You are on page 1of 68

Makalah sejarah Kerajaan di Indonesia bercorak hindu-buddha

Di susun oleh : Firman ahmadi (xi ips 2 ) Sma negeri senduro lumajang 2013-2014

kerajaan kutai Kerajaan Kutai (Kutai Martadipura) adalah kerajaan bercorak hindu yang terletak di muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu Sungai Mahakam. Kerajaan Kutai berdiri sekitar abad ke-4. Nama kerajaan ini disesuaikan dengan nama daerah tempat penemuan prasasti, yaitu daerah Kutai. Hal ini disebabkan, karena setiap prasasti yang ditemukan tidak ada yang menyebutkan nama dari kerajaan tersebut. Wilayah Kerajaan Kutai mencakup wilayah yang cukup luas, yaitu hampir menguasai seluruh wilayah Kalimantan Timur. Bahkan pada masa kejayaannya Kerajaan Kutai hampir manguasai sebagian wilayah Kalimantan. a. Sumber Sejarah Sumber yang mengatakan bahwa di Kalimantan telah berdiri dan berkembang Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu adalah beberapa penemuan peninggalan berupa tulisan (prasasti). Tulisan itu ada pada tujuh tiang batu yang disebut yupa. Yupa tersebut adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tiang untuk menambat hewan yang akan dikorbankan. Dari salah satu yupa tersebut diketahui Raja Mulawarman yang memerintah Kerajaan Kutai pada saat itu. Nama Mulawarman dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi pada Kaum Brahmana.

b. Kehidupan Politik Sejak muncul dan berkembangnya pengaruh hindu (India) di Kalimantan Timur, terjadi perubahan dalam kepemerintahan, yaitu dari pemerintahan suku dengan kepala suku yang memerintah menjadi kerajaan dengan seorang raja sebagai kepala pemerintahan. Berikut beberapa raja yang pernah memerintah Kerajaan Kutai: - Raja Kudungga Adalah raja pertama yang berkuasa di kerajaan kutai. Dapat kita lihat, nama raja tersebut masih menggunakan nama lokal sehingga para ahli berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Raja Kudungga pengaruh Hindu baru masuk ke wilayahnya. Kedudukan Raja Kudungga pada awalnya adalah kepala suku. Dengan masuknya pengaruh Hindu, ia mengubah struktur pemerintahannya menjadi kerajaan dan mengangkat dirinya sebagai raja, sehingga penggantian raja dilakukan secara turun temurun. - Raja Aswawarman Prasasti yupa menceritakan bahwa Raja Aswawarman adalah raja yang cakap dan kuat. Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kutai diperluas lagi. Hal ini dibuktikan dengan dilakukannya Upacara Asmawedha pada masanya. Upacara-upacara ini pernah dilakukan di India pada masa pemerintahan Raja Samudragupta ketika ingin memperluas wilayahnya. Dalam upacara itu dilaksanakan pelepasan kuda dengan tujuan untuk menentukan batas kekuasaan Kerajaan Kutai ( ditentukan dengan tapak kaki kuda yang nampak pada tanah hingga tapak yang terakhir nampak disitulah batas kekuasaan Kerajaan Kutai ). Pelepasan kuda-kuda itu diikuti oleh prajurit Kerajaan Kutai.

-Raja Mulawarman Raja Mulawarman merupakan anak dari Raja Aswawarman yang menjadi penerusnya. Raja Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa kejayaannya. Rakyat-rakyatnya hidup tentram dan sejahtera hingga Raja Mulawarman mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak.

c. Runtuhnya Kerajaan Kutai Kerajaan Kutai runtuh saat raja Kerajaan Kutai terakhir yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi Kerajaan Islam yang bernama Kesultanan Kutai Kartanegara. Peta Kecamatan Muara Kaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman Maharaja Asmawarman (anak Kundungga) Maharaja Mulawarman Maharaja Marawijaya Warman Maharaja Gajayana Warman Maharaja Tungga Warman Maharaja Jayanaga Warman Maharaja Nalasinga Warman Maharaja Nala Parana Tungga Maharaja Gadingga Warman Dewa Maharaja Indra Warman Dewa Maharaja Sangga Warman Dewa Maharaja Candrawarman Maharaja Sri Langka Dewa Maharaja Guna Parana Dewa Maharaja Wijaya Warman Maharaja Sri Aji Dewa Maharaja Mulia Putera Maharaja Nala Pandita Maharaja Indra Paruta Dewa Maharaja Dharma Setia

Kehidupan Ekonomi Kehidupan ekonomi di Kutai, tidak diketahui secara pasti, kecuali disebutkan dalam salah satu prasasti bahwa Raja Mulawarman telah mengadakan upacara korban emas dan tidak menghadiahkan sebanyak 20.000 ekor sapi untuk golongan Brahmana. Tidak diketahui secara pasti asal emas dan sapi tersebut diperoleh. Apabila emas dan sapi tersebut didatangkan dari tempat lain, bisa disimpulkan bahwa kerajaan Kutai telah melakukan kegiatan dagang. Kehidupan Budaya Dalam kehidupan budaya dapat dikatakan kerajaan Kutai sudah maju. Hal ini dibuktikan melalui upacara penghinduan (pemberkatan memeluk agama Hindu) yang disebut Vratyastoma. Vratyastoma dilaksanakan sejak pemerintahan Aswawarman karena Kudungga masih mempertahankan ciri-ciri keIndonesiaannya, sedangkan yang memimpin upacara tersebut, menurut para ahli, dipastikan adalah para pendeta (Brahmana) dari India. Tetapi pada masa Mulawarman kemungkinan sekali upacara penghinduan tersebut dipimpin oleh pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Adanya kaum Brahmana asli orang Indonesia membuktikan bahwa kemampuan intelektualnya tinggi, terutama penguasaan terhadap bahasa Sansekerta yang pada dasarnya bukanlah bahasa rakyat India sehari-hari, melainkan lebih merupakan bahasa resmi kaum Brahmana untuk masalah keagamaan.

Kerajaan tarumanegara kerajaan Tarumanegara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abad ke-7 m, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanegara adalah kerajaan hindu beraliran wisnu. Kerajaan Tarumanegara didirikan oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358, yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395). Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali gomati, sedangkan putranya di tepi kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah raja Kerajaan Tarumanegara yang ketiga (395-434 m). Ia membangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai. Kota itu diberi nama Sundapura pertama kalinya nama Sunda digunakan. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana. Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa pengembalian pemerintahan kepada raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam tahun tersebut yang menjadi penguasa Kerajaan Tarumanegara adalah Suryawarman (535 - 561 M) raja Kerajaan Tarumanegara ke-7. Dalam masa pemerintahan Candrawarman (515-535 M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya terhadap Kerajaan Tarumanegara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan hal yang sama sebagai lanjutan politik ayahnya. Kehadiran prasasti Purnawarman di pasir muara, yang memberitakan raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala bahwa ibukota sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Kerajaan Tarumanegara telah bergeser ke tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan rajatapura atau salakanagara (kota perak), yang disebut argyre oleh ptolemeus dalam tahun 150 M. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat pemerintahan raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I VIII). Ketika pusat pemerintahan beralih dari rajatapura ke Tarumanegara, maka salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah. Jayasingawarman pendiri Kerajaan Tarumanegara adalah menantu raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang maharesi dari salankayana di India yang mengungsi ke nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan maharaja samudragupta dari kerajaan magada.

Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Putera tokoh manikmaya ini tinggal bersama kakeknya di ibukota tarumangara dan kemudian menjadi panglima angkatan perang Kerajaan Tarumanegara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih Berkembang Ketika Cicit Manikmaya Mendirikan Kerajaan Galuh Dalam Tahun 612 M.

Gambar : Peta Letak Prasasti Kerajaan Tarumanegara

A. KEHIDUPAN DI KERAJAAN TARUMANEGARA 1. Kehidupan Politik Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti Tugu yang menyatakan raja Purnawarman telah memerintah untuk menggali sebuah kali. Penggalian sebuah kali ini sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi untuk memperlancar pengairan sawah-sawah pertanian rakyat. 2. Kehidupan Sosial Kehidupan sosial Kerajaan Tarumanegara sudah teratur rapi, hal ini terlihat dari upaya raja Purnawarman yang terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan rakyatnya. Raja Purnawarman juga sangat memperhatikan kedudukan kaum brahmana yang dianggap penting dalam melaksanakan setiap upacara korban yang dilaksanakan di kerajaan sebagai tanda penghormatan kepada para dewa. 3. Kehidupan Ekonomi Prasasti tugu menyatakan bahwavraja Purnawarman memerintahkan rakyatnya untuk membuat sebuah terusan sepanjang 6122 tombak. Pembangunan terusan ini mempunyai arti ekonomis yang besar nagi masyarakat, Karena dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mencegah banjir serta sarana lalu-lintas pelayaran perdagangan antardaerah di Kerajaan Tarumanegara dengan dunia luar. Juga perdagangan dengan daera-daerah di sekitarnya. Akibatnya, kehidupan perekonomian masyarakat Kerajaan Tarumanegara sudah berjalan teratur. 4. Kehidupan Budaya Dilihat dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf dari prasasti-prasasti yang ditemukan sebagai bukti kebesaran Kerajaan Tarumanegara, dapat diketahui bahwa tingkat kebudayaan masyarakat pada saat itu sudah tinggi. Selain sebagai peninggalan budaya, keberadaan prasasti-prasasti tersebut menunjukkan telah berkembangnya kebudayaan tulis menulis di kerajaan Tarumanegara.

B. RAJA-RAJA DI KERAJAAN TARUMANEGARA Tarumanagara sendiri hanya mengalami masa pemerintahan 12 orang raja. Pada tahun 669 M, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir, digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang puteri, yang sulung bernama Manasih menjadi istri Tarusbawa dari Sunda dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri

Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri Kerajaan Sriwijaya. Secara otomatis, tahta kekuasaan Tarumanagara jatuh kepada menantunya dari putri sulungnya, yaitu Tarusbawa. Kekuasaan Tarumanagara berakhir dengan beralihnya tahta kepada Tarusbawa, karena Tarusbawa pribadi lebih menginginkan untuk kembali ke kerajaannya sendiri, yaitu Sunda yang sebelumnya berada dalam kekuasaan Tarumanagara. Atas pengalihan kekuasaan ke Sunda ini, hanya Galuh yang tidak sepakat dan memutuskan untuk berpisah dari Sunda yang mewarisi wilayah Tarumanagara. Raja-raja Tarumanegara: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. Jayasingawarman 358-382 M Dharmayawarman 382-395 M Purnawarman 395-434 M Wisnuwarman 434-455 M Indrawarman 455-515 M Candrawarman 515-535 M Suryawarman 535-561 M Kertawarman 561-628 M Sudhawarman 628-639 M Hariwangsawarman 639-640 M Nagajayawarman 640-666 M Linggawarman 666-669 M

C. PRASASTI-PRASASTI KERAJAAN TARUMANEGARA 1. Prasasti Ciaruteun

Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4 baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja Purnawarman. Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu: a. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut). b. Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.

2. Prasasti Jambu

Prasasti Jambu atau prasasti Pasir Koleangkak, ditemukan di bukit Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor, prasasti ini juga menggunakan bahwa Sansekerta dan huruf Pallawa serta terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja Mulawarman. 3. Prasasti Kebon Kopi

Prasasti Kebon Kopi ditemukan di kampung Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor . Yang menarik dari prasasti ini adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu. 4. Prasasti Muara Cianten

Prasasti Muara Cianten, ditemukan di Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping tulisan terdapat lukisan telapak kaki. 5. Prasasti Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi berada di daerah 01037,29 BB (dari Jakarta) dan 63227,57, tepat berada di puncak perbukitan Pasir Awi (600 m dpl), Bojong Honje-Sukamakmur Bogor.

6. Prasasti Cidanghiyang Prasasti Cidanghiyang atau prasasti Lebak, ditemukan di kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja Purnawarman. 7. Prasasti Tugu

Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu, kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat diketahui dari prasasti tersebut. Hal-hal yang dapat diketahui dari prasasti Tugu adalah: a. Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi. b. Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Februari dan April. c. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja. D. SUMBER-SUMBER SEJARAH Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. Sedangkan sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Tiongkok antara lain: 1. Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme. 2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari Tolo-mo yang terletak di sebelah selatan. 3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo.

Berdasarkan tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang kerajaan Tarumanegara. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

Kerajaan Kalingga / Holing

Peta yang menggambarkan letak pusat kerajaan Kalingga. Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Asal Mula penyebutan Ho-ling Nama Ho-ling sebenarnya muncul ketika terjadi perubahan dengan mulai meluasnya kekuasaan Wangsa Sailendra. Sebelum perluasan ini, berita Cina dari Dinasti Sung Awal (420470 M) menyebut Jawa dengan sebutan She-po, akan tetapi kemudian berita-berita Cina dari Dinasti Tang (618-906 M) menyebut Jawa dengan sebutan Ho-ling sampai tahun 818. Namun penyebutan Jawa dengan She-po kembali muncul pada 820-856 M Catatan dari sumber lokal Kisah lokal Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Ada sebuah kisah yang menceritakan tentang ketat dan disiplinnya pemerintahan di Kerajaan Ho-ling. Ada seorang raja yang bermaksud untuk menyerang Ho-ling. Dia terlebih dulu mencoba mengamati situasi Kerajaan Ho-ling dengan cara meletakkan pundi-pundi uang emas di tengah jalan. Konon warga Ho-ling terkenal dengan kejujurannya, bahkan barang-barang yang terjatuh tidak ada yang berani untuk mengambilnya. Raja tersebut bernama Ta-shih. Selama 3 tahun barang tersebut aman di jalan dan secara tidak sengaja putra mahkota menginjak barang tersebut. Maka ratu memerintahkan untuk menghukum mati putra mahkota, tetapi para menteri mohon ampun padanya dan keputusan diubah dengan memotong kakinya, karena kakinya yang bersalah. Tak berhenti sampai di situ saja, para menteri juga memohon ampun lagi sehingga hanya jari-jari kakinya saja yang dipotong. Mengetahui hal itu, raja Ta-shih mengurungkan niatnya utnuk menyerang Kerajaan Ho-ling.

Ratu Shima

Carita Parahyangan

Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M). Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran. Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha. Berita Cina Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.

Catatan dari zaman Dinasti Tang Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Holing sebagai berikut.

Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera. Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu. Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading. Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah.

Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram. Catatan I-Tsing Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Cina. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana. Prasasti Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti ini ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

Prasasti Tukmas

Sementara di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, ditemukan Prasasti Sojomerto. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuna dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.

Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.

Prasasti Sojomerto Mata pencaharian Kerajaan Ho-ling mempunyai hasil bumiberupa kulit penyu, emas dan perak, cula badak dan gading. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam yang disebut sebagai bledug. Penduduk menghasilkan garam dengan memanfaatkan sumber air garam yang disebut sebagai bledug tersebut. Keagamaan Salah satu sumber yang berbicara tentang keagamaan Kerajaan Ho-ling adalah sumber Cina yang berasal dari catatan perjalanan I-tsing, seorang pendeta agama Budha dari Cina dan kronik Dinasti Sung. Dikatakan bahwa pada 664-667 M, pendeta Budha Cina bernama Hwuning dengan pembantunya Yun-ki datang ke Ho-ling. Di sana kedua pendeta tersebut bersamasama dengan Joh-na po-to-lo menerjemahkan Kitab Budha bagian Nirwana. Terjemahan inilah yang dibawa pulang ke Cina. Menurut I-tsing, Kitab suci Budha yang diterjemahkan tersebut sangat berbeda dengan kitab Suci Budha Mahayana. Menurut catatan Dinasti Sung yang memerintah setelah Dinasti Tang, terbukti bahwa terjemahan yang diterjemahkan HwuNing dengan Yun-ki bersama dengan Njnanabhdra itu adalah kitab Nirwana bagian akhir yang menceritakan tentang pembakaran jenazah sang Budha, dengan sisa tulang yang tidak habis terbakar dikumpulkan untuk dijadikan relik suci. Dengan demikian jelas bahwa Ho-ling tidak menganut agama Budha aliran Mahayana, tetapi menganut agama Budha Hinayana aliran Mulasarastiwada. Kronik Dinasti Sung juga menyebutkan bahwa yang memimpin dan mentahbiskan Yun-ki menjadi pendeta Budha adalah Njnanabhadra. Hubungan dengan negeri luar Pada masa Chen-kuang (627-649 M) raja Ho-ling bersama dengan raja To-ho-lo To-po-teng, menyerahkan upeti ke Cina. Kaisar Cina mengirimkan balasan yang dengan dibubuhi cap kerajaan dan raja To-ho-lo meminta kuda-kuda yang terbaik dan dikabulkan oleh kaisar Cina. Kemudian Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan (upeti lagi) pada 666 M, 767 M dan 768 M. Utusan yang datang pada 813 M (atau 815 M) datang dengan mempersembahkan empat budak sheng-chih (jenggi), burung kakatua, dan burung pin-chiat (?) dan benda-benda lainnya. Kaisar amat berkenan hatinya sehingga memberikan gelar kehormatan kepada utusan tersebut. Utusan itu mohon supaya gelar tersebut diberikan saja kepada adiknya. Kaisar amat terkesan dengan sikap itu dan memberikan gelar kehormatan kepada keduanya. Sampai dengan tahun 813 M, Ho-ling masih mengirim utusan ke negeri Cina dengan membawa hadiah berupa empat orang budak Sen-ki, burung kakatua, dan sejumlah jenis burung lainnya.

Kerajaan Sriwijaya Dalam bahasa Sansekertasri berarti bercahaya danwijaya berarti kemenangan. Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok I-tsing menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7 yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang bertarikh 682. Sriwijaya (Srivijaya) adl kerajaan maritim yg kuat di pulau Sumatera dan berpengaruh di Nusantara daerah kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja Thailand Semenanjung Malaya Sumatera Jawa Kalimantan dan Sulawesi. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahan mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangandiantara serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa ditahun 990 dan tahun 1025 serangan Rajendra Coladewa dari Koromandel selanjut tahun 1183 Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya. Dan di akhir masa kerajaan ini takluk di bawah kerajaan Majapahit. Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20 kedua kerajaan tersebut menjadi referensi olehkaum nasionalis utk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda. Sriwijaya disebut dgn berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebut Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebut Zabaj dan Khmer menyebut Malayu.Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang ada 3 pulau Sabadeibei yg berkaitan dgn Sriwijaya. Eksistensi Sriwijaya diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cds dari cole franaise dExtrme-Orient. Sekitar tahun 1992 hingga 1993 Pierre-Yves Manguin membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatra Selatan Indonesia). Namun Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak di provinsi Jambi sekarang yaitu pada kawasan sehiliran Batang Hari antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi. Pembentukan dan Pertumbuhan Kerajaaan Sriwijaya Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim. Negara ini tak memperluas kekuasaan diluar wilayah kepulauan Asia Tenggara dgn pengecualian berkontribusi utk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sekitar tahun 500 akar Sriwijaya mulai berkembang di wilayah sekitar Palembang Sumatera. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona utama daerah ibukota muara yg berpusatkan Palembang lembah Sungai Musi yg berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara saingan yg mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai Musi kaya akan berbagai komoditas yg berharga utk pedagang Tiongkok Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh datu setempat. Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya menjadikan Sriwijaya mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di abad ke-7 pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di

Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasi atas Kamboja sampai raja Khmer Jayawarman II pendiri imperium Khmer memutuskan hubungan dgn kerajaan di abad yg sama. DariPrasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Jayanasa Kerajaan Minanga takluk di bawah imperium Sriwijaya. Penguasaan atas Malayu yg kaya emas telah meningkatkan prestise kerajaan. BerdasarkanPrasasti Kota Kapur yg yg berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka Pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yg tak berbakti kepada Sriwijaya peristiwa ini bersamaan dgn runtuh Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yg kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata. Abad ke-7 orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan di Sumatera yaitu Malayu dan Kedah dan tiga kerajaan di Jawa menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan pada masa ini pula wangsa Melayu-Budha Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di abad ini pula Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Di masa berikut Pan Pan dan Trambralinga yg terletak di sebelah utara Langkasuka juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya. Di abad ke-9 wilayah kemaharajaan Sriwijaya meliputi Sumatera Sri Lanka Semenanjung Malaya Jawa Barat Sulawesi Maluku Kalimantan dan Filipina. Dengan penguasaan tersebut kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan maritim yg hebat hingga abad ke-13. Setelah Dharmasetu Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yg ekspansionis Samaratungga tak melakukan ekspansi militer tetapi lbh memilih utk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinan ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yg selesai pada tahun 825. Budha Vajrayana di Kerajaan Sriwijaya Sebagaipusat pengajaran Budha Vajrayana Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I-tsing yg melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studi di Universitas Nalanda India pada tahun 671 dan 695 serta di abad ke-11 Atisha seorang sarjana Budha asal Benggala yg berperan dalam mengembangkan Budha Vajrayana di Tibet. I-tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi ribuan sarjana Budha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Pengunjung yg datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah digunakan di pesisir kerajaan. Ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Relasi Kerajaan Sriwijaya dgn Kekuatan Regional Dari catatan sejarah danbukti arkeologi dinyatakan bahwa pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara antara lain Sumatera Jawa Semenanjung Malaya Kamboja dan Vietnam Selatan . Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yg mengenakan biaya atas tiap kapal yg lewat. Sriwijaya mengakumulasi kekayaan sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yg melayani pasar Tiongkok dan India.

Pada masa awalKerajaan Khmer juga menjadi daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya di propinsi Surat Thani Thailand Selatan sebagai ibu kota terakhir kerajaan tersebut pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan pagoda Borom That yg bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya Thatong (Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom. Sriwijaya juga berhubungan dekat dgn kerajaan Pala di Benggala dan sebuah prasasti berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputra mendedikasikan seorang biara kepada Universitas Nalada Pala. Relasi dgn dinasti Chola di India selatan cukup baik dan kemudian menjadi buruk setelah Rajendra Coladewa naik tahta dan melakukan penyerangan di abad ke11. Minanga merupakan kekuatan pertama yg menjadi pesaing Sriwijaya yg akhir dapat ditaklukkan pada abad ke-7. Kerajaan Melayu ini memiliki pertambangan emas sebagai sumber ekonomi dan kata Swarnnadwipa (pulau emas) mungkin merujuk pada hal ini. Dan kemudian Kedah juga takluk dan menjadi daerah bawahan. Masa Kejayaan Kerajaan Sriwijaya Pada paruh pertama abad ke-10 diantara kejatuhan dinasti Tang dan naik dinasti Song perdagangan dgn luar negeri cukup marak terutama Fujian kerajaan Min dan negeri kaya Guangdong kerajaan Nan Han. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada tahun 903 penulis Muslim Ibnu Batutah sangat terkesan dgn kemakmuran Sriwijaya. Daerah urban kerajaan meliputi Palembang (khusus Bukit Seguntang) Muara Jambi dan Kedah. Di tahun 902 Sriwijaya mengirimkan upeti ke China. Dua tahun kemudian raja terakhir dinasti Tang menganugerahkan gelar kepada utusan Sriwijaya. Dari literatur Tiongkok utusan itu mempunyai nama Arab hal ini memberikan informasi bahwa pada masa-masa itu Sriwijaya sudah berhubungan dgn Arab yg memungkinkan Sriwijaya sudah masuk pengaruh Islam di dalam kerajaan. Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya Rajendra Coladewa pada tahun 1025 raja Chola dari Koromandel India selatan menaklukkan Kedah dan merampas dari Sriwijaya. Kemudian Kerajaan Chola meneruskan penyerangan dan berhasil penaklukan Sriwijaya selama beberapa dekade berikut keseluruh imperium Sriwijaya berada dalam pengaruh Rajendra Coladewa. Meskipun demikian Rajendra Coladewa tetap memberikan peluang kepada raja-raja yg ditaklukan utk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya. Setelah invasi tersebut akhir mengakibatkan melemah hegemoni Sriwijaya dan kemudian beberapa daerah bawahan membentuk kerajaan sendiri dan kemudian muncul Kerajaan Dharmasraya sebagai kekuatan baru dan kemudian mencaplok kawasan semenanjung malaya dan sumatera termasuk Sriwijaya itu sendiri. Istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1225 tak lagi identik dgn Sriwijaya melainkan telah identik dgn Dharmasraya dimana pusat pemerintahan dari San-fo-tsi telah berpindah jadi dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan Dharmasraya yg sebelum merupakan daerah bawahan dari Sriwijaya dan berbalik menguasai Sriwijaya beserta daerah jajahan lainnya. Antara tahun 1079 - 1088 kronik Tionghoa masih mencatat bahwaSan-fo-tsi masih mengirimkan utusan dari Jambi dan Palembang. Dalam berita Cina yg berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 mengirim utusan dimana pada masa itu Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi yg merupakan surat dari putri raja yg diserahi urusan negara San-fo-tsi serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan rumbia dan 13 potong pakaian. Dan kemudian dilanjutkan dgn pengiriman utusan selanjut di tahun 1088.

Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yg ditulis pada tahun 1178 Chou-JuKua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yg sangat kuat dan kaya yakni San-fo-tsi dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyat memeluk agama Budha dan Hindu sedangkan rakyat San-fo-tsi memeluk Budha dan memiliki 15 daerah bawahan yg meliputi; Pong-fong (Pahang) Tong-ya-nong (Terengganu) Ling-ya-sikia (Langkasuka) Kilantan (Kelantan) Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang) Ji-lo-ting (Cherating pantai timur semenanjung malaya) Tsien-mai (Semawe pantai timur semenanjung malaya) Pa-ta (Sungai Paka pantai timur semenanjung malaya) Tan-maling (Tambralingga Ligor selatan Thailand) Kia-lo-hi (Grahi Chaiya sekarang selatan Thailand) Pa-lin-fong (Palembang) Kien-pi (Jambi) Sin-to (Sunda) Lan-wu-li (Lamuri di Aceh) and Si-lan (Kamboja). DalamKidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan juga disebut Arya Damar sebagai bupati Palembang yg berjasa membantu Gajah Mada dalam menaklukkan Bali pada tahun 1343 Prof. C.C. Berg menganggap identik dgn Adityawarman. Dan kemudian pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura sesuai dgn manuskrip yg terdapat pada bagian belakang Arca Amoghapasa. Kemudian dari Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah yg kemungkinan ditulis sebelum pada tahun 1377 juga terdapat kata-kata bumi palimbang. Pada tahun 1275 Singhasari penerus kerajaan Kediri di Jawa melakukan suatu ekspedisi dalam Pararaton disebut semacam ekspansi dan menaklukan bhumi malayu yg dikenal dgn nama Ekspedisi Pamalayu yg kemudian Kertanagara raja Singhasari menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa raja Melayu di Dharmasraya seperti yg tersebut dalam Prasasti Padang Roco. Dan selanjut pada tahun 1293 muncul Majapahit sebagai pengganti Singhasari dan setelah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi naik tahta memberikan tanggung jawab kepada Adityawarman seorang peranakan Melayu dan Jawa utk kembali menaklukkan Swarnnabhumi pada tahun 1339. Dan dimasa itu nama Sriwijaya sudah tak ada disebut lagi tapi telah diganti dgn nama Palembang hal ini sesuai dgn Nagarakretagama yg menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit. Perdagangan Kerjaaan Sriwijaya Dalam perdagangan Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok yakni dgn penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kamper kayu gaharu cengkeh pala kepulaga gading emas dan timah yg membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yg melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal di seluruh Asia Tenggara. Pengaruh Budaya dan Agama Islam Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India pertama oleh budaya Hindu dan kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Agama Buddha diperkenalkan di Sriwijaya pada tahun 425 Masehi. Sriwijaya merupakan pusat terpenting agama Buddha Mahayana. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9. Sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu dan kebudayaan Melayu di Nusantara. Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yg termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara sekaligus sebagai pusat pembelajaran agama Budha juga ramai dikunjungi pendatang dari Timur Tengah dan mulai dipengaruhi oleh pedagang dan ulama muslim. Sehingga beberapa kerajaan yg semula merupakan bagian dari Sriwijaya kemudian tumbuh

menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak disaat melemah pengaruh Sriwijaya. Pengaruh orang muslim Arab yg banyak berkunjung di Sriwijaya raja Sriwijaya yg bernama Sri Indrawarman masuk Islam pada tahun 718. Sehingga sangat dimungkinkan kehidupan sosial Sriwijaya adl masyarakat sosial yg di dalam terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Bahkan disalah satu naskah surat adl ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717720M) dgn permintaan agar khalifah sudi mengirimkan dai ke istana Sriwijaya. Warisan Sejarah Kemaharajaan Sriwijaya Berdasarkan Hikayat Melayu pendiri Kesultanan Malaka mengaku sebagai pangeran Palembang keturunan keluarga bangsawan Palembang dari trah Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 keagungan gengsi dan prestise Sriwijaya tetap dihormati dan dijadikan sebagai sumber legitimasi politik bagi penguasa di kawasan ini. Nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di berbagai kota dan nama ini telah melekat dgn kota Palembang dan Sumatera Selatan.Universitas Sriwijaya yg didirikan tahun 1960 di Palembang dinamakan berdasarkan kedatuan Sriwijaya. Demikian pulaKodam Sriwijaya (unit komando militer) PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan)Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang) Sriwijaya TV Sriwijaya Air (maskapai penerbangan) Stadion Gelora Sriwijaya dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang) semua dinamakan demikian utk menghormati memuliakan dan merayakan kegemilangan kemaharajaan Sriwijaya. Di samping Majapahit kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah khusus bagi penduduk kota Palembang provinsi Sumatera Selatan dan segenap bangsa Melayu. Bagi penduduk Palembang keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yg sama juga berlaku bagi masyarakat Thailand Selatan yg menciptakan kembali tarian Sevichai (Sriwijaya) yg berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Kerajaan mataran Kuno Kerajaan Mataram Kuno (abad ke-8) adalah kerajaan Hindu di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Berdasarkan catatan yang terdapat pada prasassti yang ditemukan, Kerajaan Mataram Kuno bermula sejak pemerintahan Raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Ia memerintah Kerajaan Mataram Kuno hingga 732M.

Komplek Candi Dieng di Wonosobo, Jawa Tengah, merupakan peninggalan candi Hindu pada masa Kerajaan Mataram Kuno. Kerajaan Mataram Kuno diperkirakan berdiri sejak awal abad ke-8. Pada awal berdirinya, kerjaan ini berpusat di Jawa Tengah. Akan tetapi, pada abad ke-10 pusat Kerajaan Mataram Kuno pindah ke Jawa Timur. Kerajaan Mataram Kuno mempunyai dua latar belakang keagamaan yang berbedaa, yakni agama Hindu dan Buddha. Peninggalan bangunan suci dari keduanya antara lain ialah Candi Geding Songo, kompleks Candi Dieng, dan kompleks Candi Prambanan yang berlatar belakang Hindu. Adapun yang berlatar belakang agama Buddha antara lain ialah Candi Kalasan, Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Sewu, dan Candi Plaosan. Kerajaan Mataram di Jawa Tengah Kerajaan Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah terdiri dari dua wangsa (keluarga), yaitu wangsa Sanjaya dan Sailendraa. Pendiri wangsa Sanjaya adalah Raja Sanjaya. Ia menggantikan raja sebelumnya, yakni Raja Sanna. Konon, Raja Sanjaya telah menyelamatkan Kerajaan Mataram Kuno dari kehancuran setelah Raja Sanna wafat. Setelah Raha Sanjaya wafat, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno dipegang oleh Dapunta Sailendra, pendiri wangsa Sailendra. Para raja keturunan wangsa Sanjaya seperti Sri Maharaja Rakai Panangkaran, Sri Maharaja Rakai Panunggalan, Sri Maharaja Rakai Warak, dan Sri Maharaja Rakai Garung merupakan raja bawahan dari wangsa Sailendra. Oleh Karena adanya perlawanan yang dilakukan oleh keturunan Raja Sanjaya, Samaratungga (raja wangsa Sailendra) menyerahkan anak perempuannya, Pramodawarddhani, untuk dikawinkan dengan anak Rakai Patapan, yaitu Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya). Rakai Pikatan kemudian menduduki takhta Kerajaan Mataram Kuno. Melihat keadaan ini, adik Pramodawarddhani, yaitu Balaputeradewa, mengadakan perlawanan namun kalah dalam peperangan. Balaputeradewa kemudian melarikan diri ke P. SUmatra dan menjadi raja Sriwijaya.

Pada masa Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya Mahasambu berkuasa, terjadi perebutan kekuasaan di antara para pangeran Kerajaan Mataram Kuno. Ketika Sri Maharaja Rakai Sumba Dyah Wawa berkuasa, kerajaan ini berakhir dengan tiba-tiba. Diduga kehancuran kerajaan ini akibat bencana alam karena letusan G. Merapi, Magelang, Jawa Tengah. Kerajaan Mataram di Jawa Timur Setelah terjadinya bencana alam yang dianggap sebagai peristiwa pralaya, maka sesuai dengan landasan kosmologis harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Pada abad ke-10, cucu Sri Maharaja Daksa, Mpu Sindok, membangun kembali kerajaan ini di Watugaluh (wilayah antara G. Semeru dan G. Wilis), Jawa Timur. Mpu Sindok naik takhta kerajaan pada 929 dan berkuasa hingga 948. Kerajaan yang didirikan Mpu SIndok ini tetap bernama Mataram. Dengan demikian Mpu Sindok dianggap sebagai cikal bakal wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Perpindahan kerajaan ke Jawa Timur tidak disertai dengan penaklukan karena sejak masa Dyah Balitung, kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno telah meluass hingga ke Jawa Timur. Setelah masa pemerintahan Mpu Sindok terdapat masa gelap sampai masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga (1020). Sampai pada masa ini Kerajaan Mataram Kuno masih menjadi saatu kerajaan yang utuh. Akan tetapi, untuk menghindari perang saudara, Airlangga membagi kerajaan menjadi dua, yaitu Kerajaan Pangjalu dan Janggala.

Kerajaan syailendra Istilah sailendra wangsa dijumpai pertama kali di Indonesia dalam prasasti Kalasan tahun 700 Saka (778 M).kemudian istilah ini muncul pula di dalam prasasti dari desa Kelurak tahun 704 Saka (782 M). Didalam prasasti Abhayagiriwihara dari bukti Ratu Baka tahun 714 Saka (792 M).Di dalam prasasti kayumwungan than 743 Saka (824 M).Yang amat menarik perhatian ialah bahwa istilah Sailendrawangsa itu muncul pula di luar Jawa, yaitu di dalam prasasti Ligor B, Nalanda dan Leyden plates. Prasasti-prasati tersebut semuanya menggunakan bahasa Sansekerta, dan tiga di antaranya , kecuali prasasti Kayumwunga menggunakan huruf siddham, bukan uruf Pallawa atau huruf Jawa-Kuna sebagaimana umumnya prasasti- prasasti di Jawa. Kenyataan ini di tambah dengan kenyataan bahwa ada beberapa naman wangsa di india dan dratan Asia Tenggara yang sama artinya dengan syailendra, yaitu raja gunung, menimbulkan berbagai teori tentang asal usul jawa. R.C Majundar beranggapan bahwa wangsa sailendra di Indonesia, baik yang di jawa maupun yang di sriwijaya, berasal dari kalingga di selatan jawa. G. Coedes lebih condong pada anggapan bahwa wangsa sailendra di Indonesia itu berasal dari Fu-nan atau kamboja. Menurut pendapat ejaan Fu-nan dalam berita Cina berasal dari kata KhamerKuna vnan atau benyam yang berarti gunung; dalam bahasa khamer sekarang Phnom. Raja Fu-nan disebut parwatabhupala yang berarti raja gunung sama dengan kata syailendra. Setelah kerajaan Fu-nan itu runtuh sekitar tahun 620 M, maka anggota wangsa raja-raja Funan itu yg menyingkir ke jawa dan muncul sebagai penguasa disini pada pertengahan abad VIII M, dengan mengunakan nama wangsa syailendra. J Przyluzki mengatakan bahwa Coedes itu dilakukan atas dasar tafsir yang meragukan dari satu bait didalam prasasti Kuk Prah Kot. Menurut luzky istilah saylendra wangsa menunjukkan bahwa raja-raja berasal syailendra yang brarti raja gunung. Ini merupakan sebutan bagi shiwa sama dengan girisa. Dengan kata lain raja-raja wangsa syailendra di Jawa menganggap leluhurnya ada diatas gunung. Ini merupakan petunjuk baginya bahwa istilah Syailendra asli Indonesia. Pendapat tersebut diatas telah dibahas oleh Nilakanta Sastri.Dia sendiri mengajukan pendapat bahwa wangsa Syailendra di Jawa itu berasal dari daerah Pandya di India selatan.Dan akhirnya J.L. Moen dalam salah satu karangannya yang menarik perhatian, dia mengemukakan pendapat bahwa Wangsa Syailendra itu berasal dari India Selatan.Yang semula berasal di sekitar Palembang, tetapi pada tahun 983 M melarikan diri ke Jawa karena serangan dari Sriwijaya. Diantara pendapat diatas yang kemudian banyak dianut adalah pendapat G.Coedes, lebih-lebih setelah J.G. De Casparis dapat menemukan istilah Waranarahdhirajaraja didalam prasasti dari candi plaosan lor, juga prasasti Kelurak, dan dia mengidentifikasikan waranara itu dengan waranara nagara atau na-fu-na didalam berita-

berita China, yaitu puat kerajaan Fu-nan setelah berpindah dari Wiyadhapura atau te-mu setelah mendapat serangan dari Chenla di bawah pimpinan Bhawawarman dan Citra sena pada pertengahan kedua abad 6 M selanjutnya De Casparis mengatakan bahwa setelah pindah ke na-fu-na yang biasa dilokasikan didekat Angkorborai ada diantara raja-raja itu yang pergi ke jawa dan berhasil mengalahkan raja yang berkuasa disana, yaitu sanjaya dan keturunannya. Jadi menurut de Casparis di Jawa mula mula berkuasa wangsa raja raja yangberagama Siwa, tetapi setelah kedatangan raja dari Na-fu-na itu yang behrasil menaklukkannya, maka di jawa tengah terdapat dua wangsa raja raja, yaitu wangsa Sanjaya yang beragama siwa, dan para pendtang itu yang kemudian menamakan dirinya sebagai wangsa sailendra yang beragama budha . Pendapat de Caparis itu diilhami oleh F.H.Van Nearssen, yang melihat bahwa didalam prasasti Kalasan tahun 778 M, yang berbahasa sangskerta ada dua pihak, yaitu fihak raja sailendra , yang hanya disebut sebagai permata sailendra tanpa nama, dan rakai panangkaran, raja bawahanya dari wngsa Sanjaya. Selanjutnya de Casparis mencoba mengadakan rekontruksi jalanya sejarah keadaan mataram sampai pada abad 9 M. Dengan landasan anggaan bahwa sejak abad pertengahan 8 ada dua wangsa raja raja yang berkuasa, yaitu wangsa Sailendra yang berasal dari Fu-nan, dan penganut agama budha Mahayana, yang berhasil menaklukan raja raja dari wangsa Sanjayaang beragama Siwa. Raja raja wangsa Sanjaya itu, sejak rakai Panangkaran hanya berkuasa sebagai raja bawahan, dan dalam berbagai kesempatan pembangunan candi-candi membantu raja wangsa Sailendra dengan memberikan tanah-tanah sebagai sima bagi candicandi itu.Pendapat de Casparis ini dikembangkan lagi oleh F.D.K. Bosch disana-sini. Pendapat bahwa bangsa sailendra berasal dari luar Indonesia (india atau Kamboja) ditentang oleh R.Ng. Poerbatjaraka, ia merasa amat tersinggung membaca teori tersebut, seolah-olah bangsandonesia sejak dulu hanyalah mampu diperintah oleh bangsa asing. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunannya adalah raja-raja dari wangsa Sailendra, asli Indonesia yang mulunya menganut agama siwa, tetapi sejak Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana. Sebagai salah satu alas an dia untuk menunjuk pada kitab carita parahyangan, yang antara lain memuat keterangan bahwat Rahyang Sanjaya telah menganjurkan anaknya Rahyangta Panaraban untuk meninggalakn agama yang dianutnya, karena ia ditakut oleh semua orang. Nama Rahyangta Panaraban diidentifikasikannya dengan Rakai P anangkaran. Penemuan baru berupa prasasti batu berbahasa melayu kuno di desa Sojomerto, kab.Pekalongan dan batu berbhasa yang tidak diketahui debngan jelas asalnya.Dan kini disimpan dalam koleksi pribadi Adam Malik, mungkin sekali memperkuat anggapan Poerbatjaraka. Prasati dari Sojomerto itu menyebutkan Dapunta Sailendra nama ayah dan ibunya yaitu Santanu dan Bradawati dan istrinya Sampula. Masih ada tokoh lagi yang disebut didalam prasasti ini yang sayang sekali namanya tidak terbaca namanya.Demikan pula istilah

yang menunjukan hubungan antara tokoh ini dengan Dapunta Sailendra, tidak terbaca keseluhan.Tokoh ini diberi pedikat Hiyang.Jadi mungkin sekali tokoh yang telah dipendewakan dan dianggap sebagai leluhur Dapunta Sailendra. Sebagaimana Isanawangsa berpangkal pada Mpu Sindok yang bergelar Sri Isanawikramadarmmottunggadewa dan Raja Sawangsa berpangkal pada Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa, tentunya Sailendrawangsa berpangkal kepada seoran leluhur yang gelarnya mengandung unsur Sailendra. Didalam Prasasti Sojomerto itu dijumpai nama Dapunta Sailendra yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata sansekerta sailendra karena di Sumatera dijumpai lebih banuaSailendra. Kenyataan bahwa ia menggunakan bahasa melayu kuno didalam prasastinya menunjukan bahwa ia orang Indonesia asli, mungkin sekali berasal dari Sumatera maka sesuai dengan asal usul nama-nama wansa yang lain itu daptlah disini disimpulkan bahwa Sailendra wangsa itu berpangkal kepada Dapunta. Dari prasati Sojomerto itu jelas bawa Dapunda Sailendra ialah penganut wangsa Siwa. Kapn dan apa sebabnya raja-raja wangsa Sailendra itu mulai menganut agama Buddha mungkin dapat diketahui dari prasasti milik Adam Malik, yang untuk sementara kita sebut dengan nama Prasasti Sankara. Prasati ini berbhasa sansekerta tetapi sayang yang ditemukan hanya bagian akhir.Ru

Rakai mataram sang ratu sanjaya Sebelum perpindahan pusat kerajaan terdapat berbagai sumber prasasti di mas seelum perpindahan itu. Pertama-tama disebutkan disini prssati di desa lebak, kecamatan Grabag (Magelang) Pasasti Tuk Mas.Prasati ini di pahat pada sebuah batu alam yang besar yang dekat dengan mata air.Hurufnya Pallawa yang tergolong muda dan bahasanya Sansekerta. Menurut analisa Paleoogafis dari krom prassti ini berasal pada abad pertengahan yang isinya pujian kepada suatu mata air yang keluar dari gunung hal ini disamakan dengan air yang mengalirkan airnya yang dingin dan bersih melalui pasi yang berbatu bagaikan sungai Gangga. Dari pahatan tulisan tersebut terdapat suatu laksana dan ala-alat upacara antar lain cakra, sanka, trisula, kundi, kapak, guntin, kudi, dolkmes dan empat bunga Padma. Hal ini menunukan kepada dewa Siwa bahwa ini bagaikan air suci dan bahwa didekatnya tentu ada pengolahan sumber air yang dikelola oleh para pendeta. Prasasti yang kedua adlah prasti camggal, yang berasal dai halaman pecandian diastase gunung Wukir kecamatan Salam (Magelang). Prasasti ini mengunakan Huruf Palawa dan bahasa Sansekerta, yang terdiri dari tiga bait berisi bahwa raja Sanjaya tela mendirikan lingga diatas bukit pada tangggal 6 oktober tahun 732 M. Lima bait selanjunya berisi pujian terhadap dewa Siwa, Brahma, dan Wisnu denagan catatan bahwa untuk Siwa sendi tersedia tiga bait. Bait ke tuju memji pulau Jawa yang subur dan banyak menghasilkan gandum (atau

padi) da kaya akan tambang emas. Siwa yan amat indah untk kesejahtraan dunia ang dikelilingi oleh sungai-sungai yang suci, antara lain sungai gangga bagunan tersebut terletak di Kunjarakunja. Dari prasasi yang diatas kiata dapat mengetahui bahwa pada tahun 723 M. raja sanjaya yang jelas adalah beragama Siwa yang telah mendirikan lingga di atas bukit.Kemungkuna bangunan lingga itu ilah cand yang hingga saa ini masih ada sisa-sisanya di atas gungng wukir, mengingat bahwa prastinya memmang berasal dari dari halaman percandian. Sanna, Sahanna, dan Sanjaya kemunkinna sekali adalah keturunnan-keturunna Dapunta Sailendra, sehinggga mereka masuk kedalam wangsa Sailendra. Hal ini dikarnakan dari sebuah prassti dari daftar raja-raja yang disebutkan di dalam prasasti Matyasih di medang. Ia kemudiaan disusul oleh rakai panankaran yang di antara Dapunta Sailendra dan Sima, atau Sima anatara Sanna masih ada seorang raja lagi yan hingga kini belum dapat ditemukan dari sumber sejarah. Raja sanjaya adlah raja yang pertama yang brkedudukan di Medang.Yang telah dikatakan oleh prasasti diatas, raja Sanna telah diserang oleh musuh dan telah gugur pada pertempuran tersebut.Mungkin sekali ibukota kerajaan juga di serbu dan ijrah. Kerena hal itu ak Sanjay dinobatkan sebagai raja, perlu dibangun ibukota baru, dengan istana yang baru yang disertai dengan pembangunnan candi untk pemujaan lingga kerajaan. Kemungknnan hali ini berhubngnna dengan kepercayaan bahwa istananyang telah diserbu oleh musuh yang kehilangna yuannya. Selain itu ada suatu ketertarikan yang lain bahwa di pulau jawa ada bangunnan yang suci untuk pemujaan dewa Siwa di daerah Kunjarakunja yang dikelilingi oleh sungaisungai suci, yang terutama di antaranya adalah sungai gangga. Seperti halnya telah yang disimpulkan bagunnan candi yang dimasud adalah parsati canggal itucandi banon dekat candi mendut yang arca-arcanya saja yang besar dan bercorak Klasik?Letak candi ini memeng di daerah progo dan sungai Elo, ini sesuai denagan pemeriaan denagan prassti, dengan menduga yang dimaksudkan sunai gangga adalah sungai kali Progo. Dan nama Kunjarakunja itu poerbatjarka pernah mengemukkakan perdapat bahwa daerah yang dimaksud saat itu yang saat ini menjadi daerah Sleman, berdasarkan arti kata yaitu hutan gajah dan adanya wanua ing alas i Saliman. Dan perdapat tersebut telah diragukan karena mnaman didalam prasti ke tiga sekarang ditambah denagan dua batu lagi batu sima yang membuat nama daerah itu harus dibaca wanua ing alas I Salaimar. Lagi pula kata kunjarakunla dapat juaga berate hutan fikus Religiosa atau huatan pohon Bodhi dan sejenisnya karena kata kunjara tidak berarti juga gajah tetapi nama beberapa jenis tanaman. Menurut de Casparis Bhanu itu seorang raja wangsa sailendra mengiggat bahwa terdapat lagi sebuah prasasti Ligor B ada nama raja Wisnu dan didalam prasasti Kelurak ada

nama raja indra. Dan ia berpendapat bahwa Bhanu itu tentu penganut agama Budha karena Isa merupakan nama lain dari sang Budha. Teori India Majumdar beranggapan bahwa keluarga ailendra di Nusantara, baik di rwijaya (Sumatera) maupun di Mda (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Nilakanta Sastri dan Moens. Moens menganggap bahwa keluarga ailendra berasal dari India yang menetap di Palembang sebelum kedatangan Dapunta Hiya.Pada tahun 683 Masehi, keluarga ini melarikan diri ke Jawa karena terdesak oleh Dapunta Hiya dengan bala tentaranya.Pada waktu itu rwijaya pusatnya ada di Semenanjung Tanah Melayu. Pernyataan yang hampir senada dengan Moens dikemukakan oleh Slametmulyana.Ia mengemukakan gagasannya itu didasarkan atas sebutan gelar dapunta pada Prasasti Sojomerto. Gelar ini ditemukan juga pada Prasasti Kedukan Bukit pada nama Dapunta Hiya. Prasasti Sojomerto dan Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti yang berbahasa Melayu Kuno. Karena asal bahasa Melayu Kuno itu dari Sumatera dan adanya politik perluasan wilayah dari Kadtuan rwijaya pada sekitar tahun 680-an Masehi, dapat diduga bahwa Dapunta Selendra adalah salah seorang pembesar dari Sumatera Selatan yang menyingkir ke pantai utara Jawa di sekitar Pekalongan. Teori Funan Coedes lebih condong kepada anggapan bahwa ailendra yang ada di Nusantara itu berasal dari Funan (Kamboja). Karena terjadi kerusuhan yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Funan, kemudian keluarga kerajaan ini menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa di Mda (Matarm) pada pertengahan abad ke-8 Masehi dengan menggunakan nama keluarga ailendra. Teori Jawa Pendapat bahwa keluarga ailendra berasal dari Nusantara (Jawa) dikemukakan oleh Poerbatjaraka. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya itu ialah rajaraja dari keluarga ailendra, asli Nusantara yang menganut agama iva. Tetapi sejak Paamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahyna, raja-raja di Matarm menjadi penganut agama Buddha Mahyna juga.Pendapatnya itu didasarkan atas Carita Parahiyangan yang menyebutkan bahwa R. Sajaya menyuruh anaknya R. Panaraban atau R.Tamperan untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya ditakuti oleh semua orang. Pendapat dari Poerbatjaraka yang didasarkan atas Carita Parahiyangan kemudian diperkuat dengan sebuah temuan prasasti di wilayah Kabupaten Batang. Di dalam prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Sojomerto itu disebutkan nama Dapunta Selendra, nama ayahnya (Santan), nama ibunya (Bhadrawati), dan nama istrinya (Sampla) (da p nta selendra namah santan nma nda bapa nda bhadrawati nma nda aya nda sampla nma nda

..). Menurut Boechari, tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah bakal raja-raja keturunan ailendra yang berkuasa di Mda. Nama Dapunta Selendra jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskrit ailendra karena di dalam prasasti menggunakan bahasa Melayu Kuno.Jika demikian, kalau keluarga ailendra berasal dari India Selatan tentunya mereka memakai bahasa Sanskrit di dalam prasasti-prasastinya.Dengan ditemukannya Prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga ailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra.Berdasarkan paleografinya, Prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sajaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthraga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya.Di sebutkan pula bahwa Sajaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dikawininya dan melahirkan Sajaya. Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama tiga orang penguasa di Mda (Matarm), yaitu Dapunta Selendra, Sanna, dan Sajaya. Raja Sajaya mulai berkuasa di Mda pada tahun 717 Masehi.Dari Carita Parahiyangan dapat diketahui bahwa Sena (Raja Sanna) berkuasa selama 7 tahun.Kalau Sajaya naik takhta pada tahun 717 Masehi, maka Sanna naik takhta sekitar tahun 710 Masehi.Hal ini bererti untuk sampai kepada Dapunta Selendra (pertengahan abad ke-7 Masehi) masih ada sisa sekitar 60 tahun.Kalau seorang penguasa memerintah lamanya kira-kira 25 tahun, maka setidak-tidaknya masih ada 2 penguasa lagi untuk sampai kepada Dapunta Selendra.Dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahawa Raja Mandimiak mendapat putra Sang Sena (Sanna).Ia memegang pemerintahan selama 7 tahun, dan Mandimiak diganti oleh Sang Sena yang memerintah 7 tahun. Dari urutan raja-raja yang memerintah itu, dapat diduga bahwa Mandimiak mulai berkuasa sejak tahun 703 Masehi.Ini berarti masih ada 1 orang lagi yang berkuasa sebelum Mandimiak. Berita Tionghoa yang berasal dari masa Dinasti Tang memberitakan tentang Kerajaan Ho-ling yang disebut She-po (=Jawa). Pada tahun 674 Masehi rakyat kerajaan itu menobatkan seorang wanita sebagai ratu, yaitu Hsi-mo (Ratu Simo).Ratu ini memerintah dengan baik.Mungkinkah ratu ini merupakan pewaris takhta dari Dapunta Selendra? Apabila ya, maka diperolehi urutan raja-raja yang memerintah di Mda, yaitu Dapunta Selendra (?674 Masehi), Ratu Simo (674-703 Masehi), Mandimiak (703-710 Masehi), R.Sanna (710-717 Masehi), R.Sajaya (717-746 Masehi), dan Rakai Paamkaran (746-784 Masehi), dan seterusnya. Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh dua wangsa yaitu Wangsa Syailendra yang beragama Buddha dan Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu Syiwa.Pada awal era Mataram Kuno, Wangsa Syailendra cukup dominan di Jawa Tengah.Menurut para ahli sejarah, Wangsa Sanjaya awalnya berada dibawah pengaruh kekuasaan Wangsa Syailendra. Mengenai

persaingan kekuasaan tersebut tidak diketahui secara pasti, akan tetapi kedua-duanya samasama berkuasa di Jawa Tengah. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syailendra tertera dalam prasasti Ligor, prasasti Nalanda maupun prasasti Klurak, sedangkan raja-raja dari keluarga Sanjaya tertera dalam prasasti Canggal dan prasasti Mantyasih.Berdasarkan candi-candi, peninggalan kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8 dan ke-9 yang bercorak Buddha (Syailendra) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian selatan, sedangkan yang bercorak Hindu (Sanjaya) umumnya terletak di Jawa Tengah bagian utara. Wangsa Syailendra pada saat berkuasa, juga mengadakan hubungan yang erat dengan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.Pada masa pemerintahan raja Indra (782-812), puteranya, Samaratungga, dinikahkan dengan Dewi Tara, puteri raja Sriwijaya.Prasasti yang ditemukan tidak jauh dari Candi Kalasan memberikan penjelasan bahwa candi tersebut dibangun untuk menghormati Tara sebagai Bodhisattva wanita. Pada tahun 790, Syailendra menyerang dan mengalahkan Chenla (Kamboja), kemudian sempat berkuasa di sana selama beberapa tahun. Candi Borobudur selesai dibangun pada masa pemerintahan raja Samaratungga (812-833).Borobudur merupakan monumen Buddha terbesar di dunia, dan kini menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia.Samaratungga memiliki puteri bernama Pramodhawardhani dan dari hasil pernikahannya dengan Dewi Tara, putera bernama Balaputradewa.

Pramodhawardhani, puteri raja Samaratungga menikah dengan Rakai Pikatan, yang waktu itu menjadi pangeran Wangsa Sanjaya.Sejak itu pengaruh Sanjaya yang bercorak Hindu mulai dominan di Mataram, menggantikan agama Buddha.Rakai Pikatan bahkan menyerang Balaputradewa, yang merupakan saudara Pramodhawardhani. Sejarah Wangsa Syailendra berakhir pada tahun 850, yaitu ketika Balaputradewa melarikan diri ke Sriwijaya yang merupakan negeri asal ibunya.

KERAJAAN MEDANG KAMULAN Kerajaan ini seringkali disebut dengan nama Medang Kamulan dapat dikatakan sebagai kelanjutan Mataram karena ia tak lain adalah ibukota Mataram. Nama kamulan bisa dianggap sebagai perubahan kata kamulyaan atau kemulian. Namun, sebagian ahli berpendapat, Medang Kamulan adalah ibukota Kediri atau Jenggala. Adapula yang menyebutnya Kerajaan Kahuripan. Pada masa Medang Kamulan (Kahuripan) inilah terjadi perpindahan kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, setelah Mataram hancur karena letusan Gunung Merapi. Pergeseran peta kekuasaan ini pada perkembangannya sangat menentukan sejarah perpolitikan di Jawa khususnya. Medang Kahuripan ini dibangun oleh keturunan raja Mataram. Namanya Mpu Sindhok, pendiri Dinasti Isana. Dinasti Isana ini memerintah Medang Kamulan selama satu abad sejak 929 M. 1. Letak Geografis Kerajaan Medang kamulan merupakan Kerajaan lanjutan dari Mataram Lama di Jawa Tengah. Letak Kerajaan berada di wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak Mpu sindok membentuk Dinasti Baru yaitu Isyana. 2. Sumber Sejarah

Prasasti Mpu Sindok

Prasasti ini menyebutkan beberapa tulisan tentang usaha-usaha yang dilakukan Mpu Sindok ketika memerintah di Kerajaaan Medang

Prasasti Calcuta Prasasti ini menyebutkan tentang silsilah raja-raja yang memerintah di Dinasti Isyana (Mpu Sindok) sampai masa masa pemerintahan Raja Air Langga.

3. Perkembangan Pemerintahan a. Mpu Sindok Mpu Sindok merupakan Raja pertama di Kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok memerintah selama 20 tahun. Ia dibantu oleh permaisurinya bernama Sri wardhani Pu Kbin . Saat memerintah, Mpu Sindok bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadwea. Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Berbagai usaha yang dilakukan untuk memakmurkan rakyat, antara lain membangun bendungan atau waduk untuk pengairan. Raja Mpu sindok melarang rakyat untuk menangkap ikan di bendungan tersebut. Larangan ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam. Dalam bidang agama, Mpu Sindok meskipun agama Hindu, sangat memperhatikan usaha penggubahan Kitab Buddha Mahayana. Hasil gubahan berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Ini membuktikan antara agama Hindu dan Buddha bisa hidup saling berdampingan. b. Dharmawangsa Teguh Setelah Mpu Sindok, Medang Kamulan diteruskan oleh Dharma Teguh yang juga merupakan cucu dari Mpu Sindok. Selama memerintah, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Usaha tersebut antara lain dengan meningkatkan pertanian, dan perdagangan. Akan usaha untuk meningkatkan perdagangan mengalami kesulitan. Karena perdagangan di kawasan perairan jawa dan Sumatera masih dikuasai Kerajaan Sriwijaya.Dalam rangka mematahkan pengaruh Sriwijaya, pada tahun 1003 M, Dharmawangsa mengirimkan tentaranya untuk merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya. Serangan tersebut ternyata tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya membalas melalui serangan kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan atau vassal Sriwijaya). Akibat serangan tersebut Kerajaan Medang mengalami kehancuran. Peristiwa kehancuran yang menewaskan Dharmawangsa disebut dengan Pralaya. c. Air langga (Erlangga) Air langga adalah putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah dengan Mahendradatta saudari raja Dharmawangsa. Air Langga dinikahkan oleh Dharmawangsa. Pada waktu pesta pernikahan, secara tiba-tiba datang serangan dari kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan Sriwijaya) yang menewaskan Dhramawangsa dan keluarga.Ketika terjadi peristiwa tersebut, Air Langga lolos dari pembunuhan. Atas bantuan Narattoma berhasil melarikan diri ke hutan. Selama di pengasingan, Air Langga mendapat gemblengan dari para Brahmana dan dinobatan menjadi raja. Akhir Langga berusaha memulihkan kewibawaan Kerajaan Medang. Secara berturut-turut Air Langga berhasil menaklukan raja-raja bawahan (vassal) Sriwijaya seperti Bisaprabhawa ditaklukan tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari Wengker tahun 1034, Raja Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wura Wuri tahun 1035. Setelah berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Air Langga memindahkan ibukota kerajaan Medang ke Kahuripan.

Usaha yang dilakukan Air Langga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Medang, antara lain : 1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, di muara Kali Brantas. 2. Membangun waduk waringin sapta untuk mencegah banjir musiman. 3. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan. Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban menjadi bender dagang yang ramai. Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja dan Champa berkunjung kedua tempat itu.Usaha-usaha yang dilakukan Air Langga, telah mendorong Kerajaan Medang Kamulan kepuncak kejayaan dan kemakmuran. Atas keberhasilan raja Air Langga tersebut dalam membangun kerajaan maka pengalaman hidupnya dikisahkan dalam sebuah kitab bernama Arjuna wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.Selain usaha dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, Air Langga pun sangat memperhatikan para Brahmana yang telah menggembleng ketika di hutan Bentuk perhatian Air Langga terhadap para Brahmana adalah dengan mendirikan bangunan suci di daerah Peucangan. Di penghujung akhir hayatnya, Air Langga memutuskan mundur dari kerajaan dan menjadi memutuskan untuk menjadi pertapa dengan sebutan resi Gentayu. Air Langga meninggal pada tahun 1049 M. Jenazahnya disemayamkan di lereng gunung Pananggungan dalam candi Belahan. Pewaris tahta kerajaan seharusnya seorang puteri (sri Sanggramawijaya) yang lahir dari permaisuri. Namun karena ia memilih menjadi pertapa, maka tahta beralih pada putera Air Langga yang lahir dari Selir. Untuk menghindari dari perang saudara, Air Langga membagi dua kerajaan. Pembagian dibantu oleh Mpu Bharada, yaitu Jenggala dan Panjalu. Batas kedua kerajaan dibatasi oleh sungai Brantas. Maka dengan demikian berakhirlah kerajaan Medang Kamulan sekaligus Dinasti Isyana Medang Kamulan Kerajaan Pertama Di Jawa.

Di posting saya terdahulu tentang perjalanan sejarah kerajaan kuno di indonesia, Kerajaan Medang Kamulan menempati posisi pertama sebagai kerajaan pertama yang ada di Jawa. Medang Kamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang (kamulan berarti permulaan, jadi Medang Kamulan berarti pra-Medang). Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat (misalnya dalam Legenda Loro Jonggrang) dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang lalim. Cerita rakyat lain (di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura) menyatakan, Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi. Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar. Van der Meulen menduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbatkan kepada Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya yang diajukan van Orsoy, dalam artikelnya tentang Kerajaan Ho-Ling yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada. Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah ia (Bujangga Manik) meninggalkan Pulutan (sekarang desa di barat kota Purwodadi) ia tiba di Medang Kamulan. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah ia menyeberang Sungai Wuluyu tibalah ia di Gegelang (Madiun selatan), di selatan Medang Kamulan. Naskah inilah yang pertama kali menyebut bahwa memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu adalah kerajaan. Masyarakat Sunda diketahui mengenal legenda mengenai kerajaan ini, yang dikatakan mendahului Kerajaan Sunda Galuh Kerajaan Medang Kamulan

Berdasarkan penemuan beberapa prasasti, dapat diketahui bahwa Kerajaan Medang Kamulan terletak di muara Sungai Brantas. Ibukotanya bernama Watan Mas. Kerajaan itu didirikan oleh Mpu Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu Sindok mencakup Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di sebelah timur, Surabaya di sebelah utara, dan Malang di sebelah selatan. Dalam perkembang-an selanjutnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan mencakup hampir seluruh wilayah Jawa Timur. a. Sumber Sejarah Sumber sejarah Kerajaan Medang Kamulan berasal dari berita asing dan prasasti-prasasti. b. Berita Asing Berita asing tentang keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur dapat diketahui melalui berita dari India dan Cina. Berita dari India mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Chola untuk membendung dan menghalangi kemajuan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa. Berita Cina berasal dari catatan-catatan yang ditulis pada zaman Dinasti Sung. Catatancatatan Kerajaan Sung itu menyatakan bahwa antara kerajaan yang berada di Jawa dan Kerajaan Sriwijaya sedang terjadi permusuhan, sehingga ketika Duta Sriwijaya pulang dari Cina (tahun 990 M), terpaksa harus tinggal dulu di Campa sampai peperangan itu reda. Pada tahun 992 M, pasukan dari Jawa telah meninggalkan Sriwijaya dan Kerajaan Medang Kamulan dapat memajukan pelayaran dan perdagangan. Di samping itu, tahun 992 M tercatat pada catatan-catatan negeri Cina tentang datangnya duta persahabatan dari Jawa. Berita Prasasti Beberapa prasasti yang mengungkapkan Kerajaan Medang Kamulan antara lain: Prasasti dari Mpu Sindok, dari Desa Tangeran (daerah Jombang) tahun 933 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah bersama permaisurinya Sri Wardhani Pu Kbin. Prasasti Mpu Sindok dari daerah Bangil menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan satu candi sebagai tempat pendharmaan ayahnya dari permaisurinya yang bernama Rakryan Bawang. Prasasti Mpu Sindok dari Lor (dekat Nganjuk) tahun 939 M menyatakan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah pembuatan candi yang bernama Jayamrata dan Jayastambho (tugu kemenangan) di Desa Anyok Lodang. Prasasti Calcuta, prasasti dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan dari Raja Mpu Sindok. c. Kehidupan Politik Sejak berdiri dan berkembangnya Kerajaan Medang Kamulan, terdapat beberapa raja yang diketahui memerintah kerajaan ini. Raja-raja tersebut adalah sebagai berikut. Raja Mpu Sindok Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kamulan dengan gelar Mpu Sindok Sri Isyanatunggadewa. Dari gelar Mpu Sindok itulah diambil nama Dinasti Isyana. Raja Mpu Sindok termasuk keturunan Raja Dinasti Sanjaya (Mataram) di Jawa Tengah. Oleh karena kondisi Jawa Tengah tidak memungkinkan bertahtanya Dinasti Sanjaya akibat desakan Kerajaan Sriwijaya, maka Mpu Sindok memindahkan pusat pemerintahannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Bahkan dalam prasasti terakhir, Mpu Sindok adalah peletak dasar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Namun, setelah Mpu Sindok turun tahta, keadaan Jawa Timur dapat dikatakan suram, karena tidak adanya prasasti-prasasti yang menceritakan kondisi Jawa Timur. Baru setelah Airlangga naik tahta muncul prasasti-prasasti yang dijadikan sumber untuk mengetahui keberadaan Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur.

Dharmawangsa Raja Dharmawangsa dikenal sebagai salah seorang raja yang memiliki pandangan politik yang tajam. Kebesaran Dharmawangsa tampak jelas pada politik luar negerinya. Raja Dharmawangsa percaya bahwa kedudukan ekonomi Kerajaan Sriwijaya yang kuat merupakan ancaman bagi perkembangan Kerajaan Medang Kamulan. Oleh karena itu. Raja Dharmawangsa mengerahkan seluruh angkatan lautnya untuk menduduki dan menguasai Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi, selang beberapa tahun kemudian, Sriwijaya bangkit dan mengadakan pembalasan terhadap Kerajaan Medang Kamulan yang masih diperintah oleh Dharmawangsa. Dalam usaha menundukkan Kerajaan Medang Kamulan, Kerajaan Sriwijaya mengadakan hubungan dengan kerajaan kecil yang ada di Jawa, yaitu dengan Kerajaan Wurawari. Serangan dari Kerajaan Wurawari itulah yang mengakibatkan hancurnya Kerajaan Medang Kamulan (1016 M). Serangan itu terjadi ketika Raja Dharmawangsa melaksanakan upacara pernikahan putrinya dengan Airlangga (dari Bali). Dalam serangan itu. Raja Dharmawangsa beserta kerabat istana tewas. Namun Airlangga dapat melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama. Airlangga Dalam prasasti Calcuta disebutkan bahwa Raja Airlangga masih termasuk keturunan Raja Mpu Sindok dari pihak ibunya yang bernama Mahendradata (Gunapria Dharmapatni) yang menikah dengan Raja Udayana. Ketika Airlangga berusia 16 tahun ia dinikahkan dengan putri Dharmawangsa. Pada saat upacara pernikahan itulah terjadi serangan dari Kerajaan Wurawari, yang mengakibatkan hancurnya Kerajaan Medang Kamulan. Seperti sudah disebut, Airlangga berhasil melarikan diri bersama pengikutnya yang setia, yaitu Narottama ke dalam hutan. Di tengah hutan Airlangga hidup seperti seorang pertapa dengan menanggalkan pakaian kebesarannya. Selama tiga tahun (1016-1019 M), Airlangga digembleng baik lahir maupun batin di hutan Wonogiri. Kemudian, atas tuntutan dari rakyatnya, pada tahun 1019 M Airlangga bersedia dinobatkan menjadi raja untuk meneruskan tradisi Dinasti Isyana, dengan gelar Rakai Halu Sri Lakeswara Dharmawangsa Airlangga Teguh Ananta Wirakramatunggadewa. Antara tahun 1019-1028 M, Airlangga berusaha mempersiapkan diri agar dapat menghadapi lawan-lawan kerajaannya. Dengan persiapan yang cukup, antara tahun 1028-1035 M, Airlangga berjuang untuk mengembalikan kewibawaan kerajaan. Airlangga menghadapi lawan-lawan yang cukup kuat seperti Kerajaan Wurawari, Kerajaan Wengker, dan Raja Futri dari selatan yang bernama Rangda Indirah. Peperangan menghadapi Rangda Indirah ini diceritakan melalui cerita yang berjudul Calon Arang. Setelah Airlangga berhasil mengalahkan musuh-musuhnya, ia mulai membangun kerajaan di segala bidang kehidupan untuk kemakmuran rakyatnya. Dalam waktu singkat Kerajaan Medang Kamulan berhasil meningkatkan kesejahteraannya, keadaan masyarakatnya stabil. Setelah tercapai kestabilan dan kesejahteraan kerajaan, pada tahun 1042 M Raja Airlangga memasuki masa kependetaan. Tahta kerajaan diserahkan kepada seorang putrinya yang terlahir dari permaisuri, tetapi putrinya telah memilih menjadi seorang pertapa dengan gelar Ratu Giri Putri, maka tahta kerajaan diserahkan kepada kedua orang putra yang terlahir dari selir Airlangga. Selanjutnya, Kerajaan Medang Kamulan terbagi dua, untuk menghindari perang saudara, yaitu Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri (Panjalu).

sejarah tentang kerajaan di Indonesia, Medangkamulan 1. Letak GeografisKerajaan Medang kamulan merupakan Kerajaan kelanjutan dari Mataram Lama di Jawa Tengah. Letak Kerajaan berada di wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang menjadi Kerajaan tersendiri sejak Mpu sindok membentuk Dinasti Baru yaitu Isyana. 2. Sumber Sejarah Prasasti Mpu Sindok Prasasti ini menyebutkan beberapa tulisan tentang usaha-usaha yang dilakukan Mpu Sindok ketika memerintah di Kerajaaan Medang Prasasti Calcuta Prasasti ini menyebutkan tentang silsilah raja-raja yang memerintah di Dinasti Isyana (Mpu Sindok) sampai masa masa pemerintahan Raja Air Langga. 3. Perkembangan Pemerintahan a. Mpu Sindok Mpu Sindok merupakan Raja pertama di Kerajaan Medang Kamulan. Mpu Sindok memerintah selama 20 tahun. Selama pemerintahannya, ia dibantu oleh oleh permaisurinya bernama Sri wardhani Pu Kbin . Saat memerintah, Mpu Sindok bergelas Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isyana Wikrama Dharmatunggadwea. Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Berbagai usaha yang dilakukan untuk memakmurkan rakyat, antara lain membangun bendungan atau waduk untuk pengairan. Raja Mpu sindok melarang rakyat untuk menangkap ikan di bendungan tersebut. Larangan ini bertujuan untuk melestarikan sumber daya alam. Dalam bidang agama , Mpu Sindok meskipun agama Hindu, sangat memperhatikan usaha penggubahan Kitab Buddha Mahayana. Hasil gubahan berupa kitab Sang Hyang Kamahayanikan. Perhatian membuktikan antara agama Hindu dan Buddha bisa hidup saling berdampingan. b. Dharmawangsa Teguh Setelah Mpu Sindok, Medang Kamulan diteruskan oleh Dharma Teguh yang juga merupakan cucu dari Mpu Sindok. Selama memerintah, ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Usaha tersebut antara lain dengan meningkatkan pertanian, dan perdagangan. Akan usaha untuk meningkatkan perdagangan mengalami kesulitan. Karena perdagangan di kawasan perairan jawa dan Sumatera masih dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Dalam rangka mematahkan pengaruh Sriwijaya, pada tahun 1003 M, Dharmawangsa mengirimkan tentaranya untuk merebut pusat perdagangan di Selat Malaka dari kekuasaan Sriwijaya. Serangan tersebut ternyata tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya membalas melalui serangan kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan atau vassalSriwijaya). Akibat serangan tersebut Kerajaan Medang mengalami kehancuran. Peristiwa kehancuran yang menewaskan Dharmawangsa disebut dengan Pralaya. c. Air langga (Erlangga) Air langga adalah putera Raja Bali bernama Udaya yang menikah dengan Mahendradatta saudari raja Dharmawangsa. Air Langga dinikahkan oleh Dharmawangsa. Pada waktu pesta pernikahan, secara tiba-tiba datang serangan dari kerajaan Wura Wuri (kerajaan bawahan Sriwijaya) yang menewaskan Dhramawangsa dan keluarga. Ketika terjadi peristiwa tersebut, Air Langga lolos dari pembunuhan. Atas bantuan Narattoma berhasil melarikan diri ke hutan. Selama di pengasingan, Air Langga mendapat gemblengan dari para Brahmana dan dinobatan menjadi raja. Akhir Langga berusaha memulihkan kewibawaan Kerajaan Medang. Secara berturut-turut Air Langga berhasil menaklukan rajaraja bawahan (vassal) Sriwijaya seperti Bisaprabhawa ditaklukan tahun 1029 M, raja Wijayawarman dari Wengker tahun 1034, Raja Adhamapanuda tahun 1031 M termasuk Wura

Wuri tahun 1035. Setelah berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan, Air Langga memindahkan ibukota kerajaan Medang keKahuripan. Usaha yang dilakukan Air Langga dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Medang, antara lain : 1. Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, di muara Kali Brantas. 2. Membangun waduk waringin sapta untuk mencegah banjir musiman 3. Membangun jalan-jalan yang menghubungkan pesisir ke pusat kerajaan Pelabuhan Hujung Galuh dan Tuban menjadi bender dagang yang ramai. Kapal-kapal dari India, Birma, Kamboja dan Champa berkunjung kedua tempat itu. Usaha-usaha yang dilakukan Air Langga, telah mendorong Kerajaan Medang Kamulan kepuncak kejayaan dan kemakmuran. Atas keberhasilan raja Air Langga tersebut dalam membangun kerajaan maka pengalaman hidupnya dikisahkan dalam sebuah kitab bernama Arjuna wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa. Selain usaha dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, Air Langga pun sangat memperhatikan para Brahmana yang telah menggembleng ketika di hutan Bentuk perhatian Air Langga terhadap para Brahmana adalah dengan mendirikan bangunan suci di daerah Peucangan. Di penghujung akhir hayatnya, Air Langga memutuskan mundur dari kerajaan dan menjadi memutuskan untuk menjadi pertapa dengan sebutan resi Gentayu. Air Langga meninggal pada tahun 1049 M. Jenazahnya disemayamkan di lereng gunung Pananggungan dalamcandi Belahan. Pewaris tahta kerajaan seharusnya seorang puteri (sri Sanggramawijaya) yang lahir dari permaisuri. Namun karena ia memilih menjadi pertapa, maka tahta beralih pada putera Air Langga yang lahir dari Selir. Untuk menghindari dari perang saudara, Air Langga membagi dua kerajaan. Pembagian dibantu oleh Mpu Bharada, yaitu Jenggala dan Panjalu. Batas kedua kerajaan dibatasi oleh sungai Brantas. Maka dengan demikian berakhirlah kerajaan Medang Kamulan sekaligus Dinasti Isyana. Kerajaan kutai Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara dan seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat kurangnya sumber sejarah. [sunting]Sejarah [sunting]Yupa Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. [sunting]Mulawarman Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga. Nama Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara penulisannya. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama Budha. [sunting]Aswawarman Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga

diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman. Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya. [sunting]Berakhir Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra JawaNegarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara. Tarumanegara Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Sumber Sejarah Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sumber dari dalam negeri berupa tujuh buah prasasti batu yang ditemukan empat di Bogor, satu diJakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara. [sunting]Prasasti yang ditemukan 1. Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor 2. Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau. 3. Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.

4. Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor 5. Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor 6. Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor 7. Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor

Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang. Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah kota pelabuhan sungai yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19 jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah hilir. Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke16. [sunting]Prasasti Pasir Muara Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan : ini sabdakalanda rakryan juru panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda Terjemahannya menurut Bosch: Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara dikembalikan kepada raja Sunda. Karena angka tahunnya bercorak sangkala yang mengikuti ketentuan angkanam vamato gatih (angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi. [sunting]Prasasti Ciaruteun Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun, seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang berbunyi: vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam Terjemahannya menurut Vogel: Kedua (jejak) telapak kaki yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara. Selain itu, ada pula gambar sepasang pandatala (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan &mdash& fungsinya seperti tanda tangan pada zaman sekarang. Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa pemerintahan Purnawarman terdapat nama Rajamandala (raja daerah) Pasir Muhara. [sunting]Prasasti Telapak Gajah Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi: jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam Terjemahannya: Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan

penguasa Tarumanagara yang jaya dan berkuasa. Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah. Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai huruf ikal yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma dan ukiran sepasang bhramara (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman dalam segala kemudaan nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun. [sunting]Prasasti Jambu Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir (sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi keterangan berbentuk puisi dua baris: shriman data kertajnyo narapatir asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo tasyedam padavimbadavyam arnagarotsadane nityadksham bhaktanam yangdripanam bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam. Terjemahannya menurut Vogel: Yang termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi musuh-musuhnya. [sunting]Sumber berita dari luar negeri Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari berita Tiongkok. 1. Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti (Jawadwipa) hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan beragama kotor (maksudnya animisme). 2. Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lomo (Taruma) yang terletak di sebelah selatan. 3. Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo. Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan Tarumanegara. Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman.

Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.

Medang Kamulan adalah wilayah atau kerajaan setengah mitologis yang dianggap pernah berdiri di Jawa Tengah dan mendahului Kerajaan Medang. Kamulan berarti permulaan, sehingga Medang Kamulan dapat diartikan sebagai pra-Medang. Kerajaan ini dikatakan setengah mitologis karena tidak pernah ditemukan bukti-bukti fisik keberadaannya. Sumber-sumber mengenai kerajaan ini hanya berasal dari cerita-cerita rakyat, misalnya dalam legenda Loro Jonggrang, dan penyebutan oleh beberapa naskah kuno. Cerita pewayangan versi Jawa menyebutkan bahwa Medang Kamulan adalah tempat bertahtanya Batara Guru[1]. Dalam legenda Aji Saka, Medang Kamulan adalah negeri tempat berkuasanya Prabu Dewata Cengkar yang zalim. Cerita rakyat lain, di antaranya termasuk legenda Loro Jonggrang dan berdirinya Madura, menyatakan bahwa Medang Kamulan dikuasai oleh Prabu Gilingwesi.[2] Legenda Aji Saka sendiri menyebutkan bahwa Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan adalah tempat munculnya Jaka Linglung setelah menaklukkan Prabu Dewata Cengkar.[3] Van der Meulen menduga, walaupun ia sendiri tidak yakin, bahwa Medang Kamulan dapat dinisbahkan kepada Hasin-Medang-Kuwu-lang-pi-ya yang diajukan van Orsoy,[4] dalam artikelnya tentang Kerajaan Ho-Ling yang disebut catatan Tiongkok. Hal ini membuka kemungkinan bahwa Medang Kamulan barangkali memang pernah ada. Baris ke-782 dan 783 dari naskah kedua Perjalanan Bujangga Manik dari abad ke-15 menyebutkan bahwa setelah Bujangga Manik meninggalkan Pulutan (sekarang adalah desa di sebelah barat Purwodadi, Jawa Tengah) ia tiba di Medang Kamulan. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa setelah menyeberangi Sungai Wuluyu, tibalah ia di Gegelang yang terletak di sebelah selatan Medang Kamulan.[5] Naskah inilah yang pertama kali menyebutkan bahwa memang ada tempat bernama Medang Kamulan, meskipun tidak dikatakan bahwa itu adalah kerajaan. Dalam prasasti. kraton Sanjaya dikatakan terletak di Medang di Poh Pitu (ri mdang ri poh pitu). Dimana letak Poh Pitu itu hingga kini belum dapat ditentukan. Salah satu tempat yang diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Mataram itu terletak di Medari, Sleman. Di daerah Medarintotex (GKBI Medari) pernah diketemukan bekas-bekas peninggalan purbakala berupa fondasi bangunan dan sisa-sisa tembok keliling yang terbuat dari batu andesit. Penggalian purbakala yang dilakukan disana terpaksa dihentikan karena terbentur bekuan batuan lahar yang sangat keras pada kedalaman satu meter dari permukaan tanah sekarang. Rupanya daerah ini pernah mengalami musibah dilanda lahar panas. Dari beberapa sisa bangunan yang telah diketemukan, terutama yang jelas berupa bekas-bekas sebuah tembok keliling, dapat diperkirakan bahwa daerah itu pada jaman dahulu merupakan tempat pemukiman. Dugaan pusat Kerajaan Mataram di Medari itu bisa juga dirunut dari kalimat ri medang ri yang lama-kelamaan dibaca sebagai medari. Pendapat ini dilengkapi dengan terdapatnya desa kepitu di selatan Medari. Bukankan dalam prasasti Medang disebut terletak di Poh Pitu. Poh Pitu ini pada jaman sekarang berubah menjadi desa Kepitu. Uniknya, di sekitar desa Kepitu tersebut tidak terdapat desa Kanem atau Kewolu. Budayawan Linus Suryadi AG (almarhum) juga mempunyai pandangan serupa. Hal ini didasarkan pada fakta lapangan bahwa di sekitar desa Kadisaba, Sleman ditemukan bekas Wihara Budha. Dan tampaknya di wilayah ini banyak bangunan sekolahan jaman kuno (Wihara).

Candi yang didirikan Sanjaya diketahui letaknya, yaitu di daerah Gunung Wukir di Salam, Magelang. Maka letak istananya kemungkinan terletak di sekitar candi tersebut. Kraton Medang kemungkinan terletak di dalam radius tertentu dari candi Gunung Wukir. Di sekitar daerah Salam atau Salaman, kata Joko Dwiyanto. Tidak jauh dari Medari di desa Morangan dalam bulan September 1965 pernah diketemukan sebuah candi. Candi ini diberi nama Candi Batumiring. Letaknya terbenam sedalam lima meter dibawah permukaan tanah sekarang. Keadaan ini sama seperti yang dialami candi Sambisari di daerah Kalasan yang juga diketemukan di kedalaman enam meter di bawah permukaan tanah sekarang. Berarti candi-candi itu sempat terkubur lahar Merapi. Sayang sekali, Candi ini tidak bisa ditampakkan kembali. Bahkan sekarang sudah ditimbun tanah lagi oleh pemilik pekarangan. Banyak pihak tentu akan berpendapat bahwa Kraton Medang terletak di daerah Prambanan. Pendapat ini sangat beralasan. Prambanan merupakan daerah yang sangat kaya peninggalan monumen dari jaman Mataram kuno. Banyaknya candi yang sudah diketemukan memberi indikasi bahwa daerah ini pernah menjadi pusat kegiatan masyarakat. Apalagi Candi Prambanan dan Candi Sewu yang bisa dipastikan sebagai candi kerajaan terdapat disini. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Drs. Kusen (Almarhum) sampai pada kesimpulan bahwa salah satu pusat Kerajaan Medang berada di Randusari. Desa ini terletak sekitar 3 Km di sebelah timur Candi Prambanan, tambah Joko Dwiyanto. Temuan emas di Wonoboyo semakin menguatkan pedapatnya itu. Menurutnya, Wonoboyo merupakan pemukiman bangsawan yang terletak di pusat Kerajaan. Memang, Wonoboyo dekat dengan Randusari. Candi merupakan petunjuk terdapatnya aktivitas manusia masa Hindu. Jika candi tersebut merupakan sebuah kumpulan yang luas, kemungkinan besar pusat kerajaan juga berada di sekitar tempat itu. Kesimpulan yang dibuat oleh Drs. Kusen (Almarhum) terhadap lokasi Candi Prambana, juga dilakukan oleh Drs. Martinus Maria Soekarto kartoatmojo (Almarhum) di daerah Candi Borobudur. Kraton Medang ternyata tidak hanya di Poh Pitu saja. Raja Rakai Kayuwangi pernah menempatkan kratonnya di Mammratipura (medang i mamratipura). Raja Rakai Panangkaran memindahkan pusat kerajaannya dari daerah Kedu ke lembah di lereng Gunung Merapi. Memindahkan pusat kerajaannya ke timur. Mungkin di daerah Sragen di sebelah timur Sungai Bengawan Solo atau daerah Purwodadi/Grobogan.Pusat kerajan Rakai Watukura Dyah Balitung berpusat di daerah Kedu Selatan mengingat gelar rakainya. Kerajaan Mataram di Jawa Tengah mengalami kehancuran karena letusan Gunung Merapi yang maha dahsyat, sehingga dalam anggapan para pujangga hal itu dianggap sebagai kehancuran dunia pada akhir masa Kaliyuga. Maka harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula. Karena itu maka Mpu Sindok membangun kembali kerajaannya di Jawa Timur. Rupa-rupanya Kerajaan itu tetap bernama Mataram. Ibukotanya bernama Tamwlang. Letak Tamwlang mungkin di daerah Jombang dimana masih ada desa Tambelang. Menurut prasasti Harinjing (726 Masehi), Watugaluh terletak di Jawa Timur.

Yang masih menjadi pertanyaan kemudian adalah kaitan antara bekas Kraton Boko dengan Candi Prambanan. Sebab di bekas Kraton Boko itu terdapat replika Candi Prambanan sebagai tempat berdoa atau caos sesaji. Namun ada dugaan lain, Kraton Boko hanya tempat peristirahatan dan benteng terakhir. Dari paparan tadi bisa jadi ada pergeseran pusat pemerintahan Mataram Kuno, dari wilayah Kedu selatan sampai di Sleman, kemudian ke timur dan setelah menjadi Mataram mungkin di sebelah timur laut kota Yogyakarta. Tentang hal ini banyak pakar berbeda pendapat. Namun dari bukti-bukti lapangan dan referensi pustaka bisa dikaji kemungkinan letak Mataram Hindu.

MELACAK PETILASAN MATARAM KUNO ANTARA SEMARANG YOGYAKARTA : KRATON MEDANG KAMULAN BERKIBLAT MERAPI ( TULISAN KEDUA ) Desa Medang dijumpai mulai dari daerah Bagelen di Purworejo, Jawa Tengah sampai di dekat Madiun, Jawa Timur. Yang terbanyak ialah antara Purwodadi/Grobogan dan Blora. Lokasi daerah ini sesuai pula dengan keterangan yang ditulis oleh sumber-sumber Cina dari jaman Dinasti Tang (618-906 Masehi). Sumber ini menyebut Jawa sebagai Ho-ling. Dikatakan bahwa Ho-ling adalah kerajaan yang makmur. Ada sebuah gua yang selalu mengeluarkan air garam (bledug). Ho-ling ini sering disamakan dengan Kalingga dalam cerita tutur rakyat Jawa Tengah. Keterangan tentang adanya gua yang selalu mengeluarkan air garam memang cocok dengan keadan di Purwodadi, Jawa Tengah. Di desa Kuwu di daerah Purwodadi terdapat kawah yang selalu menyemburkan air garam. Penduduk setempat menyebutnya Bledug Kuwu. Orang di situ membuat garam dari air yang mengalir dari kawah tersebut. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Boechari (almarhum). Beliau menempatkan kronologi kerajaan Ho-ling ini sebelum Medang. Sedangkan Kalingga sebenarnya hanya ada dalam cerita rakyat. Tidak ada bukti sejarah yang yang mendukumg keberadaannya, tambah Joko Dwiyanto. Karena Boechari menempatkan kronologi Ho-ling lebih tua dari Medang, yang dianggapnya terletak di Grobogan, maka masyarakat menempatkan Medang Kamulan di daerah Grobogan tersebut. Kamulan berarti asal, yang mula-mula, yang pertama-tama. Jadi Medang Kamulan berarti letak Medang yang pertama atau asal mula medang ,ungkap Joko Dwiyanto. Berita Cina selanjutnya menyebutkan bahwa Ki-yen telah memindahkan ibukota Ho-ling ke timur. Pemindahan pusat kerajaan ini terjadi tahun 899-911 Masehi. Van Der Meulen memperkirakan perpindahan itu terjadi dari sekitar Pegunungan Dieng ke kaki sebelah timur Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Tempat yang dimaksud adalah desa Bergas Lor dan Bergas Kidul. Kedua desa ini terletak beberapa kilometer di selatan kota Ungaran. Di tempat itu terdapat Candi Sikunir. Dari candi ini banyak patung yang telah dipindahkan ke Museum Nasional Jakarta. Kurang lebih ada sepuluh arca. Belum lagi arca-arca yang dibawa secara ilegal. Di sekitar wilayah itu juga diketemukan peninggalan di Pendem, Karangjati, dan Mijel. Bekas-bekas pemandian juga diketemukan di Kali Taman dan Sindang Beji. Jumlah cincin emas yang pernah diketemukan dan kini disimpan di Museum Nasional Jakarta sebagian besar berasal dari Dieng dan sekitar Gunung Ungaran.Di tempat itu diketemukan 77 buah cincin.

Dari penelitian Dr. Agus Pudjoarianto dari Fakultas Biologi UGM, di Dieng sudah ada kegiatan manusia dari tahun 500 Masehi. Dari telaahan serbuk sari yang dilakukan kegiatan yang dilakukan manusia berkelompok ini bisa jadi merupakan sebuah komunitas masyarakat kerajaan. Menurutnya terdapat kemiripan tumbuhan yang di tanam di Dieng dengan beberapa bagian di Jawa Barat. Dari asumsi ini bisa diduga bahwa awal Kerajaan Medang dari Jawa Barat kemudian berkembang di Jawa Tengah antara lain di Dieng. Dugaan ini diperkuat dengan banyaknya candi yang dibangun di wilayah ini. Bahkan dari kisah wayang Lahirnya Abimanyu yang mandi di Sungai Serayu (sir rahayu) terlihat adanya pemahaman akan adanya sosialitas masyarakat kerajaan. Diperkuat dengan nama candi-candi yang ada di Dieng yang diambil dari nama wayang bisa jadi di lereng Gunung Sindoro ini pernah lahir kerajaan. Dari telaah serbuk sari juga didapat bukti adanya lumpur vulkanik yang tebal yang menutupi kegiatan sebelumnya. Temuan ini memperkuat asumsi hancurnya Kerajaan Medang oleh abu dahsyat Merapi. Kota Dieng yang selalu berkabut dalam bahasa Jawa disebut Kamulan.

MELACAK PETILASAN MATARAM KUNO ANTARA SEMARANG YOGYAKARTA : KRATON MEDANG KAMULAN BERKIBLAT MERAPI Jika kita melinta s di jalan raya Yogyakarta Magelang, tepatnya di daerah kecamatan Salam secara tidak sengaja kita akan menengok ke selatan jalan. Kuburan-kuburan Cina yang terletak di lereng bukit menjadi penyebabnya. Sayang, banyak dari kita tidak tahu bahwa bukit itu menyimpan sejarah masa lalu yang penting. Gunung Gendol, demikian penduduk setempat menyebutnya, pernah menjadi saksi meletusnya Gunung Merapi sepuluh abad silam. Menurut Van Bemmelen, seorang ahli geologi, letusan Merapi yang terhebat dalam sejarahnya itu menyebabkan sebagian besar puncaknya lenyap. Lapisan tanah bergeser ke arah barat daya, sehingga terjadi lipatan. Gerakan tanah ini membentur Pegunungan Menoreh dan membentuk Gunung Gendol. Di Gunung Gendol ini pula babak baru Kerajaan Mataram Kuno dimulai. Peristiwanya tercatat dalam prasasti Canggal yang diketemukan di halaman Candi Gunung Wukir. Candi ini terletak di salah satu puncak Gunung Gendol. Prasasti ini menulis bahwa Raja sanjaya telah mendirikan lingga diatas Bukit Sthirangga untuk keselamatan rakyatnya pada hari Senin tanggal 13 paro terang bulan Kartika 654 Saka atau 732 Masehi. Lingga itu ialah Candi Gunung Wukir yang hingga kini masih ada sisa-sisanya. Pendirian lingga untuk memperingati bahwa Sanjaya telah dapat membangun kembali Kerajaan dan bertahta setelah menaklukkan musuh-musuhnya. Musuh-musuh itu telah menyerang Sanna, raja yang berkuasa sebelum Sanjaya. Pusat kerajaan Sanna dihancurkan. Ibukota kerajaan diserbu dan dijarah. Karena itu setelah Sanjaya dinobatkan mejadi raja, perlu dibangun ibukota baru dengan istana baru disertai pembangunan candi untuk pemujaan lingga kerajaan. Hal ini berhubungan dengan kepercayaan bahwa istana yang telah diserbu musuh sudah kehilangan tuahnya. Bangunan suci yang didirikan Sanjaya terletak di wilayah Kunjarakunja. Tentang nama Kunjarakunja itu, Poerbatjaraka pernah mengemukakan pendapat bahwa yang yang dimaksud dengan daerah itu adalah daerah Sleman, Yogyakarta sekarang, berdasarkan arti kata itu, yaitu hutan Gajah dan adanya daerah wana ing alas i Saliman. Kata Saliman diartikan sebagai daerah Sleman sekarang. Nama Sanjaya semakin jelas posisinya dalam sejarah Mataram Kuno dengan diketemukannya prasasti Mantyasih (907 Masehi) dan Wanua Tengah III (908 Masehi). Kedua prasasti yang dibuat oleh Dyah Balitung itu berisi daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Mataram Kuno. Urutan pertama raja-raja tersebut ditempati oleh Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (prasasti Mantyasih) dan Rahyangta ri Medang dapat disamakan dengan Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Prasasti Mantyasih dibuat untuk menghormati leluhur yang telah diperdewakan di Medang di Poh Pitu. Disini untuk pertama kalinya nama Medang disebut. Medang adalah nama kerajaan sebelum bernama Mataram. Jadi, kerajaan Medang sama dengan kerajaan Mataram. Lebih tepatnya, Medang adalah embrio Mataram, kata Drs. Joko Dwiyanto-Dosen Fakultas Arkeologi UGM. Perpindahan Kerajaan Medang

Pada umumnya sebutan Mataram Kuno lazim dipakai untuk menyebut nama Kerajaan ini pada periode Jawa Tengah. Nama Mataram merujuk pada nama ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Hindu. Istilah Kerajaan Medang dipakai untuk menyebut nama kerajaan pada periode Jawa Timur. Namun berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan sebetulnya nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Pada kerajaan di Jawa Tengah ,raja Wawa(924-929)serta merta tampil sebagai penguasa di jawa tengah, dibantu oleh pati sekaligus menantunya, Mpu Sindok, Wawa digantikan Mpu Sindok (929-947) yang dikenal sebagai raja berjiwa prajurid, dan sangat toleran terhadap pemeluk agama Budha Mahayana ,serta Sang Hyang Kamahaniyanikan berhasil digubah kedalam Bahasa Jawa Kuno dari Bahasa Sanksekerta. Kitap ini memuat cerita tentang dewadewa yang mirip dengan relief yang ada di candi Borobudur. Sebuah kitav agama Hindu Syiwa Brahmanapurana yang berisikan Kosmologi,Kosmogoni, sejarah para resi, dan cerita pertikaian antar kasta juga diterbitkan dalam waktu hamper bersamaan. Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode TengahKerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu. Kerajaan Medang mengalami beberapa masa perpindahan yang cukup siknifikan yaitu : a) b) c) d) e) f) g) Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya) Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan) Medang i Poh Pitu (zama n Dyah Balitung) Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa) Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok) Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok) Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)

Pada abad ke-8 kerajaan Pra Mataram Islam (Mataram Kuno) memerintah di Jawa Tengah,dengan Sanjaya (Syiwaistik) berkuasa di Kawasan Utara (kedu), sedangkan Syailendra (Budha Mahayana) berkuasa dikawasan selatan (Bagelan dan Mataram ). Candi candi Hindu (Dieng, Prambanan, dll) dan Budha (Borobudur, Mendut Kalasan, dll) membuktikan pada masa bersamaan di Jawa terdapat dua agama besar yang bertoleransi. Tetapi seiring adanya pindahnya kerajaan Mataram kuno ke Jawa Timur disebabkan letusan Gunung Merapi , Mpu sindok pada tahun 929 memindahkan pusat kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.Menurut catatan sejarah, tempat baru tersebut adalah watugaluh, yang terletak disungai Brantas, sekarang kira-kira adalah wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Kerajaan baru ini tudak lagi disebut Mataram, namun Medang. Meskipun demikian, beberapa literature masih menyebutkan sebagai Mataram II. Selain itu sebab pemerintahan Kerajaan Mataram kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur disebabkan selama abad ke-7 sampai ke-9 terjadi serangan-serangan dari Sriwijaya ke Kerajaan Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Mataram Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.seperti yang telah diketahui sekarang tidak diketahui nama kerajaan di JawaTengah ini sebelum masa pemerintahan Sanjaya. Nama Mataram mungkin baru dipakai sejak Sanjaya, ia bergelar rakai Mataram, demikian pula nama Medang sebagai pusat kerajaan. Cerita Parahyangan menyebutkan nama kerajaan Sanna dan Sanjaya itu Galuh. Memang dari prasasti Sojomerto dan beberapaprasasti lain yang hingga kini belum dapat dibaca, tetapi jelas menggunakan hurug Pallawa, yang ditemukan di daerah Pekalongan, mungkin sekali pusat kerajaan wangsa Sailendra itu mula-mula di daerah Pekalongan sekarang. Setelah Sri Isyanatunggawijaya meninggal maka kerajaan medang di pimpin oleh Raja Sri Dharmawangsa teguh Anantawikramatunggadewa yaitu anaknya Sri Isyanatunggawijaya dari perkawinannya dengan Raja Lokapala. Dharmawangsa menikah dengan cucu Isyanatunggawiyaya yang lain dan mewarisi tahta mertuanya (991-1016). Selama pemerintahannya telah diterbitkan berbagai karya, diantaranya Kakawin Mahabrata, yang diterjemahkan kedalam Bahasa Jawa Kuna dari kitap Mahabrata India. Dharmawangsa menyerang Sriwijaya untuk merebut bagian selatan wilayahnya agar dapat menguasai selat sunda yang sangat penting bagi perdagangan(992).

Sriwijaya dibantu Raja Wurawuri dari semenanjung Melayu membalas serangan Dharmawangsa Teguh(1016). Serangan terjadi sewaktu pesta perkawinan agung antara putri Dharmawangsa,Dharmawangsa, Sri dan Airlangga(16 tahun), keponakannya, Raja dan Para pembesar Negara gugur, tumpas-tapis, namun Airlanggadan pengiring setianya Narottama, dapat menyingkir ke pegunungan Wonogiri. Mereka hidup bersama- sama para pendeta Hindu dan biksu Budha selama dua tahun. Airlangga untuk menduduki tahta kerajaan, memanfaatkan situasi vacuum of power di Jawa Timur ketika tentara pendudukan Wurawari disana terpaksa ditarik kembali ke, semenanjung melayu yang tengah diserang colomandala dari india selatan. Airlangga mengawini seorang putri Sriwijaya, tentunya berpotensi memproduksi ancaman dari lawan. Setelah beberapa tahun kemudian berada di hutan,akhirnya pada tahun 1019, airlangga berhasil mempersatukan wilayah kerajaan Medang yang telah terpecah, membangun kembali kerajaan, dan berdamai dengan Sriwijay. Kerajaan baru ini dikenal dengan kerajaan Kahuripan , yang wilayahnya membentang dari pasuruan di timur hingga Madiun dibarat. Airlangga memperluaswilayahnya kerajaan hingga ke Jawa Tengah dan Bali. Pada tahun 1025, Airlangga memperlebar pengaruh Kahuripan seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Pantai Utara Jawa terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Setelah dikukuhkan sebagai pewaris tahta mertuanya, Dharmawangsa Teguh, Airlangga mengganti nama kerajaan Medang Kamulan menjadi Kahuripan dengan ibukota Wulan Mas (1037). Setelah kerajaan Medang berpindah menjadi Kahuripan, raja Airlangga berhadapa dengan masalah pewarisan tahtanya sebagai raja,pewarisan itu yaitu Sanggrammawijaya, memilih menjadi pertapa dari pada mengganti Airlangga. Pada tahun 1045, Airlangga membagi Kahuripan menjadi dua kerajaan untuk putranya yaitu Jenggala dan Kediri (penjulu), Airlangga sendiri menjadi pertapa dan meninggal pada tahun 1049. Airlangga dimakamkan di candi Belahan dengan perluhuran sebagai wisnu naik burung Garuda. Dengan pemecahan Kerajaan Kahuripan itu maka Pecahan kerajaan Medang berakhir,kerajaan Janggala tidak mampu berkembang menjadi Negara besar sehingga lenyapdari percaturan politik sedangkan kerajaan Panjalu atau Kediri semakin berkembang, dangan memiliki kekuasaan sampai perairan Indonesia bagian barat dan timur dengan raja Jayabaya. Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Medang

Sumber-sumber sejarah yang menyebutkan keberadaan kerajaan Medang, sumber-sumber ini dalam bentuk candi dan prasasti antara lain a) Prasasti Mantyasih yaitu Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung

menyebutkan dengan jelas bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna. b) Prasasti Sanggurah merupakan prasasti berangka tahun 982 Masehi yang ditemukan di daerah Malang dan menyebut nama penguasa daerah itu, Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayalokanamottungga (Dyah Wawa). Prasasti berbentuk tablet ini disebut juga Prasasti Minto karena dihadiahkan oleh Raffles kepada Lord Minto, keduanya pernah memimpin Hindia Belanda ketika Britania Raya menguasai Belanda pada dasawarsa kedua abad ke-19. c) Prasasti dinoyo yaitu prasasti yang ditemukan terputus menjadi tiga bagian. Bagian

yang tengah di temukan di Desa Dinoyo, sedang dibagian atas dan bagian bawah ditemukan di Desa Merjosari, kira-kira 2 Km disebelah barat Dinoyo. Mengingat kasus di gunung Wukir dan prasasti Canggal, mungkin sekali prasasti Dinoyo ini asalnya justru dari Merjosari, yang memangternyata menghasilkan sisa-sisa bangunan. De casparis menduga bahwa batu prasasti itu berasal dari Desa Kejuron, pendapat ini mungin kurang dapat diterima karena Kejuron mungkin justru merupakan pusat kerajaan, sedang prasasti tentulah tidak didirikan dipusat kerajaan, tetapi di dekat candinya. d) Prasasti Wantil, Mpu Manuku membangun ibu kota baru di desa Mamrati sehingga ia

pun dijuluki sebagai Rakai Mamrati. Istana baru itu bernama Mamratipura, sebagai pengganti ibu kota yang lama, yaitu Mataram.Prasasti Wantil disebut juga prasasti Siwagreha yang dikeluarkan pada tanggal 12 November856. Prasasti ini selain menyebut pendirian istana Mamratipura, juga menyebut tentang pendirian bangunan suci Siwagreha, yang diterjemahkan sebagai Candi Siwa. Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Mataram/Medang juga membangun banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Mataram.

Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.

Sistem Pemerintahan Kerajaan Medang Didalam prasasti Mantyasih , Desa Mantyasih disebut sima kapatiihan karena yang mendapat anugrah adalah lima orang patih di Mantyasih, didalam prasasti Sangguran disebut sima kajurugusalyan di Mananjung, karena ada jabatan juru gusali, yaitu ketua para pandai besi, didalam prasasti Balingawan disebut sima kamulan, karena semula Desa Balingawan itu selalu diganggu oleh penjahat sehingga penduduk sering membayar denda atas pembunuhan gelap dan perkelahian gelap yang mengakibatkan seseorang menderita luka-luka. Didalam prasasti telang ada istilah kamulan dan rumah kamulan yang jelas tidak ada hubungan dengan tempat pemujaan cikal bakal Desa telang, karena menjadi pokok pembicaraan dalam prasasti itu ialah tempat penyeberangan. Berdasarkan itu semua dapat disimpulkan disini bahwa Desa Bhumisambhara itu ialah sima kamulan karena dianugrahkan kepada pejabat mula. Saying sekali hingga sekarang belum jelas apa tugas seorang mula dalam masyarakat jawa kuno. Didalam prasasti Mantyasih tersebut tertulis daftar raja-raja Medang yang telah berkuasa dalam setiap masa pemerintahannya.daftar raja-raja tersebut sebagai berikut: 1. 2. Sanjaya, pendiri Kerajaan Medang (Karya Candi Canggal / Penganut Hindu Syiwa) Rakai Panangkaran, awal berkuasanya Wangsa Sailendra(Membangun Candi Borobudur,sebagai penganut budha mahaya" dinasti berpindah agama dari leluhurnya yang hindu syiwa")membangun juga candi Kalasan , sebagai pengormatan leluhur"). 3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra Menaklukkan Sriwijaya bahkan sampai ke kamboja dan campa berjuluk Wirawairimathana (penumpas musuh perwira) 4. Rakai Warak alias Samaragrawira Ayah dari Balaputradewa raja Sriwijaya Wirawairimathana (penumpas musuh perwira) 5. Rakai Garung alias Samaratungga Sri Maharaja Samarottungga,

Atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja SriwijayaWangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792 835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang. 6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, Awal kebangkitan Wangsa Sanjaya (Candi Prambanan) Rakai Pikatan terdapat dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Nama aslinya menurut prasasti Argapura adalah Mpu Manuku. Pada prasasti Munduan tahun 807 diketahui Mpu Manuku menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian pada prasasti Kayumwungan tahun 824 jabatan Rakai Patapan dipegang oleh Mpu Palar. Mungkin saat itu Mpu Manuku sudah pindah jabatan menjadi Rakai Pikatan. Akan tetapi, pada prasasti Tulang Air tahun 850 Mpu Manuku kembali bergelar Rakai Patapan. Sedangkan menurut prasasti Gondosuli, Mpu Palar telah meninggal sebelum tahun 832. Kiranya daerah Patapan kembali menjadi tanggung jawab Mpu Manuku, meskipun saat itu ia sudah menjadi maharaja. Tradisi seperti ini memang berlaku dalam sejarah Kerajaan Medang di mana seorang raja mencantumkan pula gelar lamanya sebagai kepala daerah, misalnya Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung. 7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala Menurut prasasti Wantil atau prasasti Siwagerha tanggal 12 November 856, Dyah Lokapala naik takhta menggantikan ayahnya, yaitu Sang Jatiningrat (gelar Rakai Pikatan sebagai brahmana). Pengangkatan putra bungsu sebagai raja ini didasarkan pada jasa kepahlawanan Dyah Lokapala dalam menumpas musuh ayahnya, yang bermarkas di timbunan batu di atas bukit Ratu Baka. (Pusat kerajaan tidak lagi di mataram tapi di mamratipu 8. Rakai Watuhumalang

Rakai Pikatan memiliki beberapa orang anak, antara lain Rakai Gurunwangi (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi (prasasti Argapura). Sedangkan Rakai Watuhumalang mungkin juga putra Rakai Pikatan atau mungkin menantunya. akhir periode rakai pikatan terjadi perpecahan di Kerajaan Medang akibat perebutan kuasa antara Gurunwangi dan kayuwangi namun sepeninggal kayuwangi Watuhumalang yang menduduki tahta. 9. Rakai Watukura Dyah Balitung Rakai Watuhumalang memiliki putra bernama Mpu Daksa (prasasti Telahap) dan menantu bernama Dyah Balitung (prasasti Mantyasih). Dyah Balitung inilah yang mungkin berhasil menjadi pahlawan dalam menaklukkan Rakai Gurunwangi dan Rakai Limus sehingga takhta pun jatuh kepadanya sepeninggal Rakai Watukura. Pada akhir pemerintahan Dyah Balitung terjadi persekutuan antara Mpu Daksa dengan Rakai Gurunwangi (prasasti Taji Gunung). Kiranya pemerintahan Dyah Balitung berakhir oleh kudeta yang dilakukan kedua tokoh tersebut. memindahkan pusat pemerintahan kerajaan medang dari mamratipura ke pohpitu(sekitar kedu) 10. Mpu Daksa Mpu Daksa naik takhta menggantikan Dyah Balitung yang merupakan saudara iparnya. Hubungan kekerabatan ini berdasarkan bukti bahwa Daksa sering disebut namanya bersamaan dengan istri Balitung dalam beberapa prasasti. Selain itu juga diperkuat dengan analisis sejarawan Boechari terhadap berita Cina dari Dinasti TangTat So Kan Hiung, yang artinya Daksa, saudara raja yang gagah berani 11. Rakai Layang Dyah Tulodong Dyah Tulodhong dianggap naik takhta menggantikan Mpu Daksa. Dalam prasasti Ritihang yang dikeluarkan oleh Mpu Daksa terdapat tokoh Rakryan Layang namun nama aslinya tidak terbaca. Ditinjau dari ciri-cirinya, tokoh Rakryan Layang ini seorang wanita berkedudukan tinggi, jadi tidak mungkin sama dengan Dyah Tulodhong. Mungkin Rakryan Layang adalah putri Mpu Daksa. Dyah Tulodhong berhasil menikahinya sehingga ia pun ikut mendapatkan gelar Rakai Layang, bahkan naik takhta menggantikan mertuanya, yaitu Mpu Daksa. Dalam prasasti Lintakan Dyah Tulodhong disebut sebagai putra dari seseorang yang dimakamkan di Turu Mangambil. 12. Rakai Sumba Dyah Wawa

Dalam prasasti Wulakan tanggal 14 Februari 928, Dyah Wawa mengaku sebagai anak Kryan Landheyan sang Lumah ri Alas (putra Kryan Landheyan yang dimakamkan di hutan). Nama ayahnya ini mirip dengan Rakryan Landhayan, yaitu ipar Rakai Kayuwangi yang melakukan penculikan dalam peristiwa Wuatan Tija. 13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur Istana Kerajaan Medang pada awal berdirinya diperkirakan terletak di daerah Mataram (dekat Yogyakarta sekarang). Kemudian pada masa pemerintahan Rakai Pikatan dipindah ke Mamrati (daerah Kedu). Lalu, pada masa pemerintahan Dyah Balitung sudah pindah lagi ke Poh Pitu (masih di sekitar Kedu). Kemudian pada zaman Dyah Wawa diperkirakan kembali ke daerah Mataram. Mpu Sindok kemudian memindahkan istana Medang ke wilayah Jawa Timur sekarang. Dalam beberapa prasastinya, ia menyebut kalau kerajaannya merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang di Jawa Tengah. Misalnya, ditemukan kalimat berbunyi Kita prasiddha mangraksa kadatwan rahyangta i Bhumi Mataram i Watugaluh. 14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya Sri Isyana Tunggawijaya merupakan putri dari Mpu Sindok, yaitu raja yang telah memindahkan istana Kerajaan Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur. Tidak banyak diketahui tentang masa pemerintahannya. Suaminya yang bernama Sri Lokapala merupakan seorang bangsawan dari pulau Bali. Peninggalan sejarah Sri Lokapala berupa prasasti Gedangan tahun 950 yang berisi tentang anugerah desa Bungur Lor dan desa Asana kepada para pendeta Buddha di Bodhinimba. Namun, prasasti Gedangan ini merupakan prasasti tiruan yang dikeluarkan pada zaman Kerajaan Majapahit untuk mengganti prasasti asli yang sudah rusak. Prasasti atau piagam dianggap sebagai benda pusaka yang diwariskan secara turuntemurun. Apabila prasasti tersebut mengalami kerusakan, ahli waris biasanya memohon kepada raja yang sedang berkuasa untuk memperbaharuinya. Prasasti pembaharuan ini disebut dengan istilah prasasti tinulad. Tidak diketahui dengan pasti kapan pemerintahan Sri Lokapala dan Sri Isyana Tunggawijaya berakhir. Menurut prasasti Pucangan, yang menjadi raja selanjutnya adalah putra mereka yang bernama Sri Makuthawangsawardhana. 15. Makuthawangsawardhana

Jalannya pemerintahan Makutawangsawardhana tidak diketahui dengan pasti. Namanya hanya ditemukan dalam prasasti Pucangan sebagai kakek Airlangga. Disebutkan bahwa, Makutawangsawardhana adalah putra pasangan Sri Lokapala dan Sri Isana Tunggawijaya putri Mpu Sindok. Prasasti Pucangan juga menyebut Makutawangsawardhana memiliki putri bernama Mahendradatta, yaitu ibu dari Airlangga. Dalam prasasti itu juga disebut adanya nama seorang raja bernama Dharmawangsa, namun hubungannya dengan Makutawangsawardhana tidak dijelaskan. 16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir Prasasti Pucangan tahun 1041 dikeluarkan oleh raja bernama Airlangga yang menyebut dirinya sebagai anggota keluarga Dharmawangsa Teguh. Disebutkan pula bahwa Airlangga adalah putra pasangan Mahendradatta dengan Udayana raja Bali. Adapun Mahendradatta adalah putri Makuthawangsawardhana dari Wangsa Isana. Airlangga sendiri kemudian menjadi menantu Dharmawangsa.

Keadaan masyarakat Didalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan kuno, raja(sri maharaja) ialah penguasa tertinggi.sesuai dengan landasan kosmogonis,raja ialah penjelmaan dewa di dunia. Hal itu ternyata dari gelar abhiseka dan pujian-pujian kepada raja didalam berbagai prasasti dan kitab-kitap susastra Jawa kuno sejak raja Airlangga. Dari zaman Mataram kuno hanya ada dua orang raja yang bergelar abhiseka dengan unsure tunggadewa, yaitu Bhujayotunggadewa didalam prasasti dari Candi Plaosan Lor dan Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatungadewa. Didalam kerajaan Mataram secara khusus menganut suatu landasan kosmogonis yaitu kepercayaan akan arus adanya suatu keserasian antara dunia manusia ini ( mikrokosmos) dengan alam semesta (mikrokosmos).

Disini akan disajikan gambaran besarnya saja dalam garis besarnya saja, dimulai dengaan golongan elite ditingkat pusat. Di ibu kota kerajaan, yang menurut berita-berita cina dikelilingi oleh dinding, baik dari batu bata maupun dari batang-batang kayu, terdapat istana raja yang juga dikelilingi oleh dinding. Didalam istana itulah berdiam raja dan keluarganya, yaitu permaisuri, selir selir, dan anak-anaknya yang belum dewasa, dan para hamba istana(hulun haji, watek I jro). Diluar istana, masih didalam lingkungan dindinga kota, terdapat kediaman putra mahkota (rake hino), dan tiga orang adiknya (rakai hulu, rakai sirikan dan rakai wra), dan kediaman para pejabat tinggi kerajaan. Dilingkungan tembok ibu kota kerajaan tinggal kelompok elite dan non-elite, raja dan keluarganya mengmbil tempat tersendiri. Hungungan antara raja secara langsung dengan kelompok non-elite sulit terlaksana, sedang dengan kelompok elite birokrasi saja hubungan itu henya terjadi secara formal. Didalam landasan Kosmogonis masyarakat yaitu menurut kepercayaan ini manusia selalu berada dibawah pengaruah kekuatan-kekuatan yang terpancar dari bintang-bintang dan planet-planet. Kekuatan itu dapat membawa kebahagian , kesejahteraan , dan perdamaian atau bencana kepada manusia, tergantung dari dapat atau tidaknya individu , kelompok-kelompok sosial, terutama kerajaan,menyerasikan hidup dan semua kegiatannya dengan gerak alam semesta. Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi. Didalam stratifikasi sosialnya masyarakat didalam kerajaan Medang masih menggunakan kasta-kasta didalam agama Hindu baik kedudukannya didalam struktur birokrasi maupun kedudukannya berdasarkan kekayaan materill. Menurut ajaran agama Hindu , alam ini terdiri atas suatu benua pusat berbentuk lingkaran, yang bernama jambudwipa. Benua ini dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh daratan, dan semua itu di batasi oleh suatu pegunungan yang tinggi. Ditengah tengah Jambudwipa berdiri gunung Meru sebagai pusat alam semesta. Matahari , bulan , dan bintangbintang bergerak mengililingi Gunung Meru itu. Di Puncaknya terdapat kota dewa-dewa, yang di kelilingai oleh tempat tinggal ke delapan dewa penjaga mata angin (Lokapala).

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa seorang raja harus berpegang teguh kepada dharma, bersikap adil, menghukum yang bersalah dan memberikan anugrah kepada mereka yang berjasa( wnang wgraha anugraha), bijaksana, tidak boleh sewenang-wenangnya. Waspada terhadapgejolak dikalangan rakyatnya, berusaha agar rakyat senantiasa memperoleh rasa tentram dan bahagia, dan dapat memperlihatkan wibawanya dengan kekuatan angkatan perang dan harta kekayaannya. Di bidang ekonomi penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memangterkenal sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan negara maritim. Dibeberapa prasasti telah memberi keterangan akan adanya masyarakat yang mengenel ekonomi di wilayah kerajaan,di pedesaan pertama-tama sudah mengenal hasil bumi seperti beras, buah-buahan, sirih pinah, dan buah mengkudu. Juga hasil industry rumah tangga, seperti alat perkakas dari besi dan tembaga, pakaian, paying keeranjang dan barang-barang anyaman , kejang kepis, gula, arang, dan kapur sirih. Binatang ternak seperti kerbau, sapi, kambing , itik dan ayam serta telurnya juga diperjualbelikan. Prasasti tidak menyebutkan komoditas ekspor, dan hanya ada satu barang yang mungkin diimpor yaitu kain buatan India (wdihan buat kling). Akan tetapi, data tentang masalah ekspor-impor itu diperoleh darr berita-berita Cina. Ekspor dari pelabuhan pelabuhan di Jawa terdiri atas hasil bumi dan hutan Pulau Jawa sendiri dan dari Pulau-pulau yang lain, terutama dari Kaliimantan dan Indonesian bagian timur. Komoditas ekspor itu anatara lain garam yang di hasilkan dipantai utara PUlau Jawa, terutama didaerah Kembang dan Tuban , kain Katun dan Kapuk, Sutra tipis dan Sutra kuning, damas, kain brokat berwarna-warni, kulit penyu, pinang, pisang raja, gula tebu, kemukus, cula badak, mutiara, belerang, gaharu, kayu sepang, kayu cendana.,cengkeh, pala, marica, dammar, kapur barus dan lain-lainnya.

Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan besar di Jawa Timur yang berdiri pada abad ke-12. Kerajaan ini merupakan bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Pusat kerajaanya terletak di tepi S. Brantas yang pada masa itu telah menjadi jalur pelayaran yang ramai. Pada tahun 1041 atau 963 M Raja Airlangga memerintahkan membagi kerajaan menjadi dua bagian. Pembagian kerajaan tersebut dilakukan oleh seorang Brahmana yang terkenal akan kesaktiannya yaitu Mpu Bharada. Kedua kerajaan tersebut dikenal dengan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) yang dibatasi oleh gunung Kawi dan sungai Brantas dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan serat Calon Arang (1540 M). Tujuan pembagian kerajaan menjadi dua agar tidak terjadi pertikaian. Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta sungai Brantas dengan pelabuhannya Surabaya, Rembang, dan Pasuruhan, ibu kotanya Kahuripan, sedangkan Panjalu kemudian dikenal dengan nama Kediri meliputi Kediri, Madiun, dan ibu kotanya Daha. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan masing-masing kerajaan saling merasa berhak atas seluruh tahta Airlangga sehingga terjadilah peperangan. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 1052 M) dalam prasasti Malenga. Pada awalnya perang saudara tersebut, dimenangkan oleh Jenggala tetapi pada perkembangan selanjutnya Panjalu/Kediri yang memenangkan peperangan dan menguasai seluruh tahta Airlangga. Dengan demikian di Jawa Timur berdirilah kerajaan Kediri dimana bukti-bukti yang menjelaskan kerajaan tersebut, selain ditemukannya prasasti-prasasti juga melalui kitab-kitab sastra yang banyak menjelaskan tentang kerajaan Kediri. Hasil karya sastra tersebut adalah kitab Kakawin Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah dan Mpu Panuluh yang menceritakan tentang kemenangan Kediri/Panjalu atas Jenggala. Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala ditaklukkan oleh Kediri. Akan tetapi hilangnya jejak Jenggala mungkin juga disebabkan oleh tidak adanya prasasti yang ditinggalkan atau belum ditemukannya prasasti yang ditinggalkan Kerajaan Jenggala. Kejayaan Kerajaan Kediri sempat jatuh ketika Raja Kertajaya (1185-1222) berselisih dengan golongan pendeta. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Akuwu Tumapel Tunggul Ametung. Namun kemudian kedudukannya direbut oleh Ken Arok. Diatas bekas Kerajaan Kediri inilah Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan Singasari, dan Kediri berada di bawah kekuasaan Singasari. Ketika Singasari berada di bawah pemerintahan Kertanegara (1268 1292), terjadilah pergolakan di dalam kerajaan. Jayakatwang, raja Kediri yang selama ini tunduk kepada Singasari bergabung dengan Bupati Sumenep (Madura) untuk menjatuhkan Kertanegara. Akhirnya pada tahun 1292 Jayakatwang berhasil mengalahkan Kertanegara dan membangun kembali kejayaan Kerajaan Kediri.

Raja Kediri pertama Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 1135 M) dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala. Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut. Pada tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan kerajaan berhasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Airlangga meninggal pada tahun 1049 M. Pewaris tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir. Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu) dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan. Hal ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang- bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran dan raja raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan kekalahan Jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri. Adapun raja raja yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Kediri adalah: Shri Jayawarsa Digjaya Shastraprabhu, Jayawarsa adalah raja pertama kerajaan Kediri dengan prasastinya yang berangka tahun 1104. Ia menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Kameshwara Raja ke dua kerajaan Kediri yang bergelar Sri Maharajarake Sirikan Shri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewa, yang lebih dikenal sebagai Kameshwara I (1115 1130 ). Lencana kerajaanya adalah tengkorak yang bertaring disebut Candrakapala. Dalam masa pemerintahannya Mpu Darmaja telah mengubah kitab Smaradhana. Dalam kitab ini sang raja di pujipuji sebagai titisan dewa Kama, dan ibukotanya yang keindahannya dikagumi seluruh dunia bernama Dahana. Permaisurinya bernama Shri Kirana, yang berasal dari Janggala. Jayabaya Raja Kediri ketiga yang bergelar Shri Maharaja Shri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka Parakramanindita Digjayotunggadewanama Shri Gandra. Dengan prasastinya pada tahun 1181. Prabu Jayabaya adalah raja Kediri yang paling terkenal, di bawah pemerintahannya Kediri mencapai kejayaan. Keahlian sebagai pemimpin politik yang ulung Jayabaya termasyur dengan ramalannya. Ramalanramalan itu dikumpulkan dalam satu kitab

yang berjudul jongko Joyoboyo. Dukungan spiritual dan material dari Prabu Jayabaya dan hal budaya dan kesusastraan tidak tanggungtanggung. Sikap merakyat dan visinya yang jauh kedepan menjadikan prabu Jayabaya layak dikenang. Prabu Sarwaswera, raja yang taat beragama dan budaya, prabu Sarwaswera memegang teguh prinsip tat wam asi yang artinya Dikaulah itu, , dikaulah (semua) itu , semua makhluk adalah engkau . Tujuan hidup manusia menurut prabu Sarwaswera yang terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang benar adalah sesuatu yang menuju kearah kesatuan , segala sesuatu yang menghalangi kesatuan adalah tidak benar. Prabu Kroncharyadipa Namanya yang berarti benteng kebenaran, sang prabu memang senantiasa berbuat adil pada masyarakatnya. Sebagai pemeluk agama yang taat, beliau mengendalikan diri dari pemerintahannya dengan prinsip , sad kama murka, yakni enam macam musuh dalam diri manusia. Keenam itu adalah kroda (marah), moha (kebingungan), kama (hawa nafsu),loba (rakus),mada (mabuk), masarya (iri hati). Srengga Kertajaya Srengga Kertajaya tak hentihentinya bekerja keras demi bangsa negaranya. Masyarakat yang aman dan tentram sangat dia harapkan. Prinsip kesucian prabu Srengga menurut para dalang wayang dilukiskan oleh Prapanca. Pemerintahan Kertajaya Raja terakhir pada masa Kediri. Kertajaya raja yang mulia serta sangat peduli dengan rakyat. Kertajaya dikenal dengan catur marganya yang berarti empat jalan yaitu darma, arta, kama, moksa. Runtuhnya kerajaan Kediri dikarenakan pada masa pemerintahan Kertajaya , terjadi pertentangan dengan kaum Brahmana. Mereka menggangap Kertajaya telah melanggar agama dan memaksa mereka untuk menyembahnya sebagai dewa. Kemudian kaum Brahmana meminta perlindungan Ken Arok , akuwu Tumapel. Perseteruan memuncak menjadi pertempuran di desa Ganter, pada tahun 1222 M. Dalam pertempuran itu Ken Arok dapat mengalahkan Kertajaya, pada masa itu menandai berakhirnya kerajaan Kediri. Setelah berhasil mengalahkan Kertanegara, Kerajaan Kediri bangkit kembali di bawah pemerintahan Jayakatwang. Salah seorang pemimpin pasukan Singasari, Raden Wijaya, berhasil meloloskan diri ke Madura. Karena perilakunya yang baik, Jayakatwang memperbolehkan Raden Wijaya untuk membuka Hutan Tarik sebagai daerah tempat tinggalnya. Pada tahun 1293, datang tentara Mongol yang dikirim oleh Kaisar Kubilai Khan untuk membalas dendam terhadap Kertanegara. Keadaan ini dimanfaatkan Raden Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Ia bekerjasama dengan tentara Mongol dan pasukan Madura di bawah pimpinan Arya Wiraraja untuk menggempur Kediri. Dalam perang tersebut pasukan Jayakatwang mudah dikalahkan. Setelah itu tidak ada lagi berita tentang Kerajaan Kediri. Prasasti pada Jaman Kerajaan Kediri antara lain: 1. Prasasti Banjaran yang berangka tahun 1052 M menjelaskan kemenangan Panjalu atau Kadiri atas Jenggala 2. Prasasti Hantang tahun 1135 atau 1052 M menjelaskan Panjalu atau Kadiri pada masa Raja Jayabaya.Pada prasasti ini terdapat semboyan Panjalu Jayati yang artinya Panjalu Menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk Desa Ngantang yang setia pada Kadiri selama perang dengan Jenggala.Dan dari Prasasti tersebut dapat di ketahui kalau Raja Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri.

Prasasti Hantang 3. Prasasti Jepun 1144 M 4. Prasasti Talan 1136 M Seni sastra juga mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan,kemenangan. Seni sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri. Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang berisi kemenangan Pandawa atas Kurawa, sebagai kiasan kemenangan Sri Jayabhaya atas Jenggala. Selain itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Gatotkacasraya. Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.

Kerajaan Singasari
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan di daerah Singosari, Malang. Kerajaan Singasari hanya sempat bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Kadiri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh Ken Arok yang merupakan pengawalnya. Keberadaan Kerajaan Singosari dibuktikan melalui candi-candi yang banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singosari sampai Malang, juga melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di Singosari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok yang penuh keajaiban. Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. A. SISTEM PEMERINTAHAN KERAJAAN SINGASARI Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singasari alias Tumapel ini. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (12471249 M). Anusapati diganti oleh Tohjaya (12491250 M), yang diteruskan oleh Ranggawuni alias Wisnuwardhana (12501272 M). Terakhir adalah Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M. Sementara pada versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singasari adalah Rangga Rajasa Sang Girinathapura (12221227 M). Selanjutnya adalah Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (12481254 M). Terakhir adalah Kertanagara (12541292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula Malurung. 1. Ken Arok (12221227 M) Pendiri Kerajaan Singasari adalah Ken Arok yang sekaligus juga menjadi Raja Singasari yang pertama dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (12221227 M). Pada tahun 1227 M, Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan SiwaBuddha. 2. Anusapati (12271248 M) Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-

pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

Gambar: Candi Kidal 3. Tohjoyo (1248 M) Dengan meninggalnya Anusapati maka tahta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana. 4. Ranggawuni (12481268 M) Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254 M Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

Gambar: Candi Jago 5. Kertanegara (1268-1292 M) Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amoghapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara.

Gambar: Arca Amoghapasa Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja

Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai muka utusannya yang bernama Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa. Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut. Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai SiwaBuddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.

Gambar: Candi Singasari B. KEHIDUPAN DI KERAJAAN SINGASARI Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singasari mengalami masa naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut dalam kegemarannya menyabung ayam. Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.

Politik Dalam Negeri: 1. Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih Raganata digantikan oleh Aragani, dll. 2. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi menantunya. 3. Memperkuat angkatan perang.

Politik Luar Negeri: 1. Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka. 2. Menguasai Bali. 3. Menguasai Jawa Barat. 4. Menguasai Malaka dan Kalimantan.

Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari. Sedangkan patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambing kesempurnaan ilmu, patung Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara menganut agama Buddha beraliran Tantrayana). C. RUNTUHNYA KERAJAAN SINGASARI Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota baru di Kediri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singasari pun berakhir. D. HUBUNGAN KERAJAAN SINGASARI DENGAN MAJAPAHIT Pararaton, Nagarakretagama dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya, cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanegara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiararaja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singasari, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Kerajaan majapahit

Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun
1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah Indonesia.Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan. Historiografi Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain. Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos. Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui masa depan. Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang tampak cukup pasti. Sejarah Berdirinya Majapahit Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[9] ke Singhasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing.[11][12] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.

Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati.[12] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309. Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk. Kejayaan Majapahit Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,[2] menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina[13]. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja[14]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok Jatuhnya Majapahit Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468. Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah sirna hilanglah kemakmuran bumi. Namun demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara. Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta) mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.

Raja-raja Majapahit Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok. 1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309) 2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328) 3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350) 4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389) 5. Wikramawardhana (1389 - 1429) 6. Suhita (1429 - 1447) 7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451) 8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453) 9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466) 10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468) 11. Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478) 12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498) 13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518).

You might also like