupun aksi, orang-orang ini
selalu menonjol dalam pembicaraan. Namun jika dilihat dari aksi-aksi yang
mereka lakukan, selalu menggunakan pendekatan-pendekatan elit, seperti
negosiasi dengan pimpinan perusahaan, mendatangi kantor polisi dan
tentara, memanggil wartawan ataupun orang-orang partai. Akibat

36
hubungannya dengan lembaga-lembaga ataupun orang-orang dari luar
perusahaan, ia disegani sebagai tokoh dan orang penting.

Kualitas seorang buruh atau kader seperti inilah yang sebenarnya harus
ditanggapi secara hati-hati oleh organiser. Jika keberanian, militansi dan
kekritisan yang dimilikinya diwujudkan dengan aksi yang bersifat elit maka
tidak akan ada gunanya dalam membangun gerakan buruh. Orang seperti
inilah malah yang kemudian akan berubah menjadi lawan ketika
kepentingan komponen luar sudah terlalu mempengaruhinya. Kader yang
terlalu cepat naik dan menonjol tersebut nantinya akan berubah. Pertama ia
akan menjadi orang yang arogan dan merasa mengerti segala hal. Ia akan
sulit untuk dikritik dan menganggap pengetahuan dan pengalamannya lah
yang paling benar. Kemudian, ia ketika buruh lain Namun persoalannya,
sebahagian buruh malah bangga dengan keberadaan orang-orang seperti itu,
karena dianggap memiliki keberanian dan pengetahuan yang lebih
dibandingkan buruh lainnya.

Dapat saja seorang organiser terjebak atau salah menilai orang-orang


yang dianggap menonjol di komunitas buruh tersebut. Apalagi saat di
lapangan, hanya orang seperti itu yang paling mudah untuk menerima
pandangan dan tujuan organiser di komunitas. Menggunakan orang seperti
itu untuk melakukan investigasi dan integrasi adalah boleh-boleh saja.
Namun pada saat tertentu orang seperti ini harus lekas-lekas untuk tidak
dilibatkan dalam perjuangan, sebab akan melakukan cara-cara yang ia
pahami, dan bukan melakukan aksi-aksi yang bersifat kolektif.

Seorang buruh yang telah mendapatkan pendidikan dan dampingan dari


organiser dapat saja berubah menjadi orang yang menonjol di komunitas
buruh. Dari yang sebelumnya lebih banyak mendengar kemudian banyak
cakap. Dari yang sebelumnya hanya bersentuhan dengan orang-orang di
komunitas kemudian menjadi luas ke orang-orang lain di komunitas. Dari
yang sebelumnya menjadi bahan lecehan berubah menjadi orang yang
disegani karena punya pengetahuan lebih. Untuk buruh seperti itu, organiser
harus dengan cepat menilai dan melakukan sesuatu. Caranya, organiser
harus men-cek atau menguji keberanian dan radikalnya buruh tersebut.
Organiser harus memeriksa tahapan pengkaderan yang telah dilakukan, dan
melihat pada tahapan atau sisi mana yang salah.

Hal itu pernah juga terjadi di industri. Pendidikan pengakaderan dengan


materi ideologi, filsafat dan teori gerakan malah membuat seorang buruh
atau kader sekedar menjadikan pemahaman tersebut sebagai pengetahuan.

37
Pengetahuan dan pemahaman tersebut tidak diikuti dengan kesadaran yang
sebenarnya paling penting untuk dimiliki seorang buruh. Materi-materi
ideologi ternyata menjadikan kader besar kepala dan menjadikan
pengetahuannya sebagai retorika tanpa aksi. Inilah yang harus diantisipasi
oleh sekedar organiser, dan jika ditemui orang seperti ini, maka organiser
harus cepat memperbaikinya.

Sama juga hal nya dengan buruh yang sebelumnya memang sudah
memiliki keberanian melawan perusahaan. Sejarah membuktikan, orang-
orang yang pernah melakukan perlawanan secara pribadi cukup besar di
perkebunan. Ada yang pernah menggorok leher asisten, mandor dan
centeng. Ada yang berani cuti tanpa permisi, ada yang duduk-duduk saja
saat jam kerja, ada yang mencampur susu karet dengan air, bahkan ada yang
berani memukul aparat keamanan. Buruh yang melihat keberanian seperti
itu pasti akan segan terhadap orang tersebut. Namun bagi organiser,
keberanian seperti itu harus dinilai dari sisi manfaatnya terhadap perjuangan
kolektif. Jika seseorang berani karena sekedar perutnya terancam, atau
rejekinya diganggu oleh orang lain, maka kemungkinan ia melawan sangat
besar.

Gerakan yang dibangun organiser terhadap buruh adalah gerakan


kolektif, untuk kepentingan kolektif dengan cara-cara perjuangan massa
untuk membongkar dan merubah penindasan yang dibangun oleh struktur
kekuasaan. Untuk itu, perlawanan, keberanian, militansi individual tidak
akan bermanfaat besar bagi perjuangan karena tidak didasari oleh
kepentingan kolektif.

Satu sisi, keberanian seperti itu dinilai berhasil, mengingat sebahagian


besar buruh memang takut
Strategi tersebut akan berbeda jika pengorganisasian dilakukan pada
basis buruh yang telah memiliki serikat buruh. Ada beberapa persoalan yang
muncul jika pengorganisasian berhubungan dengan organisasi buruh.
Apalagi jika sebuah serikat tersebut telah ditemui banyak persoalan. Salah
satunya jalan yang bisa ditempuh tentunya adalah dengan melakukan
pemecahan organisasi sehingga diperoleh kader, pemimpin maupun
organisasi yang lebih murni. Namun strategi seperti ini tentunya akan
menimbulkan konfrontasi yang semakin tajam antara organiser dengan
pemimpin serikat.

Seorang organiser saat berbicara dengan orang lain juga harus


menggunakan teknik yang kritis. Sering sekali buruh bertanya kepada

38
organiser tentang beberapa hal yang ingin dan tidak ingin dilakukannya.
Buruh juga sering bertanya tentang suatu hal yang tidak diketahuinya.
Namun organiser dapat mengkritisi pertanyaan tersebut dan mencari tahu
akar pertanyaan tersebut. Misalnya ketika seorang buruh bertanya tentang
rencana mengikuti aksi dalam rangka ”May Day”. Seorang organiser dapat
mengkritisi pertanyaan tersebut dengan cara menggali pemahaman buruh
tersebut tentang May Day. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui
bagaimana sebenarnya pengetahuan buruh terhadap apa yang ingin
diketahuinya. Yang dapat diambil pelajaran dari hal ini adalah, buruh harus
mengerti secara mendalam apa yang sedang dan akan dilakukannya. Hal itu
akan membangun pemahaman kepada buruh bahwasannya untuk
melakukan sesuatu ia harus mengerti makna yang sebenarnya.

Dapat saja seorang organiser menilai sudah ada kemajuan dalam


melakukan pengorganisasian ketika seorang buruh ataupun kader mulai
mempertanyakan sesuatu. Namun jika dinilai lebih dalam, buruh tersebut
sebenarnya kurang mengerti makna dan arti mendalam dari sesuatu. Untuk
itu, seorang organiser dapat menggali hal-hal yang dilakukan oleh buruh
sehingga buruh tersebut sadar dan paham apa yang dilakukan ataupun tidak
dilakukannya.

Salah satu tujuan integrasi adalah bagaimana seorang organiser dapat


diterima dengan baik di dalam sebuah komunitas. Tujuan integrasi seorang
organiser tidak harus muluk-muluk, misalnya sambil melakukan investigasi,
dan segala macamnya. Jika seorang organiser bisa diterima saja dengan baik
dalam komunitas, maka ia sudah terintegrasi. Pelan-pelan seorang organiser
secara pribadi bisa diterima terlebih dahulu sebelum melakukan kerja-kerja
pengorganisasian lainnya. Hal inilah yang menjadi titik lemah dari riset-riset
yang dilakukan oleh perguruan tinggi yang terlalu menekankan
pengumpulan data tanpa terlebih dahulu diterima oleh komunitas tertentu.

Namun untuk bisa diterima dalam komunitas tertentu, seorang organiser


tidaklah harus meng ”iya” kan apapun yang diinginkan, diminta ataupun
yang menjadi kebutuhan dampingan. Salah satu cara yang bisa dilakukan
adalah membicarakan persoalan-persoalan yang paling dekat dengan
kehidupan sehari-hari buruh. Namun perbincangan tidak boleh terpaku
dengan topik awal pembicaraan, namun kemudian harus dikaitkan dengan
topik-topik lain yang lebih mendasar lagi.

Dalam memilih seorang kontak juga seorang organiser harus punya


beberapa pertimbangan. Dalam masyarakat, kita temui banyak tipe individu,

39
mulai dari yang sangat pasif, paling dibenci, yang dikenal ataupun yang
sama sekali tidak dikenal. Ada yang selalu curiga dengan orang lain, dan ada
juga yang terbuka. Pemilihan kontak oleh seorang organiser tentu harus
menggunakan kriteria. Kriteria tersebut antara lain menyangkut pengenalan
seorang kontak terhadap orang lain yang ada di lingkungannya, ataupun
bagaimana kontak tersebut dikenal di lingkungannya.

Memberi penyadaran kepada dampingan tentunya memiliki dampak


terjadinya perubahan. Perubahan tersebut pertama kali dapat dilihat dari
ketergangguan yang dialami oleh seseorang. Ketergangguan tersebut
tersebut dapat berbentuk; tersinggung, sakit hati, menolak, gelisah, benci,
diam, dan sebagainya. Seorang organiser harus menilai reaksi tersebut sebagai
sebuah keberhasilan. Bahkan jika yang muncul adalah sekedar harmony,
sebenarnya niat merubah watak mengalami kegagalan. Persoalannya, apakah
kemudian seorang organiser melanjutkan reaksi tersebut.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memberi penjelasan lebih
lanjut tentang apa yang menjadi kegelisahan, penolakan, atau sakit hatinya
orang-orang di komunitas. Sebagai contoh, pendidikan atau diskusi tentang
Gender merupakan tema yang cukup sensitif di kalangan buruh. Budaya
yang terbentuk di masyarakat, pekerjaan-pekerjaan domestik adalah
dominasi perempuan, sedangkan laki-laki mendominasi aktivitas di ruang
publik. Memberi pemahaman tentang apa yang menjadi kodrat perempuan
dan yang dikonstruksikan secara sosial telah memporakporandakan sistem
sosial, khususnya relasi antara perempuan dan laki-laki. Banyak kasus
memperlihatkan, masyarakat, baik itu laki-laki ataupun perempuan sendiri
merasa terganggu dengan pemahaman baru tersebut. Khususnya laki-laki
adalah yang paling tidak siap dengan penjungkirbalikan nilai dasar relasi
perempuan dan laki-laki, sehingga penolakan menjadi konsekuensinya.

Cara membangun kegelisahan tersebut tentunya tidak harus dengan kata-


kata semata. Seorang organiser dapat secara langsung melakukan tindakan-
tindakan yang dianggap berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
masyarakat. Dalam hal membangun kesadaran gender, salah satunya
seorang organiser laki-laki dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang selama
ini menjadi dominasi perempuan, seperti mengangkat air, memasak,
membuat teh, kopi atau hidangan lainnya. Tindakan seperti ini tentunya
pertama kali akan diprotes oleh masyarakat ataupun seorang kontak. Ketika
masyarakat atau seorang kontak melihat tindakan yang berbeda dilakukan
oleh seorang organiser, maka ia bisa saja akan tersinggung atau mengkritik.
Namun setidaknya masyarakat atau seorang kontak akan mulai berfikir

40
mengenai tindakan yang berbeda tersebut. Apa yang dilakukan oleh organiser
tersebut secara sederhana merupakan tindakan memberi contoh tentang
sesuatu yang dianggap tabu, tidak lazim ataupun bukan menjadi kebiasaan
masyarakat. Setelah masyarakat, kelompok ataupun kontak merasa
terganggu dengan tindakan organiser, maka jangan sampai ketergangguan
tersebut terlewatkan. Jadikan apa yang dianggap kontak sebagai persoalan
tersebut dibicarakan. Kondisi tersebut menjadi momentum penting yang
dapat digunakan organiser untuk membongkar nilai-nilai ataupun struktur
sosial budaya yang menindas masyarakat.

Kegelisahan dan penolakan tersebut hanya dapat berkembang menjadi


lebih konstruktif jika organiser mampu memberi penjelasan lebih lanjut di
komunitas yang terganggu tersebut. organiser tidak boleh membiarkan
kegelisahan dan penolakan tersebut, apalagi kemudian lari dari polemik
yang sudah dimunculkannya. Ataupun, seorang organiser tidak bisa langsung
mengalihkan tema yang sudah menjadi isu tersebut ke tema lain yang tidak
mengganggu kemapanan masyarakat. Malah seorang organiser harus tetap
mengembangkan isu tersebut, membuat masyarakat semakin terganggu dan
berniat merubah nilai ataupun sistem yang menindas mereka.

Namun organiser hanya bisa berkomunikasi dan memberi pemahaman


secara lebih tegas dan lugas jika telah ada kepercayaan dan penerimaan dari
masyarakat terhadap keberadaan seorang organiser. Membangun
kepercayaan dan keyakinan dari masyarakat tersebutlah yang cenderung
harus diatasi terlebih dahulu. Saling percaya antara organiser dengan orang-
orang dalam satu komunitas tersebut merupakan kunci masuk awal
pengorganisasian. Cara membangun kepercayaan tersebut bermacam-
macam, salah satunya adalah membangun komunikasi yang intens melalui
pertemuan-pertemuan komunitas.

Ketika kegiatan menempel, membangun kepercayaan dan secara perlahan


mengganggu pemikiran komunitas sudah berjalan, maka kerja-kerja organiser
selanjutnya cenderung lebih mudah untuk dilakukan. Bahkan, jika hal-hal ini
tuntas dilakukan oleh seorang organiser, maka percepatan pengorganisasian
dapat terlaksana.

Satu sisi, pendekatan yang dimulai dengan pengenalan komunitas,


membangun kepercayaan, mengganggu nilai dan sistem sosial budaya
terkesan lebih lambat. Dari kondisi ini seorang organiser tidak harus takut
bahwasannya pengorganisasian akan berjalan tidak sesuai dengan target-
target waktu. Namun di sisi lain, ketika seorang organiser sudah dengan tepat

41
memilih kontak, maka percepatan kerja pengorganisasian akan terjadi. Jika
seorang organiser memilih orang yang punya akses komunikasi ataupun
interaksi yang intens dengan orang-orang lain yang ada di lama komunitas,
maka dapat dibayangkan terjadinya penyebaran pemikiran yang sebelumnya
disampaikan organiser kepada seorang kontak ataupun kader.

Dalam konteks buruh perkebunan, maka seorang organiser harus memilih


orang dikenal secara baik di dalam komunitas buruh perkebunan. Nantinya
ia akan ngobrol dengan mandor, buruh yang bekerja di bidang lain, ataupun
sampai ke tingkat pimpinan perusahaan yang lebih tinggi. Teknik ini
sebenarnya cukup efektif jika dijalankan oleh seorang organiser, karena bukan
hanya akan mengurangi beban kerja, namun juga mempercepat waktu,
karena kader atau kontak, maupun buruh lainnya akan terus-menerus
menyebarkan pemikiran-pemikiran yang mendukung perubahan.

Diskusi dan Aksi


Salah satu tugas paling penting yang harus dilakukan oleh seorang
organiser adalah melakukan diskusi dengan orang-orang di komunitas.
Diskusi biasanya dilaksanakan kepada buruh yang dinilai memiliki
kemampuan dan kelebihan dibandingkan dengan buruh lainnya. Dengan
diskusi akan banyak hal yang dapat diperoleh.

Pertama, melalui diskusi akan semakin terbangun kesalingpercayaan


antara buruh dengan organiser. Kedua, diskusi menjadi media menggali
berbagai informasi, baik itu tentang kondisi perusahaan, pelanggaran yang
terjadi di perusahaan, karakteristik masyarakat sampai pada sifa-sifat
individu peserta diskusi. Ketiga, diskusi menjadi media transfer pemahaman
dan pengetahuan yang efektif sehingga meningkatkan kapasitas seorang
buruh ataupun kader. Ke empat, melalui diskusi akan dibicarakan beberapa
rencana aksi dan strategi maupun taktik menghadapi masalah.

Namun sering sekali diskusi menjadi momok bagi buruh, karena diskusi
dianggap sebagai ancaman bagi perusahaan. Jika sudah dianggap sebagai
sebuah ancaman, maka akan cepat pula pengusaha menyusun strategi
menghadang dampak yang akan ditimbulkan dari proses diskusi tersebut.
Dengan kata lain, diskusi menjadikan proses pengorganisasian menjadi lebih
terbuka. Pengalaman di perkebunan sudah menunjukkan gejala seperti itu.
Ketika diskusi masih dilakukan secara pribadi-pribadi tidak ada ancaman
yang dirasakan oleh buruh. Ketika diskusi sudah melibatkan banyak orang,
maka mudah tercium oleh pengusaha. Akibatnya, pengusaha kemudian

42
menugaskan kepala desa, centeng, mandor, ataupun orang-orang pemuka di
lingkungan tersebut untuk mendatangi buruh yang ikut diskusi.

Lingkungan perkebunan biasanya sangat tertutup karena berbentuk


enclave dari lingkungan luar. Melakukan pengorganisasian secara terbuka
dengan mudah dapat tercium oleh pengusaha. Ketika buruh belum
melakukan diskusi-diskusi, maka perusahaan biasanya akan menganggap
buruh tidak memiliki kekuatan apapun, namun saat diketahui oleh
perusahaan, maka tekanan, intimidasi dan pengaruh pun akan muncul.
Untuk itulah seorang organiser harus benar-benar memahami ancaman (yang
tentunya diketahui melalu analisis sosial dan investigasi) dan diikuti dengan
penyusunan strategi dan taktik melakukan diskusi.

Mengembangkan serikat buruh secara terbuka tentu bermanfaat dalam


rangka formalitas keberadaan serikat, karena menyangkut syarat-syarat
formal untuk didaftarkan ke dinas tenaga kerja. Namun realitas saat ini
tidaklah memungkinkan untuk terus-menerus menggunakan strategi formal
tersebut, karena di beberapa industri perkotaan maupun perkebunan,
strategi formal malah dijadikan alat oleh perusahaan untuk menekan, dalam
bentuk PHK, mutasi, tidak naik golongan, dan sebagainya.

Untuk itulah serikat buruh perlu mengubah pandangan tentang sisi


legalitas. Selama ini buruh memahami legalitas dari sisi status formal serikat
agar dapat berhadapan secara formal dengan perusahaan dan pemerintah,
baik dalam melakukan perundingan menyelesaikan perselisihan, membuat
PKB dan sebagainya. Legalitas yang harus dipahami serikat adalah dari sisi
kekuatan massa. Dengan demikian, tanpa status formal pun sebenarnya
serikat bisa punya kekuatan legal untuk melawan dan menyampaikan
kebutuhannya.

Salah satu cara yang bisa digunakan adalah menggunakan strategi bawah
tanah dengan menghindari cara-cara formal yang terbuka. Ada beberapa
taktik yang bisa digunakan untuk menyembunyikan ataupun menutupi
aktivitas pengorganisasian dan pendidikan buruh, antara lain dengan
menggunakan media-media lokal, seperti perwiritan, tarik-tarikan, serikat
tolong menolong (STM), dan sebagainya. Cara-cara seperti itu cukup efektif
mengelabui perusahaan sehingga tekanan dan ancaman menjadi minim.

Bagi komunitas buruh, baik itu industri dan perkebunan, pendidikan-


pendidikan kelas sebenarnya cenderung kurang efektif dibandingkan media
diskusi-diskusi kelompok kecil. Melalui diskusi-diskusi kelompok kecillah

43
sebenarnya kualitas kader dan buruh dapat digenjot sehingga dapat
membangun kader dan buruh yang berfikir maju dan progresif. Bukan hanya
itu, melalui diskusi kelompok kecil, peningkatan kualitas lebih tampak
dibandingkan pendidikan yang melibatkan banyak orang.

Pada saat melakukan diskusi-diskusi kelompok kecil di komunitas,


organiser juga harus benar-benar mempersiapkan diri dengan hal-hal yang
akan didiskusikan. Memang ada baiknya seorang organiser menyusun materi
diskusi dengan bentuk tahapan-tahapan, mulai dari yang paling dasar
sampai menyentuh hal-hal pokok perjuangan. Namun cara seperti ini punya
kelemahan ketika tidak berhubungan dengan kepentingan komunitas.
Pengalaman menunjukkan, diskusi kelompok pernah kehabisan tema untuk
menjadi bahan diskusi kelompok. Padahal, sebenarnya tidaklah masuk akal
jika organiser kehabisan bahan untuk diskusi, mengingat ada begitu banyak
persoalan-persoalan yang ada di komunitas buruh, mulai dari persoalan
ekonomi, keluarga, lingkungan, pendidikan, maupun persoalan yang
diakibatkan relasi antara buruh dengan pengusaha.

Prinsip pertama yang harus dipegang seorang organiser adalah, bahan


diskusi melimpah di komunitas buruh, sehingga tidaklah mungkin diskusi
kelompok kehabisan tema. Dengan demikian seorang organiser harus secara
terus menerus menggali persoalan-persoalan yang ada di komunitas buruh
untuk dibicarakan di dalam kelompok kecil. Prinsip kedua, organiser tidak
boleh memilih-milih tema diskusi, karena seluruh persoalan yang terungkap
sesungguhnya merupakan realitas yang harus dipecahkan oleh komunitas.
Bagi organiser yang merasa berideologi hal ini sering terjadi. Ada tema yang
dianggap pokok, ada juga yang dianggap tidak pokok dan tidak
bersinggungan dengan perjuangan. Namun organiser benar-benar bisa
berdiri di sisi buruh, maka seluruh persoalan adalah nyata dan harus
dibicarakan. Namun mendiskusikan persoalan-persoalan yang terungkap
tersebut tidaklah dalam rangka semata-mata memecahkan persoalan semata,
namun juga dalam rangka melatih kekritisan dengan cara mengkaitkannya
dengan persoalan-persoalan pokok buruh.

Bicara masalah jalan rusak, kamar mandi umum yang jelek, listrik yang
terbatas, biaya sekolah anak yang terlalu tinggi, terikatnya buruh dengan
rentenir ataupun persoalan-persoalan mistis, dan sebagainya harus dikaitkan
dengan pokok persoalan ataupun konteks inti dari persoalan tersebut. Ketika
membicarakan tentang rentenir, maka organiser harus bisa membawa alur
pembicaraan ke arah penghisapan. Seorang organiser harus mampu
mengarahkan pembicaraan, bahwasannya persoalan terikatnya buruh

44
dengan rentenir bukan sekedar hubungan pinjam-meminjam antara buruh
dengan rentenir, bukan hanya tentang adanya pihak yang menghisap dan
yang lain dimanfaatkan, ataupun sekedar konflik hutang antara keduabelah
pihak.

Pada kasus seperti itu, seorang organiser harus bisa membawa kelompok
kecil untuk mengkaitkannya dengan kecilnya gaji di perusahaan. Seorang
buruh ataupun keluarga buruh yang berhutang pada rentenir tentunya
punya alasan kuat, antara lain kecilnya gaji dan besarnya kebutuhan buruh
dan keluarga buruh. Jelas menurut pandangan organiser ada kaitan antara
keberadaan rentenir dengan kecilnya upah ataupun penghisapan perusahaan
terhadap buruh. Pada saat diskusi inilah organiser memberi pemahaman,
tentunya dengan bahasa dan logika sederhana tentang kaitan antara
kebutuhan buruh – gaji kecil – penghisapan perusahaan – hutang – dan
rentenir. Jika ini bisa dilakukan oleh organiser maka akan muncul
pemahaman dan juga kesadaran dari kelompok tentang bagaimana persoalan
hutang dengan rentenir bisa terjadi.

Diskusi kelompok kecil juga bisa menjadi monoton jika tidak dilanjutkan
dengan aksi. Bagi buruh, apa yang dilakukan biasanya harus diwujudkan
dengan aksi. Pemikiran seperti ini tentu nyata sehingga harus
dipertimbangkan oleh organiser. Pada beberapa diskusi kelompok kecil yang
didampingi organiser sering sekali muncul pernyataan ketidakpuasan
kelompok. Dari diskusi ke diskusi tidak ada wujud nyata yang bisa dilihat
ataupun dilakukan oleh kelompok. Tentunya dari proses diskusi sudah
terjadi peningkatan pemahaman dan pengetahuan kelompok. Peningkatan
inilah yang harus segera diwujudkan dalam bentuk aksi, karena jika tidak
akan membawa dampak kejenuhan kader atau buruh.

Aksi yang menjadi tindak lanjut dari diskusi kelompok tidaklah dalam
bentuk yang besar, seperti pengerahan massa, negosiasi ataupun
perundingan dengan pengusaha. Ada banyak aksi yang dapat dilakukan jika
sebelumnya diskusi kelompok membicaraka persoalan-persoalan keseharian
buruh. Persoalan-persoalan tersebutlah yang kemudian harus dicarikan
pemecahannya. Namun organiser juga harus hati-hati dalam memilih
persoalan yang harus diselesaikan. Organiser bersama kelompok harus
menyepakati sebuah persoalan yang memiliki tingkat kesulitan atau kendala
paling kecil untuk diatasi. Jika persoalan yang akan diselesaikan terlalu
besar, maka kemungkinan gagal akan semakin besar. Ketika terjadi
kegagalan, maka kemungkinan besar akan berdampak pada kelompok.

45
Diskusi juga menuntut kejelian dari seorang organiser. Sering sekali
permasalahan yang dihadapi oleh organiser, baik itu masalah internal
kelompok atau keorganisasian serikat buruh dianalisis secara sangat
subyektif dan normatif. Sebagai contoh, sebuah serikat di tingkat basis
merasa hidup lagi akibat pengurus yang sudah tidak aktif. Beberapa kali
pertemuan dan diskusi kelompok di tingkat basis tidak lagi diikuti. Menurut
anggota, tidak aktifnya pengurus diakibatkan rasa sakit hati terhadap
pengurus atau anggota serikat yang terlalu maju dan menonjol. Beberapa
kasus yang dihadapi buruh tidak disampaikan ke pengurus, namun kepada
seorang anggota yang memiliki kemampuan dan kedekatan dengan asisten
kepala (askep) dan manajer.

Pengurus merasa ditinggalkan sehingga tidak mau lagi mengikuti


kegiatan-kegiatan organisasi. Akhirnya pasif nya pengurus tersebut
berdampak kepada anggota lainnya, rata-rata menjadi kurang aktif
mengikuti diskusi-diskusi kelompok. Jika ini yang menjadi landasan berfikir
untuk mengaktifkan kembali organisasi maka nantinya akan membuat
persoalan berulang kembali. Beberapa anggota kemudian berinisiatif
mengaktifkan organisasi dengan cara membuat pergantian pengurus.
Padahal, pemahaman dan kesadaran rata-rata anggota belum sesuai dengan
prinsip serikat yang sejati. Sebahagian besar anggota masih menggunakan
pola patronase dalam kegiatan organisasi. Mereka sangat berharap pengurus
atau ketua selalu hadir dalam setiap kegiatan, tanpa mereka sadari
sebenarnya pengurus juga adalah anggota serikat jika tidak dalam posisi
forum-forum resmi organisasi.

Dalam diskusi-diskusi kelompok, persoalan-persoalan seperti inilah yang


harus dibicarakan. Namun pembicaraan tidak dapat mentah-mentah
menerima pertimbangan anggota yang berinisiatif untuk melakukan
pergantian pengurus. Disinilah tugas organiser, yakni menggunakan
kejeliannya melihat persoalan dan menggunakan prinsip-prinsip organisasi
rakyat yang tidak terlalu bergantung pada sosok ketua atau pengurus serikat.
Jika keinginan anggota dituruti, maka persoalan yang sama akan berulang
kembali. Organiser harus memberikan pemahaman kepada anggota yang
berinisiatif tersebut tentang pentingnya kesadaran dan pengetahuan dari
pengurus tentang eksistensi pengurus dan fungsi anggota. Menggantungkan
kegiatan organisasi pada ketua atau pengurus telah menyalahi prinsip
organisasi serikat buruh yang berbasis massa. Harus ada langkah-langkah
memutuskan ketergantungan yang sangat besar terhadap ketua atau
pengurus, ataupun memangkas pemahaman patronase dari anggota.

46
Diskusi seperti ini jelas sangat berguna bagi sebuah kelompok organisasi.
Namun hal itu tidak akan ada gunanya jika tidak dilanjutkan dengan
kegiatan-kegiatan, dalam kasus ini harus ada kegiatan penyadaran anggota,
yang dilakukan oleh pengurus yang masih aktif ataupun anggota-anggota
yang memiliki pemikiran maju untuk mengaktifkan kembali organisasi.

Aksi yang dipilih adalah yang paling kecil kemungkinannya mengalami


kegagalan. Namun aksi juga dapat berbentuk latihan-latihan kepada
kelompok. Hal inilah yang sering kali dilupakan oleh organiser. Sekecil
apapun aksi, sebenarnya dapat menjadi media latihan untuk meningkatkan
kekritisan, membangun kemarahan, keberanian dan percaya diri dari
kelompok. Namun aksi-aksi latihan tersebut tidak selalu berhubungan
dengan relasi buruh dengan pengusaha. Di komunitas buruh terdapat
berbagai komponen masyarakat, seperti mandor, centeng, asisten, satpam
atau hansip, kepala desa, polisi, tentara, dan sebagainya. Aktor-aktor tersebut
sering sekali menjadi musuh buruh karena kerap digunakan menjadi
perpanjangan tangan pengusaha menekan buruh.

Untuk membangun rasa percaya diri, seorang organiser dapat


menugaskan buruh untuk menyebarkan pemahaman yang ia sudah peroleh
kepada buruh lain. Untuk membangun keberanian dan kemampuan
berdebat, organiser menugaskan kader buruh mendatangi kantor polisi
ataupun melanggar aturan lalu lintas. Untuk melatih keyakinan, organiser
dapat memberi penugasan kepada buruh untuk mengunjungi dan investigasi
ke rumah mandor atau asisten. Bentuk-bentuk penugasan seperti itu
sepertinya sangat kecil dan sepele. Namun secara psikologis jelas ini punya
pengaruh kepada seorang buruh. Ketika seorang buruh dengan sengaja
melanggar lalu lintas, maka ia dipaksa untuk mendebat polisi, sehingga
keberaniannya pada polisi akan semakin besar, demikian juga ketika buruh
melakukan investigasi ke rumah asisten atau mandor. Investigasi ke rumah
asisten atau mandor tersebut dapat menjadi media pelatihan mengurangi
rasa takutnya kepada asisten atau mandor.

Menghadapi Ancaman
Kerja-kerja pengorganisasian juga sering sekali diperhadapkan dengan
situasi-situasi sulit dan komponen-komponen masyarakat yang selama ini
dikenal menentang perubahan dalam masyarakat. Salah satu komponen
yang dianggap paling menakutkan sekaligus menjadi musuh adalah preman
atau organisasi kepemudaan. Di kawasan industri komponen masyarakat ini

47
punya kekuasaan yang sangat kuat karena digunakan oleh modal dan
pemerintah sebagai instrumen kekuasaan selain polisi dan militer.

Kerja pengorganisasian selama ini cenderung menghindar dari preman


dan organisasi kepemudaan tersebut. Strategi menghindar sebenarnya
tidaklah tepat bagi seorang organiser. Organiser seharusnya juga melakukan
pendekatan kepada orang-orang yang selama ini ditakuti oleh buruh dan
masyarakat secara umum. Justru kekuasaan dan kekuatan preman malah
dapat digunakan untuk mendukung perubahan, sehingga organiser juga
harus melakukan pendekatan kepada mereka.

Yang menjadi kendala bagi seorang organiser adalah bagaimana


melakukan pendekatan terhadap orang-orang yang dianggap momok atau
ditakuti di masyarakat tersebut. Pengalaman menunjukkan, jika ingin
melakukan pendekatan kepada preman, yang pertama dilakukan adalah
melakukan kunjungan ke sarang musuh, ke titik-titik dimana mereka
berkumpul, seperti kedai kopi, kedai makan, persimpangan, ataupun pos-pos
yang dijadikan pusat aktivitas. Kedua, seorang organiser mencoba mendengar
apa yang dibicarakan tanpa menunjukkan reaksi apapun. Ketika, seorang
organisasi harus benar-benar pasif ataupun menunjukkan kesan bodoh, tidak
mengerti dan tidak layak diperhitungkan, dengan demikian seorang organiser
menunjukkan kesan bahwa ia bukanlah orang yang pantas dijadikan musuh,
saingan, ataupun yang punya kepentingan di komunitas tersebut.

Setelah tahapan-tahapan di atas dilakukan oleh seorang organiser, maka


kemudian mulailah berkomunikasi secara lebih intensif. Pada awalnya
bicarakan hal-hal yang terkait dengan kekuatan/kekuasaan yang mereka
mulai. Pembicaraan ini bertujuan untuk mengukur kekuatan yang mereka
miliki. Ketika bicara tentang kekuatan mereka, seorang organiser harus
memperlihatkan ekspresi yakin bahkan takut dengan apa yang diceritakan.
Dari seluruh cerita yang disampaikan oleh preman tersebut, maka seorang
organiser harus dengan cermat dan jeli mendengarkan kata demi kata yang
diucapkan. Pada suatu saat pasti mereka akan mengungkapkan sesuatu tema
yang dapat digunakan oleh organiser untuk memulai pembicaraan yang lebih
aktif lagi. Tema tersebut bukan hanya menarik namun juga dapat dijadikan
jalan masuk organiser untuk mulai menundukkan mereka.

Tema yang dipilih oleh tentunya bukan sembarang tema. Organiser harus
melihat tema-tema yang dapat dikaitkan dengan persoalan-persoalan
struktural dan menjadi titik kelemahan mereka. Organiser kemudian mulai
bercerita tentang hal yang sama, atau kejadian di tempat lain. Cerita tersebut

48
sifatnya dapat membandingkan antara kekuatan yang dimiliki preman
tersebut dengan kekuatan preman di tempat lain. Cerita itu bertujuan
bagaimana kekuatan atau kekuasan yang sama juga terjadi di tempat lain.
Namun kalau bisa cerita tersebut lebih dramatis dan lebih hebat sehingga
preman tersebut mulai ”ciut” dengan kekuatannya.

Setelah komunikasi seperti itu berlangsung, maka sebenrnya sudah


tercipta ruang yang lebih lebar bagi seorang organiser untuk memasuki
wilayah psikologis dan kelompok preman tersebut. Pada pertemuan-
pertemuan selanjutnya seorang organiser mulai menunjukkan apa yang
dimiliki oleh organiser. Tentunya apa yang akan ditunjukkan tersebut harus
ada kaitannya dengan apa yang paling diandalkan oleh preman. Namun
yang harus dijadikan pegangan oleh seorang organiser adalah, jangan sekali-
kali melakukan tekanan terhadap mereka secara langsung. Jika mereka sudah
pada posisi melemah, seorang organiser tidak boleh memperlemah atau
menyudutkan posisi mereka, karena nantinya akan memunculkan resistensi
atau perlawanan yang lebih besar lagi. Dengan kata lain, seorang organiser
harus tetap menghormati mereka.

Demikian juga dalam melakukan perlawanan dengan pihak polisi atau


militer. Dalam kerja pengorganisasian organiser selalu akan berhadapan
dengan pihak kamanan atau militer. Namun sama dengan sikap terhadap
preman, polisi dan militer juga harus dihadapi. Yang harus dilakukan adalah
melakukan latihan kepada buruh, terutama kepada kader-kader. Latihan
tersebut salah satunya adalah dalam bentuk melakukan kunjungan ke
markas-markas polisi atau militer. Pada saat berkunjung tersebut seorang
buruh atau kader ditugaskan bertanya tentang fungsi dan peran polisi atau
tentara dalam kasus-kasus perburuhan. Apa yang ditanyakan oleh seorang
kader buruh tersebut harus benar-benar didapatkan.

Latihan kedua adalah dengan melakukan tindakan-tindakan yang


melawan atau melanggar hukum. Namun tindakan tersebut haruslah yang
memiliki resiko kecil, seperti melanggar aturan lalu lintas dan sebagainya.
Diupayakan seorang kader ketika melanggar peraturan tersebut harus
membuat keributan atau yang bisa memancing reaksi atau perhatian banyak
orang. Salah satunya adalah dengan sengaja tidak memakai helm pada saat
rajia polisi. Ketika di hentikan oleh polisi, kader harus mendebat apa yang
dipersalahkan oleh polisi. Perdebatan tersebut harus mendapat perhatian
banyak orang. Apapun dampak dari tindakan melawan hukum tersebut,
yang paling penting adalah bagaimana kader bisa melakukan perdebatan
yang bisa memancing perhatian banyak orang.

49
Latihan-latihan tersebut adalah salah satu bentuk strategi agar buruh atau
kader yakin untuk bisa melakukan perlawanan kepada polisi atau aparat
keamanan. Latihan seperti ini adalah salah satu cara organiser untuk mencari
solusi atas ketakutan buruh kepada polisi atau militer. Demikian juga dengan
ketakutan terhadap pemerintah, atau kekuatan-kekuatan sosial politik yang
selama ini mengambil bagian dalam penindasan buruh. Namun yang harus
dikuatkan sebelum latihan ini adalah bagaimana kader atau buruh memiliki
kemampuan berargumentasi secara cerdas. Namun harus diwaspadai jangan
sampai tindakan-tindakan latihan melawan hukum tersebut tidak terjadi
secara terus menerus dan malah merugikan buruh. Tindakan latihan
melawan hukum tersebut dibuat tetap dalam rangka membangun keberanian
buruh membongkar dan melawan penindasan dan tekanan yang selama ini
terjadi pada buruh. Perlawanan-perlawanan yang tidak berhubungan secara
langsung dengan konteks perubahan harus diminimalkan sehingga fokus
tindakan buruh adalah bagaimana membangun pertentangan terhadap
komponen-komponen penindas.

Kesabaran dalam Pengorganisasian


Seorang organiser juga harus memiliki kesabaran dalam mengorganisir.
Ketiadaan kesabaran dan ingin melihat perkembangan perubahan cepat
sering sekali menjadi persoalan bagi seorang organiser. Padahal, besar
kemungkinan kerja-kerja mengorganisir mengalami kegagalan. Kegagalan
tersebut dapat saja disebabkan oleh kesalahan memilih kontak, pengaruh
yang lebih besar dari faktor lingkungan, ataupun adanya tekanan yang
membuat komunitas dampingan sulit mengalami perubahan. Seorang
organiser harus memahami bahwa kerja-kerja pengorganisasian bukanlah
tugas-tugas instan yang secara langsung dapat dilihat. Dapat saja kerja-kerja
organiser dalam beberapa waktu yang singkat berhasil membentuk beberapa
kelompok dalam komunitas tersebut. Namun jika kelompok yang telah
dibentuk masih rentan terhadap perpecahan dan tidak bukan merupakan
kumpulan orang-orang yang sadar, maka sebenarnya kerja-kerja
pengorganisasian telah gagal. Kerja-kerja pengorganisasian akan cepat
hancur seiring dengan waktu, apalagi kemudian tidak ada proses penguatan
secara terus-menerus terhadap kelompok-kelompok tersebut.

Kesabaran seorang organiser juga harus dibarengi dengan merekam proses


secara terus menerus tentang perkembangan ataupun perubahan kualitas
dari kontak ataupun komunitas setempat. Pada awalnya, sering sekali
seorang organiser melakukan pencatatan terhadap kerja-kerja yang
dilakukannya. Pada setiap pertemuan, perjalanan, investigasi, diskusi dan

50
sebagainya, seorang organiser masih aktif melakukan pencatatan. Namun
beberapa waktu kemudian sering organiser tidak melakukannya lagi. Salah
satu penyebabnya adalah, organiser merasa sudah tidak merasa penting lagi
terhadap informasi dan data yang ia dapat. Di lapangan, sering sekali
informasi yang diperoleh berulang-ulang, sehingga organiser merasa jenuh
dengan informasi yang dicatatnya.

Perubahan sikap,
pandangan, tindakan,
pemikiran, dll, tentang
GRAFIK KEMAJUAN/PERUBAHAN A, B dan C. Penguatan
kembali tentang A, B,
Pertemuan IV C dan D, dan
penambahan materi E

Pertemuan III Perubahan sikap, pandangan, tindakan,


pemikiran, dll, tentang A, B dan C. Penguatan
kembali tentang A, B, C dan penambahan D

Pertemuan II Perubahan sikap, pandangan, tindakan, pemikiran, dll,


tentang A, B dan C. Penguatan kembali tentang A, dan B
dengan penambahan materi C

Pertemuan I Materi Perbincangan: A dan B

51
Grafik di atas menunjukkan bagaimana dalam setiap pertemuan ataupun
kunjungan di komunitas dan kontak harus selalu ada kemajuan atau perubahan.
Pertama kali seorang organiser berkomunikasi tentang beberapa topik. Pada
pertemuan selanjutnya seorang organiser harus melihat perubahan sebagai akibat
perbincangan pada pertemuan I. Demikian juga dengan pertemuan atau
perbincangan selanjutnya. Setiap pertemuan seorang organiser mencatat
kemajuan-kemajuan dan perubahan-perubahan sikap, apa yang keluar dari
pikiran kontak, komunitas ataupun tindakan-tindakan yang sudah
dilakukannya. Selain itu organiser dapat mengamati perubahan tersebut jika
tidak bisa diukur sekedar melalui perbincangan. Proses seperti ini tentunya tidak
akan dapat dinilai jika tidak ada pencatatan yang baik. Untuk itu, pencatatan
yang ditail atau rinci harus tetap dilakukan. Tanpa itu, seorang organiser tidak
akan bisa melihat perubahan sikap, pemikiran, tindakan dari kontak atau sebuah
komunitas.

Setiap perubahan atau perkembangan yang telah dicatat oleh organiser


tersebutlah kemudian yang akan menjadi bahan untuk meningkatkan
perbincangan lainnya. Tentunya perbincangan organiser dengan kontak yang
dimulai dari materi yang paling ringan kemudian mulai beranjak ke materi yang
lebih berat dan fokus ke persoalan pokok yang dihadapi kontak atau komunitas.
Materi yang paling ringan dapat saja diambil dari hal-hal yang dialami oleh
buruh sehari-hari, permasalahan keluarga ataupun yang bersumber dari
lingkungan. Hal yang pertama kali dibicarakan adalah permasalahan-
permasalahan kecil yang dihadapi masyarakat, misalnya masalah kerusakan
jalan, KTP, banjir, sekolah anak, dan sebagainya. Perbincangan tentang
kehidupan sehari-hari menjadi pintu masuk ke permasalahan yang terkait
dengan hal-hal pokok yang dihadapi oleh masyarakat.

Kerja-kerja pengorganisasian prinsipnya adalah menyelesaikan persoalan-


persoalan masyarakat dengan kekuatan masyarakat itu sendiri. Seorang organiser
adalah membuka hal-hal yang selama ini tidak dianggap permasalahan. Peran
yang dijalankan oleh organiser tersebut tidak sama dengan tugas-tugas provokasi
semata, karena ada tanggungjawab yang besar dari seorang organiser untuk
menguatkan masyarakat secara terus menerus membuka dan menuntaskan hal-
hal yang menindas.

Dari Kebiasaan Sampai yang Paling Pokok


Sebagai strategi awal, seorang organiser dapat saja menggunakan issu-issu
keseharian buruh sebagai jalan masuk dan dalam rangka membangun
kepercayaan dengan komunitas. Namun fokus kerja organiser adalah tetap
membuka persoalan pokok yang dihadapi oleh masyarakat, yang sudah

52
terpendam dan telah menjadi keyakinan bagi masyarakat, baik itu dalam bentuk
doktrin, kepercayaan, agama maupun dogma-dogma kepercayaan.

Doktrin, nilai, hegemoni, keyakinan,


kepercayaan, budaya, dogma, doktrin,
dll

Peraturan dan perundangan,


hukum, dll

Kebiasaan, cara, perilaku, kesalahan,


ketiadaan, teknik, dll

Seorang organiser dapat saja terjebak dengan kasus-kasus normatif yang


dihadapi oleh buruh, antara lain tentang upah, jaminan sosial, kesehatan dan
keselamatan kerja ataupun hak-hak berserikat. Salah satu dasar analisis yang
digunakan oleh seorang organiser adalah peraturan dan perundangan yang
mengatur hak-hak normatif dan hak pekerja lainnya. Pada pendekatan ini,
seorang organiser berusaha membandingkan peraturan dan perundangan
ketenagakerjaan berdasarkan realitas yang terjadi di lapangan. Menggunakan
isu-isu hak normatif buruh memang satu tahapan yang lebih maju bagi seorang
organiser setelah ia mampu memberi penyadaran tentang kehidupan sehari-hari
komunitas buruh. Walaupun bukan merupakan tahapan dengan batasan yang
tegas, namun dalam proses diskusi, perbincangan, maupun memberi contoh
dalam sebuah komunitas, isu-isu yang paling terkait dengan kehidupan sehari-
hari merupakan pintu masuk ke perbincangan tentang hak-hak ketenagakerjaan
seperti yang telah tercantum dalam peraturan dan perundangan
ketenagakerjaan. Kemudian, pengembangan isu dan pembangunan kesadaran
akan hak-hak buruh juga sebenarnya merupakan pintu masuk perubahan nilai-
nilai, dogma, doktrin dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah membatu atau
”kasep” di komunitas buruh.

Satu hal yang harus dipahami oleh seorang organiser adalah, bahwasannya
tidaklah tepat jika seorang organiser hanya terpaku pada persoalan-persoalan
normatif yang dihadapi dan menjadi masalah oleh buruh. Kebiasaan seperti ini
sering dilakukan oleh organiser dikarenakan komunitas buruh selalu
menginginkan persoalan-persoalan normatif untuk diselesaikan secara cepat.

53
Ataupun juga, seorang organiser dapat saja menggunakan isu-isu normatif agar
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Pendekatan seorang organiser yang menyesuaikan diri dengan kebutuhan


buruh yang pada umumnya terkait dengan persoalan normatif tersebut tentu
dapat dipahami sepanjang sebagai jalan masuk ke persoalan-persoalan yang
lebih pokok. Namun sebelumnya, untuk menciptakan kepercayaan dan
keyakinan dari masyarakat, seorang organiser tidak secara langsung
mendiskusikan persoalan-persoalan normatif. Diskusi dan perbincangan isu-isu
normatif di satu sisi ternyata sering sekali dapat menjebak organiser seakan-akan
menjadi agen penyelesaian kasus normatif. Apalagi jika dalam komunitas buruh
sendiri persoalan-persoalan normatif selalu menempati urutan pertama
persoalan yang dihadapi. Kedua, persoalan-persoalan normatif tidak
mendewasakan komunitas buruh disebabkan adanya kondisi di lapangan,
bahwa masalah normatif adalah kebutuhan-kebutuhan jangka pendek yang
cepat memuaskan namun tidak bersifat jangka panjang.

Tujuan dari sebuah proses pengorganisasian pada prinsipnya adalah


melakukan perubahan kondisi masyarakat yang sebelumnya ditindas dan
diperlakukan tidak adil. Bentuk penindasan dan penghisapan tersebut ada
berbagai jenis, mulai dari yang paling vulgar atau terbuka sampai yang sangat
tertutup ataupun halus. Dua level penindasan seperti yang terlihat pada gambar
di atas adalah yang paling terbuka dan dapat dirasakan dengan cepat. Misalnya,
untuk melihat penyelewengan upah yang diberlakukan di sebuah perusahaan,
maka yang dilakukan hanyalah membandingkannya dengan peraturan tentang
pengupahan yang ditetapkan oleh pemerintah. Demikian juga dengan sistem
tindakan yang paling dasar, seperti kebiasaan dan cara. Untuk mengukur level
terendah dari tindakan ini hanyalah jenis, bentuk, teknik alternatif dari
kebiasaan dan cara hidup keseharian. Kebiasaan beraktivitas sepulang kerja,
kebiasaan untuk ngangin atau jalan-jalan, cara menyimpan uang dari hasil gaji
dan sebagainya merupakan bentuk-bentuk tindakan yang paling mudah untuk
dimasuki oleh seorang organiser. Namun ketika sudah meningkat pada persoalan
nilai, sikap, dogma agama atau kepercayaan, budaya dan sebagainya, maka akan
semakin sulit, dan inilah yang menjadi target utama yang harus dirubah oleh
seorang organiser.

Jelas sekali bahwa seorang organiser tidak akan memfokuskan diri pada
persoalan-persoalan normatif, seperti upah, jaminan sosial dan sebagainya.
Walaupun hal-hal normatif menjadi tuntutan utama dari buruh, namun
persoalan tersebut tidak harus dijawab ataupun menjadi tanggungjawab utama
seorang organiser. Walaupun, pemahaman dan pengetahuan seorang organiser
tentang hal-hal normatif juga harus dimiliki. Menjadikan target utama
pengorganisasian pada pemberdayaan dan penyadaran nilai-nilai tidak dapat

54
dijadikan alasan atau pembenaran seorang organiser untuk tidak memahami
persoalan-persoalan normatif buruh.

Sering juga tuntutan dan harapan buruh kepada organiser tentang persoalan-
persoalan normatif tersebut dijadikan dasar penilaian terhadap organiser.
Seorang organiser yang dianggap kurang memahami dan tidak mampu
menjawab tuntutan dan kebutuhan normatif sering kali dianggap tidak memiliki
kapasitas sehingga kurang bisa diterima oleh buruh. Hal inilah yang kemudian
secara perlahan-lahan harus dirubah oleh seorang organiser. Bagaimana seorang
organiser memberi pemahaman kepada buruh, bahwasannya persoalan-
persoalan normatif bukanlah hal utama yang harus dirubah.

Agar tidak mendapat penolakan dari masyarakat atau buruh, maka


komunikasi di sekitar persoalan normatif tidak bisa dihindari sama sekali.
Dalam setiap perbincangan ataupun diskusi, persoalan-persoalan normatif pasti
akan muncul. Untuk mengantisipasi hal tersebut, seorang organiser harus
mempersiapkan diri dengan pengetahuan tentang hak-hak normatif. Untuk itu
organiser harus memahami peraturan-peraturan ketenagakerjaan ataupun
informasi-informasi yang terkait dengan persoalan normatif yang terjadi di
tempat lain. Namun perbincangan tentang hak-hak normatif tersebut sekedar
dijadikan tema atau topik masuk. Kemudian diskusi atau perbicangan tersebut
harus secara perlahan-lahan diarahkan ke target perubahan yang pokok, yakni
merubah sikap dan nilai yang menindas buruh.

Untuk bisa mengarahkan perbincangan dan diskusi ke arah permasalahan


pokok, maka daya analisis, improvisasi dan kecepatan berfikir seorang organiser
jelas menjadi kemampuan yang tidak bisa tidak dimiliki oleh seorang organiser.
Bagaimana seorang organiser ketika bicara upah tidak sekedar mengkaitkannya
dengan pasal demi pasal ketentuan peraturan yang mengatur masalah
pengupahan ataupun surat-surat keputusan tentang upah minimimum. Secara
cepat seorang organiser harus bisa berfikir dan menganalisis pertanyaan dan
keingintahuan buruh tentang upah tersebut menuju perbincangan yang lebih
substantif yakni tentang penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh
pengusaha terhadap buruh.

Perlahan-lahan, ketika diskusi atau perbincangan sudah mulai mengarah


pada persoalan-persoalan pokok perburuhan, maka kemudian seorang organiser
harus bisa menggali lebih dalam tentang pemahaman buruh tentang tema-tema
penindasan, penghisapan dan perubahan yang harus dilakukan terhadap
kondisi tersebut. Tentunya pembicaraan ke arah itu tidak dapat dilakukan
dengan cepat. Organiser juga harus melihat reaksi yang muncul pada saat
memasuki wilayah yang sensitif tersebut. Untuk melihat reaksi tersebut tidaklah
juga dapat dipahami secara kasat mata. Sering sekali organiser harus mundur

55
sebentar agar dapat mengevaluasi reaksi dari buruh untuk kemudian pada
waktunya akan membuka lagi diskusi atau komunikasi yang menyentuh
persoalan-persoalan pokok di masyarakat.

Kemampuan menganalisis, kecepatan berfikir dan berimprovisasi tersebut


jelas menjadi syarat penting seorang organiser. Bagaimana ia bisa mengkaitkan
antara anak buruh yang tidak sekolah, kualitas makanan yang dikonsumsi
buruh, beban kerja dan waktu kerja dan sebagainya dengan upah. Bagaimana
organiser menghubungkan antara upah yang kecil, status buruh kotrak, borongan
dan harian dengan penindasan dan perbudakan, ataupun bagaimana organiser
menganalisis kaitan antara perilaku sex buruh perkebunan dengan penindasan
budaya dan feodalisme dan sebagainya.

Kapasitas seperti itu hanya dapat dimiliki seorang organiser jika ia secara
langsung mengalami proses pengorganisasian di kalangan buruh. Benturan-
benturan yang dihadapi organiser ketika berhadapan dengan buruh akan
semakin mematangkan organiser untuk berfikir cepat dan menganalisis situasi
berdasarkan informasi-informasi yang didapat dari buruh. Terkadang persiapan
yang matang, menyusun apa yang ingin diperbincangkan ataupun menyediakan
bahan-bahan diskusi tidak akan berguna saat bertemu dengan kontak ataupun
diskusi dengan kelompok buruh.

Data-data yang menguatkan memang penting, seperti perundang-undangan


dan peraturan, surat keputusan tentang ketenagakerjaan dan sebagainya.
Namun di lapangan hal itu tidak banyak berguna karena organiser akan
mengalami kesulitan menjelaskan istilah-istilah, konsep maupun kata-kata yang
tidak mereka mengerti. Jika seorang organiser langsung menunjukkan kertas-
kertas ataupun buku-buku yang menyangkut perburuhan, maka fokus peserta
diskusi ataupun kontak akan terpusat ke benda-benda tersebut dan kurang
tertarik lagi dengan apa yang akan didiskusikan.

Adalah lebih efektif jika seorang organiser memang sudah memahami apa
yang ingin disampaikan dan dibicarakan sebelum ke lapangan, tanpa membawa
benda-benda tersebut pada saat berkunjung ke kontak atau komunitas buruh.
Untuk memancing perbincangan, seorang organiser bisa menggunakan atau
memakai simbol-simbol yang dirasakan menarik dan bisa dihubungkan ke arah
permasalahan pokok.

Dekonstruksi Simbol-Simbol
Salah satu sisi paling penting di masyarakat adalah simbol, seperti bahasa,
ungkapan-ungkapan, gaya, maupun tindakan yang disimbolkan. Tidak ada
satupun masyarakat yang tidak menggunakan simbol saat berkomunikasi
maupun berinteraksi satu sama lain. Begitu pentingnya simbol sehingga harus

56
juga digunakan oleh organiser, baik itu untuk tujuan membongkar kemapanan,
membangun komunikasi ataupun membangun sebuah konflik. Berdasarkan
teori strukturalis simbol dianggap sebagai satu bagian dari struktur yang lebih
besar. Merubah sebuah simbol ataupun memutarbalik maknanya akan merubah
sistem atau struktur secara keseluruhan.

Khususnya terhadap komunitas dimana penindasan sudah terlalu dalam,


pemutarbalikan simbol cukup efektif untuk membongkar kemapanan pikiran
dan perilaku masyarakat. Pengalaman menunjukkan, simbol banyak digunakan
oleh kekuasaan untuk membuat penindasan menjadi semakin langgeng di dalam
masyarakat. Kata-kata kesopanan, bapak-anak, kemitraan, karyawan dan
bahasa-bahasa yang dianggap tabu menjadi permainan kekuasaan dan modal
agar masyarakat selalu terkurung dalam budaya diam dan tidak memberontak.
Satu cara yang dapat digunakan oleh organiser adalah membongkar makna
tersebut dengan cara memutarbalikkan makna dari simbol tersebut. Paling tidak
ini dapat digunakan untuk memulai perbincangan. Ketika organiser merusak
makna dari sebuah simbol maka akan berdampak pada ketergangguan
komunitas.

Simbol merupakan bentuk-bentuk tanda yang diyakini oleh masyarakat.


Masyarakat menggunakan simbol untuk menunjukkan atau sebagai tanda akan
situasi atau keadaan. Penggunaan simbol dalam masyarakat juga dijadikan
pedoman oleh masyarakat untuk berinteraksi antar sesamanya. Simbol menjadi
alat bagi masyarakat untuk menyatakan status atau kedudukan, nilai yang
mapan, dan sebagainya. Namun sayangnya, simbol-simbol tersebut bukanlah
bentukan masyarakat sendiri, namun merupakan titipan kekuasaan. Kekuasaan
berusaha membentuk tatanan masyarakat yang sesuai dengan keinginan
mereka, sehingga simbol tersebut menjadi mapan dan dianggap sebagai dasar
pijakan hidup yang mapan bagi masyarakat.

Begitu kuatnya tatanan simbol dan makna yang dipahami oleh masyarakat,
sehingga masyarakat sendiri tidak bisa keluar. Simbol beserta maknanya
tersebut sangat melekat di masyarakat, sehingga jika dilanggar akan berbuah
sanksi. Simbol-simbol tersebut selalu dijaga oleh masyarakat ataupun individu
sehingga tidak hancur. Selama simbol tersebut terjaga, rahasia dan manipulasi
akan tetap tersembunyi. Kekuasaan juga akan selalu mempertahankan simbol
tersebut agar tetap melekat pada diri masyarakat dan individu. Pada kondisi
seperti inilah organiser bertugas membongkar kemapanan simbol tersebut agar
terlepas dari diri masyarakat. Selama simbol tersebut masih melekat, maka
kekuasaan akan tetap memiliki kontrol yang sangat besar. Tanpa kekerasan pun
kekuasaan masih bisa berperan jika simbol-simbol tersebut masih dipertahankan
dan dijalankan oleh masyarakat.

57
Ada banyak bentuk simbol yang bisa ditemukan dalam masyarakat. Mulai
dari simbol status di pekerjaan, keluarga, maupun di masyarakat. Dari seluruh
simbol yang dijaga oleh masyarakat tersebut, semuanya bertujuan untuk
memelihara indentitas. Organiser harus membongkar identitas tersebut agar
mendukung perubahan. Ketika simbol tersebut dipertahankan oleh masyarakat,
maka perubahan akan sulit terjadi, sebab di dalam masyarakat, simbol berfungsi
menjaga tatanan masyarakat yang sudah ada.

Cara pertama yang harus ditempuh oleh organiser adalah memulai


komunikasi yang mengarah pada pembongkaran simbol-simbol tersebut.
Pengalaman menunjukkan, simbol-simbol yang ada di komunitas ataupun yang
dipakai seorang organiser juga bisa digunakan untuk memancing perbincangan
atau diskusi. Mulai dari pakaian yang dipakai organiser, rokok, ataupun benda-
benda yang dikenakan atau digunakan memiliki makna luas jika organiser bisa
mengkaitkannya ke persoalan pokok buruh. Hal-hal seperti ini sering sekali
disepelekan oleh organiser. Bahkan gaya bertutur dan bahasa, gaya seorang
organiser juga sebenarnya menjadi pusat perhatian buruh dan komunitas. Semua
itu harus digunakan oleh organiser sehingga perbincangan atau diskusi tidak
akan pernah kehilangan tema.

Seorang organiser harus juga memiliki sensitifitas melihat persoalan-persoalan


yang terkait dengan aspek nilai tersebut. Untuk itulah muatan ideologi
merupakan syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang organiser. Tanpa
kapasitas ideologis yang jelas, tegas dan terarah, maka organiser akan bingung
dan tidak mengetahui bagian-bagian nilai masyarakat yang berkontribusi
menindas atau menghisap rakyat. Ada banyak ungkapan-ungkapan yang secara
cepat harus ditangkap oleh seorang organiser untuk bisa memulai merubah nilai-
nilai menindas tersebut.

Sensitivitas juga dapat dimaknai sebagai bentuk kepekaan organiser terhadap


hal-hal yang diungkapkan oleh buruh. Biasanya, dalam diskusi atau
perbincangan-perbincangan informal dengan buruh, akan muncul beberapa
cerita, mulai cerita yang paling biasa sampai yang paling unik dan aneh. Cerita-
cerita tersebut bahkan sering berulang-ulang diungkapkan oleh buruh. Seorang
organiser kemudian harus menangkap inti cerita dan secara cepat juga
menganalisisnya. Setelah didapat makna dari cerita tersebut barulah organiser
mengarahkan cerita tersebut ke tema-tema yang berhubungan dengan kondisi
perburuhan. Hal itu dikarenakan biasanya buruh tidak pernah mengkaitkan
perilaku atau cerita tersebut dalam konteks perburuhan. Mereka menceritakan
sesuatu dalam konteks perilaku individu, budaya ataupun situasi lokal tanpa
bisa menghubungkannya dengan suasana penindasan yang mereka alami.

58
Cerita-cerita tersebut sering sekali dalam bentuk guyon, walak-walak dan
cerita pengisi waktu. Padahal apa yang diceritakan oleh buruh, apakah itu
terkait dengan perilaku individu atau banyak orang punya kaitan erat dengan
persoalan upah dan hak-hak buruh. Tugas seorang organiser adalah mengkaitkan
cerita-cerita kehidupan sehari-hari mereka tersebut dengan penindasan yang
dialami buruh. Menganggap sepele dengan cerita-cerita atau fenomena yang
dianggap menarik oleh buruh adalah wujud tidak sensitifnya organiser.

Salah satunya adalah fenomena Koran (Kontol Raun) atau Kambam. Cerita
tentang Koran dan Kambam tersebut di buruh perkebunan adalah cerita unik
tentang perilaku sex yang sering terjadi. Dalam perbincangan, cerita ini sering
sekali dianggap cerita lucu pengisi waktu. Namun seorang organiser harus
sensitif mendengar cerita tersebut. Ia harus menganalisis apa sebenarnya
disebalik perilaku sex tersebut dan mencoba mengkaitkannya dengan
penindasan terhadap buruh.

Sensitivitas juga tidak sekedar simpatik dengan apa yang dihadapi oleh
buruh. Tidaklah kemudian organiser hanya kasihan dengan kondisi yang dialami
buruh. Organiser juga harus memiliki kadar empati yang tinggi. Empati disini
berarti seorang organiser harus melibatkan diri untuk menyelesaikan persoalan
atau masalah yang dihadapi buruh. Tidak boleh sekedar kasihan, atau
memahami keadaan hidup buruh.

Organiser yang sekedar simpatik, kasihan, ataupun menggunakan sisi emosi


dalam kasus tersebut tidak akan banyak membantu menyelesaikan persoalan
buruh. Organiser tidak boleh hanyut dan tenggelam dengan apa yang dialami
oleh buruh, namun harus segera sadar dan cepat-cepat keluar dari situasi sedih
yang dialami buruh. Daripada sekedar kasihan dan hanyut dalam kesedihan
buruh, organiser harus mencoba menganalisis dan berfikir bagaimana
memecahkan persoalan yang dihadapi buruh tersebut.

Kemampuan memecahkan persoalan pokok yang ada disebalik cerita-cerita


sedih di komunitas buruh tersebut tentunya tidak akan bisa terjadi jika tidak ada
totalitas dari seorang organiser. Totalitas seorang organiser hanya bisa terbentuk
jika organiser melibatkan diri mulai dari hal-hal terkecil dan paling mudah,
seperti ngobrol tentang kehidupan keseharian buruh sampai ke persoalan-
persoalan paling pelik di pekerjaan mereka. Jika seorang organiser hanya terlibat
dalam tema-tema peraturan dan perundangan atau hak normatif buruh, maka
hubungan kepercayaan, saling pengertian antar buruh dan organiser tidak akan
terbentuk.

Di perkebunan, ataupun di industri kota, ada banyak buruh yang


menganggap pengusaha adalah sebagai mitra kerja, orang tua, pemimpin yang

59
harus dihormati, disegani, dan dijaga kepentingan ataupun perasaannya. Hal
itulah yang sering kali menjadi kendala bagi buruh untuk melakukan kritik
ataupun protes terhadap pengusaha ataupun menajer-manajer perusahaan.
Malah pada banyak kasus, pengusaha dan manajer perusahaan dianggap telah
berjasa karena telah memberikan lapangan kerja ataupun memberi makan
keluarga buruh.

Seorang organiser yang tidak memiliki sensitivitas ideologis yang cukup tentu
dapat terhanyut dengan ungkapan-ungkapan ataupun pernyataan buruh atau
masyarakat. Pengusaha dianggap sebagai orang yang telah berjasa sehingga
jangan di ganggu ataupun di sakiti. Ungkapan seperti itu jelas merupakan
penipuan yang dilakukan oleh pemodal dengan tujuan agar buruh tidak
berkeinginan memberontak atau mengganggu kepentingan pengusaha.
Pandangan sedemikian rupa telah tertanam sangat dalam di dalam masyarakat
sehingga sulit untuk dirubah. Tugas seorang organiser dalam kasus seperti itu
adalah membongkar pemahaman masyarakat atau buruh agar berubah. Namun
untuk merubah itu diperlukan strategi, teknik dan waktu yang panjang.
Banyangkan saja, nilai-nilai di perusahan dan secara keseluruhan dalam budaya
industri telah terdapat mesin-mesin ataupun instrumen pembodohan ataupun
penindasan yang bekerja secara sistematis. Apakah itu di industri perkotaan dan
perkebunan alat-alat penguasaan sosio cultural dan politik tersebut menancap
erat dalam struktu sosial. Mulai dari media massa, lembaga keagamaan, politik,
ekonomi, maupun instrumen budaya digunakan alat untuk membangun
kepatuhan di kalangan buruh.

Sampai-sampai, khususnya di perkebunan, sangat sulit kita bisa


membedakan, mana yang sebenarnya nilai asal yang sudah ada jauh sebelum
buruh bekerja di perusahaan atau nilai sosial budaya, ekonomi dan politik yang
dibentuk atau ditanamkan oleh kaum modal. Kejelian seorang organiser jelas
dibutuhkan dalam proses memilah-milah nilai-nilai ini. Jika seorang organiser
lalai menganalisis atau memilah nilai-nilai ini, maka organiser menjadi bagian
dari agen yang melanggengkan penindasan di komunitas buruh.

Untuk merubah nilai yang menindas namun sudah tertanam secara sangat
mendalam di dalam masyarakat tersebut tentunya punya konsekuensi ataupun
resiko yang berbeda dengan perubahan di level kebiasaan maupun cara hidup.
Melakukan perubahan di level nilai sama dengan bergerak di wilayah paling
sensitif di masyarakat ataupun komunitas buruh. Akan ada ketersinggungan,
penolakan ataupun kebencian yang lebih besar jika organiser tidak
menyentuhnya secara hati-hati dan perlahan. Kesalahan organiser
konsekuensinya cukup besar. Komunitas atau individu akan semakin kuat
mempertahankan nilai-nilai tersebut sehingga akan semakin sulit untuk dirubah.

60
Salah satu sisi nilai komunitas yang cukup sulit untuk dirubah adalah
fanatisme agama. Di wilayah-wilayah perdesaan dan komunitas perkebunan,
kepercayaan tentang agama cukup kuat. Masyarakat cukup nyaman dengan
kepercayaan yang diyakininya. Namun sayangnya, keyakinan agama tersebut
sudah disuntik oleh kepentingan pengusaha. Pengusaha punya peran besar
memasukkan kepentingannya, melalui acara-acara keagamaan yang
dilaksanakan di lingkungan perusahaan perkebunan. Bahkan, para pemimpin-
pemimpin perusahaan juga sering di daulat menjadi pembicara pada acara-acara
tersebut.

Untuk melanggengkan kepentingannya tersebut, perusahaan malah kerap


membangun hubungan yang sangat kuat dengan pihak pemimpin-pemimpin
agama lokal. Mereka bertugas memberi pemahaman, melalui ceramah-ceramah
untuk menenangkan buruh. Buruh yang taat, sabar, pengertian, dan yang
membuat kondisi perusahaan kondisif adalah beberapa simbol yang sering
digunakan. Cukup berat melunturkan kepercayaan seperti itu, sebab organiser
bukan hanya berhadapan dengan nilai yang diyakini oleh buruh, namun juga
keyakinan buruh terhadap pemimpin-pemimpin atau tokoh agama yang
menjadi panutan di komunitas.

Tujuan utama organiser sebenarnya tidak harus melunturkan nilai-nilai


agama maupun identitas sosial budaya lainnya. Yang harus dilakukan oleh
organiser sebenarya adalah memberi pemahaman kepada buruh, bahwasannya
disebalik indentitas tradisional tersebut, terdapat identitas lain yang sebenarnya
lebih melekat, yakni identitas sebagai buruh. Indentitas tersebut adalah lintas
agama, nilai, kepercayaan, norma dan adat istiadat. Namun disebabkan sulitnya
memberi pengertian tentang identitas sebagai buruh, maka mau tidak mau
organiser harus melakukan pembongkaran atas nilai-nilai mapan di masyarakat.

Jika nilai-nilai yang sudah tertanam cukup dalam di komunitas buruh sudah
mengalami perubahan, maka persoalan-persoalan di area sensitif sosial tidak
akan menjadi sisi yang rentan lagi di masyarakat. Sebagai contoh, kegiatan-
kegiatan perwiritan selama ini diketahui sebagai media penguatan hegemoni
kekuasaan kepada masyarakat atau buruh. Ketika masyarakat sudah mulai sadar
dan memahami penggunaan media tersebut sebagai wujud strategi kekuasaan
dan modal, maka komunitas buruh akan mulai menghindari ataupun
memanipulasi media tersebut untuk kepentingan masyarakat.

Tentu saja kerja-kerja organiser pada saat berkunjung ke komunitas, baik itu
dalam bentuk diskusi ataupun ngobrol dengan kontak tidak terlepas dari
kelemahan. Tidak seluruh pertanyaan, analisis, materi diskusi dan tema yang
dibicarakan dapat secara langsung direspon oleh organiser. Pada beberapa
kejadian seorang organiser tidak mampu menjawab ataupun tidak mengerti apa

61
yang ditanyakan atau yang ingin diketahui buruh. Saat di lapangan seorang
organiser juga harus jujur jika berhadapan dengan tema-tema yang benar-benar
tidak dipahami. Seorang organiser harus mengakui dengan jujur jika memang ia
tidak memahami dan mengerti apa yang ditanyakan oleh buruh.

Menjawab segala hal yang ditanyakan atau tidak diketahui oleh buruh,
namun sebenarnya tidak diketahui atau diketahui secara setengah-setengah oleh
organiser akan berdampak pada dua hal. Pertama akan memunculkan
ketergantungan antara buruh dengan organiser. Pada satu sisi ini baik karena
kemudian kata-kata organiser cenderung akan didengarkan oleh buruh. Namun
ketergantungan tersebut akan menciptakan ketokohan kepada organiser. Jika hal
ini sudah muncul, maka segala keputusan, sikap, pandangan dari buruh akan
mencerminkan sikap organiser. Inilah yang harus dihindari. Jangan sampai
organiser menjadi tokoh yang tau segala hal dan harus didengarkan secara
mutlak. Jika itu yang terjadi, maka partisipasi dan inisiatif buruh akan hilang
sama sekali, padahal itu bertentangan dengan tujuan-tujuan organiser. Kedua,
mengungkapkan yang tidak dipahami atau dipahami secara tidak lengkap oleh
organiser suatu saat akan menjadi bumerang.

Mustahil jika organiser tau segala hal tentang perburuhan. Yang memahami
seluruh persoalan buruh adalah buruh itu sendiri, sehingga tidaklah mungkin
sebenarnya organiser mengetahui seluruh persoalan yang ditanyakan atau ingin
diketahui buruh. Kemampuan menjawab seluruh pertanyaan adalah sebuah
kebohongan organiser. Nantinya jika masukan organiser tersebut dikerjakan dan
berdampak buruk atau tidak menghasilkan sesuatu maka organiser akan
disalahkan, dan ini akan merugikan kerja-kerja pengorganisasian.

Organiser juga harus sadar, bahwasannya selalu akan terdapat orang-orang


yang punya pengetahuan dan pengalaman lebih dari orang lain di suatu
komunitas. Di perkebunan, mereka-mereka ini adalah pelaku gerakan-gerakan
buruh dan gerakan sosial lama yang mengambil sikap diam. Bahkan, masyarakat
awam sering kali tidak mengetahui bahwasanya ”orang-orang lama” tersebut
punya kemampuan yang lebih tentang dunia perjuangan atau gerakan.
Terhadap orang-orang seperti ini, organiser harus mengambil sikap sebagai
orang yang mau belajar. Organiser yang menganggap tau segala hal tidak akan
mendapat dukungan dari mereka.

Pengalaman mengorganisir di perkebunan menunjukkan bahwasannya


organiser selalu bisa bertemu dengan ”orang-orang lama” ini. Bahkan, jika
komunikasi antar organiser dengan mereka sudah ”nyambung” dan sudah
terbangun kepercayaan, maka mereka akan banyak memberi masukan tentang
strategi yang dijalankan organiser. Seperti yang terjadi di wilayah Asahan.
Organiser bertemu dengan tokoh pergerakan lama yang hidup senderhana

62
menjadi buruh. Tanpa sepengetahuan organiser, tokoh tersebut ternyata sudah
memiliki penilaian terhadap kerja-kerja organiser. Dikarenakan sudah ada saling
kepercayaan, tokoh tersebut kemudian memberi masukan agar organiser tidak
salah mengidentifikasi dan menjadikan seorang buruh menjadi kader. Masukan
seperti ini sangat penting untuk diterapkan oleh organiser, karena tokoh tersebut
sudah lebih mengenal komunitas dan struktur sosial setempat.

Ketika menyentuh persoalan-persoalan pokok buruh, seorang organiser wajib


memberi contoh atau analogi cerita yang mengarah pada hakekat suatu hal.
Misalnya ketika berbicara tentang buruh kontrak/harian atau borongan, saat
mendiskusikan upah, jaminan sosial dan sebagainya, maka organiser harus
mendorong perbincangan kepada hal-hal yang menyentuh hakekat, prinsip,
ideologis atau filosofis. Mengapa demikian? Salah satunya adalah ketika buruh
mempertanyakan perbedaan antara upah pokok dan tunjangan. Organiser harus
mampu menjelaskan kepada buruh tentang apa yang dimaksu dengan upah
pokok dan tunjangan dengan menggunakan dasar analisis yang lebih mendasar
dan prinsipil, bukan sekedar mengkaitkannya dengan peraturan ataupun
perundangan yang mengatur persoalan pengupahan.

Untuk dapat menyentuh permasalahan pokok buruh yang dianggap paling


besar berkontribusi terhadap penindasan, seorang organiser juga harus dibekali
dengan kemampuan menyederhanakan persoalan-persoalan buruh. Sistem
sosial, ekonomi, politik dan budaya yang sangat kompleks tentunya sulit untuk
dipahami oleh buruh. Belum lagi terkait dengan konsep-konsep yang
terkandung dalam peraturan dan perundangan perburuhan, baik di tingkat
negara maupun perusahaan. Sistem yang kompleks tersebut tentunya harus
dipahami oleh buruh sehingga buruh memahami bagaimana sistem yang
dibangun pemerintah dan modal dalam menindas buruh.

Proses penyederhanaan sistem atau mekanisme yang kompleks tersebut


tentunya menuntut pemahaman yang cukup oleh seorang organiser tentang
sistem sosial, politik, ekonomi maupun budaya di tingkat makro maupun lokal.
Pengetahuan dasar organiser tentang teori perubahan sosial, pilihannya terhadap
ideologi dan tatanan masyarakat yang dicita-citakan, pengenalannya terhadap
sistem sosial di konteks pengorganisasian ataupun pengalamannya
mengorganisir merupakan beberapa catatan penting yang harus dikuatkan bagi
seorang organiser. Tanpa itu, ia akan mengalami kesulitan menyusun logika-
logika sederhana yang akan disampaikan kepada buruh.

Sulit memang untuk membangkitkan kemampuan seperti itu pada seorang


organiser. Untuk itu seorang organiser harus terus menerus belajar tentang teori-
teori perubahan sosial secara struktural, dipraktekkan di lapangan dan
menganalisisnya secara terus menerus. Kemampuan teoritik, filosofis, teknik

63
analisis sosial, menganalogi sesuatu merupakan kewajiban yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi bagi seorang organiser. Namun kemampuan tersebut
dikuatkan melalui praktek di lapangan secara terus-menerus. Konsep dan teori-
teori perubahan sosial tersebutlah yang diuji dilapangan untuk melihat efek
yang terjadi di lapangan. Jika sebuah teori tidak bisa menjelaskan realitas yang
terjadi, maka tugas seorang organiser kemudian adalah membangun sebuah
analisis baru yang bersumber dari pengalaman ideologi perubahan yang
diyakininya.

Menghadapi Konflik-Konflik Kelompok dan Organisasi


Persentuhan dengan komunitas buruh, baik itu buruh industri dengan buruh
perkebunan merupakan satu hal yang selalu dihadapi oleh organiser. Tidak ada
proses pengorganisasian yang tidak berhadapan dengan konflik, sehingga
seorang organiser harus memiliki kemampuan dalam hal pengelelolaan konflik.

Ada berbagai tipe konflik yang sering ditemui dikalangan buruh, baik itu
konflik antar anggota kelompok atau serikat, anggota dengan pengurus di
tingkat basis, sesama pengurus basis, pengurus basis dengan pengurus di
tingkat pusat organisasi maupun diantara pengurus pusat. Peran seorang
organiser tidak dibatasi pada tipe konflik tertentu, namun di semua tingkatan
konflik, karena bagaimanapun juga, kerja-kerja organiser cepat atau lambat pasti
akan terpengaruh akibat konflik-konflik tersebut.

Harus diakui juga, bahwasannya masyarakat, termasuk komunitas buruh


memiliki mekanisme tersendiri yang bisa digunakan untuk menyelesaikan
konflik. Namun jika dilihat dari realitas yang terjadi selama ini, institusi,
mekanisme dan nilai penyelesaikan konflik sudah hilang sama sekali
dihancurkan oleh aturan dan norma kekuasaan.

Dari begitu banyak konflik yang sering terjadi di dalam komunitas buruh,
ada beberapa yang paling menonjol dan sering terjadi, antara lain. Konflik antara
antar buruh akibat permasalahan-permasalahan pekerjaan, konflik yang
ditimbulkan dalam lingkungan ketetanggaan dan interaksi sosial di komunitas
dan sebagainya. Konflik di tingkat organisasi biasanya disebabkan oleh beberapa
hal, antara lain, ketidakkonsistenan pengurus, tidak berjalannya program kerja
organisasi atau kelompok, tidak dilayaninya kebutuhan anggota, tidak
transparannya pengelolaan keuangan, kekuasaan yang terlalu besar dari
pengurus, ketimpangan pemahaman, pengetahuan dan pengalaman antar
anggota dan pengurus, tidak partisipatifnya pengambilan keputusan, hubungan
yang terlalu dekat antara pengurus dan anggota kepada pihak pengusaha,
kecurigaan dan prasangka dari anggota dan pengurus akibat pemihakan dari
pengusaha dan sebagainya.

64
Selain itu, konflik juga dapat muncul akibat dari terlalu dekatnya seorang
anggota ataupun pengurus sebuah kelompok atau organisasi dengan jaringan.
Selama ini kedekatan dengan jaringan dianggap positif karena mendorong
organisasi untuk dikenal di lingkungan elemen gerakan yang lebih luas. Selain
itu, interaksi dengan organisasi lain dapat menambah pengetahuan bagi
pengurus dan anggota yang diutus sebagai perwakilan mengikuti aktivitas
jaringan. Namun di sisi lain, sering terjadi dominasi pengutusan orang, sehingga
tidak merata kepada pengurus dan anggota lainnya. Kebiasaan seperti ini jelas
menimbulkan kecurigaan bagi pengurus dan anggota yang jarang bahkan sama
sekali tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan jaringan.

Satu hal yang harus dipahami oleh organiser adalah selalu menjadikan gejala
dan realitas konflik tersebut sebagai pertimbangan melakukan pengorganisasian.
Organiser yang tidak mau tau, menganggap tidak penting dan terlalu menjauhi
konflik internal tersebut akan semakin menjauhkan organiser terhadap
komunitas buruh. Namun melibatkan diri terlalu jauh dengan cara menjadi
orang yang terlibat langsung dalam penyelesaian konflik juga bukan tindakan
yang tepat.

Tetap saja, langkah pertama yang harus dilakukan seorang organiser untuk
memasuki wilayah konflik di komunitas ataupun kelompok adalah membangun
kepercayaan. Tujuan dari membangun kepercayaan ini adalah agar orang-orang
di dalam komunitas tersebut mau mendengarkan perkataan dan masukan-
masukan dari organiser. Tanpa adanya kepercayaan, maka organiser akan tetap
menjadi orang luar. Jika hanya menjadi orang luar, maka tidak akan ada
kesempatan organiser untuk mempengaruhi proses penyelesaian konflik.

Ketika seorang organiser bisa dipercaya dan dianggap menjadi orang dalam,
maka segala informasi yang terkait dengan konflik akan terbuka. Perolehan
informasi merupakan salah satu hal terpenting dalam pengelolaan konflik
disebabkan tanpa informasi maka kegagalan dan kesalahan penyelesaian akan
semakin besar. Informasi yang diperoleh oleh organiser tentunya haruslah
seimbang. Mendapat informasi hanya dari satu pihak cenderung tidak seimbang.
Belum tentu informasi yang diperoleh dari satu pihak adalah yang paling benar,
karena latarbelakang konflik hanya dari sisi kepentingan pihak tersebut.
Langkah paling tepat adalah mendengarkannya dari dua atau tiga pihak. Tentu
saja perlu memperoleh informasi dari pihak netral yang cenderung lebih objektif.
Namun pihak netral tersebut tidaklah sembarangan orang, karena ia juga harus
mengerti konflik yang terjadi, jika tidak, maka ia tetap saja akan memberi
informasi yang tidak terkait langsung dengan terjadinya konflik.

65

You might also like