You are on page 1of 13

MAKALAH HUKUM ACARA PIDANA

DOSEN PENGASUH : YURIKA FAHLIANI DEWI, SH

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM TAHUN 2011

MAKALAH LEMBAGA BANTUAN HUKUM

DOSEN PENGASUH : YURIKA FAHLIANI DEWI, SH

Disusun Oleh:

NAMA 1.ERIK SOSANTO 2.FERRY ERYANDI SIAHAAN

NIM EAA 110 039 EAA 110 021

TTD .......... ..........

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS HUKUM TAHUN 2011

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan Rahmat-Nya dari Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah mengenai Lembaga Bantuan Hukum. Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber lainnya yang berhubungan dengan Lembaga Bantuan Hukum Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya. Penulis menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis, maka tulisan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan penulisan ini. Harapan penulis semoga tulisan yang penuh kesederhanaan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya tentang Lembaga Bantuan Hukum

Palangka Raya, 15 Mei 2012

Penyusun

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI....................................................................................................

ii iii iv

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1.2. Perumusan Masalah ................................................................................ 1.3. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 1.4. Metode Penulisan .................................................................................... 1.5. Manfaat Penulisan ................................................................................... BAB 2 PEMBAHASAN

1 2 2 2 2

2.1 2.2 2.3

Sejarah dan perkembangan LBH ............................................................ 3 Tugas Dan kewenangan serta Fungsi LBH ............................................. 4 Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan LBH ............. 5

BAB 3 PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 3.2. Saran ....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA

8 8

iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Buat negara berkembang, konsepsi dan peranan dari suatu lembaga bantuan hukum pasti tidak sama dengan konsepsi dan peranan lembaga bantuan hukum di negara maju, tempat lembaga ini lahir dan dibesarkan. Juga kadar campur tangan dari pemerintah terhadap eksistensi lembaga ini akan jelas sekali perbedaannya, suatu hal yang erat hubungannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat setempat. Kalau ini benar, maka timbul pertanyaan: sampai sejauh mana sistem kekuasaan di negara berkembang memungkinkan berkembangnya idea bantuan hukum? Sampai di mana masyarakat setempat membutuhkan bantuan hukum yang berlaku? Dalam tulisan ini, penulis akan memulai pembahasan dari pertanyaan yang terakhir sepanjang menyangkut peranan bantuan hukum dan seberapa dapat, mencoba menyinggung pertanyaan pertama. Persoalannya memang begitu gawat, menyangkut banyak aspek. Tidak saja dalam proses peradilan, tetapi justru suatu proses pendidikan hukum (legal education): bagaimana menumbuhkan suatu kesadaran hukum (legal conciousness) agar masyarakat mengerti akan hak-hak dan kewajibannya dalam pergaulan hukum di masyarakat. Dalam hal ini paling tidak untuk sementara tampaknya peranan lembaga bantuan hukum telah menampung salah satu usaha untuk menekan seminimal mungkin akibat-akibat sampingan dari usaha yang deras untuk menaikkan pendapatan nasional tadi. Dengan demikian maka keadilan tidak hanya dapat dikecap oleh mereka yang kebetulan mempunyai uang dan kekuasaan seperti yang selama ini dikesankan tetapi juga mereka yang tidak mampu atau kebetulan tidak punya apa-apa selain sekelumit hak-hak yang adanya justru sering tidak pula disadari. Bukankah semua orang sama di hadapan hukum dan kekuasaan? Kriteria utama bahwa hanya orang yang tidak mampu dalam arti materiil saja yang dapat memperoleh bantuan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sedikit banyak telah membantu, bahkan mendorong tegaknya prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) tersebut. Dengan demikian maka dalam usaha yang dilancarkan dewasa ini untuk mencapai kemakmuran, diharapkan agar segi keadilan juga mendapatkan tempatnya yang terhormat. Usaha mengejar kemakmuran sambil 1

membelakangi keadilan, pasti akan makin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Usaha lembaga bantuan hukum bisa dilihat sebagai usaha untuk mensejajarkan keadilan dan kemakmuran dan bergerak maju, berjalan bersama-sama menuju masyarakat adil dan makmur.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mencoba merumuskan permasalahan sekaligus merupakan pembahasan permasalahan yang akan diteliti sebagai berikut : a. Sejarah dan perkembangan LBH. b. Tugas Dan kewenangan serta Fungsi LBH. c. Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan LBH.

1.3 Tujuan Penulisan Dari kajian yang akan dilakukan dalam makalah ini, penulis bertujuan untuk : a. b. Mengetahui apa yang dimaksud dengan LBH serta Sejarah dan perkembangan LBH. Mengetahui dan memahami Tugas Dan kewenangan serta Fungsi LBH.

1.4 Metode Penulisan Metode yang di gunakan dalam penulisan makalah ini yang bersumber pada buku-buku referensi yang berhubungan dengan hukum acara pidana khususnya lembaga bantuan hukum dan situs internet yang membahas tentang lembaga bantuan hukum.

1.5 Manfaat Penulisan Adapun manfaat makalah ini, adalah sebagai berikut : a. Sebagai media untuk menambah wawasan. b. Bahan referensi aktual . c. Bahan bacaan dan pengetahuan. 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Dan Perkembangan LBH A. Sejarah LBH Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau disingkat YLBHI tadinya adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang didirikan atas gagasan dalam kongres Persatuan Advokast Indonesia (Peradin) ke III tahun 1969. Gagasan tersebut mendapat persetujuan dari Dewan Pimpinan Pusat Peradin melalui Surat Keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isi penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum/Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970. Ketua Dewan Pembinanya sejak 25 April 2007 adalah Toeti Heraty Roosseno yang terpilih menggantikan Adnan Buyung Nasution. Pada akhir masa baktinya, Toeti digantikan untuk sementara oleh Todung Mulya Lubis dan secara definitif pada akhir 2011 dijabat oleh Abdul Rachman Saleh, mantan Hakim Agung yang kemudian dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Jaksa Agung. Setelah beroperasi selama satu dasawarsa, pada 13 Maret 1980 status hukum LBH ditingkatkan menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 28 Oktober tetap dijadikan sebagai Hari Ulang Tahun YLBHI. Pada awalnya, gagasan pendirian lembaga ini adalah untuk memberikan bantuan hukum bagi orang-orang yang tidak mampu memperjuangkan hak-haknya, terutama rakyat miskin yang digusur, dipinggirkan, di PHK, dan keseharian pelanggaran atas hak-hak asasi mereka. Lambat laun rezim otoriter Orde Baru di bawah Soeharto membawa LBH menjadi salah satu subyek kunci bagi perlawanan terhadap otoriterianisme Orde Baru, dan menjadi simpul penting bagi gerakan pro-demokrasi. Prinsip-prinsip bagi penegakan demokrasi, hak asasi manusia dan keadilan membawa LBH ke tengah lapangan perlawanan atas ketidakadilan struktural yang dibangun dalam bingkai Orde Baru. LBH memilih untuk berada di sisi pergerakan kaum buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota, dan semua kekuatan yang memperjuangkan demokrasi. LBH kemudian mengembangkan konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS), konsep yang didasarkan pada upaya-upaya untuk mendorong terwujudnya negara hukum yang

menjamin keadilan sosial dengan cara melibatkan klien untuk ikut menyelesaikan masalahnya sendiri, mengorganisir diri mereka sendiri dan pada akhirnya bisa mandiri dan tidak tergantung lagi kepada pengacaranya. B. Perkembangan LBH Sejak lahirnya Lembaga Bantuan Hukum, telah berhasil tidak saja dalam mendorong dan mempopulerkan gagasan dan konsep bantuan hukum kepada masyarakat, akan tetapi juga melalui aktivitasnya dan keberhasilannya ia telah menjadi terkenal dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Lembaga Bantuan Hukum telah berkembang tidak saja dalam jumlah perkara yang ditanganinya, tetapi juga dalam mengusahakan berbagai program aksi yang sesuai dengan sifat dan ruang lingkup Lembaga Bantuan Hukum yang luas. Hingga sekarang LBH berkembang menjadi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang kini memiliki 15 kantor cabang dan 7 pos yang tersebar dari Banda Aceh hingga Papua. 2.2 Tugas Dan Kewenangan Serta Fungsi LBH A. Tugas LBH Lembaga Bantuan Hukum bertugas memberikan jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Penerima Bantuan Hukum disini adalah orang atau kelompok orang miskin. Sedangkan Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi

kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Keadilan persamaan kedudukan di dalam hukum.

B. Kewenangan LBH Kewenangan LBH adalah untuk memberikan bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum (tersangka/terdakwa) yang diberikan oleh seseorang/beberapa orang ahli hukum dalam menyelesaikan sengketa, serta memberikan nasehat/konsultasi dan pendampingan hukum.

C. Fungsi LBH Fungsi LBH adalah melindungi orang yang kurang mampu, perlindungan, dan hak tersangka/terdakwa bermartabat.

2.3 Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan LBH salah satu indikator rendahnya pencapaian persamaan di hadapan hukum di Indonesia adalah banyaknya para pencari keadilan yang tidak mampu untuk membayar jasa advokat atau pengacara. Pada umumnya, kelompok masyarakat pencari keadilan tersebut berasal dari masyarakat miskin, sehingga banyak dari mereka yang frustrasi dan tidak puas dengan proses peradilan. Konsekuensinya, kondisi demikian akan menimbulkan gejolak sosial seperti terjadinya kekerasan, huru-hara, serta perbuatan main hakim sendiri (eigenrechting). Perlu diketahui bahwa konstitusi kita memang tidak memuat bantuan hukum secara eksplisit, tetapi dari pengakuan hak-hak mereka (Lihat Pasal 34 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang mengakui hak sipil, politik, ekonomi, budaya dan sosial fakir miskin) seharusnyalah bantuan hukum bagi fakir miskin menjadi program dari Pemerintah dan penyaluran dana bantuan hukum tersebut tepat pada sasarannya. Menyikapi pentingnya bantuan hukum tersebut, Pemerintah meresponnya dengan mengundangkan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (selanjutnya: UUBH). UU ini diharapkan mampu menjadi dasar bagi negara untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam memberikan bantuan hukum kepada warganya. Penyelenggaraan bantuan hukum diharapkan dapat menjamin dan memenuhi hak tiap warga negara untuk mendapatkan akses keadilan, serta mewujudkan hak konstitusionalnya sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum. Adapun pokok materi yang diatur dalam UUBH antara lain mengenai: Pengertian Bantuan Hukum, Penerima Bantuan Hukum, Pemberi Bantuan Hukum, Hak dan Kewajiban Penerima Bantuan Hukum, Syarat dan Tata Cara Permohonan Bantuan Hukum, Pendanaan, Larangan, dan Ketentuan Pidana. Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum disebutkan bahwa Bantuan hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Kemudian dalam Pasal 1 ayat (2) disebutkan bahwa Penerima Bantuan Hukum adalah orang atau kelompok orang miskin.

serta dalam Pasal 1 ayat (3) disebutkan bahwa Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan Bantuan Hukum berdasarkan Undang-Undang ini. Adapun syarat dan tata cara pemberian bantuan hukum (Pasal 15 ayat (5)) serta tata cara penyaluran dana bantuan hukum (Pasal 18) selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang pada saat ini dalam proses penyusunan. Alokasi anggaran pelaksanaan bantuan hukum, menurut UUBH tersebut, akan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) (Pasal 16 ayat 1 jo Pasal 19 ayat 1). Selain daripada pendanaan dari APBN dan APBD tersebut, sumber pendanaan untuk program bantuan hukum juga dimungkinkan bersumber dari dana hibah atau sumbangan dan/atau sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat (Pasal 16 ayat 2). Kemudian, pelaksanaan anggaran bantuan hukum tersebut dialokasikan pada anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 17 ayat 2). Menyoal adanya usul dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk sebuah lembaga yang independen (Komisi Nasional Bantuan Hukum) adalah sebuah usul yang akan menambah beban anggaran negara lagi apalagi jika nantinya komisi ini tidak bekerja efektif, sehingga memang lebih tepat kalau pelaksanaan bantuan hukum ini dikoordinir oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Anggaran pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang tersebar di beberapa kementerian/lembaga negara lainnya, setelah diundangkannya Undang-undang ini tetap dilaksanakan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan (Pasal 22 jo Pasal 23 ayat (1)) dan jika pemberian bantuan hukum belum selesai pada akhir tahun anggaran yang bersangkutan, pemberian bantuan hukum selanjutnya dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 23 ayat (2)), sehingga diharapkan efektivitas penggunaan anggaran tersebut lebih terkontrol dan tepat sasaran. Kewenangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diberikan oleh UUBH (Pasal 1 ayat (4) jo Pasal 7 ayat (4)) untuk melakukan verifikasi dan akreditasi terkait dengan lembaga pemberi bantuan hukum diharapkan dapat menyaring lembaga-lembaga bantuan hukum yang tidak jelas, dengan kata lain lembaga-lembaga bantuan hukum yang lahir karena ingin mendapatkan pendanaan dari negara namun dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukumnya melenceng atau tidak tepat sasaran. Tata cara verifikasi dan akreditasi tersebut akan diatur selanjutnya melalui Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, panitia verifikasi dan akreditasi yang nantinya berada di bawah otoritas Menteri 6

Hukum dan Hak Asasi Manusia ini diharapkan juga dapat bekerja dengan baik tanpa adanya tekanan dari lembaga-lembaga bantuan hukum yang dekat dengan pemerintah atau lembaga bantuan hukum bentukan partai politik. Kemudian, Undang-undang ini juga memungkinkan adanya keterlibatan masyarakat luas dalam kepanitiaan verifikasi dan akreditasi. Adapun kepanitiaan verifikasi dan akreditasi ini nantinya terdiri dari unsur Kementerian Hukum dan HAM, akademisi, tokoh masyarakat dan lembaga atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum dan tugasnya hanya terbatas pada akreditasi dan verifikasi dimaksud. (Pasal 7 ayat (2)) Tanggung jawab negara dalam memenuhi hak konstitusional warganya (utamanya masyarakat kurang mampu dan kelompok yang termarjinalkan) untuk mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the law) serta mendapatkan akses terhadap keadilan (access to justice) secara formal telah ditunjukkan oleh Pemerintah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ini. Hal ini juga sejalan dengan normativitas Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang memberikan syarat bahwa bantuan hukum harus diberikan untuk kepentingan keadilan dan bagi mereka yang tidak mampu membayar jasa advokat atau pengacara.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Barangkali bisa disimpulkan, bahwa kehadiran lembaga bantuan hukum di negara baru tidak saja diterima secara hukum tetapi juga diakui secara politik, di mana peranan politiknya bisa amat menonjol terutama dalam menampung keluhan dan aspirasi dari arus bawah masyarakat. Dengan begitu ia suatu lembaga yang dekat dengan masyarakat luas lapisan bawah yang selama ini menimbulkan kesan tersisih, jauh dari tangan-tangan keadilan. Masalah-masalah hubungan kerja, upah yang memadai, jaminan sosial dan hak milik tidak semata-mata merupakanmasalah ekonomi tetapi sudah merupakan keputusan-keputusan di bidang hukum.

3.2 Saran Kepercayaan dan legitimasi yang datang dari masyarakat memperkokoh keberadaan dan kelembagaan Lembaga Bantuan Hukum sebagai sebuah lembaga. Perhatian dari semua pihak serta dukungannya membuat Lembaga Bantuan Hukum mampu bertahan dan diharapkan terus berkiprah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada masyarakat miskin, kelompok marginal dan dimarginalkan. Prinsip membela tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, suku, etnis, asal-usul, agama, keyakinan politik adalah prinsip yang harus dipertahankan agar kepercayaan dan legitimasi masyarakat terus

DAFTAR PUSTAKA

Mangara Sugiarto Sitorus, Peranan Lembaga Bantuan Hukum (Lbh) Dalam Proses Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2011. Paul S. Baut, (ed), Bantuan Hukum di Negara Berkembang, (Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1980), Hal. VII.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

You might also like