You are on page 1of 9

PENDAHULUAN Negara Republik Indonesia dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia. Semua komponen anak bangsa secara bersama-sama sejak awal berjuang bahu membahu untuk memperjuangkan kemerdekaan, melawan penindasan dan mengisi kemerdekaan tersebut. Pengalaman sejarah bangsa melawan penjajah menunjukkan adanya benang merah perjuangan dalam perlindungan Hak Asasi Manusia ( HAM). Kemerdekaan memberikan makna kebebasan diantaranya bebas dari rasa takut, bebas untuk berkumpul dan berpendapat, bebas untuk memeluk agama dan kebebasan lainnya yang ada sebagai hak kodrati manusia itu sendiri. Pengaturan Hak Asasi Manusia telah diatur secara tegas di Indonesia pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ( HAM). Adapun yang dimaksud dengan HAM dalam undang-undang ini adalah Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Dengan lahirnya UU No.39 Tahun 1999 diharapkan dapat membantu dalam penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia. Penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan salah satu isu penting dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, karena masih banyak pelanggaran HAM di Indonesia yang belum terselesaikan dengan baik. Banyak pihak yang masih ragu-ragu akan penegakan HAM tersebut. Data terakhir dari Komnas HAM periode 2010-2011, sekurang-kurangya ada sekitar 230 tiap bulannya pelaporan terhadap pelanggaran terhadap hak asasi manusia Adapun kasus pelanggaran HAM yang marak terjadi tersebut, antara lain : penyiksaan, kebebasan beragama, perlakuan keras terhadap orang yang diduga teroris, semburan lumpur lapindo, kesejahteraan, penggusuran dan sebagainya. Penegakan dan perlindungan HAM merupakan tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 A-J UUD 1945 dan dipertegas lagi pada Pasal 71-72 UU No.39 Tahun 1999. Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM yang diatur dalam UU ini serta peraturan lain baik nasional maupun internasional tentang HAM yang diakui oleh Indonesia. Salah satu upaya pemerintah untuk menegakkan dan melindungi HAM adalah melahirkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-undang ini merupakan hukum formil dari UU No.39 Tahun 1999. Diharapkan dengan adanya UU Pengadilan HAM dapat mengurangi dan mencegah terjadinya pelanggaran HAM di Indonesia.

Menyikapi Resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap pelanggaran berat HAM yang terjadi di TimorTimur Pasca jajak pendapat, maka Pemerintah Indonesia membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat HAM. Definisi pelanggaran berat HAM terdapat pada Pasal 104 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan pelanggaran berat HAM adalah : Pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan hilang orang secara paksa, perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan definisi tentang pelanggaran berat HAM, tetapi hanya menyebut kategori pelanggaran berat HAM,yang terdiri dari kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Kejahatan kemanusiaan adalah Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : 1. 2. 3. 4. Pembunuhan Pemusnahan Perbudakan Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan hukum internasional 6. Penyiksaan

7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa tau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara 8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lai yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional 9. Penghilangan orang secara paksa atau

10. Kejahatan apartheid Sedangkan kejahatan genosida, yaitu Setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara: 1. Membunuh anggota kelompok

2.

Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok

3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya 4. 5. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran didalam kelompok Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain

Pembatasan jenis kejahatan yang diatur oleh undang-undang tersebut, mengakibatkan tidak semua pelanggaran HAM dapat diadili oleh pengadilan ini. Definisi kedua kejahatan di atas merupakan pengadopsian dari kejahatan yang merupakan yurisdiksiInternational Criminal Court ( ICC) yang diatur pada Pasal 6 dan 7 Statuta Roma. Selain cakupan kejahatan yang dapat diproses oleh pengadilan HAM, masalah retroaktif juga menjadi perbincangan hangat dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM. Pengadilan HAM Indonesia berwenang untuk mengadili pelanggaran berat HAM setelah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 berlaku. Bagi pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan, maka dilaksanakan oleh Pengadilan HAM Ad hoc, yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden melalui usul Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR).

Kasus Posisi Abepura 7 Desember 2000 Sekitar Pukul 01.30 Wit: Terjadi penyerangan massa terhadap mapolsekta Abepurayang mengakibatkan seorang polisi meninggal dunia )BribkaPetrus Eppa), dan 3 orang lainnya luka-luka. Disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari mapolsek. Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan satpam di kantor Dinas Otonomi Kotaraja. 7 Desember 2000, sekitar pukul 02.30: Pasca penyerangan massa ke Mapolsek Abepura, Kapolres jayapura AKBP Drs. Daud sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol Drs. Moersoertidarno Moerhadi D. langsung melaksanakan perintah operasi untuk pengejaran dan penyekatan ke tiga asrama mahasiswa dan tiga pemukiman penduduk sipil. Di Asrama Ninmin satuan brimob melakukan pengrusakan,pemindahan paksa (Involuntary displace persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (rigthto property)mahasiswa. Di asrama mahasiswa. Di asrama Waropen Yapen Waropen satu mahasiswa terserempet peluruh. Yang lainnya dipukul, ditendang, dan dilempar kedalam truk untuk di bawa ke mapolsek. Begitu pula penyiksaan dan penangkapan terjadi di asrama IMI (ikatan mahasiswa Ilaga), penangkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang terjadi juga di pemukiman penduduk sipil kampung Wamena di Abepantai dan suku lani asal Mamberamo di kota raja dan suku yali di skyline. Telah terjadi pembunuhan kilat(Summary Killing)oleh anggota brimob , Elkius Suhuniap,di skyline. Dan telah terjadi kematian dalam tahanan Polres Jayapura (dead in custody) akibat penyiksaan (torture) terhadap Jhoni karunggu dan Orry Dronggi

Hasil dari operasi tersebut Sebanyak 105 penduduksipil ditangkap dan mengalami penyiksaan. .Dua penduduk sipil tewas karenasiksaan dan satu tewas terkena tembakan, beberapa lainnya cacat seumur hidup. Februari 2001: Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura, dalam KPP HAM; peristiwa pengejaran dan penangkapan itu telah terjadi tindakan pelanggaran kemanusiaan 28 Maret 2002: Pelimpahan berkas KPP HAM Papua/irian jaya dan Tim Tindak Lanjut KPP HAM Papua/Irian Jaya 31 Maret 2002: Kejagung mengirim 20 anggota untuk melakukan penyelidikan di Papua, yang dipimpin staf ahli Jaksa agung, Umar. 7 Desember 2002: Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura membuat pernyataan sikap tentang proses penyilidikan Kejaksaan Agung Terhadap Insiden Traumatis Abepura 7 desember 2000. 13 November 2002: Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II DPR hanya menetapkan dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny Wainal Usman sebagai komandan satuan Brimob Polda Irian Jaya (Waktu Itu) dan ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing Sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi. 31 Desember 2002: Koalisi masyarakat sipil untuk kasus abepura membuat pernyataan sikap berjudul; penyelidikan kejagung memangkas temuan jumlah pelaku pelanggaranHAM berat Abepura. Awal 2003: Tiga (3) orang korban dari jalan bau, kota raja meninggal. Mereka adalah Epenus Kogoya, Temandor Kogoya dan Roby Wenda. 17 Februari 2003: Kejagung telah menyelesaikan berkas kasus pelanggaran Ham berat Abepura papua. Jaksa Agung RI mengumumkan bahwa penyelidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung telah lengkap. Disamping itu, jaksa Agung juga menyatakan bahawa mantan Kapolresta Jayapura AKBP Drs. Daud Sihombing Mantan Komandan Satgas Brimob Polda Papua Kombes Johny Wainal Usman menjadi tersangka dalam kasus Abepura. 1 Sebtember 2003: Komunitas korban abepura menulis Surat permohonan terhadap jaksa Agung R.I, M.A Rahman agar tim penyidik pelanggaran berat mengeluarkan surat dakwaan yangmencantumkan tuntutan atas kerugianmateril dan immaterial yang dialami dan harus diganti, khususnya oleh POLRI. Oktober 2003: Jaksa agung mengumumkan telah menujukkan 6 orang jaksa untuk menangani kasus abepura. 3 Sebtember 2003: Jaksa agung M.a rahman, akhirnya melantik 6 Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kasus Pelanggaran Berat Abepura Papua di Jakarta.Keenam JPU HAM itu sebagian besar dari Kejaksaan Tinggi (kejati) Sulawesi Selatan (Sulse) dan hanya 2 yang berasal dari kejaksaan agung (Kejagung). 31 Maret 2004. pukul 11.20.Wita: Pelimpahan kasus dari Jaksa Penuntut Umum ke pengadilan HAM Makassar.

Siang, 31 Maret 2004: paska penyerahan berkas, koalisi masyarakat sipil untuk kasus abepura melakukan konferensi pers di restoran New york Chicken Makassar. Mereka melancarkan protes lantaran kedua tahanan tidak ditahan, dan perlindungan terhadap saksi tidak jelas. 8 april 2004: PBHI melayangkan surat kepada Kapolri Jendral polisi bachtiar. Dalam surat tersebut mempertanyakan penanganan kasus Abepura yang terkesan terlarut-larut dan tak ada kepastian. 13 April 2004: Akibat ketidakmampuan Arnold Mundu Soklayo (salah satu korban) membiayai kelumpuhan yang di deritanya sehingga meninggal dunia. 13 April 2004: Ketua Pengadilan negeri Makassar yang sekaligus ketua pengadilam HAM, H andi Haedar, SH akhirnya menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan kasus pelanggaran HAM Berat Abepura. Majelis hakim tersebut antara lain; Jalaluddin,SH (Hakim Ketua), EddyWibisono, SE; SH; MH, (Anggota),Heru Susanto,SH. Mhum (Hakim Ad Hoc, Anggota), AmiruddinBuraera, SH. ( Hakim AD Hoc, Anggota), Dan HM Kabul Supriadi, SH. MH (Hakim Ad Hoc, Anggota). Sedangkan Hakim cadangan adalah Rocky Panjaitan, SH dan Herman Heller Hutapea, SH.

13 April 2004: Ketua Pengadilan Negeri Makassar yang sekaligus ketua pengadilan HAM, H. Andi Headar,SH, akhirnya menetapkan majelis hakim yang akan menyidangkan kasus pelanggaran HAM Berat Abepura. Majels hakim tersebut antara lain; Jalaluddin, SH (Hakim Ketua, Eddy Wbisono,SE., SH. MH (Anggota), Heru Susanto, SH. Mhum,Hakim Ad Hoc, Anggota), Amiruddin Buraera, SH. (Hakim AD Hoc, Anggota) dan HM. Kabul Supriadi, SH.MH (Hakim Ad Hoc, Anggota). Sedangkan hakim cadangan adalah Rokcy Panjaitan, SH dan Herman Heller Hutapea, SH. 7 Mei 2004: Digelar sidang perkara Abepura di Makassar . persidangan perdana ini mendengarkan dakwaan Jaksa penuntut Umum. Untuk trdakwa (Pol) Johny Wainal Usmanpukul 09.48 Wita, sidang diketuai oleh Jalaludin, SH. Dengan tim JPU; Kol CHK. Aris sudjarwadi (komandan Oditur Militer III16), Heriyanti , SH . dan H. Abdul Ruf Kinu, SH. (pengkasi Kejati Sulsel). Setelah membacaan dakwaan, sekitar 5 menit kemudian dilanjutkan denganTerdakwa Kombes (Pol) Daud Sihombing disidangkan terpisah (displit) dengan majelis hakim yang sama ketua Eddy Wibisono dan ti JPU terdakwa; H. Burhanuddin Achmad, SH. (Jaksa Senior pada Aswas kejati Sulsel), Letkol Sus Banbang Ariwibowo (Kepala Oditur Militer III-17 Manado), Hj.Nurni Farahyanti Lukman, SH.MH. Dan TonagMadjid, SH (Kepala Kejari Soppeng). Dalam dakwaan Jaksa , kedua Perwira Polisi ini drjerat dengan dakwaan dan pasal penggaran HAM berat secara berlapis. Pun keduanya mendapat ancaman hukuman maksimal seumur hidup. 7 Mei 2004: Gugatan Class Action Korban Pelanggaran HAM Abepura dimasukkan dan akan digelar dalam sidang penggabungan dengan sidang pidana. 24 Mei 2004: Berlangsung sidang II dengan agenda pembacaan eksepsi. Menurut Tim Penasehat Hukum(TPH) terdakwa, banyak gugatan yang kabur.

31 Mei 2004: Sidang III kasus dengan agenda menedengarkan tanggapan JPU ad hoc atas eksepsi (keberata) Tim Penasehat Hukum terdakwa. JPU membanta TPH; bahwa dakwa telah sesuai dengan KUHAP. 6 Juni 2004: Tim Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura mengeluarkan statemen Korban Abepura 7 Desember 2000 Menggugat Hak Reparasi di Pengadilan HAM Tetap Di Makassar. 7 Juni 2004: Sidang pertama gugatan class action oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura dengan tergugat dua perwira polri di pengadilan negeri/HAM Makassar. Dalam Gugatannya, kuasa hukum para penggugat meminta agar kedua tergugat membayar ganti kerugian kepada para penggugat (wakil kelas). Namun Majelis Hakim menyatakan class action yang diajukan koerban pelanggaran HAM Abepura tidak dapat diterima. Pertimbangan Hakim, gugatan pengabungan itutidak diatur secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000; dimana kewenanga pengadilan HAM adalah berdiri sendiri. 8 Juni 2004: Korban pelanggaran HAM Abepura mengajukan upaya banding setelah gugatan ganti rugi yang diajukan di pengadilan HAM Makassar oleh Majelis Hakim dinyatakan tidak dapat diterima. Pernyataan banding kuasa hukum korban diterima oleh petugas kepaniteraan pidana PN Makassar,M. Ilyas. 9 Juni 2004: Tim Masyarakat sipil untuk kasus abepura melakukan siaran pers tentang penetapan pengadilan HAM Mkassar atas penggabungan Gugatan Ganti Rugi Kerugian korban Peristiwa Abepura. 14 Juni 2004: Putusan sela dibacakan pada pengadilan lanjutan di pengadilan HAM Makassar. Majelis hakim ad hoc menyatakan eksepsi yang di ajukan TPH terdakwa tidak beralasan hukum. Majelis Hakim juga memandang keberatan TPH terhadap dakwaan jaksa harus di tolak dan ditangguhkan. 15 Juni 2004: Tim Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura memberi keterangan pers berkaitan dengan Perlindungan Korban Abepura. 28 Juni 2004: Sidang pengadilan lanjutan di PN Makassar. Dalam siding tersebut,Tim JPU, H. Rauf Kinu, SH. Mengajukan beberapa saksi. 12 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura dengan mendengarkan keterangan saksi. Dalam persidingan tersebut, terdakwa Kombes (Pol) Daud Sihombing manuding saksi korban Peneas Lokbere (24) memberikan keterangan bohong. Selain itu, ia mempertanyakan keabsahan foto hasil penyiksaan yang diperlihatkan Jaksa Barhanuddin di hadapan Hakim Edy. 19 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus Abepura. Amion Karunggu, Saksi dari pihak korban, diminta untuk ditahan oleh Denny Kailimang, SH. TPH Terdakwa Brijen (Pol) Drs. Johny Wainal Usman. Pasalnya, Denny Kailimang menilai saksi terlalu berbeli-belit dalam memberikan keterangan dan selalu berubah-ubah. Namun Hakim Ketua Jalaluddin tidak mengabulkannya. Selain itu, saksi korban, Matias Heluka memprotes tindakan PH terdakwa.

26 Juli 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura masi dengan agenda mendengarkan keterangan saksi korban. 3 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura, PH terdakwa menuding saksi Timotius Wakerkwa berbohong. 16 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. Dalam persidangan kali ini dihadirkan tiga orang saksi. Keterangan salah satu saksi, Manase Ara yang juga ketua RT, menyatakan bahwa tidak ada mahasiswa yang terlibat dalam OPM. 30 Agustus 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. JPU menghadirkan lima orang saksi. Diantaranya yakni Alex Koba, mantan kapolsek Abepura dan seorang anggotanya Mesak Keroni. Ketua Majelis Hakim Menegur supaya tidak berandai-andai dan berumpama dalam memberikan kesaksian. 6 September 2004: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura. 13 Mei 2005: Sidang lanjutan kasus pelanggaran HAM Abepura dengan agenda pemeriksaan terdakwa. 1 September 2005: Sekitar 150 orang dari berbagai elemen mengikuti orasi kemanusiaan di Bundaran HI Jakarta. Acara yang dimotoro oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kasus Abepura menyerukan agar terdakwa kasus pelanggaran HAM itu dijatuhi hukuman seberat-beratnya. 8 Sebtember 2005: Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memponis bebas Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny Wainal Usman (49). Majelis yang diketuai jalaluddin menyatakan Johny tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM Berat di Abepura, Papua. 9 September 2005: Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memponis bebas Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH. (47) Majelis yang menyatakan Daud tidak terbukti secarah sahbersalah melakukan pelanggaran HAM di Abepura, Papua. 9 Sebtember 2005: Perhimpunan Bantuan Hukum Dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menedesak Kejaksaan Agung segerah melakukan proses kasasi ke Mahkama Agung sehubungan keputusan bebas para terdakwa kasus pelanggaran HAAM berat di Abepura. Koodinator Ekternal PBHI, Henry T. Simarmata menyatakan petimbangan yang dipakai dalam keputusan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan hakim terkesan mengunakan prinsip klonial yang jau dari rasa keadilan korban. 22 Sebtember 2005: Berlangsung aksi solidaritas nasional untuk kasus Abepura (SNUKA) di Papua. Komite aksi ini terdiri dari LBH Papua,ALDP, SKP Keuskupan Jayapura,JPIC Sinode GKI, KONTRS Papua, ELSHAM Papua, Dewan Adat Papua, LPDAP, STT GKI, STFT Fajar Timut, AMPTPI, AMP, HMI, Jayapura,PMKRI Jayapura, GMKI Jayapura, Parlemen Jalanan, Tim Kemanusiaan Papua, Komunitas Survivor Abepura, Solidaritas Perempuan Papua, LP3A-P, IMM Jayapura, Front Pembebasan Penindasan Papua, Asrama Ninmin, FNMP, dan DEMMAK

ANALISIS Melihat dari kasus posisi diatas,memang benar telah terjadi Pelanggaran HAM berat di Abepura Jayapura melihat dari operasi yang dilakukan oleh Kepolisian yang melakukan Pelanggaran hak asasi manusia yang berat secara sistematis itu berupa penyiksaan, pembunuhan kilat, penganiLya n, perampasan kemerdekaan, perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang terhadap kelompok sipil. ditemukan adanya bentuk perbuatan dan pola kejahatan terhadap kemanusiaan.Kejahatan itu berupa penganiayaan berdasarkan jenis kelamin, ras dan agama .Semua korban mengalami tindakan diskriminasi atas dasar ras, dan agama'.Namun korban perempuan mengalami tindakan diskriminasi berganda. Perempuan, selain mengalami penganiayaan mereka mengalami bentuk tindakanlain, seperti makian, dan perbuaan fisik Iainnya. Hal tersebut termasuk dalam yurisdiksi material Pengadilan HAM di Indonesia yang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak memberikan definisi tentang pelanggaran berat HAM, tetapi hanya menyebut kategori pelanggaran berat HAM,yang terdiri dari kejahatan kemanusiaan dan kejahatan genosida. Kejahatan kemanusiaan adalah Salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa : 1. 2. 3. 4. Pembunuhan Pemusnahan Perbudakan Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan hukum internasional 6. Penyiksaan

7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa tau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara 8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lai yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional 9. Penghilangan orang secara paksa atau

10. Kejahatan apartheid

Daftar rujukan 1. http://bukpapua.blogspot.com/2010/02/kronologi-kasus-pelanggaran-ham-berat_03.html 2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

You might also like