You are on page 1of 16

DEMAM TYPHOID Wendy Yolanda Rosa

PENDAHULUAN Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang akut yang mempunyai karakteritik demam, sakit kepala dan ketidakenakan abdomen berlangsung lebih kurang 3 minggu yang juga disertai gejala-gejala perut pembesaran limpa dan erupsi kulit. Demam typhoid adalah penyakit infeksi bakteri, yang disebabkan oleh Salmonella typhi.1 Gejala awal demam typhoid berlangsung antara 10 14 hari. Pada minggu I pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu menigkat . sifat demam meningkat perlahan lahan pada sore hari dan malam hari. Dalam minggu II gejala jelas berupa demam, bradikardi, lidah kotor, hepatomegali, splenomegali, serta gangguan mental berupa somnolen, stupor dan delirium.1 Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :2,3 a. Diagnosis klinik b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. c.Diagnosis serologik Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier. Indikasi pasien tifoid dipulangkan jika telah memenuhi syarat berikut : 1. Pasien setelah 2 hari bebas demam dapat mobilisasi
1

2. Pasien setelah 2 hari mobilisasi dapat distop obat 3. Pasien setelah 2 hari tidak demam tanpa obat dapat dipulangkan

ILUSTRASI KASUS Identitas pasien Nama Umur : Tn. S : 35 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki Alamat Masuk RS Tgl Periksa : Palalawan : 12 juni 2013 : 13 juni 2013

Anamnesis ( Autoanamnesis ) Keluhan utama Demam terus menerus sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) Riwayat Penyakit Sekarang + 7 hari SMRS pasien mengeluhkan demam terus menerus dan tak kunjung sembuh, muncul perlahan lahan tidak mendadak. demam dirasakan meningkat pada sore dan malam hari, demam disertai menggigil, keringat dingin (-), persendian terasa pegal (-), sakit kepala (+), nafsu makan berkurang , mual (+), muntah (-), bintik kemerahan pada tubuh (-). Pasien mengeluhkan BAB mencret >5 kali perhari, setiap mencret + 100 cc dan BAK bewarna seperti the. 3 hari SMRS pasien berobat dan pasien merasakan demam sedikit turun dan beberapa saat kemudian demam naik lagi, mencret berkurang. 1 hari SMRS pasien berobat dengan keluhan badan terasa lemas, demam (+) , pasien dibawa berobat Ke RSUD AA

Riwayat penyakit dahulu Pasien tidak pernah mengeluhkan hal yang sama sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga Tidak ada keluarga menderita sakit yang sama

Riwayat pekerjaan, kebiasaan dan sosial ekonomi Pasien bekerja sebagai petani Pasien mengaku memiliki kebiasaan membeli makanan diluar.

PEMERIKSAAN UMUM Keadaan umum Kesadaran Tanda tanda vital : Tampk Sakit Sedang : komposmentis : tekanan darah :120 / 80 mmHg Nadi Suhu Nafas : 78 x/i : 37,8 C : 18 x/i

Pemeriksaan Khusus Kepala dan leher Kulit dan wajah Mata : wajah tidak pucat : konjungtiva anemis (-/-) Sklera ikterik (-/-) Pupil isokor, reflek cahaya (+/+), mata cekung (-) Mulut : lidah kotor (+), hiperemis (-), tremor (+) , bibir tidak kering, sianosis (-), gusi tidak ada Perdarahan , faring tidak hiperemis
3

Thorak Paru Inspeksi : Pengembangan dinding dada simetris kiri = kanan, gerak nafas simetris, Tidak ada bagian yang tertinggal Palpasi Perkusi : vokal fremitus kanan = kiri : sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler kedua lapagan paru

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak terlihat : Ictus cordis tidak teraba : batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : bunyi jantung I II murni regular, gallop (-), murmur (-)

Abdomen Inspeksi Palpasi teraba, Perkusi : timpani, shifting dullness (-) : perut datar, distensi abdomen (-) : supel, nyeri tekan (+) kuadran kanan, hepar tidak teraba, lien tidak

Auskultasi : bising usus (+), normal

Ekstremitas Akral hangat CRT < 2 detik Peteckhie (-)

Diagnosis Klisnis Demam Tifoid

Diagnosis Banding Malaria Demam tifoid + DBD

Rencana Pemeriksaan penunjang Darah rutin Urinalisis Feses rutin Imunoserologi (Uji Widal) Kultur darah

Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan darah Rutin : 9,1 x 103/ul : 13,7 g/dl : 42,7 % : 128.000/ mm3

Leukosit Hemoglobin Hematokrit Trombosit

Urinalisis Makro Warna : kuning jernih

Mikro Eritrosit Leukosit Epitel : 1 2 /LBP : 2 - 3 /LBP : 3 - 4 / LBP


5

Protein Glukosa pH Feses rutin Makroskopis Warna Konsistensi Mikroskopis Eritrosit

: (-) : (-) :7

: kuning kecoklatan, darah (-) : lunak

:-

Telur cacing : Kultur tidak dapat dilakukan

Imunoserologi S. Typhi O S. Para Typhy AO S. Para Typhy BO S. Para Typhy CO S. Para Typhy H S. Para Typhy AH S. Para Typhy BH S. Para Typhy CH :1/320 :1/320 :1/160 :1/320 :1/160 :1/80 :1/80 :1/160

Diagosis Kerja Demam tifoid

FOLLOW UP 14 juni 2013 S O : Badan terasa lemah, mual (+) muntah (-) : keadaan umum : tampak sakit sedang
6

Kesadaran

: komposmentis

Tanda tanda vital : TD 110/70 mmHg, HR : 88x/I, RR : 18 x/I, T : 37,4s C A P : Demam typhoid : IVFD RL 20 tpm Paracetamol 3 x 1 Ranitidin 2 x 1 Ciprofloxacin 2 x 500mg

15 Juni 2013 S O : Bdan masih terasa lemah, mual (+), muntah (-) : keadaan umum Kesadaran : tampak sakit sedang : komposmentis

Tanda tanda vital : TD 120/70 mmHg, HR : 78x/I, RR : 18 x/I, T : 37,0 C A P : Demam typhoid : : IVFD RL 20 tpm Paracetamol 3 x 1 Ranitidin 2 x 1 Ciprofloxacin 2 x 500mg 16 Juni 2013 S O : Badan sudah mulai membaik , mual (-), muntah (-) : keadaan umum : tampak sakit ringan

Kesadaran

: komposmentis

Tanda tanda vital : TD 110/70 mmHg, HR : 88x/I, RR : 18 x/I, T : 37,4 C A P : Demam typhoid : pasien pulang dengan edukasi

DISKUSI Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.4 Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular gangguan mental, dan koagulasi.4

Gambar 1 : Patofisiologi Demam Tifoid diambil dari Christoper, 20025

a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. 3,4 Pada minggu pertama setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi yang berkepanjangan yaitu setinggi 39 C hingga 40 C, sakit kepala, pusing, pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100 kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan
9

gejala-gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen di salah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung 3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4 mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan abdomen mengalami distensi.6

b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.6

C. Faktor Resiko Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada bayinya Utara . Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control , mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65) dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan sebelum makan (OR=2,7).3

d. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalis, kimia klinik, imunoreologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu
10

menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit.3 1. Hematologi Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal atau tinggi. Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif. LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).19,20 2. Urinalis Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit. 3. Kimia Klinik Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.19,20 4. Uji Serologi Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu : 1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. 2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol. 3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 5. Mikrobiologi Uji kultur merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit
11

kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan specimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrierdigunakan urin dan tinja.19,20

e. Tata laksana Demam Tifoid 1. Perawatan Medis Menurut Levine (2009), Jika seorang pasien menunjukkan gejala menyerupai demam tifoid yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dalam waktu 60 hari setelah kembali dari daerah endemik demam tifoid (demam enterik) atau setelah mengkonsumsi makanan yang dipersiapkan oleh seseorang yang terinfeksi demam tifoid, maka penggunaan antibiotika empirik spektrum luas harus segera dimulai. Pengobatan tidak boleh ditunda untuk uji konfirmatori sejak ditemukan bahwa pengobatan yang tepat secara drastis mengurangi risiko komplikasi dan kematian.7 Pasien dengan penyakit tanpa komplikasi dapat diobati secara rawat jalan. Mereka harus disarankan untuk menerapkan teknik mencuci tangan yang ketat dan menghindari menyiapkan makanan untuk orang lain selama sakit. Pasien harus ditempatkan dalam ruang isolasi selama fase akut infeksi. Tinja dan urin harus dibuang secara aman. (Getenet, 2008) 2. Medika Mentosa Pada 1990-an, S.typhi mengembangkan resistansi secara bersamaan untuk semua obat yang terdapat pada pengobatan lini pertama. Menurut Agarwal (2004) fluorokuinolon adalah obat yang paling efektif untuk pengobatan demam tifoid. Panas berkurang dalam waktu rata-rata kurang dari 4 hari, dan angka kesembuhan melebihi 96%. Kurang dari 2% dari pasien yang dirawat telah mengalami penyakit persisten atau relaps. Fluoroquinolones harus digunakan pada dosis semaksimal mungkin dalam waktu minimal 10-14 hari. Ofloksasin telah terbukti efektif dalam kasus-kasus resisten kloramfenikol yang dibuktikan dengan pemeriksaan kultur sumsum

12

tulang. Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, cefixime, cefotaxime, dan cefoperazone) dan macrolides seperti azitromisin juga efektif untuk pengobatan demam tifoid. Dengan penggunaan seftriakson dan sefiksim, penurunan demam terjadi dalam waktu rata-rata satu minggu dan tingkat kegagalan pengobatan adalah 5-10%. Tingkat kekambuhan adalah 3-6%. Tingkat penyembuhan 95% dicapai dalam 5-7 hari dengan pengobatan azitromisin. Demam menghilang dalam 4-6 hari dan tingkat kekambuhan dan kesembuhan adalah <3%. Aztreonam13 dan imipenem merupakan obat potensial lini 12 ketiga. Untuk demam tifoid yang berat, fluoroquinolones parenteral adalah pengobatan pilihan.8 Kloramfenikol, amoksisilin, dan trimethoprimsulfamethoxazole tetap digunakan untuk pengobatan demam tifoid di daerah-daerah di dunia di mana bakteri penyebab demam tifoid masih sepenuhnya rentan terhadap obat-obatan ini dan di mana fluoroquinolones tidak tersedia atau tidak terjangkau. Obat-obat ini dapat menghilangkan gejala, dengan penurunan suhu badan sampai yg normal biasanya terjadi dalam waktu 5-7 hari;Namun, mungkin diperlukan pengobatan sampai 2-3 minggu. Meskipun, angka kesembuhan adalah 95%, tingkat relaps adalah 1-7% .8 Sementara itu, di Indonesia, pemilihan antibiotika terhadap demam tifoid adalah sebagai berikut :
9

1. Kloramenikol : merupakan obat pilihan utama. Dosis yang diberika adalah 4x500 mg per hari per oral. Obat ini dapat menurunkan demam rata-rata dalam 7 hari. Efek samping berupa depresi sum-sum tulang. 2. Tiamfenikol : dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol, hanya saja, memiliki kemungkinan lebih rendah untuk komplikasi hematologinya. Dosisnya adalah 4x500mg. Demam rata-rata turun pada hari ke-5 sampai ke-6 3. Kotrimoksazol : dosis dan efektivitasnya hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk dewasa adalah 2x2 tablet (1 tablet mengandung sufametoksazol 400 mg dan trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu. 4. Ampisilin dan amoksisilin : kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibandingkan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. 5. Sefalosporin generasi ke-3 : seftriakson dengan dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc diberikan jam per infuse per hari. Diberikan 3-5 hari.
13

6. Fluorokuinolon : Demam pada umumnya turun pada hari ke-3 atau ke-4. a. Ofloxasin : 2x400 mg/hari selama 7 hari b. Siprofloksasin : 2x500 mg/hari selama 6 hari c. Pefloksasin : 400 mg/hari selama 7 hari d. Fleroksasin : 400 mg/hari selama 7 hari e. Norfloksasin 2x400 mg/hari selama 14 hari

Suhendro,(2000)

berpendapat

perlu

pemakaian

kombinasi

antibiotika

yang

diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja seperti toksik tifoid, peritonitis, atau perforasi, septic syok, dimana pernah terbukti 2 macam organisme selain bakteri Salmonella. 10

14

KESIMPULAN Demam Tifoid merupakan penyakit infeksi tropis yang mewabah dengan penyebab utama bakteri S. typhi. Demam Tifoid sangat berkaitan dengan transmisi fecal oral dan sanitasi yang buruk dimana pada Negara berkembang seperti di Indonesia kurang diperhatikan. Host S typhi yang utama adalah manusia, dan infeksi yang ditimbulkan bila tidak ditangani segera dapat menimbulkan gejala yang serius seperti pada demam tifoid terjadi perforasi usus dan perlu intervensi bedah. Selain itu pengobatan pada demam tifoid terus berkembang dengan munculnya mutasi dari bakteri tersebut sehingga menimbulkan resistensi tersendiri dalam pengobatannya. Pasien menderita demam tifoid, hal ini didapat kan dari gejala klinis dan pemeriksaan labor paisien seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut serta titer serologi uji widal positif.

15

KEPUSTAKAAN

1.

Demam typhoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. [ Dikutip Pada 17 JUNI 2013]: Diakses Dari :

Tanggal

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31283/3/Chapter%20II.pdf 2. Aulia D, Widiyanto T. Demam Tifoid. Exomed Indonesia. Accessed at

http://www. Medical journal.co.cc/2010/03/demam-tifoid_04.html. 2010 3. Demam Tifoid. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. [ Pada Tanggal 21 Mei 2013]. Diakses Dari :

Dikutip

http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus%20Desember%202009/DE MAM%20TIFOID.pdf 4. Badrijah M. Demam tifoid Abdominalis. Accessed at : http://

adulgopar.files.wordpress.com /2009/12/demam-tifoid.pdf. 2009 5. 6. Christopher M, et al. 2002. Typhoid Fever. N Engl J Med 2002; 347:1770-1782 Demam typhoid. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. [ Dikutip Pada 17 JUNI 2013]: Diakses Dari :

Tanggal

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31283/3/Chapter%20II.pdf 7. . Levine, Morgan M. 2009. Typoid Vaccines Ready for Implementation. N Engl J

Med; 2009. 361 : 403-405 8. Agarwal, PK, Atul G, RK Gupta, 2004. Lecture Note Tyfoid Fever. JIAM 2004; 5

(1) : 60-4. 9. Mei Nugraha T. Demam tifoid . Fakultas kedokteran UR. [ Dikutip Pada Tanggal 21 2013]: Diakses Dari :

http://yayanakhyar.files.wordpress.com/2010/03/belibis_a17_demam_tifoid.pdf 10. Suhendro, Inada K, Hendrawanto, Zulkarnain I. Patogenesis Demam Tifoid

Dalam Buku Panduan dan Diskusi Demam Tifoid. 2000. Jakarta : Subagian Penyakit Tropik Dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Hal : 3

16

You might also like