You are on page 1of 14

Perkembangan penulisan Sejarah di Indonesia

Historiografi dalam artian sejarah penulisan sejarah di Indonesia sudah dimulai sejak pada zaman kerajaan-kerajaan atau yang sering disebut zaman Indonesia lama. Historiografi Indonesia pada saat itu berbentuk karya sastra yang disampaikan dalam bentuk puisi atau prosa. Seperti contoh Serat Surya Raja, naskah berbahasa Jawa kuno ini banyak menceritakan tentang perang yang terjadi di kerajaan Mataram pada kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono1 dan 2, sekaligus keagungan kesultanannya (istanacentris). Dalam jilid II buku ini juga menceritakan tentang peperangan kerajaan Purwa Gupita dengan berbagai kerajaan. Berbeda halnya dengan historiografi atau penulisan sejarah Indonesia pada masa kolonial, selalu bersifat nederlandocentris. Berbeda juga halnya dengan penulisan sejarah pada zaman pergerakan-kemerdekaan, penulisan sejarah Indonesia padat itu sangat diwarnai dengan semangat nasionalisme dan semangat kemerdekaan. Begitu juga halnya dengan zaman modern, Sartono Kartodirjo mengatakan bahwa pada tahun 1957 Historiografi Indonesia berkembang karena ditemukannya metode sejarah dan metodologi sejarah baru. Penemuan metode dan metodologi ini mengakibatkan penulisan sejarah Indonesia semakin meluas dan beraneka ragam dari pada yang sebelumnya. Taufik Abdullah dalam bukunya yang berjudul Sejarah

Lokal mengatakan bahwa kekayaan metode maupun metodologi sejarah membuat sejarah semakin
berwarna. Dengan adanya metode sejarah maka hal-hal yang terkecil bisa semakin terlihat. Semakin kaya atau semakin beragam metode maupun metodologi maka karya sejarah semakin berwarna Sebagai contoh, jika kita melihat kebelakang, yaitu pada masa Orde Baru, kita dapat melihat bahwa karya-karya sejarah pada masa itu sangat diwarnai oleh militer. Dimana pada saat itu citra militer masih sangat eksklusif, keeksklusifannya mampu digunakan sebagai alat melegitimasi kekuasaan. Alhasil pada masa itu penulisan sejarah sangat erat kaitannya dengan militer untuk tujuan tertentu oleh kelompok atau individu. Itu artinya metodologi atau pendekatan sejarah yang berkembang pada saat itu adalah pendekatan sejarah militer. Dari tugas-tugas yang pernah saya bahas dalam perkuliahan kapita selekta ini, terdapat beberapa macam gaya penulisan sejarah seperti sejarah local, sejarah Maritim, sejarah pers, sejarah lisan, sejarah Militer. Tentunya setiap macam ini mempunyai metode dan metodologinya masing-masing untuk dapat memecahkan permasalahan yang diungkapkan. Jadi menurut saya, penulisan sejarah sudah semakin berkembang, artinya karya-karya sejarah yang sudah ada sudah semakin berwarna. Dimana seperti yang pernah dikatakan oleh Sartono Kartodirjo bahwa perkembangan Istoriografi Modern sudah memasuki tahap pendekatan. Tahap pendekatan disini artinya, memrlukan analisa berdasarkan interpretasi dari berbagai macam faktor seperti ekonomi, social, politik dll, sehingga satu-kesatuan konsep dapat berdiri sendiri dengan kokoh dan jelas.

Jika pada awalnya historiografi Indonesia banyak yang menggunakan pendekatan konvensional maka sekarang sudah berubah. Perubahan ini dipicu oleh semakin banyaknya disiplindisiplin ilmu dan metode sejarah dalam membantu analisis sumber dan data. Bisanya pendekatan konvensional hanya mengkaji masalah-masalah besar. Oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan yang mampu mengkaji masalah-maslah kecil. Dan Sartono Kartodirjo mengatakan bahwa peristiwaperistiwa kecil hanya dapat dikaji dengan menggunakan Multidimentional approach (pendekatan multidimensional).

PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH DI INDONESIA- Sebagaimana telah diuraikan di atas, bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Bukti kesadaran ini ditunjukkan oleh banyaknya karya naskah yang bersebaran di daerah-daerah Indonesia. Naskah-naskah tersebut merupakan bagian awal dari perkembangan penulisan sejarah di Indonesia. Awal perkembangan penulisan sejarah di Indonesia dimulai dengan adanya penulisan sejarah dalam bentuk naskah. Beberapa sebutan untuk naskah-naskah yaitu babad, hikayat, kronik, tambo, dan lain-lain. Bentuk penulisan sejarah pada naskah-naskah tersebut, sebagaimana telah dikemukakan, termasuk dalam kategori historiografi tradisional. Sebutan historiografi tradisional, untuk membedakannya dengan historiografi modern. Historiografi modern sudah lebih dahulu berkembang di Barat. Ciri utama historiografi modern dan yang membedakan dengan historiografi tradisional adalah penggunaan fakta. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa historiografi tradisional tidak terlalu mementingkan kebenaran fakta, sedangkan historiografi modern sangat mementingkan fakta. Sebagaimana telah dikemukakan dalam bab I bahwa sejarah mengungkapkan tentang kenyataan. Kenyataan dalam sejarah adalah fakta. Jadi, apabila sejarah hanya sekedar cerita yang tidak memiliki fakta, berarti itu bukan suatu kenyataan, itu hanyalah sebuah fiksi belaka. Salah satu ciri bahwa fakta itu benar ialah sumber-sumber yang dijadikan rujukan cerita itu harus masuk akal. Uraian historiografi tradisional yang bersifat fiksi, disebabkan oleh alam pikiran masyarakat yang belum bersifat rasional dan objektif. Uraian historiografi tradisional merupakan gambaran dari pikiran masyarakat yang magis-religius. Maksud dari uraian ini yaitu isi dari naskah-naskah lama sangat dipengaruhi oleh uraian unsur-unsur kepercayaan masyarakat setempat di mana naskah itu dibuat. Pada masyarakat yang masih tradisional, terdapat kepercayaan-kepercayaan yang memandang bahwa kehidupan manusia sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan di luar manusia. Kekuatan-kekuatan itu dapat berupa alam, para

dewa, benda-benda yang dianggap sakral, dan lain-lain. Manusia tidak mampu mengubah diri oleh dirinya sendiri. Kedudukan manusia dalam suatu perubahan lebih berperan sebagai objek, bukan subjek atau penentu. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat cerita yang bersumber dari historiografi tradisional tentang asal usul daerah tersebut. Di dalam sumber-sumbertersebut misalnya, diceritakan bahwa sebelum terbentuknya suatu tatanan kehidupan yang teratur dalam daerah tersebut, keadaannya krisis atau serba tidak menentu. Dalam keadaan yang demikian, maka sang dewa menurunkan utusannya untuk memperbaiki keadaan krisis. Utusan dewa itu kemudian menikah dengan wanita yang ada di daerah tersebut. Setelah turunnya utusan dewa maka keadaan di daerah itu menjadi baik dan mulailah tersusun suatu pemerintahan atau kerajaan. Hasil perkawinan antara utusan dewa dengan wanita yang dinikahinya ini kemudian menjadi pewaris atau silsilah penguasa kerajaan. Dalam masyarakat di Sulawesi Selatan, contoh cerita tersebut merupakan mitos Tomanurung.

Gambar 2.4 Bagian Teks Hikayat Perang Sabil Contoh Bentuk Historiografi Tradisional Berdasarkan contoh cerita historiografi tersebut, terlihat bagaimana manusia tidak menjadi penentu dalam suatu cerita sejarah. Terbentuknya asal usul suatu daerah berdasarkan cerita historiografi tradisional, bukan ditentukan oleh manusia. Penentunya adalah dewa. Ketika dewa menurunkan utusannya ke muka bumi, maka terbentuklah suatu tatanan masyarakat. Historiografi di Indonesia mengalami perkembangan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, historiografi Indonesia diawali dengan perkembangan historiografi tradisional. Bentuk historiografi tradisional tersebut adalah naskah kuno sebagaimana yang telah

dibahas. Setelah historiografi yang tradisional, kemudian berkembang penulisan sejarah modern. Penulisan sejarah yang moderen diawali dengan penulisan sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang merupakan suatu team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel. Buku yang ditulis oleh team ini berjudulGeschedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda). Pendekatan yang digunakan oleh Stapel dalam menulis buku tersebut sangat diwarnai para penulisnya. Buku tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang peran bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan, bangsa Indonesia pada saat itu sedang dijajah. Buku ini lebih tepat sebagai buku sejarah penjajahan orang Belanda di Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Aspek-aspek yang positif lebih banyak ditekankan pada orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia hanyalah sebagai pelengkap penderita. Penulisan sejarah yang demikian disebut dengan pendekatan yangneerlandosentris, yaitu penulisan sejarah yang dilihat dari peran orang Belanda (penjajah). Tokoh-tokoh penting dari orang Belanda dianggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia dianggap sebagai pahlawan, dianggap sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai citra negatif lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana kompeni merasa kehilangan besar ketika J.P. Coen seorang Gubernur Jenderal meninggal. Dia dikuburkan dengan acara penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat Betawi mengusungnya. Contoh sebaliknya adalah cerita tentang Sultan Banten. Diceritakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana, dan taat menjalankan ajaran agamanya (Islam). Tetapi dibalik itu semua diceritakan pula dia memiliki kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya memusuhi kompeni dan ingin memajukan Banten dan membinasakan Betawi (Jakarta). Buku oleh Stapel tersebut, bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan suatu penulisan sejarah penjajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri jajahan. Karena penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda, maka orang Belanda (penjajah) menjadi subjek dalam cerita sejarah, sedangkan bangsa Indonesia sebagai objek dari cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal dengan sebutan kaum pribumi. Sebutan ini lebih menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa, tidak memiliki suatu negara. Kedudukan bangsa Indonesia sebagai pelayan orang Belanda.

Gambar 2.5 Buku karya Stapel Geschiedenis Nederlandsch Van Indie, contoh buku sejarah yang bersifat Neerlandosentris Semangat kebangsaan memberikan warna terhadap penulisan sejarah Indonesia. Penulisan sejarah yang neerlandosentris dalam pandangan pada penulis sejarah Indonesia kuranglah berkenan di mata bangsa Indonesia. Timbul kritikan terhadap penulisan sejarah yang neerlandosentris. Hal yang perlu dilakukan sebagai bentuk nasionalisme dalam historiografi adalah penulisan sejarah yang dilihat dari kaca mata bangsa Indonesia. Dalam penulisan sejarah yang demikian, bangsa Indonesia harus ditempatkan sebagai tokoh sentral, pemeran utama. Bangsa Indonesia tidak ditampilkan sebagai figur yang negatif. Model penulisan sejarah yang demikian dikenal dengan sebutan penulisan sejarah yang indonesiasentris. Penulisan sejarah model ini merupakan bentuk dari dekolonisasi terhadap historiografi, artinya pelepasan penjajahan dalam penulisan sejarah. Kesadaran tentang pentingnya penulisan sejarah yang indonesiasentris muncul sejak awal kemerdekaan. Hal ini diperlukan khususnya bagi pengajaran sejarah di sekolah. Sudah sewajarnyalah, pada awal kemerdekaan semangat nasionalisme masih begitu kental. Semangat nasionalisme tercermin pula dalam pengajaran sejarah. Untuk menanamkan semangat nasionalisme melalui pelajaran sejarah, sudah barang tentu diperlukan adanya penulisan Sejarah Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan ialah terbitnya buku-buku pelajaran sejarah

dengan judul Sejarah Indonesia. Walaupun demikian, isi buku itu masih berbau neerlandosentris, sebab buku-buku tersebut masih merujuk pada buku Stapel. Pada masa pendudukan Jepang, sebenarnya sudah ada istilah Sejarah Indonesia. Sebelum tahun 1942 pelajaran sejarah yang ada yaitu Sejarah Hindia Belanda (Gechiedenis van Nederlands-Indie) dan Sejarah Tanah Hindia (Indische Gechiedenis). Pendudukan Jepang bersikap anti Barat termasuk Belanda, sehingga buku yang diterbitkan oleh Belanda pun dilarang, termasuk penulisan sejarah penjajahan Belanda. Buku-buku sejarah yang diterbitkan mendapatkan pengawalan yang ketat dari pemeritahan pendudukan Jepang. Istilah Sejarah Tanah Hindia (Indische Geschiedenis) diubah menjadi Sejarah Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan, sejak awal kemerdekaan muncul adanya keinginan untuk menulis kembali sejarah Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya kekecewaan terhadap bukubuku pelajaran yang ada di sekolah ketika itu. Pada umumnya buku-buku yang digunakan, masih merujuk kepada buku Stapel, walaupun diberi judul Sejarah Indonesia. Buku-buku pelajaran yang ada tidak memenuhi penulisan sejarah yang indonesiasentris. Penulisan sejarah yang bersifat indonesiasentris harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut. 1. Sejarah yang mengungkapkan sejarah dari dalam , yang menempatkan bangsa Indonesia sebagai pemeran utama. 2. Penjelasan sejarah Indonesia diuraikan secara luas, dengan uraian yang mencakup aspek politik, ekonomi, sosial, dan budaya. 3. Erat berhubungan dengan kedua pokok di atas, perlu ada pengungkapan aktivitas dari pelbagai golongan masyarakat, tidak hanya para bangsawan atau ksatria, tetapi juga dari kaum ulama atau petani serta golongangolongan lainnya. 4. Untuk menyusun sejarah Indonesia sebagai suatu sintesis, yang menggambarkan proses perkembangan ke arah kesatuan geo-politik seperti yang kita hadapi dewasa ini, maka prinsip integrasi perlu dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh integrasi itu dalam masa-masa tertentu telah tercapai. Untuk memecahkan persoalan penulisan sejarah yang indonesiasentris, maka diadakanlah Seminar Sejarah Nasional I pada tanggal 14 sampai dengan 18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini dilaksanakan melalui Keputusan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan tanggal 13 Maret 1957 No.28201/5. Topik yang dibicarakan dalam seminar tersebut meliputi: 1. Konsep filosofis sejarah nasional; 2. Periodisasi sejarah Indonesia; 3. Syarat penulisan buku pelajaran sejarah nasional Indonesia;

4. Pengajaran Sejarah Indonesia di sekolah-sekolah; 5. Pendidikan Sejarawan; 6. Pendidikan dan pengajaran bahan-bahan sejarah. Pemerintah memiliki kepentingan dalam penyelenggaraan seminar tersebut. Bangsa Indonesia saat itu belum lama merdeka. Untuk membangun karakter kebangsaan pada diri masyarakat Indonesia adalah melalui pengajaran sejarah. Jadi, bagi pemerintah penulisan sejarah yang indonesiasentris merupakan suatu keharusan. Pembicaraan yang berkembang pada seminar ini menurut Moh. Ali, forum Seminar Sejarah Nasional belum mengarah pada penulisan dan pengajaran sejarah Indonesia sebagai Sejarah Nasional. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pada saat itu di Indonesia belum banyak ahli sejarah yang benar-benar berlatar belakang pendidikan sejarah atau sejarawan. Dalam forum tersebut, pembicaraan yang lebih menonjol yaitu pemikiran mengenai mungkin tidaknya penyusunan suatu filsafat Sejarah Nasional. Pembicaraan tentang filsafat sejarah nasional banyak dibicarakan oleh Moh. Yamin dan Sujatmoko. Pentingnya penulisan sejarah yang indonesiasentris tidak selesai setelah seminar sejarah yang pertama di Yogya. Pembicaraan hal tersebut terus bergulir. Untuk mewujudkan penulisan sejarah yang indonesiasentris, pemerintah kemudian membuat suatu team yang bertugas melaksanakan penulisan kembali Sejarah Indonesia. Team ini dibentuk pada tahun 1963, akan tetapi team ini tidak dapat melaksanakan tugasnya dikarenakan terjadinya ketegangan sosial dan krisis politik negeri kita pada saat itu. Semangat penulisan sejarah yang indonesiasentris muncul kembali dalam Seminar Sejarah Nasional Kedua di Yogyakarta pada tahun 1970. Seminar ini relatif lebih berkualitas dibandingkan dengan seminar yang pertama. Hal ini dikarenakan mulai adanya generasi baru sejarawan yang mempresentasikan kertas kerjanya. Pokok pembicaraan sudah mulai mengarah kepada periodisasi Sejarah Indonesia, yaitu mulai dari periode prasejarah sampai dengan periode yang paling modern. Dalam seminar yang kedua ini juga muncul perkembangan pemikiran, yaitu perlunya penulisan buku sejarah untuk digunakan di sekolah. Keperluan ini sangat mendesak. Untuk melaksanakan aspirasi yang berkembang dalam seminar sejarah yang kedua itu, akhirnya pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan SK. No.0173/1970 mengangkat Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia berdasarkan Pancasila yang dapat digunakan di Perguruan Tinggi dan sekaligus akan dijadikan bahan dari buku teks sejarah untuk sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas. Panitia ini berhasil menyusun buku teks Sejarah Nasional sebanyak enam jilid.

Buku tersebut disusun dengan periodisasi sebagai berikut. 1. Jilid I, zaman prasejarah di Indonesia. 2. Jilid II, zaman kuno (awal masehi sampai 1600 M). 3. Jilid III, zaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia (1600 M1800 M). 4. Jilid IV, abad kesembilan belas (1800 M-1900 M). 5. Jilid V, zaman kebangkitan nasional dan masa akhir Hindia Belanda (1800-1900 M) 6. Jilid VI zaman Jepang dan zaman Republik Indonesia (1942-sekarang). Kegiatan seminar tidak berhenti sampai seminar sejarah yang kedua. Dalam beberapa waktu kemudian, diadakan kembali Seminar Sejarah Nasional. Seminar Sejarah Nasional yang ketiga di Jakarta pada tanggal 10 sampai dengan 15 November 1981, dan Seminar Sejarah Nasional yang keempat di Jogyakarta pada tanggal 16 sampai dengan 19 Desember 1985. Kongres Nasional Sejarah yang terakhir dilaksanakan di Jakarta dari tanggal 14-17 November 2006. Kongres sejarah atau seminar yang dilaksanakan itu pada dasarnya merupakan upaya untuk menemukan kembali penulisan-penulisan sejarah Indonesia, baik dari aspek sumber maupun metodologi.

Gambar 2.6 Buku Sejarah Nasional Indonesia merupakan upaya untuk menulis sejarah Indonesia yang indonesiasentris Berdasarkan uraian di atas, kita bisa melihat bahwa bangsa Indonesia telah memiliki perkembangan dalam penulisan sejarah. Perkembangan penulisan itu mulai dari yang magis-religius sampai pada saintifis. Magis religius merupakan ciri perkembangan historiografi tradisional, sedangan saintifis perkembangan penulisan sejarah lebih bersifat kritis. Selain itu, perkembangan penulisan sejarah di Indonesia juga sangat ditentukan oleh alam pikiran bangsa Indonesia dalam memahami perubahan dirinya dan lingkungan di sekitarnya.

Perkembangan Historiografi Indonesia


OPINI | 10 December 2010 | 09:39 Dibaca: 1154 Komentar: 0 1 dari 1 Kompasianer menilai Bermanfaat

Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki peradaban yang cukup tinggi. Hal itu dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan dari masa lampau yang sangat menkajubkan. Nenek moyang bangsa Indonesia telah mewarisi oerdaban yang luhur untuk dipelajari sebagai ilmu pengetahuan. Beberapa warisan tesebut dapat dilihat hingga kini seperti Candi Borobudur yang dibangun pada masa Mataram kuno, Situs Trowulan yang diperkirakan berasal pada masa majapahit abad 14, hingga beberapa prasasti dan teksteks kuno. Melihat peninggalan masa lampau yang begitu banyak maka diperlukanlah suatu ilmu yang dapat merekonstruksi peristiwa masa lampau. Ilmu tersebut ialah ilmu Sejarah Ilmu sejarah yang kita kenal merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau, namun bukan berarti sejarah hanya berpijak dimasa lampau saja, namun sejarah juga berpijak dimasa depan. Sebagai ilmu pengetahuan, maka sejarah pun memiliki perkembangan, terutama dari segi penulisan. Penulisan sejarah atau Historiografi ternyata berkembang dari masa ke masa. Historiografi pun berkembang sejak jaman kemerdekaan. Menurut Sartono Kartodirdjo[1], penulisan sejarah Indonesia berkembang dari berbagai cakrawala diantaranya dari religio kosmoginis ke sejarah kritis, dari etnocentrism ke natiocentris, dari kolonial elitis ke sejarah Indonesia secara keseluruhan[2]. Ilmu sejarah memiliki tahap-tahap kritis dalam perkembangannya manakala muncul pemahaman yang dikenal dengan posmodernisme. Mereka yang

termasuk dalam peham ini ialah Derrida, Lyotard. Foucault, yang dianggap hanya membongkar-bongkar tatanan dan menihilkan segala hal[3].R.Z. Leirissa[4] menganggap bahwa kaum posmodernisme ini sudah terlalu berbahaya dalam mengkritik ilmu sejarah karena posmo berpandangan negatif terhadap fakta, objektivitas dan kebenaran yang menjadi pokok kajian sejarah. Kaum posmo ini selalu meragukan tentang penulisan sejarah itu apakah benar atau tidak. Mereka bahkan menganggap bahwa sejarah hanyalah permainan kata-kata yang ditulis oleh sejarawan seperti kata-kata revolusi, Pemberontakan,dan lain-lain. Mereka ini terpengaruh pada pemikiran kaum skeptis yang selalu ragu-ragu terhadap segala hal yang berasal dari pemikiran manusia. Kritik yang ditunjukkan oleh kaum posmodernisme ini menjadi cambuk bagi para sejarawan agar dapat mengembangkan ilmu sejarah ke arah yang lebih baik untuk memecahkan permasalahn-permasalahan sosial. Selama ini Historiografi Indonesia dilakukan dengan metode naratif dimana kisah sejarah ditulis bukan berdasarakan pada permasalahan namun bertumpu pada urutan waktu dan kejadian-kejadian yang unik. Metode naratif ini sudah lama ditulis oeh para sejarawan sehingga sejarah terkesan sebagai cerita dongeng daripada ilmu pengetahuan. Penulisan sejarah yang seperti ini menjadi celah bagi kaum posmodernisme untuk menyudutkan ilmu sejarah. Dalam menangkal kaum posmodernisme maka dibutuhknlah penulisan sejarah yang bertumpu dengan pendekatan multidimensional dan sedikit demi sedikit meninggalkan metode naratif. Metode multidimensional dapat dijuga disebut dengan metode developmentalisme , yang akan melihat pola-pola perkembangan, kelangsungan serta perubahan[5]. Pendekatan multidimensional ini dipelopori oleh Sartono Kartodirdjo dengan disertasinya yang berjudul Pemberontkan Petani Banten 1888. Sartono menekankan bahwa jika ilmu sejarah ingin berkembang maka sejarah harus melakukan pendekatan multidimensional dengan bantuan ilmu-ilmu sosial yang terus berkembang secara dinamis. Pendekatan yang dilakukan Sartono ini nampaknya merupakan sebuah pendekatan yang akan memberikan peran lebih terhadap ilmu-ilmu sosial dalam membantu memcahkan permasalahan pada masa lampau. Dalam menggunakan ilmu sosial tentu masyarakat kecil akan lebih berperan dalam jalannya sejarah. Selama ini penulisan sejarah hanya menonjolkan peran dari masyarakat elit saja seperti raja, hulubalang, priyayi, presiden, pemimpin militer atau para birokrat namun jarang sekali mengangkat peran rakyat kecil

dalam penulisan sejarah karena itu pendekatan ini juga dapat disebut pendekatan yang demokratis. Pendekatan multidimensional ini merupkan kemajuan dalam ilmu sejarah karena dengan melakukan pendekatan ini maka akan memberikan warna baru dalam penulisan sejarah seperti adanya penulisn sejarah tentang sejarah iklim, sejarah kuliner, sejarah petani, sejarah alat transportasi dan lain sebagainya. Namun sayang anjuran pendekatan yang dilakukan ini tidak dilakukan, terutama dalam penerapan multidimensi, tetapi yang lebih banyak dianut Indonesia sentrisnya[6]. Jadi pendekatan terhadap teori-teori ilmu sosial dalam penulisan sejarah pun masih kurang. Pendekatan yang dilakukan hanyalah lebih kepada pembalikan kata-kata misalnya dari pemberontak menjadi pahlawan. Para mahasiswa dan sejarawan pun terkadang sering mengidentikan pendekatan multidimensional ini dengan kehidupan petani di desa-desa padahal pendekatan multidimensional ini sangat luas sekali cakupannya misalnya masyarakat perkotaan di Jakarta. Hal ini pernah disampaikan oleh Bambang Purwanto[7] dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Jakarta Tanpa Masyarakat. Judul tersebut sebenarnya menyiratkan bahwa selama ini penulisan sejarah Jakarta atau Batavia kurang menyetuh kehidupan masyaraat kecil di Jakarta. Penulisan sejarah masyarakat Jakarta kalaupun ada, masih bercerita seputar orang-orang atas seperti para pejabat Belanda di Batavia. Menurut Bambang hal tersebut dikarenakan para sejarawan masih bergantung pada sumber konvensional berupa arsip-arsip Belanda. Padahal jika ingin membuat sejarah dengan pendekatan sosial jangan mengabaikan sumber-sumber dari masyarakat seperti puisi,lagu, prangko, lukisan dan foto.Pengabaian sumber-sumber sejarah non arsip pun tampaknya menyebabkan pendekatan multidimensional ini belum dapat berkembang sedemikian baik. Perkembangan jaman memang telah menuntut ilmu pengetahuan untuk berkembang pula agar suatu ilmu tak kehilangan fungsinya sebagai problem solver. Ilmu sejarah merupakan salah satu ilmu pengetahuan yang harus berkembang dari segi penulisan. Pendekatan naratif yang selama ini dipakai oleh para sejarawan nampaknya tidak lagi relevan dalam perkembangan jaman yang begitu cepat. Solusi dari permasalahan itu ialah dengan melakukan pendekatan multidimensional yang mana ilmu sejarah harus meminta bantuan ilmu-ilmu sosial dalam memecahkan permasalahan sosial dimasa lampau. Pendekat multidimensioanal harus terus menerus diterapkan dalam penulisan sejarah, bukan hanya sebagai simbol saja agar ilmu sejarah dapat berkembang.

PENULISAN SEJARAH (HISTORIOGRAFI) INDONESIA


A. Beberapa Pengertian Umum Penulisan Sejarah (Historiografi) Sejarah bukan semata-mata rangkaian fakta belaka, tetapi sejarah adalah sebuah cerita. Cerita yang dimaksud adalah penghubungan antara kenyataan yang sudah menjadi kenyataan peristiwa dengan suatu pengertian bulat dalam jiwa manusia atau pemberian tafsiran /interpretasi kepada kejadian tersebut (R. Moh. Ali, 2005: 37). Dengan kata lain penulisan sejarah merupakan representasi kesadaran penulis sejarah dalam masanya ( Sartono Kartodirdjo, 1982: XIV ). Secara umum dalam metode sejarah, penulisan sejarah (historiografi) merupakan fase atau langkah akhir dari beberapa fase yang biasanya harus dilakukan oleh peneliti sejarah. Penulisan sejarah (historiografi) merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan (Dudung Abdurrahman,1999:67). Pengkisahan sejarah itu jelas sebagai suatu kenyataan subyektif, karena setiap orang atau setiap generasi dapat mengarahkan sudut pandangannya terhadap apa yang telah terjadi itu dengan berbagai interpretasi yang erat kaitannya dengan sikap hidup, pendekatan, atau orientasinya. Oleh karena itu perbedaan pandangan terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau, yang pada dasarnya adalah obyektif dan absolut, pada gilirannya akan menjadi kenyataan yang relatif. Bagi penulis sejarah ataupun sejarawan akademis yang menganutrelativisme historis, sikap netral dalam pengkajian dan penulisan sejarah merupakan hal yang sulit direalisasikan. Alasannya seperti yang dinyatakan Al-Sharqawi (dalamDudung Abdurrahman,1999:5) bahwa pengetahuan sejarah itu pada dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta pada suatu bahasa lain,menundukkannya pada bentuk-bentuk, kategori-kategori dan tuntutan khusus. Proses pemilihan unsur-unsur tertentu mengenai perjuangan seorang tokoh, umpamanya dilakukan penulis biografi dengan mendasarkan diri pada interpretasi historis atas peristiwa-peristiwa yang dikehendakinya, lalu disusunlah kisah baru. Demikianlah kecenderungan subyektivitas itu selalu mewarnai bentuk-bentuk penulisan sejarah. Hal ini karena secara umum dapat dikatakan bahwa kerangka pengungkapan atau penggambaran atas kenyataan sejarah itu ditentukan oleh penulis sejarah atau sejarawan akademis, sedangkan kejadian sejarah sebagai aktualitas itu juga dipilih dengan dikonstruksi menurut kecenderungan seorang penulis. Selain alasan praktis diatas, ternyata dimungkinkan lebih banyak lagi faktor yang menyebabkan terjadinya subyektivitas. Ibnu Khaldun (dalam Dudung Abdurrahman, 1999:6) menyatakan bahwa: Ada faktor yang dipandangnya sebagai kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:1)sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu, 2) sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah, 3) sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru, 4) sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita, 5) ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, 6) kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh, dan 7) sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban. Bila ketujuh alasan tersebut atau sebagian dari padanya mewarnai karya sejarah dari suatu generasi, maka generasi sejarawan yang lain juga akan terpengaruhi dengannya. Karena setiap telaah historis, baik dari masa silam, masa kini, atau masa depan, selalu bersifat subyektif (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman,1999:6).

Kepribadian sejarawan tidak dapat disangkal lagi merupakan faktor dominan yang dapat menjuruskan penulisan sejarah menjadi subyektif, maka seluruh kesadaran sejarawan sesungguhnya terselimuti oleh sitem kebudayaan. Sartono Kartodirdjo (1992:64) mendefinisikannya: Sebagai subyektivitas kultural, yakni sikap atau pandangan penulis sejarah itu berhubungan dengan konteks kebudayaan masyarakatnya. Individu sejarawan sebagai anggota masyarakat akan lebur dalam proses sosialisasi, sehingga seluruh pikiran, perasaan, dan kemauannya terpola menurut struktur etis, estetis, dan filosofis yang berlaku dalam masyarakat. Subyektivitas kultural itu tercakup pula subyektivitas waktu, karena kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam waktu tertentu. Telah menjadi istilah umum di kalangan ahli sejarah, seorang sejarawan merupakan anak zamannya dan bersama dengan orang sezaman, tetapi iapun menerima nilai-nilai yang dianut pada zamannya itu (Ankersmit dalam Dudung Abdurrahman, 1999:7). Disinyalir subyektivitas waktu akan terasa lebih sulit untuk diatasi. Berdasarkan tinjauan mengenai subyektivitas sejarah diatas, dapat disebutkan bahwa setiap hasil penulisan sejarah tidak seluruhnya relatif, karena dalam karya seperti itu dapat pula diperoleh pula hal-hal yang absolut, yakni fakta-fakta yang tidak diragukan lagi kesahihannya. Penunjukkan fakta keras atau fakta yang telah menjadi kebenaran umum dan tidak diragukan lagi kebenarannya. Bila kecenderungan pribadi pangkal terjadinya subyektivitas, sebenarnya tidak selalu merupakan penghalang bagi obyektivitas, sebab sejarawanpun akan mampu mengetahui perasaan-perasaan subyektif dalam dirinya dan ia akan selalu berusaha untuk berhati-hati agar tidak terjerumus kedalam subyektivitas tersebut (Walsh dalam Dudung Abdurrahman, 1999: 8 ). Pengetahuan sejarah yang obyektif itu justru timbul bila terdapat beberapa pendapat antara para sejarawan. Pernyataan mereka yang berbeda mengenai peristiwa sejarah yang sama, belumlah merupakan perbedaan pendapat, sebab peristiwa sejarah bisa dilihat dari berbagai perspektif. Atas dasar pertimbangan diatas, nyatalah bahwa penafsiran terhadap peristiwa sejarah akan beragam didalam historiografi, yang barangkali jumlahnya sebanyak kepala penulis sejarah itu sendiri. B. Sejarah Singkat Perkembangan Penulisan Sejarah (Historiografi) Indonesia Sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) akan dapat menyoroti isi filosofis teoretis dari penelitian dan penulisan sejarah, membuka metode penggarapan bahan sejarah dan persentasi, ide-ide yang mengikat fakta-fakta sebagai kesatuan yang bermakna,cara menilai dan menginterpretasikan,dan yang sangat penting adalah pandangan hidup sipenulis (sejarawan). Penulisan sejarah (historiografi) berbeda-beda menurut negerinya, masanya, dan kepribadian dari sejarawan. Mempelajari sejarah dari penulisan sejarah (historiografi) itu tidak mengutamakan segi-segi isi faktual dan proses sejarah, tetapi lebih memusatkan perhatian terhadap pikiran-pikiran sejarah dalam hal kultural, sehingga mempertinggi kemampuan kita membuat pandangan dan perbaikan serta penilaian artinya (Sartono Kartodirdjo, 1982:15). Kemudian yang jelas juga adalah bahwa hal itu akan membuat sejarawan lebih kritis terhadap dirinya sendiri dan lebih memberi kemungkinan untuk mengobyektivitaskan penulisannya.Dengan senantiasa mengingat praktek sejarawan dalam masa yang lampau kita dapat memandang perkembangan historiografi dengan cara pandang yang benar dan tepat, sehingga akan dapat kita tentukan derajat kesadaran diri dari sejarawan. Dalam perkembangan penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia,beberapa corak historiografi cukup menonjol, yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial dan historiografi nasional. Historiografi tradisional cenderung masih didominasi oleh aspek magis religius dan oknum pengkisahnya tidak selalu diketahui secara pasti, kisah sejarah dalam masyarakat pada masa itu adalah milik kolektif. Hal ini membuktikan bahwa historiografi adalah ekspresi kultural dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkannya (Taufik Abdullah, 1985: XXI ). Hal itu tidak berarti mengingkari bahwa karya sejarah merupakan hasil rekonstruksi sejarawan. Penghayatan kultural terhadap masyarakat menuntut masyarakat untuk membuat rekonstruksi kisah yang dapat

menjelaskan bagaimana dan mengapa mereka berada. Historiografi kolonial menonjolkan peranan bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politis, ekonomis, dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial dimana penulisan sejarah terutama mewujudkan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interpretasi dari jaman kolonial cenderung untuk membuat mitos dari dominasi itu,dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan penjajakan masyarakat serta kebudayaannya. Sejarah perang kolonial menguraikan pelbagai operasi militer secara mendetail, sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer Belanda, tidak diterangkan organisasiintern dari pemberontakan siapa, dan termasuk golongan apakah pemberontak itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya. Ketiga corak historiografi diatas dianggap belum bertitik tolak dari kepentingan ilmiah. Bukan proses pengkisahan sejarah yang mencari kebenaran berdasarkan landasan metodologis yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ketiganya didasarkan atas kepentingan legitimasi kultural dan politik, yaitu pengkisahan yang kadang -kadang mengarah pada pembenaran. Pembenaran terhadap identitas dan jati dirinya sebagai suatu komunitas. Ketiga corak historiografi tersebut cenderung untuk menunjukkan unsur kejayaan dan kebesaran dari struktur kekuasaan yang dominan ( Hariyono, 1995: 104 ). Suatu periode baru dalam perkembangan historiografi Indonesia dimulai dengan timbulnya studi sejarah yang kritis. Perkembangan metode sejarah ilmiah di Indonesia sebenarnya tidak langsung terjadi dalam bidang sejarah sendiri. Untuk dapat melakukan kritik terhadap sumber-sumber sejarah diperlukan ilmu bantu. Karya Husein Djajadiningrat,Critische Beschouwingen Van De Sejarah Banten merupakan hasil studi yang menggunakan suatu karya historiografi tradisional sebagai obyek sekaligus sebagai sumber sejarah. Beliau dapat dicatat sebagai putra Indonesia pertama yang menggunakan prinsip-prinsip metode kritis sejarah. Dan setelah proklamasi, terdapat upaya yang dominan untuk melihat sejarah dari aspek nasional, memandang sejarah dari masyarakat Indonesia sendiri. Sebagai konsekuensi dari pantulan kesadaran kultural, maka wajar bila historiografi yang berkembang adalah sejarah ideologis. Suatu sejarah yang menanamkan suatu nilai-nilai terutama semangat nasionalisme, heroisme, dan patriotisme. Dalam perkembangaannya historiografi Indonesia modern, dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Pada seminar tersebut membahas tiga hal yang dianggap sangat penting ketika itu, hal tersebut antara lain fisafat sejarah nasional, periodisasi sejarah Indonesia, dan pendidikan sejarah. Perdebatan berlanjut sampai pada tahun 1970. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970 tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana seharusnya sejarah ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti yang kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan substansi sejarah (Kuntowijoyo, 2003: 2). Secara kelembagaan, penulisan sejarah adalah tugas sejarawan akademik, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya, sejarawan akademis adalah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan tentang yang ditulis, tetapi kenyataannya mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi. Sejarawan akademislah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut diri mereka sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Mereka inilah yang diundang dalam seminarseminarsejarah, dan kegiatan lain yang mengandung tujuan sejarah. Kegiatan mereka yang luas, bukan saja dalam penulisan, tetapi terlibat juga dalam pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

You might also like