You are on page 1of 21

Draft RUU Tipikor

Versi Pemerintah Agustus 2008

RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN …
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dengan telah diratifikasinya United Nations Convention Against


Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi
2003) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, maka Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 perlu disesuaikan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi 2003 tersebut;
b. bahwa tindak pidana korupsi yang sering dilakukan secara terencana dan
sistematis merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas dan endemik, merusak sendi-sendi ekonomi
nasional, merendahkan martabat bangsa di forum internasional, telah
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa, sehingga penindakan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi harus diatur secara khusus;
c. bahwa keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi
terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga
dan nilai-nilai demokrasi, etika, dan keadilan serta membahayakan
pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 belum mengatur semua aspek korupsi secara
khusus dan menyeluruh;
e. bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal tetapi merupakan
fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan
mengendalikannya sangat penting;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3851);
4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations
Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi, 2003) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 32 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4620);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
KORUPSI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pejabat Publik adalah:
a. setiap orang yang memegang jabatan legislatif, yudikatif, atau eksekutif yang
ditunjuk atau dipilih tetap atau sementara dibayar atau tidak dibayar terlepas dari
senioritas orang itu;
b. setiap orang yang melaksanakan fungsi publik termasuk untuk kepentingan suatu
instansi publik atau perusahaan publik atau suatu yang menyediakan pelayanan
publik berdasarkan peraturan perundang-undangan;
c. setiap orang yang ditetapkan sebagai pejabat publik dalam peraturan perundang-
undangan.
3. Pejabat Publik Asing adalah:
a. setiap orang yang memegang jabatan eksekutif, legislatif, atau yudikatif suatu
negara asing baik berdasarkan penunjukan atau pemilihan, termasuk semua
tingkatan dan bagian pemerintahannya;
b. setiap orang yang menjalankan fungsi publik untuk kepentingan suatu negara
asing, termasuk instansi publik atau perusahaan publik asing; atau
c. setiap pejabat atau perwakilan organisasi publik internasional.
4. Pejabat Organisasi Internasional Publik adalah setiap pegawai sipil internasional atau
setiap orang yang diberi kewenangan oleh organisasi tersebut untuk bertindak atas nama
organisasi tersebut.
5. Kekayaan adalah aset bentuk apa pun, baik korporal atau nonkorporal, bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud, dan dokumen atau instrumen hukum yang
membuktikan hak atau kepentingan atas aset tersebut.
6. Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau
tidak berwujud untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
7. Perampasan adalah pengambilalihan secara permanen atas kekayaan dengan putusan
pengadilan atau badan berwenang yang lain.
8. Tindak Pidana Asal adalah setiap tindak pidana yang menimbulkan hasil tindak pidana
yang menjadi obyek tindak pidana lain.
9. Hasil Tindak Pidana adalah setiap kekayaan yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dari suatu tindak pidana.
10. Hadiah atau Janji adalah segala bentuk apapun yang memberikan manfaat atau
kenikmatan bagi yang menerima.

BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI DAN
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 2
(1) Setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara langsung atau
tidak langsung kepada Pejabat Publik suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk
kepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya pejabat tersebut

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

(2) Pejabat Publik yang meminta atau menerima secara langsung atau tidak langsung suatu
keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau
Korporasi, supaya Pejabat Publik tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta
rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh hakim, ancaman
pidana penjara ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).

Pasal 3
(1) Setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara langsung atau
tidak langsung kepada seorang Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi
Internasional Publik suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan pejabat
itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, atau untuk memperoleh, mempertahankan
bisnis atau keuntungan lain yang tidak sah berkaitan dengan bisnis internasional, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Pejabat Publik Asing atau Pejabat Organisasi Internasional Publik yang meminta atau
menerima secara langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya
untuk kepentingan pejabat itu sendiri, orang lain, atau Korporasi, supaya pejabat tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam pelaksanaan tugas jabatannya, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 4
(1) Setiap orang yang menjanjikan, menawarkan, atau memberikan secara langsung atau
tidak langsung kepada Pejabat Publik atau orang lain suatu keuntungan yang tidak
semestinya, supaya pejabat atau orang lain tersebut menyalahgunakan pengaruh karena
jabatannya, dengan tujuan memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya dari
instansi pemerintah atau otoritas publik, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah).
(2) Pejabat Publik atau orang lain yang meminta atau menerima secara langsung atau tidak
langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya supaya pejabat tersebut atau orang
lain menyalahgunakan pengaruh karena jabatannya, dengan tujuan memperoleh suatu
keuntungan yang tidak semestinya dari instansi pemerintah atau otoritas publik, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 5
Pejabat Publik yang menyalahgunakan fungsi atau kedudukannya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang berada dalam fungsinya secara melawan hukum, dengan maksud
memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk kepentingan diri sendiri, orang lain,
atau Korporasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 6
Pejabat Publik yang memperkaya diri berupa peningkatan jumlah kekayaannya secara signifikan
dan tidak dapat membuktikan peningkatan tersebut diperoleh secara sah, dipidana dengan
perampasan kekayaan tersebut.

Pasal 7
(1) Setiap orang yang dalam suatu aktifitas ekonomi, keuangan, atau komersial menjanjikan,
menawarkan, atau memberikan secara langsung atau tidak langsung kepada seseorang
yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan yang tidak
semestinya untuk kepentingan dirinya atau orang lain, supaya orang tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Pejabat Publik yang meminta atau menerima secara langsung atau tidak langsung dari
seseorang yang yang menduduki jabatan apapun pada sektor swasta suatu keuntungan
yang tidak semestinya untuk kepentingan dirinya atau untuk orang lain dengan maksud
supaya ia berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajibannya, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 8
Setiap orang dalam jabatan apapun pada sektor swasta melakukan penggelapan kekayaan dalam
bentuk apapun, dana swasta, surat berharga, atau barang lain yang berharga yang dipercayakan
padanya berdasarkan jabatannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (tujuh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 9
(1) Pejabat Publik yang menggelapkan atau membiarkan atau membantu orang lain
menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah
kekuasaannya karena jabatannya yang nilainya Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
atau lebih dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Pejabat Publik yang menggelapkan, membiarkan atau membantu orang lain
menggelapkan uang atau kertas yang bernilai uang atau barang yang berada di bawah
kekuasaannya jabatannya yang nilainya kurang dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Apabila uang, kertas yang bernilai uang, atau barang yang digelapkan itu nilainya Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) atau lebih dan merupakan dana atau barang untuk
menanggulangi bencana alam, bencana sosial, krisis ekonomi, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 10
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling lambat
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta) tanpa tender atau tanpa lelang umum dengan tujuan
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi pejabat publik
yang:
a. Menjual kekayaan negara yang nilainya lebih dari ketentuan yang diatur dalam
suatu peraturan perundang-undangan;
b. Membeli barang untuk negara yang nilainya lebih dari ketentuan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan; atau

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
c. Memberi pekerjaan atau proyek negara yang nilainya lebih dari ketentuan yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling lambat Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta) Pejabat Publik yang mendapatkan kekayaan
negara, pembelian barang untuk negara atau pemberian pekerjaan atau proyek negara.

Pasal 11
Pejabat Publik baik secara langsung atau tidak langsung menjadi pemasok, pemborong, atau
penebas yang dia sendiri adalah penanggung jawab atau pengawasnya, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 12
Setiap orang secara melawan hukum menggunakan dana anggaran pendapatan dan belanja
negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah bukan pada tujuannya, dipidana dengan
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

Pasal 13
(1) Setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung:
a. memberikan, menyetujui atau menawarkan untuk memberikan suatu gratifikasi
kepada seseorang yang mengurus kepentingan umum baik untuk diri sendiri
orang itu maupun untuk orang lain, supaya orang itu berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
b. memberikan, menyetujui atau menawarkan untuk memberikan suatu gratifikasi
dalam mengurus kepentingan umum baik untuk kepentingan dia sendiri atau
kepentingan orang lain, karena akan atau telah berbuat sesuatu yang
bertentangan dengan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).
(2) Setiap orang yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 14
Setiap orang yang secara langsung atau tidak langsung:
a. memberi, setuju atau menawarkan untuk memberi suatu gratifikasi, baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan orang itu
mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
b. memberi, setuju atau menawarkan untuk menerima suatu gratifikasi, baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain, sebagai imbalan dia akan
atau telah mengatur hasil akhir olahraga atau pertandingan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
.

Pasal 15
Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagai tindak
pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 17
Setiap orang yang menggunakan kekuatan fisik, mengancam, atau mengintimidasi seseorang atau
menjanjikan, menawarkan, atau memberikan suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
orang tersebut, supaya orang tersebut memberikan kesaksian palsu, mempengaruhi pemeriksaan
saksi, atau mengajukan alat bukti dalam suatu persidangan berkenaan dengan tindak pidana
dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.

Pasal 18
Setiap orang yang dengan sengaja membuat laporan palsu tentang seseorang telah melakukan
tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 19
Setiap orang yang menggunakan kekuatan fisik, ancaman, atau intimidasi untuk turut campur
dalam pelaksanaan tugas resmi seorang hakim atau seorang pejabat penegak hukum dalam
hubungan penegakan hukum menurut Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun.

Pasal 20
Setiap orang yang menghalang-halangi penyitaan atau perampasan barang atau uang yang
diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun.

Pasal 21
Setiap orang yang menjual atau mengalihkan barang yang telah disita atau dirampas dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 22
(1) Pejabat publik yang dengan sengaja melaporkan harta bendanya yang tidak benar,
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Pejabat publik yang pada waktu melaporkan harta bendanya mengajukan bukti-bukti palsu
tentang perolehan harta benda tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

BAB III
PERAMPASAN ASET

Pasal 23
(1) Permohonan perampasan aset untuk menyatakan suatu aset dirampas menjadi milik negara
terhadap:
a. milik tersangka/terdakwa yang telah meninggal dunia yang diduga keras diperoleh dari
tindak pidana korupsip;
b. milik tersangka yang tidak dikenal yang diduga keras diperoleh dari tindak pidana
korupsi;
c. milik tersangka/terdakwa yang melarikan diri ke luar negeri yang diduga keras diperoleh
dari tindak pidana korupsi; atau
d. Kekayaan yang tidak dapat dibuktikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Permohonan perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh jaksa.

(3) Sebelum diajukan permohonan, penyidik atau penuntut umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau kejaksaan dapat melakukan penyitaan
atas aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 24
(1) Permohonan perampasan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 diajukan kepada
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat aset berada.
(2) Pemeriksaan permohonan perampasan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh hakim tunggal dengan acara singkat.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
(3) Penetapan hakim yang menyatakan suatu aset menjadi milik negara adalah penetapan
pertama dan terakhir
(4) Pihak yang berkepentingan yang beritikad baik dapat mengajukan perlawanan terhadap
penetapan perampasan aset dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah
penetapan diucapkan.
(5) Dalam hal hakim menganggap alasan yang dikemukakan oleh pihak berkepentingan dapat
diterima maka hakim mengembalikan aset tersebut seluruhnya atau sebagian kepadanya.

Pasal 25
(1) Penetapan hakim untuk menyatakan suatu aset menjadi milik negara harus dijatuhkan
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sesudah permohonan diajukan.
(2) Biaya perkara pemeriksaan permohonan perampasan aset ditanggung oleh negara

BAB IV
TANGGUNG JAWAB KORPORASI

Pasal 26
(1) Pemimpin, direkrur atau dewan komisaris suatu koorporasi yang memimpin atau
memerintahkan tindak pidana korupsi yang tercantum dalam Pasal 2 sampai Pasal 12 atas
nama Korporasi, dipidana orang yang memimpin orang memerintahkan tersebut atau korporasi
atau keduanya.
(2) Badan hukum publik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, melainkan pejabat
publik yang memimpin atau memerintahkan tindak pidana korupsi tersebut.
(3) Pidana yang dijatuhkan kepada korporasi selain pidana denda yang merupakan pidana pokok,
juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan, pencabutan izin usaha dan/atau
pengumuman putusan hakim.

BAB V
PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Pasal 27
Pemerintah menyusun dan menetapkan kebijakan dan rencana aksi nasional pencegahan tindak
pidana korupsi.

Pasal 28
(1) Semua lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif wajib secara periodik mengevaluasi
instrumen hukum di bidang administrasi.
(2) Dalam hal hasil evaluasi menunjukan terdapat instrumen hukum yang memberi peluang
terjadinya korupsi, harus dilakukan perubahan terhadap instrumen hukum tersebut.
(3) Komisi Pemberantasan Korupsi dapat bekerja sama dengan instansi terkait untuk
melakukan pemantauan dan mencatat instrumen hukum di bidang aministrasi yang
memberi peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
(4) Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga penegak hukum yang lain bekerja sama
dengan institusi lain secara berkala melakukan diskusi, seminar dan sosialisasi mengenai
Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(5) Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara
Repulik Indonesia bekerjasama dengan organisasi internasional dan regional beserta
negara lain dalam usaha mencegah dan memberantas korupsi.
(6) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk kerjasama di bidang
pendidikan dan pelatihan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pasal 29
(1) Penegak hukum wajib diseleksi, dididik, dan dilatih secara profesional.
(2) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam
dan di luar negeri bekerjasama dengan negara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
BAB VI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 30
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak
pidana korupsi harus didahulukan daripada perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
(2) Penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 31
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara tindak pidana
korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang
ini.

Pasal 32
Alat bukti yang sah selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara
Pidana, termasuk juga:
a. informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu;
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna.

Pasal 33
Untuk kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
kekayaannya dan kekayaan istri, suami, atau anak, dan kekayaan setiap orang atau korporasi
yang diketahui dan/atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang
dilakukan tersangka.

Pasal 34
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan,
penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta keterangan kepada bank atau
lembaga keuangan yang lain tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
(2) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan
bank atau lembaga keuangan yang lain.
(3) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), terhadap
penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-Undang yang
mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(4) Pimpinan bank atau lembaga keuangan yang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berkewajiban untuk memenuhi permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja, terhitung sejak tanggal surat permintaan
diterima.

Pasal 35
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank atau lembaga
keuangan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) untuk memblokir
rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang
cukup atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau atas penetapan hakim, bank atau
lembaga keuangan yang lain pada hari itu juga mencabut pemblokiran.

Pasal 36
Pihak ketiga atau korban dapat mengajukan gugatan perdata kepada terpidana mengenai
harta/keuntungan yang seharusnya ia peroleh apabila tidak terjadi tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh terpidana.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
Pasal 37
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh pejabat publik tidak diperlukan surat izin dari Presiden atau pejabat lain.

Pasal 38
Penyidik berwenang membuka, memeriksa, menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi,
atau alat lain yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang
sedang diperiksa.

Pasal 39
(1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor,
atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2) Sebelum perneriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.

Pasal 40
(1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak
pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan
tersebut kepada jaksa pengacara negara untuk dilakukan gugatan perdata atau
diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.
(2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk
menuntut kerugian terhadap keuangan negara.

Pasal 41
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata
telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil
penyidikan tersebut kepada jaksa pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

Pasal 42
(1) Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu, kakek,
nenek, saudara kandung. Istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
(2) Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui
secara tegas oleh terdakwa.
(3) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapat memberikan
keterangan sebagai saksi, tanpa disumpah.

Pasal 43
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 berlaku juga terhadap
mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.

Pasal 44
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh kekayaannya dan kekayaan istri
atau suami, anak, dan kekayaan setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang
dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
Pasal 45
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan
dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada
papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada
kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 46
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 10 Undang-undang ini, wajib membuktikan
sebaliknya terhadap kekayaan miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga
berasal dari tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa kekayaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, kekayaan tersebut dianggap
diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau
sebagian kekayaan tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh
penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari
tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya
dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang
diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari
perkara pokok, maka tuntutan perampasan kekayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.

Pasal 47
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih
terdapat kekayaan milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.

Pasal 48
Kewenangan menuntut dalam tindak pidana korupsi hilang jika telah lewat 18 (delapan belas)
tahun sejak terjadinya tindak pidana korupsi.

Pasal 49
Untuk kepentingan penyidikan tindak pidana korupsi penyidik dapat melakukan penangkapan
paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam.

Pasal 50
Penghentian penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang cukup bukti hanya dapat dilakukan
pada perbuatan korupsi yang nilainya paling banyak Rp. 25.000.000,00 (dua puluh lima juta
rupiah) dengan ketentuan terdakwa mengakui kesalahannya dan mengembalikan hasil
kejahatannya kepada negara.

Pasal 51

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
(1) Salah seorang tersangka atau terdakwa yang peranannya paling ringan dapat dijadikan
Saksi dalam perkara yang sama dan dapat dibebaskan dari penuntutan pidana, jika ia
dapat membantu mengungkap tindak pidana korupsi tersebut.
(2) Jika tidak ada tersangka atau terdakwa yang peranannya ringan dalam tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka yang membantu mengungkap tindak
pidana korupsi dapat dikurangi pidananya.

BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL

Pasal 52
(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan
kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain
melalui perjanjian bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui
perjanjian ekstradisi, bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan pengalihan
terpidana.
(3) Kerjasama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan
suatu perjanjian atau atas dasar hubungan baik atau berdasarkan prinsip resiprositas.

Pasal 53
(1) Ekstradisi dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan perjanjian
ekstradisi baik yang bersifat multilateral atau bilateral.
(2) Pengajuan persyaratan dan tata cara pelaksanaan ekstradisi dilakukan berdasarkan
Undang-Undang tentang Ekstradisi negara diminta.

Pasal 54
(1) Pengalihan terpidana dapat dilakukan terhadap pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan
perjanjian baik bersifat multilateral atau bilateral.
(2) Pengajuan persyaratan dan tata cara pelaksanaan pengalihan terpidana dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 55
(1) Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan terhadap pelaku tindak
pidana korupsi untuk mempercepat proses peradilan berdasarkan perjanjian yang bersifat
multilateral atau bilateral.
(2) Pengajuan persyaratan dan tata cara pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah
pidana dilakukan berdasarkan Undang-Undang tentang Bantuan Timbal Balik Dalam
Masalah Pidana negara diminta.

Pasal 56
(1) Dalam rangka pengembalian aset yang dibawa ke luar negeri oleh tersangka, terdakwa
atau terpidana dibentuk tim yang terdiri dari unsur Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik
Indonesia, Departemen Keuangan, dan Departemen Luar Negeri.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh wakil Jaksa Agung.
(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.

Pasal 57
Ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
penuntutannya diambil alih oleh Indonesia dari negara asing atas dasar suatu perjanjian yang
memberi kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut pidana.

:
Pasal 58

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
(1) Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi Pemerintah Republik Indonesia melakukan
kerja sama dengan negara peserta konvensi anti korupsi.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Membangun jejaring komunikasi antara badan, instansi, dinas, yang berwenang
melakukan penukaran informasi yang aman dan cepat mengenai semua aspek
kejahatan yang tercakup dalam konvensi anti korupsi;
b. Melakukan kerja sama dalam penyelidikan tindak pidana yang tercakup dalam
konvensi anti korupsi mengenai:
1) Identitas, keberadaan, dan kegiatan orang yang dicurigai terlibat dalam tindak
pidana;
2) Perpindahan hasil tindak pidana atau kekayaan yang berasal dari tindak
pidana;
3) Perpindahan kekayaan, alat atau sarana lain yang digunakan atau
direncanakan untuk digunakan dalam pelaksanaan tindak pidana.
c. Menyediakan alat, sarana, atau bahan yang diperlukan untuk tujuan analisis atau
penyidikan;
d. Melakukan tukar-menukar informasi dengan negara lain mengenai alat lain untuk
menyembunyikan kegiatan dan cara tertentu untuk melakukan tindak pidana
korupsi, termasuk penggunaan identitas atau dokumen palsu;
e. Menempatkan petugas penghubung untuk koordinasi antar badan atau instansi
yang berwenang baik di dalam maupun di luar negeri untuk meningkatkan
pertukaran personel dan ahli;
f. Melakukan pertukaran informasi dan koordinasi tindakan yang diambil untuk
tujuan identifikasi dini atas tindak pidana yang tercakup dalam Konvensi Anti
Korupsi.

Pasal 59
(1) Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau
multilateral untuk mengadakan penyidikan bersama.
(2) Untuk melaksanakan penyidikan bersama dibentuk badan penyidikan bersama.

(3) Penyidikan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan
menghormati kedaulatan negara pihak tempat dilakukan penyidikan.

Pasal 60
Dalam melaksanakan penyidikan, penyidik dapat melakukan penyidikan dengan teknik khusus.

Pasal 61
(1) Pengembalian aset yang berada di luar wilayah negara Republik Indonesia yang
merupakan hasil tindak pidana korupsi dilakukan dengan kerja sama secara khusus antara
Indonesia dengan negara lain tempat aset tersebut berada.
(2) Kerja sama secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan baik secara
bilateral maupun multilateral.
(3) Pengembalian aset dari negara tempat aset tersebut berada dilakukan secara transparan
dengan memperhatikan kepentingan nasional Indonesia ditinjau dari aspek politik, sosial,
dan ekonomi.
(4) Pengembalian aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
mempertimbangkan efisiensi, biaya, dan nilai aset yang diharapkan.
(5) Tanpa mengurangi arti Undang-Undang tentang Pencucian Uang perlu kerja sama antar
instansi terkait dalam rangka pelacakan dan pengalihan aset hasil tindak pidana korupsi
untuk memverifikasi identitas para nasabah dan melakukan penelitian terhadap rekening
nasabah dari orang-orang tertentu di lingkungan baik pejabat publik maupun anggota
keluarganya.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 62
(1) Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam
bentuk:
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan
informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak
hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada
penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang
diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;

e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :


1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab
dalam upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi;
(4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)
dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas atau ketentuan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan
norma sosial lainnya;
(5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 63
(1) Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa
membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana
korupsi.
(2) Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 64
Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang ini diundangkan, tetap diperiksa dan
diputus berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 65
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, ketentuan Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4150), diberlakukan kembali dan ditempatkan dalam Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416,
dan Pasal 417 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Pasal 66
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku maka:
1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3874) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4150),
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 58), Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3178),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 67
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN … NOMOR … .

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
RANCANGAN
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN …
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. UMUM
Pasal 1 ayat (3) Bab I, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menegaskan kembali
bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Artinya bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas
kekuasaan (machstaat), tidak berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekuensi dari Pasal 1 Ayat (3) tersebut, 3 (tiga)
prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu supremasi hukum; kesetaraan di
hadapan hukum; dan penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan
hukum. Pembangunan nasional berkelanjutan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia seluruhnya
yang adil, makmur, sejahtera, aman dan tertib berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945, perlu terus ditingkatkan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip
dasar diatas, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum.

Salah satu hambatan terhadap pembangunan nasional yang berkelanjutan di atas adalah
lemahnya penegakan hukum dan semakin meluasnya tindak pidana korupsi, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi perlu diambil langkah-
langkah terpadu berupa pembentukan undang-undang yang aspiratif, penegakan hukum yang
konsisten, peningkatan peran serta masyarakat dan kerjas sama internasional.

Dengan telah diratifikasinya United Nation Conventon Against Corruption, 2003 (konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 perlu dicabut dan
diganti dengan Undang-Undang baru yang sesuai dengan Ketentuan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,2003, kebutuhan hukum masyarakat dan tetap menjaga hak-hak
asasi manusia dengan mengedepankan bahwa setiap orang sama didepan hukum. Sebagaimana
ditentukan di dalam pertimbangan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Conventon Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti
Korupsi 2003) bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal akan tetapi
merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian
sehingga penting adanya kerja sama internasional untuk pencegahan atau pengembalian aset-
aset tindak pidana korupsi. Kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas dan manajemen pemerintah
yang baik.

Sebagian besar ketentuan di dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003
telah diadopsi di dalam Undang-Undang ini ditambah dengan rumusan baru untuk dapat
menjangkau berbagai modus operandi perbuatan korupsi, maka disusun rumusan tindak pidana
korupsi yang lebih lengkap dan sesuai dengan asas-asas hukum pidana yang berlaku di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Conventon Against
Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003) dengan sendirinya
harus dipatuhi oleh Indonesia dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003 berdasarkan prinsip kedaulatan yang sejajar dan
integritas wilayah serta prinsip tidak melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri negara
lain. Disamping itu, Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya,
mengembangkan dan melaksanakan atau memelihara kebijakan antikorupsi yang efektif dan
terkoordinasi yang meningkatkan partisipasi masyarakat dan mencerminkan prinsip-prinsip
penegakan hukum, pengelolaan urusan publik dan kekayaan publik secara baik, integritas,

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
transparansi dan akuntabilitas. Ketentuan tindak pidana suap yang diatur didalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Hak Keuangan telah diinkorporasikan ke
dalam Undang-Undang baru ini sehingga seluruh rumusan tindak pidana korupsi, baik dilakukan
oleh pejabat maupun bukan pejabat berada di dalam satu undang-undang.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003 telah meniadakan kerugian negara
sebagai unsur tindak pidana sehingga kerugian negara tidak lagi dicantumkan dalam Undang-
Undang dalam rangka paralelisasi ketentuan dalam Konevensi. Hal ini dimaksudkan agar
pengertian kerugian negara mempunyai makna yang lebih luas, tidak hanya bagi negara,
melainkan juga kerugian bagi swasta. Untuk melengkappengaturan terkait denagn kemungkinan
adanya kerugian tersebut, maka dalam Undang-Undang diatur mengenai perampasan aset hasil
tindak pidana korupsi, antara lain dengan memperkenalkan tuntutan perampasan aset dengan
acara cepat agar semua hasil tindak pidana korupsi dapat dirampas untuk negara. Perampasan
aset terdakwa/tersangka yang meninggal dunia sebelum putusan, yang melarikan diri ke luarnegeri
dan koruptor yang tidak dikenal dalam Undang-Undang ini.

Adapun pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang meliputi hukum pidana meteriel dan
hukum pidana formil serta pengaturan untuk mendukung adanya pencegahan dan kerjasama
internasional serta peran serta masyarakat dalam rangka memerangi tindak pidana korupsi.
Secara materiel, sebagian besar ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tetap dicantumkan dengan perubahan dan penyesuaian rumusan untuk
disesuaikan dengan Konvensi. Diperkenalkan juga subjek tindak pidana yang konvensional dan
korporasi. Bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pidana korupsi, ditentukan secara lebih
jelas yakni pemimpin, direktur, aray dewan komisaris suatu korporasi yang memimpin atau
memerintahkan tindak pidana dapat dikorupsi, yang dapat dipidana. Demikian juga bagi pejabat
publik ditentukan bahwa badan hukum publik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana
melainkan Pejabat Publik yang memimpin atau yang memerintahkan tindak pidana korupsi
tersebut.

Dalam pencegahan, diatur mengenai kewajiban semua lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif
secara periodik mengevaluasi instrumen hukum di bidang administrasi. Dalam hal hasil evaluasi
menunjukkan terdapat instrumen hukum yang memberi peluang terjadinya tindak pidana korupsi,
harus dilakukan perubahan terhadap instrumen hukum tersebut. Untuk itu, Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat bekerjasama dengan instansi terkait untuk melakukan pemantauan dan mencatat
instrumen hukum di bidang administrasi yang memberi peluang terjadinya tindak pidana korupsi,
termasuk kerja sama di bidang pendidikan dan pelatihan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi, juga dilakukan kerjsama antara pemerintah republik Indonesia dengan pemerintah
negara lain melalui perjanjian bilateral atau multirateral sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan , misalnya baik perjanjian ekstradisi maupun timbal balik masalah pidana.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
CUKUP JELAS

Pasal 2
Ayat (1)
- Yang dimaksud dengan “keuntungan” antara lain berupa barang atau
uang.
- Yang dimaksud dengan “orang lain atau suatu Korporasi” adalah jika
pejabat itu mengikuti kehendak pemberi suap tetapi yang menerima
Gratifikasi atau keuntungan atau janji ialah orang lain atau suatu
Korporasi.
- Penjatuhan pidana denda jika pelaku penyuapan adalah Korporasi.

Ayat (2)
CUKUP JELAS

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
Ayat (3)
CUKUP JELAS

Pasal 3
CUKUP JELAS

Pasal 4
CUKUP JELAS

Pasal 5
CUKUP JELAS

Pasal 6
CUKUP JELAS

Pasal 7
CUKUP JELAS

Pasal 8
CUKUP JELAS

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kertas yang bernilai uang” termasuk semua kertas yang
dapat diuangkan, misalnya bon bensin, voucher belanja, atau karcis pertandingan
olah raga.
Ayat (2)
CUKUP JELAS
Ayat (3)
Menggelapkan artinya memiliki uang, kertas berharga, atau barang itu secara
melawan hukum yang ada dalam tangannya bukan karena kejahatan. Jika uang
atau kertas berharga nilainya kurang dari Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah), diancam dengan pidana sesuai dengan Pasal 415 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang dinyatakan berlaku kembali.
Jika barang yang digelapkan nilainya kurang dari Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah) dipidana dengan pidana penjara sesuai dengan Pasal 372 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana.

Pasal 10
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini tidak menjadi unsur jumlah nilai penjualan, pembelian atau
pemberian pekerjaan atau proyek negara dan juga tidak menjadi unsur apakah
penjualan, pembelian, atau pemeberian pekerjaan atau proyek itu dilakukan
dengan atau tanpa tender atau lelang umum. Ditambahkan unsur melawan
hukum untuk mengecualikan pejabat publik yang mendapatkan honorarium atau
upah sebagai pimpinan proyek atau tim penaksir atau panitia.

Ayat (2)
CUKUP JELAS

Pasal 11
Delik ini adalah delik formil, artinya tidak disyaratkan adanya akibat, keuntungan bagi
Pejabat Publik dan adanya kerugian negara. Dengan perantaraan orang lain misalnya
orang yang menjadi pemasok atau pemborong atau penebas adalah istri, anak kandung
atau keluarga pejabat publik tersebut sampai dengan derajat ketiga.
Yang dimaksud dengan “penebas” adalah pembelian atau penyewaan secara borongan
untuk jangka waktu tertentu misalnya penebas sarang burung walet untuk 1 (satu) tahun.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
Pasal 12
CUKUP JELAS

Pasal 13
Yang dimaksud dengan “seseorang yang mengurus kepentingan umum”, antara lain
dokter, perawat rumah sakit swasta, notaris, pejabat pembuat akta tanah, dan guru
sekolah swasta pada semua tingkat pendidikan.
Yang dimaksud dengan “hadiah atau janji” termasuk fasilitas, rabat (discount),
pemotongan utang, traktir makan, menonton, perjalanan wisata, yang disebut dalam
bahasa Indonesia gratification.

Pasal 14
Yang dimaksud dengan "pertandingan" termasuk juga pertandingan dengan memakai
binatang seperti pacuan kuda.

Pasal 15
Berdasarkan asas kekhususan sistematis (systematische specialiteit) terhadap
pelanggaran undang-undang dalam lingkup administrasi yang bersanksi penal (misalnya
undang-undang perbankan, telekomunikasi, pertambangan, pajak, kepabeanan dan lain-
lain) tidak dapat diberlakukan undang-undang ini.
Pasal 16
CUKUP JELAS

Pasal 17
CUKUP JELAS .

Pasal 18
CUKUP JELAS .

Pasal 19
CUKUP JELAS .

Pasal 20
CUKUP JELAS .

Pasal 21
CUKUP JELAS .

Pasal 22
CUKUP JELAS .

Pasal 23
CUKUP JELAS .

Pasal 24
Ayat (1)
CUKUP JELAS .
Ayat (2)
Acara cepat dikenal di Belanda dengan istilah kort geding (artinya harus diputus
pada hari diajukan tuntutan). Putusan tersebut pada Pasal 20 ayat (1) huruf d
dapat dimintakan banding dan kasasi.
Ayat (3)
CUKUP JELAS
Ayat (4)
CUKUP JELAS
Ayat (5)

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
CUKUP JELAS

Pasal 25
CUKUP JELAS

Pasal 26
Ayat (1)
CUKUP JELAS
Ayat (2)
Badan Hukum publik dalam ketentuan ini, misalnya Provinsi, kabupaten/kota.
Ayat (3)
CUKUP JELAS

Pasal 27
CUKUP JELAS

Pasal 28
Ayat (1)
CUKUP JELAS
Ayat (2)
CUKUP JELAS
Ayat (3)
- Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain Kejaksaan, kepolisian,
PPATK, BPK, BPKP, dan Komisi Ombudsman.
- Yang dimaksud dengan Instrumen hukum di bidang administrasi yang
memberi peluang terjadinya tindak pidana korupsi seperti peraturan
pemberian kredit perbankan, pemberian Izin Mendirikan (IMB) , pemberian
Surat Izin Mengemudi (SIM), pemberitahuan masuk barang untuk dipakai,
penerimaan pegawai, peraturan tender, penggunaan anggaran, peraturan
penaksiran pajak, dan peraturan perjalanan dinas.
Ayat (4)
CUKUP JELAS
Ayat (5)
CUKUP JELAS
Ayat (6)
CUKUP JELAS

Pasal 29
Ayat (1)
CUKUP JELAS

Ayat (2)
Pendidikan dan pelatihan penuntut umum dan hakim dapat dilakukan dengan
bekerjasama dengan negara yang hukum acara pidananya sama atau pada
asasnya sama dengan Indonesia, misalnya pelatihan penyusunan surat dakwaan
dilakukan di Nederland.
Pasal 30
CUKUP JELAS

Pasal 31
CUKUP JELAS

Pasal 32
CUKUP JELAS

Pasal 33
CUKUP JELAS

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
Pasal 34
Ayat (1)
CUKUP JELAS
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pimpinan bank atau lembaga keuangan yang lain” adalah
pimpinan bank atau lembaga keuangan yang lain tempat nasabah menyimpan
rekening atau data keuangannya.
Ayat (3)
CUKUP JELAS
Ayat (4)
CUKUP JELAS

Pasal 35
CUKUP JELAS

Pasal 36
CUKUP JELAS

Pasal 37
CUKUP JELAS

Pasal 38
Yang dimaksud dengan “alat lain”, antara lain, foto, fotokopi, data komputer, short
massage service (SMS), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, faksimili, internet,
video, rekaman, atau disket.

Pasal 41
CUKUP JELAS

Pasal 42
CUKUP JELAS

Pasal 43
CUKUP JELAS

Pasal 44
CUKUP JELAS

Pasal 45
CUKUP JELAS

Pasal 46
CUKUP JELAS

Pasal 47
CUKUP JELAS

Pasal 48
CUKUP JELAS

Pasal 49
CUKUP JELAS

Pasal 50
CUKUP JELAS

Pasal 51
Ketentuan ini disebut ”saksi mahkota”.

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008
Pasal 52
CUKUP JELAS

Pasal 53
CUKUP JELAS

Pasal 54
CUKUP JELAS

Pasal 55
CUKUP JELAS

Pasal 56
CUKUP JELAS

Pasal 57
CUKUP JELAS

Pasal 58
CUKUP JELAS

Pasal 59
CUKUP JELAS

Pasal 60
Yang dimaksud dengan “teknik khusus” adalah antara lain operasi pengintaian atau
penyamaran, secara elektronik atau yang lain, untuk memungkinkan digunakannya bukti
yang berasal dari penggunaan teknik tersebut di pemeriksaan pengadilan.

Pasal 61
CUKUP JELAS

Pasal 62
CUKUP JELAS

Pasal 63
CUKUP JELAS

Pasal 64
CUKUP JELAS

Pasal 65
CUKUP JELAS

Pasal 66
CUKUP JELAS

Pasal 67
CUKUP JELAS

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...

Draft RUU Tipikor


Versi Pemerintah Agustus 2008

You might also like