You are on page 1of 22

Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN BERSAMA


Oleh : Afifi Fauzi Abbas

A. Pendahuluan
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan bagi pembangunan kesejahteraan umat. Ajaran zakat ini
memberikan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi
umat. Kandungan ajaran zakat ini memiliki dimensi yang luas dan kompleks,
bukan saja mengandung nilai-nilai ibadah, moral, spiritual, dan ukhrawi, melainkan
juga nilai-nilai ekonomi dan duniawi.
Beragamnya nilai-nilai yang terkandung dari ajaran zakat tersebut, memberi-
kan landasan (hujjah) yang kuat dan rasional bagi pemberdayaan dan pengem-
bangan kehidupan masyarakat secara menyatu dan menyeluruh dari potensi
zakat. Teraktualisasikannya nilai-nilai tersebut, dapat memberikan manfaat yang
sangat besar bagi pembangunan dan peningkatan harkat dan martabat manusia
serta membangun peradaban secara hanif.
Namun, tentu saja kita menyadari bahwa dalam perjalanan sejarah masyara-
kat Islam, kandungan nilai-nilai tersebut baik secara teoritis maupun aplikatif
mengalami dinamika sesuai dengan situasi dan kondisi (dhuruf wa zaman). Bahkan
tidak bisa dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat terjadi stagnasi atau
kebekuan dalam pengungkapan kandungan nilai-nilai tersebut. Akses informasi
dan pembelajaran yang tidak merata menimbulkan "kejumudan" yang berkepan-
jangan sehingga mengakibatkan pemahaman yang parsial dari hakikat ditetap-
kannya ajaran zakat ini.
Kita mengetahui bahwa Tuhan memberikan suatu kewajiban pada umat
manusia bertujuan untuk membawa kebaikan bagi manusia itu sendiri. Begitu
pula konsep zakat, terdapat tujuan dan hikmah secara intrinsik dari ajaran itu.
Menelaah konsep zakat dari sisi tujuan dan hikmahnya akan membuat zakat lebih
relevan aktualisasinya dalam masyarakat. Kurangnya pemahaman terhadap
tujuan dan hikmah dari pelaksanaan zakat dapat menghilangkan kekuatan dorong
(ghirah) dari adanya konsep zakat itu sendiri. Dengan menjadikan tujuan dan
hikmah zakat sebagai pengembangan konsep zakat, maka kita mengharapkan
terjadinya sintesa di antara berbagai ketentuan yang bersifat parsial dalam
penentuan konsep zakat sehingga terwujud konsep yang integral tentang materi
zakat dan ahlinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengkajian yang terus-menerus dan penerapan
yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pada zamannya, akan sangat berarti
bagi percepatan proses pemberdayaan dan pembangunan tersebut. Tulisan ini
merupakan kajian awal memahami konsep zakat khususnya berkaitan dengan
pendayagunaan zakat (tasharruf al-zakah) khususnya untuk mengembangkan
perekonomian mayarakat.

1
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

B. Pengertian Zakat
Zakat secara bahasa berarti suci (ath-thaharah), tumbuh dan berkembang (al-
nama'), keberkahan (al-barakah), dan baik (thayyib). Sedangkan dalam rumusan
fikih, zakat diartikan sebagai "sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu".
Rumusan definisi tersebut bila dihubungkan dengan pengertian secara
kebahasaan menunjukkan bahwa harta yang dikeluarkan untuk berzakat akan
menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 103; Al-An'am
ayat 141 dan; Ar-Rum ayat 39. Di samping diungkapkan dengan kata-kata zaka,
prinsip zakat juga disampaikan dengan kata shadaqah dan infak, seperti dalam surat
At-Taubah ayat: 60,34, dan 103
Zakat adalah rukun Islam yang ketiga. Di dalam zakat terkandung potensi
sosial yang cukup besar berupa pembagian kemakmuran yang merata sehingga
berkuranglah rasa iri hati dan rasa tidak puas di antara mereka yang
berkekurangan terhadap mereka yang berkelebihan, di antara simiskin dengan
sikaya.
Dengan zakat, harta/kekayaan tidak akan dimonopoli dalam penguasaan
orang-orang kaya dan berada saja. Al-Quran menyatakan “Agar supaya harta itu
tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (Al-Hasyr : 7).
Dengan zakat terjalin pula rasa kasih sayang dan hidup tolong-menolong antara
kalangan orang yang berada dengan kalangan orang yang tidak berada. Ia juga
akan memupuk iman, memupuk kesadaran beribadah, membina watak dan
mental, menghindari sikap kikir dan perbuatan dhalim.

C. Kewajiban Berzakat.
Kenapa kita harus berzakat ? Kewajiban adanya zakat berkaitan dengan
konsep istikhlaf, al-maal, dan al-milk dalam Islam. Ketiga konsep tersebut saling
berkaitan dan memiliki implikasi fungsional bagi manusia. Di samping fungsi
untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga untuk meningkatkan
pengabdian kepada Allah SWT melalui sarana beramal, baik yang mahdhah
(hubungan vertikal) dengan Allah maupun ghair mahdhah (hubungan horisontal)
dengan sesama ciptaan-Nya.
Tugas kekhalifahan/istikhlaf manusia secara umum adalah tugas mewujud-
kan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (QS Al-
An'am:165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (QS Adz-Dzariyat:
56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah memberikan manusia anugerah
sistem kehidupan dan sarana kehidupan (QS Luqman: 20).
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan Islam merupa-
kan hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif,
sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuannya (QS Al-Hadid: 7 dan QS An-Nur: 33). Harta yang dianggap sebagai

2
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dan sebagai


bekal ibadah dapat pula sebagai ujian keimanan. Adanya ujian merupakan satu
bentuk penilaian terhadap kesadaran kepatuhan dan pengakuan bahwa apa yang
dimilikinya benar-benar merupakan karunia dan kepercayaan dari Allah bagi
yang menerimanya. Untuk itu kewajiban zakat merupakan suatu yang alamiah
bagi kehidupan manusia, karena zakat yang diberikan atau dikeluarkan oleh
seseorang dari harta yang diperolehnya, pada hakikatnya dikembalikan kepada
pemilik utamanya yaitu Allah SWT.
Pada dasarnya, sebagai kelanjutan dari konsep khilafah, Allah sendiri memberi
kebebasan kepada manusia untuk menggunakan apa yang diperoleh dari karunia-
Nya. Namun ditegaskan bahwa karena dia bukanlah satu-satunya khalifah dan
karenanya terdapat jutaan manusia lain yang berkedudukan sama sebagai khalifah,
maka mereka itu pun mempunyai hak yang sama. Untuk itu dalam proses penda-
ya-gunaan karunia Tuhan, perlu dilakukan dengan cara yang efisien dan adil agar
"saudara" yang lainnya mendapatkan kemakmuran sebagaimana yang diperoleh-
nya. Pada dataran ini, maka adanya solidaritas sosial (al-ta'awwun al-ijtima'i)
merupakan bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat.
Pengabaian kewajiban seseorang terhadap sesamanya dipandang sebagai
kegagalan yang serius dalam memenuhi kewajibannya terhadap Tuhan.1 Oleh
karenanya, menurut Al-Quran pembayaran zakat oleh muzakki atau aghniya bukan
merupakan bentuk pemihakan kepada si miskin. Karena si kaya bukanlah pemilik
riil kekayaan itu (Al-Hadid : 7). Begitu pula sebaliknya, mustahik/penerima zakat
tidak boleh memandang penerimaan zakat sebagai perlakuan tidak baik karena
apa yang mereka terima sebenarnya adalah hak mereka yang telah ditentukan
oleh Allah dalam kekayaan orang-orang kaya (QS Adz-Dzariyat: 91 dan Al-
Ma'arij: 25).
Dengan demikian, penolakan terhadap adanya kewajiban zakat merupakan
sikap yang bertentangan dengan sunnatullah, bahwa manusia sebagai khalifah dan
kekayaan adalah amanah Tuhan. Mereka yang melanggar sunnatullah dianggap
termasuk orang yang tidak mensyukuri karunia-Nya (Ali Imran: 180).

D. Harta yang Wajib Dizakati


Pada dasarnya zakat itu dapat dikelompokkan menjadi dua bahagian yaitu :
1. Zakat mal (zakat harta)
2. Zakat Fitrah (zakat jiwa).
Dalam rangka intensifikasi zakat (infak dan sadakah) termasuk apa yang
disebut zakat profesi, memerlukan pemahaman yang utuh dan konprehensif
tentang apa yang wajib dizakatkan. Untuk itu diperlukan pemahaman yang
jelas dan mantap tentang mal atau amwal yang dibebani wajib zakat atasnya.
Menurut Al-Quran dan al-Sunnah yang wajib dizakatkan itu adalah harta
(amwal-rizki-kanzun dan zira'at) yang dimiliki oleh seseorang yang sudah sampai

1
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa shalat tetapi tidak membayar zakat, maka shalatnya tidak
bernilai". Lihat Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, h. 492.
3
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

pada jumlah tertentu (senisab, punya potensi untuk berkembang dan melebihi
kebutuhan pokoknya. Hal ini antara lain dapat dicermati dari ayat-ayat al-
Quran antara lain :
- al-Maarij/70 : 240,
- al-Zariyat/51 : 19,
- al-Taubah/9 : 34, 35 dan 103,
- al-Ra'du/13 : 22 dan
- Fathir/35 : 29.
Setidak-tidaknya ada beberapa term yang digunakan oleh al-Quran ketika
membicarakan harta yang wajib dizakatkan, yaitu sekali waktu al-Quran me-
nyebutnya dengan amwal, sekali waktu al-Quran menyebutnya rizki. Kadang-
kala al-Quran menyebutnya dengan kanzun dan zira'at.
Di dalam kitab Lisanul Arab amwal itu diartikan dengan segala sesuatu yang
dimiliki. Yusuf al-Qardawi memaknainya dengan segala sesuatu yang diinginkan
sekali oleh manusia menyimpan dan memilikinya. Sedangkan mazhab Hanafi
memberikan makna dengan segala sesuatu yang dipunyai dan dimanfaatkan.
Disamping itu rizki diartikan dengan apa-apa yang diberikan oleh Allah
kepada hambanya yang dapat dimanfaatkan/lazim dipergunakan untuk menja-
ga existensi dirinya. Sedangkan kanzun dapat dimaknai dengan harta yang su-
dah diringkas dan dapat dikantongi atau dikarungi (alat penyimpan nilai-mata
uang).
Apa yang dibicarakan al-Quran menyangkut harta yang diwajibkan untuk
dizakatkan adalah apa yang terangkum dalam pengertian mal, rezki secara
umum (global). Sedangkan rinciannya baru kita temukan dalam hadis-hadis
Rasulullah. Yang jadi persoalan kemudian adalah bagaimana kita harus
memahami hadis-hadis tersebut, apakah akan dipahami sebagai takhsis ataukah
hanya sebagai
bayan.
Imam al-Syaukani, Ibn Hazm dkknya lebih memaknainya sebagai takhsis,
sehingga mereka berpendapat bahwa barang yang wajib dizakatkan itu hanyalah
yang telah dirinci oleh hadis-hadis Rasulullah. Argumentasi yang mereka
pergunakan adalah :
- kekayaan muslim haruslah dijaga kehormatannya, oleh sebab itu ia tidak
dapat diambil tanpa ada nash (secara eksplisit) yang memerintahkannya.
- karena zakat itu adalah kewajiban agama (ibadah) maka ia harus terhindar
dari kewajiban kecuali ada nash yang mewajibkannya.
Sedangkan kelompok Hanafiah, Yusuf Qardawi dkk lebih memaknai hadis-
hadis tsb sebagai bayan, sehingga mereka berpendapat bahwa barang yang
wajib dizakati itu adalah semua yang terangkum dalam pengertian mal, rezki,
kanzun dll itu setelah menjadi kekayaan seseorang. Argumentasi yang mereka aju-
kan adalah antara lain :
- teks-teks global al-Quran.
- semua orang kaya perlu membersihkan diri dan hartanya
- zakat diperintahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok fakir miskin
4
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

- zakat itu adalah hak Allah dan masyarakat.


Tidak semua harta yang kita miliki wajib dizakatkan. Yang wajib kita
zakatkan adalah manakala harta tersebut telah memenuhi beberapa syarat, yaitu :
1. Telah dimiliki secara sempurna (milk al-tam).
2. Punya potensi untuk berkembang (al-nama').
3. Sampai pada jumlah minimum (senisab).
4. Kelebihan dari kebutuhan pokok (al-ziyadah).
5. Bebas dari utang/tanggungan.
6. Telah cukup haulnya (hari panen - setahun).
Harta yang dimiliki oleh seseorang dapat berwujud dalam bermacam-macam
ragam barang-barang berharga. Maka peranan uang sebagai alat moneter sangat
membantu sekaligus sangat menentukan. Dengan dapat disimpannya harta dalam
bentuk uang dan dipergunakannya tanda-tanda pemilikan dalam bentuk surat-
surat berharga (spt. saham, cek, obligasi, bilyet, giro dll), maka pembedaan antara
penda-patan/penghasilan dengan kekayaan (harta yang wajib dizakatkan) adalah
sangat penting sekali.
Harta yang wajib untuk dizakatkan bukanlah pendapatan, karena pendapatan
belum tentu semuanya menjadi harta yang dimiliki secara sempurna oleh yang
bersangkutan, karena mungkin masih ada biaya atau hak orang lain berupa
hutang atau kewajiban lainnya. Apalagi jika pengertian al-afwa dalam surat al-
Baqarah/2 : 219 difahami secara sungguh-sungguh. Oleh karenanya menelusuri
kebutuhan sehari-hari seseorang tak dapat dielakan. Batas kepatutan kebutuhan
pada suatu masyarakat pada satu zaman dan perkembangan kebutuhan itu
dalam sejarah peradaban tentulah sangat berbeda dari waktu ke waktu.
Pendapatan seseorang bisa berasal dari dua sumber :
pertama : penghasilan dari pekerjaan atau usahanya karena tenaganya sendiri
ikut dalam proses produksi. (Cermati al-Baqarah/2 : 267)
kedua : penghasilan dari harta yang dinvestasikan, atau pemberian dari pihak
ketiga (waris, hibah wasiat dll).
Jadi memang harus dapat dibedakan antara pendapatan yang diterima
sebagai penghasilan/kasab, dengan pendapatan yang berasal dari penghasilan
harta yang diinvestasikan dan pemberian pihak ketiga. Pendapatan yang
diperoleh dari profesi, berbeda dengan deviden saham yang dimiliki.
Hasil produksi suatu masyarakat merupakan pendapatan masyarakat yang
bersangkutan, yang dibagi melalui mekanisme sumbangan faktor produksi yang
ikut dalam proses produksi.Tenaga kerja mendapat upah/gaji, manajemen
mendapat gaji dan bagian keuntungan, serta penyerta modal mendapat perolehan
melalui pembagian keuntungan. Masing-masing memperoleh pendapatan yang
menjadi penghasilan pribadinya.
Pendapatan itulah yang dibelanjakan seseorang untuk kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Apabila kebutuhan sehari-hari lebih kecil dari pendapatan, maka ter-
jadilah tabungan yang merupakan kekayaannya. Tabungan ini dapat menjadi
sumber modal investasi, yaitu menanamkan kekayaan melalui pembelian alat

5
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

produksi, dan ini berarti menaikan pendapatan. Makin meningkat pendapatan


seseorang makin bertambah kekayaannya.
Tidak semua penerimaan otomatis menjadi harta yang wajib dizakatkan,
walaupun kelihatannya seperti telah mencapai ambang batas nisab. Yang harus
diperhatikan adalah beban hutang dan beban kebutuhan sehari-hari. Kekayaan
adalah tumpukan kemanfaatan yang terhimpun dalam harta yang berwujud
materi maupun yang bukan materi nyata yang dikaitkan dengan pemiliknya. Jadi
kekayaan itu adalah harta yang dimiliki.
Kekayaan dapat diperoleh melalui tiga sumber :
1. dari sisa hasil pendapatan sendiri,
2. dari hasil investasi, dan
3. dari penerimaan kekayaan orang atau badan lain (hibah, hadiah, sedekah,
warisan dll).
Akan tetapi penerimaan harta orang lain berupa pinjaman, titipan, hutang atau
yang semacamnya tidaklah dianggap sebagai kekayaan. Seseorang yang pada
mulanya tidak mempunyai kekayaan apapun, akan mempunyai kekayaan perta-
ma dari sisa penghasilan yang tidak dikomsumsi. Perbuatan menyisakan hasil
pendapatan dengan cara mengurangi komsumsi atau menambah penghasilan
membuahkan tabungan baginya. Tabungan itu adalah kekayaannya. Kekayaan
inilah yang wajib dizakatkan.
Allah telah menciptakan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
untuk dinikmati dan diambil manfaatnya. Adalah usaha/kasab manusia untuk
memperoleh manfaatnya. Pada tingkat pertama kasan manusia itu hanyalah
mengumpulkan. Pada tingkat berikutnya memelihara, mengolah, melestarikan
dan mengelolanya.
Kasab adalah kerja atau upaya yang menambah nilai sehingga melahirkan
nilai tambah. Nilai tambah yang diperoleh seseorang sangat tergantung dari
kasabnya masing-masing. Nilai tambah itu akan meningkat besarnya jika ia :
memakai perlengkapan (alat produksi), menggunakan tenaga terlatih. Kasab
manusia yang menguasai teknologi mutaakhir akan menghasilkan nilai tambah
yang lebih meningkat. Laju peningkatan pertambahan nilai itu dapat dilihat dari
dimensi waktu.
Dari sini semakin kelihatanlah bahwa kasab yang satu dapat menghasilkan
nilai tambah yang lebih besar dibanding dengan kasab yang lain. Kasab yang
memakai peralatan produksi yang lebih baik dan ketrampilan yang lebih mahir
akan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar. Inilah yang kemudian yang
membedakan hasil perolehan antara seorang yang bekerja seadanya dengan orang
yang bekerja secara profesional.
Kerja yang profesional akan menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.
Penghasilan yang lebih besar biasanya akan menyisakan tabungan yang lebih
besar pula. Inilah yang secara akumulatif akan menjadi kekayaan. Kekayaan
inilah yang wajib untuk dizakatkan.

E. Mustahiq Zakat
6
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

Zakat merupakan ibadah yang memiliki dua sisi. Pada satu sisi zakat
merupakan ibadah yangberfungsi sebagai penyucian terhadap harta dan diri
pemiliknya,2 pada sisi lain zakat mengandung makna sosial yang tinggi.3 Dengan
semakin luasnya objek zakat dengan jenis usaha yang sangat variatif di bidang
pertanian, perindustrian, peternakan, dan profesi, semakin besar peluang untuk
penggalangan dana dari sektor zakat. Akan tetapi kesuksesan dalam
penggalangan dana saja tidak akan mencapai sasaran, jika pendistribusian dana
zakat tidak dikelola secara profesional.
Kenyataan di lapangan, pendistribusian zakat merupakan salah satu faktor
yang dijadikan tolok ukur bagi umat Islam untuk memilih lembaga yang
dipercaya dalam pengelolaan zakat. Kekhawatiran umat Islam bahwa dana yang
ada sampai atau tidak kepada yang berhak sering menjadi penyebab kurang
berdayanya lembaga amil yang ada. Mungkin ini yang diisyaratkan oleh QS At-
Taubah ayat 60 yang menekankan pada pendistribusian harta zakat bukan pada
upaya penggalangannya.

1. Latar belakang turunnya ayat tentang penerima zakat


Kelompok yang berhak mendapatkan zakat pada tataran aplikasi dibatasi
pada yang sudah disebutkan dalam Al-Quran. Jika diperhatikan urutan ayat QS
At-Taubah ayat 60 tersebut terletak antara ayat-ayat yang bercerita tentang orang
munafik. Pada ayat 59 sebelumnya, Allah menceritakan tentang orang yang
merasa senang kalau diberi zakat dan mencaci maki Rasul jika ia tidak
mendapatkan zakat. Bahkan sebab turun ayat tentang delapan asnaf tersebut
untuk mengeluarkan orang munafik dari mustahik zakat. Hal itu terbukti dengan
jawaban Rasul terhadap gugatan seorang munafik yang tidak mendapatkan zakat
dengan ungkapan: jika kamu termasuk delapan asnaf tersebut maka kamu
mendapatkan bagian zakat.4
Dengan demikian, mungkin adat hesar/pembatasan dalam ayat malah bukan
memberikan batasan tentang penerima zakat yang sesungguhnya, tapi lebih
kepada tujuan untuk memberikan pembatasan terhadap orang munafik yang
berambisi dan berharap mendapatkan harta zakat, sehingga tidak ada tempat bagi
mereka sebagai kelompok yang perlu dibantu dengan dana umat Islam.
Konsekuensi logis dari tindakan mereka yang tidak mau bersama-sama
menggalang kekuatan umat Islam, maka mereka pun tidak mendapatkan fasilitas
tunjangan finansial.

2. Kriteria penerima zakat

2
QS At-Taubah: 103
3
QS Az-Zariyat: 19
4
Abd Al-Rahman Jalal al-Din al-Suyuthi, AL-Dur al-Mantsurfi Tafsir al-Ma 'tsur, Beirut: Dar al-Fikr,
1414/1993, Jilid 4, juz 10, h. 220.
7
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

Dari urutan penerima zakat yang disebutkan dalam ayat 60 At-Taubah,


penerima zakat dilihat dari penyebabnya dapat dikelompokkan dalam dua
kelompok besar, yaitu:

a. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaan


Kelompok atau orang yang masuk dalam kategori ini dapat dibedakan pada
dua hal, yaitu: pertama ketidakmampuan di bidang ekonomi. Ke dalam kelompok
ini masuk fakir, miskin, gharim, dan ibn sabil. Harta zakat diberikan kepada mereka
selain riqab untuk mengatasi kesulitan ekonomi yang menimpa mereka. Kedua,
ketidakberdayaan dalam wujud ketidakbebasan dan keterbelengguannya untuk
mendapatkan hak asasi sebagai manusia, maka riqab diberikan untuk membeli
/menebus kemerdekaannya. Ini berarti zakat diberikan untuk mengatasi
ketidakbebasan dan keterbelengguan mendapatkan haknya sebagai manusia.
Karena dalam sejarahnya, budak diperlakukan tidak manusiawi, dapat digauli
tanpa nikah dan dapat diperjualbelikan.

b. Kemaslahatan umum umat Islam


Mustahik bagian kedua ini mendapatkan dana zakat bukan karena ketidak-
mampuan finansial, tapi karena jasa dan tujuannya untuk kepentingan umum
umat Islam. Yang masuk dalam kelompok ini adalah amil, muallaf dan fi sabilillah.
Amil mendapatkan pendanaan dari harta zakat karena telah melakukan tugasnya
sebagai pengelola dana umat Islam. Muallaf mendapatkan pendanaan dari harta
zakat karena memberi dukungan kepada umat Islam dan mengantisipasi umat
Islam dari tindakan anarkhis kelompok yang tidak menyenangi Islam dan
umatnya. Untuk fi sabilillah, dana zakat diperuntukkan untuk pelaksanaan semua
kegiatan yang bermuara pada kemaslahatan umat Islam pada umumnya.
Pada kelompok kedua ini, alasan pemberian dana zakat tidak dilihat dari
keadaan finansial perorangan, tetapi pada jasa atau kegiatannya. Artinya
meskipun dilihat dari perorangan yang terlibat di dalamnya tergolong orang yang
mampu atau berkecukupan, maka amil dan muallaf tersebut mendapatkan dana
zakat sebagai kompensasi dari jasanya. Sedangkan untuk fi sabilillah, dana zakat
dapat diberikan kepada kelompok, perorangan ataupun kegiatan-kegiatan untuk
kemaslahatan umum umat Islam
3. Kelompok penerima zakat
1 dan 2. Membantu kelompok fakir dan miskin
Orang miskin di samping tidak mampu di bidang finansial, mereka juga
tidak memiliki pengetahuan dan akses. Untuk mencapai tujuan zakat sebagai
upaya mambantu masyarakat miskin keluar dari krisis yang menghimpit
mereka, maka di samping dana zakat yang diberikan bersifat konsumtif, dan
produktif, juga dapat dipergunakan untuk program yang mengarah pada
upaya mendapatkan hak kaum miskin, seperti pendampingan kaum miskin
(advokasi), HAM, dan sejenisnya. Bantuan finansial saja mungkin tidak akan

8
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

meningkatkan taraf hidup mereka, apabila penyebab dari ketidakmampuan


dan ketidakberdayaan mereka tidak diatasi.
Oleh sebab itu, semua upaya atau kegiatan untuk membantu orang
miskin dapat masuk dalam jatah fuqara' dan masakin. Seperti untuk membantu
pengobatan orang miskin, dan membantu mendapatkan pendidikan. Karena
bantuan tersebut juga dapat dinikmati secara langsung oleh mereka.
3. Gharimin
Pemahaman terhadap gharimin dalam sebagian besar literatur tafsir atau
fikih dibatasi pada orang yang punya hutang untuk keperluannya sendiri dan
dana dari zakat diberikan untuk membebaskannya dari hutang. Namun
beberapa pendapat membedakannya kepada dua kelompok, yaitu orang yang
berhutang untuk keperluannya sendiri dan orang yang berhutang untuk
kepentingan orang lain. Syafi'iyyah menyatakan bahwa gharim meliputi: 1)
Hutang karena mendamaikan dua orang yang bersengketa. Dana zakat dapat
diberikan untuk pengganti pengeluaran tersebut, meskipun orangnya secara
pribadi mampu; 2) Hutang untuk kepentingan pribadi, dan 3) Hutang karena
menjamin orang lain.5 Untuk dua yang terakhir, dana zakat diberikan kepada
yang berhutang kalau dia tidak mampu membayarnya.
Hutang yang disebabkan oleh kegiatan untuk kepentingan orang lain,
seperti upaya mendamaikan dua orang yang bersengketa, ia berhak
mendapatkan distribusi dana zakat untuk mengganti dana yang dikeluar-
kannya meskipun yang berhutang secara pribadi kaya. Begitu juga hutang yang
diakibatkan karena program atau kegiatan untuk kepentingan sosial, seperti
dana yayasan anak yatim, atau rumah sakit untuk pengobatan masyarakat
miskin atau sekolah untuk kaum Muslimin.6
Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa hutang yang timbul akibat
dari operasional mengurusi masalah umat Islam, atau upaya penyelesaian
sengketa dalam bentuk apa pun dapat didanai oleh dana zakat. Seperti
advokasi, penegakan HAM, perlindungan anak dan bantuan hukum, terutama
bagi umat Islam yang tidak mampu untuk mendapatkan haknya. Biaya
operasional program dimaksud tentu saja dapat didanai dengan dana zakat.
Hal itu disebabkan kegiatan tersebut termasuk pada upaya untuk menyele-
saikan sengketa dan biasanya dialami oleh masyarakat tidak mampu baik
akses atau pun ekonomi.
4. Muallaf
Muallaf pada umumnya dipahami dengan orang yang baru masuk Islam.
Namun, dilihat dari sejarahnya, pada masa awal Islam, muallaf yang diberikan
dana zakat dibagi kepada dua kelompok. 1) Orang kafir, yang diharapkan
dapat masuk Islam seperti Safwan bin Umayyah dan yang dikhawatirkan

5
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib Arba’ah, juz I, Beirut, Dar al-Fikr. 1986/1406,
h. 625-626
6
Jusuf Qardhawi. Fiqh Zakat, Beirut : Muassasah al-Risalah,. juz 2, 1412/1991. h.630

9
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

menjahati orang Islam seperti Ibn Sufyan bin Harb. 2) Orang Islam, terdiri dari
pemuka Muslim yang disegani oleh orang kafir, Muslim yang masih lemah
imannya agar dapat konsisten pada keimanannya, Muslim yang berada di
daerah musuh.7
Menurut Syafi'iyyah, muallaf adalah: 1) Muslim yang lemah imannya, agar
imannya menjadi kuat; 2) Pemuka masyarakat yang masuk Islam, diharapkan
dapat mengajak kelompoknya masuk Islam; 3) Muslim yang kuat imannya,
yang dapat mengamankan dari kejahatan orang kafir serta; 4) Orang yang
dapat menghambat tindakan jahat orang yang tidak mau berzakat.8
Pemberian zakat kepada muallaf kelihatannya dengan tujuan agar umat
Islam merasa nyaman dan terjauh dari tindakan anarkhis kelompok agama
lain. Meskipun ada perbedaan muallaf yang diberi tetapi tujuannya sama yaitu
untuk menjaga umat Islam tetap dalam keyakinannya dan menjauhkannya dari
tindakan kelompok lain yang dapat mengganggu dan merusak. At-Thabari
menyatakan bahwa hakikat pemberian zakat kepada muallaf adalah untuk
mengantisipasi hancurnya umat Islam dan mengokohkan serta menguatkan
Islam. Karena itu Rasul masih memberikan zakat pada muallaf pada saat fath
Mekah dan umat Islam sudah banyak.9 Yusuf Qardhawi mengemukakan
bahwa zakat yang diberikan kepada muallaf dengan tujuan agar hatinya tetap
dalam Islam, mengokohkan orang yang lemah imannya atau usaha untuk
menolongnya; dan menahan tindakan jahat kelompok lain.10
Dengan demikian, untuk saat sekarang dapat dipahami bahwa semua
kegiatan yang dilakukan untuk membuat umat Islam yang lemah iman tetap
dalam keyakinannya dan tidak tergoda untuk berpindah ke agama selain
Islam, dapat didanai dengan dana zakat. Karena esensi dari kegiatan tersebut
dapat dikategorikan pada pemberian dana untuk kelompok muallaf ini.
5. Amil
Muhammad Rasyid Rida mengemukakan maksud dari amil pada ayat
adalah mereka yang ditugaskan oleh imam/ pemerintah atau yang
mewakilinya untuk melaksanakan pengumpulan zakat, menyimpan atau
memeliharanya, termasuk para pengelola, dan petugas administrasi... .11
Sementara Yusuf Qardhawi_ memberikan batasan yang lebih rinci tentang amil
yaitu semua orang yang terlibat/ikut aktif dalam organisasi zakat, termasuk
penanggung jawab, para pengumpul, pembagi, bendaharawan, sekretaris, dan

7
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim (al-Manar) juz 10, Darul Fikr, t.t., h. 495,
bandingkan dengan Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jashshash, Ahkamul Qur'an, juz 3, Beirut: Darul Fikr,
1414/1993, h.181 dan Sayid Quthub, Fi Zhilalil Qur'an, jilid 3, juz 10, Beirut: Darul Syuruq, 1412/1992, h.
1669 .
8
Abdur Rahman al-Jaziri, op.cit., h. 625
9
A1-Thabari, juz l4, h. 316.
10
Yusuf Qardhawi, fiqh Zakat, juz 2, h. 609
11
Muhammad Rasyid Ri«a, op.cit., jilid 10, h. 513
10
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

sebagainya.12 Dari kedua pengertian amil tersebut dapat diketahui bahwa amil
bertugas mulai dari penentuan wajib zakat, penghitungan, dan pemungutan
zakat. Mereka juga bertugas mendistribusikan harta zakat tersebut kepada
orang yang berhak menerimanya. Namun, Ibn Rusyd memahami bahwa amil
bukan hanya terbatas pada amil zakat, tetapi termasuk juga para hakim dan
orang yang termasuk dalam pengertian mereka yang mengabdikan dirinya
untuk kepentingan umum umat Islam.13
Lebih jauh dinyatakan bahwa amil meliputi amil zakat dan yang semakna
dengan itu seperti hakim, wali, mufti, dan Iain-lain yang mengabdikan dirinya
untuk kepentingan umat. Meskipun secara pribadi mereka mampu namun
mendapatkan dana zakat sebagai kompensasi dari usaha dan kegiatan yang
mereka lakukan.14 Menurut Yusuf Qardhawi, fuqaha pada umumnya
menyatakan bahwa mereka hakim, wali, mufti dan yang semakna tidak masuk
kelompok amil. Oleh sebab itu kompensasi untuk mereka diambil dari dana
selain zakat, kecuali mereka yang termasuk fi sabilillah.15 Meskipun terdapat
perbedaan, yang pasti bahwa orang yang menyibukkan dan mengabdikan
dirinya untuk kepentingan umum umat Islam, mendapatkan dana dari zakat.
Bisa dari kelompok amil atau dari kelompok fi sabilillah. Dalam konteks
kekinian, orang yang mengurusi kepentingan umum umat Islam, apalagi untuk
memperjuangkan nasib dan ketidakberdayaan umat Islam dapat menggunakan
dana zakat sebagai kompensasi dari usaha mereka. Besarnya dana zakat yang
dipakai disesuaikan dengan berat ringannya kerja mereka.

6. Riqab
Dalam sejarahnya, jauh sebelum Islam datang riqab terjadi karena sebab
tawanan perang. Oleh sebab itu, ada beberapa cara yang digunakan untuk
membantu memerdekakan budak, seperti sebagai sanksi dari beberapa
pelanggaran terhadap aturan Islam.16 Harta zakat pun diperuntukkan bagi
budak yang masuk Islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai
manusia merdeka.

7. Sabilillah
Sabilillah pada masa awal dipahami dengan jihad fi sabilillah, namun dalam
perkembangannya sabilillah tidak hanya terbatas pada jihad, akan tetapi men-
cakup semua program dan kegiatan yang memberikan kemaslahatan pada
umat Islam. Dalam beberapa literatur secara eksplisit ditegaskan bahwa sabi-
lillah tidak tepat hanya dipahami jihad, karena katanya umum, jadi termasuk

12
Yusuf Qordhowi, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Muassasat al-Ris±lat D±r al-Qal±m, 1981), cet. Ke6,juz2,
h. 576.
13
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 276..
14
Kitab Nail wa Syarhuhu, juz 2, h. 134
15
Yusuf Qardhawi, Op.Cit. h. 593.
16
Kaffarat bagi suami isteri yang melakukan persetubuhan pada bulan Ramadhan, hukuman pengganti
qisas
11
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

semua kegiatan yang bermuara pada kebaikan seperti mendirikan benteng,


memakmur-kan masjid, termasuk mengurus mayat.17 Bahkan termasuk di
dalamnya para ilmuwan yang melakukan tugas untuk kepentingan umat Islam,
meskipun secara pribadi ia kaya.18
Dapat dipahami bahwa dana zakat untuk sabilillah, dapat diberikan
kepada pribadi yang mencurahkan perhatiannya untuk kepentingan umum
umat Islam, sebagai kompensasi dari tugas yang mereka lakukan. Di samping
itu juga diberikan untuk pelaksanaan program atau kegiatan untuk
mewujudkan kemaslahatan umum umat Islam, seperti mendirikan rumah sakit
dan pemberian layanan kesehatan. Bahkan termasuk dalam kategori ini semua
upaya pemberantasan kejahatan.

8. Ibn Sabil
Ibn sabil sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang yang
kehabisan biaya di perjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Tujuan
pemberian zakat untuk mengatasi ketelantaran, meskipun di kampung
halaman-nya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
Islam memberikan perhatian kepada orang yang terlantar. Penerima zakat
pada kelompok ini disebabkan oleh ketidakmampuan yang sementara. Jika
orang terlantar sementara saja dibantu dengan dana zakat, apalagi mereka
yang benar-benar tidak mampu tentu saja mendapatkan prioritas lebih.
Perhatian yang diberikan Islam kepada orang yang kurang mampu di
samping adanya kewajiban zakat, juga dengan memberikan ancaman kepada
orang yang tidak mengabaikan orang miskin (QS Al-Maun: 3). Perhatian juga
diberikan kepada orang yang tidak mempunyai pelindung. Dalam hadis
ditemukan bahwa Rasulullah SAW menyatakan orang yang membantu mereka
sama dengan jihad di jalan Allah.19 Pada satu sisi, penyamaan ini mungkin
pada reward yang akan diterima nanti di akhirat dan mungkin juga fasilitas
yang akan diterima di dunia. Dapat dikatakan bahwa orang yang mengerahkan
waktu dan pengetahuannya untuk membantu orang yang tidak mampu, maka
ia mendapatkan distribusi zakat seperti orang yang melakukan jihad di jalan
Allah

F. Pendayagunaan Zakat
Pembicaraan tentang sistem pendayagunaan zakat berarti membicarakan be-
berapa usaha atau kegiatan yang saling berkaitan dalam menciptakan tujuan
tertentu dari penggunaan hasil zakat secara baik, tepat dan terarah sesuai dengan
tujuan zakat itu disyariatkan. Dalam pendekatan fikih, dasar pendayagunaan
zakat umumnya didasarkan pada surah At-Taubah ayat 60.
17
Al-Razi, op.cit., h. 189 bandingkan dengan Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., h. 01.
18
Seperti yang dkutip oleh Muhammad Rasyid Ridha, ibid., h. 502
19 18
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 3, h. 2212, juz 4, h. 2435, Muslim, shahih Muslim., juz 4, h. 52-
53, al-Turmuzi, sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 224, al- Nasa'i, sunan al-Nasa'L, juz 5, h. 86-87, Ibn Majah,
sunan Ibn Majah., juz 2, h. 724, dan Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal., juz 2, h. 361.
12
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

Ayat ini menjelaskan tentang peruntukan kepada siapa zakat itu diberikan.
Para ahli tafsir menguraikan kedudukan ayat tersebut dalam uraian yang
beragam, baik terhadap kuantitas, kualitas, dan prioritas. Di antara uraian tersebut
secara singkat adalah sebagai berikut:20
a. Menurut sebagian ulama, zakat boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari
delapan golongan itu, yaitu diberikan kepada mereka yang paling
membutuhkan.
b. Menurut sebagian ulama lain, zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf dan
tidak boleh diberikan kepada selain delapan asnaf itu.
c. Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya menarik kesimpulan bahwa tidak ada
cara tertentu dan tetap, sejak masa Rasulullah SAW maupun pada masa Al-
Khulafaurrasyidin. Al-Khulafaurrasyidin menempuh kebijaksanaan sistem
prioritas.
d. Sebagian lain, tidak ada penjelasan mengenai perincian pembagian di antara 8
golongan tersebut. Ayat tersebut hanya menetapkan kategori-kategori yang
berhak menerima zakat hanya ada delapan golongan. Nabi sendiri tidak
pernah menerangkan cara pembagian itu, bahkan beliau memberi mustahik
sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan disesuaikan pula dengan
jumlah persiapan harta benda yang ada.
Penjelasan yang beragam dari para ulama terhadap maksud ayat tersebut me-
nunjukkan bahwa konsep pendayagunaan atau pihak-pihak yang berhak mene-
rima zakat, dalam penerapannya memberikan atau membuka keluasan pintu
ijtihad bagi mujtahid termasuk kepala negara dan Badan Amil Zakat, untuk men-
distribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan kebutuhan situasi dan
kondisi sesuai dengan kemaslahatan yang dapat dicapai dari potensi zakat
tersebut.
Sebagaimana dimaklumi konsep maslahat senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan umat. Untuk penentuan tingkat
kemaslahatan, biasa dikenal dengan adanya skala prioritas. Metode prioritas ini
dapat dipakai sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan fungsi alokatif dan
distributif dalam kebijaksanaan pendayagunaan zakat.
Misalnya penafsiran kata fi sabilillah dan ibn sabil, secara periodik dan
kondisional selalu berkembang sesuai kondisi. Pada waktu perang, fi sabilillah
yang secara harfiah berarti "jalan Allah", adalah berperang melawan orang-orang
kafir. Definisi tersebut untuk sekarang tentu tidak hanya itu, karena keadaan
sudah berubah dan lebih kompleks. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atau
kenegaraan yang mengabdi pada kepentingan rakyat; melindungi keamanan
warga negara dari kekuatan-kekuatan destruktif yang bertentangan dengan hak-
hak kemanusiaan dan kewarganegaraan; menegakkan keadilan hukum (yudikatif)
bagi warga negara; serta meningkatkan kualitas manusia dalam rangka
menunaikan tugas sosialnya untuk membangun peradaban di muka bumi,

20
lihat, Al-Qurtubi, al-Jami' Liahkamil Quran, Mesir: Dar al-Kitab, t.th. h, 168
13
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

merupakan bagian dari bagian maksud fi sabilillah.21 Begitu pula pengertian ibn
sabil, yang secara bahasa berarti anak jalanan atau " musafir yang kehabisan
bekal", untuk selanjutnya juga mengalami perkembangan makna. Kata ibn sabil
dapat diartikan bukan saja untuk keperluan musafir yang kehabisan bekal, tetapi
juga untuk keperluan pengungsi, bencana, dan sejenisnya.22
Dengan demikian, bahwa maksud At-Taubah ayat 60, sangat berkaitan
dengan kepentingan kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Dari ayat tersebut
dipahami bahwa Allah SWT tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara
bagian masing-masing delapan pokok alokasi (asnaf), tidak menetapkan delapan
asnaf tersebut harus diberi semuanya, tidak boleh keluar dari delapan asnaf, dan
tidak menetapkan zakat harus dibagikan dengan segera setelah masa pungutan
zakat serta tidak ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat harus
dibagikan semuanya.23

G. Hikmah dan Tujuan Pendayagunaan


Islam adalah agama rahmat dan kemanusiaan, oleh karena itu pada setiap
ajar-annya harus mengandung aspek kemaslahatan dan kemanfaatan terhadap
kehidupan manusia, termasuk dalam hal ini ajaran zakat. Sebagaimana dijelaskan
di atas, salah satu pengertian zakat adalah tumbuh atau menumbuhkan yaitu
menumbuh dan mengembangkan martabat manusia. Di sini zakat mengandung
makna pemberdayaan diri terhadap seorang yang lemah. Untuk itu zakat harus
menjadi kekuatan yang men-dorong, memperbaiki dan meningkatkan keadaan
bagi penerimanya
Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah dan
manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang
berzakat (muzakki), penerimanya (mustahik) harta yang dikeluarkan zakatnya,
maupun bagi masyarakat keseluruhan.
Dalam hal ini, para ulama telah membahas mengenai apa hikmat dan tujuan
dari adanya zakat. Di antaranya, menurut Yusuf Qardhawi, secara umum terdapat
dua tujuan dari ajaran zakat, yaitu untuk kehidupan individu dan untuk
kehidupan sosial kemasyarakatan. Tujuan yang pertama meliputi pensucian jiwa
dari sifat kikir, mengembangkan sifat suka berinfak atau memberi,
mengembangkan akhlak seperti akhlak Allah, mengobati hati dari cinta dunia
yang membabi buta, mengembangkan kekayaan batin dan menumbuhkan rasa
simpati dan cinta sesama manusia. Dengan ungkapan lain, esensi dari semua
tujuan ini adalah pendidikan yang bertujuan untuk memperkaya jiwa manusia
dengan nilai-nilai spiritual yang dapat meninggikan harkat dan martabat manusia
melebihi martabat benda, dan menghilangkan sifat materialisme dalam diri

21
Lihat, Masdar F. Mas'udi, Zakat (Pajak) Berkeadilan, Jakarta : P3M, 1993, h.160-161; Safwan Idris,
Gerakan Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Jakarta: Citra Putra Bangsa, 1997.
22
Ibid
23
Sjechul Hadi Pernomo, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1992, h. 41
14
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

manusia.24
Tujuan kedua memiliki dampak pada kehidupan kemasyarakatan secara luas.
Dari segi kehidupan masyarakat, zakat merupakan suatu bagian dari sistem
jaminan sosial dalam Islam. Kehidupan masyarakat sering terganggu oleh
problema kesenjangan, gelandangan, problema kematian dalam keluarga dan
hilangnya perlindungan, bencana alam maupun kultural dan lain sebagainya.25
Sedangkan tujuan dan hikmat lain dari zakat di antaranya adalah sebagai
berikut:26 pertama, merupakan perwujudan ketundukan, ketaatan dan rasa syukur
atas karunia Tuhan (QS At-Taubah: 103; Ar-Rum: 39; dan Ibrahim: 7); kedua, zakat
merupakan hak mustahik yang berfungsi untuk menolong, membantu dan
membina mereka ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, agar
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan dapat beribadah kepada-
Nya; ketiga, merupakan pilar amal bersama (jama'i) antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya untuk berjihad
di jalan Allah (QS Al-Baqarah: 273; Al-Maidah: 2); keempat, sebagai sumber dana
bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam,
seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi sekaligus
sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia; kelima, untuk
memasyarakatkan etika bisnis yang benar sebab zakat itu bukanlah membersihkan
harta yang kotor akan tetapi menge-luarkan bagian dari hak orang lain atas harta
kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai ketentuan Allah SWT;
keenam, merupakan salah satu instrumen/ sarana bagi pembangunan
kesejahteraan umat, pertumbuhan dan pemerataan pendapatan serta; ketujuh,
mendorong umat untuk bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta untuk
dapat memenuhi kehidupan diri dan keluarganya serta dapat berzakat/berinfak.
Dengan demikian, tujuan pendayagunaan zakat pada dasarnya apa saja yang
dapat memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat
termasuk usaha-usaha yang mengarah ke situ, maka dapat menjadi bagian dari
pendayagunaan zakat dilihat dari sisi maqashid al-syariah.
Namun demikian, belum ekspansifnya pendayagunaan zakat selama ini
untuk program-program keumatan yang "abstrak" dan berjangka panjang, boleh
jadi di samping karena keterbatasan dana juga perbedaan dalam penilaian
terhadap prioritas dari pengembangan program keumatan. Tetapi secara
konsepsional, bahwa konsep zakat dan pendayagunaan zakat bertujuan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia sehingga tercapai
kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Untuk itu segala program yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat
manusia seperti bantuan hukum, advokasi pemahaman hak-hak dan kewajiban,
pemberdayaan perempuan dan anak, serta terjaminnya lingkungan adalah
merupakan bagian dari tujuan kemaslahatan manusia, dankarenanya berhak

24
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Jakarta : Lentera, 1991, h. 848-876
25
Ibid, h. 881-917
26
Lihat, Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 10-15
15
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

mendapatkan bagian dari pendistribusian atau pendayagunaan dana zakat.

H. Manajemen Zakat
Seiring dengan perintah Allah kepada umat Islam untuk membayarkan
zakat, Islam mengatur dengan tegas dan jelas tentang pengelolaan harta zakat.
Manajemen zakat yang ditawarkan oleh Islam dapat memberikan kepastian
keberhasilan dana zakat sebagai dana umat Islam. Hal itu terlihat dalam Al-Quran
bahwa Allah memerintahkan Rasul SAW untuk memungut zakat (QS At-Taubah:
103). Di samping itu, QS At-Taubah ayat 60 dengan tegas dan jelas mengemukakan
tentang yang berhak mendapatkan dana hasil zakat yang dikenal dengan
kelompok delapan asnaf.
Dari kedua ayat tersebut di atas, jelas bahwa pengelolaan zakat, mulai dari
memungut, menyimpan, dan tugas mendistribusikan harta zakat berada di bawah
wewenang Rasul dan dalam konteks sekarang, zakat dikelola oleh pemerintah.
Dalam operasional zakat, Rasul SAW telah mendelegasikan tugas tersebut dengan
menunjuk amil zakat.
Penunjukan amil memberikan pemahaman bahwa zakat bukan diurus oleh
orang perorangan, tetapi dikelola secara profesional dan terorganisir. Amil yang
mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya, memungut, menyimpan, dan
mendistribusikan harta zakat kepada orang yang berhak menerimanya.
Pada masa Rasul SAW, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai amil
zakat. Aturan dalam At-Taubah ayat 103 dan tindakan Rasul SAW tersebut
mengandung makna bahwa harta zakat dikelola oleh pemerintah. Apalagi dalam
QS At-Taubah ayat 60, terdapat kata amil sebagai salah satu penerima zakat.
Berdasarkan ketentuan dan bukti sejarah, dalam konteks kekinian, amil tersebut
dapat berbentuk yayasan atau Badan Amil Zakat yang mendapatkan legalisasi
dari pemerintah.
Akhir-akhir ini di Indonesia, selain ada Lembaga Amil Zakat yang telah
dibentuk pemerintah berupa BAZIS mulai dari tingkat pusat sampai tingkat
kelurahan/desa, juga ada lembaga atau yayasan lain seperti Dompet Dhuafa di
Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah di Surabaya, Yayasan Daarut Tauhid di
Bandung, dan Yayasan Amil Zakat di Lampung. Bahkan sebagian yayasan
tersebut sudah dapat menggalang dana umat secara profesional dengan nominal
yang sangat besar. Dan pendayagunaan zakat sudah diarahkan untuk pemberian
modal kerja, penanggulangan korban bencana, dan pembangunan fasilitas umum
umat Islam.
Apalagi dengan situasi dan kondisi sekarang banyak sekali lembaga atau
yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah ketidakberdayaan dan ketidak-
mampuan umat Islam. Ada beberapa program yang diperuntukkan juga bagi
umat Islam yang tidak mampu seperti advokasi kebijakan publik, HAM, bantuan
hukum, pemberdayaan perempuan. Semua program tersebut memerlukan dana
yang tidak sedikit, sementara itu pendanaannya tidak mungkin dibebankan
kepada mereka

16
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

Berdasarkan kenyataan tersebut, muncul pertanyaan apakah dana dari zakat


dapat digunakan untuk pelaksanaan program yayasan atau badan yang mengurus
kepentingan umat Islam yang tak mampu secara finansial, akses, ataupun
pengetahuan. Mereka dengan segala keterbatasannya juga harus dibantu. Program
tersebut pun memerlukan dana operasional, bahkan mereka yang membantu pun
perlu dana. Pada satu sisi, penerima zakat telah ditetapkan secara tegas dan jelas,
yang sebagian orang memahami tidak mungkin keluar dari aturan tersebut.
Apabila asnaf yang ditetapkan dalam QS At-Taubah ayat 60 tersebut dipahami
secara tekstual, ada asnaf yang tidak dapat diaplikasikan sekarang, yaitu riqab.
Riqab adalah budak Muslim yang telah dijanjikan untuk merdeka kalau ia telah
membeli dirinya. Begitu juga dengan fuqara', masakin, dan gharimin. Pemahaman
tekstual akan menyebabkan tujuan zakat tidak tercapai, karena pemberian dana
zakat kepada yang bersangkutan sifatnya hanya charity. Masalah krisis ekonomi
yang dihadapi sebagian umat Islam yang memerlukan bukan hanya bagaimana
kebutuhan dasarnya terpenuhi. Akan tetapi bagaimana mengatasi krisis tersebut
dengan mengatasi penyebab munculnya krisis.
Dengan demikian, untuk pencapaian tujuan zakat dan hikmah pewajiban
zakat, maka pemahaman kontekstual dan komprehensif terhadap delapan asnaf
penerima zakat perlu dilakukan, sehingga kelompok yang berhak mendapatkan
dana zakat dapat menerima haknya

I. Potensi Dana Zakat


Harapan aktifitas gerakan Islam untuk mendapatkan sokongan dana Zakat
bagi lembaga dan kegiatannya tidaklah berlebihan. Kita sadar bahwa dana Zakat
di Indonesia cukup besar dan berpotensi menjadi salah satu sumber pendanaan
bagi lembaga dan program sosial keagamaan. Pada masanya Menteri Agama Said
Aqiel Munawar menyatakan bahwa potensi dana zakat di Indonesia per tahunnya
mencapai Rp 7,5 triliun. Sementara hasil survei yang dilakukan PIRAC mengenai
Pola & Kecenderungan Masyarakat Berzakat di 11 kota besar menyebutkan bahwa
nilai zakat per muzakki sebesar Rp 124.200/ tahun. Sedangkan nilai zakat yang
dibayarkan berkisar antara Rp 44.000 sampai Rp 339.000 per tahun. Dari data
tersebut PIRAC memperkirakan jumlah dana ZIS yang tergalang di Indonesia
berjumlah sekitar Rp 4 triliun.
Besarnya potensi dana ZIS ini dikarenakan ajaran agama menjadi motivasi
utama masyarakat untuk berderma. Hal ini tercermin dari salah satu hasil survei
"Potensi dan Perilaku Masyarakat dalam Menyumbang" yang dilakukan PIRAC {Public
Interest Research and Advocacy Center) di 11 kota besar di Indonesia. Salah satu temuan
menarik dari survei yang melibatkan 2.500 orang responden tersebut adalah
dominannya peran ajaran agama dalam mempe-ngaruhi seseorang untuk
menyumbang. Hampir seluruh responden (99%) mengaku menyumbang karena
dorongan ajaran agama. Kegiatan keagamaan juga mendapatkan porsi sum-
bangan yang cukup besar karena sebagian besar dari responden (84%) mengaku
pernah menyumbang untuk organisasi keagamaan atau kegiatan keagamaan.

17
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

Hanya sebagian kecil saja (16%) yang mengaku dalam setahun terakhir ini tidak
pernah menyumbang organisasi atau kegiatan keagamaan. Sedangkan rata-rata
jumlah sumbangan untuk organisasi atau kegiatan keagamaan pun relatif besar yaitu
mencapai Rp 304.679 per tahun atau setara dengan US$ 34 (jika 1 US$ = Rp 10.000).
Tentu hal yang demikin tidak akan jauh berbeda di kalangan masyarakat VII Koto
talago, karena disadari betul bagaimana kuatnya motivasi dan pengaruh agama
dalam kehidupan masyarakat.
Meski potensinya besar, sebagian besar dana ZIS itu memang belum terkelola
secara baik. Penggalangan ZIS umumnya dilakukan oleh tempat ibadah atau
lembaga sosial. Lembaga resmi yang didirikan oleh pemerintah adalah BAZIS
yang berkedudukan di setiap propinsi sampai ke tingkat desa/kelurahan. Lembaga
lain yang juga terlibat dalam pengelolaan dana umat adalah mesjid-mesjid,
yayasan dan lembaga sosial umat Islam lainnya. Pengumpulan dana ZIS
umumnya dilakukan secara konvensional, dengan menerima dana yang masuk,
dan biasanya dilakukan pada waktu tertentu, misalnya menjelang hari raya Idul
Fitri atau Idul Adha.
Namun, dalam 10 tahun terakhir ada kemajuan yang cukup pesat dalam
penggalangan dana ZIS yang dilakukan oleh beberapa lembaga sosial Islam.
Beberapa lembaga seperti Yayasan Dompet Dhuafa (DD) di Jakarta, Yayasan Dana
Sosial Al-falah (YDSF) di Surabaya, Yayasan Darut Tauhid (DT) di Bandung, Pos
Keadilan Peduli Umat (PKPU) di Jakarta, dan Rumah Zakat Indonesia di Bandung,
melakukan penggalangan dana ZIS secara profesional dan inovatif. Seperti
layaknya lembaga filantropi modern, mereka menggunakan strategi direct mail
(penggalangan dana lewat surat), media campaign (penggalangan dana lewat
kampanye di media), membership (merekrut donatur menjadi anggota lembaga atau
partisipan program), special event (menggalang dana lewat kegiatan atau event
khusus) dan strategi modern lainnya dalam menggalang dana Zakat, Infak,
Sedekah, Wakaf, dan Qurban.
Berbagai terobosan yang dilakukan lembaga-lembaga sosial tersebut bisa
dibilang sebagai langkah yang reformatif dalam pengelolaan dana ZIS.
Sebelumnya, proses pengumpulan ZIS umat yang dilakukan oleh berbagai
lembaga sosial lebih bersifat konvensional dan biasanya sangat pasif. Mereka
hanya menunggu masyarakat yang datang untuk menyalurkan dananya.
Lembaga semacam ini biasanya mengalami "booming" pemasukan pada saat
Ramadhan. Mereka juga cenderung hati-hati dalam mengelola dananya dan
program-program yang digarap terbatas pada penyaluran dana dan pemberian
bantuan.
Berbeda dengan lembaga sosial lainnya, kelima lembaga itu tidak hanya
menggunakan strategi konvensional dalam menjaring dana umat, tapi juga
mencari terobosan yang baru dan bersifat inovatif. Mereka secara aktif mencari
dan mendatangi orang-orang yang berpotensi untuk berderma, melakukan
campaign di berbagai media dan mengenalkan lembaga dan program-programnya
dengan cara presentasi atau membagikan brosur ke berbagai instansi dan
perusahaan. Berbagai seminar, kegiatan amal, dan kegiatan lainnya gencar
18
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

dilakukan dalam rangka positioning dan menumbuhkan brand image kepada


masyarakat.
Program penggalangannya juga dikemas dengan canggih dan inovatif sehing-
ga menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi. Dompet Dhuafa, misalnya,
meluncurkan program Zakat On-line dan Internet Banking yang memungkinan
donatur untuk membayarkan zakatnya lewat internet atau lewat debet rekening.
Mereka juga menggunakan email atau SMS (short message service) untuk mengga-
lang dana dari masyarakat. Sedangkan DPU Daarut Tauhiid menggunakan radio
campaign lewat Radio MQ dan program televisi yang dikelolanya untuk mengga-
lang dana masyarakat.
Kesan profesionalisme juga nampak dengan adanya divisi khusus penggalang
dana atau divisi pemasaran yang menjadi semacam "mesin pencari" dana bagi
kelima lembaga tersebut. Lewat divisi inilah berbagai program yang berkaitan
dengan penggalangan dana digarap, seperti merancang strategi fundraising,
melakukan kampanye, mencari donatur baru, menyusun data base, dan kegiatan
lainnya. Didukung oleh tenaga-tenaga muda yang profesional dan struktur
lembaga yang ramping dan efisien, mereka tampil lebih progresif dan berusaha
untuk mempelopori berbagai terobosan baru di bidang pengelolaan Zakat.
YDSF, misalnya, memiliki departemen marketing yang membawahi Jupen
(juru penerang /semacam humas) dan Jungut (juru pungut) yang terjun langsung
ke lapangan untuk mencari donatur baru dan memungut dananya secara teratur.
Sementara DD mengembangkan pola marketing murni dalam pencarian donatur
lewat direktorat penghimpunan. Direktorat ini membawahi divisi corporate
marketing yang menggalang dana dari perusahaan dan divisi retail marketing yang
menangani donor individual. DD juga punya beberapa sales marketing yang terjun
ke berbagai tempat untuk mencari donatur.
Dalam menjalankan aktivitasnya, kelima lembaga itu juga benar-benar
menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat, khususnya para
donatur. Karena itulah, mereka selalu berupaya menjalankan pririsip transparansi
dan keterbukaan dalam mengelola dana yang diterima dari masyarakat. Di
kalangan lembaga pengelola dana umat, kelimanya mempelopori proses
transparansi ini dengan melibatkan akuntan publik independen pada proses audit
laporan keuangannya. Mereka juga secara rutin melaporkan pemasukan dan
pemanfaatan dananya kepada para donatur, secara langsung maupun lewat
publikasi media.
Sayangnya, kemajuan dalam hal penggalangan ini tidak diimbangi dengan
terobosan baru di bidang distribusi atau pemanfaatan. Pemanfaatan dana umat
sampai saat ini masih terbatas pada masalah-masalah charity. Program yang dila-
kukan biasanya berkutat pada pembangunan mesjid dan madrasah, penyantunan
fakir miskin, anak yatim, dan bantuan untuk masyarakat korban bencana.
Sementara program-program lain yang sebenarnya juga penting dan menjadi
agenda umat Islam, seperti advokasi kebijakan publik, bantuan hukum, HAM,
perlindungan anak, pelestarian lingkungan, pemberdayaan perempuan, pengem-
bangan seni dan budaya dan program-program lainnya, kurang mendapat
19
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

dukungan dana. Minimnya dukungan dana terhadap persoalan-persoalan tersebut


disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, pola menyumbang masyarakat yang karitatif atau lebih mendukung
program-program yang sifatnya penyantunan. Pola menyumbang semacam ini
bisa kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pola semacam ini juga tergambar dari
hasil survei Pola dan Kecenderungan Masyarakat Berzakat yang dilakukan PIRAC di
11 kota besar di Indonesia. Dari 1.837 masyarakat Muslim yang menjadi
responden, hampir separuh (46%) di antaranya memilih menyalurkan zakatnya
pada golongan fakir miskin yang dianggapnya sebagai golongan yang harus
diprioritaskan dalam mendapatkan zakat. Golongan lain yang juga banyak
mendapatkan penyaluran zakat adalah yatim piatu (39%). Di luar kedua golongan
ini, penyaluran zakat juga diberikan pada beberapa kelompok lainnya dengan
prosentase yang lebih rendah adalah janda yang tidak mampu (6%), orang tua
jompo (3%), orang yang butuh biaya sekolah (2%), ibnu sabil (1%) dan kelompok
asnaf lainnya (3%).

Tabel 1. Kelompok Penerima Zakat

Penerima utama zakat Prosentase


Fakir Miskin 46
Yatim Piatu 39
Janda tidak mampu 6
Orang tua jompo 3
Butuh biaya sekolah 2
Ibnu Sabil 1
Lain-lain (muallaf, orang 3
berutang)
Pola menyumbang yang karitatif ini juga terjadi saat mereka menyumbang
lewat yayasan atau lembaga sosial keagamaan. Masyarakat umumnya lebih suka
menyumbang kepada organisasi-organisasi yang program atau kegiatannya
berkaitan erat atau bersentuhan langsung dengan dirinya dan penderitaan orang
lain, seperti organisasi pelayanan sosial, organisasi yang mengurusi perbaikan di
kawasan perumahan dan kampung halaman, dan organisasi sekolah. Sebaliknya
kepada organisasi yang bidang kegiatannya tidak berkaitan langsung dengan
kepentingan-nya, seperti organisasi seni dan kebudayaan, organisasi penyela-
matan lingkungan hidup, organisasi peningkatan derajat kesehatan, organisasi
bisnis dan kegiatan olah raga, hanya sebagian kecil masyarakat yang pernah
menyumbangnya.
Kedua, prioritas program dan cara pemecahannya. Minimnya dukungan dana
terhadap organisasi atau kegiatan tertentu, advokasi misalnya, karena masyarakat

20
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

atau lembaga pengelola Zakat belum melihat program-program advokasi sebagai


salah satu prioritas utama yang perlu didukung. Mereka melihat sektor ekonomi,
pendidikan, penyantunan kaum miskin dan korban bencana, sebagai program
atau kegiatan yang selayaknya harus diprioritaskan. Karenanya, mereka
menganggap persoalan-persoalan lain di luar itu belum menjadi persoalan umat
Islam dan belum layak mendapat dukungan pendanaan. Pemilihan prioritas ini
terkait dengan tingkat pendidikan dan pemahaman masyarakat dalam memahami
masalah sosial dan solusi pemecahannya.
Sayangnya, pemecahan masalah untuk program atau persoalan yang
dianggap prioritas itu selalu dilakukan dengan pendekatan karitas. Misalnya,
dalam kasus banjir yang melanda Jakarta beberapa waktu lalu, masyarakat dan
lembaga pengelola Zakat berbondong-bondong memberikan sumbangan atau
Zakat untuk korban bencana. Upaya semacam ini tidak sepenuhnya salah karena
korban bencana itu memang butuh pertolongan. Masalahnya, problem banjir tidak
bisa diatasi hanya dengan memberikan santunan kepada korban musibah tersebut.
Upaya penyelesaian semacam itu hanya bersifat parsial, jangka pendek dan tidak
bisa menuntaskan persoalan secara umum. Dengan pola penyelesaian semacam
itu, dipastikan tahun depan masyarakat kembali harus memberikan santunan
karena akar masalahnya tidak terpecahkan dan banjir kembali terjadi. Masyarakat
perlu disadarkan bahwa bencana itu timbul karena rusaknya keseimbangan
lingkungan, minimnya kesadaran masyarakat, serta korupnya pemerintah daerah
dalam penataan wilayah. Persoalan-persoalan itulah yang mestinya harus diatasi
lewat program advokasi. Pendeknya, kalau masyarakat atau lembaga pengelola
Zakat mau membantu korban banjir lewat Zakat yang disalurkannya, mereka
tidak bisa sekedar memberikan santunan, tapi juga harus mendukung dan
mendanai program advokasi untuk mengatasi masalah tersebut.
Ketiga, pemahaman teologi atau ajaran keagamaan. Faktor ketiga ini juga
berkontribusi terhadap faktor pertama dan kedua. Pemahaman ajaran keagamaan
yang sempit yang berkaitan dengan pendayagunaan Zakat, baik oleh masyarakat
donatur maupun lembaga pengelola Zakat, juga menjadi penyebab tidak
optimalnya pendayagunaan dana Zakat. Hal ini tercermin dari pandangan
sebagian besar masyarakat bahwa "surga" menyumbang terletak pada kasus atau
program penyantunan fakir miskin, anak yatim, orang jompo, korban bencana dan
seba-gainya. Mereka melakukannya karena kelompok-kelompok tersebut secara
eks-plisit disebutkan dalam Al-qur'an sebagai golongan yang lebih berhak
menerima Zakat. Hal itu tidak berlaku bagi orang atau organisasi sosial yang
bergerak di bidang pemberdayaan perempuan, advokasi hukum dan HAM,
perlindungan konsumen, perlindungan anak, seni budaya atau pelestarian
lingkungan, karena mereka dianggap bukan golongan atau cause yang berhak
mendapatkan Zakat. Hal yang sama juga dilakukan oleh lembaga pengelola Zakat
dalam mengelola dan menyalurkan dana sosial yang diperolehnya dari
masyarakat
Dalam penyaluran zakat, misalnya, mereka masih berpegang pada pedoman
"8 asnaf (delapan kelompok yang berhak menerima zakat) dengan pemaknaan
21
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama

yang kaku. Akibatnya, program-program advokasi yang secara eksplisit tidak


tercantum dalam "8 asnaf sama sekali tidak mendapatkan dukungan pendanaan
dari mereka. Penyaluran dananya juga lebih difokuskan pada orang, bukan pada
lembaga atau cause-nya. Karena itu, jarang ada pemberian dana zakat pada
lembaga atau organisasi yang bergerak atau berjuang di "8 asnaf tersebut.
Dengan pola pendayagunaan semacam ini, terjadi ketimpangan dalam
pendistribusian dana maupun dukungan. Lembaga-lembaga sosial Islam yang
bergerak di bidang charity atau penyantunan mendapatkan banyak dukungan,
sementara organisasi-organisasi Islam yang bergerak di bidang pemberdayaan
masyarakat, misalnya advokasi kebijakan yang tidak Islami, pemberian bantuan
hukum dan pembelaan bagi umat Islam yang tertindas, pemberdayaan
perempuan, perlindungan anak, pelestarian lingkungan, ataupun pengembangan
seni dan budaya Islam, tak banyak mendapatkan sokongan. Akibatnya, mereka
lebih suka mencari bantuan dari lembaga dana internasional, ketimbang
menggalangnya dari lembaga sosial Islam maupun dari masyarakat.
Agar pendistribusian dana Zakat juga bisa berkembang seperti layaknya
upaya penggalangannya, sebagian ulama dan praktisi Zakat memandang
perlunya dilakukan reinterpretasi atau perluasan wacana terhadap pendaya-
gunaan dana Zakat. Misalnya, perluasan wacana mengenai kemungkinan
pemanfaatan dana-dana umat (zakat, inf ak dan sedekah) untuk kegiatan-kegiatan
yang berdampak jangka panjang (seperti pemberdayaan kaum perempuan,
perlindungan hak anak-anak, pelestarian lingkungan hidup, dan sebagainya).
Berkaitan dengan persoalan tersebut, PIRAC (Public Interest Research and
Advocacy Center) sebagai lembaga yang peduli dengan pengembangan filantropi
(kedermawanan) di Indonesia mengundang beberapa ulama, akademisi,
pemerhati dan praktisi Zakat untuk memberikan pemikirannya seputar perluasan
dan aktualisasi wacana pendayagunaan Zakat. Kumpulan pandangan dan
pemikiran mereka yang disajikan dalam bentuk tulisan kemudian diterbitkan
dalam bentuk. buku dengan judul: Reinterpretasi Pendayagunaan Zakat. Buku ini
diharapkan bisa membuka cakrawala dan pemahaman baru masyarakat / muzakki
dan pegiat lembaga pengelola Zakat dalam menyalurkan dana sosialnya.
Sumbangan pemikiran itu juga diharapkan bisa memecahkan kekakuan dalam
pemaknaan dan penafsiran hukum Islam yang berkaitan dengan pendayagunaan
dana ZIS. Dengan demikian, di masa mendatang pemanfaatan dana Zakat tidak
lagi hanya terfokus pada program atau masalah yang sifatnya karitatif, tapi juga
mendanai program advokasi kebijakan, bantuan hukum, lingkungan, anak,
perempuan, HAM, seni dan budaya, serta program-program lain yang sifatnya
jangka panjang.
J. Penutup
Dari urai di atas terlihat bahwa dana zakat dapat didistribusikan kepada
orang tak mampu atau lembaga yang tujuannya memberikan bantuan untuk
meringankan himpitan ekonomi, membantu mereka untuk mendapatkan haknya
dan untuk tujuan kemaslahatan umum dan kesejahteraan bersama.
Wallahu A’lam bi al-Shawab.
22

You might also like