You are on page 1of 12

Nama: Roykhatul Jannah Nim: C94212145 Ekonomi Syariah Matkul: Pengantar Studi Hadits

SYARAT-SYARAT HADITS SAHIH


A. Definisi Hadits Sahih

Menurut Ibn al-Salah, Hadits sahih adalah musnad yang sanadnya muttasil melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit sampai perawi terakhir, tidak shad (janggal), dan ilal (cacat).
B. Syarat-syarat Hadits Sahih 1. Muttasil (bersambung) sanadnya

Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat terdekat sebelumnya, keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Jadi, seluruh rangkaian periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij (penghimpun hadits dalam karya tulisnya) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi bersambung dalam periwayatan. Ulama hadits umumnya berpendapat, bahwa hadits musnad pasti marfu dan bersambung sanadnya, sedang hadits marfu belum tentu hadits musnad. Menurut Ibn Al-Salah dan Al-Nawawiy, yang dimaksud dengan hadits muttasil atau mawsul ialah hadits yang bersambung sanad-nya, baik persambungan itu sampai kepada Nabi maupun sampai kepada sahabat Nabi saja. Jadi, hadits muttasil atau mawsul ada yang marfu (disandarkan kepada Nabi) dan ada yang mawquf (disandarkan kepada sahabat Nabi). Untuk mengetahui bersambung (dalam arti musnad) atau tidak bersambung sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata-kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti. b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat. c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara periwayat dengan periwayat yang

terdekat dalam sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa haddathani, haddathana, akhbarana, an, anna, atau kata-kata yang lainnya.

Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:


1. Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar thiqat (adil dan zabit) 2. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad

itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa al-adda al hadits (transformasi penyampaian dan penerimaan hadits).

2. Perawi yang adil (al-adalat)

Kata adil berasal dari bahasa Arab: al-adl. Kata al-adl sendiri merupakan masdar dari kata kerja adalah. Menurut bahasa, kata al-adl mempunyai banyak arti, antara lain: keadilan (al-adalat atau al-udulat); pertengahan (al-Itidal); lurus (al-istiqamat); condong kepada kebenaran (al-mayl ila al-haqq). Orang yang bersifat adil disebut al-adil, kata jamaknya: al-udul. Secara istilah adil jamaknya al-adalat-al udul ialah sifat yang melekat pada jiwa seorang perawi, dan dapat menjadikan dirinya konsisten dalam menjalankan agama, serta mampu memelihara ketaqwaan dan muruah. Imam ShafiI dan Imam Ahmad bin Hanbal, yang menyatakan bahwa untuk mengungkap keadilan seorang perawi tidak dapat terlepas dari pengungkapn biografinya, dan membandingkan dengan perilaku atau biografi seorang figur yang baik menurut orang banyak. Pemikiran Abu hanifah bila dipahami sebagai kesatuan, maka yang dimaksud adalah bahwa perawi adil haruslah ia seorang muslim yang baik, termasuk dalam aqidah maupun shariahnya. Dengan kata lain bahwa ia adalah seorang muslim yang dapat memelihara aqidah dan shariahnya, serta mampu mengaktualisasikanya. Namun dapat dideskripsikan beberapa rumusan tentang keadilan yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh sesudah abad kedua hijriyah.
a. Muhammad bin Ubaydillah al-Maliki menceritakan bahwa al-qadi Abu Bakar

Muhammad bin Tayyib mengatakan; al-adalah (keadilan) yang dimaksud baik dalam persaksian maupun periwayatan ialah dikonotasikan pada konsistensi beragama (lurus agamanya), terlepas dari fanatisme aliran, terhindar dari ke-fasiqan, atau perbuatan yang sama, baik dari perilaku maupun hati.
b. Keadilan yang berkembang dikalangan ulama hadits, sejak awal abad ketiga hijriyah

sampai sekarang. Al-adalah (keadilan) ialah suatu sikap pengendalian diri dari perbuatan dosa besar dan kecil.
c. Dari kalangan fuqaha ditemukan beberapa rumusan seperti yang dikemukakan al-

Ghazali, bahwa al-adalah (keadilan) baik dalam periwayatn maupun persaksian yaitu

ungkapan yang dimaksud untuk mengetahui keberadaan keagamaan seorang secara konsisten, dan implikasinya dalam sikap, perilaku maupun jiwa dan ketaqwaan.
d. Ibn Taymiyah dalam suatu pendapatnya mengatakan bahwa al-adalah adalah sikap dan

sifat yang dimiliki seseorang yang dapat memelihara kemaslahatan-kemaslahatan dan hukum-hukum.
e. Rumusan yang dikemukakan dari penafsiran ulama usul. Dimaksud dengan adil adalah

ungkapan yang menunjukan titik tengah antara beberapa hal, tanpa lebih atau kurang terhadap salah satu hal.

3. Perawi yang dhabit (al-dabtu)

Al-dawabit secara etimologi dapat diartikan penguasaan dengan mantap, si pelakunay disebut dengan orang yang kokoh dalam nerusaha. Sedang dalam terminologi diantaranya:
a. Ahli hadits berarti kecerdikan seorang perawi menerima hadits dan memeliharanya,

hingga sewaktu menyampaikan ulang tanpa adanya kesalahan atau kerancuhan, baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
b. Para ulama usul fiqh menekankan seorang pada kesempatan pemeliharaan serta

kemampuan hafalan, terhindarnya dari kelupaan atau kerancuan diantara satu riwayat yang lainya, yang dimiliki oleh seorang perawi.
c. Sama dengan teori yang lebih awal dikemukakan oleh al-ShafiI bahwa untuk suatu

riwayat harus disampaikan oleh seorang perawi yang mampu memelihara periwayatan hadits secara otentis, baik dari hafalan maupun catatanya, disamping mengetahui perubahan struktur kata dan maknanya.
d. Imaam Malik dalam pendapatnya mengatakan bahwa sebuah hadits harus diriwayatkan

dari seorang laki-laki yang bertaqwa dan mampu memelihara periwayatan, mempunyai pengetahuan dan dapat memahami, juga mengetahui bila terdapat perubahna materi periwayatan dari hafalanya pada saat meriwayatkan ulang. Makna al-dabit kemudian mengalami pemilahan secara karakteristik, yaitu al-dabtu fi al sudur dan al-dabtu fi al-kitabah.
1. Ciri pada sifat yang pertama (al-dabtu fi sudur) adalah kecermatan seorang perawi

menghafal hadits secara terus menerus, dan ia mampu, mengekspos kembali untuk diriwayatkan tanpa mengalami kesulitan dan kesalahan, sebagaimana di waktu ia menerimanya.

2. Pada ciri yang kedua (al-dabtu fi al-kitabah)bahwa seoarang perawi memiliki

kemampuan memelihara materi periwayatan dalam bentuk pencacatan, sebagaimana bentuk asli, materi yang dicatatanya tidak terdapat kesalahan maupun kerancauan, dan dapat diriwayatkan kembali secara benar seperti disaat menerimanya. Diantara ahli hadits Sufyan Al-Swri mengatakan: seorang perawi tidak mungkin terjadi ghulat (salah), jika ia memiliki hafalan yang melibihi orang lain meskipun dia lupa. Namun jika ia banyak lupa atau kesalahanya, maka ia ditinggalkan (ditolak). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh adits lain seperti Abdul Rahman alMahdiy bahwa:haram atas seseorang menyamapikan periwayatn haidts tentang persoalan agama, selama ia belum memiliki kemampuan maupun hafalan yang mapan, seperti menghafal ayat-ayat al-quran dan nama-nama orang yang terlibat dalam periwayatn hadits yang ia terima. Beda denagn ahli hadits bahwa Abu Hanifah mengklasifikasikan antara dabtu al sudur dan dabtu al maani,yaitu:
a. Sifat yang pertama (dabtu al sudur) ialah seorang perawi dapat mengetahui dan tidak

lemah ingatanya.
b. Pada sifat yang kedua (dabtu al maani) bahwa perawi harus memahami hukum-

hukum atau shariah yang dijelaskan dalm materi periwayatan. Imam Malik tidak menafsirkan kedabitan seorang perawi hanya memiliki kepabilitas memelihara hadits, namun lebih lanjut ia mensyaratkan juga:
a. Seorang perawi harus memiliki keahlian dibidang hadits, dan b. Memiliki pemahaman yang baik terhadap hadits yang meriwayatkan.

Ahmad bin Hambal, Ali al-Madani, Yahya bin Main, Abu Bakar bin Abi Syahbah, Ibn Khuzaymah, al-Bukhari, Muslim Hajjaj, Ibn Salah, bahkan dari kalangan ulama khalaf pun diantaranya Ibn Taymiyah, al-Ghazali, dan Ibn Hajar al-Asqalani. Mereka semata hanya membuat taqyid atau batasan yang lebih khusus, tanpa merubah prinsip dasar itu dalam pemahaman mereka atas ke-mutlaqan dari prinsip dasar itu dalam pemahaman mereka atas ke-mutlaqan dari prinsip al-dabtu adalah menunjukkan ke-dabit an seorang perawi. Tingkat ke- dabit an perawi menurut klasifikasi para ulama hadits ada 4 (empat) macam:
1. Tam al-dabit, adalah seorang perawi yang memiliki kesempurnaan hafalan dan

pemeliharaan, atau hampir sama tidak terdapat kelemahan dalam hafalan dan catatanya.
2. Seorang perawi yang memiliki ke-dabit an sama dengan ghulatnya (kesalahan)

3. Seorang perawi yang memiliki ke-dabit an lebih dari ghulatnya (kesalahan) 4. Seorang perawi yang mengalami ghulat lebih banyak dari dabitnya.

Ulama hadits merumuskan suatu batasan bahwa seorang perawi yang mengalami banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadits adalah ditolak periwayatanya, meskipun ia seorang yang bersifat adil. Menurut mereka seorang perawi yang banyak kekeliruan atau kerancauanya bukan termasuk orang yang memenuhi standar sebagai perawi hadits, karena ia sangat rendah kualitas ke dabitanya. Alasan mereka bahwa ghulatnya atau rendahnya hafalan seorang perawi merupakan cacat yang mempengaruhi kredebilitaas maupun status orang perawi. Diterimanya suatu hadits sebagai dasar shariah harus diriwayatkan oleh perawi yang dabit, disamping mengetahui dan memahami apa yang diriwayatkanya. Perkembangan selanjutnya yang dibangun oleh para ulama, terutama oleh ahli hadits adalah metode komparasi, untuk menentukan standarisasi diterima atau ditolaknya. Periwayatan hadits atas dasar ke-dabitan perawi sebagai berikut:
a. Seorang perawi yang memiliki hafalan disamping kitabah dan dapat memelihara

secara otentis sehingga ia menyampaikan kepada orang lain, maka status perawi dan haditsnya adalah berada pada posisi paling atas.
b. Perawi yang memiliki hafalan disamping catatan, tetapi diketahui adanya perbedaan

diantaranya, dikalangan ulama hadits berhujjah berdasarkan kitabah-nya (catatan) Teori komparasi yang dimaksud sebagai metode standarisasi ke-dabitan perawi, adalh penyesuaian atau perbandingan periwayatan seorang perawi dengan perawi lain yang lebih dabit tentang hadits yang sama atau perawi yang memiliki ke-dabitan baik dan tidak melakukan kesalahan atau pelupa dalam meriwayatkan sunnah Rasul SAW.
4. Perawi tidak shadh / shudhudh (janggal)

Kata al shudhudh secara etimologi merupakan bentuk jama dari kata dasar shaahdha yasudhadhu shudhdhan, yang berarti janggal atau ganjil. Secara terminologi kata ini hanya dipakai dalam hal periwayatan hadits, dengan beberapa rumusan batasanya (definisi), sejalan dengan perkembangan kajian hadits. Tetapi antara satu definisi dengan lainya terdapat unsur dasar yang sama, meskipun rumusan atas dasar konteks yang berbeda:
a. Al-shafiI sebagai perumus pertama mengatakan bahwa yang dimaksud shadh ialah

suatu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi thiqah beda dengan periwayatan orang banyak yang memiliki kredibilitas lebih thiqah.

b. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyah, bahwa pengertian al-shudhudh adalah periwayatan

hadits yang tidak bertentangan dengan periwayatan lain yang lebih thiqah. Para perumus seperti al-Shafii, Abu Yala al-Khaliliy dan generasi sesudahnya melihat dari logika sosial, bahwa periwayatan seoarang rawi dalam materi periwayatan yang sama, terjadi perbedaan terutama pada aspek maknanya atau kandungan ajaranya dengan periwayatan lain yang lebih oentik, maka menurut pemahaman mereka dinilai adalah shadh pada periwayatan itu. Kejanggalan shudhudh al-riwayah sangat dipengaruhi oleh aspek eksternal riwayat, dari pada internal. Perawi yang memiliki ke-dabitan sempurna, ia mampu mengetahui kebenaran apa yang diriwayatkan dari berbagai kekeliruan dan kesalahan, baik makna maupun redaksinya. Oleh karena latar belakang itu jumhur ulama menetapkanya sebagai prinsip atau syarat untuk menentukan ditolak atau diterimanya suatu periwayatan hadits. Bahkan generasi sesudah al-ShafiI membakukanya sebagai persyaratan utama dalam menentukan kelas kehujjahan suatu hadits. Seperti sikap jumhur ulama membuat klasifikasi hadits sahih dan hadits hasan, denagna syarat harus terbebas dari shudhudh.
5. Perawi tidak illat (cacat)

Secara etimologi kata al-illat berasal dari akar kata alla yaillu illat, dan bentuk jama al-illat, artinya penyakit aib (cacat). Sedangakan secara terminologi kata illat banyak digunakan dalam beberapa disiplin diantaranya bidang usul fiqh dan periwayatan hadits. Para ulama hadits mengklasifikasikan illat haditsmenjadi tiga bagian yaitu pada sanad, matan, dan pada sanad juga matan. Klasifikasi mereka ini dapat ditemukan dalam contoh-contoh periwayatan berikut:
1. Diriwayatkan oleh Yala bin Ubayd dari Sufyan al-Sauri, ia menerima dari Amru bin

Dinar dari Ibn Umar, yang langsung memperoleh dari Nabi SAW; tentang hadits: . sanad perawi dari hadits ini adalah muttasil (bersambung), dan perawi-perawinya orang yang adil juga. Namun pada sanad ini ditemukan illat (cacat), yaitu nama perawi yang disebutkan ada kekelirua n. Nama Amru bin Dinar bukan sebagai perawi yang meriwayatkan hadits ini, tetapi sebenarnya adalah Abdullah bin Dinar, meskipun Amru bin Dinar termasuk rawi adil. Sedangkan matan hadits ini adalah benar-benar bersumber dari Nabi SAW, sebagaimana yang ditemukan melalui hadits lain yang ittisal.
2. Diriwayatkan oleh Ibrahim bin Tuhman dari Hisham bin Hisan, diterima dari Abu

Hurayrah yang meriwayatkan sabda Nabi SAW, tentang anjuran mencuci tangan ketika bangun dari tidur. Pada matan hadits itu terdapat ungkapan yang sebenarnya kata-kata Ibrahim bin Tuhman, bukan bagian matan hadits dari nabi SAW. Dalam periwayatan itu oleh para ahli hadits dinyatakan adalah illat matanya, yaitu katakata Ibrahim yang terselip dalam susunan matan hadits.

3. Diriwayatkan oleh Yunus dari Ibn Shihab al-Zuhriy, dari salim dari Ibn Umar, yang

meriwayatkan sabda Nabi SAW, pada sanad ini terdapat kesalahan penyebutan nama seorang perawi yaitu Salim, yang seharusnya Abu Salamah. Oleh al-Zuhriy disebutkan dari Salim, sementara pada sanad lain disebutkan bahwa al-Zuhriy menerima dari Abu Salamah, karena al-Zuhriy tidak menerima hadits itu kecuali d Abi Salamah. Di saping itu bahwa dalam matan yang lebih sahih Nabi SAW tidak menambahkan kata-kata . maka oleh kritikus hadits kesalahan penyebutan nama perawi dan penambahan kata dalm matan, disebut sebagai hadits yang terdapat illat fi al-matn dan illat fi al-isnad. Menurut para ulama bahwa illat yang terdapat pada hadits, semata kehujjahannya, bahkan hanya paada ke-sahihannya. Tetapi jika hadits yang terdapat illat ghayru al-qadihah itu dimungkinkan untuk dikompromikan, maka tidak menutup untuk menjadikan pada nilai sahih dapat dijadikan hujjah. HADITS DAIF DAN MACAM-MACAMNYA

Hadits daif ialah hadits yang tidak terkumpul didalamnya sifat-sifat hadits sahih dan hasan. Hadits daif ini banyak macamnya, sebagian ulama menyebutkan jumlah hadits daif tersebut ada 381 macam. Hadits daif tersebut dari ke-daifanya dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu daif disebabkan keterputusan sanad atau tidak muttasil (bersambung) sanadnya, dan daif disebabkan selain keterputusan sanad/ selain tidak muttasil (bersambung) sanadnya.
A. Daif disebabkan Keterputusan Sanad / tidak muttasil (bersambung) sanadnya, dan

Macam-Macamnya.
1. Hadits Mursal

Mursal menurut bahasa, berarti yang dikirim, yang diutus, yang dilepaskan. Menurut istilah hadits yang diriwayatkan oleh tabii kecil maupun besar, dari Nabi SAW, dengan tidak menyebut siapayang menceritakan (menyampaikan) hadits kepadanya. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur dari sanadnya seorang perawi atau lebih, dari golongan sahabat. Ahli hadits berpendapat bahwa yang diriwayatkan oleh sahabatsahabat kecil, seperti Ibn Abbas dan sebagainya yang tidak mereka dengar atau tidak mereka saksikan langsung dari Nabi SAW, termasuk mursal, jika mereka tidak menyebutkan perawiperawi yang mereka ambil riwayatnya. Mereka menyebutnya sebagai mursal sahabi. Ahli hadits menilai bahwa mursal sahabi dihukumi mawsul (bersambung). Sedangkan mursal khafiy adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang dari seseorang yang satu generasi dengan dia, tetapi tidak pernah menjumpainya, ada diantara keduanya dengan perantara, maka apabila diriwayatkan secara langsung disebut mursal khafiy.

Contoh hadits mursal:


a. Mursal jaliy

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam malik, dari Abdurrahman, dari harmalah, dari Said ibn Musayyab, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

antara kami dan orang-orang munafiqin, ialah menghadiri jamaah isha dan subuh, mereka tidak sanggup menghadirinya.
b. Mursal Sahabi

Berhujjah dengan hadits mursal: Berikut 3 pendapat dikalangan ulama tentang hadits mursal ini:
1. Boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini merupakan pendapat Imam Abu

Hanifah, Imam Malik, menurut suatu riwayat juga Imam Ahmad dan sejumalh ulama hadits lainya.
2. Tidak boleh berhujjah dengan hadits mursal secara mutlak. Ini diceritakan oleh Imam al-

Nawawi dari mayoritas ahli hadit, Imam al-Shafiidan sejumlah besar ahli fiqh dan ahli usul. Imam Muslim mengatakan bahwa riwayat-riwayat mursal menurut sumber pendapat kami dan pendapat ahli hadits tidaklah bisa dijadikan hujjah.
3. Bisa dijadikan sebagai hujjah bila ada yang menguatkanya. Misalnya dari jalur lain hadits

itu diriwayatkan secara musnad ataupun mursal, atau diamalkan oleh sebagian sahabat ataupun oleh mayoritas ahli ilmu. Sulit mengingkari mursal sahabiy, kebanyakan riwayat yang bersumber dari Ibn Abbas adalah mursal, karena usianya masih sangat muda pada masa hidup Rasulullah SAW. Usianya tidak lebih dari 13 tahun ketika Rasulullah wafat.

2. Hadits Munqati

Munqati menurut bahasa berarti yang diputus, yang tertahan, yang telah kering. Menurut ulama hadits ialah hadits yang telah gugur dari perawinya seorang dari sanad sebelum sahabiy, atau telah gugur dua orang perawi dengan syarat tidak berurutan. Jadi, hadits muqati adalah hadits yang dalam sanadnya gugur seorang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang mubham (tidak jelas). Setiap hadits yang dari sanadnya gugur seorang perawi, baik di awal, di tengah maupun di akhir, disebut muqati.

3. Hadits Mudal

Mudal menurut bahasa berarti mustahla, yaitu sesuatu yang sulit dicari, atau sulit dipahami. Menurut ulama hadits, hadits mudal adalah hadits yang sanadnya gugur dua atau lebih perawinya secara berurutan. Al-Nawawi dalam al-Taqrib mengatakan: apabila seorang tabiit altabiI meriwayatkan hadits dari tabi dan berhenti pada tabiI, sedang hadits tersebut disisi tabiI marfu muttasil (bersambung sanadnya), maka hadits itu kedudukanya mudal.
4. Hadits Mudallas

Kata tadlis secara bahasa berasal dari kata al-dalas yang berarti al-zulmah (kezaliman/kegelapan). Menurut istilah mudallas adalah yang disembunyikan cacatnya (yakni : yang diriwayatkan dengan cara menghilangkan cacat yang menimbulkan persangkaan bahwa hadits itu tidak cacat). Tadlis terdiri dari dua macam, yaitu tadlis al-isnad, dan tadlis shuyukh.
a. Tadlis al-isnad adalah hadits yang disampaikan oleh seorang perawi dari orang yang

semasa denganya dan ia bertemu sendiri dengan orang itu, meskipun ia tidak bisa mendengar langsung darinya. Ulama telah mengecam tadlis al-isnad dan sangat tidak suka terhadap perawi-perawi yang melakukan tadlis. Ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang hukum tadlis:
1. Sebagian ulama mengatakan bahwa orang yang diketahui melakukan tadlis, maka ia

menjadi majruh (orang yang tercacat) dan tertolak riwayatnya secara mutlak. Meskipun ia menjelaskan adanya al-sima dan tadlis yang dilakukanya diketahui hanya sekali saja.
2. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits mudallas bisa diterima, karena tadlis sama

dengan irsal. Alasan inilah yang diikuti oleh sebagian besar mereka yang menerima hadits mudallas, termasuk didalamnya kaum Zaidiyah.
3. Sebagian yang lain lagi mengatakan bahwa ditolak setiap hadits yang mengandung

tadlis. Sedangkan hadits-haditsnya yang lain yang tidak mengandung tadlis bisa diterima.
b. Tadlis al-Shuyukh. Jenis ini lebih ringan daripada tadlis al-isnad karena perawi tidak

sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad dan tidak sengaja pula menyamarkan dan tidak mendengar langsung. Perawi hanya menyebut gurunya, memberi kun-yah (nama julukan atau memberi nisbat ataupun memberikan sifat yang tidak lazim dikenal. Hukum melakukan tadlis shuyukh adalah makruh menurut ulama hadits, karena mengandung kerumitan bagi pendengar untuk mengecek sanadnya atau mengecek gurugurunya.

5. Hadits Muallal adalah hadits yang terungkap mengandung cacat yang menodai

kesahihanya, meskipun sepintas tampak bebas dari cacat. Menemukan illat (cacat) hadits ini membutuhnya pengetahuan yang luas, ingatan yang kuat dan pemahaman yang cermat. Ulama hadits yang ahli dalam bidang ini benar-benar mengandalkan semacam ilham yang karuniakan Allah untuk mengetahui salah satu cacat yang tersembunyi.

B. Daif disebabkan selain Keterputusan Sanad dan Macam-macamnya 1. Hadits Mudaaf

Mudaaf menurut bahasa berarti yang dilipatgandakan. Menurut istilah ahli hadits adalah hadits yang tidak disepakati kedaifanya, di dalam sanad atau matanya ada yang dipandang lemah oleh sebagian ulama dan dipandang kuat oleh sebagian yang lain. Dengan demikian hadits mudaaf dianggap sebagai hadits lemah yang paling tinggi tingkatanya. Ibn al-jawziy merupakan orang yang pertama kali melakukan pemilahan terhadap jenis ini.
2. Hadits Mudtarib

Mudtarib menurut bahasa berarti yang kacau dan tidak ada ketentuan. Menurut istilah ahli hadits adalah hadits yang diriwayatkan dengan beberapa cara yang berlainan, yang satu menolak yang lain, sedang dia serupa perbedaanya, dalam arti salah satunya tidak kuat dengan yang lain, dan tidak mungkin disatukan antara perawi yang satu dengan perawi yang lain. Karena sesekali ia meriwayatkan seperti ini dan sesekali ia meriwayatkan denagn cara yang berlainan dengan yang pertama atau diriwayatkan oleh lebih dari seorang dan terjadi perbedaan-perbedaan antara dua orang perawi atau lebih. Sebagian lagi mendefinisikan bahwa hadits mudtarib adalah hadits yang riwayatkan dengan beberapa bentuk yang saling bertentangan, yang tidak mungkin mentarjihkan sebagianya dengan sebagian yang lain, baik perawinya satu atau lebih. Kadang kemudtariban terjadi pada satu perawi, seperti pada beberapa perawi, kadang terjadi pad sanad, seperti halnya pada matan. Dan bahkan kadang pada keduanya sekaligus. Kemudtariban mengakibatkan kelemahan suatu hadits, karena menunjukkan ketidakdabitan. Padahal kedabitan adalah syarta kesahihan dan kehasanan, kecuali dalam suatu keadaan. Idtirab (kekacauan, tidak menentu) bisanya terjadi pada sanad. Kadangkadang juga pada matan, tetapi jarang terjadi seorang ahli hadits menetapkan idtirab pada matan saja tanpa sanad.
3. Hadits Maqlub

Maqlub menurut bahasa berarti sesuatu diputarbalikkan atau mengalami pemutarbalikan. Menurut istilah ahli hadits adalah seauatu yang tertukar pada seorang

perawi, sebagian matanya atau nama seorang perawi dalam sanadnya atau sanad untuk matan yang lain. Sebagian yang lain mendefinisikan hadits maqlub adalah hadits yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi mengenai matanya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu sanad untuk matan lainya. Kadang sebagian ulama sengaja membalikan beberapa hadits dengan tujuan mencoba orang lain, seperti yang mereka lakukan terhadap Imam Bukhari di Baghdad namun sebagian ulama melarang muridmurid mereka membalikan hadits dihadapan para guru. Keterbalikan yang terjadi pada diri seorang perawi karena lupa, bukan karena tujuan menguji orang lain menjadikannya lemah karena kelemahan hafalanya, bila hal itu diketahui atau karena seringnya hal itu terjadi pada dirinya. Oleh sebab itu munculnya kedaifan hadits maqlub adalah rendanhnya daya hafal pada perawi itu sendiri.
4. Hadits shadh

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam shadh, yaitu: penyendirian dan perlawanan. Maksud hadits shadh dengan sifatnya yang umum, ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang terpercaya berlawanan dengan riwayat orang lain yang terpercaya. Atau dengan kata lain, hadits yang diriwayatkan oleh orang yang dapat diterima, berlawanan dengan orang yang lebih utama darinya. Inilah pengertian hadits shadh menurut al-Hafiz ibn Hajar. Al-hakim berpendapat bahwa yang dimaksud hadits shadh ialah hadits yang diriwayatkan sendiri oleh salah seorang perawi yang terpercaya dan hadits itu tidak mempunyai muttabi (jalur lain) yang menguatkan perawi terpercaya. Jadi, hadits shadh itu termasuk hadits yang menurut seorang ahli tampak tercela karena keliru, tetapi ia tidak mampu membuktikannya dengan adil.
5. Hadits Munkar

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi daif (lemah) yang berlawanan dengan perawi-perawi yang thiqah (terpercaya). Oleh karena itu, kriteria haditss munkar adalah penyendirian perawi dhaif dan mukhalafah. Jika haditsnya bertentangan dengan hadits perawi thiqah (terpercaya), maka yang rajih disebut maruf, sedang yang marjuh itulah yang disebut munkar. Dengan demikian, hadits shadh dan munkar sama-sama memiliki kriteria mukhalafah. Bedanya pada hadits shadh perawinya thiqah atau saduq, sementara pada hadits munkar perawinya daif. Adapun tanda munkar pada hadits yaitu apabila berlawanan dengan riwayat orang lain yang dikenal kuat hafalanya.
6. Hadits Matruk

Menurut istilah ahli hadits, hadits matruk ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh dusta dalam haditsnya atau menampakkan kefasikan dengan perbuatan atau ucapan, atau sering salah dan lupa.

C. Kehujjahan Hadits daif

Berhujjah dengan hadits daif menurut pendapat ulama hadits sebagai berikut:
1. Hadits daif tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadail al amal maupun

hukum. Ini adalah pendapat Yahya bin main.


2. Hadits daif bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini di dukung Abu dawud dan Imam

Ahmad.
3. Hadits daif bisa diamalkan dalam masalah fadail al-amal atau yang sejenis jika

memenuhi syarat. Ibn Hajar menyebutkan syarat-syarat itu sebagai berikut:


a. Kedaifanya tidak terlalu, sehingga tidak tercakup didalamnya seorang pendusta atau

yang tertuduh dusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering melakukan kesalahan. Al-alaiy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini.
b. Hadits daif itu termasuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan. c. Ketika mengamalkanya tidak meyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar hati-hati.

Syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama mutaakhirin dalam mengamalkan hadits daif, menurut ajjaj al-Khatib, bahwa meski syarat-syarat itu bisa dipenuhi, namun tetap tidak akan menjadikan hadits daif, sebagai sumber penetapan hukum islam atau keutamaan etika. Menurutnya, hadits-hadits daif yang telah memenuhi syarat-syarat itu hanya menggeraan untuk mengamalkan sesuatu yang dianjurkan berdasarkan sikap hati-hati hukumnya bukan mengikat.

You might also like