You are on page 1of 39

EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I BATU NUSAKAMBANGAN

A.

Latar Belakang Masalah Ketentuan Pasal 1 ke 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 1995 tentang Permasyarakatan, menyatakan bahwa : Lembaga Permasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Permasyarakatan. Pengertian tentang Permasyarakatan seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 1 ke 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 adalah suatu kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Tujuan sistem pemasyarakatan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dinyatakan bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dapat hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggungjawab. Ini berarti bahwa tujuan akhir dari sistem pemasyarakatan adalah bersatunya kembali Warga Binaan Pemasyarakatan dengan masyarakat, sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, sehingga keberadaan mantan Warga Binaan di masyarakat nantinya diharapkan mau dan mampu untuk ikut membangun masyarakat dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat dalam

pembangunan. Berdasarkan maksud dan tujuan Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang

pemasyarakatan,

sangat

jelas

adanya

keiinginan

penyelenggara

negara

menciptakan kondisi yang lebih baik dalam membina para narapidana agar kelak dapat berguna di masyarakat serta tetap terlindunginya hak asasi manusia. Untuk melakukan tujuan tersebut tidak semudah yang kita bayangkan, berbagai faktor penghambat muncul, baik dari narapidana, institusi, maupun petugas yang melaksanakan kewenangannya berdasarkan perintah undang-undang, pada proses hukum maka pelaku kejahatan tersebut akhirnya akan berada didalam Lembaga Permayarakatan, guna mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Pelaku tindak pidana tersebut oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dikategorikan sebagai Narapidana Risiko Tinggi. Undang-undang Dasar 1945, telah meletakan dasar-dasar penghormatan kepada Hak Asasi Manusia, hal tersebut di implementasikan dalam Undang-Undang Permasyarakatan yang diejahwantahkan dalam sepuluh prinsip permasyarakatan yang salah satu prinsipnya adalah Negara tidak berhak membuat seseorang lebih buruk atau lebih jahat daripada sebelum dipenjara. Untuk memastikan prinsip tersebut dapat terlaksana, maka perlu tersedia satu sistem yang jelas mengenai penanganan perlakuan bagi Narapidana yang terdiri dari aspek pembinaan petugas sebagai insan manusia dalam sistem, kemudian pembentukan ketentuan peraturan yang jelas dan pemenuhan sarana dan prasarana yang dikenal dengan material dalam sistem selanjutnya adalah pemenuhan anggaran dan kejelasan pengelolaannya. Definisi tindak pidana terorisme secara internasional atau Universal sampai saat ini memang belum ada sehingga dengan ketiadaan definisi, hukum pidana internasional mengenai terorisme tidak serta merta berarti meniadakan definisi hukum tentang terorisme itu menurut hukum nasional masing-masing negara. Disamping itu bukan berarti meniadakan sifat jahat perbuatan itu dan dengan demikian lantas bisa diartikan bahwa terorisme bebas dari tuntutan hakim, ada suatu azas yang berbunyi Nullum Crimen Sine Poena yang mempunyai makna tiada kejahatan yang boleh dibiarkan dan berlalu begitu saja tanpa hukuman.1 Kata Teroris adalah pelaku, sedangkan kata Terorisme adalah aksi, yang
Abdul Wahid, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Retika Aditama, 2004, hal 22.
1

berasal dari kata latin teriere yang arti sebenarnya kurang lebih membuat gemetar atau menggemetarkan, sedangkan kata teror juga bisa berarti menimbulkan kengerian tentu saja kengerian dihati dan pikiran korbannya, akan tetapi sampai saat ini tidak ada atau belum ada definisi yang bisa diterima secara universal.2 Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa.3 Ketentuan umum didalam prosedur tetap terhadap perlakuan Narapidana Resiko Tinggi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-58 .OT.03.01 Tahun 2010 tanggal 23 April 2010 menyatakan: 1. 2. 3. Narapidana adalah terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan di Lembaga Permasyarakatan. Narapidana Resiko Tinggi adalah Narapidana yang melalui penilaian memenuhi kualifikasi A dan kualifikasi B. Kualifikasi A adalah penilaian terhadap narapidana tertentu yang memuat penilaian memenuhi salah satu hal yang berhubungan dengan jaringan yang masih aktif, kemampuan mengakses senjata dan bahan peledak, memiliki catatan melarikan diri, memiliki akses dan pengaruh didalam Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan kepribadian dan kemandirian narapidana. Perawatan adalah semua usaha yang ditujukan untuk memberikan pelayanan yang berhubungan dengan kesehatan narapidana. Pengamanan adalah segala usaha dan kegiatan dalam rangka memberikan perlakuan, perlindungan dan pengayoman kepada narapidana serta penegak hukum terhadap setiap ancaman dan gangguan.

4. 5. 6.

Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan isi penghuninya sudah dapat dikatakan over kapasitas. Namun demikian adanya dalam kenyataan Lembaga Permasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu merupakan satu-satunya merupakan Klas I yang tempatnya terisolir yaitu, di

Nusakambangan dimana letak geografisnya sangat menunjang segi keamanannya sehingga, untuk pembinaan narapidana tindak pidana terorisme yang merupakan narapidana resiko tinggi, yang ada diseluruh Indonesia di bina di situ. Demikian
2

Ibid., hal. 23

keadaan keamanan yang sangat kondusif dan bagaimana untuk pelaksanaan pembinaan narapidana tindak pidana terorisme? Dalam keadaan yang demikian maka pembinaan narapidana tindak pidana terorisme bisa saja berjalan, namun kurang sesuai dengan tujuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995, Pasal 2 menyatakan: sistem pemasyarakatan di selenggarakan dalam rangka membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidanan, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Soerjono Soekanto berbicara mengenai derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa : Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsi-nya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.3 Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuahan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.4 hingga bagaimana dengan tujuan pemasyarakatan, bisa tercapai dengan baik, apa tidak. Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui, bahwa suatu efektivitas pembinaan diperlukan guna menuju pada kepatuhan dan kesadaran hukum seorang narapidana terorisme di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk menghasilkan kepatuhan dan kesadaran hukum seorang narapidana tindak pidana terorisme tentunya harus dilihat dari bagaimana efektivitas dan proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena sangat diharapkan output dari
Soekanto Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali, Jakarta, .1983, hal. 62 4 Ibid., hal. 20
3

pembinaan itu dapat menghasilkan secara nyata para teroris yang setelah bebas dari Lembaga Pemasyarakatan tidak mengulangi tindak pidana serupa atau lainnya sehingga tujuan sistem pemasyarakatan untuk khusus tindak pidana terorisme yang telah di bina di Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Tetapi apabila banyaknya kendala yang dihadapi tentunya akan mempengaruhi efektivitas pembinaan tersebut, sePenelitian ini ditujukan untuk mengetahui efektivitas pembinaan narapidana khusus teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan. Selain itu juga ditujukan untuk mengetahui kendala-kendala apa yang dihadapi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan dalam melaksanaan pembinaan narapidana khusus teroris. Dengan pendekatan yuridis sosiologis penelitian ini diharapkan dapat menjadi gambaran yang lebih nyata mengenai efektivitas pembinaan narapidana khusus teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan. Atas dasar hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut menjadi pendorong bagi penulis untuk melakukan penelitian guna penyusunan skripsi yang berjudul EFEKTIVITAS PEMBINAAN NARAPIDANA KHUSUS TERORISME DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS I BATU NUSAKAMBANGAN

B.

Perumusan Masalah 1. Bagaimana efektivitas pembinaan narapidana khusus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan ? 2. Apa yang menjadi kendala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan dalam melaksanakan pembinaan narapidana khusus terorisme ?

C.

Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui efektivitas pembinaan narapidana khusus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan.

2.

Untuk mengetahui kendala-kendala di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan dalam melaksanaan pembinaan narapidana khusus terorisme.

D.

Kegunaan Penelitian 1. Keguanaan teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pidana materiil dan formil .
b.

Memberikan gambaran yang lebih nyata mengenai efektivitas pembinaan narapidana khusus terorisme .

2.

Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembaca dan penulis untuk lebih giat berusaha dalam mengembangkan ilmu pengetahuan hukum . b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi Lembaga Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal

Pemasyarakatan dibawah Kementerian Hukum dan HAM c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak terkait dalam pelaksanaan pembinaan narapidana khusus terorisme.

E.

Metode Penelitian 1. 2. 3. 4. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis sosiologis Spesifikasi Penelitian deskriptif. Metode Pendekatan kualitatif Lokasi Penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan. 5. Jenis Data a. Data primer diperoleh mewawancarai pihak terkait dalam kegiatan pembinaan secara langsung yaitu : KepalaLembaga Pemasyarakatan;Kepala Bidang Pembinaan; Kepala Seksi/Staff Pembinaan; dan Narapidana Terorisme

b.

Data Sekunder 1) Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangundangan, yurisprudensi,5 dan Undang-undang No. 12 Tahun 1995, UU No 1 Tahun 1946 (KUHP), dan KUHAP. 2) Bahan Hukum Sekunder berupa hasil karya dari kalangan hukum dalam bentuk buku-buku atau artikel.

6.

Metode Pengambilan Data a. Data Primer,diperoleh menggunakan metode : (1) (2) b. Inteview (wawancara) Observasi

Data Sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian.

7.

Analisa Data mempergunakan metode kualitatif

Loc cit

I.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

Hasil Penelitian 1. Data Primer 2.1. Wawancara dengan Narapidana 2.1.1. Matriks Penempatan Narapidana6 Hasil wawancara dengan narapidana pada awalnya semua narapidana ditempatkan di setelah dipantau berkelakuan karantina, dan dan tidak

baik

berbahaya

diadakan pemencara agar bias berbaur

dengan narapidana lainnya 2.1.2. Matriks Pemahaman Tujuan Pembinaan dan

Pemidanaan7 Hasil wawancara dari 11 narapidana terorisme hanya terdapat 2 narapidana terorisme yang tidak mau memahami tentang pembinaan dan lainya benar-benar aktif dalam pembinaan dan ntanggapannya sangat positif. 2.1.3. Matriks Pembinaan Keagamaan8 Hasil wawancara dengan semua narapidana terorisme dan mereka semua aktif dan senang ikuti pembinaan Agama. 3.
6

Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012. Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012. 8 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.
7

4. 5.

2.1.4. Matriks

Pembinaan

Keterampilan

Kerja/

Kemandirian9 Hasil wawancara dari 11 narapidana yang tidak respons hanyalah 2 orang dan yang lainnya semangat dan aktif dalam pembinaan ketrampilan ini. Sumber : data primer yang diolah 2.1.5. Matriks Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Hasil wawancara semua narapidana rata - rata 10 2.1.6. Matriks Pembinaan Motivasi dan Konseling Hasil wawancara narapidana semuanya antosias ikut aktif dalam pembinaan ini. 11

2.2. Hasil Waawaancara dengan petugas bagian pembinaan yaitu kepala bidang pembinaan ,Edy Warsono, SH . Kepala staf bagian pembinaan (sdr. Agung, Klas I Batu Nusakambangan12 Pembinaan khusus tentang pembinaan napi teroris. metode yakni memasukan narapidana teroris ke dalam blok-blok narapidana lainnya, tentunya hal ini dengan cara pendekatan persuasif, misalnya untuk Iman santoso)

Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan

Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012. 10 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012. 11 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012. 12 Hasil wawancara dengan Narapidana Terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.

lebih menjaga iman, lebih berbaur, menguji keimanan dan lainnya. Pembinaan secara umum tetapi mengacu kepada 10 prinsip pemasyarakatan. Ruang lingkup pembinaan juga tetap mengacu kepada PP No. 31 tahun 1999 tentang pembinaan dan pembimbingan Warga binaan pemasyarakatan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan, intelektual, sikap dan perilaku, professional, kesehatan jasmani dan rohani Warga binaan pemasyarakatan. a. b. c. d. Adapun pembinaan yang dilakukan meliputi ; Pembinaan kepribadian Pembinaan kemandirian Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara.

Untuk pembinaan napi teroris petugas harus paham bahwa perlakuan terhadap mereka juga ada perlakuan khusus baik dalam pengawasan maupun pembinaan Perlakuan terhadap mereka lebih bersifat persuasif namun tidak mengesampingkan kewaspadaan pengamanan. . Libatkan dalam kegiatan yang ada dalam lapas baik yang bersifat keagamaan (pantauan dan pengawasan khusus) ataupun kegiatan olahraga dan ketrampilanidana terorisme. Dalam pembinaan narapidana khusus terorisme protap dan aturan lain untuk pembinaan khususnya terorisme belum terbentuk dan yang dijadikan dasar undang undang No 2.5.1. narapidana pada umumnya. 2.5.2. Pembinaan narapidana setelah masa adaptasi di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan terhadap narapidana teroris ditempatkan pada blok umum dan blok khusus. 2.5.3. Kegiatan yang di bolehkan untuk dilakukan oleh narapidana teroris salah satunya adalah kegiatan ibadah berjamaah.

2.5.4. Standar operasional prosedur pengawasan narapidana teroris sangat dipengaruhi masa hukumannya apakah

tinggi atau rendah. 2.5.5. Proses adaptasi dan sosialisasi narapidana teroris Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan kami nilai cukup baik, mereka gampang berasimilasi dengan narapidana lain . 2.5.6. Upaya yang dilakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan dalam menghadapi hambatan

pembinaan narapidana teroris adalah dengan berkordinasi dengan instansi pemasyarakatan lainnya, saling bertukar informasi, instansi penegak hukum lainnya, pondok pesantren, dan Majelis Ulama Indonesia guna pembinaan dan pelurusan akhlak.

2.

Data Sekunder 2.1. Kualifikasi Narapidana Resiko Tinggi Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-58.0T.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23 April 2010 tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi,

2.2.

Pembinaan Narapidana 2.2.1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan (pasal 5, 6, 7, 4, 3, 9 2.2.2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan (pasal 2)

Efektivitas

Pembinaan

Narapidana

Khusus

Terorisme

Di

Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan .

Pembinaan narapidana terorisme bertujuan agar narapidana sadar akan perbuatannya sehingga pada saat kembali ke dalam masyarakat ia akan

menjadi baik, baik dari segi keagaman, sosial budaya maupun moral sehingga akan tercipta keserasian dan keseimbangan di tengah-tengah masyarakat.

Pengaturan pembinaan tersebut juga dilakukan terhadap narapidana terorisme, tetapi dengan sedikit perbedaan. Pembinaan narapidana

terorisme dilakukan dengan tahapan awal, tahapan lanjutan pertama, tahapan lanjutan kedua dan tahapan akhir.

Masa pembinaan awal dapat di gambarkan dalam bagan sebagai berikut :


Sejak1/3 sampai bagian dari masa pidana Persiapan utk mendapatkan remisi dan asimilasi Evaluasi Perilakudengan rekomendasi ahli PK BAPAS Pembatasan Informasi Pembatasan Kunjuangan

Laporan Ke Kanwil dan Dirjenpas

Program Kerja Sosial

Evaluasi untuk peningkatan program

Masa pembinaan tahap awal ditentukan berdasarkan masa pidana yang sudah dijalani Narapidana Resiko Tinggi, terhitung sejak diterima hingga sekurang-kurangnya 1/3 masa pidana, pada pembinaan tahap awal dilakukan hal-hal sebagai berikut: a. Identifikasi latar belakang Narapidana Resiko Tinggi melalui konseling, melibatkan psikolog, psikiater, hypnotherapist, pekerja sosial dan pemuka agama. b. Melakukan penilaian sementara terhadap Narapidana Resiko Tinggi berdasarkan hasil konseling. c. d. Menentukan terapi yang dibutuhkan. Terapi untuk merubah cara pandang dan pola pikir dapat menggunakan teknik :

e.

Pembinaan agama atau spiritual dengan melibatkan pemuka agama dengan pendekatan belajar yang berbeda.

f.

Pendekatan sosial kemasyarakatan dengan melibatkan peran keluarga dan elemen masyarakat.

g.

Menggunakan metode Cognitive Behaviour Theraphy (CBT) untuk melakukan terapi kognitif dan terapi perilaku.

h.

Menggunakan Hypnotherapy yakni untuk menanamkan nilainilai baru di alam bawah sadarnya.

Pada masa tahapan awal dilakukan Pembinaan Kepribadian meliputi pembinaan kesadaran agama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara pembinaan kesadaran hukum, pembinaan intelektual,dan terapi rehabilitasi sosial. Pembinaan kesadaran beragama meliputi kegiatan berbentuk ceramah dan diskusi agama. Kegiatan inilah yang jarang dilakukan narapidana terorisme. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat dalam matriks berikut : No 1. Nama Informan Subur Sugiarto Als Abu Mujahid Als Abu Isa Als Marwan Hidayah Substansi Tema Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

2.

3.

Pembinaan ini tidak penting, negara telah menzolimi perjuangan para pejuang islam pada masa kemerdekaan dan justru negara membuang pahlawanpahlawan islam yang ikut berjuang. Mustagifirin Als Untuk pembinaan bela negara Jek Als Sukarno sepanjang hal tersebut hanya Als Bagas Als pengetahuan masih saya Febi Als Adi dengarkan, tetapi untuk Irwanto Als upacara saya tidak mau Bowo Bin Bajuri Joko Wibowo Saya rasa ini Privasi saya Als Abu Sayyaf saya tidak mau ikut upacara, Bin Parman

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

4.

Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Achmad Hasan Saya tidak sudi menghormati Sikap tidak

menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara 5. Iwan Ideologi berbangsa kami Sikap tidak Dharmawan berbeda, negara sejati adalah menerima Muntho Als dengan menegakan khilafah Pembinaan Rois Als Fajar islamiyah. Berbangsa dan Als Abdul Fatah Bernegara Als Dharma Als Yadi Als Muhamad Taufik Als Rido Als Hendi Als Zainudin Bin Muhamad 6. Joko Suroso Als Kami memang tidak pernah Sikap tidak Pak Man ikut upacara, kadang speker menerima Bin Danu Kusno mesjd kami tidak izinkan Pembinaan untuk digunakan dalam Berbangsa dan upacara Bernegara 7. Syaiful Anam Pembinaan berbangsa dan Sikap tidak Als Mujahid bernegara tidak perlu menerima Als. dilakukan. Pembinaan Brekele Als Berbangsa dan Idris Als Joko Bernegara 8. Amir Ahmadi Ya memang kadang saya Sikap cukup Als Abu Jundy mengikuti upacara kadang menerima Als tidak. Pembinaan Ahmad Als Berbangsa dan Ghozy Bernegara 9. Mahfud Qomari Pembinaan ini adalah hal Sikap tidak Als Sutarjo . yang mubazir, tidak perlu menerima Als Ayyasi Als dilakukan dan Allah tidak Pembinaan Abi Isa suka hal yang sia-sia. Berbangsa dan Bernegara 10. Aris Mar'ruf Als Untuk pembinaan berbangsa Sikap cukup Nizar Als dan bernegara terkadang menerima Bagong Als Atit saya ikut. Pembinaan Als Wahyu Als Berbangsa dan Andre Bin Bernegara Souman 11. Aris Susanto Kalau saya ikut yang Sikap tidak Als Amin terbanyak saja, kalau rekan- menerima rekan jihad ikut saya ikut, jika Pembinaan tidak ya tidak. Berbangsa dan

Als Agung thogut yang kafir Cahyono Als Purnomo

Bernegara Sumber: Data primer yang diolah Berdasarkan matriks tersebut dapat diketahui bahwa, terdapat dua spesifikasi tema dalam memandang pembinaan berbangsa dan bernegara yaitu : a. b. Sikap cukup menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara Sikap tidak menerima Pembinaan Berbangsa dan Bernegara

Berdasarkan tema tersebut dapat diketahui bahwa masih ada narapidana terorisme yang dapat dibina baik wawasan berbangsa maupun wawasan bernegara, tetapi banyak juga yang menolak dengan tegas dilaksanakannya upacara kenegaraan. Salahuddin Wahid, menyatakan bahwa : Terorisme dilakukan dengan berbagai motivasi yaitu karena alasan agama, alasan ideologi, alasan untuk memperjuangkan kemerdekaan, alasan untuk membebaskan diri dari ketidakadilan, dan karena alasan kepentingan.13 Nasarudin Mochtar alias Abu Gar alias Harun punya pendapat menarik, yaitu : Jihad ini bukan persoalan perut. Kalau persoalan perut dengan uang akan selesai, tapi ini persoalan ideologi. Mereka bisa tidak mematahkan ideologi kita? Jika mereka secara ilmiah bisa membuktikan bahwa keyakinan kita adalah keliru maka secara otomatis mereka bisa berhasil dengan program deradikalisasi.14 Hal inilah yang sulit untuk dipaksakan, karena pada dasarnya Narapidana terorisme memang tidak suka untuk melakukan upacara, menghormati negara, presiden dan lainnya. Pembinaan lainnya yang dilakukan yaitu pembinaan kesadaran hukum adalah kegiatan melalui ceramah, diskusi, sarasehan, temuwicara, peragaan dan simulasi hukum berupa penyuluhan hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran

13 14

Salahuddin Wahid., dalam Abduh Zulfidar Akaha, Op cit, hal. 46. Taufik Andrie, Op cit.,hal. 4.

hukum yang tinggi sehingga mereka menyadari hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Berdasarkan hasil penelitan mengenai kesadaran hukum dan tujuan pemidanaan, dapat dilihat dalam matriks berikut : No 1. Nama Informan Subur Sugiarto Als Abu Mujahid Als Abu Isa Als Marwan Hidayah Mustagifirin Als Jek Als Sukarno Als Bagas Als Febi Als Adi Irwanto Als Bowo Bin Bajuri Joko Wibowo Als Abu Sayyaf Bin Parman Achmad Hasan Als Agung Cahyono Als Purnomo Substansi Tema

Penjara hanya masa Pemahaman istirahat saya, dan akan negatif tetap berjuang di jalan Allah

2.

Dipenjara agar saya Pemahaman sadar, pembinaan positif dilakukan agar menambah keterampilan saya untuk terjun di masyarakat. Mengerti, agar Pemahaman membuat saya jera positif Hanya sebagai tempat Pemahaman istirahat saja, saya negatif merasa benar melakukannya, kalaupun saya salah saya siap menanggung dengan hukuman ini (tidak mau menjawab) -

3.

4.

5.

6.

Iwan Dharmawan Muntho Als Rois Als Fajar Als Abdul Fatah Als Dharma Als Yadi Als Muhamad Taufik Als Rido Als Hendi Als Zainudin Bin Muhamad Joko Suroso Als Agar saya jera dan Pemahaman Pak Man tidak melakukannya lagi positif Bin Danu Kusno

Syaiful Anam Tempat penjeraan Als Mujahid Als. Brekele Als Idris Als Joko 8. Amir Ahmadi Agar tidak Als Abu Jundy melakukannya lagi Als Ahmad Als Ghozy 9. Mahfud Qomari Sebagai tempat melatih Als Sutarjo . mental dan spiritual Als Ayyasi Als Abi Isa 10. Aris Mar'ruf Als Mengerti, untuk tidak Nizar Als melakukannya lagi. Bagong Als Atit Als Wahyu Als Andre Bin Souman 11. Aris Susanto Agar saya jera dan Als Amin tidak melakukannya lagi Sumber: Data Primer yang diolah

7.

Pemahaman positif

Pemahaman positif

Pemahaman positif

Pemahaman positif

Pemahaman positif

Berdasarkan matriks tersebut dapat diketahui beberapa narapidana memiliki pemahaman yang positif terhadap Lembaga Pemasyarakatan, terhadap hukum dan terhadap tujuan pemidanaan. Dalam hal ini ada 8 narapidana terorisme yang menyatakan jera, sedangkan 2 orang memiliki pemahaman yang negatif terhadap Lembaga Pemasyarakatan, terhadap hukum dan terhadap tujuan pemidanaan. Berdasarkan Pasal 43 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga binaan pemasyarakatan bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme Pembebasan Bersyarat oleh Menteri apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Telah menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 2/3. (dua per tiga), dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;

b.

c.

Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurangkurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; dan Telah mendapat pertimbangan dari direktur jenderal pemasyarakatan.

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Cuti Bersyarat (CB). Surat persetujuan atau penolakan tersebut disampaikan kepada Kantor Wilayah untuk diterbitkan keputusan. Direktorat Jenderal dapat memberikan persetujuan dan menerbitkan surat keputusan Pembebasan Bersyarat (PB). Pemberian persetujuan terhadap usulan Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas. (CMB), dan Cuti Bersyarat (CB) ditentukan setelah berkoordinasi dengan instansi terkait yang berhubungan dengan kejahatannya dalam hal ini Detasemen Khusus 88 Anti Teror Kepolisian Republik Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian belum ada narapidana terorisme yang mendapatkan Asimilasi dan Pembebasan Bersyarat (PB) atau Cuti Menjelang Bebas. (CMB), dan Cuti Bersyarat .15 Berdasarkan hasil penelitian dapat dikualifikasikan metode pembinaan dan deradikalisasi narapidana terorisme dilakukan dengan caracara sebagai berikut : No 1 Tindakan Efek Tindakan Penilaian pembinaan observasi Pemencaran blok Narapidana terorisme Efektif hunian narapidana menjadi tidak terorisme bergerombol, mengurangi ekses bertemu, bertukar pikiran, menyebarkan paham sesama narapidana terorisme, melihat hal-hal baru Pendekatan Narapidana menjadi Efektif persuasif, simpatik, melunak,mau

15

Taufik Andri, Op cit., hal. 9.

kekeluargaan dan bimbingan konseling Debat aqidah, syariah jihad islam

Memberikan hak untuk memimpin dan mengurus

Metode panggilan

Pemasukan nilainilai humanistik

Memperkecil nilainilai perbedaan

Pembinaan keterampilan pertukangan, kaligrafi

las,

untuk berbicara dan tidak mudah mengaggap petugas sebagai kafir Narapidana semakin tertantang, semakin radikal dan menjauh dari petugas. Narapidana terorisme merasa bangga dan menurut, mau tidak mau mencontohkan hal yang benar terhadap narapidana umum lainnya Pemanggilan dilakukan dengan menyebut panggilan Uztadz, Antum, Akhi dan sebutan islamiah lainnya. Efeknya mereka merasa nyaman mengobrol dengan petugas. Narapidana terorisme sadar akan rasa cinta kasih sayang sesama manusia, menderitanya kehilangan seseorang, mengerti akan nilai sosial dan lainnya. Petugas mencoba memperkecil perbedaan syariah, aqidah, ideologi, kenegaraan dan lainnya, hal ini bertujuan untuk menjaga simpatik narapidana terorisme dengan petugas agar gampang untuk dibina. Narapidana terampil untuk dapat menghasilkan sesuatu, keterampilan untuk bekerja di masa yang akan datang, termotifasi untuk meninggalkan organisasi, ideologi jihad

Kurang Efektif

Efektif

Efektif

Efektif

Efektif

Efektif

10

Pembekalan petugas tentang syariah, aqidah, khilafah islamiyah dan anjuran untuk menghindari pembicaraan tersebut. Motivasi masa depan dan pembinaan kesadaran hukum.

dan fokus memperbaiki diri, memantapkan tujuan dimasa yang akan datang Petugas terampil dalam Efektif memberikan pembinaan, tidak kalah berdebat, dapat mematahkan argumen narapidana terorisme secara logis dan menerima pendapat tersebut. Narapidana semakin Efektif mantap untuk menata masa depan, tidak melakukan tindak pidana terorisme lagi.

Secara khusus metode pembinaan dan deradikalisasi yang dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan tersebut memperoleh hasil yang cukup baik, walaupun ada beberapa narapidana terorisme yang masih radikal. Mengukur efektif atau tidak efektifnya suatu metode pembinaan narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu

Nusakambangan, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan warga masyarakatterhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa : Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup.16 Pembinaan dan deradikalisasi narapidana terorisme pada dasarnya dilakukan untuk mengembalikan narapidana kejalan yang benar, selain itu untuk membina kesadaran hukum .

16

Soekanto Soerjono, Op cit., hal. 62

Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masysrakat, artinya hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan filosofis.17 Term efektivitas secara umum menurut Soerjono Soekanto, derajat efektivitas suatu hukum ditentukan antara lain oleh taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk para penegak hukumnya. Sehingga dikenal suatu asumsi, bahwa :18 Taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indikator berfungsinya suatu sistem hukum. Dan berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan melindungi masyarakat dalam pergaulan hidup. Dalam ilmu sosial antara lain dalam sosiologi hukum, masalah kepatuhan atau ketaatan hukum atau kepatuhan terhadap kaidah-kaidah hukum pada umumnya telah menjadi faktor yang pokok dalam menakar efektif tidaknya sesuatu yang ditetapkan dalam hal ini hukum.19 Dalam negara yang berdasarkan hukum, berlaku efektifnya sebuah hukum menurut Bustanul Arifin apabila didukung oleh tiga pilar pokok, yaitu : a. Lembaga atau penegak hukum yang berwibawa dan dapat diandalkan; b. c. Peraturan hukum yang jelas dan sistematis; Kesadaran hukum masyarakat tinggi. 20

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan metode wawancara dan observasi penulis mengkualifikasikan dua karakteristik narapidana setelah dilakukan metode pembinaan dan deradikalisasi antara lain : a. Menerima pembinaan dan deradikalisasi

Ibid., hal.53 Ibid., hal. 62 19 Soejono Soekanto, Sosiologi ; Suatu Pengantar, Op cit., hal. 20 20 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, Gema Insani Press, Jakarta, 1985, hal. 2.
18

17

Narapidana teroris dalam karakteristik pertama ini punya kecenderungan untuk bersedia menerima bantuan keuangan, mudah memberi informasi, terbuka dalam tukar pendapat dan mendapatkan perlakuan khusus dalam penahahan. Proses pendampingan melalui diskusi ini berjalan dengan cukup baik. b. Menolak pembinaan dan deradikalisasi Narapidana teroris karakteristik kedua ini merupakan kebalikan dari narapidana yang kooperatif, baik terhadap polisi maupun pada petugas penjara. Berdasarkan hasil wawancara dengan Edy Warsono, SH Kasi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan dapat diketahui bahwa : Perlakuan terhadap mereka lebih bersifat persuasive namun tidak mengesampingkan kewaspadaan pengamanan. (bahwa fisik kecil namun efek pengembangan paham mereka cukup besar). Pendekatan dengan mereka dimulai dari waktu admisi orientasi. Tempatkan pada blok khusus adakan pendekatan / silaturahmi, jangan masuk pada percakapan yang terkait dengan aqidah makna jihad dan hal-hal yang khilafiyah, sapa mereka dengan sebutan yang agamis missal antum akhi, ustadz dan lainnya jangan gunakan panggilan kamu. Libatkan dalam kegiatan yang ada dalam lapas baik yang bersifat keagamaan (pantauan dan pengawasan khusus) ataupun kegiatan olahraga dan ketrampilan. Dalam hal hak-hak mereka yang terkait dengan remisi dan Pembebasan Bersyarat pahamkan bahwa lapas sekedar mengusulkan kewenangan ada pada pusat, hal ini karena mereka umumnya cerdas dan normatif (tunjukan surat pengusulannya) ini dilakukan agar mereka tetap percaya pada kita. Melalui metode ini saya rasa cukup berhasil, bahkan negara lain seperti Australia berguru pada Indonesia mengenai metode pembinaan narapidana terorisme.21 1. Kendala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan Dalam Melaksanakan Pembinaan Narapidana Khusus Teroris. Van Appeldoorn sebagaimana yang dikutip oleh Budiono

Kusumohamidjojo menyatakan bahwa, tujuan hukum adalah tertib masyarakat yang damai dan seimbang. Namun yang menjadi permasalahan
Hasil wawancara dengan Edy Warsono, SH Kasi Bimbingan Kemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan, pada tanggal 28 April 2012.
21

adalah suatu tertib hukum pasti menghasilkan ketertiban umum, tetapi ketertiban umum belum tentu merupakan hasil dari tertib hukum.. Sehingga tidak berlebihan jika ditegaskan bahwa fungsi utama dari hukum adalah untuk menegakkan keadilan.22 Hukum memiliki 3 (tiga) peranan utama dalam masyarakat antara lain: a. b. c. Sebagai sarana pengendali sosial. Sebagai sarana untuk memperlancar proses interaksi sosial. Sebagai sarana untuk menciptakan keadaan tertentu.23

Sebagai suatu sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem, yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait (relation) dan kemudian membentuk struktur (structure). Lawrence W. Friedman, membaginya menjadi 3 (tiga) elemen, yaitu: elemen struktural (structure), substansi (substance), dan budaya hukum (legal culture). Pada bagian lain Lawrence W. Freidman menambah satu elemen lagi, yaitu dampak (impact). Pandangan Lawrence W. Freidman tentang sistem hukum dikelompokkan sebagai pandangan yang luas yang memasukkan elemen-elemen lain yang non-hukum. sebagai elemen hukum.24 Berdasarkan hasil penelitian dapat dikelompokan bahwa, kendala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan antara lain: a. b. Tidak adanya peraturan yang jelas Tidak adanya program deradikalisasi yang menyeluruh berlaku di Indonesia. c. Tidak adanya patokan pembelajaran pembinaan narapidana terorisme. d. Karakteristik bekerjasama. narapidana terorisme yang sulit diajak

Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematik Filsafat Hukum Grassindo, Jakarta, 1999, hal. 126. 23 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 34.
24

22

Achmad Ali, 2002, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 8

e.

Kurangnya Sumber Daya Manusia yang paham mengenai keagamaan.

Mengkaji

kendala

Lembaga

Pemasyarakatan

dalam

membina

narapidana terorisme, maka sebelumnya akan melihat cara bekerjanya hukum di dalam Lembaga Pemasyarakatan tersebut. Chambliss dan Robert B. Seidman dalam Esmi Warassih menyatakan bahwa dalam bekerjanya hukum terdapat alur-alur yang dapat dicermati.25 Alur dan faktor-faktor penting tersebut, yaitu : a. b. c. d. Peraturan-peraturan hukumnya; Badan pembuat undang-undang; Badan pelaksana hukum (sanctioning agencies); Masyarakat sebagai sasaran pengaturan (dalam diagram dikualifikasikan sebagai pemegang peran, yang berarti peranannya di dalam masyarakat ditentukan oleh apa yang dirumuskan di dalam peraturan); Proses penerapan hukum; Komunikasi hukumnya; Kompleks kekuatan sosial politik dan lain-lain yang bekerja atas diri pembuat undang-undang, birokrasi (pelaksana hukum) maupun masyarakat sendiri sebagai pemegang peran; dan Proses umpan balik antara semua komponen tersebut. 26

e. f. g.

h.

Peraturan menjadi salah satu faktor terpenting dalam proses pembinaan narapidana terorisme. Tidak ada prosedur dan program yang baku tentunya akan mengakibatkan banyak variasi pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sejauh ini harus diakui bahwa pemerintah Indonesia belum memiliki pola deradikalisasi yang integrated, yang melibatkan multi-institusi. Polisi masih berjalan sendirian. Apakah Lapas secara institusi punya program deradikalisasi? Sayangnya, tidak semua. Bahkan Lapas adalah institusi terlemah yang seringkali menjadi kambing hitam (disalahkan) ketika ada residivisme terorisme. Namun kini setidaknya Lapas memiliki SOP dalam menangani narapidana teroris. Menurut Friedman, the substance is composed of substanctive rules and rules about how institutions should be have. Jadi, yang dimaksud
25 26

Ibid., hal.12. Ibid., hal.121-122.

substansi menurut Friedman adalah aturan, norma, dan pola perilaku yang nyata manusia yang berada dalam sitem itu. Substansi disini termasuk pula the living law (hukum yang hidup) dan tidak hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang atau law in the book. 27 Permasalahan yang sering terjadi adalah peraturan-peraturan yang ada belum memiliki peraturan pelaksana padahal dalam undang-undang tersebut diamanatkan demikian, kemudian adapula undang-undang yang tidak diikuti asas-asas berlakunya undang-undang serta ketidakjelasan arti kata-kata

dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpangsiuran dalam penafsiran dan penerapannya. Selain itu permasalahan peraturan mengenai Pemasyarakatan ialah, Undang-Undang 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan sudah usang dan belum menampung pembaharuanpembaharuan pemasyarakatan. Ketidakpastian Hukum juga akan menghambat proses pembinaan narapidana terorisme. Narapidana teroris pintar bermain peran, kadang mereka begitu keras dan berani melawan petugas. Kadang mereka begitu lunak dan kompromi pada petugas. Narapidana teroris punya pengetahuan dan ketrampilan yang memadai untuk sekedar memasukkan atau mengeluarkan barang seperti buku dan manuskrip terjemahan. Karena itulah, perlu dibuat Prosedur Tetap Narapidana Khusus Terorisme dan program pembinaan serta deradikalisasi yang terintegrasi menjadi satu kesatuan. Kendala dalam penerapan program deradikalisasi ini muncul dari dua sisi. Pertama, dari sisi program deradikalisasi itu sendiri yang belum memiliki metode dan alat ukur yang jelas. Fokus dan sasaran program atau subyek deradikalisasi juga masih samar. Kedua program deradikalisasi hanya bersifat sporadis dan tidak mencakup semua sasaran. Pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan bukanlah hal yang gampang, tetapi butuh keuletan, kecerdasan dan juga ketegasan dalam
27

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Op cit., hal.

menghadapi narapidana. Dalam melakukan pembinaan hal yang terlebih dahulu perlu dicapai adalah keamanan dan ketertiban di lingkungan lembaga pemasyarakatan. Dalam teori Chambliss dan Robert B. Seidman dikatakan bahwa bekerjanya hukum juga dipengaruhi oleh masyarakat sebagai sasaran pengaturan (dalam diagram dikualifikasikan sebagai pemegang peran, yang berarti peranannya di dalam masyarakat ditentukan oleh apa yang dirumuskan di dalam peraturan). Dalam hal pembinaan narapidana terorisme maka yang dimaksud dengan masyarakat adalah narapidana terorisme itu sendiri. Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan merupakan suatu Lembaga Pemasyarakatan yang memiliki kualifikasi super maximum securuty. Narapidana yang dibinapun bukan kategori rendah, banyak narapidana-narapidana yang beresiko tinggi dibina di Lembaga

Pemasyarakatan tersebut, maka penanganan narapidana di sana bukan perkara mudah. Hal inilah yang menjadi kendala Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan. Berdasarkan hasil penelitian dan observasi, penulis dapat

mengkualiikasikan karakteristik narapidana terorisme sebagai berikut: a. b. c. Memiliki pemahaman garis keras radikal. Memiliki visi kedepan mengenai suatu negara Karena bersifat organisatoris, memiliki kecendrungan

bergerombol, memisahkan diri dari narapidana lainnya. d. e. Sulit diajak bekerjasama Sering menuntut

Karakteristik-karakteristiktersebut tentunya menghambat suatu proses pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan. Untuk itu perlu dilakukan suatu ide individualisasi pembinaan narapidana. Ide individualisasi pemidanaan yang bertujuan membina narapidana sesuai dengan karakteristik narapidana. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Ide Individualisasi pemidanaan ini

diatur dalam Pasal 12 yang berbunyi: (1) Dalam rangka pembinaan terhadap narapidana di LAPAS dilakukan penggolongan atas dasar: a. b. c. d. e. . Untuk menangani kendala yang timbul dalam diri narapidana terorisme itu sendiri maka petugas harus menerapkan sikap empati dalam menjalin relasi dengan kliennya. Dengan menguasai prinsip dasar ini diharapkan tujuan dari pembinaan yang dilakukan di Lapas dapat tercapai sebaikbaiknya. Seorang Pembina yang professional harus memiliki kemampuan dalam membimbing klien (yang dibina) agar dapat tertanam dalam jiwanya memiliki kejujuran dalam hidupnya, memiliki etos kerja yang kuat, dan memiliki kemampuan yang tinggi di bidangnya masingmasing. Untuk itu seorang petugas pembina harus mengetahui karakteristik narapidana terorisme, Chitambar menyatakan bahwa, interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua individu atau lebih, ketika individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki perilaku individu yang lain atau sebaliknya. 28 Sebagai dasar dari proses interaksi tersebut adalah kerja sama (cooperation), yang meliputi seluruh kegiatan pada kehidupan kelompokPada akhirnya Narapidana Terorisme juga harus berusaha dan memiliki kemauan yang kuat untuk memperbaiki diri, tidak hanya menyerahkan pada pembina. Narapidana Terorisme, tanpa kemauan dan usaha yang sungguh-sungguh, tidak akan dapat mencapai hasil pembinaan yang optimal. Hovland menjelaskan bahwa, perubahan sikap seseorang akan tergantung pada sejauh mana dia menanggapi suatu dorongan atau rangsangan (stimulus) itu Umur Jenis kelamin Lama pidana yang dijatuhkan Jenis kejahatan, dan Kriteria lainnya sesuai dengan perkembangan pembinaan.

kebutuhan

atau

JB Chitambar, Introductory Rural Sociology, Wiley Eastern Limited, India, New Delhi, 1973, hal. 265.

28

diperhatikan, dipahami dan diterima.29 Narapidana Terorisme harus belajar secara serius dengan cara memperhatikan, memahami dan menerima segala sesuatu yang diberikan dan ditugaskan oleh para pembina, dan dilakukan secara terus menerus agar berhasil. Beberapa kekuatan yang diperlukan dan dapat memotivasi individu, kelompok, organisasi, dan komunitas dalam upaya mengubah mereka yaitu: a) b) c) d) e) f) Kemauan untuk menerima pertolongan, Hasrat untuk meningkatkan atau memperbaiki keadaan Meyakini bahwa perubahan adalah memungkinkan Pembebasan dari kegelisahan Adanya respon untuk memaksakan diri, dan Adanya toleransi pada orang lain.30

Keenam cara memotivasi individu tersebut kunci utamanya adalah adanya niat yang kuat dari yang dibina (Narapidana Terorisme). Dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa sesungguhnya suatu amalan itu tergantung pada niatnya.

PENUTUP

A.

Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

S. Azwar, Sikap Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, hal. 63 A. Pincus, Social Work Practice: Model and Method, Peacock Publishers, Inc. Illinois, Peacock, 1972, hal.151
30

29

1.

Pembinaan narapidana khusus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Batu Nusakambangan dilakukan melalui metode-metode pemencaran blok hunian narapidana terorisme dengan Narapidana terorisme menjadi tidak bergerombol, mengurangi ekses bertemu, bertukar pikiran, menyebarkan paham sesama narapidana terorisme, melihat hal-hal baru. Pendekatan persuasif melalui metode tersebut narapidana menjadi simpatik, melunak, mau untuk berbicara dan tidak mudah mengaggap petugas sebagai kafir, metode kekeluargaan dan bimbingan konseling. Melalui metode pemberikan hak untuk memimpin dan mengurus dihasilkan Narapidana terorisme yang menurut, mau tidak mau mencontohkan hal yang benar terhadap narapidana umum lainnya. Metode panggilan dilakukan dengan menyebut panggilan Uztadz, Antum, Akhi dan sebutan islamiah lainnya. Terdapat beberapa efek dari Efeknya mereka merasa nyaman mengobrol dengan petugas., memperkecil nilai-nilai pemasukan nilai-nilai humanistik, pembinaan keterampilan

perbedaan,

pertukangan, las, kaligrafi, pembekalan petugas tentang syariah, aqidah, khilafah islamiyah dan anjuran untuk menghindari

pembicaraan tersebut, dan motivasi masa depan dan pembinaan kesadaran hukum. Metode yang di lakukan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusa Kambangan terbukti efektif, melalui metode tersebut terbangun kerjasama antara petugas dengan narapidana terorisme, petugas yang dihormati, berwibawa dan dapat diandalkan serta terbina kesadaran hukum narapidana terorisme. Metode ini cukup efektif dalam membina narapidana terorisme, dapat berhasil mereka mengikuti program pembinaan di Lapas Klas I Batu dan selama ini tidak ada yang masuk Lapas lagi setelah bebas, bahkan metode ini ditiru oleh negara lain, tetapi memang masih perlu disempurnakan baik dari segi Sumber Daya Manusia, Sarana dan Prasarana serta peraturan yang jelas.

2.

Kendala-kendala

di

Lembaga

Pemasyarakatan

Klas

Batu

Nusakambangan dalam melaksanaan pembinaan narapidana khusus teroris antara lain tidak adanya peraturan yang jelas, tidak adanya program deradikalisasi yang menyeluruh berlaku di Indonesia, tidak adanya patokan pembelajaran pembinaan narapidana terorisme, kurang tersedianya petugas yang memiliki dasar pengetahuan agama yang mendalam, dan karakteristik narapidana terorisme yang sulit diajak bekerjasama.

B.

Saran 1. Sebaiknya Direktur Jenderal Pemasyarakatan melakukan

pembentukan standard operational procedures (SOP) yang lengkap dan tepat berasal dari pengalaman pembinaan ditiapLembaga Pemasyarakatan yang nantinya dijadikan dasar peraturan yang bersifat menyeluruh. SOP ini diharapkan dapat berguna untuk memperjelas proses atau mekanisme yang harus dijalankan oleh petugas dalam memberikan perlakuan terhadap narapidana terorisme serta

mempermudah dalam menentukan garis pertanggungjawaban dalam setiap aktifitas. 2. Pemerintah perlu membuat suatu program deradikalisasi narapidana terorisme yang menyeluruh dan berlaku disetiap Lembaga

Pemasyarakatan. 3. Diperlukan pendidikan dan pelatihan serta pembekalan mengenai kepribadian dan keagamaan kepada petugas Lembaga Pemasyarakatan dalam membina narapidana terorisme. 4. Diperlukan pola rekruitmen petugas pembinaan yang menguasai dasar pengetahuan dan pemahaman keagamaan. 5. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu untuk memenuhi sarana dan prasarana di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan yang ruang dan blok huniannya sudah tua.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur A. Pincus. 1972. Social Work Practice: Model and Method. Peacock Publishers. Inc. Illinois. Peacock. Akaha, Abduh Zulfidar. 2002. Terorisme dan Konspirasi Anti Islam. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. Ali, Achmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Andrie, Taufik. 2011. Kehidupan Di Balik Jeruji: Terorisme dan Kehidupan Penjara di Indonesia. Position Paper No. 02. Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP). Jakarta. Arifin, Bustanul. 1985. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah. Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press. Jakarta. Ashofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. PT. Rineka Cipta.

Astuti, Fatima. 2012. Sejarah Terorisme di Indonesia. Makalah Yayasan Prasasti Perdamaian. Jakarta. Atmasasmita, Romli. 2000. Pengantar Hukum Pidana Internasional. PT Rafika Aditama. Bandung. Azwar, S. 1995. Sikap Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Bustanul Arifin. 1985. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah. Hambatan dan Prospeknya. Gema Insani Press. Jakarta. Dewanto, B.A. 1987. Peranan Faktor-faktor Sosiologis dalam Pertumbuhan Gereja-gereja Kristen di Kodya Bandung. PPS UNPAD. Bandung. Dirjosisworo, Soedjono. 1984. Sejarah (Pemasyarakatan). Armico. Bandung. dan Asas-asas Penologi

Golose, Petrus Reinhard. 2010. Deradikalisasi Terorisme. Humanis.Soul Approach dan Menyentuh Akar Rumput. Yayasan Kajian Pengembangan Ilmu Kepolisian (YPKIK). Jakarta.

Hardiman, F. Budi dkk..2005. Imparsial. Jakarta.

Terorisme. Definisi. Aksi dan Regulasi.

Harsono. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Djambatan. Jakarta. JB Chitambar. 1973. Introductory Rural Sociology. Wiley Eastern Limited. India. New Delhi. J Biesanz. 1969. Introduction to Sociology. Prentice-Hall. New Jersey. USA. Kusumohamidjojo, Budiono. 1999. Ketertiban yang Adil. Problematik Filsafat Hukum Grassindo. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung. Manullang, 2001. A.C. Menguak Tabu Intelijen. Motif dan Rezim. Panta Rhei. Jakarta. Moelyatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Mohamad, Simela Victor. 2002. Terorisme dan Tata Dunia Baru. Penerbit Pusat Pengkajian dan Pelayanan Informasi Sekretariat Jendral DPRRI. Jakarta. Muladi. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni. Bandung. Muladi. 2002. Demokrasi. HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta. The Habibie Center. Panjaitan, Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. 2007. Pidana Penjara Mau Kemana. CV. Indhill Co. Jakarta. Perpustakaan Nasional. 2009. Memburu Nurdin M Top dan Jaringan Terorisme di Indonesia. Bio Pustaka. Yogyakarta. Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana penjara dengan system Pemasyarakatan. Liberty. Yogyakarta. Priyatno, Dwidja. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. PT. Rafika Aditama. Bandung. Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman. 2011. Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan. Departemen Kehakiman Republik Indonesia. Jakarta.

Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Samosir, Djisman. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia. Bina Cipta. Bandung. Salam, Moch. Faisal. 2005. Motivasi Tindakan Terorisme. Mandar Maju. Bandung. Saleh, Roeslan. 1987. Stetsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. Santoso, Topo dan Zulfa Achyani. 2001. Kriminologi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soeharto. 1991. Hukum Pidana Materiil. Sinar Grafika. Jakarta. Soekanto, Soejono. 1996. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pres. Bandung. ----------------------. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. -------------------------. 1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Rajawali. Jakarta.

-------------------------. 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT.Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soekanto, Soerjono dan Pudji Santoso. 1985. Kamus Kriminologi. Ghalia. Jakarta. Soerjono, Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat. CV. Rajawali. Jakarta. Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Sudarto. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta.Bandung. Sumitro, Ronny Hanintjito. 1988. Metodologi Penelitian Hukum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Susanto. Kriminologi. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. 1995. hal 78. Vermonte, Philips J. 2003. Menyoal Globalisasi dan Terorisme dalam buku Terorisme. Definisi. Aksi dan Regulasi. Penerbit Imparsial. Jakarta.

Wahid, Abdul. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama. HAM dan Hukum. Retika Aditama. Bandung.

Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Peraturan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-58.0T.03.01 Tahun 2010 Tanggal 23 April 2010 tentang Prosedur Tetap Perlakuan Narapidana Resiko Tinggi. Sumber Lainnya Azis, Avyanti dan Harijanto.. Sebuah Dialog Untuk Mengakhiri Mata Rantai Kekerasan: Cara Pandang Baru Tentang Terorisme. Global Jurnal Politik Internasional. Vol. 5 No. 2. Mei 2003. hal. 10. Universitas Budiman, Sudrajat. 27 Desember 2009. Esensi Lembaga-PemasyarakatanSebagai-Wadah-Pembinaan-Narapidana. http//www.hmibecak.wordpress.com. 26 september 2010. Endang, Suryadinata. (20 Agustus 2009). Deradikalisasi Ala Belanda. http//EndangWordpress.com. diakses pada tanggal 4 Mei 2012. Hidayat, Farhan. 2005. Pemasyarakatan Sebagai Upaya Perlindungan terhadap Masyarakat. Warta Pemasyarakatan No. 19 Tahun VI. September 2005. Jakarta. hal. 27. Mardanih. 20 Agustus 2009. Deradikalisasi Terorisme. Program Pemberantasan Terorisme. http//www.kompas.com. diakses pada tanggal 4 Mei 2012. Muhammad, Mustofa. Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI. vol 2 no III (Desember 2002).

Muladi. Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi. Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI. vol 2 no III (Desember 2002). ---------. 2004. Penanggulangan Terorisme Sebagai Tindak Pidana Khusus. bahan seminar Pengamanan Terorisme sebagai Tindak Pidana Khusus. Jakarta. 28 Januari 2004. NN. History of Terrorism.<http://www.terrorismfiles.org/encyclopaedia/history_of_ terrorism.html. diakses pada tanggal 11 Desember 2011. Abubakar Ba-asyir. http://id.wikipedia.org/wiki/Abu_Bakar_Ba%27asyir. diakses pada tanggal 1 Mei 2012. Kepmen-Th-1990-Tentang-Pola-Pembinaan-Narapidana-atauTahanan. cjr.or.id. diakses pada tanggal 26 September 2010. narapidana-dan-lembaga-pemasyarakatan. diakses pada tanggal 26 April 2012. daceband.com/read....

NN.

NN.

NN.

NN.

Cara Dirjen PAS Mengatasi Over Kapasitas. http://www.primaironline.com/berita/hukum/cara-dirjen-pas-atasiover-capacity-di-lapas. diakses pada tanggal 2 Mei 2012.

Reinhard Hutagaol. Wajah Baru Teroris Di Indonesia. http://reinhardjambi. wordpress.com/ 2009/08/15/wajah-baru-teroris-di-indonesia/. diakses pada tanggal 2 Mei 2012. Sri Gunting. Tumbuh Kembang Fundamentalisme . Radikalisme Dan Terorisme. Sebagai Bahaya Latent Di Indonesia. http://jurnalsrigunting.wordpress.com/2012/03/27/tumbuh-kembangfundamentalisme-radikalisme-dan-terorisme-sebagai-bahaya-latentdi-indonesia/. diakses pada tanggal 1 Mei 2012. Selamat Ginting. et all. (28 Oktober 2009). Deradikalisasi Terorisme. http//www. republika.co.id. diakses pada tanggal 4 Mei 2012. The Britanica On-line Encyclopedia. <http://www.britannica.com/eb/article9071797/terrorism>. diakses 21 Februari 2007.

DAFTAR PUSTAKA Amiruddin dan Zainal Ashikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Armico. Bandung. Moeljatno. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. Muladi. 1998. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana. P.T Alumni. Bandung. ----------. 2004. Lembaga Pidana Bersyarat. PT. Alumni. Bandung. NN, Penjara Menjadi Sekolah Tinggi Kejahatan Bagi Pelanggar Hukum, http://www.bakinnews.com/index.php?option=com_content&view=art icle&id=1389:penjara-menjadi-sekolah-tinggi-kejahatan-bagipelanggar-hukum&catid=43:kab-pesisir-selatan&Itemid=65, Kamis, 19 Agustus 2010 06:29, diakses pada tanggal 08 Oktober 2010. NN, Terlibat Bentrok, Enam Napi Lapas Poso Dilarikan ke Rumah Sakit, http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/04/02/50857, 03 April 2010 | 05:02 wib, diakses pada tanggal 08 Oktober 2010. Panjaitan, Petrus Irawan dan Wiwik Sri Widiarti. 2008. Pembaharuan pemikiran Dr. Saharjo Mengenai Pemasyarakatan Narapidana. PT. Indhill.co. Jakarta. Prodjohamidjojo, Martiman. 1997. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana II. Pradnya Paramita. Jakarta. Purnomo, Bambang. 1985. Pelaksanaan Pembinaan Penjara dengan Sistem Permasyarakatan. Liberty. Yogyakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Saleh, Roeslan. 1987. Stetsel Pidana Indonesia. Aksara Baru. Jakarta. Satmoko, Widoyo. Lapas Purwokerto Over Kapasitas, http://www.progresifjaya.com/NewsPage.php?judul=Menkumham%2 0RI:%20Lapas%20Purwokerto%20Over%20Kapasitas&kategori_tulis an=Nusantara, 12 May 2009, diakses pada tanggal 08 Oktober 2010. Sholehuddin, M.. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana. Rajawali Pers. Jakarta.

Simorangkir, dkk. 1987. Kamus Hukum. Aksara Baru. Jakarta. Sugiyono. 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Sumitro, Ronny Hanintjito. 1988, Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta. Ghalia Indonesia. Sunggono, Bambang. 2006. Metode Penelitian Hukum. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

You might also like