Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan bagi pembangunan kesejahteraan umat. Ajaran zakat ini
memberikan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya kekuatan sosial ekonomi
umat. Kandungan ajaran zakat ini memiliki dimensi yang luas dan kompleks,
bukan saja mengandung nilai-nilai ibadah, moral, spiritual, dan ukhrawi, melainkan
juga nilai-nilai ekonomi dan duniawi.
Beragamnya nilai-nilai yang terkandung dari ajaran zakat tersebut, memberi-
kan landasan (hujjah) yang kuat dan rasional bagi pemberdayaan dan pengem-
bangan kehidupan masyarakat secara menyatu dan menyeluruh dari potensi
zakat. Teraktualisasikannya nilai-nilai tersebut, dapat memberikan manfaat yang
sangat besar bagi pembangunan dan peningkatan harkat dan martabat manusia
serta membangun peradaban secara hanif.
Namun, tentu saja kita menyadari bahwa dalam perjalanan sejarah masyara-
kat Islam, kandungan nilai-nilai tersebut baik secara teoritis maupun aplikatif
mengalami dinamika sesuai dengan situasi dan kondisi (dhuruf wa zaman). Bahkan
tidak bisa dipungkiri bahwa pada sebagian masyarakat terjadi stagnasi atau
kebekuan dalam pengungkapan kandungan nilai-nilai tersebut. Akses informasi
dan pembelajaran yang tidak merata menimbulkan "kejumudan" yang berkepan-
jangan sehingga mengakibatkan pemahaman yang parsial dari hakikat ditetap-
kannya ajaran zakat ini.
Kita mengetahui bahwa Tuhan memberikan suatu kewajiban pada umat
manusia bertujuan untuk membawa kebaikan bagi manusia itu sendiri. Begitu
pula konsep zakat, terdapat tujuan dan hikmah secara intrinsik dari ajaran itu.
Menelaah konsep zakat dari sisi tujuan dan hikmahnya akan membuat zakat lebih
relevan aktualisasinya dalam masyarakat. Kurangnya pemahaman terhadap
tujuan dan hikmah dari pelaksanaan zakat dapat menghilangkan kekuatan dorong
(ghirah) dari adanya konsep zakat itu sendiri. Dengan menjadikan tujuan dan
hikmah zakat sebagai pengembangan konsep zakat, maka kita mengharapkan
terjadinya sintesa di antara berbagai ketentuan yang bersifat parsial dalam
penentuan konsep zakat sehingga terwujud konsep yang integral tentang materi
zakat dan ahlinya.
Berkaitan dengan hal tersebut, pengkajian yang terus-menerus dan penerapan
yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pada zamannya, akan sangat berarti
bagi percepatan proses pemberdayaan dan pembangunan tersebut. Tulisan ini
merupakan kajian awal memahami konsep zakat khususnya berkaitan dengan
pendayagunaan zakat (tasharruf al-zakah) khususnya untuk mengembangkan
perekonomian mayarakat.
1
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
B. Pengertian Zakat
Zakat secara bahasa berarti suci (ath-thaharah), tumbuh dan berkembang (al-
nama'), keberkahan (al-barakah), dan baik (thayyib). Sedangkan dalam rumusan
fikih, zakat diartikan sebagai "sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah
untuk diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan
persyaratan tertentu".
Rumusan definisi tersebut bila dihubungkan dengan pengertian secara
kebahasaan menunjukkan bahwa harta yang dikeluarkan untuk berzakat akan
menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 103; Al-An'am
ayat 141 dan; Ar-Rum ayat 39. Di samping diungkapkan dengan kata-kata zaka,
prinsip zakat juga disampaikan dengan kata shadaqah dan infak, seperti dalam surat
At-Taubah ayat: 60,34, dan 103
Zakat adalah rukun Islam yang ketiga. Di dalam zakat terkandung potensi
sosial yang cukup besar berupa pembagian kemakmuran yang merata sehingga
berkuranglah rasa iri hati dan rasa tidak puas di antara mereka yang
berkekurangan terhadap mereka yang berkelebihan, di antara simiskin dengan
sikaya.
Dengan zakat, harta/kekayaan tidak akan dimonopoli dalam penguasaan
orang-orang kaya dan berada saja. Al-Quran menyatakan “Agar supaya harta itu
tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (Al-Hasyr : 7).
Dengan zakat terjalin pula rasa kasih sayang dan hidup tolong-menolong antara
kalangan orang yang berada dengan kalangan orang yang tidak berada. Ia juga
akan memupuk iman, memupuk kesadaran beribadah, membina watak dan
mental, menghindari sikap kikir dan perbuatan dhalim.
C. Kewajiban Berzakat.
Kenapa kita harus berzakat ? Kewajiban adanya zakat berkaitan dengan
konsep istikhlaf, al-maal, dan al-milk dalam Islam. Ketiga konsep tersebut saling
berkaitan dan memiliki implikasi fungsional bagi manusia. Di samping fungsi
untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga juga untuk meningkatkan
pengabdian kepada Allah SWT melalui sarana beramal, baik yang mahdhah
(hubungan vertikal) dengan Allah maupun ghair mahdhah (hubungan horisontal)
dengan sesama ciptaan-Nya.
Tugas kekhalifahan/istikhlaf manusia secara umum adalah tugas mewujud-
kan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (QS Al-
An'am:165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (QS Adz-Dzariyat:
56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah memberikan manusia anugerah
sistem kehidupan dan sarana kehidupan (QS Luqman: 20).
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan Islam merupa-
kan hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif,
sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuannya (QS Al-Hadid: 7 dan QS An-Nur: 33). Harta yang dianggap sebagai
2
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
1
Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa shalat tetapi tidak membayar zakat, maka shalatnya tidak
bernilai". Lihat Abu Ubaid, Kitab al-Amwal, h. 492.
3
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
pada jumlah tertentu (senisab, punya potensi untuk berkembang dan melebihi
kebutuhan pokoknya. Hal ini antara lain dapat dicermati dari ayat-ayat al-
Quran antara lain :
- al-Maarij/70 : 240,
- al-Zariyat/51 : 19,
- al-Taubah/9 : 34, 35 dan 103,
- al-Ra'du/13 : 22 dan
- Fathir/35 : 29.
Setidak-tidaknya ada beberapa term yang digunakan oleh al-Quran ketika
membicarakan harta yang wajib dizakatkan, yaitu sekali waktu al-Quran me-
nyebutnya dengan amwal, sekali waktu al-Quran menyebutnya rizki. Kadang-
kala al-Quran menyebutnya dengan kanzun dan zira'at.
Di dalam kitab Lisanul Arab amwal itu diartikan dengan segala sesuatu yang
dimiliki. Yusuf al-Qardawi memaknainya dengan segala sesuatu yang diinginkan
sekali oleh manusia menyimpan dan memilikinya. Sedangkan mazhab Hanafi
memberikan makna dengan segala sesuatu yang dipunyai dan dimanfaatkan.
Disamping itu rizki diartikan dengan apa-apa yang diberikan oleh Allah
kepada hambanya yang dapat dimanfaatkan/lazim dipergunakan untuk menja-
ga existensi dirinya. Sedangkan kanzun dapat dimaknai dengan harta yang su-
dah diringkas dan dapat dikantongi atau dikarungi (alat penyimpan nilai-mata
uang).
Apa yang dibicarakan al-Quran menyangkut harta yang diwajibkan untuk
dizakatkan adalah apa yang terangkum dalam pengertian mal, rezki secara
umum (global). Sedangkan rinciannya baru kita temukan dalam hadis-hadis
Rasulullah. Yang jadi persoalan kemudian adalah bagaimana kita harus
memahami hadis-hadis tersebut, apakah akan dipahami sebagai takhsis ataukah
hanya sebagai
bayan.
Imam al-Syaukani, Ibn Hazm dkknya lebih memaknainya sebagai takhsis,
sehingga mereka berpendapat bahwa barang yang wajib dizakatkan itu hanyalah
yang telah dirinci oleh hadis-hadis Rasulullah. Argumentasi yang mereka
pergunakan adalah :
- kekayaan muslim haruslah dijaga kehormatannya, oleh sebab itu ia tidak
dapat diambil tanpa ada nash (secara eksplisit) yang memerintahkannya.
- karena zakat itu adalah kewajiban agama (ibadah) maka ia harus terhindar
dari kewajiban kecuali ada nash yang mewajibkannya.
Sedangkan kelompok Hanafiah, Yusuf Qardawi dkk lebih memaknai hadis-
hadis tsb sebagai bayan, sehingga mereka berpendapat bahwa barang yang
wajib dizakati itu adalah semua yang terangkum dalam pengertian mal, rezki,
kanzun dll itu setelah menjadi kekayaan seseorang. Argumentasi yang mereka aju-
kan adalah antara lain :
- teks-teks global al-Quran.
- semua orang kaya perlu membersihkan diri dan hartanya
- zakat diperintahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok fakir miskin
4
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
5
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
E. Mustahiq Zakat
6
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
Zakat merupakan ibadah yang memiliki dua sisi. Pada satu sisi zakat
merupakan ibadah yangberfungsi sebagai penyucian terhadap harta dan diri
pemiliknya,2 pada sisi lain zakat mengandung makna sosial yang tinggi.3 Dengan
semakin luasnya objek zakat dengan jenis usaha yang sangat variatif di bidang
pertanian, perindustrian, peternakan, dan profesi, semakin besar peluang untuk
penggalangan dana dari sektor zakat. Akan tetapi kesuksesan dalam
penggalangan dana saja tidak akan mencapai sasaran, jika pendistribusian dana
zakat tidak dikelola secara profesional.
Kenyataan di lapangan, pendistribusian zakat merupakan salah satu faktor
yang dijadikan tolok ukur bagi umat Islam untuk memilih lembaga yang
dipercaya dalam pengelolaan zakat. Kekhawatiran umat Islam bahwa dana yang
ada sampai atau tidak kepada yang berhak sering menjadi penyebab kurang
berdayanya lembaga amil yang ada. Mungkin ini yang diisyaratkan oleh QS At-
Taubah ayat 60 yang menekankan pada pendistribusian harta zakat bukan pada
upaya penggalangannya.
2
QS At-Taubah: 103
3
QS Az-Zariyat: 19
4
Abd Al-Rahman Jalal al-Din al-Suyuthi, AL-Dur al-Mantsurfi Tafsir al-Ma 'tsur, Beirut: Dar al-Fikr,
1414/1993, Jilid 4, juz 10, h. 220.
7
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
8
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
5
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala al-Mazahib Arba’ah, juz I, Beirut, Dar al-Fikr. 1986/1406,
h. 625-626
6
Jusuf Qardhawi. Fiqh Zakat, Beirut : Muassasah al-Risalah,. juz 2, 1412/1991. h.630
9
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
menjahati orang Islam seperti Ibn Sufyan bin Harb. 2) Orang Islam, terdiri dari
pemuka Muslim yang disegani oleh orang kafir, Muslim yang masih lemah
imannya agar dapat konsisten pada keimanannya, Muslim yang berada di
daerah musuh.7
Menurut Syafi'iyyah, muallaf adalah: 1) Muslim yang lemah imannya, agar
imannya menjadi kuat; 2) Pemuka masyarakat yang masuk Islam, diharapkan
dapat mengajak kelompoknya masuk Islam; 3) Muslim yang kuat imannya,
yang dapat mengamankan dari kejahatan orang kafir serta; 4) Orang yang
dapat menghambat tindakan jahat orang yang tidak mau berzakat.8
Pemberian zakat kepada muallaf kelihatannya dengan tujuan agar umat
Islam merasa nyaman dan terjauh dari tindakan anarkhis kelompok agama
lain. Meskipun ada perbedaan muallaf yang diberi tetapi tujuannya sama yaitu
untuk menjaga umat Islam tetap dalam keyakinannya dan menjauhkannya dari
tindakan kelompok lain yang dapat mengganggu dan merusak. At-Thabari
menyatakan bahwa hakikat pemberian zakat kepada muallaf adalah untuk
mengantisipasi hancurnya umat Islam dan mengokohkan serta menguatkan
Islam. Karena itu Rasul masih memberikan zakat pada muallaf pada saat fath
Mekah dan umat Islam sudah banyak.9 Yusuf Qardhawi mengemukakan
bahwa zakat yang diberikan kepada muallaf dengan tujuan agar hatinya tetap
dalam Islam, mengokohkan orang yang lemah imannya atau usaha untuk
menolongnya; dan menahan tindakan jahat kelompok lain.10
Dengan demikian, untuk saat sekarang dapat dipahami bahwa semua
kegiatan yang dilakukan untuk membuat umat Islam yang lemah iman tetap
dalam keyakinannya dan tidak tergoda untuk berpindah ke agama selain
Islam, dapat didanai dengan dana zakat. Karena esensi dari kegiatan tersebut
dapat dikategorikan pada pemberian dana untuk kelompok muallaf ini.
5. Amil
Muhammad Rasyid Rida mengemukakan maksud dari amil pada ayat
adalah mereka yang ditugaskan oleh imam/ pemerintah atau yang
mewakilinya untuk melaksanakan pengumpulan zakat, menyimpan atau
memeliharanya, termasuk para pengelola, dan petugas administrasi... .11
Sementara Yusuf Qardhawi_ memberikan batasan yang lebih rinci tentang amil
yaitu semua orang yang terlibat/ikut aktif dalam organisasi zakat, termasuk
penanggung jawab, para pengumpul, pembagi, bendaharawan, sekretaris, dan
7
Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim (al-Manar) juz 10, Darul Fikr, t.t., h. 495,
bandingkan dengan Abu Bakar Ahmad al-Razi al-Jashshash, Ahkamul Qur'an, juz 3, Beirut: Darul Fikr,
1414/1993, h.181 dan Sayid Quthub, Fi Zhilalil Qur'an, jilid 3, juz 10, Beirut: Darul Syuruq, 1412/1992, h.
1669 .
8
Abdur Rahman al-Jaziri, op.cit., h. 625
9
A1-Thabari, juz l4, h. 316.
10
Yusuf Qardhawi, fiqh Zakat, juz 2, h. 609
11
Muhammad Rasyid Ri«a, op.cit., jilid 10, h. 513
10
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
sebagainya.12 Dari kedua pengertian amil tersebut dapat diketahui bahwa amil
bertugas mulai dari penentuan wajib zakat, penghitungan, dan pemungutan
zakat. Mereka juga bertugas mendistribusikan harta zakat tersebut kepada
orang yang berhak menerimanya. Namun, Ibn Rusyd memahami bahwa amil
bukan hanya terbatas pada amil zakat, tetapi termasuk juga para hakim dan
orang yang termasuk dalam pengertian mereka yang mengabdikan dirinya
untuk kepentingan umum umat Islam.13
Lebih jauh dinyatakan bahwa amil meliputi amil zakat dan yang semakna
dengan itu seperti hakim, wali, mufti, dan Iain-lain yang mengabdikan dirinya
untuk kepentingan umat. Meskipun secara pribadi mereka mampu namun
mendapatkan dana zakat sebagai kompensasi dari usaha dan kegiatan yang
mereka lakukan.14 Menurut Yusuf Qardhawi, fuqaha pada umumnya
menyatakan bahwa mereka hakim, wali, mufti dan yang semakna tidak masuk
kelompok amil. Oleh sebab itu kompensasi untuk mereka diambil dari dana
selain zakat, kecuali mereka yang termasuk fi sabilillah.15 Meskipun terdapat
perbedaan, yang pasti bahwa orang yang menyibukkan dan mengabdikan
dirinya untuk kepentingan umum umat Islam, mendapatkan dana dari zakat.
Bisa dari kelompok amil atau dari kelompok fi sabilillah. Dalam konteks
kekinian, orang yang mengurusi kepentingan umum umat Islam, apalagi untuk
memperjuangkan nasib dan ketidakberdayaan umat Islam dapat menggunakan
dana zakat sebagai kompensasi dari usaha mereka. Besarnya dana zakat yang
dipakai disesuaikan dengan berat ringannya kerja mereka.
6. Riqab
Dalam sejarahnya, jauh sebelum Islam datang riqab terjadi karena sebab
tawanan perang. Oleh sebab itu, ada beberapa cara yang digunakan untuk
membantu memerdekakan budak, seperti sebagai sanksi dari beberapa
pelanggaran terhadap aturan Islam.16 Harta zakat pun diperuntukkan bagi
budak yang masuk Islam untuk mendapatkan hak kemerdekaannya sebagai
manusia merdeka.
7. Sabilillah
Sabilillah pada masa awal dipahami dengan jihad fi sabilillah, namun dalam
perkembangannya sabilillah tidak hanya terbatas pada jihad, akan tetapi men-
cakup semua program dan kegiatan yang memberikan kemaslahatan pada
umat Islam. Dalam beberapa literatur secara eksplisit ditegaskan bahwa sabi-
lillah tidak tepat hanya dipahami jihad, karena katanya umum, jadi termasuk
12
Yusuf Qordhowi, Fiqh al-Zakah, (Beirut: Muassasat al-Ris±lat D±r al-Qal±m, 1981), cet. Ke6,juz2,
h. 576.
13
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz 1, h. 276..
14
Kitab Nail wa Syarhuhu, juz 2, h. 134
15
Yusuf Qardhawi, Op.Cit. h. 593.
16
Kaffarat bagi suami isteri yang melakukan persetubuhan pada bulan Ramadhan, hukuman pengganti
qisas
11
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
8. Ibn Sabil
Ibn sabil sebagai penerima zakat sering dipahami dengan orang yang
kehabisan biaya di perjalanan ke suatu tempat bukan untuk maksiat. Tujuan
pemberian zakat untuk mengatasi ketelantaran, meskipun di kampung
halaman-nya ia termasuk mampu. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
Islam memberikan perhatian kepada orang yang terlantar. Penerima zakat
pada kelompok ini disebabkan oleh ketidakmampuan yang sementara. Jika
orang terlantar sementara saja dibantu dengan dana zakat, apalagi mereka
yang benar-benar tidak mampu tentu saja mendapatkan prioritas lebih.
Perhatian yang diberikan Islam kepada orang yang kurang mampu di
samping adanya kewajiban zakat, juga dengan memberikan ancaman kepada
orang yang tidak mengabaikan orang miskin (QS Al-Maun: 3). Perhatian juga
diberikan kepada orang yang tidak mempunyai pelindung. Dalam hadis
ditemukan bahwa Rasulullah SAW menyatakan orang yang membantu mereka
sama dengan jihad di jalan Allah.19 Pada satu sisi, penyamaan ini mungkin
pada reward yang akan diterima nanti di akhirat dan mungkin juga fasilitas
yang akan diterima di dunia. Dapat dikatakan bahwa orang yang mengerahkan
waktu dan pengetahuannya untuk membantu orang yang tidak mampu, maka
ia mendapatkan distribusi zakat seperti orang yang melakukan jihad di jalan
Allah
F. Pendayagunaan Zakat
Pembicaraan tentang sistem pendayagunaan zakat berarti membicarakan be-
berapa usaha atau kegiatan yang saling berkaitan dalam menciptakan tujuan
tertentu dari penggunaan hasil zakat secara baik, tepat dan terarah sesuai dengan
tujuan zakat itu disyariatkan. Dalam pendekatan fikih, dasar pendayagunaan
zakat umumnya didasarkan pada surah At-Taubah ayat 60.
17
Al-Razi, op.cit., h. 189 bandingkan dengan Muhammad Rasyid Ridha, op.cit., h. 01.
18
Seperti yang dkutip oleh Muhammad Rasyid Ridha, ibid., h. 502
19 18
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, juz 3, h. 2212, juz 4, h. 2435, Muslim, shahih Muslim., juz 4, h. 52-
53, al-Turmuzi, sunan al-Turmuzi., juz 3, h. 224, al- Nasa'i, sunan al-Nasa'L, juz 5, h. 86-87, Ibn Majah,
sunan Ibn Majah., juz 2, h. 724, dan Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal., juz 2, h. 361.
12
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
Ayat ini menjelaskan tentang peruntukan kepada siapa zakat itu diberikan.
Para ahli tafsir menguraikan kedudukan ayat tersebut dalam uraian yang
beragam, baik terhadap kuantitas, kualitas, dan prioritas. Di antara uraian tersebut
secara singkat adalah sebagai berikut:20
a. Menurut sebagian ulama, zakat boleh dibagikan kepada satu golongan saja dari
delapan golongan itu, yaitu diberikan kepada mereka yang paling
membutuhkan.
b. Menurut sebagian ulama lain, zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf dan
tidak boleh diberikan kepada selain delapan asnaf itu.
c. Menurut al-Qurthubi dalam tafsirnya menarik kesimpulan bahwa tidak ada
cara tertentu dan tetap, sejak masa Rasulullah SAW maupun pada masa Al-
Khulafaurrasyidin. Al-Khulafaurrasyidin menempuh kebijaksanaan sistem
prioritas.
d. Sebagian lain, tidak ada penjelasan mengenai perincian pembagian di antara 8
golongan tersebut. Ayat tersebut hanya menetapkan kategori-kategori yang
berhak menerima zakat hanya ada delapan golongan. Nabi sendiri tidak
pernah menerangkan cara pembagian itu, bahkan beliau memberi mustahik
sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, dan disesuaikan pula dengan
jumlah persiapan harta benda yang ada.
Penjelasan yang beragam dari para ulama terhadap maksud ayat tersebut me-
nunjukkan bahwa konsep pendayagunaan atau pihak-pihak yang berhak mene-
rima zakat, dalam penerapannya memberikan atau membuka keluasan pintu
ijtihad bagi mujtahid termasuk kepala negara dan Badan Amil Zakat, untuk men-
distribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan kebutuhan situasi dan
kondisi sesuai dengan kemaslahatan yang dapat dicapai dari potensi zakat
tersebut.
Sebagaimana dimaklumi konsep maslahat senantiasa berkembang sesuai
dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan umat. Untuk penentuan tingkat
kemaslahatan, biasa dikenal dengan adanya skala prioritas. Metode prioritas ini
dapat dipakai sebagai alat yang efektif untuk melaksanakan fungsi alokatif dan
distributif dalam kebijaksanaan pendayagunaan zakat.
Misalnya penafsiran kata fi sabilillah dan ibn sabil, secara periodik dan
kondisional selalu berkembang sesuai kondisi. Pada waktu perang, fi sabilillah
yang secara harfiah berarti "jalan Allah", adalah berperang melawan orang-orang
kafir. Definisi tersebut untuk sekarang tentu tidak hanya itu, karena keadaan
sudah berubah dan lebih kompleks. Penyelenggaraan sistem pemerintahan atau
kenegaraan yang mengabdi pada kepentingan rakyat; melindungi keamanan
warga negara dari kekuatan-kekuatan destruktif yang bertentangan dengan hak-
hak kemanusiaan dan kewarganegaraan; menegakkan keadilan hukum (yudikatif)
bagi warga negara; serta meningkatkan kualitas manusia dalam rangka
menunaikan tugas sosialnya untuk membangun peradaban di muka bumi,
20
lihat, Al-Qurtubi, al-Jami' Liahkamil Quran, Mesir: Dar al-Kitab, t.th. h, 168
13
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
merupakan bagian dari bagian maksud fi sabilillah.21 Begitu pula pengertian ibn
sabil, yang secara bahasa berarti anak jalanan atau " musafir yang kehabisan
bekal", untuk selanjutnya juga mengalami perkembangan makna. Kata ibn sabil
dapat diartikan bukan saja untuk keperluan musafir yang kehabisan bekal, tetapi
juga untuk keperluan pengungsi, bencana, dan sejenisnya.22
Dengan demikian, bahwa maksud At-Taubah ayat 60, sangat berkaitan
dengan kepentingan kemaslahatan manusia secara keseluruhan. Dari ayat tersebut
dipahami bahwa Allah SWT tidak menetapkan perbandingan yang tetap antara
bagian masing-masing delapan pokok alokasi (asnaf), tidak menetapkan delapan
asnaf tersebut harus diberi semuanya, tidak boleh keluar dari delapan asnaf, dan
tidak menetapkan zakat harus dibagikan dengan segera setelah masa pungutan
zakat serta tidak ada ketentuan bahwa semua hasil pungutan zakat harus
dibagikan semuanya.23
21
Lihat, Masdar F. Mas'udi, Zakat (Pajak) Berkeadilan, Jakarta : P3M, 1993, h.160-161; Safwan Idris,
Gerakan Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Jakarta: Citra Putra Bangsa, 1997.
22
Ibid
23
Sjechul Hadi Pernomo, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1992, h. 41
14
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
manusia.24
Tujuan kedua memiliki dampak pada kehidupan kemasyarakatan secara luas.
Dari segi kehidupan masyarakat, zakat merupakan suatu bagian dari sistem
jaminan sosial dalam Islam. Kehidupan masyarakat sering terganggu oleh
problema kesenjangan, gelandangan, problema kematian dalam keluarga dan
hilangnya perlindungan, bencana alam maupun kultural dan lain sebagainya.25
Sedangkan tujuan dan hikmat lain dari zakat di antaranya adalah sebagai
berikut:26 pertama, merupakan perwujudan ketundukan, ketaatan dan rasa syukur
atas karunia Tuhan (QS At-Taubah: 103; Ar-Rum: 39; dan Ibrahim: 7); kedua, zakat
merupakan hak mustahik yang berfungsi untuk menolong, membantu dan
membina mereka ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, agar
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan dapat beribadah kepada-
Nya; ketiga, merupakan pilar amal bersama (jama'i) antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya untuk berjihad
di jalan Allah (QS Al-Baqarah: 273; Al-Maidah: 2); keempat, sebagai sumber dana
bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam,
seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi sekaligus
sarana pengembangan kualitas sumber daya manusia; kelima, untuk
memasyarakatkan etika bisnis yang benar sebab zakat itu bukanlah membersihkan
harta yang kotor akan tetapi menge-luarkan bagian dari hak orang lain atas harta
kita yang kita usahakan dengan baik dan benar sesuai ketentuan Allah SWT;
keenam, merupakan salah satu instrumen/ sarana bagi pembangunan
kesejahteraan umat, pertumbuhan dan pemerataan pendapatan serta; ketujuh,
mendorong umat untuk bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta untuk
dapat memenuhi kehidupan diri dan keluarganya serta dapat berzakat/berinfak.
Dengan demikian, tujuan pendayagunaan zakat pada dasarnya apa saja yang
dapat memberikan dan melanggengkan kemaslahatan bagi seluruh masyarakat
termasuk usaha-usaha yang mengarah ke situ, maka dapat menjadi bagian dari
pendayagunaan zakat dilihat dari sisi maqashid al-syariah.
Namun demikian, belum ekspansifnya pendayagunaan zakat selama ini
untuk program-program keumatan yang "abstrak" dan berjangka panjang, boleh
jadi di samping karena keterbatasan dana juga perbedaan dalam penilaian
terhadap prioritas dari pengembangan program keumatan. Tetapi secara
konsepsional, bahwa konsep zakat dan pendayagunaan zakat bertujuan untuk
menumbuhkan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia sehingga tercapai
kehidupan yang baik di dunia dan akhirat.
Untuk itu segala program yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat
manusia seperti bantuan hukum, advokasi pemahaman hak-hak dan kewajiban,
pemberdayaan perempuan dan anak, serta terjaminnya lingkungan adalah
merupakan bagian dari tujuan kemaslahatan manusia, dankarenanya berhak
24
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Jakarta : Lentera, 1991, h. 848-876
25
Ibid, h. 881-917
26
Lihat, Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema Insani Press, 2002, h. 10-15
15
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
H. Manajemen Zakat
Seiring dengan perintah Allah kepada umat Islam untuk membayarkan
zakat, Islam mengatur dengan tegas dan jelas tentang pengelolaan harta zakat.
Manajemen zakat yang ditawarkan oleh Islam dapat memberikan kepastian
keberhasilan dana zakat sebagai dana umat Islam. Hal itu terlihat dalam Al-Quran
bahwa Allah memerintahkan Rasul SAW untuk memungut zakat (QS At-Taubah:
103). Di samping itu, QS At-Taubah ayat 60 dengan tegas dan jelas mengemukakan
tentang yang berhak mendapatkan dana hasil zakat yang dikenal dengan
kelompok delapan asnaf.
Dari kedua ayat tersebut di atas, jelas bahwa pengelolaan zakat, mulai dari
memungut, menyimpan, dan tugas mendistribusikan harta zakat berada di bawah
wewenang Rasul dan dalam konteks sekarang, zakat dikelola oleh pemerintah.
Dalam operasional zakat, Rasul SAW telah mendelegasikan tugas tersebut dengan
menunjuk amil zakat.
Penunjukan amil memberikan pemahaman bahwa zakat bukan diurus oleh
orang perorangan, tetapi dikelola secara profesional dan terorganisir. Amil yang
mempunyai tanggung jawab terhadap tugasnya, memungut, menyimpan, dan
mendistribusikan harta zakat kepada orang yang berhak menerimanya.
Pada masa Rasul SAW, beliau mengangkat beberapa sahabat sebagai amil
zakat. Aturan dalam At-Taubah ayat 103 dan tindakan Rasul SAW tersebut
mengandung makna bahwa harta zakat dikelola oleh pemerintah. Apalagi dalam
QS At-Taubah ayat 60, terdapat kata amil sebagai salah satu penerima zakat.
Berdasarkan ketentuan dan bukti sejarah, dalam konteks kekinian, amil tersebut
dapat berbentuk yayasan atau Badan Amil Zakat yang mendapatkan legalisasi
dari pemerintah.
Akhir-akhir ini di Indonesia, selain ada Lembaga Amil Zakat yang telah
dibentuk pemerintah berupa BAZIS mulai dari tingkat pusat sampai tingkat
kelurahan/desa, juga ada lembaga atau yayasan lain seperti Dompet Dhuafa di
Jakarta, Yayasan Dana Sosial Al-Falah di Surabaya, Yayasan Daarut Tauhid di
Bandung, dan Yayasan Amil Zakat di Lampung. Bahkan sebagian yayasan
tersebut sudah dapat menggalang dana umat secara profesional dengan nominal
yang sangat besar. Dan pendayagunaan zakat sudah diarahkan untuk pemberian
modal kerja, penanggulangan korban bencana, dan pembangunan fasilitas umum
umat Islam.
Apalagi dengan situasi dan kondisi sekarang banyak sekali lembaga atau
yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah ketidakberdayaan dan ketidak-
mampuan umat Islam. Ada beberapa program yang diperuntukkan juga bagi
umat Islam yang tidak mampu seperti advokasi kebijakan publik, HAM, bantuan
hukum, pemberdayaan perempuan. Semua program tersebut memerlukan dana
yang tidak sedikit, sementara itu pendanaannya tidak mungkin dibebankan
kepada mereka
16
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
17
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
Hanya sebagian kecil saja (16%) yang mengaku dalam setahun terakhir ini tidak
pernah menyumbang organisasi atau kegiatan keagamaan. Sedangkan rata-rata
jumlah sumbangan untuk organisasi atau kegiatan keagamaan pun relatif besar yaitu
mencapai Rp 304.679 per tahun atau setara dengan US$ 34 (jika 1 US$ = Rp 10.000).
Tentu hal yang demikin tidak akan jauh berbeda di kalangan masyarakat VII Koto
talago, karena disadari betul bagaimana kuatnya motivasi dan pengaruh agama
dalam kehidupan masyarakat.
Meski potensinya besar, sebagian besar dana ZIS itu memang belum terkelola
secara baik. Penggalangan ZIS umumnya dilakukan oleh tempat ibadah atau
lembaga sosial. Lembaga resmi yang didirikan oleh pemerintah adalah BAZIS
yang berkedudukan di setiap propinsi sampai ke tingkat desa/kelurahan. Lembaga
lain yang juga terlibat dalam pengelolaan dana umat adalah mesjid-mesjid,
yayasan dan lembaga sosial umat Islam lainnya. Pengumpulan dana ZIS
umumnya dilakukan secara konvensional, dengan menerima dana yang masuk,
dan biasanya dilakukan pada waktu tertentu, misalnya menjelang hari raya Idul
Fitri atau Idul Adha.
Namun, dalam 10 tahun terakhir ada kemajuan yang cukup pesat dalam
penggalangan dana ZIS yang dilakukan oleh beberapa lembaga sosial Islam.
Beberapa lembaga seperti Yayasan Dompet Dhuafa (DD) di Jakarta, Yayasan Dana
Sosial Al-falah (YDSF) di Surabaya, Yayasan Darut Tauhid (DT) di Bandung, Pos
Keadilan Peduli Umat (PKPU) di Jakarta, dan Rumah Zakat Indonesia di Bandung,
melakukan penggalangan dana ZIS secara profesional dan inovatif. Seperti
layaknya lembaga filantropi modern, mereka menggunakan strategi direct mail
(penggalangan dana lewat surat), media campaign (penggalangan dana lewat
kampanye di media), membership (merekrut donatur menjadi anggota lembaga atau
partisipan program), special event (menggalang dana lewat kegiatan atau event
khusus) dan strategi modern lainnya dalam menggalang dana Zakat, Infak,
Sedekah, Wakaf, dan Qurban.
Berbagai terobosan yang dilakukan lembaga-lembaga sosial tersebut bisa
dibilang sebagai langkah yang reformatif dalam pengelolaan dana ZIS.
Sebelumnya, proses pengumpulan ZIS umat yang dilakukan oleh berbagai
lembaga sosial lebih bersifat konvensional dan biasanya sangat pasif. Mereka
hanya menunggu masyarakat yang datang untuk menyalurkan dananya.
Lembaga semacam ini biasanya mengalami "booming" pemasukan pada saat
Ramadhan. Mereka juga cenderung hati-hati dalam mengelola dananya dan
program-program yang digarap terbatas pada penyaluran dana dan pemberian
bantuan.
Berbeda dengan lembaga sosial lainnya, kelima lembaga itu tidak hanya
menggunakan strategi konvensional dalam menjaring dana umat, tapi juga
mencari terobosan yang baru dan bersifat inovatif. Mereka secara aktif mencari
dan mendatangi orang-orang yang berpotensi untuk berderma, melakukan
campaign di berbagai media dan mengenalkan lembaga dan program-programnya
dengan cara presentasi atau membagikan brosur ke berbagai instansi dan
perusahaan. Berbagai seminar, kegiatan amal, dan kegiatan lainnya gencar
18
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama
20
Afifi Fauzi Abbas, Zakat Untuk Kesejahteraan Bersama